WANITA DALAM GAMBARAN IKLAN TELEVISI KIT

WANITA DALAM GAMBARAN IKLAN TELEVISI KITA
S. Bekti Istiyanto, S.Sos

Pendahuluan
Kehadiran televisi di dunia telah membawa dampak yang besar bagi umat manusia. Televisi
membawa berbagai kandungan informasi, pesan-pesan yang dalam kecepatan tinggi menyebar ke
seluruh pelosok dunia. Menjadi berbagai alat bagi berbagai kelompok untuk menyampaikan
berbagai pesan untuk bermacam kalangan masyarakat. Dalam kehidupan kita sekarang, televisi
telah membawa dampak yang sangat besar buat manusia. Televisi membawa berbagai kandungan
informasi, dimana pesan-pesannya dalam kecepatan tinggi menyebar ke seluruh tempat yang
dengan mudah diterima tanpa meributkan fasilitas yang terlalu beragam. Hal ini membuat orang
bisa secara langsung mendapatkan informasi yang dibutuhkan tanpa membutuhkan waktu yang
lama. Di sinilah peranan televisi demikian penting dan dibutuhkan oleh manusia. Dan menjadikan
daya tarik menonton pada masyarakat demikian meningkat semakin tinggi.
Dalam era informasi sekarang ini, televisi memang boleh dikatakan telah merebut minat
masyarakat di berbagai penjuru dunia. Televisi menyajikan berbagai macam program tayangan
baik yang berdasar realitas, rekaan dan ciptaan yang sama sekali baru. Televisi mengetengahkan
berbagai siaran dalam berbagai bentuk ; berita, pendidikan, hiburan dan iklan. Televisi mempunyai
kelebihan untuk menyajikan siaran secara langsung (live broadcasting) yang dapat mencapai
Bahkan televisi seperti disampaikan oleh Patricia Edgar dapat memungkinkan terjadinya diskusi
secara langsung, segera setelah menggunakan media tersebut, karena memang biasanya televisi

dinikmati secara berkelompok.
Tetapi ada hal lain yang muncul akibat globalisasi informasi dan komunikasi, khususnya
yang menggunakan media televisi ini. Efek sosial yang bisa memuat unsur-unsur perubahan nilai
sosial dan budaya dalam masyarakat bisa juga terjadi akibat masyarakat pemirsa media televisi ini
meng’iya’kan setiap nilai baru yang ditawarkan media televisi. Manusia cenderung menjadi
konsumen budaya massa yang aktif. Hal ini mengakibatkan pola-pola kehidupan rutinitas manusia
sebelum muncul televisi menjadi berubah, bahkan secara total. Televisi menjadi anutan baru (new
religion) buat masyarakat.

Tentu saja kelebihan dan kelemahan televisi mempunyai pengaruh kepada pemirsanya.
Semakin unsur kelebihan digunakan maka akan semakin besar pula kecenderungan untuk
menikmatinya. Demikian sebaliknya bila unsur kelemahan yang lebih mendominasi maka hasilnya

akan ditinggalkan khalayaknya. Melihat perkembangan televisi yang demikian pesat, Wilbur
Schramm mengatakan televisi telah digunakan secara efektif untuk mengajarkan segala macam
subjek, baik teoritis maupun praktik. Maka tidak berlebihan bila Gerbner berkata bahwa media
massa (khususnya media televisi) telah menjadi agama resmi masyarakat Industri.
Media massa televisi secara teknis memiliki kemampuan mencapai khalayak dalam jumlah
tak terhingga pada waktu bersamaan. Untuk itu media massa televisi mempunyai fungsi utama
yang selalu harus diperhatikan yaitu fungsi informatif, edukatif, rekreatif dan sebagai sarana

mensosialisasikan nilai-nilai atau pemahaman-pemahaman baik yang lama maupun yang baru.
Karena kekuatan teknologinya dan daya hiburnya yang kuat, televisi mempunyai andil
besar dalam mendangkalkan jiwa dan perasaan. Seperti misal, banyak film yang di negaranya
sendiri dianggap berkualitas rendah tapi tetap diimpor karena harga yang murah bila dibanding
membuat sendiri. Muncullah apa yang disebut budaya populer dengan pahlawan-pahlawan media
sebagai tokohnya. Aktor/tokoh televisi menjadi panutan dan bahkan mengganti nilai-nilai yang
telah tertanam secara tradisional pada masyarakat.

Wanita Dalam Iklan
Disadari atau tidak, media massa televisi yang ada hingga tingkat tertentu berfungsi sebagai
“agen-agen industri komunikasi transnasional” yang mempromosikan nilai-nilai yang melekat
dalam industrialisasi yang dianut masyarakat di negara-negara metropolis namun tidak berkaitan
dengan kebutuhan dasar masyarakat penerima, seperti kebutuhan makanan pokok, kesehatan dan
pendidikan. Sinetron dan film-film dalam televisi sering mempromosikan nilai-nilai permisif
terutama perselingkuhan, kumpul kebo, kekerasan, dll. Sementara itu, iklan-iklannya dengan
gencar menawarkan berbagai produk untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan fisik yang sifatnya
sementara : alat kecantikan, makanan, minuman, pakaian dan kendaraan, yang umumnya hanya
dapat dijangkau oleh keluarga yang berada (Deddy Mulyana, 1996). Misal iklan alat kecantikan
yang demikian mencolok mampu memberikan kesan seolah-olah yang terpenting dalam hidup ini
adalah wajah yang cantik yang dapat memikat perhatian lawan jenis. Lewat pesan-pesannya yang

sugestif dan subliminal, iklan mengaktifkan dorongan-dorongan bawah sadar yang mendominasi
kehidupan manusia yang selalu tertarik kepada dan menarik orang lain, penampilan, kecantikan
dan misteri mereka (Esslin, 1982). Iklan tersebut memperkokoh mitos-mitos budaya paling kuat,
yakni pentingnya daya tarik fisik dan usia muda, bagi kaum wanita, khususnya. “Bila anda
membeli dan menggunakan produk ini, anda akan tampak muda dan menarik seperti model iklan

ini,” demikian inti pesan iklan tersebut. Iklan tidak sekadar menjual barang, tapi juga seksualitas,
keindahan, kemudaan, kemodernan, kebahagiaan, kesuksesan, status dan kemewahan (Wilson,
1989).
Melalui tayangan iklan, materialisme yang menjadi bagian integral kehidupan masyarakat
Barat, Amerika khususnya, ditanamkan pada masyarakat. Televisi mengajarkan suatu filsafat
umum kehidupan, dari waktu ke waktu, bahwa ukuran utama seorang manusia adalah konsumsi
barang-nya. Banyak iklan televisi, terutama iklan obat dan alat kecantikan, menanamkan sugesti
bahwa terdapat solusi-solusi instan bagi problem-problem pribadi.
Iklan terlalu menyerdahanakan hidup, sehingga kita tidak melihat faktor-faktor lain yang
bisa membuat hidup kita bahagia, faktor-faktor yang tidak memungkinkan hidup bahagia bahkan
dengan membeli produk itu atau melihat ketidak bahagiaan yang justru disebabkan oleh pembelian
produk itu (Jamieson dan Campbell, 1992). Iklan membuat hidup menjadi pencarian tak
berkesudahan dan sia-sia akan benda-benda remeh atau status sempurna (DeFleur dan Dennis,
1985).

Dengan tujuan utama iklan adalah untuk mempersuasi konsumen agar menggunakan
produk atau jasa sebuah badan, maka penggunaan cara baik strategi dan bentuk iklan yang
disampaikan menjadi sangat bervariatif. Setiap produk berlomba-lomba agar tidak tersaingi oleh
produk lain. Sehingga setiap iklan yang mudah menarik perhatian khalayaklah akan diciptakan. Hal
ini membuat para agen periklanan memeras otak untuk mencari jenis iklan yang belum ada tapi
bisa dengan mudah mendapat perhatian dari khalayak. Disinilah berlaku hukum keindahan, bahwa
setiap yang indah secara naluri akan lebih mendapat perhatian indera manusia. Termasuk
pemunculan nilai-nilai pornografi dan penonjolan seksualisme wanita sebagai komoditi utama
iklan untuk menarik perhatian pemirsa yang ujung-ujungnya mampu meningkatkan penjualan
produk yang ditawarkan. Seks, seperti juga tema-tema sensitif lainnya, selalu mengundang
perhatian.
Seks menjadi tema yang terus meningkat menurut Leslie Lazar Kanuk (1987), seorang
pakar perilaku konsumen, disebabkan karena seks merupakan hal yang paling mendasar dalam
motif manusia. Di Amerika sendiri, 35 % iklan yang ditayangkan di televisi bertemakan seks.
(Soley dan Reid, 1985). Padahal ternyata rata-rata orang Amerika diterpa 1500 pesan melalui
televisi setiap. Bisa dibayangkan betapa besar pengaruh bagi kehidupan masyarakatnya.
Peranan wanita menjadi sangat dominan sebagai unsur pembawa keindahan dalam iklan di
media massa khususnya televisi. Menurut perkiraan, 90 persen periklanan menggunakan wanita

sebagai model iklannya (Tjitra, 1996). Dengan penampilan yang dominan bagaimana potret

wanita ditampilkan di media massa televisi. Ternyata dalam memandang dan memperlakukan
wanita, televisi bersifat paradoks. Di satu pihak, media mempromosikan kemajuan-kemajuan dan
prestasi-prestasi wanita, misalnya memunculkan wanita sebagai tokoh wanita karir dalam iklan dan
program-program lainnya, namun pada saat yang sama iklan juga melemparkan mereka kembali
pada keterbelakangan, dengan tetap menonjolkan keutamaan wanita (sekadar) sebagai makhluk
yang dapat menarik perhatian lawan jenisnya (Cassata dan Asante, 1979 : 204-205).
Wajah wanita di media massa penuh dengan “luka” dan “tercabik-cabik” demikian Maman
Suherman berpendapat. Seterusnya, hal ini disebabkan oleh karena para pekerja pers masih
didominasi oleh kaum pria sehingga matra kualitas wanita tetap didefinisikan sesuai streo-streo
negatif (secara psikologis emosional, ukuran rasional, secara fisik lemah gemulai; secara sosiologis
tergantung pada pria; secara politis tak bergigi, dll.) yang berat sebelah, yang cenderung melihat
perempuan sebagai makhluk inferior terhadap pria, yang kemampuannya sebagai manusia
(pembangunan) perlu dipertanyakan. Sebagai gambaran di tahun 1990 dari sekitar 561 pengasuh
media cetak (baik dalam kapasitas sebagai pemimpin umum, pemimpin redaksi, pemimpin
perusahaan) tercatat hanya 75 orang dan selebihnya 496 adalah pria.
Di lain pihak kenapa media massa memperlakukan wanita sebagai pihak yang lemah adalah
adanya aktor inteletual atau disebut Maman Suherman sebagai invisible hand baik orang atau
mungkin ‘benda’ atau bisa pula pemikiran yang ada di balik layar keberadaan media itu. Kalau si
invible hand tak ubahnya pemuat streo-streo negatif yang hingga kini di-taken for granted-kan,


maka wajah wanita di media massa bisa menjadi wajah yang manusiawi. Wanita, simpul pihak ini,
tetap akan pebuh luka dan tercabik-cabik, tergantung tubuh mananya yang sedang dilahap oleh
mata-mata yang lapar. Menyambung pendapat di atas Siregar, 1995 mengatakan tidaklah
mengherankan bahwa kaum prialah yang mendefinisikan siapa, apa dan harus bagaimana wanita,
tidak hanya dalam penyajian berita, feature, opini, tapi juga iklan. Dalam iklan komersial,
pandangan hegemonik pria secara otomatis akan menjadikan wanita dan daya tarik seksual mereka
sebagai objek.
Dari tayangan-tayangan iklan televisi, terlihat bahwa iklan televisi khususnya merupakan
pengabadian atau reproduksi dari penstereotipan kaum pria terhadap peran tradisional kaum
wanita. Pria dan wanita digambarkan sebagai mempunyai kegiatan yang berbeda dan memutuskan
hal-hal yang berbeda pula. Wanita digambarkan sebagai manusia yang selalu peduli dengan rumah
tangga dan penampilan fisik mereka, sementara kepedulian pria adalah pekerjaan, bisnis, urusan

publik, olah raga, mobil, dsb. Ironisnya, banyak diantara kaum wanita sendiri yang tidak menyadari
adanya fenomena tersebut, bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang normal dan “memang
sudah seharusnya begitu”.
Tanpa mempertimbangkan adanya stereotip-stereotip yang ada dalam televisi tersebut
secara sungguh-sungguh, pemirsa terlalu mudah menerima kebohongan-kebohongan alih-alih fakta
dan mitos alih-alih realitas. Dalam konteks ini, iklan televisi mempunyai daya untuk
mengkonstruksi wanita-wanita “palsu” (pseudopeople) yang memainkan peran-peran “palsu” dan

lingkungan-lingkungan

“palsu”.

Ironisnya

lagi,

kaum

wanitapun

bersekongkol

dalam

memanipulasi simbol-simbol dan mitos-mitos tersebut. Pemirsa dipaksa mempercayai apa yang
tidak seharusnya tidak pemirsa percayai.
Bila tokoh pria yang muncul dalam iklan, maka tokoh itu digambarkan sebagai agresif,
pemberani, jantan, mandiri, kuat, tegar, berkuasa, pintar dan rasional. Namun ketika tokoh wanita

yang muncul, maka sosok wanita itu lebih sering ditampilkan sebagai lemah, emosional, bodoh dan
lebih parahnya dikaitkan dalam hubungannya dengan pria atau untuk menyenangkan pria.
Menurut Akbar S. Ahmad, bagi wanita,
zaman media adalah perangkap keindahan yang menyakitkan dan sekaligus perangkap
tiranik yang menggiurkan. Penampilan wajahnya harus anggun namun atraktif,
tubuhnya sintal, bibirnya sensual, langsing dan memiliki daya pikat seksual,
pakaiannya mutakhir. Wanita tidak boleh buruk napas, apalagi bau badannya. Dan
cara yang ditempuh oleh media televisi adalah mempraktikkannya dalam presentase
akting sang artis yang menjadi alat personifikasi untuk industri, dengan tubuh sebagai
kekuasaan dan pusat kesadaran.
Lebih lanjut dikatakan bahwa iklan berperan untuk memanipulasi kekaburan simbol
dalam aktifitas yang tak henti-hentinya mencipta dan mencipta kembali makna yang dapat
dikenakan pada barang komoditas. Media mengisyaratkan bahwa seksisme menjadi simbol
aktifitas terpenting manusia bahkan tabloid atau majalah khusus yang diperuntukkan untuk remaja,
memuat cerita di sekitar perilaku seksual para bintang yang menjadi tokoh utama tiap edisinya.
Maka bisa dibayangkan dampak yang terjadi akibat tampilan media massa, khususnya televisi
terhadap remaja.
Begitulah, di bawah ini disebutkan beberapa iklan yang menggambarkan rendahnya martabat
kaum wanita dalam iklan media massa televisi dan penonjolan unsur seksualitas wanita untuk
menarik perhatian kaum pria dan memuaskan selera inderawi saja :





Sebuah iklan produk kecantikan bagi wanita dalam sebuah televisi swasta menyebutkan bahwa
setelah memakai produk tersebut, pria-pria menempel seperti perangko.
Iklan lain tentang body lotion melukiskan bahwa seorang gadis belia yang tadinya diabaikan
seorang pria kini diperhatikan pria tersebut karena kulitnya menjadi halus sebagai hasil



penggunaan produk itu.
Bahkan penggunaan kopi merk tertentu pun bisa membuat seorang gadis yang tadinya ngambek
menjadi baik kembali setelah disuguhi kopi tersebut oleh pasangannya. Juga iklan sejenis dari



produk permen dan minuman.




bintangnya. Sama dengan iklan obat pemutih kulit.

Iklan sabun mandi yang selalu menampilkan adegan mandi dan lekuk-lekuk tubuh aduhai para

Adegan pacaran dalam sebuah iklan yang menggambarkan betapa mudah kaum wanita
bertekuk lutut terhadap kaum pria yang menggunakan produk tertentu. Lebih parah lagi iklan
sebuah parfum yang menggambarkan adegan dalam sebuah lift, dimana wanita menjadi
bernafsu dan terbangkitkan gairah seksualnya gara-gara aroma parfum yang dipakai seorang



pria.
Penggambaran susu yang ada dalam sebuah iklan minuman pun digambarkan dengan bentuk –
maaf- buah dada seorang wanita yang disorot secara close up, walaupun akhirnya karena protes



masyarakat iklan tersebut dipotong.
Sebuah iklan lain menggambarkan seorang wanita yang mengeluhkan “kelemahan” suaminya,

lalu dinasehati agar membeli “kapsul” tertentu untuk mengatasi masalahnya. Dengan iklan di
atas, wanita hanya dianggap sebagai objek pemuas pria, sebagai makhluk yang nilai-nilainya
terletak pada fisiknya (Deddy Mulyana, 1996).
Data yang diperoleh Survey Research Indonesia (SRI) menunjukkan bahwa kecenderungan

produk komersial yang diiklankan dalam televisi adalah alat-alat kelengkapan kecantikan seperti
kosmetik, sabun, sampo, pasta gigi, deodoran, dll. Iklan-iklan ini membujuk kaum wanita agar
mereka menjadi menarik dan mempesona. Pesan-pesan iklan ini memeperteguh mitos-mitos
budaya paling kuat, yaitu pentingnya daya tarik fisik dan usia muda bagi kaum wanita. Iklan-iklan
ini, juga banyak sinetron-sinetron yang sekarang lagi mewabah, adalah banyak ditokohi oleh para
mereka wanita yang cantik dan berusia muda. Meskipun ada tokoh-tokoh tua, biasanya tokohtokoh tersebut menjadi pelengkap penderita. Maka dapat dipahami bila tidak sebuah pun iklan
sabun mandi yang dibintangi oleh seorang kakek-nenek yang sudah peot, meskipun terkenal.

Dalam konteks inilah media massa (khususnya televisi) leluasa untuk memperteguh
pandangan, kepercayaan, sikap, dan norma-norma kaum wanita yang sudah ada. Kepercayaan itu
antara lain adalah pentingnya wanita menjadi cantik secara fisik (bugar, ayu, ramping, muda, dsb.).
Maka ketika pemirsa melihat iklan sabuk mandi Lux sebagai misal, dengan semua bintang dan
calon bintangnya adalah artis wanita cantik dan bagaimana mereka semua diharuskan
menunjukkan adegan mandi dan berbuka-buka sebagian anggota tubuhnya maka itu semua
mempersonifikasikan secara utuh pandangan bahwa wanita adalah tokoh yang lemah, manut dan
submisif.
Derajat dan martabat kaum wanita dijatuhkan sedemikan rendahnya karena penampilan
yang sekadar menggambarkan luapan nilai-nilai keindahan badani demi kepuasan pemirsa terutama
khususnya adalah kaum pria. Disini bisa dilihat bahwa kaum wanita dalam iklan di media massa
televisi adalah sebuah objek yang terjebak dengan ketidak mandirian. Lebih parah lagi, itu semua
ditonjolkan demi kepuasan mata-mata pemirsa yang bisa dengan mudah menghendaki pemuasan
nilai-nilai sahwati atau kebutuhan seksual semata. Gambaran ini menunjukkan pelecehan seksual
wanita dalam iklan media massa televisi demikian mudah terjadi dan bahkan sudah menjadi
kewajaran yang mengharuskan para pelakunya berbuat seperti itu.

Penutup
Sebagai penutup kita ada beberapa hal yang perlu diambil sebagai kesimpulan :
1. Perkembangan dunia informasi melalui media massa televisi di Indonesia demikian pesat,
sehingga setiap khalayak dapat mengakses informasi yang dibutuhkan dengan mudah. Fungsi
televisi sebagai sarana mencari informasi dan hiburan mendapatkan jatah program siaran yang
lebih dibanding dalam fungsi edukasi. Hal ini bisa membawa pengaruh yang sangat besar
terhadap khalayak pemirsa yang tidak dibarengi jam tayang program yang tepat dan ketepatan
mencapai sasaran khalayak yang dituju. Apalagi untuk kondisi Indonesia yang secara rata-rata
pendidikan masyarakat tidak terlalu tinggi, sehingga setiap informasi yang menerpa dianggap
sebagai nilai baru yang harus diikuti, tanpa sikap hati-hati akan pengaruh yang akan
ditimbulkannya.
2. Proses siaran sebuah stasiun televisi membutuhkan dana yang teramat besar. Untuk itu,
periklanan merupakan jalan yang paling cepat untuk mendapatkan dana kegiatan siaran. Hal ini
menjadikan periklanan mendapatkan kedudukan yang sangat penting dan tidak dapat diabaikan
dalam kegiatan sebuah media massa, khususnya televisi. Kebanyakan iklan, ditujukan

fungsinya sebagai sarana untuk meningkatkan omset penjualan atau bernilai konsumtif semata.
Di sini khalayak tidak mendapat imbangan informasi yang tepat, sehingga dapat menjadikan
alternatif pembelian atau penggunaan barang produksi atau jasa sesuai dengan kebutuhan
mereka. Tapi yang terjadi adalah tidak ada filterisasi pada masyarakat atas informasi iklan di
media massa televisi yang terus menerus mencapai khalayak di setiap ruang dan waktu. Hal ini,
menunjukkan informasi dalam periklanan televisi menjadi berlebihan.
3. Dari kebanyakan iklan yang ada, ternyata penggunaan wanita sebagai model mendapat
kuantitas yang lebih tinggi dibanding yang lainnya. Kebanyakan bintang iklan didominasi
unsur muda dan cantik. Sayangnya sebagai model utama iklan, wanita tidak digambarkan
dengan kedudukan yang tinggi tapi cenderung terjadi pelecehan akan derajat dan martabat
wanita itu sendiri. Wanita hanya dianggap sebagai objek pemuas kaum pria terutama ketika
kaum wanita dalam iklan telah menunjukkan nilai-nilai sensualitas yang mengarah kepada
bentuk-bentuk pelecehan seksual. Dalam iklan wanita tidak mendapatkan porsi yang bisa
menunjukkan integritas diri dan kemampuan yang memadai dan bisa dihargai lebih baik oleh
khalayak pemirsa televisi. Tapi yang terjadi adalah bentuk tayangan, baik gerak, mimik, musik,
bahkan suara yang merendahkan derajat kewanitaan. Tentu saja penayangan iklan jenis ini
sangat jauh dari fungsi pendidikan media massa kepada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Audentia. Jurnal Ilmu Komunikasi. LP3K. Bandung
Ahmed, S.Akbar. 1993. Posmodernisme bahaya dan harapan bagi islam. Mizan. Bandung.
Atmowiloto, Arswendo. 1986. Telaah tentang televisi. PT. Gramedia. Jakarta.
Effendi, Onong Uchjana.s. Drs. M.A. 1984. Televisi siaran teori dan praktik. Alumni. Bandung.
Idris. Soewardi. 1987. Jurnalistik televisi. CV.Remadja Karya. Bandung.
Jenkins, Janet. 1982. Do audiovisual media home unique teaching capabilities. Media Asia.
Kasali, Rhenald. 1993. Manajemen periklanan : Konsep dan aplikasinya di Indonesia. PT. Pustaka
Utama Grafiti. Jakarta.
Liliweri, Alo. Drs. M.S. 1991. Memahami peran komunikasi massa dalam masyarakat. PT. Citra
Aditya Bakti. Bandung.
McQuail, Dennis. 1994 Teori komunikasi massa : Suatu pengantar. Erlangga. Jakarta.

Nasution, Zulkarimen. 1989. Teknologi Komunikasi : Dalam Perspektif Latar Belakang dan
Perkembangannya. Lembaga Penerbit FE. UI. Jakarta.
Schramm, Wilbur. 1971. Television relasional. Asian Mass Communication Research and
Information Culture. Singapura.
Sulaiman, Amir Hamzah. 1988. Media audio visual untuk pengajaran, penerangan dan penyuluhan.
PT. Gramedia. Jakarta.
Tan, Alexis. 1981. Mass communication theories and research. Grid Publishing Inc. Colobums
Ohio.
Wahyudi, JB.B.A. 1986. Media komunikasi massa televisi. Alumni. Bandung.

S. Bekti Istiyanto, S.Sos
Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Unsoed
NIP 132206517