KELEMBAGAAN PENDIDIKAN DAN ISLAM PESANTREN

KELEMBAGAAN PENDIDIKAN ISLAM PESANTREN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lembaga pendidikan Islam merupakan suatu tempat/lembaga terjadinya proses
pembelajaran, dan pengajaran untuk mengarahkan anak/peserta didik kea rah yang lebih baik
sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam dan norma-norma yang berlaku dalam Islam.
Isi dari makalah ini membahas tentang salah satu lembaga pendidikan Islam tersebut
yaitu lembaga pendidikan Islam yang bertempat di pesantren. Mendengar kata “pesantren”
biasanya orang berpandangan dan berpikir bahwa pesantren itu lebih cenderung kepada halhal yang lebih tertutup dikarenakan peserta didiknya yang senantiasa menggunakan pakaian
yang tertutup terutama menutup auratnya dan akhlakul karimah yang dimiliki oleh peserta
didiknya
Namun dengan disusunnya makalah ini, penulis mengharapkan dan menginginkan
pengetahuan kita semua tentang apa, seperti apa dan bagaimana posisi pesantren sebagai
lembaga pendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana latar belakang, maksud dan tujuan berdirinya pesantren?
2. Bagaimana karakteristik lembaga pendidikan pesantren?
3.


Bagaimana peran dan posisi pendidikan pesantren dalam kerangka system pendidikan
Nasional?

4. Seperti apa saja perubahan yang terjadi di pesantren?
5. Apa saja jenis-jenis kelembagaan pendidikan pesantren?
C. Tujuan Penulisan
Penyusunan makalah ini diharapkan semua dapat :
1. Memahami latar belakang maksud dan tujuan berdirinya pesantren.
2. Memahami karakteristik lembaga pendidikan pesantren.

3.

Memahami peran dan posisi pendidikan pesantren dalam kerangka sistem pendidikan
Nasional.

4. Memahami tugas perubahan yang terjadi di pesantren.
5. Memahami jenis-jenis kelembagaan pendidikan pesantren.

BAB II
KELEMBAGAAN PENDIDIKAN ISLAM PESANTREN

A. Pengertian Pondok Pesantren
Pengertian pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan akhiran an berarti
tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja yang dikutip oleh Haidar Putra Daulay
mengatakan pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yang belajar agama Islam
sehingga dengan demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar
agama Islam. Ada juga yang mengartikan pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam
Indonesia yang bersifat “tradisional”untuk mendalami ilmu tentang agama Islam dan
mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian. (2004 : 26-27)/
Dalam kamus besar bahas Indonesia diartkan secara sederhana “asrama murid-murid
belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam di
mana para santri biasa tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab
klasik dan kitab-kitab umum bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail serta
mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan penting moral dalam
kehidupan bermasyarakat (Fenomena 2005 : 72).
Pondok pesantren secara definitif tak dapat diberikan batasan yang tegas melainkan
terkandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi ciri-ciri yang memberikan pengertian
pondok pesantren. Jadi pondok pesantren belum ada pengertian yang lebih konkrit karena
masih meliputi beberapa unsur untuk dapat mengartikan pondok pesantren secara
komprehensif. (Artikel 1).
Maka dengan demikian sesuai dengan arus dinamika zaman definisi serta persepsi

terhadap pesantren menjadi berubah pula. Kalau pada tahap awal pesantren diberi makna dan
pengertian sebagai lembaga pendidikan tradisional tetapi saat sekarang pesantren sebagai
lembaga pendidikan tradisonal tak lagi selama benar.

B. Jenis-Jenis Kelembagaan Pendidikan Pesantren
Seiring dengan laju perkembangan masyarakat maka pendidikan pesantren baik tempat
bentuk hingga substansi telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tak lagi sesederhana
seperti apa yang digambarkan seseorang akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan
sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman.
Menurut Yacub yang dikutip oleh Khozin mengatakan bahwasanya ada beberapa
pembagian pondok pesantren dan tripologi yaitu :
1. Pesantren Salafi yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajaran dengan kitab-kitab
klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannya pun sebagaimana yang
lazim diterapkan dalam pesantren salaf yaitu dengan metode sorogan dan weton.
2. Pesantren Khalafi yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi)
memberikan ilmu umum dan ilmu agama serta juga memberikan pendidikan keterampilan.
3.

Pesantren Kilat yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relative
singkat dan biasa dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik beratkan pada

keterampilan ibdah dan kepemimpinan. Sedangkan santri terdiri dari siswa sekolah yang
dipandang pelu mengikuti kegiatan di pesantren kilat.

4. Pesantren terintegrasi yaitu pesantren lebih menekankan pada pendidikan vocasional atau
kejuruan sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja dengan program yang
terintegrasi. Sedangkan santri mayoritas berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para
pencari kerja. (2006 : 101).
C. Karakteristik Lembaga Pendidikan Pesantren
Menurut Mas’ud dan kawan-kawan ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren
yaitu :
1. Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai tempat mendalami ilmuilmu agama (tafaqquh fi-i-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan di pesantren
ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa Arab (kitab
kuning) yang ditulis oleh para ulama abad pertengahan. Pesantren model ini masih banyak
kita jumpai hingga sekarang seperti pesantren Lirboyo di Kediri Jawa Timur beberapa
pesantren di daerah Sarang Kabupaten Rembang Jawa Tengah dan lain-lain.
2.

Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajaran namun dengan
kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tak mengikuti kurikulum yang


ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan tak mendapatkan
pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
3.

Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalam baik berbentuk madrasah
(sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah
umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjang bahkan ada yang sampai Perguruan
Tinggi yang tak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan melainkan juga fakultas-fakultas
umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur adalah contohnya.

4.

Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam di mana para santri belajar di sekolahsekolah atau perguruan-perguruan tinggi di luarnya. Pendidikan agama di pesantren model ini
diberikan di luar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan
pesantren model inilah yang terbanyak jumlahnya. (2002 : 149-150)

D. Dinamika Pondok Pesantren
Dalam perspektif sejarah lembaga pendidikan yang terutama berbasis di pedesaan ini
telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang sejak sekitar abad ke 18. Seiring dengan
perjalanan waktu pesantren sedikit demi sedikit maju tumbuh dan berkembang sejalan

dengan proses pembangunan serta dinamika masyarakatnya. Ini menunjukkan bahwa ada
upaya-upaya yang dilakukan pesantren untuk mendinamisir diri sejalan dengan tuntutan dan
perubahan masyarakatnya.
Dinamika lembaga pendidikan Islam yang relatif tua di Indonesia tampak dalam
beberapa hal seperti :
1.

Peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama
bahwa pada tahun 1977 ada 4195 pesantren dengan jumlah santri 677.384 orang. Jumlah
tersebut menjadi 5.661 pesantren dengan 938.397 santri pada tahun 1981 kemudian
meningkat menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri 59 juta orang pada tahun 1985.

2.

Kemampuan pesantren untuk selalu hidup di tengah-tengah masyarakat yang sedang
mengalami berbagai perubahan. Pesantren mampu memobilisasi sumber daya baik tenaga
maupun dana serta mampu berperan sebagai benteng terhadap berbagai budaya yang
berdampak negatif. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang mempunyai kekuatan untuk survive. Dan pesantren juga mampu
mendinamisir diri di tengah-tengah perubahan masyarakatnya. Secara sosiologis ini

menunjukkan bahwa pesantren masih memiliki fungsi nyata yang dibutuhkan masyarakat.
(Khozin 2006 : 149).

Sedangkan perkembangan secara kuantitatif maupun kemampuan bertahan di tengah
perubahan tak otomatis menunjukkan kemampuan pesantren untuk bersaing dalam
memperebutkan peserta didik. Seperti Dhofir mengatakan (1992) bahwa dominasi pesantren
di dunia pendidikan mulai menurun secara drastis setelah tahun 1950-an. Salah satu faktor
adalah lapangan pekerjaan “modern” mulai terbuka bagi warga Indonesia yang mendapat
latihan di sekolah-sekolah umum. Akan tetapi setelah proklamasi kemerdekaan pemerintah
lebih memberikan perhatian terhadap sistem pendidikan nasional dengan membangun
sekolah-sekolah umum dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa pesantren ada yang tetap
berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisi secara turun-temurun tanpa perubahan dan
inprovisasi yang berarti kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang mencoba
mencari jalan sendiri dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu yang
singkat. Pesantren semacam ini adalah pesantren yang menyusun kurikulum berdasarkan
pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya.
Maka dari pada itu apapun motif perbincangan seputar dinamika pesantren memang
harus diakui mempunyai dampak yang besar contoh semakin dituntut dengan ada teknologi
yang canggih pesantren pun tak ketinggalan zaman untuk selalu mengimbangi dari tiap

persoalan-persoalan yang terkait dengan pendidikan maupun sistem di dalam pendidikan itu
sendiri mulai dari sisi mengaji ke mengkaji. Itupun merupakan sebuah bukti konkrit di dalam
pesantren itu sendiri bahwa mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Karena pesantren
tak akan pernah mengalami statis selama dari tiap unsur-unsur pesantren tersebut bisa
menyikapi dan merespon secara baik apa yang paling aktual. (Mas’ud dkk 2002 : 72-73).
E. Transformasi Pesantren ke Dalam Sistem Pendidikan Nasional
Secara historis pesantren telah “mendokumentasikan” berbagai peristiwa sejarah
bangsa Indonesia, baik itu sejarah sosial budaya masyarakat Islam, ekonomi, maupun politik
bangsa Indonesia. Sejak masa awal penyebaran Islam, pesantren adalah saksi utama bagi
penyebaran Islam di Indonesia, karena pesantren adalah sarana penting bagi kegiatan
Islamisasi di Indonesia. Perkembangan dan kemajuan masyarakat Islam Nusantara,
khususnya Jawa, tidak mungkin terpisahkan dari peranan yang dimainkan pesantren.
Berpusat dari pesantren, perputaran roda ekonomi dan kebijakan politik Islam dikendalikan.
Di masa Wali Sanga, tidak sedikit wali-wali di Jawa menguasai jaringan perdagangan antara
pulau Jawa dengan luar Jawa, seperti Sunan Giri yang memiliki jaringan perdagangan antara
Jawa dengan Kalimantan, Maluku, Lombok, dan sebagainya. Begitu pula dengan perjalanan

politik Islam di Jawa, pesantren mempunyai pengaruh yang kuat bagi pembentukan dan
pengambilan berbagai kebijakan di kraton-kraton. Misalnya, berdirinya kerajaan Demak,
adalah karena dukungan dan kontrol kuat dari para ulama, seperti Sunan Kudus, Sunan

Kalijaga dan Sunan Muria. Dari itulah dapat disimpulkan bahwa dinamika masyarakat Islam
di masa awal dapat ditandai dengan adanya hubungan yang kuat antara pesantren, pasar, dan
kraton.
Pada mulanya, pesantren menunjukkan suatu komentar yang dinamis dan kosmopolit,
karena berkembang di tengah-tengah masyarakat urban, seperti Surabaya (Ampel Denta),
Gresik (Giri), Tuban (Sunan Bonang), Demak (Sunan Kalijaga), Cirebon (Syarif
Hidayatullah), Banten, Aceh (Sumatera), Makassar (di Sulawesi) dan sebagainya.
Kedinamisan pesantren tidak hanya di bidang ekonomi dan dekatnya dengan kekuasaan,
tetapi juga maju dalam bidang keilmuan dan intelektual. Majunya pesantren dalam keilmuan
Islam, Membuat Taufik Abdullah mencatat pesantren sebagai pusat pemikiran keagamaan.
Besarnya arti pesantren dalam perjalanan bangsa Indonesia, khususnya Jawa, tidak
berlebihan jika pesantren dianggap sebagai bagian historis bangsa Indonesia yang harus
dipertahankan. Apalagi, pesantren telah dianggap sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia
yang mengakar kuat dari masa pra-Islam, yaitu lembaga pendidikan bentuk asrama Budha –
mandala ata asyrama – yang ditransfer menjadi lembaga pendidikan Islam. Karenanya tidak
heran jika sistem pendidikan pesantren dibanggakan sebagai alternatif yang otentik terhadap
sistem colonial dalam suatu perdebatan yang terjadi di saat pergerakan nasional telah
mencapai usia lanjut.
Ketika Ki Hajar Dewantoro sebagai tokoh pendidikan nasional dan sekaligus sebagai
Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI yang pertama, berpendapat bahwa

pondok pesantren merupakan dasar dan sumber pendidikan nasional karena sesuai dan selaras
dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Pemerintah juga mengakui bahwa pesantren
dan madrasah merupakan dasar dan sumber pendidikan nasional. Oleh karena itu, harus
dikembangkan, diberi bimbingan, dan bantuan. Wewenang pembinaan dan pengembangan
tersebut berada di bawah wewenang Kementerian Agama.
Sikap menutup diri pesantren terhadap perubahan di sekelilingnya membuat pesantren
dinilai sebagai penganut Islam Tradisionalis dan Konservatif. Pesantren dianggap kurang
peka terhadap perubahan tuntutan zaman dan masyarakat. Sejalan dengan itu, pesantren
dianggap kurang produktif. Alot-nya pesantren dalam mereduksi sistem pendidikan modern,
seperti yang direncanakan oleh pemerintah dan tercapainya pendidikan nasional,

menyebabkan pesantren sering dilihat sebagai sistem pendidikan yang bersifat “isolasionis”,
terpisah dari “aliran utama” pendidikan nasional.
Menurut Azyumardi Azra, para eksponen pesantren cenderung lebih hati-hati dalam
menjawab perubahan sekelilingnya. Mereka tidak tergesa-gesa mentransformasikan
kelembagaan pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam modern sepenuhnya, tetapi
menerimanya dalam skala yang sangat terbatas, sebatas melakukan penyesuaian yang mereka
anggap akan mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, seperti sistem penjenjangan,
kurikulum yang lebih jelas, dan sistem klasikal.
Pendirian madrasah di pesantren-pesantren semakin menemukan momentumnya

semenjak KH. Ahmad Wahid Hasyim menjabat sebagai Menteri Agama. Ia melakukan
pembaruan pendidikan agama Islam melalui peraturan Menteri Agama No. 3 tahun 1950,
yang menginstruksikan pemberian pelajaran umum di madrasah dan memberi pelaajran
agama di sekolah umum negeri dan swasta. Persaingan dengan madrasah modern sekolahsekolah umum, mendorong pesantren-pesantren mengadopsi madrasah ke dalam pesantren.
Pesantren lebih membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi
kepentingan pendidikan umum. Pesantren tidak hanya mengadopsi madrasah tetapi juga
mendirikan sekolah-sekolah umum. Pesantren Tebu Ireng Jombang adalah pesantren pertama
yang mendirikan SMP dan SMA. Langkah ini kemudian diikuti oleh pesantren-pesantren
lain, bahkan belakangan pesantren-pesantren berlomba-lomba mendirikan sekolah-sekolah
umum untuk mengikuti tuntutan masyarakat agar santri bisa belajar pengetahuan agama dan
menguasai pengetahuan umum seperti murid-murid di sekolah-sekolah umum sehingga akses
santri dalam melanjutkan pendidikan semakin meluas seperti sekolah-sekolah umum di luar
pesantren. Saat ini tidak jarang kita temui pesantren memiliki lembaga pendidikan umum
mulai TK, SD, SMP, SMA di samping MI/MIN, MTs/MTsN, MA/MAN, dan Madrasah
Muallimin.
Dengan demikian dapat disimpulkan, pesantren telah memberikan tanggapan positif
terhadap pembangunan nasional dalam bidang pendidikan. Dengan didirikannya sekolahsekolah umum maupun madrasah-madrasah di lingkungan pesantren membuat pesantren
kaya diverifikasi lembaga pendidikan dan peningkatan institusional pondok pesantren dalam
kerangka pendidikan nasional.
Pesantren yang mulai merintis untuk mendirikan perguruan tinggi di antaranya adalah,
pesantren Darul Ulum, Jombang. Pada September 1965, pesantren ini mendirikan
Universitas Darul Ulum. Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, juga mendirikan
Universitas Hasyim Asy’ari yang kemudian berubah menjadi Institut Kyai Haji Hasyim

Asy’ari. Langka sintesa konvergensi ini kemudian diikuti oleh beberapa pesantren besar,
seperti Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum
Tambak Beras Jombang, dan lain sebagainya.
Dahulu, pesantren diklaim sebagai lembaga pendidikan yang tipikal dalam masyarakat
Jawa. Tetapi kini, pesantren telah menjadi lembaga pendidikan Islam milik nasional.
Beberapa daerah di Indonesia telah memakai istilah “Pesantren”, seperti Sulawesi, dan
Kalimantan. Bahkan Sumatera Barat juga memakai istilah “Pesantren” untuk menggantikan
sistem pendidikan Islam Surau.
F. Metode Pendidikan “Pesantren” dan Karakteristik Guru
Sebagai seorang pendidik atau “Ustadz” Da’i tentu saja menggunakan metode
pendidikanyang tidak jauh dari semangat ayat Al-Qur’an yang mengajak umat manusia
dengan cara bill al-hikmah wal mau’idzah al-hasanah. (Q.S. Al-Nahl, 125). Pada tingkat
penerapan, metode yang digunakan adalah metode talqin, diskusi, metode, penugasan,
bimbingan, dan lainnya. Metode talqin sangat disenangi oleh santri dan metode ini dilakukan
dengan terlebih dahulu memperdengarkan bacaan oleh salah seorang murid yang agak pandai
baru diikuti oleh lainnya. Langkah ini dalam pendidikan modern disebut dengan istilah tutor
sebaya, atau sistem yang mencoba memanfaatkan peserta didik yang agak pandai untuk
membantu temannya yang agak tertinggal.
Kemudian metode diskusi, metode ini sering digunakan santri pada tingkat akhir kelas,
untuk mendiskusikan suatu masalah yang sedang dibaca di suatu kitab. Menurut pendapat
Soleh RM : “Diskusi terhadap berbagai masalah dilakukan, namun ada suatu hal yang tidak
boleh dibicarakan oleh santri didik, masalah tentang dzat Tuhan sama sekali tidak perlu
dibicarakan. Hal ini diduga kuat bahwa mengamalkan Hadits Rasul yang diriwayatkan oleh
Abu Naim : Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah dan jangan memikirkan dzat Allah,
sebab kamu tidak mampu melakukannya.”
Selain metode diskusi juga metode penugasan, metode penugasan terhadap santri
diberikan untuk mengulangi kembali mata pelajaran yang diberikan, untuk diulang kembali
pada pertemuan berikutnya. Dengan melakukan metode penugasan, sangat diharapkan anak
didik benar-benar menguasai materi-materi yang sudah ada. Juga dilakukan metode
pemagangan, dalam sistem pendidikannya dapat menerapkan ilmu yang telah dipelajari dari
ruang pendidikan. Metode pemagangan digunakan bagi santri yang telah selesai
menyelesaikan pendidikannya, apakah santri mengambil spesialisasi pendidik atau
spesialisasi mubaligh.

Selain metode diskusi juga metode penugasan, metode penugasan terhadap santri
diberikan untuk mengulangi kembali mata mata pelajaran yang diberikan, untuk diulangi
kembali pada pertemuan berikutnya. Dengan melakukan metode penugasan, diharapkan anak
diidk benar-benar menguasai materi-materi yang sudah ada. Juga dilakukan metode
pemagangan, dalam sistem pendidikannya dapat menerapkan ilmu yang telah dipelajari dari
ruang pendidikan. Metode pemagangan digunakan bagi santri yag telah selesai
menyelesaikan pendidikannya, apakah santri mengambil spealisasi pendidik atau spealisasi
mubaligh.
Selain metode pemagangan, digunakan metode pengulangan, metode ini sangat
mementingkan pemahaman santri terhadap pelajaran yang diberikan. Dilakukan suatu
pertemuaan, santri akan diminta lagi mengulangi pelajaran atau bacaan yang sudah ada
sebelumnya. Mengerti terhadap makna kata dari apa yang dibacanya sangat penting, untuk
pemahaman dan pengertian terhadap subtansinya akan mudah diperoleh santri . sebagaimana
diungkapkan Soleh RM; para murid ketika menerima pelajaran kyai, selalu bersiap-siap
dengan hati berdebar, kira-kira siapa yang ditunjuk untuk membaca kembali teks kitab yang
telah diberikan kyai beberapa hari sebelumnya.
Kemudian metode evaluasi, metode ini digunakan untuk mengecek kemampuan siswa
dalam menguasai ilmunya, sekaligus mengecek kemampuan guru dalam mengajar santri.
Dengan metode evaluasi, santri dan ustadz bersungguh-sungguhdalam belajar mengaja,
karena pada saat tertentu dilakukan pengecekan mendadak. Pada saat pengecekan santri
merasa bergetar di dalam hatinya. Selanjutnya, metode bimbingan dan teladan. Metode ini
sangat melekat pada diri sebagai seorang ulama, yang senantiasa memberi teladan bagi umat
sekitarnya. Menurut Abdurrahman : “Kyai banyak memberikan teladan dan bimbingan
kepada santri. Teladan dan bimbingan untuk disiplin melaksanakan shalat Subuh.
Bagi Fadlil Al-Ghamaly memahami metode pendidikan Islam adalah : “Metode
praktek, metode reptisi, metode diskusi ilmiah, metode Tanya jawab, metode historis, metode
pemberian kesan dalam jiwa dan pengaruh dalam perasaan, metode ceramah, metode
nasihat, metode perumpamaan, metode perbandingan, metode metode pemberian contoh,
metode pemberian motivasi, metode pemberian bimbingan dan metode pemberian ampunan
atau taubat,” metode yang diberikan Kyai dalam pesantren sebaiknya lebih humanis,
demokratis dan penuh kebijaksanaan. Dengan berbagai metode yang digunakan seorang Kyai
tidak akan bertindak otoriter atau diktator atau memaksakan kehendak dan kemauannya
terhadap santri.

Guru atau ustadz merupakan komponen yang sangat penting dan menentukan proses
pendidikan dalam Islam. Guru bukan hanya mentransfer ilmu, tetapi juga pembentuk watak,
karakter dan kepribadian. Untuk mencapai tujuan pendidikan di Perguruan Islam, harus
memiliki guru yang berpaham agama “Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jamaah”, berakidah yang jelas,
berilmu serta senantiasa meningkatkan ilmu, memiliki jiwa yang ikhlas, dan bersikap baik.
Soleh RM berpendapat : “Seorang guru yang mengasuh mata pelajaran fiqh, tauhid, akhlak
dan sebagainya, dipersyaratkan untuk memiliki paham keagamaan “Ahl Al-Sunnah Wa AlJamaah” sesuai dengan nama perguruan Islam yang menyebut dirinya sebagai Perguruan
Islam Al-Syafi’iyah. Untuk guru dengan mata kuliah umum seperti mata pelajaran
Matematika, Bahasa Inggris, Sejarah, dan sebagainya, guru tidak perlu memiliki paham AlSyafi’iyah.
Komitmen terhadap madzhab Al-Syafi’i sangat kuat. Hal ini tergambar pada beberapa
lembaga pendidikan yang mengambil nama Al-Syafi’iyah. Penamaan Al-Syafi’iyah selain
wujud kenangan orang tua yang membesarkannya, dan memberinya sebidang tanah untuk
mendirikan madrasah, dan sekaligus wujud Madzhab yang dicintai dan banyak dianut di
negara ini. Kemudian guru yang mengajar di Instansi pendidikan haruslah sosok yang
memiliki banyak pengetahuan tentang Ilmu Agama Islam, apakah itu Ilmu Fiqh, Tauhid,
Akhlak. Seorang guru adalah tokoh panutan dan menjadi tokoh teladan bagi masyarakat.
Demikian pula wawasan dan ilmunya menjadi tempat bertanya bagi santri.
Untuk mencapai guru idealis guru merupakan sumber ilmu pengetahuan dan agar guruguru memiliki kualifikasi yang mengarah pada tipe ideal, sebagaimana yang diungkapkan AlGhazali. Seorang guru adalah seseorang yang memiliki keikhlasan dalam mengemban
tugasnya. Seperti yang diungkapkan Saifuddin Amsir : “Banyak santri yang didanai Kyai,
namun dimintanya agar benar-benar menuntut ilmu pengetahuan serta diminta untuk
memiliki jiwa yang ikhlas untuk bersama-sama menerima pelayanan pendidikan. Begitu juga
harapan terhadap para pengajar atau pendidik.” Selanjutnya seorang guru adalah seorang
yang bijaksana dalam mengatasi problema yang dihadapi santri. Guru yang baik adalah guru
yang tidak ceroboh dalam memberikan sanksi kepada muridnya.
Selanjutnya Ibnu Sina mengungkapkan : “Guru hendaknya berakal, beragama,
berakhlak, tidak jumud, luas dalam berpikir, memiliki muru’ah, bersih dan rapi, memahami
perkembangan santri, cerdas, hati-hati dan teguh pendirian.”

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kelembagaan pendidikan Islam pesantren
adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam yang nyata dalam upaya mencerdaskan bangsa
yang sejalan dengan hubungan Islam. Dan dapat memahami adanya latar belakang masalah
dan tujuan berdirinya pesantren dan sistem pendidikan atau fungsinya. Pendidikan ini sebagai
salah satu komponen yang strategis untuk membentuk manusia yang bermoral dan berakhlak
baik, sehingga dapat menghantarkan peserta didik maju dan seimbang dalam pribadinya
masing-masing.
B. Saran-Saran
Bagi mahasiswa (i) hendaknya mengetahui dan memahami tentang adanya
kelembagaan pendidikan Islam pesantren yang ada di wilayah dan sekitar kita, agar kita tahu
dan mengerti betapa pentingnya pendidikan Islam pesantren untuk masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
http:blog.re.or.id/pondok-pesantren-sebagai-lembaga-pendidikan-islam.htm
http://fikry

foundation.wordpress.com/2008/01/09/mengintegrasikan-pendidikan- islam-pesantren-

dalam-sistem-pendidikan-nasional.htm
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan, Jakarta : LSIK, 1996
http://cintakamiakdarbanafsaj.blogspot.com/2012/02/kelembagaan-pendidikan-islam-pesantren.html

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan bagian yang inhern dalam kehidupan manusia. Dan, manusia hanya
dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan. Karena hal itulah, maka pendidikan

merupakan sebuah proses yang sangat vital dalam kelangsungan hidup manusia. Tak
terkecuali pendidikan Islam, yang dalam sejarah perjalanannya memiliki berbagai dinamika.
Eksistensi pendidikan Islam senyatanya telah membuat kita terperangah dengan berbagai
dinamika dan perubahan yang ada.
Berbagai perubahan dan perkembangan dalam pendidikan Islam itu sepatutnya membuat kita
senantiasa terpacu untuk mengkaji dan meningkatkan lagi kualitas diri, demi peningkatan
kualitas dan kuantitas pendidikan Islam di Indonesia. Telah lazim diketahui, keberadaan
pendidikan Islam di Indonesia banyak diwarnai perubahan, sejalan dengan perkembangan
zaman serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada. Sejak dari awal pendidikan Islam,
yang masih berupa pesantren tradisional hingga modern, sejak madrasah hingga sekolah
Islam bonafide, mulai Sekolah Tinggi Islam sampai Universitas Islam, semua tak luput dari
dinamika dan perubahan demi mencapai perkembangan dan kemajuan yang maksimal.
Pertanyaannya kemudian adalah sudahkah kita mencermati dan memahami bagaimana
kemunculan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, untuk kemudian dapat
bersama-sama meningkatkan kualitasnya, demi tercipta pendidikan Islam yang humanis,
dinamis, berkarakter sekaligus juga tetap dalam koridor Alqur’an dan Assunah.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini terdapat beberapa rumusan masalah yang akan dicoba untuk dikaji dan
digali, sehingga diharapkan mampu menambah wawasan terkait pendidikan Islam dan
eksistensinya di Indonesia. Beberapa rumusan masalah tersebut di antaranya:
1. Bagaimana akar dan awal mula pendidikan Islam di Indonesia?
2. Apa saja jenis lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia?
3. Bagaimana perkembangan pendidikan Islam di Indonesia
PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
A. Pesantren; Akar Pendidikan Islam di Indonesia
Terkait kemunculan dan masuknya Islam di Indonesia, sampai saat ini masih menjadi
kontroversi di kalangan para ilmuwan dan sejarawan. Namun demikian, mayoritas dari
mereka menduga bahwa Islam telah diperkenalkan di Indonesia sekitar abad ke-7 M oleh
para musafir dan pedagang muslim, melalui jalur perdagangan dari Teluk Parsi dan
Tiongkok. Kemudian pada abad ke-11M sudah dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk di
kepulauan Nusantara melalui kota-kota pantai di Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi dan
Maluku. Dan, pada abad itu pula muncul pusat-pusat kekuasaan serta pendalaman studi keIslaman. Dari pusat-pusat inilah kemudian akhirnya Islam dapat berkembang dan tersebar ke
seluruh pelosok Nusantara. Perkembangan dan perluasan Islam itu tidak lain melalui para
pedagang muslim, wali, muballigh dan ulama’ dengan cara pendirian masjid, pesantren atau
dayah atau surau.
Pada dasarnya, pendidikan Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke
Indonesia. Pada tahap awal, pendidikan Islam dimulai dari kontak-kontak pribadi maupun
kolektif antara muballigh (pendidik) dengan peserta didiknya. Setelah komunitas muslim
daerah terbentuk di suatu daerah tersebut, mereka membangun tempat peribadatan dalam hal

ini masjid. Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang pertama muncul, di samping
rumah tempat kediaman ulama’ atau muballigh.
Setelah penggunaan masjid sudah cukup optimal, maka kemudian dirasa perlu untuk
memiliki sebuah tempat yang benar-benar menjadi pusat pendidikan dan pembelajaran Islam.
Untuk itu, muncullah lembaga pendidikan lainnya seperti pesantren, dayah ataupun surau.
Nama–nama tersebut walaupun berbeda, tetapi hakikatnya sama yakni sebagai tempat
menuntut ilmu pengetahuan keagamaan.
Pesantren sebagai akar pendidikan Islam, yang menjadi pusat pembelajaran Islam setelah
keberadaan masjid, senyatanya memiliki dinamika yang terus berkembang hingga sekarang.
Menurut Prof. Mastuhu, pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk
mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan
menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Pesantren sejatinya telah berkiprah di Indonesia sebagai pranata kependidikan Islam di
tengah-tengah masyarakat sejak abad ke-13 M, kemudian berlanjut dengan pasang surutnya
hingga sekarang. Untuk itulah, tidak aneh jika pesantren telah menjadi akar pendidikan Islam
di negeri ini. Karena senyatanya, dalam pesantren telah terjadi proses pembelajaran sekaligus
proses pendidikan; yang tidak hanya memberikan seperangkat pengetahuan, melainkan juga
nilai-nilai (value). Dalam pesantren, terjadi sebuah proses pembentukan tata nilai yang
lengkap, yang merupakan proses pemberian ilmu secara aplikatif.
Menurut Muhammad Tolhah Hasan dalam bukunya Dinamika Tentang Pendidikan Islam,
disebutkan bahwa komponen-komponen yang ada dalam pesantren antara lain:
a. Kyai, sebagai figur sentral dan dominan dalam pesantren, sebagai sumber ilmu
pengetahuan sekaligus sumber tata nilai.
b. Pengajian kitab-kitab agama (kitab kuning), yang disampaikan oleh Kyai dan diikuti para
santri.
c. Masjid, yang berfungsi sebagai tempat kegiatan pengajian, disamping menjadi pusat
peribadatan.
d. Santri, sebagai pencari ilmu (agama) dan pendamba bimbingan Kyai.
e. Pondok, sebagai tempat tinggal santri yang menampung santri selama mereka menuntut
ilmu dari Kyai.
Sedangkan dalam proses pembelajaran dan proses pendidikan, di pesantren menggunakan
dua sistem yang umum, yakni:
a. Sistem “sorogan” yang sifatnya individual, yakni seorang santri mendatangi seorang guru
yang akan mengajarkan kitab tertentu, yang umumnya berbahasa Arab.
b. Sistem “bandongan” yang sering disebut dengan sistem weton. Dalam sistem ini,
sekelompok santri mendengarkan dan menyimak seorang guru yang membacakan,
menerjemahkan dan mengulas kitab-kitab kuning. Setiap santri memperhatikan kitab masingmasing dan membuat catatan yang dirasa perlu.

Kelompok bandongan ini jika jumlahnya tidak terlalu banyak, maka disebut dengan halaqoh
yang arti asalnya adalah lingkaran. Di pesantren-pesantren besar, ada lagi sistem lain yang
disebut musyawarah, yang diikuti santri-santri senior yang telah mampu membaca kitab
kuning dengan baik.
Hingga kini, keberadaan pesantren telah mengalami berbagai dinamika, sejak dari pesantren
tradisional hingga pesantren modern.
B. Lembaga-lembaga pendidikan Islam setelah Pesantren
Eksistensi pesantren senyatanya mendorong lahirnya lembaga-lembaga pendidikan Islam
lainnya, antara lain:
a. Madrasah
Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang lebih modern dibanding pesantren,
baik ditinjau dari sisi metodologi maupun kurikulum pengajarannya. Kendati demikian,
kemunculan madrasah ini tidak lain diawali oleh keberadaan pesantren. Sebagian lulusan
pesantren melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi ke beberapa pusat kajian Islam di
beberapa negara Timur Tengah, khususnya Arab Saudi dan Mesir. Lulusan-lulusan Islam
Timur Tengah itulah yang kemudian akhirnya menjadi pemrakarsa pendirian madrasahmadrasah di Indonesia.
Dalam madrasah, sistem pembelajaran tidak lagi menggunakan sorogan ataupun bandongan,
melainkan lebih modern lagi. Madrasah telah mengaplikasikan sistem kelas dalam proses
pembelajarannya. Elemen yang ada dalam madrasah juga bukan lagi Kyai dan santri, tetapi
murid dan guru (ustad/ustadzah). Dan metode yang digunakan juga beragam, bisa ceramah,
atau drill dan lain-lain, tergantung pada ustad/ustadzah atau guru.
b. Sekolah-sekolah Islam
Di samping madrasah, lembaga pendidikan Islam yang berkembang hingga sekarang adalah
sekolah-sekolah Islam. Pada dasarnya, kata sekolah merupakan terjemah dari madrasah,
hanya saja madrasah adalah kosa kata bahasa Arab, sedangkan sekolah adalah bahasa
Indonesia. Namun demikian, pada aplikasinya terdapat perbedaan antara madrasah dan
sekolah Islam. Madrasah berada dalam naungan Kementrian Agama (Kemenag), sedangkan
sekolah Islam pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Selain itu,dari
segi bobot muatan materi keagamaannya, madrasah lebih banyak materi agama dibanding
sekolah Islam.
c. Pendidikan Tinggi Islam
Pendidikan Tinggi Islam juga merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang modern.
Dalam sejarah, pendidikan tinggi Islam yang tertua adalah Sekolah Tinggi Islam (STI), yang
menjadi cikal bakal pendidikan tinggi Islam selanjutnya. STI didirikan pada 8 Juli 1945 di
Jakarta, kemudian dipindahkan ke Yogyakarta, dan pada tahun 1948 resmi berganti nama
menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Selanjutnya, UII merupakan bibit utama dari
perguruan-perguruan tinggi swasta yang kemudian berkembang menjadi beberapa
Universitas Islam yang populer di Indonesia, seperti misalnya Universitas Ibn Kholdun di
Bogor, Universitas Muhammadiyah di Surakarta, Universitas Islam Sultan Agung di

Semarang, Universitas Islam Malang (UNISMA) di Malang, Universitas Islam Sunan Giri
(UNSURI) di Surabaya, Universitas Darul ‘Ulum (UNDAR) di Jombang dan lain-lain.
Menurut Tolhah Hasan, perkembangan dan kemajuan perguruan tinggi Islam di Indonesia
banyak ditentukan oleh beberapa faktor di antaranya: kredibilitas kepemimpinan, kreativitas
manajerial kelembagaan, pengembangan program akademik yang jelas dan kualitas dosen
yang memiliki tradisi akademik.
C. Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia
Tak dapat dipungkiri, bahwa seiring berjalannya waktu, lembaga-lembaga pendidikan Islam
juga mengalami berbagai dinamika. Tak hanya pada pesantren, bahkan madrasah dan
perguruan tinggi Islam pun tak luput dari dinamika yang ada.
Pesantren yang dulunya masih tradisional senyatanya mengalami beberapa perubahan dan
perkembangan, seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pesantren yang dulunya tradisional, dalam pola pembelajaran dan muatan materi serta
kurikulumnya, kini telah mengalami perkembangan dengan mengadaptasi beberapa teoriteori pendidikan yang dirasa bisa diterapkan di lingkungan pesantren. Alhasil, kini semakin
banyak bermunculan pesantren modern, yang dalam pola pembelajarannya tidak lagi
konvensional, tapi lebih modern dengan berbagai sentuhan manajemen pendidikan yang
dinamis. Mayoritas pesantren dewasa ini juga memberikan materi dan muatan pendidikan
umum. Tidak sedikit pesantren yang sekaligus memiliki lembaga sekolah dan manajemennya
mengacu pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sedangkan dinamika sistem pendidikan madrasah dapat dicatat dari beberapa perubahan,
seperti dimasukkannya mata pelajaran umum dalam kurikulumnya, meningkatkan kualitas
guru dengan memperhatikan syarat kelayakan mengajar, membenahi manajemen
pendidikannya melalui akreditasi yang diselenggarakan pemerintah, mengikuti ujian negara
menurut jenjangnya.
Tak pelak, bahwa dinamika pendidikan Islam, di samping kemadrasahan, juga muncul
persekolahan yang lebih banyak mengadopsi model sekolah barat. Dan, kemunculannya itu
antara lain dipicu oleh kebutuhan masyarakat muslim yang berminat mendapatkan
pendidikan yang memudahkan memasuki lapangan kerja dalam lembaga pemerintahan
maupun lembaga swasta yang mensyaratkan memiliki keterampilan tertentu, seperti teknik,
perawat kesehatan, administrasi dan perbankan.
Pada perguruan tinggi Islam pun sejatinya juga mengalami berbagai perubahan dan
perkembangan. Dinamika dalam pendidikan tinggi Islam ini salah satunya dapat diraba dari
perubahan status dari Sekolah Tinggi, menjadi Institut, hingga kini menjadi Universitas.
Dengan demikian, materi dan bahan ajar yang ditawarkan di perguruan tinggi Islam yang kini
mayoritas menjadi Universitas, tidak hanya disiplin ilmu agama Islam saja, melainkan juga
berbagai disiplin ilmu umum.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan pada paparan dan analisa di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Pendidikan Islam di Indonesia sejatinya berlangsung sejak masuknya Islam di Indonesia
dengan masjid sebagai pusat peribadatan dan tempat belajar. Setelah penggunaan masjid
cukup optimal, maka muncullah pesantren yang kemudian menjadi akar pendidikan Islam di
Indonesia.
2. Keberadaan pesantren senyatanya mendorong lahirnya lembaga-lembaga pendidikan Islam
lain setelah pesantren, di antaranya madrasah, sekolah-sekolah Islam dan Perguruan Tinggi
Islam.
3. Dalam perjalanannya, lembaga-lembaga pendidikan Islam tak luput dari berbagai dinamika
yang ada, seiring dengan perkembangan zaman. Pesantren, dari jenis pesantren tradisional ke
pesantren modern. Madrasah yang semakin memperbaiki kualitasnya dengan berbagai upaya,
salah satunya peningkatan kualitas guru. Dan, perguruan tinggi Islam yang dulunya masih
berstatus Sekolah Tinggi, berkembang menjadi Institut hingga akhirnya menjadi Universitas.
Daftar Pustaka
Dhofier, Z. (1982). Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta:
LP3ES.
Hasan, M. T. (2006). Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Lantabora
Press.
Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan
Nilai Sistem Pendidikan Pesantren . Jakarta: INIS.
http://ulashoim.blogspot.com/2012/06/pendidikan-islam-di-indonesia-makalah.html