ESENSI PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF FA

ESENSI PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Syahrul Budiman
A. Pendahuluan

Peserta didik dalam pendidikan Islam ialah setiap manusia
yang sepanjang hayatnya selalu berada dalam perkembangan, bukan
hanya anak-anak yang sedang dalam pengasuhan orangtuanya,
bukan pula hanya anak-anak dalam usia disekolah, tetapi mencakup
seluruh individu. Dalam dunia pendidikan, ada beberapa pandangan
yang berkembang berkaitan dengan peserta didik. Ada yang
mendefenisikan peserta didik sebagai manusia yang belum dewasa,
dan

karenanya,

ia

membutuhkan

pengajaran,


pelatihan

dan

bimbingan dari orang dewasa atau pendidik untuk mengantarkannya
menuju kepada kedewasaan.

Ada pula yang berpendapat bahwa peserta didik adalah
manusia yang memiliki ftrah atau potensi untuk mengembangkan
diri. Fitrah atau potensi tersebut mencakup akal, hati, dan jiwa yang
mana kala diberdayakan secara baik akan menghantarkan seseorang
bertauhid kepada Allah Swt. Kemudian, adapula yang berpendapat
bahwa peserta didik adalah setiap manusia yang menerima pengaruh
positif dari orang dewasa atau pendidik. Dalam arti teknis, bahkan
ada yang menyatakan bahwa peserta didik adalah setiap anak yang
belajar disekolah atau lembaga-lembaga pendidikan formal.

1


Membicarakan peserta didik sebagai bagian dari unsur-unsur
pendidikan ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan, dan
itu akan diuraikan dalam pembahasan ini, antar lain: peserta didik
dalam perspektif flsafat pendidikan Islam, tugas dan tanggung jawab
peserta didik, sifat-sifat yang harus dimiliki peserta didik.

B. Peserta Didik dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam.

Dalam falsafah pendidikan Islami, semua makhluk pada
dasarnya adalah peserta didik. Sebab, dalam Islam, sebagai Murabbi,
Mu’allim atau Muaddib, Allah Swt pada hakikatnya adalah pendidik
bagi makjluk ciptaan-Nya. Dia lah yang Mencipta dan Memelihara
seluruh makhluk. Pemeliharaan Allah Swt mencakup sekaligus
kependidikan-Nya, baik dalam artu Tarbiyah, ta’lim maupun ta’di.
Karenanya, dalam perspektif falsafah pendidikan Islam, peserta didik
itu mencakup seluruh makhluk ciptaan Allah Swt, seperti makhluk
jin, malaikat, manusia, tumbuhan, hewan, dan sebagainya.1

Namun, dalam arti khusus – dalam perspektif falsafah
pendidikan Islami – peserta didik adalah al-Insan, al-Basyar atau Bany

Adam yang sedang berada dalam proses perkembangan menuju
kepada kesempurnaan atau suatu kondisi yang dipandang sempurna
(al-Insan al-Kamil). Terma al-Insan, al-Basyar, atau Bany Adam dalam
defenisi ini memberikan makna bahwa kedirian peserta didik ini
tersusun dari unsur-unsur jasmani, ruhani, dan memiliki kesamaan
1

Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami; Membangun Kerangka Ontologi,
Epistemologi dan Aksiologi Praktik Pendidikan (Bandung: Citapustaka Media, 2012), h. 148

2

universal,

yakni

sebagai

makhluk


yang

diturunkan

atau

dikembangbiakkan dari Adam a.s. Kemudian, terma perkembangan
dalam pengertian ini berkaitan dengan proses mengarahkan kedirian
peserta didik , baik dari fsik (jismiah) maupun diri psikhis (ruhiyah) –
‘aql, nafs, qalb-agar mampu menjalankan fungsi-fungsinya secara
sempurna.

Dalam

pengertian

di

atas,


yang

dimaksud

dengan

kesempurnaan adalah suata keadaan dimana dimensi jismiah dan
ruhiyah peserta didik, melalui proses ta’lim, tarbiyah atau ta’dib ,
diarahkan secara bertahap dan berkesinambungan untuk mencapai
tingkatan terbaik dalam kemampuan mengaktualisasikan seluruh
daya atau kekuatannya (quwwah al-jismiah wa al-ruhiyah). Dalam
perspektif ini secara sederhana, kesempurnaan dimensi jismiah adalah
suatu kondisi dimana seluruh unsur atau anggota jasmani manusia
mencapai tingkatan terbaik dalam kemampuannya melakukan tugastugas fsikal-biologis, seperti bergerak, berpindah, dan melakukan
berbagai aktivitas fsikal lainnya. Demikian pula halnya dengan
kesempurnaan dimensi ruhiyah. Dalam makna ini ‘aql, nafs dan qalb,
peserta didik mencapai tingkatan terbaik dalam berpikir atau menalar
(al-‘aql al-mustasyfad), dalam mengendalikn dan mensucikan diri (alnafs al-muthmainnah), dan dalam menangkap cahaya (qalb al-salim).2

Berdasarkan pengertian di atas, dalam perspektif falsafah

pendidikan Islami, pada halilatnya manusia adalah peserta didik.
Sebab pada hakikatnya, semua manusia adalah makhluk yang
2

Ibid., h. 149-150

3

senantiasa berada dalam proses perjalanan menuju kesempurnaan
atau suatu tingkatan yang dipandang semmpurna, dan proses itu
berlangsung sepanjang hayat. Sebab, sesuai dengan naturnya, sebagai
realitas

relatif-manusia

‘sempurna’.

Semua

adalah


manusia

makhluk
berada

yang

dalam

tidak
proses

pernah
menuju

kesempurnaan atau suatu tingkatan yang dipandang sempurna.
Untuk itu, semua manusia harus belajar dan membelajarkan diri.
karenanya Nabi Saw menegaskan : tuntutlah ilmu dari buaian hingga
liang lahat. Itu artinya, manusia harus menjadi peserta didik atau

pembelajar sepanjang masa kehidupannya.

Dalam tradisi pendidikan Islam, ada beberapa ungkapan
populer yang digunakan untuk menyebut peserta didik, diantaranya
murid, thalib al-‘ilm (jamaknya al-tullab),

dan tilmidz (jamaknya

talamidz). Terma murid berarti orang yang memerlukan atau
membutuhkan sesuatu, dalam hal ini pendidikan. Kemudian terma
tilmidz

menurut

Munawwir

sebagaimana

dikutip


Al-Rasyidin

diartikan juga murid3 , yaitu orang yang berguru kepada seseorang
untuk mendapatkan pengetahuan. sedangkan terma thalib al-‘ilm
berasal dari kata thalab yang berarti pencari, penuntut, atau pelamar 4,
dan ‘ilm yang bermakna pengetahuan. Dengan demikian, thalib al-ilm
– sering digunakan untuk menyebut para pelajar pada tingkat
pendidikan menengah atau mahasiswa di perguruan tinggi.5

3

A. W. Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, cet. Ke–14 (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), h. 138
4
Ibid., h. 858
5
Al-Rasyidin, Fasafah Pendidikan Islami, h. 150

4


Selain istilah-istilah di atas, Al-Rasyidin yang dikutip oleh
Zainuddin dan Mohd. Nasir dalam bukunya Filsafat Pendidikan
Islam, setidaknya ada 3 istilah peserta didik yang dapat dirangkum
dalam esensi flsafat pendidikan Islam. Ketiga istilah tersebut yaitu: 6

Pertama, term mutarobbi mengandung pengertian bahwa
peserta didik dalam arti

manusia yang selalu memerlukan

pendidikan, baik dalam arti pengasuhan dan pemeliharaan fsik –
biologis, penambahan pengetahuan dan keterampilan, tuntunan dan
pemeliharaan diri, serta pembimbingan jiwa. Dengan demikian,
mutarabbi mampu melaksanakan fungsi dan tugas penciptaan Allah
Swt. Tuhan maha Pencipta, Pemelihara dan Pendidik bagi alam
semesta.

Kedua, muta’allim, peserta didik mempelajari semua alasma’kullah yang terdapat pada ayat-ayat kauniyah maupun quraniyah
dalam rangka pencapaian pengenalan, peneguhan dan aktualisasi
syahadah primordial yang telah pernah ia ikrarkan di hadapan Allah

Swt. Kemampuan peserta didik merealisasikan terhadap apa yang
pernah ia nyatakan ini merupakan esensi dari peserta didik itu sendiri
dalam flsafat pendidikan Islam.
Ketiga, muta’addib, merupakan proses pendisiplinan adab ke
dalam jism, dan ruhnya, sehingga akal, ruh dan hatinya terisi dengan
adab melalui mua’dib (pendidik). Esensinya dalam mutaadib dalam
pendisiplinan adab adalah ahklak, yaitu syariat yang menata
6

Zainuddin dan Mohd. Nasir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Citapustaka
Media, 2010), h. 102.

5

hubungan komunikasi antara manusia dengan dirinya sendiri,
sesamanya dan mahkluk Allah lainnya termasuk dalam semesta ini
serta juga kepada sang Pencipta dan Pemelihara serta Pendidik alam
semesta.7

C. Tugas dan Tanggungjawab Peserta Didik.

Tujuan dari setiap proses pembelajaran adalah mentarbiyah,
menta’lim atau menta’dibkan al-‘Ilm ke dalam diri setiap peserta didik.
Al-Ilm yang akan dita’lim, ditarbiyah atau ta’dibkan tersebut adalah alHaqq, yaitu semua kebenaran yang bersumber dan datang dari Allah
Swt, baik yang didatangkan-Nya melalui Nabi dan Rasul (al-ayah alquraniyah),maupun yang dihamparkan-Nya pada seluruh alam
semesta, termasuk diri manusia itu sendiri (al-ayah al-kauniyah). Al-Ilm
tersebut merupakan penunjuk jalan bagi peserta didik untuk
mengenali dan meneguhkan kembali syahadah primordialnya kepada
Allah Swt sehingga ia mampu mengaktualisasikannya dalam
kehidupan keseharian. Karenanya, dalam konteks ini, tugas utama
setiap peserta didik adalah mempelajari al-‘ilm dan mempraktikkan
atau mengamalkannya sepanjang kehidupan.8

Berkenaan dengan tugas utama yang harus dilakukan peserta
didik ini, sebagaimana dikutip Al-Rasyidin dalam Mausu’ah al-sunnah
al-Kutub al-sitah wa syarhuha, Rasulullah saw melalui salah satu hadis
menegaskan : menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan
7

Ibid., h. 103
Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami, h. 151-152

8

6

muslimat.9 Proses menuntut atau mempelajari al-‘ilm itu dapat
dilakukan dengan berbagai cara, seperti membaca, baik yang tersurat
maupun yang tersirat, mengeksplorasi, meneliti, dan mencermati
fenomena

diri,

alam

semesta,

dan

sejarah

umat

manusia;

berkontemplasi, berpikir, atau menalar, berdialog, berdiskusi atau
bermusyarah, mencontoh atau meneladani, mendengarkan nasehat,
bimbingan, pengajaran dan peringatan, memetik ‘ibrah atau hikmah,
melatih atau membiasakan diri, dan masih banyak lagi aktivitas
belajar lainnya yang harus dilakukan setiap peserta didik untuk
meraih al-ilm dan mengamalkannya dalam kehidupan.

Seluruh aktivitas pembelajaran sebagaimana dipaparkan di atas
wajib ditempuh atau dilakukan peserta didik dalam proses belajar
atau menuntut al-‘ilm. Karenanya, peserta didik tidak boleh
mencukupkan aktivitas belajarnya pada satu aktivitas saja. Dalam
berbagai surah, alquran senantiasa menyeru manusia untuk berpikir,
mengingat, membaca, mengambil pelajaran, memetik hikmah.
Bereksplorasi, bertadabbur, dan sebagainya. Semua itu dimaksudkan
agar peserta didik mengembangkan potensi jismiyah dan ruhiyahnya
sehingga mampu diberdayakan dalam rangka aktualisasi diri sebagai
makhluk yang bersyahadah kepada Allah Swt, beribadah secara tulus
ikhlas hanya kepada-Nya, dan menjadi khalifah atau pemimpin dan
pemakmur kehidupan dibumi.

9

Abdurrahman Ahmad ibn Syu’aib, Mausu’ah al-Sunnah al-Kutub al-Sitah wa
Syarhuha : Sunan Ibn Majah, juz II (Beirut: Dar al-Sahnun, 1992), h. 120

7

Berkenaan dengan tanggung jawab, dalam perspektif falsafah
pendidikan Islami, tanggung jawab utama peserta didik adalah
memelihara agar semua potensi yang dianugerahkan Allah Swt
kepadanya dapat diberdayakan sebagaimana mestinya. Dimensi
jismiyah wajib dipelihara, agar secara fsikal peserta didik mampu
melakukan aktivitas belajar, meskipun harus melakukan rihlah ke
berbagai tempat. Demikian pula, dimensi ruhiyah juga wajib
dipelihara, agar bisa difungsikan sebagai energi atau kekuatan untuk
melakukan aktivitas belajar. Ketika peserta didik tidak mampu
memelihara dimensi jismiyah dan ruhiyahnya, maka energi, daya, atau
kemampuan membelajarkan diri akan terganggu, bahkan bisa
menjadi tidak mampu. Karenanya, sebagaimana juga dikemukakan
Nata 10, agar tetap mampu melakukan aktivitas belajar, setiap peserta
didik memerlukan kesiapan fsik prima, akal yang sehat, pikiran yang
jernih, dan jiwa yang tenang. Untuk itu, perlu adanya upaya
pemeliharaan dan perawatan secara sungguh-sungguh semua potensi
yang

bisa

digunakan

untuk

belajar

atau

menuntut

ilmu

sebagaimana

yang

pengetahuan.11

Athiyah
dikutip

al-Abrasyi12

Al-Rasyidin

bahwa

mengemukakan

kewajiban-kewajiban

yang

harus

senantiasa dilakukan peserta didik adalah:

10

Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logois Wacana Ilmu, 1997), h.

82
11

Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami, h. 152-153
M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam,cet. Ke-6, terj. Bustami
A. Gani dan Dojhar Bahry (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 147-148.
12

8

1. Sebelum memulai aktivitas pembelajaran, peserta didik harus
terlebih dahulu membersihkan hatinya dari sifat yang buruk,
karena belajar mengajar itu merupakan ibadah dan ibadah harus
dilakukan dengan hati yang bersih.
2. Peserta didik belajar harus dengan maksud mengisi jiwanya
dengan berbagai keutamaan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
3. Bersedia mencari ilmu ke berbagai tempat yang jauh sekalipun,
meskipun harus meninggalkan keluarga dan tanah air.
4. Tidak terlalu sering menukar guru, dan hendaklah berpikir
panjang sebelum menukar guru.
5. Hendaklah

menghormati

guru,

memuliakan

dan

mengangungkannya karena Allah serta berupaya menyenangkan
hatinya dengan cara yang baik.
6. Jangan merepotkan guru, jangan berjalan dihadapannya, jangan
duduk ditempat duduknya, dan jangan mulai bicara sebelum
diizinkan guru.
7. Jangan membukakan rahasia kepada guru atau meminta guru
membukakan rahasia, dan jangan pula menipunya.
8. Bersungguh-sungguh dan tekun dalam belajar
9. Saling bersaudara dan mencintai antara sesama peserta didik.
10. Peserta didik harus terlebih dahulu memberi salam kepada guru
dan mengurangi percakapan dihadapan gurunya.
11. Peserta didik hendaknya senantiasa mengulangi pelajaran, baik
diwaktu senja dan menjelang subuh atau diantara waktu Isya’ dan
makan sahur

9

12. Bertekad untuk belajar seumur hidup.13
D. Sifat-sifat yang Harus dimiliki oleh Peserta Didik.

Belajar bukanlah aktivitas yang mudah untuk dilakukan.
Meskipun seorang peserta didik telah mendatangi sejumlah guru dan
membaca banyak buku, namun hasil belajar yang baik belum tentu
bisa dicapai. Belajar tidak hanya membutuhkan kehadiran, apalagi
dalam arti fsik, tetapi juga kemauan, kasadaran, kesabaran, dan
masih banyak lagi sifat-sifat lain yang idealnya dimiliki peserta didik.
Dalam perspektif Islam, kepemilikan sifat-sifat itu merupakan
prasyarat untuk mempermudah jalannya proses pembelajaran,
berhasilnya pencapaian tujuan, berkahnya ilmu pengetahuan, dan
kemampuan mengamalkan ilmu dalam kehidupan.

Sesuai dengan karakter dasarnya, dalam Islam, ilmu itu
datangnya dari al-Haq dan karenanya ia merupakan al-Nur atau
cahaya kebenaran yang akan menerangi kehidupan para pencarinya.
Sebagai al-Haq, Allah Swt Maha Suci, dan kesucian_Nya hanya bisa
dihampiri oleh yang suci pula. Karenanya, sifat utama dan pertama
yang harus dimiliki peserta didik adalah mensucikan diri atau
jiwanya (tazkiyah) sebelum menuntut ilmu pengetahuan.14

Dalam Islam, al-‘Ilm yang harus di-ta’lim, di-tarbiyah, atau dita’dibkan ke dalam diri peserta didik adalah al-Nur (cahaya, kebenaran
13
14

M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, h. 148
Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami, h. 154-155

10

atau hidayah Allah). Agar al-Ilm atau al-Nur tersebut bisa tertanam
dan bersemi dalam diri dan kepribadian peserta didik, maka al-jism,
al-‘aqal, al-nafs dan al-qalb –nya harus terlebih dahulu ditadzkiyah,
dibersihkan atau disucikan. Itulah sebabnya, mengapa para nabi dan
rasul ditugaskan untuk melakukan proses pensucian (tadzkiyah)
terlebih dahulu sebelum menta’limkan al-Kitab, al-Hikmah, dan al-‘ilm
kepada umatnya.

Hal di atas sesuai dengan frman Allah Swt dalam Surah AlBaqarah ayat 151 :

Artinya :
“ Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami
kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu
yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan
kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.15
Tadzkiyah juga di singgung dalam Surah Ali ‘Imran ayat 164
yaitu :

15

Tim Penyusun Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Bogor: SABIQ, 2013), h. 23

11

Artinya:
“ Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang
yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul
dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka
ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan
kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum
(kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan
yang nyata.16
Dan Surah al-Jumu’ah ayat 2 yaitu:

Artinya:
“ Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf
seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab
dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”17

Ada 2 titik fokus perhatian peserta didik dalam mensucikan
diri atau jiwanya (tadzkiyah). Pertama, dari sisi jasmani, peserta didik
harus mampu mentadzkiyah tuubuhnya dari kotoran, najis, makanan
dan minuman yang haram, serta dosa-dosa fsik lainnya. Sebagaimana
yang dikutip Al-Rasyidin dalam bukunya Hasan Asari yang berjudul
Etika Akademis dalam Islam, bahwa peserta didik harus menjaga agar
16
17

Ibid., h. 71.
Ibid., h. 553

12

setiap kebutuhannya, makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal,
dan lain-lain, semuanya dari bahan dan diperoleh lewat cara-cara
yang

halal

memberikan

dan

bersih.18

nafah

Itulah

yang

pentingnya

halal-baik

benda

setiap

orangtua

maupun

cara

memperolehnya kepada anak-anaknya.

Kedua, dari sisi ruhaniah, yaitu setiap peserta didik harus
mampu membersihkan pemikiran, jiwa dan hatinya sebelum
menuntut ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, sebelum belajar atau
membelajarkan diri, peserta didik harus membersihkan ‘’aql, nafs, dan
qalb-nya, agar ilmu yang dita’lim, ditarbiyah, atau dita’dibkan pendidik
ke dalam dirinya bisa bersemi, terinternalisasi, tumbuh dan
berkembang, dan menjadi bagian integral dari diri dan kepribadian
mereka. Sifat lainnnya yang wajib dimiliki setiap peserta didik adalah
sabar. 19
Sifat-sifat terpuji yang harus dimiliki setiap penuntut ilmu
pengetahuan antara lain adalah:
1.

Mentauhidkan Allah Swt, dalam arti mengakui dan meyakini
bahwa semua ilmu engetahuan bersumber dari-Nya.

2.

Menyiapkan dan mensucikan diri, baik diri jasmani maupun
ruhani, untuk dita’lim, ditarbiyah dan dita’dib oleh Allah Swt.

3.

Peserta didik harus senantiasa mengharapkan keridhaan Allah Swt
dalam aktivitasnya menuntut ilmu pengetahuan.

18

Hasan Asari, Etika Akademis dalam Islam, Studi tentang Kitab Tazkirat al-Sami wa
al-Mutakallim Karya Ibn Jama’ah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), h. 72
19
Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami, h. 156

13

4.

Peserta didik harus senantiasa berdoa kepada Allah Swt agar
kedalam dirinya senantiasa ditambahkan ilmu pengetahuan.

5.

Setelah

ilmu

pengetahuan

diraih,

maka

aktualisasi

atau

pengalamannya merupakan bentuk konkrit dari akhlak terpuji
peserta didik terhadap Allah Swt.20

E. SIMPULAN.

Peserta

didik

adalah

anak

yang

sedang

tumbuh

dan

berkembang baik secara fsik maupun psikologis, untuk mencapai
tujuan pendidikan melalui lembaga pendidikan. Dalam perspektif
falsafah pendidikan Islam seluruh makhluk ciptaan Allah Swt
merupakan peserta didik. Namun secara khusus dalam pendidikan
Islam, peserta didik adalah seluruh al insan, al-basyar atau bany adam
yang sedang menuju al-insan al-kamil, baik dalam pengertian jismiyah
maupun ruhiyah.

Selain istilah murid, thalib dan tilmidz dan ada 3 istilah lain yang
dapat dirangkum dalam esensi flsafat pendidikan Islam. Ketiga
istilah tersebut yaitu pertama, term mutarobbi. Kedua, muta’allim, dan
Ketiga, muta’addib.

20

Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami, h. 159-160

14

DAFTAR PUSTAKA

Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami; Membangun Kerangka Ontologi,
Epistemologi dan Aksiologi Praktik Pendidikan Bandung: Citapustaka
Media, 2012.
Abdurrahman Ahmad ibn Syu’aib, Mausu’ah al-Sunnah al-Kutub al-Sitah
wa Syarhuha : Sunan Ibn Majah, juz II Beirut: Dar al-Sahnun, 1992

15

W. Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, cet. Ke–14 Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997.
Hasan Asari, Etika Akademis dalam Islam, Studi tentang Kitab Tazkirat al-Sami
wa al-Mutakallim Karya Ibn Jama’ah Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008.
M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam,cet. Ke-6, terj.
Bustami A. Gani dan Dojhar Bahry Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Tim Penyusun Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, Bogor: SABIQ, 2013
Zainuddin dan Mohd. Nasir, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung:
Citapustaka Media, 2010.

16