ALKITAB TUMBUH DI ATAS AL QURAN Cerita

“Alkitab” Tumbuh diatas “Al-Qur’an”
[Cerita Lisan Orang Kokoda “Muslim Papua” tentang Agama Basudara]
Oleh. Bustamin Wahid
Warga Belajar dan Penelitian PRD Indonesia
Kesempatan yang baik dihari-hari penuh tanda-tanda heran, tema ini bukan pemicu untuk
mengundang kebencian, tetapi tema ini adalah ekses, gambaran keakraban dan story
perjalanan manusia Papua dalam memahami ketuhanan dan kebenaran (masyarakat
beragama).Eksistensi perjalanan orang-orang Papua dan Kokoda khususnya dalam renungan
Ali Syariati sebagai dialektika kebenaran menuju kesempurnaan (ontologisme diri).
Akhir-akhir ini Negara ini diuji keberagamannya, muncu l (satu) berbagai fenomena berlabel
organisasi dan kelompok yang membuat keresahan dan ketidaknyamanan. Dari kasus AlMaida 51 di Jakarta dan pembakaran Alkitab (Injil) di Jayapura. Keributan dimana-mana
tetapi setidaknya kita kembali mengangkat sedikit catatan di tanah Papua untuk memberikan
ingatan dan kasih sosial yang dibangun di Papua, tentu masih banyak keadaban lain yang bisa
menjadi rujukan.
Istilah “Alkitab tumbuh di atas Al-Quran”, ini memiliki makna historis tentang orang-orang
Papua beragama. Secara lugas anak Kokoda Jalil Beyete menceritakan pemahaman sejarah
lisan yang selama ini menjadi ceritra turun temurun. Kita tahu bahwa sebelum masuknya Carl
Williem Ottow dan Johan Gottlod Geissler pada tanggal 5 Februari 1855, yang diijinkan oleh
sultan Tidore, jauh hari masyarakat pesisir dan bibir pulau-pulau di tanah Papau dan Raja
Ampat sudah memeluk Islam. Menurut sejarah lisan di Papua terutama di Kokoda daerah
Imeko (sorong selatan) di sana agama dikenal sebagai Agama Basudara, Karena agama

hadir menciptakan persaudaraan dan kekeluargaan yang tinggi. Di Papua, agama bukan
bagian dari pada horosufi yang menggunakan kerangka metode ilmu pengetahuan dan doktrin
untuk saling bermusuhan dan menebar kebencian. Tanah yang di berikan Tuhan untuk
manusia mencari rejeki dan nafkah untuk bertahan hidup dan terus menjaga kedamaian.
Di Imeko Kokoda, sebelum masuknya agama dan penyebaran Islam. Pertentangan sosial,
perang saudara atau saling membunuh antara satu dengan yang lain. Terjadi kekacauan
hukum dan matinya nilai sosial, di Kokoda disebut dengan Honge/wonge (saling membunuh)
dasar dari itu semua adalah menguji ilmu mistik demi kehendak eksistensi (pengakuan diri
tentang kehebatan) atau tidak lebih dari kehidupan rimba. Sebutan Honge/wonge oleh orangorang Kokoda memiliki persamaan dengan orang-orang Tidore dan Ternate tentang makhluk
halus.
Menurut Jalil Beyete bahwa terjadi kekacauan, pembunuhan (Honge/Wonge) yang luar biasa
terjadi di masyarakat Kokoda pada saat itu. Pada kondisi yang sama Raja/Sultan Tidore
masuk untuk menyebarkan Islam di sana, mulanya mendapat perlawanan dari masyarakat
setempat di tanah Tarof. Sebutan Tarof ini berhubungan dengan orang-orang Kokoda dengan
keras mengangkat senjata untuk melawan para rombongan kesultanan Tidore, tetapi ada
perintah Sultan dan Masoduru untuk menghentikan tindakan orang-orang Kokoda. Sultan
mengangkat Al-Quran dan memberikan pemahaman dengan berbagai pendekatan, mereka
kemudian menerima Islam, sekarang istilah Taru disebutkan sebagai kampung Tarof. Di

Imeko telah tercatat bangunan masjid Al-Nur merupakan masjid tua yang diyakini sebagai

masjid pertama setelah pengaruh islam dari kesultanan Tidore.
Imeko Kokoda, negeri besar (Kapuno Rumania), yang dalam sejarah telah menjadi daerah
penobatan para Sangaji oleh Sultan Tidore. Para Jojau Negeri Besar yang membawahi 5
(lima) Jojau yaitu: (1) Jojau di Kampung Agia; (2) Jojau di Kampung Topda; (3) Jojau di
Kampung Neves; (4) Jojau di Kampung Nayakore; (5) Jojau Daneke. Jojau di Negeri besar
ini telah di nobatkan oleh para Sultan dan diberikan penghormatan yaitu mahkota (songko
merah) di Tidore dikenal dengan Bestari Ngare dan Gamis (Juba) untuk digunakan pada
acara-acara keagamaan dan upacara adat.
Pengaruh Islam, kedamaian mulai terlihat dan harmonisasi pun dinikmati, islam memberikan
pemahaman di masyarakat Kokoda. Setelah sekian abad masuklah agama Injil di Papua yang
dibawa oleh Carl Williem Ottow dan Johan Gottlod Geissler pada tanggal 5 Februari 1855
yang mendapat restu dari sultan Tidore ke 23 Ahmad Mansur Surajuddin (1821-1857) dan
kedua misionaris tersebut diantar oleh para pasukan kerajaan yang dipimpin oleh salah satu
Sangaji Patani. Dalam sumber yang lain Anie Nugraha menulis kedua misionaris itu diantar
oleh kedua putra keturunan sultan bernama Dano Said Muhammad Alting, Dano Muhammad
Hasan dan Telawa Raja dengan sejumlah pengiring. Inilah hal mendasar bahwa Alkitab
tumbuh di atas Al-Qur’an, yang dipahami oleh orang Kokoda. Dalam istilah Ismail Suwardi
Wekke, Ph.D yang menulis artikel tentang Islam di Papua Barat, memberikan satu pernyataan
bahwa, tanah Papua bukan tanah injil saja, sebab penyebaran kristen di Papua telah di ijinkan
oleh sultan Tidore yang notabenenya adalah kerajaan Islam, dan daerah pesisir Papua Raja

Ampat, Fak-fak, Bintuni dan Papua Gam sio telah berkeyakinan Islam. Thomas W. Arnold
orientalis dari Inggris dalam buku: “The Preaching of Islam”, suku di Papuatelah di Islamkan
sebelum 1606.
Kristenisasi di Kokoda, dikisahkan dengan terjadi perkembangan ilmu pengetahun, orangorang Kokoda memerlukan dan membutuhkan pendidikan sebagai transformasi sosial,
masuklah Yayasan Pendidikan Kristen (YPK), dengan jalan pendidikan inilah sebagian
orang-orang Kokoda berpindah agama dari Islam ke kristen. Nilai agama dibangun
berdasarkan pada kebersamaan, sebab itu orang-orang Kokoda katakan agama basudara (ada
keluarga sungguh mereka yang berbeda agama hidup berdampingan dan tidak dipersoalkan).
Agama bukan menjadi penghalang bagi orang-orang Kokoda, simpul dan kekuatan sosial
menjadi hal yang penting, dan agama mengajarkan tentang kedamaian. Agama sebagai tao
dan pencerahan untuk kami orang Kokoda, sehingga leluhur kami meninggalkan kebiasaan
Honge/Wonge (pembunuhan/perang).
Pembagian wilayah/daerah (nyili) di kesultanan Tidore, ada disebut sebagai kulano ngairuha
(Raja Ampat) Raja Salawati, Raja Waigeo, Raja Waigama dan Raja Misol.Di Misol ada dua
kerajaan yakni Raja Misol (Lilinta) pantai selatan dan Raja Waigama di pantai utara.
Kekuasaan Raja Misol yang melintasi ke jajira Onim (fakfak) di Irian/Papua. Atiati Onim,
Rumbati, Patipi, Sekar, Arguni dan Bintunitakluk dibawah perintahnya, (baca: Nuku
Perjuangan Kemerdekaan Maluku Utara).
Kekuasaan kulano ngai ruha (Raja Ampat) tidak menyebutkan atas para Jojau Negeri Besar di
Kokoda Imeko sebagai daerah kekuasaan Raja Misol. Sumber sejarah menyebutkan bahwa

Sangadji gam sio (ma for soa raha), memiliki kemungkinan besar berdiri dengan kekuasaan

Sangadji yang mengendalikan Jojau di negeri besar yang membawahi 5 (lima) jojau telah
disebutkan sebelumnya diatas.
Pengaruh islam di tanah pesisir Papua sudah mengakar, beberapa referensi sejarah lisan dan
tertulis Islam masuk mulanya di Raja Ampat karena mendapat pengaruh kekuasaan
kesultanan Bacan, kemudian kekuasaan Tidore yang mendominasi sampai sejauh ini.
Sehingga Raja Ampat memeluk Islam, namun sumber yang lain bisa kita baca tulisan
Ya’aquub Ibnu Mussa’ad (tokoh muhammadiyah) tentang masuknya Islam di tanah Papua,
memberikan sumber sejarah tentang masuknya Islam di Jazirah Onim (Fakfak) pada abad
16-17, setelah Islam di Tidore dan Ternate pertengahan abad 15. Kemudian syi’ar islam
masuk ke daerah Seram dan Banda, mengutip F.C. Kamma.
F. C. Kamma menulis, “of schoon de bevolking nog heidens was werd deze bestuurd door
Mohammedaanse hoofden. Hire door was het zerr moeiljk om vat de bevolkinf te
krijgen”(ketika penduduk masih kafir, penduduk daerah ini telah di perintah oleh pimpinan
atau raja yang beragama Islam. Karena itu agak sulit untuk penduduk terbuka dalam
penerimaannya terhadap pemerintahan Belanda dan Zending dalam pelaksanaan pekabaran
Injil), (baca: Ya’aquub Ibnu Muss’ad, 2007: 24).Pengetahuan dan sumber sejarah tak hanya
sebagai jastifikasi dan tautoligis pengetahuan semata, dan juga bukan kepentingan
pengetahuan untuk bahan menghitung rengking mana yang pertam dan mana yang kedua,dan

juga bukan hanya menjadi bahan kebanggaan sebagaimana di maksudkan Wittgenstein.
Kearifan ini bisa menjadi roh dan kutup hidup yang baik dan terjaga nilai ashabiya.
Dari sekian cerita sejarah tentang islam dan orang-orang Papua, penulis memberikan satu
silogisme kecorakan paham orang-orang Kokoda tentang “Alkitab tumbuh diatas Al-Quran”
dan “Agama Basudara” tidak bermaksud sebagai intervensi dan hegemoni keyakinan.
Simpel paham-nya bukan bermaksud “Al-Quran yang melahirkan Alkitab (Injil)”, ada sosiofilosofi yang tanda dan penyebutan itu menceritakan tentang sejarah masuknya agama di
tanah Papua. Ritus-ritus penuh arti dan makna. Simbol kekuasaan kesultanan Tidore sampai
sejauh ini masih pekat dengan simbol-simbol marga orang-orang Moi. Pemilik hak
kesulungan di tanah besar kepala burung, pernikahan silang dan akulturasi budaya, banyak
sekali orang-orang Moi di pantai utara menggunakan fam/marga Sangadji, Kapitanlaut, dan
pengetahuan masyarakat setempat marga-marga ini adalah berasal dari Tidore. Diskusidiskusi ringan oleh Jalil Beyete mendorong kembali intelektual aktif kita untuk merenung
atau dalam nandanya Budin Nugroh adalah tautologis, mencoba untuk tenggelam/mendalami
sosi-historis dan sosikultual ini dimaknai sebagai proyek peradaban manusia di negeri besar
Kokoda.Saya telah selesaikan tugas saya sebabagi penulis, kini tugas anda sebagai pembaca.