LEGISLASI HUKIM ISLAM DI INDONESIA

LEGISLASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh
Dosen pengampu: Hj. Fatma Amilia, S.Ag, M.Si.

Disusun oleh:
Dian Munawaroh M.R

13690050

Ragil Ristiyanti

13690051

Arizal Adi P.

13690052

Ayi Muthi Nahdiyanti

13690053


Fuad Wafa

13690055

Uswatun Khasanah

13690056

PENDIDIKAN FISIKA 2015/2016
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Legislasi hukum adalah pembentukan hukum tertulis melalui negara. Bagaimana
pandangan tentang legislasi hukum Islam dan dalam konteks Indonesia, seberapa penting
legaslasi hukum Islam itu dilakukan ?Menyorot legislasi hukum Islam, khususnya dalam
konteks ke Indonesiaan serta pentingnya legislasi hukum Islam itu sendiri dapat kita lihat

melalui pendekatan historis dan tinjauan terhadap esensi, eksistensi, pelembagaan,
pembaharuan, pengembangan dan prospek penerapannya dalam konteks Indonesia.
Dalam perjalanan sejarah hukum islam, legislasi hukum islam berkembang dari
masa ke masa. Mulai periode awal yaitu pada masa Rasulullah SAW (11 H. /632 M. ),
masa khulafaurrosyidin, masa awal pertumbuhan hukum fiqih sampai penentuan hukumhukum islam di Indonesia terus mengalami perkembangan.
Adapun tujuan legislasi hukum islam itu sendiri tidak lain adalah untuk
memperjelas pengkodifikasian, pengelompokan atau pengklasifikasian hukum-hukum
islam di Indonesia sehingga mempermudah dalam penentuan atau penetapan suatu
hukum.

Apalagi di Indonesia sendiri merupakan negara terbesar yang mayoritas

penduduknya adalah muslim.
Oleh karena itu sangat penting untuk dibahas mengenai legislasi hukum-hukum
islam yang diterapkan di negara kita Indonesia naik dari segi penentuan maupun
pelaksanaannya, sehingga sebagai seorang Muslim dan seorang penduduk kita tidak buta
akan hukum-hukum yang berlaku di negara sendiri.
B. Tujuan
1. Mengetahui pengertian, tujuan dan sejarah legislasi hukum islam di Indonesia
2. Mengetahui teori pemikiran dan strategi penerapan hukum islam di Indonesia

3. Mengetahui pelaksanaan legislasi dan studi kasus hukum islam di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Legislasi Hukum Islam
Legislasi secara bahasa sering disebut juga dengan legalisasi. Legislasi merupakan
cara yang digunakan untuk mengesahkan hukum di suatu negara.

Tujuan dari

legislasi adalah untuk mengemukakan hukum, bukan sebagaimana adanya saat ini
atau dahulu tetapi sebagaimana seharusnya. Dengan demikian suatu prinsip baru
yang digariskan oleh keputusan yudisial dapat dikatakan sebagai ketentuan legislasi,
sedangkan tidak demikian halnya, sebab legislasi dalam artian yang luas adalah
sumber hukum yang berupa deklarasi aturan-aturan hukum otoria yang berkompeten
dari kekuasaan yang berdaulat di dalam negara yang tidak dapat dihapuskan atau
digugurkan oleh otoria legislatif lain dari manapun. sedangkan dalam artian sempit
legislsi adalah aturan yang berseumber dari suatu otoria yang lain daripada kekuasaan
yang berdaulat selain itu eksistensi dan validitasnya bergantung pada suatu otoria
yang tertinggi atauyang lebih tinggi.


Legislasi dalam pengerian ini, dapat

diklasifikasikan dalam legislasi tingkat tinggi dan legislasi tingkat rendah. Legislasi
tingkat tinggi bersumber pada kekuasaan yang tertinggi dalam negara atau disebut
(kehendak negara). Hukum Islam adalah kehendak Tuhan, dan fungsi negara adalah
untuk memberlakukannya, bukan untuk menciptakannya. Hukum Islam berwatak etis
muncul dari resep-resep Al-Qur’an bagi perilaku sosial. Negara membuat keterangan
hukumnya daripadanya dan hanya sedikit mempunyai andil atau bagian dalam
pembentukannya.
B. Teori Pemikiran dan Strategi Penerapan Hukum Islam Di Indonesia
a. Secara konseptual, sungguhnya telah banyak teori pemikiran mengenai penerapan
hukum Islam (syari’at) di Indonesia, antara lain:
1. Teori pemikiran formalistik-legalistik.
Berpendapat Bahwa penerapan syari’at Islam harus melalui institusi
negara. Hal ini disampaikan oleh Habib Riziq Shihab, ketua Front Pembela Islam.
Berkaitan dengan pertanyaan: apakah syari’at Islam harus diformulasikan dalam
sebuah konstitusi, Rizik menjawab: ”Ya. ” Negara itu nantinya dapat menjaga

berjalannya syari’at. karena itu formalisasi syari’at melalui konstitusi atau undangundang harus diusahakan untuk menjaga subtansi syari’at agar agama bisa dijalankan

secara baik. Oleh karena itu beliau tidak setuju memisahkan antara subtansi dan
formal.
Menjadi keyakinan bahwa tidak akan ada kemuliaan kecuali dengan
Islam; tidak ada Islam kecuali dengan syari’at; dan tidak ada syari’at kecuali dengan
daulah (negara).

Pemikiran ini disampaikan dengan mengemukakan suatu

argumentasi berdasarkan fakta sejarah dan keyakinan bahwa aturan Allah pastilah
yang terbaik. Hanya syari’at sajalah yang mampu menjawab segala persoalan yang
tengah membelit umat Islam Indonesia baik di lapangan ekonomi, politik, sosial,
budaya, maupun pendidikan.
2. Teori Pemikiran Strukturalistik.
Pendekatan ini menekankan transformasi dalam tatanan sosial dan politik
agar bercorak Islami. Transformasi melalui pendekatan struktural dimaksudkan dapat
mempengaruhi transformasi perilaku sosial sehingga lebih Islami. Sebaliknya
transformasi prilaku sosial diharapkan dapat mempengaruhi transformasi institusiinstitusi sosial dan politik menjadi lebih Islami. Pendekatan struktural mensyaratkan
pendekatan politik, lobi atau melalui sosialisasi ide-ide Islam, kemudian menjadi
masukan bagi kebijakan umum.
Salah seorang pendukung utama pendekatan ini adalah Amin Rais, yang

berpendapat sebagaimana dikutip oleh Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad, bahwa
transformasi nilai-nilai Islam melalui kegiatan dakwah harus mencakup segala
dimensi kehidupan manusia. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan politik, ekonomi,
sosial, budaya, ilmiah, dan lainnya harus menjadi sarana untuk merealisasikan nilainilai Islam.

Konsekuensi dari pandangan ini, Amin mendukung perumusan dan

implementasi sistem sosial Islam termasuk melegislasi hukum Islam dalam tata
hukum negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
3. Teori Pemikiran Kulturalistik.
Pendekatan ini hanya mensyaratkan sosialisasi dan internalisasi syari’at
Islam oleh umat Islam sendiri, tanpa dukungan langsung dari otoritas politik dan
institusi negara. Para pendukung pendekatan kultural ini ingin menjadikan Islam

sebagai sumber etika dan moral; sebagi sumber inspirasi dan motivasi dalam
kehidupan bangsa bahkan dalam pembentukan struktur sosial. Pendukung utama
pendekatan kultural ini adalah Abdurrahman Wahid. Beliau menyadari bahwa secara
historis ekspresi ideologi Islam tidak berhasil. Menurutnya Islam harus bertindak
sebagai faktor komplementer untuk mengembangkan sistem sosio-ekonomi dan
politik, bukan sebagai faktor alternatif yang dapat membawa dampak disintegratif

kehidupan bangsa secara keseluruhan. Menurut beliau, umat Islam telah dapat
menerima

falsafah

negara,

sementara

pada

saat

yang

bersamaan

masih

mempertahankan jalan hidup “Islamnya” dalam varian lokal dan individu. Oleh

karena itu Beliau tidak menyetujui idealisme Islam dalam sebuah sistem sosial.
Mengenai legislasi hukum Islam, menurut Abdurrahman Wahid, bahwa
tidak semua ajaran Islam dilegislasi oleh negara. Banyak hukum negara yang berlaku
secara murni dalam bimbingn moral yang terimplementasikan dalam kesadaran penuh
masyarakat. Kejayaan hukum agama tidak akan hilang dengan fungsinya sebagai
sebuah

sistem

etika

sosial.

Kejayaannya

bahkan

akan

pengembangannya dapat terjadi tanpa dukungan dari negara.


tampak

karena

Karena alasan ini,

Beliau lebih cenderung untuk menjadikan syariat’at Islam sebagai sebuah
perintahmoral(moral injuction) daripada sebagai sebuah tatanan legalistik-formalistik.
4. Teori Pemikiran Subtantialistik-Aplikatif.
Di kalangan akademis, pemikiran penerapan syari’at Islam lebih cendrung
kepada analisis akademis yang tidak menunjukan pro dan kontra karena mereka tidak
memihak kepada pendapat siapapun dan pihak manapun. Pemikiran ini hanya lahir
dari sudut teoritik ajaran Islam yang bersifat dogmatis dan aplikatif. Penerapannya
diserahkan kepada umat Islam sendiri; apakah harus berdasarkan otoritas negara atau
bersifat struktural, kultural, substansial, individu, atau kolektif. Misalnya komentar
Juhaya S. Praja, Guru Besar Hukum Islam IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, atas
wacana bagaimana menjadikan hukum Islam sebagai penunjang pembangunan dalam
kerangka sistem hukum Pancasila. Menurutnya, walaupun dalam praktik tidak lagi
berperan secara penuh dan menyeluruh, hukum Islam masih memiliki arti besar bagi

kehidupan para pemeluknya. Setidak-tidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan
hukum Islam masih memiliki peran besar dalam kehidupan bangsa. Pertama, hukum

Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam,
minimal menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk; apa yang menjadi
perintah, anjuran, perkenaan, dan larangan agama. Kedua, banyak putusan hukum
dan yurisprudensial dari hukum Islam telah diserap menjadi hukum positif yang
berlaku. Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis di kalangan
umat Islam dari berbagai negeri sehingga penerapan hukum Islam secara penuh masih
menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai daya tarik cukup besar.
Muhammad Daud Ali, Guru Besar Hukum Islam UI, menjelaskan bahwa
hukum Islam yang berlaku di Indonesia ada dua macam, yaitu secara normatif dan
formal yuridis. Hukum Islam yang berlaku secara nomatif adalah bagian hukum
Islam yang mempunyai sanksi kemasyarakatan apabila norma-norma itu dilanggar.
Kuat tidaknya sanksi kemasyarakatan tergantung pada kuat lemahnya kesadaran umat
Islam akan norma-norma normatif itu. Hukum Islam yang bersifat normatif antara
lain salat, puasa, zakat, dan haji. Menurut pendapatnya, hampir semua hukum Islam
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan bersifat normatif. dipatuhi tidaknya
hukum Islam yang berlaku scara normatif itu tergantung dari kesadaran imannya.
Berkaitan dengan hukum Islam yang berlaku secara formal-yuridis, Daud

Ali berkomentar bahwa hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia lainnya dan benda dengan masyarakat.

Di dalam proses peralihannya

menjadi hukum positif harus berdasarkan atau ditunjuk oleh peraturan dan
perundang-undangan, misalnya hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum
wakaf yang telah dikompilasikan.
b. Strategi Legislasi Hukum Islam dalam Hukum Nasional.
Hukum Islam memiliki cakupan lebih luas dari pada hukum nasional,
maka sebagian ketentuannya tidak membutuhkan kekuasaan negara untuk
penegakkannya. Hal ini bergantung pada situasi dan kondisi. Dengan demikian, tidak
semua ketentuan hukum islam perlu dilegislasikan. Ketentuan hukum islam yang
perlu dilegislasi adalah ketentuan hukum yang memiliki kategori :
1. Penegakannya memerlukan bantuan kekuasaan negara.
2. Berkorelasi dengan ketertiban umum.

Kekuasaan negara yang diperlukan untuk penegakan hukum islam adalah kekuasaan
peradilan, misalnya dalam kasus perceraian, pewarisan, dan kekuasaan administrative
(misalnya : pencatatan perkawinan dan pencatatan wakaf).
Untuk strategi dan upaya integrasi hukum islam bagi pembinaan hukum
nasioanal, tergantung pada tiga komponen sebagai berikut :
1. Komponen Struktur
Struktur politik Indonesia yang di dalamnya terdapat mayoritas penganut
Islam harus memiliki komitmen terhadap keberadaan (eksistensi) dan keefektifan
berlakunya hukum Islam di Indonesia. Artinya pemahaman keagamaan tidak
hanya berdasarkan teks-teks formal, tetapi juga melihat kondisi sosio-kultural
masyarakat bangsa Indonesia serta filosofi ajaran Islam itu sendiri, yakni untuk
kemaslahatan, keadilan, dan rahmat bagi umat manusia. Kondisi masyarakat
yang perlu diperhatikan adalah kemajemukan, baik dari segi agama maupun
tingkat penghayatan keagamaan, sementara tingkat pendidikan dan ekonomi
masyarakat secara umum masih rendah. Tentu produk dari penafsiran seperti ini
suatu saat bisa berubah jika kondisi sosio-kultural itu mengalami perubahan.
2. Komponen Subtansi
Subtansi hukum Islam yang diangkat ke dalam hukum nasional perlu
pengkajian lebih mendalam.

Pengkajian inipun tidak mudah, karena luasnya

cakupan (materi) hukum Islam yang dikaji.

Karena itu, sebelum mengkaji

bidang-bidang hukum tertentu, perlu pengkategorian hukum Islam mana yang
bisa bertranformasi ke dalam hukum nasional. Pengkajian subtansi diarahkan
pada aspek dinamikanya dalam rangka beradaptasi dengan hukum nasional yang
di dalamnya unsur kebhinekaan. Subtansi hukum Islam yang dinilai kaku oleh
sebagaian kalangan, bahkan mungkin menakutkan karena sikap absolut
pemeluknya, perlu dikaji lebih serius agar lebih bersifat terbuka dan kontekstual,
dalam arti terbuka bagi penafsiran baru yang lebih sesuai dengan konteks sosial
keindonesiaan dan kekinian, sehingga hukum Islam akan integrated dalam hukum
nasional bukan separated.

3. Komponen Kultur
Berfungsinya hukum Islam secara efektif dalam masyarakat harus melalui
proses pelembagaan (institusionalization), agar hukum Islam menjadi bagian
darisuatu lembaga sosial. Pelembagaan yakni suatu proses ketika norma-norma
hukum Islam dapat diketahui, dipahami, dinilai, dihargai, dijiwai dan ditaati oleh
sebagian besar masyarakat. Masyarakat akan menghargai dan mentaati hukum
Islam, apabila hukum tersebut benar-benar menjamin kemaslahatan hidup mereka
di dunia dan di akhirat, ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan lahir dan
batin, baik secara individu maupun sosial. 26 Dengan kata lain, hukum Islam
harus mampu memfasilitasi manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidupnya.

Sosok hukum Islam seperti ini juga sangat ditentukan oleh

”subtansinya,” karena itu untuk dapat memperoleh dukungan kultur, maka
subtansinya perlu dibenahi lebih dahulu.
C. Sejarah Legislasi Hukum Islam Di Indonesia
a. Hukum Islam Pada Era Pra-Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah
dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan
masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara
pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah
para pendatang muslim.

Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian

membentuk

Islam

masyarakat

pertama

di

Peureulak,

Aceh

Timur.

Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh
berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan
ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah
nusatara, kemudian menyebabkan beberapa kerajaaan Islam berdiri menyusul
berdirinya Keajaan Samudra Pasai di Aceh.

Tidak jauh dari Aceh berdiri

Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kerajaan Demak, Mataram, dan
Cirebon. Kemudian di Sulawesiberdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate
serte Tidore. Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah,

tentu saja menerapkan hukumIslam sebagai hukum positif di setiap kesultanan
tersebut tentu sja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di
tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini telah dibuktikan dengan
adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulamanusantara pada sekitar
abad 16 dan 17, dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda
datang ke kawasan nusantara.
b. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan
kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang
lebih dikenal dengan VOC.

Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat

dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya.

Karena itu disamping

menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam
menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan.

Tentu saja dengan menggunakan

hukum Belanda yang mereka bawa. Dalam kenyataannya, penggunaan hukum
Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat
menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka.

Akibatnya, VOC pun

membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah
mereka jalankan.

Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa

“kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
1.

Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan
bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.

2.

Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di
tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini
kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.

3.

Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di
Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.

Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang
peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali.

Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun
(1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia
Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan
kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan
akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya,
khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah
sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan
masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat
pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek
batiniah (spiritual) saja. Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga
menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada
tahun 1942. Maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah
Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut:
1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik
Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali
dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
2. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische
Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang
intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama
Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh
sesuatu ordonasi.
c. Hukum Islam Pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima
militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera
Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan.

Salah satu diantaranya

adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa
Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh
Gubernur Jendral Hindia Belanda. Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan

Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di
Indonesia. Diantaranya adalah:
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai
agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa
Indonesia sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan
oktober 1943.
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi
berdirinya PETA.
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan
kewenangan Pengadilan Agama
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam
selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa
pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru
bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan.
Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,
Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam.

Islam tidak

memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau
pengadilan-pengadilan Islam.

Belanda menjalankan kebijakan politik yang

memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari
bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.
d. Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan 1945

Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para
pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya
langkah strategis Jepang memenangkan perang –yang kemudian membuat mereka
membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang mulai mengubah
arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para
tokoh-tokoh nasionalis Indonesia.

Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih

mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan.
Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan
Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian
diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62
orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas
dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang
dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan
Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili
berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”.
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan
lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling
penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia
merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang
mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat
Islam bagi para pemeluknya
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa
Ashary mengatakan, Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat
Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu
politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.

e. Hukum Islam Pada Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli
Hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masamasa revolusi (1945-1950).

Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara

sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa
pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia
kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung
Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan,
hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan
Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku
sebagai konstitusi Republik Indonesia –yang merupakan satu dari 16 bagian
negara Republik Indonesia Serikat-. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat
sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam.
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara
saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh
umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai
“Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian
tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk
kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan
dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan
UUD Sementara 1950.
Kelebihan dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk
merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang
ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun
sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan
undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun
upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga
mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu,

semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi
undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana
mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam
Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir
tahun 1955.

Majlis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh

Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas
akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang
dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam
dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa
“Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu
kesatuan dengan konstitusi tersebut”.

Hal ini tentu saja mengangkat dan

memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan –menurut Anwar Harjonolebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”. Namun bagaiamana dalam tataran
aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini.
Pengejawantahan kesimpulan akademis ini
Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang
diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah
gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo
sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal 14 Agustus
1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus
1945.

Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan

Republik Indonesia.
f. Hukum Islam Pada Masa Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya
kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit
merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili
aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus

1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan
(PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol
Usdek-nya Soekarno-bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun
komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom.

Berdasarkan itu,

terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan; salah satunya
adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataankenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah
satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap
MPRS

tersebut

membuka

peluang

untuk

memposisikan

hukum Islam

sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu
membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali
tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak
pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya
politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik
maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas
tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera
saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945.
Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui
upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional
tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk
mempertegasnya tetap terus dilakukan.

Hal ini ditunjukkan oleh K. H.

Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba
mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan
dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR.

Meskipun gagal, upaya ini

kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang
mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian
membuahkan hasil dengan lahirnya UU No. 14/1970, yang mengakui Pengadilan

Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah
Agung.
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14
Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan.

Hal ini kemudian disusul

dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidangbidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988,
Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan
penyebarluasannya kepada Menteri Agama.
g. Hukum Islam Pada Masa Reformasi
Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai
menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangundangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang
berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan
ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu
daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya
suatu peraturan yang bersifat umum. Lebih dari itu, disamping peluang yang
semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undangundang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu
buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi
Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun
2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem
hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita
dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum
baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian
dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional.
D. Penerapan Hukum Islam Di Indonesia

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Umat Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang
Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut tidak
berhasil.

Segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan undang-undang

perkawinan yang sesuai untuk umat Islam. Kemudian pada akhir tahun 1950 dengan
suratkeputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklan
Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat
Islam.
Sementara itu berbagai organisasi terus menerus juga mendesak kepada Pemerintah
dan DPR agar supaya secepat mungkin menyelesaikan penggarapan mengenai
Rancangan Undang-undang (RUU) yang masuk DPR. Organisasi-organisasi tersebut
antara lain Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga
(1960), Konperensi Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4)
Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI,
1963).
b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989/ UU No 3 tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama
1. Dinamika Legislasi
Dalam era reformasi hingga saat ini, telah terjadi tiga kali perubahan terhadap
pasal-pasal dalam UUD 1945. Salah satu perubahannya terdapat pada Pasal 24
ayat (2) dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya, dalam
lingkungan Peradilan Umum, Agama, Militer, Tata Usaha Negara, dan sebuah
Mahkamah Konstitusi. Pasal ini sangat jelas mengamanatkan untuk menyatukan
semua lembaga peradilan di bawah satu atap Mahkamah Agung.
Perubahan UUD 1945 ini mengharuskan adanya perombakan dan perubahan
terhadap Kekuasaan Kehakiman untuk disesuaikan dengan UUD 1945.
Perubahan tersebut dimulai dengan diubahnya UU No. 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 yang kemudian diganti dengan UU No.
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dikatakan
bahwa organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan diatur dalam
undang-undang sesuai dengan kekhususan peradilan di lingkungan masingmasing. Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut dikatakan, susunan, kekuasaan, dan
hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan undang-undang tersendiri.
Sesuai dengan amanat Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut, dibentuklah UU No.
8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum dan UU No. 9 Tahun 2004 tentang
Peradilan TUN, dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Selama ini apabila terjadi konflik dalam bidang ekonomi syari’ah harus melalui
peradilan umum. Menyadari hal ini, dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006
atas perubahan UU No. 7 tahun 1989 maka ruang lingkup Peradilan Agama
diperluas, ruang lingkup tugas dan wewenang Pengadilan Agama yaitu :
a) Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang :perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, shadaqah, dan ekonomi syariah;
b) Diberikan tugas dan wewenang penyelesaian sengketa hak milik atau
keperdataan lainnya;
c) Diberi tugas dan wewenang memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam
d) penentuan awal bulan pada tahun hijriyah. Selama ini Pengadilan Agama
diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap
orang yang telah melihat atau menyaksikan awal bulan pada setiap memasuki
bulan Ramadlan, awal bulan Syawal dan tahun baru Hijriyah dalam rangka
Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk rukyat Hilal.
2.

Karakteristik

Bila dicermati konfigurasi politik ketika terjadinya usul inisiatif atas perubahan
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka itu sesuai dengan iklim

politik di era reformasi, sehingga hal ini dapat disebut sebagai konfigurasi
demokratis dengan beberapa indikator penting yang dilakukan oleh pemerintah
dan DPR, antara lain:
a) Partai politik dari badan perwakilan rakyat berperan aktif dan ikut serta dalam
menentukan hukum negara atau politik nasional, khususnya dalam bidang
reformasi;
b) Tumbuhnya supremasi rakyat diletakkan di atas kepentingan penguasa;
c) Menjunjung tinggi pelaksanaan hukum, termasuk hukum agama yang dijamin
dalam UUD 1945;
d) Peran eksekutif menghormati kehendak rakyat dan melaksanakan kebijakan
yang pro rakyat.
Dari segi karakter produk hukumnya, maka UU ini dikategorikan pada produk
hukum responsif yang lahir dari konfigurasi politik yang demokratis, karena UU
ini dapat mencerminkan aspirasi sebagian besar umat Islam dan rasa keadilan.
Selain itu, UU ini merupakan perwujudan pemenuhan atas harapan masyarakat,
seperti adanya perluasan absolut kompetensi pengadilan agama di bidang
ekonomi syariah.
c. Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1999 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kompilasi adalah merupakan sebuah kumpulan dari berbagai pendirian dan
pendapat hukum yang berkembang dalam dunia pemikiran yang sudah terseleksi
dengan baik.

Dengan menetapkan materinya dalam kompilasi, kita sudah

menetapkan pilihan bahwa materi hukum tersebut itulah yang sudah dianggap
terbaik. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mengatur berbagai persoalan yang
juga diatur oleh berbagai peraturan hukum yang bersifat umum.

Kompilasi

Hukum Islam Indonesia adalah juga Hukum Islam selain sebagai Hukum Islam.
Oleh karena itu, masih menuntut pemahaman yang sejalan dengan konsep-konsep
hukum Islam yang universal.
KHI yang diharapkan adalah seperangkat ketentuan hukum Islam yang senantiasa
menjadi rujukan dasar bagi terciptanya masyarakat berkeadilan, yang menjunjung
nilai-nilai kemanusiaan, menghargai hak-hak kaum perempuan, meratanya nuansa

kerahmatan dan kebijaksanaan, serta terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh
umat manusia. Semua ketentuan tersebut hendak digali dan dirumuskan dari
sumber-sumber Islam yang otoritatif, al-Qur’ân dan al-Sunnah, melalui
pengkajian terhadap kebutuhan, pengalaman, dan ketentuan-ketentuan yang hidup
dalam masyarakat Indonesia, khazanah intelektual klasik Islam, dan pengalaman
peradaban masyarakat Muslim dan Barat di belahan dunia yang lain.
Perumusan Kompilasi Hukum Islam secara substansial dilakukan dengan
mengacu kepada sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah,
dan secara hirarki mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di samping itu, para perumus
KHI

memperhatikan

perkembangan

yang

berlaku

secara

global

serta

memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis (terutama hukum Eropa Kontinental)
dan tatanan hukum adat, yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam.
Berkenaan dengan hal itu, dalam beberapa hal, maka terjadi adaptasi dan
modifikasi tatanan hukum lainnya itu ke dalam KHI. Dengan demikian, KHI
merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut berbagai sistem hukum,
yaitu sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum eks barat.
Ketiga sistem hukum dimaksud, berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebelum Indonesia merdeka.

Namun demikian, sesudah Indonesia merdeka

ketiga sistem dimaksud, akan menjadi bahan baku dalam pembentukan sistem
hukum nasional di Indonesia[8][14]. Negara Indonesia merupakan negara yang
plural (majemuk). Kemajemukan Indonesia ini ditandai dengan adanya berbagai
agama yang dianut oleh penduduk, suku bangsa, golongan, dan ras.
Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia
atas nash al-Qur’an maupun As-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang
berlaku secara universal-relevan pada setiap zaman (waktu) dan Makan (ruang)
manusia.
1. Peminangan Dalam Hukum Islam

KHI Pasal 11 Peminangan dilakukan secara langsung oleh laki-laki yang hendak
menikah atau wakilnya yang dipercaya.

KHI Pasal 12 Peminangan dilakukan

terhadap seorang perempuan yang belum pernah menikah atau perempuan yang
sudah pernah menikah yang iddahnya telah habis. Larangan peminangan KHI
Pasal 12 ayat 2, Peminangan dilarang terhadap:
a) Perempuan yang masih berada dalam iddah, kecuali yang ditinggal mati
suaminya dapat dipinang secara sendirian (ta’ridl);
b) Perempuan yang sedang dipinang laki‐laki lain selama pinangan tersebut
belum putus atau belum ada penolakan dari pihak perempuan.
Adapun pencegahan dan pembatalan perkawinanMenurut UU No. 1/1974
a) Pasal 13 “Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
b) Pasal 14 “Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu
dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan”
E. Studi Kasus Dalam Penerapan Hukum Islam Di Indonesia
Salah satu contoh permasalahan yang timbul dalam penerapan hukum Islam di
Indonesia diantaranya adalah penerapan syariat Islam di Aceh dalam UUPA
nomor11/2006 sebagai bentuk otonomi dalam peraturan daerah menampakkan adanya
anomali serta penerapan hukum kewarisan dan legislasinya di Indonesia.
Dalam permasalahan syariat Islam di Aceh, sekalipun telah diberi kewenangan dan
otonomi luas di bidang hukum Islam pasca pemberlakuan Undang-undang
Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11/2006, syariat Islam di Aceh sejak diterapakannya
UUPA masih menampakkan gejala anomali. Anomali atau keanehan tesebut dapat
dilihat pada satu sisi, wewenang dan otonomi bagi Aceh dalam menyusun qanun
syariat (peraturan setinkat perda/peraturan daerah) diperluas dari sebelumnya hanya
mengawasi wilayah ibadah, ahwal syakhsiyah, dan muamalah, merambah ke bidang
hukum jinayat (pidana). Tidak hanya itu, muatan sanksi hukuman bagi qanun jinayat
juga dikecualikan dari ketentuan umum sanksi (‘uqubat) yang dapt dimuat dalam

qanun asalkan sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain.
Akan tetapi pada sisi lain, kewenangan jurisdiksi terbatas ini menghadapi persoalan
besar manakala proses inkorporasi hukum Islam dalam qanun syariat Aceh juga harus
dibangun dalam bingkai dan lingkup sisitem hukum nasional, sehingga sedikit banyak
(qanun syariat itu nantinya) harus mengalami berbagagai penyesuaian dengan realitas
hukum yang berlaku di Indonesia.
Kemudian problematika yang muncul dalam legislasi hukum pewarisan di Indonesia
timbul salah satunya adalah akibat belum adanya kepastian hukum atau legislasi
hukum kewarisan di Indonesia meskipun telah dicantumkan dalam KHI. Selain itu
muncul masalah seperti: ahli waris ashobah, soal musyarokah, hak waris anak dalam
kandungan, hak waris orang hilang, hak waris orang berkelamin ganda, anak zina dan
li’an, dua orang atau lebih besama-sama meninggal, serta ahli waris-ahli waris yang
belum termuat dalam KHI. Kemudian permasalahan lain juga timbul karena adanya
perbedaan hukum adat yang telah lebih dahulu dianut oleh beberapa masyarakat
Indonesia.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Legislasi hukum Islam di Indonesia adalah cara yang digunakan untuk
mengesahkan hukum Islam di Indonesia sebagai suatu hukum yang sah
secara keseluruhan. Tujuan dari legislasi tersebut adalah tujuan legislasi
hukum Islam itu sendiri tidak lain adalah untuk memperjelas
pengkodifikasian, pengelompokan atau pengklasifikasian hukum-hukum
islam di Indonesia sehingga mempermudah dalam penentuan atau
penetapan suatu hukum.
b. Sejarah legslasi hukum Islam di Indonesia di mulai dari, masa pra
penjajahan Belanda, masa penjajahan Belanda, masa pendudukan Jepang,
masa kemerdekaan, masa revolusi hingga keluarnya dekrit presiden 5 Juli,
masa orde baru, hingga pada masa reformasi.
c. Teor-teori pemikiran dalam legislasi hukum Islam di Indonesia meliputi:

teori pemikiran formalistik-legalistik, teori pemikiran strukturalistik, teori
pemikiran

kulturalistik,

teori

pemikiran

subtantialistik-aplikatif.

Sedangkan strategi penerapannya meliputi: komponen struktur, komponen
subtansi, dan kompnen kultur.
d. Pelaksanaan legislasi hukum Islam di Indonesia diantaranya dibuktikan

dengan disusunnya: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989/ UU No 3 tahun 2006
Tentang Peradilan Agama, Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1999 Tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sementara permasalahan yang timbul

dalam penerapan hukum-hukum tersebut diantaranya adalah permasalahan
penerapan qanun syariat di Aceh dan permasalahan penerapan hukum
kewarisan.

DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Agama RI.
Indonesia.

2012.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di

Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat

Kementrian Agama RI.
Latief, Husni Mubarrak dan Bukhari Ali. 2012. Problematika Legislasi Qanun Jinayat di
Aceh Pasca Implementasi Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA), Laporan
Penelitian. Banda Aceh: Lembaga Penelitian (Lemlit) IAIN Ar-Raniry.
Muslehuddin, Muhammad. 1985. Hukum Darurat Dalam Islam. Bandung : Salman Ia

http://muhammad-almansur. blogspot. com/2012/05/dinamika-legislasi-hukum-islam-di-masa.
html