KOMODIFIKASI AUDIENS DALAM PROGRAM TELEV

Indra Tjahyo
Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik Unitomo Surabaya
8 April 2015

KOMODIFIKASI AUDIENS DALAM PROGRAM TELEVISI
(Diskursus atas Program Acara Televisi di Indonesia)
Dewasa ini, program acara televisi tidak (lagi) diposisikan sebagai
media fungsional dalam berkomunikasi secara an sich, namun lebih jauh
telah dipandang sebagai industri tersendiri. Dalam kacamata pengalaman
historis, Gordon (1991) menyebut perkembangan program TV tersebut
sebagai pengejawentahan 3 (tiga) karakteristik suatu industrialisasi, yakni:
customer requirements, competitive enviroment, dan societal expectation.
Ketiganya, memiliki dimensi yang menggambarkan realitas, representasi,
dan ideologi pada program acara TV.
Pada sisi realitas, program acara TV diaktualisasikan melalui
belbagai pertistiwa, seperti: kecelakaan, kriminalitas, kekerasan, dan lain
sebagainya. Sementara sisi representasi disajikan dalam sebuah video
dari peristiwa-peristiwa tersebut yang menjadi sebuah objek tontonan
yang dinikmati oleh audiens. Hingga pada akhirnya terbentuk menjadi
sebuah ideologi (perspektif) yang berujung pada penilaian dan manfaat
(positif atau negatif) oleh audiens. Bagi McQuail (1997) program acara TV

terdapat beberapa scene yang dapat dimaknai sebagai komodifikasi
audiens, mulai dari proses pertukuran nilai guna (use value) ke nilai tukar
(exchange value).
Pemahaman komodifikasi audiens merupakan komoditas utama
dari media massa. McQuail mengutarakannya sebagai hubungan
resiprokal (timbal balik), kaitan ini dipandang dan diposisikan bahwa
audiens sebagai pasar sekaligus komoditas (khususnya pengiklan).
Dalam bab tersendiri, Burton (2008) menyebutkan bahwa menempatkan
kahlayak sebagai pasar sekaligus dalam industri media (program TV)
dimungkinkan akan mempengaruhi produk media itu sendiri dan
berimplikasi pada sejauh mana para pengiklan mampu mengeluarkan
anggaran (dana). Dengan pengertian lain, diungkapkan bahwa posisi

Indra Tjahyo
Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik Unitomo Surabaya
8 April 2015

audiens menjadi krusial dan memiliki potensi finansial (perekonomian)
yang tidak terelakkan dalam industri media.
Setidaknya ada relasi segitiga dalam tradisi kritis studi ini, yakni:

media, audiens, dan pengiklan. Sebagaimana DeFleur (2010) utarakan
dalam teori normatif sistem media bahwa kaitan posisi audiens setidaknya
memiliki hubungan dengan variabel-variabel the major needs and interest,
social categories, dan the social relationship yang saling bergantungan,
terdiri dari: audiences, research organizations, distributors, producers and
their sponsors, advertising agencies, dan subsystems of control.
Kesemuanya

memiliki

kebutuhan

utama

dan

kepentingan

yang


direpresentasikan audiens dan hubungan sosial antar kahalayak melalui
mekanisme perilaku, seperti: pola perhatian, penafsiran, dan respon
audiens berkaitan dengan isi dari jenis program TV.
Tinjauan lebih jauh melihat bagaimana ketiganya bekerja di dalam
sebuah rerangka program TV secara komersial. Menurut tataran Napoli
(2011) rerangka tersebut dapat ditelaah melalui sistem rating yang
diterapkan oleh media TV pada khususnya. Dalam hal ini, sistem rating
terdapat suatu korelasi positif yang sesungguhnya tidak lebih dari bentuk
jual beli audiens bagi program media TV untuk mendatangkan iklan
sebanyak-banyaknya. Semakin banyak audines menonton suatu program
acara TV, semakin tinggi rating program tersebut, maka semkin banyak
iklan yang didapatkan. Hal demikian, yang menjadi survival media
(program) TV yang merefleksikan sebuah proses komodifikasi audiens itu
sendiri.
Kendati demikian, logika supply dan demand yang diungkapkan
McQuail (2010) dalam rerangka riset audiens mengkritisi bahwa audiens
sebagai komoditi justru memperlihatkan media telah bertindak selaku
kelas kapitalis yang mengeksploitasi perilaku budaya audiens tanpa
kompensasi yang adil. Realitas ini, kemudian diterjemahkan Habermas
(dalam Cox, 2013) melalui rerangka perspektif ideal dalam bermedia,

dimana media hendaknya mampu memperkuat dan memperluas basis

Indra Tjahyo
Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik Unitomo Surabaya
8 April 2015

public sphere. Manifestasi public sphere berkaitan dengan pembentukan
kesadaran publik, tepatnya kesadaran yang bukan sekesar prinsip
abstrak, melainkan sesuatu yang sifatnya inheren secara kultural. Melalui
cara ini, audiens dapat dicerdaskan karena memiliki banyak alternatif
pemikiran yang bebas dari kontrol, sensor, dan dominasi.
Oleh karenanya, menarik untuk dikritisi lebih jauh bagaimana
program acara TV dalam mengkomodifikasi audiens sehingga dapat dijual
kepada para pengiklan dan bagaimana implikasi dari sebuah sistem rating
sebagai instrumen komodifikasi audiens terhadap public sphere. Asumsi
dasar yang digunakan dalam telaah kritis ini adalah audience analysis
yang merujuk pada praktik pertukaran ruang opini dimana setiap wacana
(masalah-masalah sosial) dapat muncul secara bebas. Konsep ini
berhubungan dengan sebuah realitas yang diisi dan dikonstruksi oleh
benturan kepentingan pelbagai pihak, dimana komodifikasi audiens

merupakan pengejawentahan (proses)-nya.
Rating dan Komodifikasi Audiens
Signifikansi dari ranah industi TV yang tercipta melalui serangkaian
program acara memiliki invisible hand yang komersialisasi membuat paket
bisnis semakin menguntungkan. Terbukti skala dan spesivitas (spsifity)
yang

dikeluarkan

AGB

Media

Nielsen

Media

Reserarch

(2014)


menunjukkan konsumsi program acara TV sangat tinggi signifikan. Angka
data merefleksikan secara jelas bahwa jumlah rata-rata audiens yang
menonton program puncak mencapai 94% atau 18 juta audiens tiap
harinya.
Market program acara TV di Indonesia dalam hal ini diketahui
mampu mengkonstruksi audiens dan merumuskan program tertentu yang
sesuai dengan selera pasar dan menarik minat para advertisers. Melalui
sistem rating memungkinkan stasiun TV untuk menilai tingkat ‘kepuasan’
sebuah program acaranya. Perhitungan rating program acara TV di
Indonesia menggunakan sistem TAM (Television Audience Measurement)

Indra Tjahyo
Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik Unitomo Surabaya
8 April 2015

secara otomatis dan online per-daily rating di 10 (sepuluh) kota besar,
yakni Kota Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, Makassar,
Yogyakarta, Palembang Depansar, dan Banjarmasin. Perhitungan ini
memakan jumlah populasi (audiens) mencapai 49 juta audiens berusia 5

(lima) tahun ke atas.
Sebagaimana dilansir AGB Media Nielsen Media Reserarch (2014),
rating program acara di Indonesia, per bulan Desember 2014 yang
menjadi tontonan favorit adalah acara pencarian bakat, musik, atau
permainan dengan perolehan rating sebesar 2,3% atau 1,2 juta penonton.
Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan perolehan program acara hiburan
(komedi) dan sinetron. Namun demikian, perlu diketahui bahwa audiens
TV di Indonesia masih menghabiskan 24% (197 jam) dari total jam
menonton program acara selama setahun terakhir untuk menyaksikan
sinetron. Sedangkan, program acara seperti pencarian bakat, musik, dan
permainan memperoleh porsi jam menonton terbesar kedua dari audiens,
yakni sekitar 20% (196 jam selama setahun).
Bercermin dari realitas data tersebut, dapat dikemukakan bahwa
audiens telah membentuk komoditasnya atau program acara TV tersebut
telah mampu mengkomodifikasi audiens melalui komoditas hiburan
sekaligus komoditas industri pengiklan atau audiens pada akhirnya
mengonsumsi pesan iklan untuk membeli produk yang diiklankan. Dalam
hal ini, konsep struktur media market yang diutarakan Barret & Newbold
(1995) berlaku hukum kebutuhan akan seputar audiens, mulai dari
kuantitas jumlah, kualitas psikografi atau gaya hidup, sampai dengan

perilaku menyimak program acara, telah menjadi kebutuhan absolut bagi
para pengiklan maupun media buyer.
Namun, perlu diperhatikan bahwa terciptanya hukum tersebut,
hendaknya selalu memenuhi ketentuan sistem rating, dimana stasiun TV
bersangkutan dapat menginformasikan kekauatan membuka ruang bagi
produser dan pengiklan untuk selanjutnya memodifikasi audiens. Sebab,
dalam kacamata penulis, kualitas dan makna dari produk budaya program

Indra Tjahyo
Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik Unitomo Surabaya
8 April 2015

acara TV seringkali diabaikan tanpa mengedepankan selera audiens
(pasar). Banyak program acara TV saat ini lebih mengedepankan profit
yang dapat diraup sebesar-besarnya, khususnya dari pemasukan iklan.
Hakikat sistem rating adalah terhubungnya dan dilanggengkannya
media (TV), audiens, dan pengiklan sebagai market population circle.
Yakni, ketika sebuah program acara tertentu mendapat respon yang tinggi
dari audiens, maka program acara TV bersangkutan dengan mudak akan
menjualnya kepada pengiklan. Sebaliknya, apabila sebuah stasiun TV

dipandang tidak prospektif, dalam arti tidak berpotensi ekonomi, maka
pihak pengelola program pun tidak segan menghilangkannya. Dalam hal
ini, Nugroho (2008) mengeksplanasikan sebagai manifestasi program
acara TV yang harus melakukan modifikasi peran audiens, dimana pada
produksi program acara TV semata-mata hanya ditujukan untuk menarik
perhatian audiens, sehingga perilaku menonton pada audiens dapat dijual
kepada pengiklan dalam bentuk poin rating yang setinggi-tingginya.
Kendati demikian, Burton (2008) dalam bab tersendiri, menawarkan
cara

untuk berhasil dalam mengkonstruksi audiens, dimana audiens

harus dilihat dari spesifikasi berikut menerjemahkan audiens sebagai
komoditas ensensial, diantaranya:
a. Status

sosio-ekonomi

adalah


deskriptor

yang

lazim

dimana

pendapatan dan pekerjaan atau status para audiens menjadi target.
Audiens dinilai atas pa yang dapat mereka belanjakan.
b. Pemeringkatan TV adalah khas bagi TV dan merupakan ukuran

prosentase dari audiens target tertentu yang menonton saluran
tertentu selama periode waktu tertentu
c. Penetapan jadwal melibatkan deskripsi berbagai kategori audiens

mayoritas (bulk audience), dimana berbagai jenis audiens diketahui
menonton TV dalam kelompok waktu tertentu. Sebagai contoh, pada
pukul 11.30 pagi, audience akan didominasi oleh para ibu rumah
tangga dan pengganggur.


Indra Tjahyo
Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik Unitomo Surabaya
8 April 2015

d. Proses pembuatan acara (programming) menunjukkan deskripsi yang

serupa dan penempatan acara pada waktu tertentu. Hal demikian lebih
menunjukkan definisi audiens berdasarkan genre.
e. Gaya hidup merupakan cara populer untuk mendeskripsikan audiens

bagi suatu industri stasiun TV, khususnya pada program acara-nya.
Profil dari tipe-tipe ini mendeskripsikan para audiens dikaitkan dengan
tempat tinggalnya, barang-barang yang mereka konsumsi, hubungan
audiens dan kebiasaan waktu senggangnya.
f.

Profil

psikografis

mendefinisikan

audiens

dikaitkan

dengan

pemahaman terhadap identitas dan nilai-nilai audiens tersebut. Jelas,
bahwa deskripsi psikologis dan sosial audiens dikonstruksikan dari
riset agar materi media (TV) tersebut dapat dikonstruksikan untuk
memiliki daya tarik bagi kelompok ini.
Jelas kiranya, bahwa suatu program acara TV tidak hanya
menciptakan

konsumen

(audiens)

sebagai

pasar,

namun

juga

mengkonstruksi audiens sebagai sebuah komoditas yang dapat dijual dan
mendatangkan

profit.

Sebagaimana

McQuail

(2010)

tuturkan,

bahwa ...they are (audience) are a critical component in the media’s ability
to make money, and frequently determine whether a particular media
operator succeeds or fails..’, yang pada intinya adalah audience sebagai
komoditas yang berharga, yakni memiliki sifat-sifat yang sama dengan
komoditi lainnya: dibeli, dijual, perishable – sewaktu-waktu dapat
menghilangkan, atau disingkirkan, ketika dinilai tidak lagi berpotensi
ekonomi.
Implikasi
Implikasi yang dapat dikemukakan berdasarkan penelaahan kajian
di muka adalah bagaimana sistem rating sebagai instrumen komodifikasi
audiens dalam sebuah program acara TV mampu langgeng

terhadap

peran public sphere?. Pertanyaan ini begitu krusial, mengingat stasiun TV
dalam penyajian program acara yang digadangkan hanyalah pertarungan

Indra Tjahyo
Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik Unitomo Surabaya
8 April 2015

untuk memperebutkan dan menguasai sumber-sumber ekonomi, baik itu
ekonomi finansial maupun ekonomi budaya dan juga politik sekaligus.
Kendati demikian, penulis mencoba menelaah lebih lanjut melalui konsep
yang merujuk pada diskusi kesadaran audiens yang sifatnya inheren
secara kultural dalam aktivitas sehari-hari.
Menyadur konsepsi McQuail (2010), dimana program acara yang
diselenggarakan oleh stasiun TV adalah pengejawentahan atas public
sphere, yakni ...a free market place of ideas, dimana diasumsikan
terciptanya ruang opini publik, khususnya bagi audiens akibat masalah
politik media (TV) melalui pencerdasan secara bebas dari kontrol, sensor,
dan dominasi. Nugroho (2008) menambahkan bahwa ranah penyiaran
program acara TV seyogyainya mampu menciptakan public sphere yang
sehat dan ideal. Tersebab, audiens selama ini dijadikan komoditi akibat
media (TV) yang telah bertindak selaku kelas kapitalis yang bertujuan
mengeksploitasi perilaku budaya audiens tanpa kompensasi yang adil.
Ada 3 (tiga) prinsip dasar yang hendak dipertahankan untuk
menciptakan

public

sphere

tersebut,

yakni:

prinsip

kebebasan

berekspresi, prinsip frekuensi milik publik (dilindungi negara sebagai
representasi audiens), dan prinsip demokrasi. Ketiga prinsip tersebut
merupakan pengejawentahan implikasi dari sistem rating yang dapat
digunakan untuk menstandarisasi program televisi sebagai cultural goods.
Dalam bab tersendiri, McQuail (2010) menerjemahkan prinsip ini dalam
diskusi baru yang bisa diaktualisasikan dalam istilah diversity of ownership
(keberagaman pemilik) dan diversity of content (keberagaman isi) sebagai
manifestasi local wisdom. Adalah sebagai artikulasi demokrasi dalam
konteks penciptaan public sphere yang sehat dan ideal, serta tidak dapat
terealisasikan selama sistem rating dan konglomerasi media TV masih
dominan. Hal demikian, sebagaimana dilatarbelakangi ungkapan Ghazali
(2003), bahwa muatan program acara TV pada akhirnya menimbulkan
kesenjangan kultural, hal ini terlihat dari materi siaran stasiun TV Nasional
yang sangat Jakarta minded.

Indra Tjahyo
Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik Unitomo Surabaya
8 April 2015

Maka dari itu, gambaran bahwa audiens sama sekali tidak secara
penuh mendapatkan kebebasan untuk mendapatkan alternatif program
acara TV yang tujuannya lebih mencerdaskan berikut telah mengancam
adanya diversity of ownership dan diversity of content, Gloria Tristani
dalam FCC Commissioner pada Tahun 1998 (dalam Croteau & Hoynes,
2001) menuturkan bahwa eksistensi TV secara mendasar berupaya
memiliki pendekatan melalui program-program yang ditayangkan kepada
audiens. Di samping, ada batasan ini mengacu pada siaran TV yang
menyelaraskan programming bagi audiens. Beberapa batasan tersebut
dapat dijadikan referensial bagi program acara TV di Indonesia untuk
mengudara sebagai TV local wisdom, diantaranya:
a. Penggunaan

bahasa,

yakhi

kesesuaian

kelembagaan

untuk

menggunakan bahasa dalam tiap-tiap program yang ditayangkan. Jika
menggunakan bahasa yang formal merupakan tingkatan bahasa tinggi
akan mengalami kendala banyak pemirsa yang sudah mulai lupa
karena bukan merupakan bahasa percakapan sehari-hari. Selain itu
juga jika ada pemilihan diksi yang kurang tepat, ada sebagian
pemerhati budaya yang mengkritisinya sebagai merusak pakem
bahasa.
b. Pementasan seni budaya, yakni

program acara TV diharapkan

mampu menjadi wahana ekspresi bagi kesenian yang terpinggirkan.
Misalnya, acara budaya unggulan antara lain Langen Budaya dan
Mocopatan di Jawa Tengah. Acara Langen Budaya disiarkan 2 kali
dalam seminggu dengan durasi 1 jam pada Senin dan Kamis malam.
Konten acara Langen Budaya meliputi wayang kulit, ketoprak, dan
wayang orang yang ditayangkan secara bergantian.
c. Musik daerah, dimana format acara musik juga didesain sedemikian
rupa agar menarik perhatian pemirsa. Misalnya acara yang dikemas
dengan format karaoke, pemirsa dapat berpartisipasi menyanyikan
lagu yang disukai melalui telepon. Terlepas dari kualitas vokal
penyanyi, namun format acara seperti ini mampu memberikan

Indra Tjahyo
Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik Unitomo Surabaya
8 April 2015

kepuasan dan membangun keterikatan emosional antara pemirsa
dengan stasiun TV. Strategi lainnya adalah dengan menggandeng
komunitas-komunitas musik untuk mengisi acara seperti yang
dilakukan pada pencinta musik nostalgia. Jenis-jenis musik yang
banyak diangkat antara lain musik dangdut, campur sari, gending jawa,
dan tembang kenangan.
d. Destinasi pariwisata dan potensi daerah, dimana unsur budaya di
Indonesia

tidak selalu berupa

seni

musik atau

pertunjukkan.

Kebudayaan juga meliputi tata bangunan, destinasi wisata, maupun
kuliner. Misalnya, pada wilayah Jawa Tengah terdiri dari 35
kota/kabupaten yang tentu saja memiliki destinasi pariwisata dan
potensi-potensi unggulan daerah. Potensi tersebut merupakan salah
satu unsur program acara diversity of content yang juga perlu diangkat
atau dipromosikan melalui media penyiaran.
Terlepas dari paparan di muka, maka dapat dikemukakan bahwa
memberdayakan audiens melalui diversity of content merupakan suatu
keniscayaan
sebagaimana

untuk

memperluas

dicita-citakan

dan

Habermas

memperkuat
(dalam

Cox,

public
2013)

sphere
yang

menyebutkan bahwa program acara TV hendaknya berprinsip teguh pada
bagaimana

mengoptimlakan

potensi

audiens

sebagai

komponen

komodifikasi audiens (konsumen sekaligus komoditas). Jika demikian,
komdifikasi audiens sesungguhnya bukan program atau rating yang dijual,
melainkan ‘kelayakan’ distribusi dan produksi program acara TV sebagai
penghambaan media pada konstruksi market.
DAFTAR BACAAN
Barret, O. B., & Newbold, C. (1995). Approach to The Media: A Reader.
London: Arnold Publishing.
Burton, G. (2008). Media dan Budaya Populer. Joygyakarta: Jalasutra.
Cox, R. (2013). Environmental Communication and the Public Sphere.
Thousand Oaks, California: SAGE Publications, Inc.

Indra Tjahyo
Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik Unitomo Surabaya
8 April 2015

DeFleur, M. L. (2010). Mass Communication Theories: Explaining Origins,
Processes, and Effects. Boston: USA: Allyn & Bacon Publication.
Ghazali, E. (2003). Konstruksi Sosial Industri Penyiaran . Jakarta: GPU.
Gordon, G. (1991). Industry Determinants of Organizational Culture. USA:
Academy of Management .
McQuail, D. (1997). Audience Analysis. California:USA: SAGE Publication.
_________. (2010). McQuail's Mass Communication Theory (6th Edition).
London: SAGE Publication.
Napoli, P. M. (2011). Audience Evolution: New Technologies and the
Transformation of Media Audiences. New York: Chichester, West
Sussex: Columbia University Press.
Nielsen. (2014). Advertising & Audiences: State of The Media. USA:
Nielsen .
Nugroho, B. (2008). Dari Sebuah Langit yang Terbuka dalam Pengantar
Buku Ekonomi Politik Media Penyiaran Agus Sudibyo. Yogyakarta:
LKiS.