APA ITU kaunseling kaunseling SAINS
APA ITU SAINS?
Di dalam rangkaian perdebatan mengenai kluster “sains” (science),
sedikitnya ada dua implikasi makna yang dapat kita simpulkan, yakni :sains
berimplikasi sebagai sebuah metode pendekatan (method of inquiry) atau
populernya diistilahkan dengan scientific method yang kemudian
diterjemahkan sebagai “metode ilmiah,” dan sains berimplikasi sebagai
“hasil” yang dicapai dari atau dengan menggunakan pendekatan tersebut
(the result of that inquiry) yang diistilahkan kemudian sebagai “scientific
knowledge” dan diterjemahkan secara literal sebagai “pengetahuan sains,”
“pengetahuan ilmiah,” atau “ilmu pengetahuan.”1 Tiga istilah yang disebut
terakhir ini agak membingungkan. Oleh karena itu, perlu diberi catatan awal,
bahwa tulisan ini akan menggunakan terma sains atau ilmu atau
pengetahuan (terjemahan al-‘ilm), berdiri sendiri tanpa penyandaran, dan
yang referensinya adalah implikasi kedua. Adapun apabila menggunakan
kluster metode ilmiah, maka yang dimaksud adalah pendekatan yang juga
dapat berarti “sumber” (sources of knowledge).
PERSPEKTIF EPISTEMOLOGI
Epistemologi adalah ilmu tentang ilmu. Ianya membicarakan sumber
ilmu, dan proses tercapainya ilmu tersebut. Dengan kata lain, bagaimana
ilmu tersebut dapat diperoleh, apa metode atau sumbernya? Secara
amnya, epistemology boleh dilihat dari dua sudut yang berbeza iaitu
menurut pandangan barat dan Islam.
A) EPISTEMOLOGI BARAT
Berikut ini dikemukakan beberapa aliran yang khusus membicarakan
epistemology yang sekaligus menggambarkan pandangan dari Barat:
1. Empirisme
Kata empirisme berasal dari perkataan yunani ‘empeirikos’ (empeiria)
yang berarti pengalaman. Menurut aliran ini, manusia memperoleh ilmu
melalui pengalamannya. Merujuk kepada makna perkataan empeirikos,
maka ia juga boleh ditafsirkan sebagai pengalaman yang melalui
pancaindera yang membolehkan manusia tahu mengenai sesuatu perkara.
Menurut pandangan barat juga, sesuatu yang tidak dapat diamati melalui
1 Felix Liberto, How to Write a Thesis Proposal: Some Practical Guidelines, eds. ketiga
(Philippines: University of the Philippines Los Banos, 1996), 1. Seterusnya disebut sebagai
Thesis Proposal.
lima pancaindera (penglihatan, pendengaran, bau, rasa dan sentuh)
bukanlah ilmu yang benar. Ilmu yang dihasilkann dari pancaindera itulah
sumber ilmu yang benar. Oleh yang demikian, penelitian dari aliran ini
adalah eksperimen.
Pada abad modern, aliran ini dikembangkan oleh John Locke (16321704). Melalui teorinya “tabula rasa” yang berarti jiwa yang kosong, Locke
berpendapat bahawa manusia itu pada mulanya kosong dari ilmu, kemudian
pengalamannya mengisi jiwa yang kosong tersebut lantas manusia tersebut
memiliki ilmu.
2. Rasionalisme
Rasionalisme
mengkritik
pandangan
empirisisme
dengan
mengemukakan keterbatasan pancaindera. Pancaindera ini dapat “menipu”
manusia dengan perkara yang tidak dilihat oleh sesuatu ilmu tersebut.
Sebagai contoh, amnya gula bersifat manis, akan tetapi rasa manis itu tidak
dapat dirasa oleh orang yang dilanda sakit malaria yang mendakwa gula
rasanya pahit. Hal ini jelas membuktikan bagaiman pancaindera dengan
mudahnya mampu menipu manusia. Oleh sebab itu, pandangan rasionalisme
berpendapat bahawa akal merupakan dasar bagi kepastian sesuatu ilmu.
Ilmu yang benar diperoleh dan diukur dengan akal melalui kegiatan akal
menangkap objek. Aliran ini dikembangkan oleh Rene Descartes (15961650).
Meskipun demikian, aliran ini tidak sepenuhnya menolak kegunaan
pancaindera dalam memperoleh pengetahuan. Bagi aliran ini, pancaindera
diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang
menyebabkan akal dapat bekerja. Akan tetapi, untuk sampainya manusia
kepada kebenaran adalah semata-mata dengan akal. Pancaraindera menurut
rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas dan kacau-bilau. Bahan ini
kemudian dipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berpikir. Akal
mengatur bahan itu sehingga dapatlah terbentuk pengetahuan yang benar.
Maka, akal bekerja karena ada bahan dari pancaindera.
3. Positivisme
Tokoh aliran ini adalah Agust Comte (1798-1857). Comte pada
mualanya adalah seorang yang berpandangan empirisme. Beliau
berpendapat bahawa pancaindera itu amat penting dalam memperoleh ilmu,
tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan
eksperimen. Kekeliruan pancaindera akan dapat diselesaikan melalui
eksperimen. Eksperimen pula memerlukan ukuran-ukuran yang jelas.
Sebagai contoh, suhu perlu diukur dengan alatnya, berat perlu diukur
dengan alatnya dan sebagainya.2
Percampuran pelbagai epistemology inilah yang kemudian melahirkan
metode ilmiah (scientific method) dan selanjutnya memiliki “keturunan”
yang bernama sains (scientific knowledge). Pastinya, hubung-kait di antara
aliran rasionalisme dan empirisme, telah diperkuat oleh positvisme. Menurut
positvisme, perlu ada cara-cara atau prosedur ilmiah yang diterapkan dalam
membaca data atau objek materia untuk mencapai sains. Menurut Manheim,
positvisme dilengkapi dengan sifat penelitan yang objektif, akurat,
sistematis, dan analitis. Manheim menulis:
“Sains adalah [hasil] analisa terhadap data [yang bersifat]
empiris yang telah ditetapkan, dilakukan secara objektif, akurat
dan analisa sistematik untuk mengungkap hubungan-hubungan di
antara fenomena”.3
Dapat disimpulkan bahwa sains dicapai melalui prosedur yang
menggabungkan aliran-aliran dalam epistemology (antara rasionalisme dan
empirisme, diperkuat dengan positivisme) dengan sifat penelitian yang
objektif, akurat, sistematis dan analitis, terhadap sesuatu perkara. Jelasnya,
manusia disemai untuk berfikiran rasional dalam melakukan kesimpulan awal
atau hipotesis, kemudian membuktikan hipotesis itu melalui pelbagai
eksperimen dan melalui cara inilah sains barat benar-benar dimulai.4
Dari pembahasan di atas, kita telah mengetengahkan bahwa
sains (scientific knowledge) dihasilkan dari atau dengan menggunakan
pendekatan ratio (melalui jalan deduktif) dan empeirikos (melalui jalan
induktif) diperkuat dengan eksperimen.5 Perspektifnya adalah, objektif,
akurat, sistematis dan analitis. Objek penelitiannya adalah segala yang
2 Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, eds.
kedelapan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), 23-26. Selanjutnya disebut Ahamad
Tafsir.
3 Disebut oleh Felix dalam Thesis Proposal, 1. Ada empat kata kunci dalam pernyataan
definisi tersebut yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) Objektif. Artinya peneliti selayaknya
mendudukkan perkara sebagaimana mestinya, artinya tidak bias, prejudis, ataupun
personal dalam kegiatan penelitian, (2) Akurat. Akurat berarti bahwa peneliti harus tepat,
pasti dan persis dalam mengurai pembahasan, (3) Sistematis. Artinya, dalam pemaparan,
peneliti harus menunjukkan “benang-merah” argumentasinya, yakni antara satu ide,
konsep, atau postulat dengan yang lainnya terlihat jelas ketersinambungan dan
koherensinya, dan (4) Analitis. Artinya melakukan pendalaman terhadap objek yang diteliti
dengan memperhatikan segala aspek-aspeknya.
4 Aplikasi prosedur saintifik ini dalam penelitian dan penulisan karya ilmiah dapat dilihat
pada lampiran tulisan ini.
dapat diamati oleh indera. Konsekuensinya, segala yang tidak dapat diamati
oleh indera bukanlah sains.6
B) EPISTEMOLOGI ISLAM
Islam tidak menolak pandangan sains yang menggunakan akal dan
pancaindera, akan tetapi Islam tidak berhenti kepada kedua sumber
tersebut. Islam meyakini wahyu (al-khabar al-ṣādiq: al-Qur’ān dan al-Ḥadīṡ),
dan intuisi (al-Ilhām) sebagai sumber dalam mencapai dan memperoleh
ilmu.7
Wahyu adalah sumber utama bagi Islam. Berbagai aspek dibicarakan di
dalamnya, baik secara global ataupun rinci, termasuk epistemologi,
ontology, aksiologi, kosmologi, psikologi, sosiologi, eskatologi, dan lain
sebagainya. Dalam epistemologi, misalnya, Wahyu amat mengharagai akal
dan penelitian atau observasi inderawi. Penggalan-pengalan ayat berikut
merupakan justifikasi dari penghargaan itu: افل تبصصصرون، افل تعقلصصونdan افل
ينظ رون الى البإل كيف خلق ت.8 Bahkan berkembangnya pemikiran filsafat Islam
memperoleh dorongan yang kuat dari kedua sumber Islam tersebut. Lalu
mengapa sains modern Barat tidak menggunakan sumber-sumber agama
sebagaimana halnya dalam Islam? Bukankah peradaban Barat, dilihat dari
sejarahnya, “berkembang” melalui proses “injeksi” atau perpaduan berbagai
unsur, yaitu unsur filsafat dari Greek, hukum dan pemerintahan dari Roma,
dan agama dari Yahudi dan Nasrani atau bahkan Islam?9
5 Filsafat sebagai ilmu berbeda dengan filsafat sebagai pendekatan atau metode. Ilmu
filsafat adalah ilmu yang dihasilkan dari aktifitas atau “pekerjaan” ratio semata. Objek
materia ilmu filsafat tidak terbatas, yakni segala yang ada dan yang mungkin ada.
Sedangkan filsafat sebagai pendekatan atau dikenal sebagai deductive method memiliki
objek materia yang terbatas, yakni empiris atau yang dapat diamati oleh indera
(penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba).
6 Ahamad Tafsir, 24.
7 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 39.
8 Kata yang biasa digunakan dalam al-Qur’ān dan al-Ḥadīṡ adalah: ، فقه، تفكر، تدبإر،نظر
عقل، فهم،تذكر.
9 Lihat, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah:
King Abdul Aziz University, 1979), 20. Al-Attas menegaskan bahwa sumbangsi Islam berupa
spirit “keilmuan” terhadap peradaban Barat tidak dapat memberi peran yang dominan,
bahkan “dipaksa” untuk menyesuaikan diri dengan tradisi dan kultur Barat, sehingga
memberi konsekuensi terjadinya “dualisme” dalam worldview (cara-pandang) Barat.
Disebut selanjutnya sebagai Objectives.
Ada tiga kebarangkalian jawapan dari pertanyaan tersebut yang saling
berkaitan antara satu dengan yang lainnya, yaitu:
Pertama:
Kitab Suci Nasrani, tidak banyak “berbicara” mengenai akal. 10 Hal
yang demikian menyebabkan munculnya berbagai “spekulasi
pemikiran.” Dua pemikiran utama yang saling bertentangan dan
mendominasi sejarah perkembangan peradaban barat, yakni akal
dan mistik. Sejak zaman pemerintahan Thales hingga Sophists,
pemikiran rasional mendominasi dan mengalahkan mistik.
Namun, bermula zaman kegemilangan Sokrates hingga
menjelang Abad pertengahan, keduanya, yakni, akal dan mistik
digunakan secara seimbang. Pada Abad pertengahan, agama
Kristen mendominasi dan mengalahkan akal. Akan tetapi,
munculnya Descartes sampai masa Kant, pandangan akal
dijadikan sumber utama. Kedua aliran pikiran yang saling
mendominasi inilah yang mewarani jalan hidup peradaban Barat.
Warna hidup peradaban ini diwakili oleh dua prinsip besar yang
dikenal dengan prinsip cogito ergo sum-nya Rene Descartes
(1596-1650) yang mewakili kalangan rasionalis, dan prinsip
credo ut intelligam-nya Saint Anselmus (1033-1109) yang
mewakili kalangan agamawan.11 Ketika pemikiran rasionalis
mendominasi, maka banyak dalam kalangan manusia yang
meninggalkan
agamanya,
sedangkan
apabila
agama
mendominasi, pemikiran rasional ditentang. Singkatnya, tidak
ada keharmonisan diantara keduanya.
Kedua:
Teori “emanasi” yang memberi implikasi filosofis terhadap
eksistensi dan realiti Tuhan. Teori ini berasaskan kewujudan
semesta alam. Dakwa mereka kewujudan Tuhan seiringan
dengan kewujudan alam, Tuhan tidak menciptakan alam, dan
bahkan Tuhan tidak mendahului alam dari sisi waktu dan zaman.
Tuhan hanya mendahuluinya dari sisi tingkatan eksistensi atau
wujūd, seperti halanya angka 1 yang mendahului angka 2. Angka
satu tidak menciptakan angka 2, 3, 4 dan seterusnya, serta tidak
mendahuluinya dari sisi waktu, meski angka 2, 3, 4 dan
seterusnya tidak wujud jika angka satu tidak wujud. Tuhan dan
alam ibarat Manusia dihadapan cermin kaca, bayangan tidak
diciptakan oleh cermin tersebut. Manusia dihadapan cermin
tersebut tidak mendahului bayangannya dalam hal bergerak. Hal
ini apat disimpulkan bahawa alam semesta tidak bergantung
10 Ahamad Tafsir, 237.
11 Cogito Ergo Sum kurang lebih berarti “aku berfikir maka aku ada ( I think therefore I am)”
dan Credo Ut Intelligam artinya “iman lebih dulu atau diutamakan kemudian akal”
kepada yang lain selain dirinya, ia berkembang melalui “hukum”
yang ada pada dirinya
Ketiga:
Pengaruh ajaran Sophist yang menjadikan manusia sebagai
ukuran segala sesuatu. Implikasinya adalah tidak ada kebenaran
hakiki, artinya, tidak ada kebenaran yang pasti tentang
pengetahuan, tentang etika, tentang metafisika, dan juga
tentang agama. Sophist pernah berkata, ‘Yang benar adalah
yang benar menurutku, atau menurutmu, atau menurutnya.’
Penjelasan mengenai epistemologi dan ontology Islam yang juga
sekaligus sebagai sanggahan atas asumsi sains yang berkembang di Barat,
dapat kita baca melalui karya monumental al-Imam al-Nasafi dalam teologi.
Beliau menulis:
خلفصصا، والعلصصم بإهصصا متحقصصق، حقائق الشأياء ثابإتصصة،قال اهل الحق اعز هم الله ابإدا
، الخصصبر الصصصادق، الحصصواس السصصليمة: ثم اسباب العلم للخلق ثلثصصة.للسوفسطائية
... واللهام ليس من اسباب المعرفة بإصحة الشئ عند اهل الحق... والعقل
Berkata ahl al-ḥaq (mudah-mudahan Allah memberinya kucuran
rahmat!) realitas segala sesuatu itu “tetap” adanya, dan ilmu
mengenainya (segala sesuatu) benar-benar dapat “diperoleh,”
berbeda dengan apa yang diyakini oleh para sophists. Adapun
sebab-sebab atau sumber-sumber ilmu itu ada tiga: (1) alkhabar al-ṣādiq [al-Qur’ān dan al-Ḥadīṡ], (2) indera [lima indera
luar dan lima indera dalam], dan (3) aql [rasio] … adapun alilhām [intuisi] itu tidak termasuk sebagai sumber ilmu.12
Berikut merupakan beberapa perkara yang perlu mendapat perhatian
dalam pernyataan al-Nasafi ini, di antaranya adalah:
1. = حقائق الشأياء ثابإتةrealiti segala sesuatu itu ada hakikatnya.
Kata الشئberarti sesuatu, atau segala yang ada selain dari Tuhan (ما
)سوى الله. Kata ini memiliki padanan arti dalam bahasa Arab yaitu: الكون
العالم، المعلومات، طبيعي،( الخلق )المخلوقات،( )الكائنات:
1. ( الكون )الكائناتdalam filsafat disebut sebagai عصصالم الكصصون والفسصصاد
artinya alam yang berasal dari atau muncul dan tercipta dari
‘ālam al-’amr (alam perintah Allah) melalui kata atau kalimat (كان
كن- كائن/ كن )– يكون – كونsebagaimana firman Allah: انما امره اذا
اراد شأيئا ان يقول له كن فيكون
12 Dikutip dalam Manuscript, 47-49.
2. ( الخلصصق )المخلوقصصاتartinya ciptaan, kata ini memberi indikasi
adanya الخالقatau pencipta ( خالق- )خلق – يخلق – خلقا.
3. طبيعيdalam filsafat disebut sebagai عالم طبيعيyang berarti alam
“terbit” atau alam ”stempel.” Indikasinya adalah bila ada yang
terbit sudah pasti ada penerbitnya atau pelaku yang melakukan
stempel tersebut.
4. المعلوماتatau objek ilmu. Indikasinya adalah العالمyang berarti
yang Maha Mengetahui معلومات/ ))علم – يعلم – علما – عالم – معلوم.
5. الشصصئyang berarti sesuatu. Ini mengindikasikan adanya مشصصيئة
atau yang “menghendaki,” dalam “teologi-kehendak” (free will &
pre destination) disebut sebagai - بإمشصصيئة اللصصه )شأصصاء – يشصصاء – شأصصئ
(مشيئة.
Terma-terma tersebut di atas, sebagaimana yang dapat dilihat,
memunculkan indikasi adanya “sesuatu” yang lain selain dari dirinya (point
to something other than itself). Sesuatu yang lain selain dari dirinya ini biasa
diistilahkan dengan “tanda” (simbol = āyah) akan adanya Allah. Hal ini tentu
berbeda dengan keyakinan “animisme” dan “dinamisme” yang memandang
adanya “jiwa dan kekuatan” terhadp sesuatu atau objek materia. Perspektif
Islam ini, justeru menolak adanya kepercayaan yang berbau magic dan
mistis terhadap sesuatu (the expulsion from our understanding of a magical
or mythical conception of nature). Beberapa ungkapan yang biasa digunakan
oleh para ulama kita dalam menjelaskan hal tersebut, di antaranya oleh alImam Ali R.A: ”“ ”ما رأيت شأيئا ال ورأيت الله فيهaku tidak melihat sesuatu kecuali
[sesuatu tersebut] merepresentasikan Allah padanya.” Dengan kata lain,
segala sesuatu atau objek materia “harus” dilihat sebagai simbol atau
manifestasi ( )تجليAllah.
Pernyataan: segala sesuatu harus dilihat sebagai simbol atau
manifestasi Allah, tidak lantas disimpulkan bahwa sesuatu (the world
together with all its parts) tidak memiliki realitas atau hakikat atau existensi
atau maujūd. Meskipun dapat pula dikatakan bahwa eksistensinya adalah riil
dan tidak riil. Tidak riil apabila melihat kenyataan bahwa sesuatu tersebut
“tergantung” kepada yang lainnya dan mengalami per-wujūd-an baru secara
terus menerus. Sedangkan riil apabila melihat kenyataan bahwa sesuatu
tersebut eksis atau maujūd fī ‘ilm Allah (intelligible in the Divine Knowledge)
yang kemudian diistilahkan oleh para Sufī sebagai al-a‘yān al-ṡābitah. Inilah
tesis pertama kita.
Selanjutnya, sesuatu yang merupakan manifestasi Allah memberi
konsekuensi logis adanya penciptaan. Bahwa sesuatu atau objek materia
adalah merupakan ciptaan yang tidak mungkin begitu saja ada tanpa ada
yang meng-ada-kannya, yaitu Allah. Dengan demikian ke-ada-annya
bergantung kepada (dependent up on) yang meng-ada-kannya. Keadaan
yang bergantung tersebut diistilahkan dalam ‘ilm al-kalām sebagai qiyāmuh
li gairih dan dalam tasawwuf sebagai fanā’ (antonim dari sifat Allah al-baqā’
= kekal).
Kondisi sesuatu yang keadaannya bergantung tersebut, tak lain dan
tak bukan, karena penciptaannya oleh Allah dilakukan secara “terus menerus
setiap saat.” Artinya “ada” dan “tiada” secara bergantian dan terus menerus
terjadi tanpa ada durasi waktu yang meng-antara-i dalam masa eksistensi
pertamanya menuju eksistensi keduanya dan eksistensi selanjutnya tanpa
batas, jika Allah menghendaki!. Hal ini, menurut para Sufi, dilakukan agar
supaya entitas atau sesuatu tersebut merasa fakir (al-faqr) dan
membutuhkan Tuhan (al-Ganī) setiap saat (sense of dependency). Karena
jika tetap atau pernah mengalami ketidak fanā-an atau ada dalam
eksistensinya untuk dua durasi masa atau lebih, maka entitas akan
mempunyai kualifikasi sebagai sesuatu yang independent (ginā) dari Tuhan
dalam durasi tersebut.13 Demikianlah realitas sesuatu atau objek materia.14
2. والعلم بإها متحققilmu mengenai sesuatu atau objek materia itu benar dapat
“dicapai.” Lalu pertanyaan akan muncul: bagaimana mungkin
pengetahuan mengenai sesuatu dapat tercapai, apabila realitas sesuatu
atau yang menjadi objek pengetahuan tersebut kondisi penciptaannya
ada dan tiada secara silih berganti dan terus menerus ? Bukankah kondisi
itu menunjukkan “perubahan” atau ketidak tetapan pada “diri” sesuatu
atau objek materia, dan dengan kondisi demikian tidak memungkinkan
tercapainya pengetahuan atau ilmu?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut di atas, ada pentingnya
terlebih dahulu melihat konsepsi ilmu yang telah dikemukakan oleh para
cendekiawan Muslim. Menurut mereka, semua ilmu atau pengetahuan
bersumber dari Allah. Adapun proses tercapainya ilmu tersebut melalui dua
jalan, yaitu: (1) ma’rifah, dan (2) iktisābī. Ma’rifah (disebut juga sebagai
Lihat Syafa’atun al-Mirzanah, When Mystic Masters Meet: Paradigma Baru dalam Relasi
Umat Kristiani-Muslim (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), 141-143.
14 World-view Islam memberi gambaran yang sangat jelas antara Being ( wujūd) dan
Existence (maujūd), antara Unity (waḥdah) dan Multiplicity (kaṡrah), antara Subsistence
(baqā) dan Evanescene (fanā). Dalam diskursus wujūd, waḥdah, dan baqā, realitas wujūd
hanya milik Allah satu-satunya (independent, subsistent, dan absolute), sedangkan
maujūd adalah milik segala sesuatu selain dari pada Allah ( dependent upon God,
evanescene, dan relative). Lihat Objectives, 34-35.
13
ladunnī) adalah ilmu yang langsung diberikan oleh Allah kepada sang
“tercerah” yang telah mencapai tingkat spiritual “khusus” dan telah memiliki
“kesiapan” (isti‘dād) untuk menerima “pencerahan.” Sedangkan iktisābī
adalah ilmu yang diperoleh oleh seseorang melalui “aktifitas pencarian” atau
usaha dengan menggunakan logika rasio dan pengalaman inderawi.15
Melihat bahwa segala ilmu mengembalikan sumbernya kepada Allah
serta menimbang bahwa jiwa atau soul (al-‘aql, al-qalb, al-rūḥ dan al-nafs )
yang memiliki fungsi sebagai penerima yang sekaligus penterjemah
“interpreter” ilmu tersebut melalui “organ” spiritual dan fisikal, yakni panca
indera dalam dan luar, maka ilmu atau pengetahuan dapat didefinisikan
sebagai ketibaan “arti” sesuatu atau objek pengetahuan pada jiwa ( حصول
= معنى الشئ فى النفسthe arrival in the soul of the meaning of a thing or an
object of knowledge) atau berhasilnya jiwa memperoleh “arti” sesuatu atau
objek pengetahuan ( = وصول النفس الى معنى الشئthe arrival of the soul at the
meaning of a thing or an object of knowledge).16
Dengan demikian, apabila definisi ilmu atau pengetahuan tersebut
diaplikasikan terhadap objek materia atau sesuatu, yang mana sesuatu atau
objek pengetahuan tersebut memiliki kondisi penciptaan secara terus
menerus, maka pengetahuan hanya dimungkinkan atau dapat tercapai
melalui jalan “abstraksi.” Artinya: apabila aktifitas pencarian ilmu atau
pengetahun dilakukan dengan “menggunakan” pendekatan indera (indera
luar), maka yang terabstraksi dari objek materia tersebut adalah form (ṣūrah
atau bentuk) yang direpresentasikannya, bukan benda atau objek itu sendiri,
selanjutnya form yang telah terabstraksi tersebut, oleh ‘indera dalam’
“diolah” sedemikian rupa menjadi sebuah “ide.” Proses pembentukan atau
pengolahan form menjadi ide ini disebut sebagai proses “pemahaman” (
)الفهمyang pada gilirannya membuat objek pengetahuan atau sesuatu dapat
“dipahami” ()مفهوم. Begitu pun halnya apabila aktifitas pencarian ilmu atau
pengetahun dengan “menggunakan” pendekatan rasio atau akal, maka yang
terabstraksi dari objek materia tersebut adalah arti (ma‘na) yang
direpresentasikan oleh sesuatu atau objek pengetahuan yang melekat
padanya, bukan benda atau objek itu sendiri, selanjutnya arti yang telah
terabstraksi tersebut, oleh jiwa melalui organnya ( al-‘aql, al-qalb, al-rūḥ dan
al-nafs) “diolah” sedemikian rupa menjadi sebuah “ide.” Proses
pembentukan atau pengolahan arti menjadi ide ini disebut sebagai proses
“pemahaman” ( )الفهصمyang pada gilirannya membuat objek pengetahuan
Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur:
International Institute of Islamic Thought and Civilization, ISTAC, 1993), 79-80.
16
Bandingkan Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Positive Aspect of Tasawwuf:
Preliminary Thoughts on an Islamic Philosophy of Science (Kuala Lumpur: Art Printing
Works, 1981), 5.
15
atau sesuatu dapat “dipahami” ()مفهوم.17 Perbedaan dari kedua proses ini
adalah, apabila aktifitas pencarian ilmu itu terjadi dengan jalan abstraksi
form, untuk menjadi sesuatu atau objek materia yang dipahami, maka
sesuatu atau objek materia tersebut mengalami proses abstraksi oleh indera
luar terlebih dahulu. Indera luar kemudian mengirim “sinyal” atau data yang
telah terabstraksi kepada indera dalam untuk kemudian diolah menjadi
sebuah konsep atau ide. Akan tetapi, apabila aktifitas pencarian ilmu itu
terjadi dengan jalan abstraksi arti, untuk menjadi sesuatu yang dipahami,
maka sesuatu atau objek pengetahuan tersebut tidak harus diabstraksi oleh
indera luar terlebih dahulu, tetapi langsung “diolah” oleh indera dalam. Hal
ini terjadi karena arti sesuatu atau objek pengetahuan telah ada dan telah
melekat pada jiwa melalui aktifitas organ-organnya, yaitu: al-‘aql, al-qalb, alrūḥ dan al-nafs. Inilah tesis ketiga kita yang sekaligus sebagai objeksi
terhadap sikap para Sophis.
3. العقلdan الحواس السليمة. Pembahasan mengenai akal (al-‘aql, al-qalb, alrūḥ dan al-nafs) dan indera (five external and internal senes) adalah
pembahasan mengenai manusia. Oleh karenanya, diskursus kita arahkan
untuk memasuki areal psikologi yang berfokus pada realitas manusia
(man’s nature).
Manusia menurut perspektif Islam tidak sama dengan apa yang dianut
dan diyakini oleh Barat yang nota-benenya membatasi pembahasan manusia
hanya pada aspek atau level realitas fisik semata. 18 Menurut Islam,
disamping fisik, manusia juga memiliki unsur non-fisik yang biasa disebut
sebagai spirit atau rūḥ yang dapat dibuktikan ada-nya secara ‘sapontan’ (
)البديهةketika seseorang berkata “saya” atau “aku.” Dengan demikian, unsur
manusia terdiri dari dua aspek: fisikal dan spiritual.
Perlu ditegaskan, bahwa aspek spiritual adalah realitas atau hakikat
manusia atau yang mendifinisikannya. Oleh karena, aspek spiritual manusia
inilah yang membedakannya dengan makhluk atau ciptaan lainnya. Dalam
logika atau mantiq, definisi genus and differentia dilakukan untuk
“membedakan” sesuatu dengan yang lainnya. Sesuatu yang membedakan
ini adalah sesuatu yang essensial yang tidak terdapat pada sesuatu yang
17 Telusuri Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and the Philosophy of Science (Kuala
Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, ISTAC, 1989), 9-10.
Selanjutnya disebut sebagai Philosophy of Science.
18 Psikologi yang dianut oleh sains modern Barat, tak lain dan tak bukan, adalah “ ekstensi”
dari metodologi sains yang dasar asumsinya adalah realitas fisik (the restriction of
reason and experience to the level of physical reality ).
lainnya, esensi inilah yang kemudian menjadi realitas sesuatu yang
didefinisikan.19 Apabila manusia, misalnya, didefinisikan sebagai hewan yang
rasional (a rational animal = )الحيوان الناطق. Rational, yang akar katanya dari
Latin rasio, memiliki padanan makna dengan نطقdalam bahasa Arab yang
berarti “ucapan.” Kata نطقjuga mengindikasikan rasionalitas dari sisi bahwa
manusia memiliki “fakultas dalam = ( inner faculty)” yang dapat
memformulasikan arti. Dengan demikian, definisi manusia sebagai hewan
yang rasional memberi pengertian bahwa manusia adalah hewan yang
memiliki fakultas dalam yang dengan fakultas tersebut ia sanggup
memformulasikan arti yang dapat dipahami dengan jalan menyusun katakata menjadi sebuah kalimat sempurna yang terungkap melalui ucapan . Dan
hal ini terindikasi pada level di mana manusia masih dalam kondisinya yang
berada di ‘ālam al-amr (man’s condition before he became manifested in
human form) ketika ditanya untuk diambil kesaksian dan janji mereka (‘ahd
atau mīṡāq) oleh Allah: “.الست بإربإكم.” “bukankah Aku ini Tuhanmu?” lalu,
dengan spontan, mereka menjawab “ “ ” قالوا بإلى شأهدناya, benar dan kami
bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami!” Fakultas dalam inilah yang
merupakan substansi spiritual yang mendefinisikan atau membedakan
manusia dengan hewan yang lainnya dan menjadi realitasnya dan
menjadikan manusia sebagai manusia. Dan inilah tesis keempat kita.
Menurut al-Gazālī, substansi spiritual manusia tercakup di dalamnya
al-‘aql (akal atau rasio), al-qalb (hati atau heart), al-nafs (jiwa atau soul) dan
al-rūḥ (ruh atau spirit). Dan terma-terma tersebut hakikatnya memiliki
entitas yang satu. Adapun penyebutannya yang berbeda-beda, hal itu
dikarenakan oleh keadaannya (aḥwāl), sehingga: (a) apabila entitas tersebut
melakukan kegiatan intelektual (apprehension) maka ia disebut sebagai akal
atau rasio (al-‘aql), (b) apabila entitas tersebut keadaannya “menaungi”
tubuh (governs the body), maka ia disebut sebagai jiwa atau soul (al-nafs),
(c) apabila entitas tersebut keadaannya menerima intuisi dan pencerahan
(receiving intuitive illumination), maka ia disebut sebagai hati atau heart (alqalb), dan (d) apabila entitas tersebut keadaannya “kembali” kepada
dunianya yang abstrak (the world of abstract entity), maka ia disebut ruh
atau spirit (al-rūḥ).20
19 Bandingkan Philosophy of Science, 25: ‘Being-existent’ is common to all existents in the
various levels of existence, and although existence is the stuff of reality, it is strictly
speaking, not the commennes that makes a thing to be what it is; it is rather the ‘beingdistinct’ from any other that makes a thing to be what it is, for it is only by virtue of
distinction that realities have come into existence. Therefore the fundamental nature
of reality is difference.
20 Dikutip dalam Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Nature of Man and the Psychology
of the Human Soul: A Brief Outline and a Framework for an Islamic Psychology and
Epistemology (Kuala Lumpur: ISTAC, 1990), 7-8. Pengutipan selanjutnya menyebut Islamic
Psychology.
Pembahasan di atas, di samping menegaskan adanya unsur non fisikal
manusia, yaitu ruh, juga menunjukkan “adanya kemungkinan” manusia
untuk memperoleh pencerahan atau intuisi apabila hati telah dipersiapakan
untuk menerima pencerahan.21 Disebut adanya kemungkinan (possibility)
karena tidak semua hati dapat dan siap untuk tercerahkan. Hati yang siap
adalah hati yang telah melalui “pelatihan = “ رياضصصةdengan melewati
berbagai tingkatan dan stasiun, yakni, المقام والحوال, yang berakhir ditandai
dengan adanya “penyingkapan = ” الكشفatas misteri sesuatu atau realitas.
Penting menyinggung sekilas mengenai pernyataan al-Nasafī
mengenai intuisi ini واللهام ليس من اسباب المعرفة بإصحة الشئ. Bahwa: “adapun
intuisi itu tidaklah menjadi sumber ilmu atau pengetahuan ” tidak
dimaksudkan kepada intuisi itu sendiri yang, dalam Islam diakui secara
affirmatif sebagai salah satu sumber rujukan dalam pencapaian ilmu atau
pengetahuan.22 Kalimat tersebut ditujukan kepada “personal” atau pihakpihak tertentu, khususnya, pseudo-Sufi (ke-sufi-sufi-an) yang sesat dan
banyak melakukan “penyesatan” akibat dari klaim penerimaan intuisi
tersebut. Jadi negasi atas ilham sebagai sumber ilmu tidak bersifat general
atau umum, oleh karena bagi sebahagian, khususnya, kalangan yang telah
teruji tingkat kesalehan dan spiritualnya, terjadinya intuisi sangat
dimungkinkan.23
الحواس السليمةatau indera. Indera yang merupakan sumber ilmu atau
pengetahuan tidak hanya terbatas kepada lima indera luar, sebagaimana
yang diyakini oleh Barat. Akan tetapi, menurut Islam, disamping indera luar,
yaitu indera penglihatan, pendengaran, peraba, perasa dan penciuman, ada
juga indera dalam yaitu, fantasia ()الحصصس المشصصترك, representatif ()الخياليصصة,
estimatif ()الوهمية, retentive dan rekolektif ()الحافظة و الذاكرة, dan imaginatif (
)المتخيلصصة. Indera dalam tersebut adalah fakultas intermediari yang dapat
berhubungan langsung dengan(1) indera luar, dan (2) rasio. Ringkasnya,
hubungan antara indera dalam dengan indera luar adalah transfer data
form. Artinya, indera luar melakukan transfer data form yang dipersepsinya
dari objek materia menuju indera dalam sebagai penerima dan interpreter.
Form tersebut, selanjutnya, diolah (act upon it) sedemikian rupa menjadi
sebuah ide yang dipahami. Begitu juga halnya dengan hubungan indera
dalam dengan rasio. Bedanya hanyalah dari sisi objek yang ditransfer. Di sini
yang ditransfer adalah data arti yang dipersepsi oleh rasio.
21 Diskursus mengenai intuisi secara filosofis dibahas dalam Syed Muhammad Naquib alAttas, The Intuition of Existence: A Fundamental Basis of Isamic Metaphysics (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1990).
22 Fa al-hamaha fujuraha wa taqwaha, wa auhaina ila ummi musa dan ……………………..
23 Bandingkan Manuscript, 47-49 dan Sa’d al-Dīn al-Taftāzānī, A Commentary on the Creed
of Islam: Sa’d al-Dīn al-Taftāzānī on the Creed of Najm al-Dīn al-Nasafī, terj. Earl Edgar
Elder (New York: Columbia University Press, 1950), 27.
Fungsi dari kelima indera dalam tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
a) Fantasia adalah fakultas yang melakukan persepsi atau menangkap
form dari objek pengetahuan. Form tersebut kemudian disimpan oleh
fakultas imaginatif atau representatif.
b) Estimatif adalah fakultas yang melakukan persepsi atau menangkap
arti dari objek pengetahuan. Arti tersebut disimpan oleh retentif dan
rekolektif.
Proses kerja dari kelima indera dalam tersebut adalah: fakultas fantasia
langsung menerima data dari indera luar. Data yang diterima oleh fantasia
tersebut kemudian direkam dan disimpan oleh fakultas representatif,
sehingga data tersebut terjaga meskipun form tersebut telah hilang dari
indera luar. Data yang tersimpan tersebut oleh fakultas estimatif dilakukan
penilaian (judgement) apakah baik atau buruk, benar atau salah data
tersebut. Estimatif adalah fakultas yang selalu memerlukan bantuan rasio,
jika tidak, maka ia akan menjadi sumber yang melakukan penilaian yang
salah. Sama halnya dengan fakultas representatif yang bekerja untuk
fantasia, fakultas retentif dan rekolektif berfungsi menyimpan dan menjada
arti yang oleh estimatif telah dilakukan penilaian. Fakultas retentif adalah
yang menjaga data dari korupsi sedangkan fakultas rekolektif adalah yang
merepresentasikan form atau arti dengan segera bila dibutuhkan. Imaginatif
adalah fakultas yang memiliki fungsi yang mempersepsi form-form,
mengkombinasi dan memisahkan, menambah dan mengurangi, serta
melakukan klasifikasi, sehingga jiwa dapat melakukan abstraksi arti dari
form-form tersebut. Jiwa memanfaatkan fakultas imaginatif ini dalam rangka
pengklasifikasian data: jika pemanfaatan tersebut bertujuan intelektual maka
hasilnya adalah ‘renungan,’ tetapi, jika fakultas imaginatif tersebut
digunakan berdasarkan realitasnya yang bersifat imaginatif, maka hasilnya
adalah imaginasi.
KESIMPULAN:
1. Sains atau ilmu atau pengetahuan menurut perspektif Barat dan Islam
tidaklah sama.
2. Epistemologi Barat memberi penekanan terhadap kerja akal yang
dapat diidentifikasi sebagai “otak atau brain” dan indera yang
diidentifikasi sebagai penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba,
dan perasa yang dilengkapi dengan eksperimen.
3. Epistemologi Islam di samping mengakui akal dan inderawi, tetapi
menambahkan wahyu dan intuisi sebagai sumber ilmu atau
pengetahuan.
4. Ontologi Barat melihat segala sesuatu atau objek pengetahuan atau
natural world sebagai satu-satunya level eksistensi. Artinya, hanya
alam fisikal yang dianggap sebagai realitas. Konsekuensinya, alam
spiritual, alam non fisikal, alam gaib termasuk jiwa, ruh dan Tuhan
dianggap tidak eksis.
5. Ontologi Islam
a. Islam, di samping mengakui eksistensi segala sesuatu atau objek
pengetahuan atau natural world, juga mengakui adanya alam
spiritual, metafisikal, alam gaib, termasuk jiwa, ruh dan pastinya
Tuhan.
b. Islam juga menegaskan bahwa realitas segala sesuatu itu
hanyalah merupakan simbol atau ayah. Artinya, segala sesuatu
tersebut hanyalah manifestasi dari Allah.
c. Penegasan ini tidaklah berarti bahwa Islam mengakui
keberadaan dinamisme dan animisme. Akan tetapi penegasan
tersebut bermaksud bahwa segala sesuatu menunjuk adanya
Tuhan yang menciptakannya.
d. Penciptaan tersebut dilakukan secara berkesinambungan tanpa
henti dan tanpa ada dua durasi yang mengantarai dalam masa
penciptaan pertamanya menuju penciptaan keduanya dan
penciptaan seterusnya (jika Allah menghendaki).
e. Penciptaan yang sedemikian rupa (berkesinambungan) tidak
berarti bahwa pengetahuan mengenai sesuatu tersebut tidak
dimungkinkan. Pengetahuan dimungkinkan dengan adanya
konsep ilmu yang menegaskan sifat abstraksi form dan arti dari
sesuatu, bukan sesuatu atau objek materia itu sendiri.
6. Psikologi Islam:
a. Berbeda dengan apa yang diyakini oleh Barat yang menekankan
realitas manusia pada aspek fisik semata. Islam mengakui kedua
aspek, yaitu aspek fisik dan non fisik manusia. aspek non fisik
inilah yang menjadi realitasnya dan mendefinisikan manusia
sebagai manusia. Unsur tersebut terindikasi pada leve dimana
manusia masih berada di ‘ālam al-malakūt dan belum menghuni
‘ālam al-dunia.
b. Aspek non fisik yang merupakan realitas manusia tersebut
mencakup: qalb, ‘aql, nafs dan rūh. Terma-terma tersebut
entitasnya adalah satu. Sebutannya berbeda-beda karena
kondisinya. Sehingga: (a) apabila entitas tersebut melakukan
kegiatan intelektual (apprehension) maka ia disebut sebagai akal
atau rasio (al-‘aql), (b) apabila entitas tersebut keadaannya
“menaungi” tubuh (governs the body), maka ia disebut sebagai
jiwa atau soul (al-nafs), (c) apabila entitas tersebut keadaannya
menerima
intuisi
dan
pencerahan
(receiving
intuitive
illumination), maka ia disebut sebagai hati atau heart (al-qalb),
dan (d) apabila entitas tersebut keadaannya “kembali” kepada
dunianya yang abstrak (the world of abstract entity ), maka ia
disebut ruh atau spirit (al-rūḥ).
c. Aspek non fisik inilah yang kemudian membuktikan adanya
kemungkinan terjadinya pencerahan atau intuisi yang berlokasi
pada hati yang siap untuk menerima pencerahan.
d. Psikologi Islam juga mengakui adanya lima indera dalam di
samping lima indera luar yang memiliki fungsi sebagai
penyimpan dan pengolah data yang di transfer oleh indera luar.
Pengolahan data tersebut membuat objek materia dapat
difahami (understood = mafhūm).
Lampiran
Prosedur sains yang kemudian menjadi “pedoman” dalam prosedur
penelitian ilmiah, sebagaimana yang dapat dilihat dalam diagram, berikut:
Rasionalisme/deduk
si
Mempelajari
teori,
konsep,
prinsip, postulat, hukum yang
ada dalam khazanah ilmu
pengetahuan.
1
Empirisme/induksi
Proses identifikasi
masalah
atau
Mempelajari atau mengamati
gejala, peristiwa, kejadian di
lapangan.
2
Rumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan
problematik. Tetapkan juga variable yang ada atau
terkandung dalam pertanyaan tersebut.
3
Identifikasi kemungkinan-kemungkinan jawaban dari setiap
pertanyaan tersebut dengan melakukan analisis teoriteori, prinsip, hukum dari ilmu pengetahuan yang
menunjang tema permasalahan tersebut.
4
5
6
Dari setiap kemungkinan jawaban yang ditemukan dan atas
pertimbangan rasional kita setelah mengkaji teori, hukum,
prinsip keilmuan, tetapkan kemungkinan mana yang
paling
mendekati
jawabannya.
Rumuskanlah
kemungkinan ini sebagai hipotesis penelitian.
Rencanakan data apa yang harus diperoleh untuk menguji
hipotesis tersebut, dari mana data itu diperoleh dan
bagaimana cara memperolehnya.
Setelah ditemukan gambaran masalah, teori dan hipotesis,
dan verifikasi data di lapangan, buatlah usulan
penelitian untuk diajukan kepada pihak yang berwenang
untuk meminta petunjuk dan atau pengesahannya.
7
Setelah instrumen (alat pengumpul data) disetujui oleh
pihak yang berwenang melalui uji coba, dan telah
diperoleh izin penelitian, peneliti turun ke lapangan untuk
melakukan pengumpulan data.
8
Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis,
kemudian hipotesis diuji, hasilnya disimpulkan,
dibahas secara teoretis, berikan saran lebih lanjut.
9
Tulislah langkah-langkah di atas dalam satu sistematika
rangkaian kegiatan penelitian.
Di dalam rangkaian perdebatan mengenai kluster “sains” (science),
sedikitnya ada dua implikasi makna yang dapat kita simpulkan, yakni :sains
berimplikasi sebagai sebuah metode pendekatan (method of inquiry) atau
populernya diistilahkan dengan scientific method yang kemudian
diterjemahkan sebagai “metode ilmiah,” dan sains berimplikasi sebagai
“hasil” yang dicapai dari atau dengan menggunakan pendekatan tersebut
(the result of that inquiry) yang diistilahkan kemudian sebagai “scientific
knowledge” dan diterjemahkan secara literal sebagai “pengetahuan sains,”
“pengetahuan ilmiah,” atau “ilmu pengetahuan.”1 Tiga istilah yang disebut
terakhir ini agak membingungkan. Oleh karena itu, perlu diberi catatan awal,
bahwa tulisan ini akan menggunakan terma sains atau ilmu atau
pengetahuan (terjemahan al-‘ilm), berdiri sendiri tanpa penyandaran, dan
yang referensinya adalah implikasi kedua. Adapun apabila menggunakan
kluster metode ilmiah, maka yang dimaksud adalah pendekatan yang juga
dapat berarti “sumber” (sources of knowledge).
PERSPEKTIF EPISTEMOLOGI
Epistemologi adalah ilmu tentang ilmu. Ianya membicarakan sumber
ilmu, dan proses tercapainya ilmu tersebut. Dengan kata lain, bagaimana
ilmu tersebut dapat diperoleh, apa metode atau sumbernya? Secara
amnya, epistemology boleh dilihat dari dua sudut yang berbeza iaitu
menurut pandangan barat dan Islam.
A) EPISTEMOLOGI BARAT
Berikut ini dikemukakan beberapa aliran yang khusus membicarakan
epistemology yang sekaligus menggambarkan pandangan dari Barat:
1. Empirisme
Kata empirisme berasal dari perkataan yunani ‘empeirikos’ (empeiria)
yang berarti pengalaman. Menurut aliran ini, manusia memperoleh ilmu
melalui pengalamannya. Merujuk kepada makna perkataan empeirikos,
maka ia juga boleh ditafsirkan sebagai pengalaman yang melalui
pancaindera yang membolehkan manusia tahu mengenai sesuatu perkara.
Menurut pandangan barat juga, sesuatu yang tidak dapat diamati melalui
1 Felix Liberto, How to Write a Thesis Proposal: Some Practical Guidelines, eds. ketiga
(Philippines: University of the Philippines Los Banos, 1996), 1. Seterusnya disebut sebagai
Thesis Proposal.
lima pancaindera (penglihatan, pendengaran, bau, rasa dan sentuh)
bukanlah ilmu yang benar. Ilmu yang dihasilkann dari pancaindera itulah
sumber ilmu yang benar. Oleh yang demikian, penelitian dari aliran ini
adalah eksperimen.
Pada abad modern, aliran ini dikembangkan oleh John Locke (16321704). Melalui teorinya “tabula rasa” yang berarti jiwa yang kosong, Locke
berpendapat bahawa manusia itu pada mulanya kosong dari ilmu, kemudian
pengalamannya mengisi jiwa yang kosong tersebut lantas manusia tersebut
memiliki ilmu.
2. Rasionalisme
Rasionalisme
mengkritik
pandangan
empirisisme
dengan
mengemukakan keterbatasan pancaindera. Pancaindera ini dapat “menipu”
manusia dengan perkara yang tidak dilihat oleh sesuatu ilmu tersebut.
Sebagai contoh, amnya gula bersifat manis, akan tetapi rasa manis itu tidak
dapat dirasa oleh orang yang dilanda sakit malaria yang mendakwa gula
rasanya pahit. Hal ini jelas membuktikan bagaiman pancaindera dengan
mudahnya mampu menipu manusia. Oleh sebab itu, pandangan rasionalisme
berpendapat bahawa akal merupakan dasar bagi kepastian sesuatu ilmu.
Ilmu yang benar diperoleh dan diukur dengan akal melalui kegiatan akal
menangkap objek. Aliran ini dikembangkan oleh Rene Descartes (15961650).
Meskipun demikian, aliran ini tidak sepenuhnya menolak kegunaan
pancaindera dalam memperoleh pengetahuan. Bagi aliran ini, pancaindera
diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang
menyebabkan akal dapat bekerja. Akan tetapi, untuk sampainya manusia
kepada kebenaran adalah semata-mata dengan akal. Pancaraindera menurut
rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas dan kacau-bilau. Bahan ini
kemudian dipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berpikir. Akal
mengatur bahan itu sehingga dapatlah terbentuk pengetahuan yang benar.
Maka, akal bekerja karena ada bahan dari pancaindera.
3. Positivisme
Tokoh aliran ini adalah Agust Comte (1798-1857). Comte pada
mualanya adalah seorang yang berpandangan empirisme. Beliau
berpendapat bahawa pancaindera itu amat penting dalam memperoleh ilmu,
tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan
eksperimen. Kekeliruan pancaindera akan dapat diselesaikan melalui
eksperimen. Eksperimen pula memerlukan ukuran-ukuran yang jelas.
Sebagai contoh, suhu perlu diukur dengan alatnya, berat perlu diukur
dengan alatnya dan sebagainya.2
Percampuran pelbagai epistemology inilah yang kemudian melahirkan
metode ilmiah (scientific method) dan selanjutnya memiliki “keturunan”
yang bernama sains (scientific knowledge). Pastinya, hubung-kait di antara
aliran rasionalisme dan empirisme, telah diperkuat oleh positvisme. Menurut
positvisme, perlu ada cara-cara atau prosedur ilmiah yang diterapkan dalam
membaca data atau objek materia untuk mencapai sains. Menurut Manheim,
positvisme dilengkapi dengan sifat penelitan yang objektif, akurat,
sistematis, dan analitis. Manheim menulis:
“Sains adalah [hasil] analisa terhadap data [yang bersifat]
empiris yang telah ditetapkan, dilakukan secara objektif, akurat
dan analisa sistematik untuk mengungkap hubungan-hubungan di
antara fenomena”.3
Dapat disimpulkan bahwa sains dicapai melalui prosedur yang
menggabungkan aliran-aliran dalam epistemology (antara rasionalisme dan
empirisme, diperkuat dengan positivisme) dengan sifat penelitian yang
objektif, akurat, sistematis dan analitis, terhadap sesuatu perkara. Jelasnya,
manusia disemai untuk berfikiran rasional dalam melakukan kesimpulan awal
atau hipotesis, kemudian membuktikan hipotesis itu melalui pelbagai
eksperimen dan melalui cara inilah sains barat benar-benar dimulai.4
Dari pembahasan di atas, kita telah mengetengahkan bahwa
sains (scientific knowledge) dihasilkan dari atau dengan menggunakan
pendekatan ratio (melalui jalan deduktif) dan empeirikos (melalui jalan
induktif) diperkuat dengan eksperimen.5 Perspektifnya adalah, objektif,
akurat, sistematis dan analitis. Objek penelitiannya adalah segala yang
2 Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, eds.
kedelapan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), 23-26. Selanjutnya disebut Ahamad
Tafsir.
3 Disebut oleh Felix dalam Thesis Proposal, 1. Ada empat kata kunci dalam pernyataan
definisi tersebut yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) Objektif. Artinya peneliti selayaknya
mendudukkan perkara sebagaimana mestinya, artinya tidak bias, prejudis, ataupun
personal dalam kegiatan penelitian, (2) Akurat. Akurat berarti bahwa peneliti harus tepat,
pasti dan persis dalam mengurai pembahasan, (3) Sistematis. Artinya, dalam pemaparan,
peneliti harus menunjukkan “benang-merah” argumentasinya, yakni antara satu ide,
konsep, atau postulat dengan yang lainnya terlihat jelas ketersinambungan dan
koherensinya, dan (4) Analitis. Artinya melakukan pendalaman terhadap objek yang diteliti
dengan memperhatikan segala aspek-aspeknya.
4 Aplikasi prosedur saintifik ini dalam penelitian dan penulisan karya ilmiah dapat dilihat
pada lampiran tulisan ini.
dapat diamati oleh indera. Konsekuensinya, segala yang tidak dapat diamati
oleh indera bukanlah sains.6
B) EPISTEMOLOGI ISLAM
Islam tidak menolak pandangan sains yang menggunakan akal dan
pancaindera, akan tetapi Islam tidak berhenti kepada kedua sumber
tersebut. Islam meyakini wahyu (al-khabar al-ṣādiq: al-Qur’ān dan al-Ḥadīṡ),
dan intuisi (al-Ilhām) sebagai sumber dalam mencapai dan memperoleh
ilmu.7
Wahyu adalah sumber utama bagi Islam. Berbagai aspek dibicarakan di
dalamnya, baik secara global ataupun rinci, termasuk epistemologi,
ontology, aksiologi, kosmologi, psikologi, sosiologi, eskatologi, dan lain
sebagainya. Dalam epistemologi, misalnya, Wahyu amat mengharagai akal
dan penelitian atau observasi inderawi. Penggalan-pengalan ayat berikut
merupakan justifikasi dari penghargaan itu: افل تبصصصرون، افل تعقلصصونdan افل
ينظ رون الى البإل كيف خلق ت.8 Bahkan berkembangnya pemikiran filsafat Islam
memperoleh dorongan yang kuat dari kedua sumber Islam tersebut. Lalu
mengapa sains modern Barat tidak menggunakan sumber-sumber agama
sebagaimana halnya dalam Islam? Bukankah peradaban Barat, dilihat dari
sejarahnya, “berkembang” melalui proses “injeksi” atau perpaduan berbagai
unsur, yaitu unsur filsafat dari Greek, hukum dan pemerintahan dari Roma,
dan agama dari Yahudi dan Nasrani atau bahkan Islam?9
5 Filsafat sebagai ilmu berbeda dengan filsafat sebagai pendekatan atau metode. Ilmu
filsafat adalah ilmu yang dihasilkan dari aktifitas atau “pekerjaan” ratio semata. Objek
materia ilmu filsafat tidak terbatas, yakni segala yang ada dan yang mungkin ada.
Sedangkan filsafat sebagai pendekatan atau dikenal sebagai deductive method memiliki
objek materia yang terbatas, yakni empiris atau yang dapat diamati oleh indera
(penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba).
6 Ahamad Tafsir, 24.
7 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 39.
8 Kata yang biasa digunakan dalam al-Qur’ān dan al-Ḥadīṡ adalah: ، فقه، تفكر، تدبإر،نظر
عقل، فهم،تذكر.
9 Lihat, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah:
King Abdul Aziz University, 1979), 20. Al-Attas menegaskan bahwa sumbangsi Islam berupa
spirit “keilmuan” terhadap peradaban Barat tidak dapat memberi peran yang dominan,
bahkan “dipaksa” untuk menyesuaikan diri dengan tradisi dan kultur Barat, sehingga
memberi konsekuensi terjadinya “dualisme” dalam worldview (cara-pandang) Barat.
Disebut selanjutnya sebagai Objectives.
Ada tiga kebarangkalian jawapan dari pertanyaan tersebut yang saling
berkaitan antara satu dengan yang lainnya, yaitu:
Pertama:
Kitab Suci Nasrani, tidak banyak “berbicara” mengenai akal. 10 Hal
yang demikian menyebabkan munculnya berbagai “spekulasi
pemikiran.” Dua pemikiran utama yang saling bertentangan dan
mendominasi sejarah perkembangan peradaban barat, yakni akal
dan mistik. Sejak zaman pemerintahan Thales hingga Sophists,
pemikiran rasional mendominasi dan mengalahkan mistik.
Namun, bermula zaman kegemilangan Sokrates hingga
menjelang Abad pertengahan, keduanya, yakni, akal dan mistik
digunakan secara seimbang. Pada Abad pertengahan, agama
Kristen mendominasi dan mengalahkan akal. Akan tetapi,
munculnya Descartes sampai masa Kant, pandangan akal
dijadikan sumber utama. Kedua aliran pikiran yang saling
mendominasi inilah yang mewarani jalan hidup peradaban Barat.
Warna hidup peradaban ini diwakili oleh dua prinsip besar yang
dikenal dengan prinsip cogito ergo sum-nya Rene Descartes
(1596-1650) yang mewakili kalangan rasionalis, dan prinsip
credo ut intelligam-nya Saint Anselmus (1033-1109) yang
mewakili kalangan agamawan.11 Ketika pemikiran rasionalis
mendominasi, maka banyak dalam kalangan manusia yang
meninggalkan
agamanya,
sedangkan
apabila
agama
mendominasi, pemikiran rasional ditentang. Singkatnya, tidak
ada keharmonisan diantara keduanya.
Kedua:
Teori “emanasi” yang memberi implikasi filosofis terhadap
eksistensi dan realiti Tuhan. Teori ini berasaskan kewujudan
semesta alam. Dakwa mereka kewujudan Tuhan seiringan
dengan kewujudan alam, Tuhan tidak menciptakan alam, dan
bahkan Tuhan tidak mendahului alam dari sisi waktu dan zaman.
Tuhan hanya mendahuluinya dari sisi tingkatan eksistensi atau
wujūd, seperti halanya angka 1 yang mendahului angka 2. Angka
satu tidak menciptakan angka 2, 3, 4 dan seterusnya, serta tidak
mendahuluinya dari sisi waktu, meski angka 2, 3, 4 dan
seterusnya tidak wujud jika angka satu tidak wujud. Tuhan dan
alam ibarat Manusia dihadapan cermin kaca, bayangan tidak
diciptakan oleh cermin tersebut. Manusia dihadapan cermin
tersebut tidak mendahului bayangannya dalam hal bergerak. Hal
ini apat disimpulkan bahawa alam semesta tidak bergantung
10 Ahamad Tafsir, 237.
11 Cogito Ergo Sum kurang lebih berarti “aku berfikir maka aku ada ( I think therefore I am)”
dan Credo Ut Intelligam artinya “iman lebih dulu atau diutamakan kemudian akal”
kepada yang lain selain dirinya, ia berkembang melalui “hukum”
yang ada pada dirinya
Ketiga:
Pengaruh ajaran Sophist yang menjadikan manusia sebagai
ukuran segala sesuatu. Implikasinya adalah tidak ada kebenaran
hakiki, artinya, tidak ada kebenaran yang pasti tentang
pengetahuan, tentang etika, tentang metafisika, dan juga
tentang agama. Sophist pernah berkata, ‘Yang benar adalah
yang benar menurutku, atau menurutmu, atau menurutnya.’
Penjelasan mengenai epistemologi dan ontology Islam yang juga
sekaligus sebagai sanggahan atas asumsi sains yang berkembang di Barat,
dapat kita baca melalui karya monumental al-Imam al-Nasafi dalam teologi.
Beliau menulis:
خلفصصا، والعلصصم بإهصصا متحقصصق، حقائق الشأياء ثابإتصصة،قال اهل الحق اعز هم الله ابإدا
، الخصصبر الصصصادق، الحصصواس السصصليمة: ثم اسباب العلم للخلق ثلثصصة.للسوفسطائية
... واللهام ليس من اسباب المعرفة بإصحة الشئ عند اهل الحق... والعقل
Berkata ahl al-ḥaq (mudah-mudahan Allah memberinya kucuran
rahmat!) realitas segala sesuatu itu “tetap” adanya, dan ilmu
mengenainya (segala sesuatu) benar-benar dapat “diperoleh,”
berbeda dengan apa yang diyakini oleh para sophists. Adapun
sebab-sebab atau sumber-sumber ilmu itu ada tiga: (1) alkhabar al-ṣādiq [al-Qur’ān dan al-Ḥadīṡ], (2) indera [lima indera
luar dan lima indera dalam], dan (3) aql [rasio] … adapun alilhām [intuisi] itu tidak termasuk sebagai sumber ilmu.12
Berikut merupakan beberapa perkara yang perlu mendapat perhatian
dalam pernyataan al-Nasafi ini, di antaranya adalah:
1. = حقائق الشأياء ثابإتةrealiti segala sesuatu itu ada hakikatnya.
Kata الشئberarti sesuatu, atau segala yang ada selain dari Tuhan (ما
)سوى الله. Kata ini memiliki padanan arti dalam bahasa Arab yaitu: الكون
العالم، المعلومات، طبيعي،( الخلق )المخلوقات،( )الكائنات:
1. ( الكون )الكائناتdalam filsafat disebut sebagai عصصالم الكصصون والفسصصاد
artinya alam yang berasal dari atau muncul dan tercipta dari
‘ālam al-’amr (alam perintah Allah) melalui kata atau kalimat (كان
كن- كائن/ كن )– يكون – كونsebagaimana firman Allah: انما امره اذا
اراد شأيئا ان يقول له كن فيكون
12 Dikutip dalam Manuscript, 47-49.
2. ( الخلصصق )المخلوقصصاتartinya ciptaan, kata ini memberi indikasi
adanya الخالقatau pencipta ( خالق- )خلق – يخلق – خلقا.
3. طبيعيdalam filsafat disebut sebagai عالم طبيعيyang berarti alam
“terbit” atau alam ”stempel.” Indikasinya adalah bila ada yang
terbit sudah pasti ada penerbitnya atau pelaku yang melakukan
stempel tersebut.
4. المعلوماتatau objek ilmu. Indikasinya adalah العالمyang berarti
yang Maha Mengetahui معلومات/ ))علم – يعلم – علما – عالم – معلوم.
5. الشصصئyang berarti sesuatu. Ini mengindikasikan adanya مشصصيئة
atau yang “menghendaki,” dalam “teologi-kehendak” (free will &
pre destination) disebut sebagai - بإمشصصيئة اللصصه )شأصصاء – يشصصاء – شأصصئ
(مشيئة.
Terma-terma tersebut di atas, sebagaimana yang dapat dilihat,
memunculkan indikasi adanya “sesuatu” yang lain selain dari dirinya (point
to something other than itself). Sesuatu yang lain selain dari dirinya ini biasa
diistilahkan dengan “tanda” (simbol = āyah) akan adanya Allah. Hal ini tentu
berbeda dengan keyakinan “animisme” dan “dinamisme” yang memandang
adanya “jiwa dan kekuatan” terhadp sesuatu atau objek materia. Perspektif
Islam ini, justeru menolak adanya kepercayaan yang berbau magic dan
mistis terhadap sesuatu (the expulsion from our understanding of a magical
or mythical conception of nature). Beberapa ungkapan yang biasa digunakan
oleh para ulama kita dalam menjelaskan hal tersebut, di antaranya oleh alImam Ali R.A: ”“ ”ما رأيت شأيئا ال ورأيت الله فيهaku tidak melihat sesuatu kecuali
[sesuatu tersebut] merepresentasikan Allah padanya.” Dengan kata lain,
segala sesuatu atau objek materia “harus” dilihat sebagai simbol atau
manifestasi ( )تجليAllah.
Pernyataan: segala sesuatu harus dilihat sebagai simbol atau
manifestasi Allah, tidak lantas disimpulkan bahwa sesuatu (the world
together with all its parts) tidak memiliki realitas atau hakikat atau existensi
atau maujūd. Meskipun dapat pula dikatakan bahwa eksistensinya adalah riil
dan tidak riil. Tidak riil apabila melihat kenyataan bahwa sesuatu tersebut
“tergantung” kepada yang lainnya dan mengalami per-wujūd-an baru secara
terus menerus. Sedangkan riil apabila melihat kenyataan bahwa sesuatu
tersebut eksis atau maujūd fī ‘ilm Allah (intelligible in the Divine Knowledge)
yang kemudian diistilahkan oleh para Sufī sebagai al-a‘yān al-ṡābitah. Inilah
tesis pertama kita.
Selanjutnya, sesuatu yang merupakan manifestasi Allah memberi
konsekuensi logis adanya penciptaan. Bahwa sesuatu atau objek materia
adalah merupakan ciptaan yang tidak mungkin begitu saja ada tanpa ada
yang meng-ada-kannya, yaitu Allah. Dengan demikian ke-ada-annya
bergantung kepada (dependent up on) yang meng-ada-kannya. Keadaan
yang bergantung tersebut diistilahkan dalam ‘ilm al-kalām sebagai qiyāmuh
li gairih dan dalam tasawwuf sebagai fanā’ (antonim dari sifat Allah al-baqā’
= kekal).
Kondisi sesuatu yang keadaannya bergantung tersebut, tak lain dan
tak bukan, karena penciptaannya oleh Allah dilakukan secara “terus menerus
setiap saat.” Artinya “ada” dan “tiada” secara bergantian dan terus menerus
terjadi tanpa ada durasi waktu yang meng-antara-i dalam masa eksistensi
pertamanya menuju eksistensi keduanya dan eksistensi selanjutnya tanpa
batas, jika Allah menghendaki!. Hal ini, menurut para Sufi, dilakukan agar
supaya entitas atau sesuatu tersebut merasa fakir (al-faqr) dan
membutuhkan Tuhan (al-Ganī) setiap saat (sense of dependency). Karena
jika tetap atau pernah mengalami ketidak fanā-an atau ada dalam
eksistensinya untuk dua durasi masa atau lebih, maka entitas akan
mempunyai kualifikasi sebagai sesuatu yang independent (ginā) dari Tuhan
dalam durasi tersebut.13 Demikianlah realitas sesuatu atau objek materia.14
2. والعلم بإها متحققilmu mengenai sesuatu atau objek materia itu benar dapat
“dicapai.” Lalu pertanyaan akan muncul: bagaimana mungkin
pengetahuan mengenai sesuatu dapat tercapai, apabila realitas sesuatu
atau yang menjadi objek pengetahuan tersebut kondisi penciptaannya
ada dan tiada secara silih berganti dan terus menerus ? Bukankah kondisi
itu menunjukkan “perubahan” atau ketidak tetapan pada “diri” sesuatu
atau objek materia, dan dengan kondisi demikian tidak memungkinkan
tercapainya pengetahuan atau ilmu?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut di atas, ada pentingnya
terlebih dahulu melihat konsepsi ilmu yang telah dikemukakan oleh para
cendekiawan Muslim. Menurut mereka, semua ilmu atau pengetahuan
bersumber dari Allah. Adapun proses tercapainya ilmu tersebut melalui dua
jalan, yaitu: (1) ma’rifah, dan (2) iktisābī. Ma’rifah (disebut juga sebagai
Lihat Syafa’atun al-Mirzanah, When Mystic Masters Meet: Paradigma Baru dalam Relasi
Umat Kristiani-Muslim (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), 141-143.
14 World-view Islam memberi gambaran yang sangat jelas antara Being ( wujūd) dan
Existence (maujūd), antara Unity (waḥdah) dan Multiplicity (kaṡrah), antara Subsistence
(baqā) dan Evanescene (fanā). Dalam diskursus wujūd, waḥdah, dan baqā, realitas wujūd
hanya milik Allah satu-satunya (independent, subsistent, dan absolute), sedangkan
maujūd adalah milik segala sesuatu selain dari pada Allah ( dependent upon God,
evanescene, dan relative). Lihat Objectives, 34-35.
13
ladunnī) adalah ilmu yang langsung diberikan oleh Allah kepada sang
“tercerah” yang telah mencapai tingkat spiritual “khusus” dan telah memiliki
“kesiapan” (isti‘dād) untuk menerima “pencerahan.” Sedangkan iktisābī
adalah ilmu yang diperoleh oleh seseorang melalui “aktifitas pencarian” atau
usaha dengan menggunakan logika rasio dan pengalaman inderawi.15
Melihat bahwa segala ilmu mengembalikan sumbernya kepada Allah
serta menimbang bahwa jiwa atau soul (al-‘aql, al-qalb, al-rūḥ dan al-nafs )
yang memiliki fungsi sebagai penerima yang sekaligus penterjemah
“interpreter” ilmu tersebut melalui “organ” spiritual dan fisikal, yakni panca
indera dalam dan luar, maka ilmu atau pengetahuan dapat didefinisikan
sebagai ketibaan “arti” sesuatu atau objek pengetahuan pada jiwa ( حصول
= معنى الشئ فى النفسthe arrival in the soul of the meaning of a thing or an
object of knowledge) atau berhasilnya jiwa memperoleh “arti” sesuatu atau
objek pengetahuan ( = وصول النفس الى معنى الشئthe arrival of the soul at the
meaning of a thing or an object of knowledge).16
Dengan demikian, apabila definisi ilmu atau pengetahuan tersebut
diaplikasikan terhadap objek materia atau sesuatu, yang mana sesuatu atau
objek pengetahuan tersebut memiliki kondisi penciptaan secara terus
menerus, maka pengetahuan hanya dimungkinkan atau dapat tercapai
melalui jalan “abstraksi.” Artinya: apabila aktifitas pencarian ilmu atau
pengetahun dilakukan dengan “menggunakan” pendekatan indera (indera
luar), maka yang terabstraksi dari objek materia tersebut adalah form (ṣūrah
atau bentuk) yang direpresentasikannya, bukan benda atau objek itu sendiri,
selanjutnya form yang telah terabstraksi tersebut, oleh ‘indera dalam’
“diolah” sedemikian rupa menjadi sebuah “ide.” Proses pembentukan atau
pengolahan form menjadi ide ini disebut sebagai proses “pemahaman” (
)الفهمyang pada gilirannya membuat objek pengetahuan atau sesuatu dapat
“dipahami” ()مفهوم. Begitu pun halnya apabila aktifitas pencarian ilmu atau
pengetahun dengan “menggunakan” pendekatan rasio atau akal, maka yang
terabstraksi dari objek materia tersebut adalah arti (ma‘na) yang
direpresentasikan oleh sesuatu atau objek pengetahuan yang melekat
padanya, bukan benda atau objek itu sendiri, selanjutnya arti yang telah
terabstraksi tersebut, oleh jiwa melalui organnya ( al-‘aql, al-qalb, al-rūḥ dan
al-nafs) “diolah” sedemikian rupa menjadi sebuah “ide.” Proses
pembentukan atau pengolahan arti menjadi ide ini disebut sebagai proses
“pemahaman” ( )الفهصمyang pada gilirannya membuat objek pengetahuan
Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur:
International Institute of Islamic Thought and Civilization, ISTAC, 1993), 79-80.
16
Bandingkan Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Positive Aspect of Tasawwuf:
Preliminary Thoughts on an Islamic Philosophy of Science (Kuala Lumpur: Art Printing
Works, 1981), 5.
15
atau sesuatu dapat “dipahami” ()مفهوم.17 Perbedaan dari kedua proses ini
adalah, apabila aktifitas pencarian ilmu itu terjadi dengan jalan abstraksi
form, untuk menjadi sesuatu atau objek materia yang dipahami, maka
sesuatu atau objek materia tersebut mengalami proses abstraksi oleh indera
luar terlebih dahulu. Indera luar kemudian mengirim “sinyal” atau data yang
telah terabstraksi kepada indera dalam untuk kemudian diolah menjadi
sebuah konsep atau ide. Akan tetapi, apabila aktifitas pencarian ilmu itu
terjadi dengan jalan abstraksi arti, untuk menjadi sesuatu yang dipahami,
maka sesuatu atau objek pengetahuan tersebut tidak harus diabstraksi oleh
indera luar terlebih dahulu, tetapi langsung “diolah” oleh indera dalam. Hal
ini terjadi karena arti sesuatu atau objek pengetahuan telah ada dan telah
melekat pada jiwa melalui aktifitas organ-organnya, yaitu: al-‘aql, al-qalb, alrūḥ dan al-nafs. Inilah tesis ketiga kita yang sekaligus sebagai objeksi
terhadap sikap para Sophis.
3. العقلdan الحواس السليمة. Pembahasan mengenai akal (al-‘aql, al-qalb, alrūḥ dan al-nafs) dan indera (five external and internal senes) adalah
pembahasan mengenai manusia. Oleh karenanya, diskursus kita arahkan
untuk memasuki areal psikologi yang berfokus pada realitas manusia
(man’s nature).
Manusia menurut perspektif Islam tidak sama dengan apa yang dianut
dan diyakini oleh Barat yang nota-benenya membatasi pembahasan manusia
hanya pada aspek atau level realitas fisik semata. 18 Menurut Islam,
disamping fisik, manusia juga memiliki unsur non-fisik yang biasa disebut
sebagai spirit atau rūḥ yang dapat dibuktikan ada-nya secara ‘sapontan’ (
)البديهةketika seseorang berkata “saya” atau “aku.” Dengan demikian, unsur
manusia terdiri dari dua aspek: fisikal dan spiritual.
Perlu ditegaskan, bahwa aspek spiritual adalah realitas atau hakikat
manusia atau yang mendifinisikannya. Oleh karena, aspek spiritual manusia
inilah yang membedakannya dengan makhluk atau ciptaan lainnya. Dalam
logika atau mantiq, definisi genus and differentia dilakukan untuk
“membedakan” sesuatu dengan yang lainnya. Sesuatu yang membedakan
ini adalah sesuatu yang essensial yang tidak terdapat pada sesuatu yang
17 Telusuri Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and the Philosophy of Science (Kuala
Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, ISTAC, 1989), 9-10.
Selanjutnya disebut sebagai Philosophy of Science.
18 Psikologi yang dianut oleh sains modern Barat, tak lain dan tak bukan, adalah “ ekstensi”
dari metodologi sains yang dasar asumsinya adalah realitas fisik (the restriction of
reason and experience to the level of physical reality ).
lainnya, esensi inilah yang kemudian menjadi realitas sesuatu yang
didefinisikan.19 Apabila manusia, misalnya, didefinisikan sebagai hewan yang
rasional (a rational animal = )الحيوان الناطق. Rational, yang akar katanya dari
Latin rasio, memiliki padanan makna dengan نطقdalam bahasa Arab yang
berarti “ucapan.” Kata نطقjuga mengindikasikan rasionalitas dari sisi bahwa
manusia memiliki “fakultas dalam = ( inner faculty)” yang dapat
memformulasikan arti. Dengan demikian, definisi manusia sebagai hewan
yang rasional memberi pengertian bahwa manusia adalah hewan yang
memiliki fakultas dalam yang dengan fakultas tersebut ia sanggup
memformulasikan arti yang dapat dipahami dengan jalan menyusun katakata menjadi sebuah kalimat sempurna yang terungkap melalui ucapan . Dan
hal ini terindikasi pada level di mana manusia masih dalam kondisinya yang
berada di ‘ālam al-amr (man’s condition before he became manifested in
human form) ketika ditanya untuk diambil kesaksian dan janji mereka (‘ahd
atau mīṡāq) oleh Allah: “.الست بإربإكم.” “bukankah Aku ini Tuhanmu?” lalu,
dengan spontan, mereka menjawab “ “ ” قالوا بإلى شأهدناya, benar dan kami
bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami!” Fakultas dalam inilah yang
merupakan substansi spiritual yang mendefinisikan atau membedakan
manusia dengan hewan yang lainnya dan menjadi realitasnya dan
menjadikan manusia sebagai manusia. Dan inilah tesis keempat kita.
Menurut al-Gazālī, substansi spiritual manusia tercakup di dalamnya
al-‘aql (akal atau rasio), al-qalb (hati atau heart), al-nafs (jiwa atau soul) dan
al-rūḥ (ruh atau spirit). Dan terma-terma tersebut hakikatnya memiliki
entitas yang satu. Adapun penyebutannya yang berbeda-beda, hal itu
dikarenakan oleh keadaannya (aḥwāl), sehingga: (a) apabila entitas tersebut
melakukan kegiatan intelektual (apprehension) maka ia disebut sebagai akal
atau rasio (al-‘aql), (b) apabila entitas tersebut keadaannya “menaungi”
tubuh (governs the body), maka ia disebut sebagai jiwa atau soul (al-nafs),
(c) apabila entitas tersebut keadaannya menerima intuisi dan pencerahan
(receiving intuitive illumination), maka ia disebut sebagai hati atau heart (alqalb), dan (d) apabila entitas tersebut keadaannya “kembali” kepada
dunianya yang abstrak (the world of abstract entity), maka ia disebut ruh
atau spirit (al-rūḥ).20
19 Bandingkan Philosophy of Science, 25: ‘Being-existent’ is common to all existents in the
various levels of existence, and although existence is the stuff of reality, it is strictly
speaking, not the commennes that makes a thing to be what it is; it is rather the ‘beingdistinct’ from any other that makes a thing to be what it is, for it is only by virtue of
distinction that realities have come into existence. Therefore the fundamental nature
of reality is difference.
20 Dikutip dalam Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Nature of Man and the Psychology
of the Human Soul: A Brief Outline and a Framework for an Islamic Psychology and
Epistemology (Kuala Lumpur: ISTAC, 1990), 7-8. Pengutipan selanjutnya menyebut Islamic
Psychology.
Pembahasan di atas, di samping menegaskan adanya unsur non fisikal
manusia, yaitu ruh, juga menunjukkan “adanya kemungkinan” manusia
untuk memperoleh pencerahan atau intuisi apabila hati telah dipersiapakan
untuk menerima pencerahan.21 Disebut adanya kemungkinan (possibility)
karena tidak semua hati dapat dan siap untuk tercerahkan. Hati yang siap
adalah hati yang telah melalui “pelatihan = “ رياضصصةdengan melewati
berbagai tingkatan dan stasiun, yakni, المقام والحوال, yang berakhir ditandai
dengan adanya “penyingkapan = ” الكشفatas misteri sesuatu atau realitas.
Penting menyinggung sekilas mengenai pernyataan al-Nasafī
mengenai intuisi ini واللهام ليس من اسباب المعرفة بإصحة الشئ. Bahwa: “adapun
intuisi itu tidaklah menjadi sumber ilmu atau pengetahuan ” tidak
dimaksudkan kepada intuisi itu sendiri yang, dalam Islam diakui secara
affirmatif sebagai salah satu sumber rujukan dalam pencapaian ilmu atau
pengetahuan.22 Kalimat tersebut ditujukan kepada “personal” atau pihakpihak tertentu, khususnya, pseudo-Sufi (ke-sufi-sufi-an) yang sesat dan
banyak melakukan “penyesatan” akibat dari klaim penerimaan intuisi
tersebut. Jadi negasi atas ilham sebagai sumber ilmu tidak bersifat general
atau umum, oleh karena bagi sebahagian, khususnya, kalangan yang telah
teruji tingkat kesalehan dan spiritualnya, terjadinya intuisi sangat
dimungkinkan.23
الحواس السليمةatau indera. Indera yang merupakan sumber ilmu atau
pengetahuan tidak hanya terbatas kepada lima indera luar, sebagaimana
yang diyakini oleh Barat. Akan tetapi, menurut Islam, disamping indera luar,
yaitu indera penglihatan, pendengaran, peraba, perasa dan penciuman, ada
juga indera dalam yaitu, fantasia ()الحصصس المشصصترك, representatif ()الخياليصصة,
estimatif ()الوهمية, retentive dan rekolektif ()الحافظة و الذاكرة, dan imaginatif (
)المتخيلصصة. Indera dalam tersebut adalah fakultas intermediari yang dapat
berhubungan langsung dengan(1) indera luar, dan (2) rasio. Ringkasnya,
hubungan antara indera dalam dengan indera luar adalah transfer data
form. Artinya, indera luar melakukan transfer data form yang dipersepsinya
dari objek materia menuju indera dalam sebagai penerima dan interpreter.
Form tersebut, selanjutnya, diolah (act upon it) sedemikian rupa menjadi
sebuah ide yang dipahami. Begitu juga halnya dengan hubungan indera
dalam dengan rasio. Bedanya hanyalah dari sisi objek yang ditransfer. Di sini
yang ditransfer adalah data arti yang dipersepsi oleh rasio.
21 Diskursus mengenai intuisi secara filosofis dibahas dalam Syed Muhammad Naquib alAttas, The Intuition of Existence: A Fundamental Basis of Isamic Metaphysics (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1990).
22 Fa al-hamaha fujuraha wa taqwaha, wa auhaina ila ummi musa dan ……………………..
23 Bandingkan Manuscript, 47-49 dan Sa’d al-Dīn al-Taftāzānī, A Commentary on the Creed
of Islam: Sa’d al-Dīn al-Taftāzānī on the Creed of Najm al-Dīn al-Nasafī, terj. Earl Edgar
Elder (New York: Columbia University Press, 1950), 27.
Fungsi dari kelima indera dalam tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
a) Fantasia adalah fakultas yang melakukan persepsi atau menangkap
form dari objek pengetahuan. Form tersebut kemudian disimpan oleh
fakultas imaginatif atau representatif.
b) Estimatif adalah fakultas yang melakukan persepsi atau menangkap
arti dari objek pengetahuan. Arti tersebut disimpan oleh retentif dan
rekolektif.
Proses kerja dari kelima indera dalam tersebut adalah: fakultas fantasia
langsung menerima data dari indera luar. Data yang diterima oleh fantasia
tersebut kemudian direkam dan disimpan oleh fakultas representatif,
sehingga data tersebut terjaga meskipun form tersebut telah hilang dari
indera luar. Data yang tersimpan tersebut oleh fakultas estimatif dilakukan
penilaian (judgement) apakah baik atau buruk, benar atau salah data
tersebut. Estimatif adalah fakultas yang selalu memerlukan bantuan rasio,
jika tidak, maka ia akan menjadi sumber yang melakukan penilaian yang
salah. Sama halnya dengan fakultas representatif yang bekerja untuk
fantasia, fakultas retentif dan rekolektif berfungsi menyimpan dan menjada
arti yang oleh estimatif telah dilakukan penilaian. Fakultas retentif adalah
yang menjaga data dari korupsi sedangkan fakultas rekolektif adalah yang
merepresentasikan form atau arti dengan segera bila dibutuhkan. Imaginatif
adalah fakultas yang memiliki fungsi yang mempersepsi form-form,
mengkombinasi dan memisahkan, menambah dan mengurangi, serta
melakukan klasifikasi, sehingga jiwa dapat melakukan abstraksi arti dari
form-form tersebut. Jiwa memanfaatkan fakultas imaginatif ini dalam rangka
pengklasifikasian data: jika pemanfaatan tersebut bertujuan intelektual maka
hasilnya adalah ‘renungan,’ tetapi, jika fakultas imaginatif tersebut
digunakan berdasarkan realitasnya yang bersifat imaginatif, maka hasilnya
adalah imaginasi.
KESIMPULAN:
1. Sains atau ilmu atau pengetahuan menurut perspektif Barat dan Islam
tidaklah sama.
2. Epistemologi Barat memberi penekanan terhadap kerja akal yang
dapat diidentifikasi sebagai “otak atau brain” dan indera yang
diidentifikasi sebagai penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba,
dan perasa yang dilengkapi dengan eksperimen.
3. Epistemologi Islam di samping mengakui akal dan inderawi, tetapi
menambahkan wahyu dan intuisi sebagai sumber ilmu atau
pengetahuan.
4. Ontologi Barat melihat segala sesuatu atau objek pengetahuan atau
natural world sebagai satu-satunya level eksistensi. Artinya, hanya
alam fisikal yang dianggap sebagai realitas. Konsekuensinya, alam
spiritual, alam non fisikal, alam gaib termasuk jiwa, ruh dan Tuhan
dianggap tidak eksis.
5. Ontologi Islam
a. Islam, di samping mengakui eksistensi segala sesuatu atau objek
pengetahuan atau natural world, juga mengakui adanya alam
spiritual, metafisikal, alam gaib, termasuk jiwa, ruh dan pastinya
Tuhan.
b. Islam juga menegaskan bahwa realitas segala sesuatu itu
hanyalah merupakan simbol atau ayah. Artinya, segala sesuatu
tersebut hanyalah manifestasi dari Allah.
c. Penegasan ini tidaklah berarti bahwa Islam mengakui
keberadaan dinamisme dan animisme. Akan tetapi penegasan
tersebut bermaksud bahwa segala sesuatu menunjuk adanya
Tuhan yang menciptakannya.
d. Penciptaan tersebut dilakukan secara berkesinambungan tanpa
henti dan tanpa ada dua durasi yang mengantarai dalam masa
penciptaan pertamanya menuju penciptaan keduanya dan
penciptaan seterusnya (jika Allah menghendaki).
e. Penciptaan yang sedemikian rupa (berkesinambungan) tidak
berarti bahwa pengetahuan mengenai sesuatu tersebut tidak
dimungkinkan. Pengetahuan dimungkinkan dengan adanya
konsep ilmu yang menegaskan sifat abstraksi form dan arti dari
sesuatu, bukan sesuatu atau objek materia itu sendiri.
6. Psikologi Islam:
a. Berbeda dengan apa yang diyakini oleh Barat yang menekankan
realitas manusia pada aspek fisik semata. Islam mengakui kedua
aspek, yaitu aspek fisik dan non fisik manusia. aspek non fisik
inilah yang menjadi realitasnya dan mendefinisikan manusia
sebagai manusia. Unsur tersebut terindikasi pada leve dimana
manusia masih berada di ‘ālam al-malakūt dan belum menghuni
‘ālam al-dunia.
b. Aspek non fisik yang merupakan realitas manusia tersebut
mencakup: qalb, ‘aql, nafs dan rūh. Terma-terma tersebut
entitasnya adalah satu. Sebutannya berbeda-beda karena
kondisinya. Sehingga: (a) apabila entitas tersebut melakukan
kegiatan intelektual (apprehension) maka ia disebut sebagai akal
atau rasio (al-‘aql), (b) apabila entitas tersebut keadaannya
“menaungi” tubuh (governs the body), maka ia disebut sebagai
jiwa atau soul (al-nafs), (c) apabila entitas tersebut keadaannya
menerima
intuisi
dan
pencerahan
(receiving
intuitive
illumination), maka ia disebut sebagai hati atau heart (al-qalb),
dan (d) apabila entitas tersebut keadaannya “kembali” kepada
dunianya yang abstrak (the world of abstract entity ), maka ia
disebut ruh atau spirit (al-rūḥ).
c. Aspek non fisik inilah yang kemudian membuktikan adanya
kemungkinan terjadinya pencerahan atau intuisi yang berlokasi
pada hati yang siap untuk menerima pencerahan.
d. Psikologi Islam juga mengakui adanya lima indera dalam di
samping lima indera luar yang memiliki fungsi sebagai
penyimpan dan pengolah data yang di transfer oleh indera luar.
Pengolahan data tersebut membuat objek materia dapat
difahami (understood = mafhūm).
Lampiran
Prosedur sains yang kemudian menjadi “pedoman” dalam prosedur
penelitian ilmiah, sebagaimana yang dapat dilihat dalam diagram, berikut:
Rasionalisme/deduk
si
Mempelajari
teori,
konsep,
prinsip, postulat, hukum yang
ada dalam khazanah ilmu
pengetahuan.
1
Empirisme/induksi
Proses identifikasi
masalah
atau
Mempelajari atau mengamati
gejala, peristiwa, kejadian di
lapangan.
2
Rumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan
problematik. Tetapkan juga variable yang ada atau
terkandung dalam pertanyaan tersebut.
3
Identifikasi kemungkinan-kemungkinan jawaban dari setiap
pertanyaan tersebut dengan melakukan analisis teoriteori, prinsip, hukum dari ilmu pengetahuan yang
menunjang tema permasalahan tersebut.
4
5
6
Dari setiap kemungkinan jawaban yang ditemukan dan atas
pertimbangan rasional kita setelah mengkaji teori, hukum,
prinsip keilmuan, tetapkan kemungkinan mana yang
paling
mendekati
jawabannya.
Rumuskanlah
kemungkinan ini sebagai hipotesis penelitian.
Rencanakan data apa yang harus diperoleh untuk menguji
hipotesis tersebut, dari mana data itu diperoleh dan
bagaimana cara memperolehnya.
Setelah ditemukan gambaran masalah, teori dan hipotesis,
dan verifikasi data di lapangan, buatlah usulan
penelitian untuk diajukan kepada pihak yang berwenang
untuk meminta petunjuk dan atau pengesahannya.
7
Setelah instrumen (alat pengumpul data) disetujui oleh
pihak yang berwenang melalui uji coba, dan telah
diperoleh izin penelitian, peneliti turun ke lapangan untuk
melakukan pengumpulan data.
8
Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis,
kemudian hipotesis diuji, hasilnya disimpulkan,
dibahas secara teoretis, berikan saran lebih lanjut.
9
Tulislah langkah-langkah di atas dalam satu sistematika
rangkaian kegiatan penelitian.