ETIKA LINGKUNGAN SEBUAH TINJAUAN DALAM F

PAPER
TUGAS MATA KULIAH FALSAFAH SAINS

ETIKA LINGKUNGAN: SEBUAH TINJAUAN DALAM
FILSAFAT ISLAM

ODING AFFANDI
E.161140031

PROGRAM STUDI ILMU PENGELOLAAN HUTAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT., Tuhan sekalian alam, Yang Maha Besar, Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang terhadap semua mahluk-Nya. Shalawat dan
salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. sebagai
manusia pilihan yang menjadi perantara Sang Pencipta sehingga Syariat-Nya

sampai kepada kita dan kita (selalu berharap) menjadi orang-orang yang beretika.
Paper yang berjudul “ETIKA LINGKUNGAN: SEBUAH TINJAUAN
DALAM FILSAFAT ISLAM” dibuat untuk menambah informasi bahwa dalam
pengelolaan lingkungan diperlukan, bukan sekedar teknik-intelektual, namun juga
diperlukan hal-hal terkait moral (etika)-spiritual. Oleh sebab itu, pemahaman
masalah lingkungan hidup dan penanganannya perlu diletakkan di atas suatu
fondasi moral dengan cara menghimpun dan merangkai sejumlah prinsip, nilai, dan
norma serta ketentuan hukum yang bersumber dari ajaran agama.
Oleh karenanya ketika akan mengatasi krisis lingkungan, yang kini sedang
melanda dunia, bukanlah melulu persoalan teknis, ekonomis, politik, hukum, dan
sosial-budaya semata. Melainkan diperlukan upaya penyelesaian dari berbagai
perspektif, termasuk salah satunya adalah perspektif fiqih. Mengingat, fiqih pada
dasarnya merupakan "jembatan penghubung" antara etika (prilaku manusia) dan
norma-norma hukum untuk keselamatan alam semesta (kosmos).
Makalah ini mencoba mengantarkan pemahaman dan penggalian rumusan
Filsafat Islam tentang Etika Lingkungan sehingga dibagi menjadi bagian-bagian
yaitu: (1) Fakta Kerusakan Lingkungan dan Dampaknya; (2) Perkembangan
Mazhab Etika Lingkungan, (3) Tinjaun Filsafat Islam Terhadap Etika Lingkungan,
dan (4) Fiqh Al-Bi'ah Sebagai Solusi Alternatif Terhadap Kerusakan Lingkungan.
Selanjutnya sebuah ungkapan terima kasih yang sedemikian besar kepada

Bapak Prof. Sumardjo selaku Dosen pada Mata Kuliah Falsafah Sains, yang telah
memberikan tugas makalah ini sehingga semakin menambah pengetahuan kami
tentang etika lingkungan.
Akhirnya penulis berharap, semoga tulisan ini bermanfaat bagi berbagai
pihak yang memerlukannya, khususnya penulis sendiri dalam rangka proses
peningkatan kapasitas keilmuan. Tiada gading yang tak retak, mohon maaf apabila
masih banyak terdapat kesalahan di dalam tulisan ini.

Bogor, Nopember 2014

Penulis

i

DAFTAR ISI

Halaman
PRAKATA ….......……………....……………….………...……....………... i
DAFTAR ISI ….......…..….…………………….…………..…..………….... ii
1. PENDAHULUAN …………..…………………………..........………..


1

2. FAKTA KERUSAKAN LINGKUNGAN DAN DAMPAKNYA ........... 2
A. Fakta Kerusakan Lingkungan .............................................................. 2
B. Dampak Kerusakan Lingkungan ......................................................... 3
3. PERKEMBANGAN MAZHAB ETIKA LINGKUNGAN ….....………. 4
A. Etika Lingkungan ................................................................................ 4
B. Mazhab Etika Lingkungan ................................................................... 5
4. TINJAUN FILSAFAT ISLAM TERHADAP ETIKA LINGKUNGAN ... 7
5. FIQH
AL-BI'AH
(LINGKUNGAN)
SEBAGAI
SOLUSI
ALTERNATIF TERHADAP KERUSAKAN LINGKUNGAN .............. 9
A. Fiqih Lingkungan ……………….............................................…….. 9
B. Urgensi Pelestarian Lingkungan Hidup dalam Islam ..........…..…….. 11
6. PENUTUP ................................................................................................. 15
PUSTAKA ACUAN …......….......…………..……………..……..……...….. 15


ii

1. PENDAHULUAN
Persoalan-persoalan krisis lingkungan akhir-akhir ini menjadi isu yang hangat
untuk diperbincangkan dan mendapat perhatian besar dari hampir semua negara-negara
di dunia. Hal ini terjadi mengingat manusia dihadapkan pada serangkaian masalahmasalah global yang membahayakan biosfer dan kehidupan makhluk hidup. Bencana
alam seringkali menjadi berita di berbagai media massa.
Secara nasional, Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir, tidak henti-hentinya
dirundung berbagai bencana lingkungan seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus,
banjir, tanah longsor, kekeringan, kerusakan hutan, maupun polusi yang seolah-olah
merupakan fenomena yang akrab dengan kehidupan sehari-hari. Sementara itu, secara
global telah terjadi perubahan drastis wilayah lingkungan hidup, mulai dari kerusakan
lapisan ozon, pemanasan global, efek rumah kaca, perubahan ekologi, dan sebagainya.
Belakangan ditemukan pula banyaknya kasus daratan pulau yang lenyap dari peta dunia
karena naiknya permukaan laut serta kasus kepunahan spesies binatang tertentu.
Penyebab kerusakan lingkungan hidup secara umum bisa dikategorikan dalam dua
faktor yaitu akibat peristiwa alam dan akibat ulah manusia. Letusan gunung berapi, banjir,
abrasi, tanah longsor, angin puting beliung, gempa bumi, dan tsunami merupakan
beberapa contoh bencana alam. Bencana-bencana tersebut menjadi penyebab rusaknya

lingkungan hidup akibat peristiwa alam. Meskipun jika ditelaah lebih lanjut, bencana
seperti banjir, abrasi, kebakaran hutan, dan tanah longsor bisa saja terjadi karena adanya
campur tangan manusia juga.
Penyebab kerusakan lingkungan hidup yang kedua adalah akibat ulah manusia.
Kerusakan yang disebabkan oleh manusia ini justru lebih besar dibanding kerusakan
akibat bencana alam. Ini mengingat kerusakan yang dilakukan bisa terjadi secara terus
menerus dan cenderung meningkat. Kerusakan ini umumnya disebabkan oleh aktifitas
manusia yang tidak ramah lingkungan seperti perusakan hutan dan alih fungsi hutan,
pertambangan, pencemaran udara, air, dan tanah dan lain sebagainya.
Secara eksplisit, Al-Qur’an menyatakan bahwa segala jenis kerusakan yang terjadi
di permukaan bumi ini merupakan akibat dari ulah tangan yang dilakukan oleh manusia
dalam berinteraksi terhadap lingkungan hidupnya, “Telah nampak kerusakan di darat
dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan
kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke
jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum [30]: 41). Ayat ini sejatinya menjadi bahan introspeksi
manusia sebagai makhluk yang diberikan oleh Allah mandat mengelola lingkungan serta
bagaimana tata kelola lingkungan hidup yang seharusnya dilakukan agar tidak terjadi
kerusakan alam semesta ini.
Sejalan dengan ayat di atas, Al-Qur’an juga sudah secara tegas melarang manusia
untuk melakukan kerusakan dalam bentuk apapun di muka bumi ini, “Dan janganlah

kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan
Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan
dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat
baik.”(QS. Al-A’raf [7]: 56). Mengenai ayat ini, menurut Hamidi (2012) yang mengutip
Thahir bin ‘Asyur dalam tafsir, At-Tahrir wa At-Tanwir menyatakan bahwa melakukan
kerusakan pada satu bagian dari lingkungan hidup semakna dengan merusak lingkungan
hidup secara keseluruhan. Dalam ayat lain, dijelaskan bahwa melakukan tindakan yang
dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup merupakan sifat orang-orang munafik
dan pelaku kejahatan, ”Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk
Mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan
Allah tidak menyukai kebinasaan”.(QS. Al-Baqarah [2]: 205).
1

Dalam konteks ini, maka perumusan Filsafat Islam terkait Fikih Lingkungan (Fiqh
al-Bii’ah)” menjadi penting dalam rangka memberikan pencerahan dan paradigma baru
bahwa ajaran Islam tidak hanya berpusat pada masalah-masalah ibadah dan ritual saja,
tetapi sebenarnya juga meliputi tata aturan yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama
terhadap berbagai realita sosial kehidupan yang tengah berkembang seperti adanya
kerusakan lingkungan ((INFORM/CI, 2006). Penanganannya secara teknik-intelektual
sudah banyak diupayakan, namun secara moral-spiritual belum cukup diperhatikan dan

dikembangkan. Oleh sebab itu, pemahaman masalah lingkungan hidup dan
penanganannya perlu diletakkan di atas suatu fondasi moral dengan cara menghimpun
dan merangkai sejumlah prinsip, nilai dan norma serta ketentuan hukum yang bersumber
dari ajaran agama.
Singkatnya, upaya untuk mengatasi krisis lingkungan hidup yang kini sedang
melanda dunia bukanlah melulu persoalan teknis, ekonomis, politik, hukum, dan sosialbudaya semata. Melainkan diperlukan upaya penyelesaian dari berbagai perspektif,
termasuk salah satunya adalah perspektif fiqh. Mengingat, fiqh pada dasarnya merupakan
"jembatan penghubung" antara etika (prilaku manusia) dan norma-norma hukum untuk
keselamatan alam semesta (kosmos) ini (Heriyanto, 2007; Llewellyn, 2007).
Makalah ini mencoba mengantarkan pemahaman dan penggalian rumusan Filsafat
Islam tentang Etika Lingkungan. Makalah ini dibagi menjadi bagian-bagian yaitu: (1)
Fakta Kerusakan Lingkungan dan Dampaknya; (2) Perkembangan Mazhab Etika
Lingkungan, (3) Tinjaun Filsafat Islam Terhadap Etika Lingkungan, dan (4) Fiqh AlBi'ah Sebagai Solusi Alternatif Terhadap Kerusakan Lingkungan.

2. FAKTA KERUSAKAN LINGKUNGAN DAN DAMPAKNYA
A. Fakta Kerusakan Lingkungan
Universitas Adelaide mempublikasikan hasil penelitian terbarunya soal lingkungan.
Empat negara, yakni Brazil, Amerika Serikat, China, dan Indonesia dinyatakan sebagai
negara paling berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan di muka Bumi. Ada tujuh
indikator yang digunakan untuk mengukur degradasi lingkungan, yakni penggundulan

hutan, pemakaian pupuk kimia, polusi air, emisi karbon, penangkapan ikan, dan ancaman
spesies tumbuhan dan hewan, serta peralihan lahan hijau menjadi lahan komersial -seperti mal atau pusat perdagangan, dan juga perkebunan.
Ketujuh indikator ini digunakan untuk dua kriteria. Pertama, degradasi lingkungan
secara global -- yang 'dipimpin' Brazil. Kedua, dampak kerusakan lingkungan terhadap
suatu negara. Untuk kriteria kedua, lebih maju suatu negara, lebih berat kerusakan
lingkungan yang akan ditanggungnya. Singapura jadi yang terburuk untuk kriteria ini.
Krisis lingkungan yang kini mencengkeram Bumi adalah akibat konsumsi berlebihan
manusia atas sumber daya alam. Ada cukup banyak bukti bahwa peningkatan degradasi
lingkungan dan hilangnya habitat dan spesies hewan dan tumbuhan, pada akhirnya akan
berpengaruh pada kelangsungan kualitas kehidupan yang menopang nasib milyaran orang
di dunia (VIVAnews.com, 7 Mei 2010).
Kerusakan lingkungan menjadi penyebab utama peningkatan bencana alam seperti
banjir dan tanah longsor di sejumlah daerah. Ironisnya, kehancuran ekologi sejumlah
kawasan di Tanah Air adalah karena hutan, pesisir, dan daerah aliran sungai yang
dieksploitasi habis-habisan. Menurut, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Balthasar
Kambuaya, bahwa tahun 2012 angka kerusakan lingkungan di Indonesia meningkat dua
persen dari tahun sebelumnya yaitu dari sebesar 59 persen menjadi 61 persen.
Berdasarkan data FAO, Indonesia termasuk negara perusak hutan terbesar di dunia
2


dengan laju kerusakan dua persen atau 1,87 juta hektare per tahun yang berarti setiap hari
terjadi kerusakan hutan seluas 51 kilometer persegi. WWF dan Greenpeace menempatkan
Indonesia di peringkat tertinggi pembabatan hutan dunia dengan rekor 1,6 juta hektare
per hari di Kalimantan, Papua, dan Sumatra.( news.liputan6.com, 8 September 2012).
Beberapa fakta lain terkait tingginya kerusakan lingkungan di Indonesia akibat
kegiatan manusia antara lain (Khan, 2010; Hidayat, 2011; Elias, 2013):
Laju deforestasi mencapai 1,8 juta hektar/tahun yang mengakibatkan 21% dari
133 juta hektar hutan Indonesia hilang. Hilangnya hutan menyebabkan penurunan
kualitas lingkungan, meningkatkan peristiwa bencana alam, dan terancamnya
kelestarian flora dan fauna.
30% dari 2,5 juta hektar terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan.
Kerusakan terumbu karang meningkatkan resiko bencana terhadap daerah pesisir,
mengancam keanekaragaman hayati laut, dan menurunkan produksi perikanan
laut.
Tingginya pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah, dan
pencemaran laut di Indonesia. Bahkan pada 2010, Sungai Citarum pernah
dinobatkan sebagai Sungai Paling Tercemar di Dunia oleh situs
huffingtonpost.com. World Bank juga menempatkan Jakarta sebagai kota dengan
polutan tertinggi ketiga setelah Beijing, New Delhi dan Mexico City.
Ratusan tumbuhan dan hewan Indonesia yang langka dan terancam punah.

Menurut catatan IUCN Redlist, sebanyak 76 spesies hewan Indonesia dan 127
tumbuhan berada dalam status keterancaman tertinggi yaitu status Critically
Endangered (Kritis), serta 205 jenis hewan dan 88 jenis tumbuhan masuk kategori
Endangered, serta 557 spesies hewan dan 256 tumbuhan berstatus Vulnerable.
B. Dampak Kerusakan Lingkungan
Kajian terakhir yang juga dipublikasikan dalam jurnal Science menyebutkan bahwa
sepanjang 2001-2013 Indonesia telah kehilangan 15,8 juta hektare hutan. Situasi yang
terjadi Indonesia berbanding terbalik dengan yang terjadi di Brasil. Brasil mampu
menekan laju penggundulan hutan dari 4 juta hektare di tahun 2003 sehingga menjadi di
bawah 2 juta hektare pada tahun 2012. Sementara itu, laju penggundulan hutan Indonesia
malah cenderung meningkat dari 1 juta hektare pada 2003 menjadi 2 juta hektare di tahun
2012 (tempo.co, 14 Mei 2014; nationalgeographic.co.id, Juli 2014).
Berdasarkan Laporan Keempat dari Intergovernmental Panel on Climate Change
atau IPCC akhir tahun 2007 menyebutkan perubahan suhu akhir-akhir ini telah
berdampak kepada banyak sistem fisik dan biologis alam. Tingkat kemungkinan ancaman
perubahan iklim disebutkan high confidence, memiliki angka prosentase kebenaran
sekitar 80%.Laporan kelompok kerja yang bertanggung jawab atas pengetahuan dan
teknologi (Scientific & Technology) bahkan memperkirakan akhir abad 21, suhu bumi
akan naik sebesar 1,8–4oC, sedangkan permukaan air laut akan naik setinggi 28 – 43 cm,
jika tidak ada upaya serius menurunkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) (dnpi.go.id,

02 April 2013).
Kualitas lingkungan buruk akibat dipinggirkankannya persoalan dan dampak
lingkungan dalam pembangunan menjadi faktor utama bencana lingkungan yang
berpengaruh pada kualitas sosial dan ekonomi. Ini menempatkan tingkat kerentanan
wilayah terhadap bencana lingkungan semakin besar. Kondisi ini artinya perubahan iklim
akan mendorong dan mempercepat bencana serta kerusakan lingkungan.
Di sisi lain, laporan studi Departemen Pekerjaan Umum (2007) menyebutkan
bahwa dampak ancaman perubahan iklim yaitu naiknya permukaan air laut akan menjadi
ancaman terhadap beberapa industri seperti; anjungan minyak dan gas di laut,
3

transportasi, perikanan, pertanian dan ekowisata serta perkampungan masyarakat pesisir.
Laporan ini semakin memperkuat sinyalemen dari laporan keempat IPCC.
Kegagalan pengelolaan lingkungan, termasuk di dalamnya “marginalisasi” isu
lingkungan oleh tiap sektor, misalnya tampak pada persoalan watershed management.
Data menunjukkan bahwa persoalan air di kota–kota besar di Indonesia tidak saja akibat
tingginya run off air sebagai dampak minimnya wilayah /daerah resapan dan tangkapan
air tapi juga kualitas air akibat pencemaran industri, intrusi air laut, penurunan air tanah
dan kekeringan. Persoalan banjir saat ini, tidak saja didominasi di wilayah perkotaan.
Dalam lingkup perubahan iklim dan kegagalan manajemen lingkungan tadi, peningkatan
curah hujan menjadi potensial ancaman banjir yang merusakan sarana dan prasarana serta
lahan-lahan basah.
Persoalan-persoalan lingkungan tersebut mendapat perhatian besar dari hampir
semua negara-negara di dunia. Ini terutama terjadi dalam dasawarsa 1970-an setelah
diadakannya konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stokholm pada tanggal 5 Juni
1972. Konferensi ini kemudian dikenal dengan Konferensi Stokholm, dan pada hari dan
tanggal itulah kemudian ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Di Indonesia,
perhatian tentang lingkungan hidup telah muncul di media massa sejak tahun 1960-an.
Suatu tonggak sejarah tentang lingkungan hidup di Indonesia ialah diselenggarakannya
Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas
Padjajaran di Bandung pada tanggal 15-18 Mei 1972. Seminar itu merupakan seminar
pertama tentang lingkungan hidup yang diadakan di Indonesia. Namun sayangnya hingga
saat ini, lepas dari tiga dekade kemudian, walaupun jumlah lembaga dan aktivis
environmentalism semakin bertambah dari tahun ke tahun, namun laju kerusakan
lingkungan masih terus berlangsung. Kegagalan tersebut banyak diakui kalangan aktivis
disebabkan karena kebijakan yang disusun tidak secara konsisten dilaksanakan
(Soemarwoto, 2001).
3. PERKEMBANGAN MAZHAB ETIKA LINGKUNGAN
A. Etika Lingkungan
Isu-isu kerusakan lingkungan menghadirkan persoalan etika yang rumit. Karena
meskipun pada dasarnya alam sendiri sudah diakui sungguh memiliki nilai dan berharga,
tetapi kenyataannya terus terjadi pencemaran dan perusakan. Keadaan ini memunculkan
banyak pertanyaan. Apakah manusia sudah melupakan hal-hal ini atau manusia sudah
kehilangan rasa cinta pada alam? Bagaimanakah sesungguhnya manusia memahami alam
dan bagaimana cara menggunakannya?
Etika secara etimologis berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti “adat istiadat”
atau “kebiasaan”. Maksudnya, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata
cara hidup yang baik, baik pada diri sendiri atau masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik
ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Etika digunakan
dalam bentuk kaidah, aturan atau norma secara lisan oleh masyarakat, sehingga dikenal,
dipahami dan dilaksanakan masyarakat (Keraf, 2002).
Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan
menjadi dua yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal. Selain itu etika
lingkungan juga dibedakan lagi sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika
pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk
kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung
usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua mahluk.

4

Yang dimaksud Etika ekologi dalam adalah pendekatan terhadap lingkungan yang
melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling
menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Etika Ekologi
ini memiliki prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan
karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup
dan hak untuk berkembang. Premisnya adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui
spesies manusia dengan memasukkan komunitas yang lebih luas. Komunitas yang lebih
luas disini maksudnya adalah komunitas yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta
alam.
Sedangkan Etika ekologi dangkal adalah pendekatan terhadap lingkungan yang
menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, yang bersifat
antroposentris. Etika ekologi dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme
dan humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian diikuti dan dianut
oleh banyak ahli lingkungan. Kebanyakan para ahli lingkungan ini memiliki pandangan
bahwa alam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
B. Mazhab Etika Lingkungan
Sikap dan perilaku seseorang terhadap sesuatu sangat ditentukan oleh bagaimana
pandangan seseorang terhadap sesuatu itu. Hal tersebut berlaku untuk banyak hal,
termasuk mengenai hubungan manusia dengan alam lingkungannya. Manusia memiliki
pandangan tertentu terhadap alam, di mana pandangan itu telah menjadi landasan bagi
tindakan dan perilaku manusia terhadap alam. Pandangan tersebut dibahas dalam tiga
teori utama, yang dikenal sebagai Shallow Environmental Ethics, Intermediate
Environmental Ethics, dan Deep Environmetal Ethics. Ketiga teori ini dikenal di
Indonesia juga sebagai mazhab Antroposentisme, Biosentrisme, dan Ekosentrisme
(Kerap, 2002).
Menurut Suhendang (2013), perbedaan mendasar dari ketiga mazhab tersebut
terdapat pada cara pandang umat manusia dalam mengakui nilai yang melekat pada
mahluk selain manusia, yaitu mahluk hidup (hayati) selain umat manusia dan mahluk
tidak hidup (no hayati) atau benda mati yang selururhnya yang merupakan ciptaan Tuhan
(Al-Khalik).
a.

Antroposentrisme
Antroposentrisme berasalkan dari kata antropos yang berarti manusia, yaitu suatu
pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta.
Pandangan ini berisi pemikiran bahwa segala kebijakan yang diambil mengenai
lingkungan hidup harus dinilai berdasarkan manusia dan kepentingannya. Karena pusat
pemikiran adalah manusia, maka kebijakan terhadap alam harus diarahkan untuk
mengabdi pada kepentingan manusia. Alam dilihat hanya sebagai objek, alat dan sarana
bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia.
Dengan demikian alam dilihat tidak mempunyai nilai dalam dirinya sendiri. Alam
dipandang dan diperlakukan hanya sebagai alat bagi pencapaian tujuan manusia. Mazhab
ini dituduh sebagai salah satu penyebab bagi terjadinya krisis lingkungan hidup.
Pandangan inilah yang telah menyebabkan manusia berani melakukan tindakan
eksploitatif terhadap alam, dengan menguras kekayaan alam demi kepentingannya.
Walau banyak kritik dilontarkan terhadap teori antroposentrisme, namun sebenarnya
argumen yang ada di dalamnya cukup sebagai landasan yang kuat bagi pengembangan
sikap kepedulian terhadap alam. Manusia membutuhkan lingkungan hidup yang baik,
maka demi kepentingan hidupnya, manusia memiliki kewajiban memelihara dan
melestarikan alam lingkungannya.
5

Antroposentrisme bersifat instrumentalis, di mana pola hubungan manusia dengan
alam hanya terbatas pada relasi instrumental semata. Alam dilihat sebagai alat bagi
pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Kalaupun manusia bersifat perduli
terhadapa alam, hal itu dilakukan semata-mata demi menjamin kebutuhan dan
kepentingan hidup manusia, dan bukan atas pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai
pada dirinya sendiri. Teori ini jelas bersifat egoistis karena hanya mengutamakan
kepentingan manusia. Itulah sebabnya teori ini dianggap sebagai sebuah etika lingkungan
yang dangkal dan sempit.
Antroposentrisme bersifat teologis karena pertimbangan yang diambil untuk perduli
terhadap alam didasarkan pada akibat dari tindakan itu bagi kepentingan manusia. Teori
antroposentisme telah telah dituduh sebagai salah satu penyebab bagi terjadinya krisis
lingkungan hidup. Pandangan inilah yang telah menyebabkan manusia berani melakukan
tindakan eksploitatif terhadap alam, dengan menguras kekayaan alam demi
kepentingannya.Walau banyak kritik dilontarkan terhadap teori antroposentrisme, namun
sebenarnya argumen yang ada di dalamnya cukup sebagai landasan yang kuat bagi
pengembangan sikap kepedulian terhadap alam. Manusia membutuhkan lingkungan
hidup yang baik, maka demi kepentingan hidupnya, manusia memiliki kewajiban
memelihara dan melestarikan alam lingkungannya. Pemahaman ini terpusat kepada
manusia sebagai pemegang seutuhnya alam. Dalam pemikiran ini alam akan
mendapatkan perhatian hanya ketika mempunyai fungsi untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Kepentingan manusia dianggap segalanya tanpa memperhatikan prioritasnya.
Alam hanya dipandang sebagai “piranti” pemenuh kebutuhan manusia. Kalaupun
manusia melakukan pengelolaan dan penjagaan alam dengan baik, itu semata-mata hanya
untuk memenuhi kebutuhannya semata agar terjamin kehidupannya.
b. Biosentrisme
Etika lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang lebih menekankan
kehidupan sebagai standar moral, atau dengan kata lain kepentingan untuk hidup yang
harus dijadikan standar moral. Sehingga bukan hanya manusia dan binatang saja yang
harus dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan. Dalam biosentrisme setiap kehidupan
dipandang begitu berarti dan sangat bernilai entah hal itu bermanfaat bagi kehidupan
manusia ataupun tidak. Dengan kata lain pemikiran biosentrisme sangat
menentang/berlawanan dengan antroposentrisme yang memandang bahwa yang perlu
diperlakukan secara moral iru hanya manusia saja. Biosentrisme berpandangan bahwa
mahluk hidup bukan hanya manusia saja. Ada banyak hal dan jenis mahluk hidup yang
memiliki kehidupan.
Pandangan biosentrisme mendasarkan moralitas pada keluhuran kehidupan, entah
pada manusia atau pada mahluk hidupnya. Karena yang menjadi pusat perhatian dan ingin
dibela dalam teori ini adalah kehidupan, maka secara moral berlaku prisip bahwa setiap
kehidupan dimuka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama, sehingga harus dilindungi
dan diselamatkan. Oleh karena itu, kehidupan setiap mahluk hidup pantas diperhitungkan
secara serius dalam setiap keputusan dan tindakan moral, bahkan lepas dari pertimbangan
untung rugi bagi kepentingan manusia. Secara garis besar dalam biosentrisme terdapat
beberapa poin penting yang perlu digaris bawahi yaitu:
Memacu dan menjaga pertumbuhan kehidupan. Alam dan isinya mempunyai nilai
yang sangat berarti bagi dirinya sendiri. Mereka mempunyai nilai karena mereka
hidup, sehingga mereka perlu diperlakukan sevcara moral.
Manusia dipandang bernilai sama dengan makhluk hidup yang ada di bumi ini, hanya
saja manusia mempunyai naluri dan pikiran yang berfungsi sebaai pembeda antara
subjek moral dan objek moral.
6

Teori biosentrisme, yang disebut juga intermediate environmental ethic, harus
dimengerti dengan baik, khususnya menyangkut kehidupan manusia dan mahlukmahluk hidup yang lain di bumi ini. Teori ini memberi bobot dan pertimbangan moral
yang sama kepada semua mahluk hidup. Disini dituntut bahwa alam dan segala
kehidupan yang terkandung didalamnya haruslah masuk dalam pertimbangan dan
kepedulian moral. Manusia tidak mengorbankan kehidupan lainnya begitu saja atas
dasar pemahaman bahwa alam dan segala isinya tidak bernilai dalam dirinya sendiri.
c. Ekosentrisme
Jika di dalam antroposentrisme lingkungan hidup manusia bukan merupakan hal
yang pantas diperlakukan secara moral, kemudian di dalam biosentrisme terjadi
perubahan total pandangan bahwa segala kehidupan yag ada di bumi ini adalah objek
moral dan pantas diperlakukan secara moral. Sekilas pandang biosentrisme sudah cukup
menampung ke hidupoan yang ada di bumi ini. Namun, apabila kita memandang secara
luas bahwa ikan hidup karena ada air, dan burung dapat terbang karena ada udara, dan
peristiwa lainya maka kita akan tersadar bahwa kita masih melupakan satu hal penting
yaitu lingkungan. Kita tidak dapat memisahkan kehidupan kyang ada dengan lingkungan
kerena lingkungan merupakan suber kehidupan dan tempat untuk hidup.
Pembaruan pandangan ini kemudian memunculkan teori baru penyerpunaan dari
teori biosentris yang disebut dengan ekosentris. Di dalam ekosentris perhatian dari teri
ini bukan hanya berpusat pada manusia melainkan pada makhluk hidup seluruhnya dalam
kaitan dalam upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Manusia bukan lagi pusat dari
dunia moral.
Aldo Leopold dalam bukunya “The land ethics “ menyatakan bahwa masalah
lingkungan sebenarnya berakar pada filsafat alam dan sepenuhnya membutuhkan
pemecahan secara filosofis pula. Bagi etika lingkungan, filsafat barat rupanya tidak selalu
mendukung apa yang menjadi asumsi dasar etika lingkungan. Memang, refleksi tentang
alam sudah muncul sejak Filsuf dari Melitus yaitu Thales, Anaximander dan Anaxagoras.
Bahkan dalam mencari arkhai mereka menjadikan alam sebagai unsur dasarnya. Lihat
pendapat Thales yang melihat bahwa segala sesuatu berasal dari air, di dalam bendabenda di bumi terdapat dewa. Heraclitos berpendapat bahwa api adalah awal dari segala
sesuatu, Xenophanes melihat tanah sebagai arkhe, Empedocles mengajukan empat
element yaitu : tanah, udara, api dan air. Walaupun menolak beberapa pemikiran
Parmenides, umumnya para filsuf pra sokratik ini menerima konsep bahwa dunia
mempunyai “ rational structure “ , tidak berubah, tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat
dihancurkan dan tidak dapat digerakkan (List, 2000).

4. TINJAUN FILSAFAT ISLAM TERHADAP ETIKA LINGKUNGAN
Filsafat berasal dari bahasa Yunani (philosophia) yang terdiri atas dua kata yaitu
philos artinya cinta (atau philia yang artinya persahabatan) dan sophos artinya
kebijaksanaan, pengetahuan, atau pengalaman praktis. Jadi secara etimologi, Filsafat
berarti cinta akan kebijaksanaan atau kebenaran (Love of Wisdom). Orangnya disebut
Filosof, yang dalam bahasa Arabnya disebut Failasuf. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan
penyelidikan dengan akal budi mengenai segala hakikat yang ada, sebab, asal, dan
hukumnya (Bakhtiar, 2004). Sehingga orang yang berfilsafat dapat diumpamakan
sebagai seseorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang, ia ingin
mengetahui hakikat dirinya dalam kemestaan alam (Suriasumantri, 2009).
7

Al-qur’an diturunkan oleh pencipta alam semesta dengan secara bertahap. Ayat
pertama dimulai dengan bacalah. Bacalah bermakna bahwa persoalan kehidupan dan
lingkungan itu adalah persoalan keilmuan. Tetapi ayat itu dilanjutkan dengan: “Bacalah
dengan nama tuhan yang Maha Menciptakan”. Pesan di sini adalah bahwa membaca juga
harus dengan kaca mata iman. Bahwa semua di dunia ini ada yang menciptakan. Ayat itu
dilanjutkan dengan: “Yang menciptakan manusia dari yang berkait/menggantung”. Ini
bermakna luas. Manusia itu diciptakan dari sesuatu yang sifatnya menggantung atau
berkait. Tentu salah satunya berarti bahwa manusia itu bahan dasarnya adalah sesuatu
yang berkait. Artinya manusia akan hidup dengan baik bila dia berada di lingkungan yang
beranekaragam –misalnya hayati. Selengkapnya lihat Q.S Al-alaq [36] : 1-5.
Manusia diciptakan sebagai makhluk yang berkait juga bermakna bahwa manusia
selama-lamanya dimaksudkan untuk menciptakan semua di sekitar dia selalu dalam
keadaan berkait. Jadi dengan begitu akan ada semangat atau gerakan berkomunikasi,
berpasukan dan berfikir kritis. Islam mengatur supaya manusia beriman, beramal shaleh,
saling memberi nasehat – baik tentang kebenaran maupun tentang kesabaran. Dengan
begitu maka manusia akan mewarisi surga firdaus – dunia yang apik, rapi dan indah serta
sejahtera – untuk selanjutnya akhirat yang abadi-abadi. Semua ajaran islam mengatur
etika dengan tuhannya, dengan dirinya, dan dengan lingkungannya tidak saja manusia
tetapi alam secara menyeluruh.
Islam adalah Agama (Diin) yang Syaamil (Integral), Kaamil (Sempurna) dan
Mutakaamil (Menyempurnakan semua sistem yang lain), karena ia adalah sistem hidup
yang diturunkan oleh Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana kepada utusan-Nya
(Rasulullah Muhammad SAW), hal ini didasarkan pada firman ALLAH SWT : "Pada
hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku cukupkan atasmu nikmatku, dan
Aku ridhai Islam sebagai aturan hidupmu." (QS. Al Maidah [5]: 3). Oleh karena itu
aturan Islam haruslah mencakup semua sisi yang dibutuhkan oleh manusia dalam
kehidupannya. Demikian tinggi, indah dan terperinci aturan Sang Maha Rahman dan
Rahim ini, sehingga bukan hanya mencakup aturan bagi sesama manusia saja, melainkan
juga terhadap alam dan lingkungan hidupnya. Lywellyn (2007) menyebutkan bahwa
Islam pada dasarnya suatu agama hukum, sehingga aturan-aturannya (baca syariah-nya)
mencakup setiap perbuatan manusia, termasuk pesembahan keagmaan dan masalah etika
murni juga berbagai bidang hukum yang dikenal di dunia modern seperti hukum
konstitusional dan internasional.
Pelestarian alam dan lingkungan hidup ini tak terlepas dari peran manusia, sebagai
khalifah di muka bumi, sebagaimana yang disebut dalam QS Al-Baqarah [2]: 30 (“Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan
khalifah di bumi.”…). Arti khalifah di sini adalah: “seseorang yang diberi kedudukan
oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk menciptakan suatu
masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan masyarakatnya harmonis,
dan agama, akal dan budayanya terpelihara”. Allah telah memberikan tuntunan dalam AlQuran tentang lingkungan hidup. Karena waktu perenungan, hanya beberapa dalil saja
yang diulas sebagai landasan untuk merumuskan teori tentang lingkungan hidup menurut
ajaran Islam. Itulah salah satu tujuan penciptaan lingkungan hidup yaitu agar manusia
dapat berusaha dan beramal sehingga tampak diantara mereka siapa yang taat dan patuh
kepada Allah.
Agama-agama secara umum, dan Agama Islam secara khusus, dalam kajian
teologis dan praksisnya berusaha memberikan respek yang sepatutnya pada lingkungan
hidup. Dengan demikian, ciptaan Allah yang mengandung nilai spiritual menjadi bagian
dari kehidupan manusiawi sendiri. Kalau manusia mengakui bahwa ia mengandung segi
spiritual yang membuatnya menjadi makhluk yang hidup dan berelasi, maka lingkungan
8

hidup sebagai bagian dari ciptaan Allah yang mengandung dan terus menerus melahirkan
kehidupan baru, juga mengandung nilai-nilai spiritual yang patut untuk dihargai oleh
manusia.
Krisis lingkungan hidup memang harus dipandang sebagai panggilan agama atau
lebih sebagai panggilan dari Allah SWT. Pandangan tersebut perlu mendapatkan
penegasan demi mengoreksi dan memperbarui sikap yang mendorong perlakuan buruk
terhadap lingkungan hidup. Kesatuan antara Allah SWT dengan manusia dan perlunya
relasitas yang mutualistis antara manusia dengan lingkungan hidup sangat ditekankan
sebagai pengejawantahan nilai-nilai spiritual. Sehingga spiritualitas lingkungan hidup
dalam konteks hidup beragama berarti pengakuan dan perlakuan terhadap lingkungan
hidup sebagai ciptaan Allah yang mencerminkan kesucian, kekudusan Allah.
Jangkauannya pun selalu dihubungkan dengan masalah etis dan agama. Dengan
menghargai dan memperlakukan lingkungan hidup sebagai bagian dari kehidupan yang
suci, maka usaha pemeliharaan lingkungan hidup menjadi ibadah sejati. Inilah panggilan
agama terhadap lingkungan hidup yang ada di depan mata.
Panggilan agama terhadap lingkungan hidup tidaklah terlalu muluk. Ia dapat
dimulai dari kehidupan kita yang paling sederhana, dalam kedisiplinan membuang
sampah, memelihara makhluk hidup secara wajar dan bersikap adil terhadap sesama.
Atau mungkin seperti yang dilakukan oleh paguyuban tani lestari yang mengupayakan
kelestarian alam dan keselamatan sesama dengan menggunakan pupuk organik sebagai
penyubur tanah garapan mereka. Praktek hidup semacam itu, yang mungkin selama ini
dianggap tidak ada kaitannya dengan soal spiritual haruslah dipandang sebagai bagian
dari pelaksanaan iman kita.

5. FIQH AL-BI'AH (LINGKUNGAN) SEBAGAI SOLUSI ALTERNATIF
TERHADAP KERUSAKAN LINGKUNGAN
A. Fiqih Lingkungan
Dalam bahasa arab fikih lingkungan hidup dipopulerkan dengan istilah fiqhul bi`ah,
yang terdiri dari dua kata (kalimat majemuk; mudhaf dan mudhaf ilaih), yaitu kata fiqh
dan al-bi`ah. Secara bahasa “Fiqh” berasal dari kata Faqiha-Yafqahu-Fiqhan yang berarti
al-‘ilmu bis-syai`i (pengetahuan terhadap sesuatu) al-fahmu (pemahaman). Sedangkan
secara istilah, fikih adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat
praktis yang diambil dari dalil-dalil tafshili (terperinci).
Adapun kata “Al-Bi`ah” dapat diartikan dengan lingkungan hidup, yaitu: Kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Dari sini, dapat kita berikan pengertian
bahwa fikih lingkungan adalah ketentuan-ketentuan Islam yang bersumber dari dalil-dalil
yang terperinci tentang prilaku manusia terhadap lingkungan hidupnya dalam rangka
mewujudkan kemashlahatan dan menjauhkan kerusakan (Muhammad, dkk., 2006).
Hamdi (2012) yang mengutif buku dengan judul Ri’ayatul Bi’ah fi Syari’atil Islam,
karya Dr. Yusuf Al-Qardhawi, menjelaskan bahwa fikih sangat concern terhadap isu-isu
lingkungan hidup ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan pembahasan-pembahasan yang
terdapat dalam literatur fikih klasik, seperti: pembahasan thaharah (kebersihan), ihya almawat (membuka lahan tidur), al-musaqat dan al-muzara’ah (pemanfaatan lahan milik
9

untuk orang lain), hukum-hukum terkait dengan jual beli dan kepemilikan air, api dan
garam, hak-hak binatang peliharaan dan pembahasan-pembahasan lainnya yang terkait
dengan lingkungan hidup yang ada di sekitar manusia
Fiqih Isalam juga sangat memperhatikan pemeliharaan lingkungan dalam upaya
untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah kemudharatan. Hal ini sejalan dengan
maqāsid al-syarī’ah (tujuan syariat agama) yang terumuskan dalam kulliyāt al-khams,
yaitu: hifzu al-nafs (melindungi jiwa), hifzu al-aql (melindungi akal), hifzu al-māl
(melindungi kekayaan/property), hifzu al-nasb (melindungi keturunan), hifzu al-dīn
(melindungi agama). Menjaga kelestarian lingkungan hidup menurut beliau, merupakan
tuntutan untuk melindungi kelima tujuan syari’at tersebut. Dengan demikian, segala
prilaku yang mengarah kepada pengrusakan lingkungan hidup semakna dengan perbuatan
mengancam jiwa, akal, harta, nasab, dan agama.
Oleh karena itu pemahaman masalah lingkungan hidup (fiqh al-Bi'ah) dan
penanganannya (penyelamatan dan pelestariannya) perlu diletakkan di atas suatu pondasi
moral untuk mendukung segala upaya yang sudah dilakukan dan dibina selama ini yang
ternyata belum mampu mengatasi kerusakan lingkungan hidup yang sudah ada dan masih
terus berlangsung. Fiqh lingkungan hidup berupaya menyadarkan manusia yang beriman
supaya menginsafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari
tanggung jawab manusia yang beriman dan merupakan amanat yang diembannya untuk
memelihara dan melindungi alam yang dikaruniakan Sang pencipta yang Maha pengasih
dan penyayang sebagai hunian tempat manusia dalam menjalani hidup di bumi ini.
Menurut Yafie (2006), ada dua landasan dasar dalam fiqh al-Bi'ah yaitu. Pertama,
pelestarian dan pengamanan lingkungan hidup dari kerusakannya adalah bagian dari
iman. Kualitas iman seseorang bisa diukur salah satunya dari sejauh mana sensitivitas dan
kepedulian orang tersebut terhadap kelangsungan lingkungan hidup. Kedua, melestarikan
dan melindungi lingkungan hidup adalah kewajiban setiap orang yang berakal dan baligh
(dewasa). Melakukannya adalah ibadah, terhitung sebagai bentuk bakti manusia kepada
Tuhan. Sementara penanggung jawab utama menjalankan kewajiban pemeliharaan dan
pencegahan kerusakan lingkungan hidup ini terletak di pundak pemerintah. Ia telah
diamanati memegang kekuasaan untuk memelihara dan melindungi lingkungan hidup,
bukan sebaliknya mengeksploitasi dan merusaknya.
Kerusakan lingkungan hidup yang telah terjadi di berbagai wilayah di Indonesia
mendorong para ulama bersatu menyerukan keprihatinan serta kepedulian mereka akan
kelestarian lingkungan hidup. Wujud kepedulian ini dituangkan dalam sebuah pernyataan
bersama yang ditandatangani oleh lebih dari 30 ulama dari pondok pesantren (ponpes) di
Jawa, Lombok, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Pernyataan bersama ini dikeluarkan
pada pertemuan bertema "Menggagas fiqh lingkungan" yang diselenggarakan INFORM
(Indonesia Forest and Media Campaign) dan P4M (Pusat Pengkajian Pemberdayaan dan
Pendidikan Masyarakat) di Bogor 09-12 Mei 2004. Acara ini bertujuan merumuskan fiqh
lingkungan yang berdasarkan pada Qur'an, Hadits serta kitab salaf (kitab kuning)
(Muhammad, dkk., 2006).

10

B. Urgensi Pelestarian Lingkungan Hidup dalam Islam
Islam sebagai agama yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya, tetapi juga hubungan manusia dengan sesama makhluk (termasuk lingkungan
hidupnya) sebenarnya telah memiliki landasan normatif baik secara implisit maupun
ekplisit tentang pengelolaan lingkungan ini.
Kata ‘lestari’ dapat diartikan sebagai tetap seperti keadaannya semula, tak berubah
atau kekal. Jadi, pelestarian adalah pengelolaan sumber daya alam yang menjamin
pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya (Darusman,
2012).
Dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi.
Kewajiban manusia sebagai khalifah di bumi adalah dengan menjaga dan mengurus bumi
dan segala yang ada di dalamnya untuk dikelola sebagaimana mestinya. Dalam hal ini
kekhalifahan sebagai tugas dari Allah untuk mengurus bumi harus dijalankan sesuai
dengan kehendak penciptanya dan tujuan penciptaannya (Nasution, 1992).
Dalam konteks ajaran Islam, jauh sebelum persoalan-persoalan lingkungan hidup
muncul dan menghantui penduduknya, Islam telah lebih dahulu memberi peringatan
lewat ayat-ayat al-Qur'an. Urusan lingkungan hidup adalah bagian integral dari ajaran
Islam. Seorang Muslim justru menempati kedudukan strategis dalam lingkungan hidup
yang diciptakan sebagai khalifah di bumi ini sesuai dengan Surat Al-Baqarah [2]: 30 yang
artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak
menjadikan khalifah di bumi.”
Sebagai khalifah, sudah tentu manusia harus bersih jasmani dan rohaninya. Inilah
inti dari kebersihan jasmani merupakan bagian integral dari kebersihan rohani. Jelaslah
bahwa tugas manusia, terutama muslim/muslimah di muka bumi ini adalah sebagai
khalifah (pemimpin) dan sebagai wakil Allah dalam memelihara bumi (mengelola
lingkungan hidup). Oleh karena itu, dalam memanfaatkan bumi ini tidak boleh semenamena, dan seenaknya saja dalam mengekploitasinya. Pemanfaatan berbagai sumber daya
alam baik yang ada di laut, didaratan dan didalam hutan harus dilakukan secara
proporsional dan rasional untuk kebutuhan masyarakat banyak dan generasi penerusnya
serta menjaga ekosistemnya. Allah sudah memperingatkan dalam surat al'-A'raf [7]: 56
yang artinya:
" Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah
memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut tidak diterima dan
harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang
yang berbuat baik".
Menyadari hal tesebut maka dalam pelaksanaan pembangunan sumber daya alam
harus digunakan dengan rasional. Penggalian sumber kekayaan harus diusahakan dengan
sekuat tenaga dan strategi dengan tidak merusak tata lingkungan dan tata hidup manusia.
Perlu diusahakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan bisa menjaga
kelestariannya sehingga bisa dimanfaatkan secara berkesinambungan. (Yafie, 2006; Miri,
2007). Kita harus bisa mengambil i'tibar dari ayat Allah yang berbunyi:
11

"Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan(dengan) dengan sebuah negeri
yang dahulunya aman lagi tentram rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari
segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah karena itu Allah
merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu
mereka perbuat". (Q.S.an-Nahl [16]:112)
Dalam ayat-ayat tersebut diatas Allah SWT secara tegas menjelaskan tentang akibat
yang ditimbulkan kerena perbuatan manusia yang mengekploitasi lingkungan yang
berlebihan. Ayat-ayat Al-Qur'an ini sekaligus juga menjadi sebuah terobosan paradigma
baru untuk melakukan pengelolaan lingkungan melalui sebuah ajaran religi, sehingga hak
atas lingkungan adalah hak bagi setiap umat di dunia. Selain itu, hak atas lingkungan
sebagai hak dasar manusia juga telah menjadi kesepakatan internasional yang telah
diratifikasi sebagai kesepakatan bersama. Dalam hal ini termasuk baik yang tertuang
dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun dalam
undang-undang lain yang bersifat parsial. Pentingnya upaya pengelolaan lingkungan
hidup sudah sangat jelas implikasi yang akan ditimbulkannya apabila tidak dikelola
secara baik, yaitu munculnya bencana, baik secara langsung maupun secara jangka
panjang.
Dalam Islam di kenal tiga macam bentuk pelestarian lingkungan yaitu: (1). Hima kawasan yang dilindungi untuk kemaslahatan umum dan pengawetan habitat alami.
Termasuk di dalamnya adalah al-Haramaan, yakni daerah sekitar Mekah dan Madinah
yang merupakan kawasan cagar yang terlarang untuk menebang pohon/tumbuhan serta
berburu binatang, (2). Al-Harim - zona larangan lindung, dan (3) Ihya al-mawaat menghidupkan lahan yang terlantar dengan cara reklamasi atau memfungsikan kawasan
tersebut agar menjadi produktif (Onrizal, 2010).
Hima
Islam mengajarkan umatnya untuk melindungi dan menjaga alam dan lingkungan.
Pada masa kekhalifahan, peradaban Islam di Semenanjung Arab memiliki dan menjaga
kawasan konservasi yang disebut Hima. Hima merupakan zona yang tak boleh disentuh
atau digunakan untuk apapun bagi kepentingan manusia. Tempat tersebut digunakan
sebagai konservasi alam, baik untuk kehidupan binatang liar maupun tumbuh-tumbuhan.
Sebelum ajaran Islam turun, masyarakat Arab juga telah mengenal hima. Para era
pra-Islam, hima sering digunakan untuk melindungi suku-suku nomaden tertentu dari
musim kemarau yang panjang. Hima yang cenderung subur karena mengandung banyak
air dan rumput digunakan sebagi tempat menggembala ternak. Para pemimpin suku-suku
nomaden yang cerdik menggunakan hima untuk kemakmuran dan kesejahteraan
rakyatnya. Murut al-Shafi‘i, seorang ilmuwan Muslim di era keemasan, pada masa praIslam, hima digunakan sebagai alat untuk melakukan penindasan terhadap suku-suku
lain.
Para sejarawan Muslim di masa kekhalifahan juga kerap mengupas masalah itu.
Pada masa pra-Islam, hima berada di bawah perlindungan dewa suku-suku tertentu. Baik
tumbuhan maupun binatang di dalam hima sangat dilindungi. Sehingga binatang-bintang
di dalam hima memiliki hak istimewa yakni berkeliaran sesuka hati, merumput tanpa ada
12

gangguan manusia. Setelah datangnya agama Islam, konsep hima sebagai tempat
perlindungan binatang dan tumbuhan tetap dilestarikan. Para khalifah terus menyerukan
dan mempraktikkan perlindungan terhadap hima . Pada masa kejayaan Islam, para
khalifah kerap mengatakan, setiap spesies binatang memiliki bangsanya sendiri.
Pada masa itu, menjaga hima menjadi sebuah kewajiban relijius dibandingkan
kewajiban komunitas. Bahkan para ulama juga sering menyerukan pentingnya hima.
Agar sesuai dengan hukum Islam, sebuah hima itu harus memenuhi beberapa syarat yang
telah dipraktikkan Nabi dan para khalifah. Syarat hima itu antara lain; pertama, harus
berada di bawah perlindungan kekuasaan pemerintah Islam. Kedua, hima harus
dikembangkan sesuai dengan jalan Allah SWT untuk kesejahteraan umat manusia.
Ketiga, area yang dijadikan sebagai hima tidak boleh terlalu luas. Keempat, hima harus
lebih menguntungkan bagi masyarakat dari pada merugikan masyarakat.
Jadi hima ditetapkan sebagai kawasan lindung yang difungsikan untuk
kemaslahatan umum. Dalam konteks dulu, hima difungsikan untuk tempat
penggembalaan kuda-kuda milik negara, hewan, zakat dan lainnya. Setelah pemerintah
menentukan sebuah lahan sebagai hima, maka lahan tersebut menjadi milik negara. Tidak
seorang pun dibenarkan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya (melakukan
ihya'), apalagi sampai merusaknya.
Al-Harim
Dalam hukum Islam terdapat berbagai zona larangan (al-harim) yang didalamnya
pembangunan terlarang atau sangat terbatas untuk mencegah terjadinya kerusakan atau
menurunnya manfaatdan sumberdaya alam. Beberapa bentuk al harim adalah:
1) Dalam hukum Islam, setiap kota atau perkampungan harus dikelilingi oleh zona
larangan yang merupakan kawasan penyangga yang tidak boleh didirikan bangunan
atau sangat terbatas. Lahan-lahan tersebut umumnya dikelola bersama oleh
masyarakat yang bermukim dekat kawasan tersebut untuk mendapatkan berbagai
kebutuhan yang mereka perlukan dalam jumlah terbatas, seperti makanan, dan kayu
bakar atau sejenisnya, dan untuk menjamin kehidupan yang lebih kondusif serta
untuk mencapai kesejahteraan dalam jangka panjang.
2) Berdasarkan hukum Islam, sumber-sumber air, misalnya danau, laut, sungai, mata
air, aliran air dan sumur merupakan zona larangan (al-harim) agar manfaatnya selalu
didapatkan dalam jangka panjang. Demikian juga dengan sarana umum seperti jalan
dan perempatan juga merupakan zona larangan untuk mencegah kerusakan, dan
untuk menjamin pemanfaatan dan pemeliharaannya, serta untuk mencegah gangguan
atau bahaya.
Terkait dengan penetapan batas-batas tentang zona larangan (harim), Islam
menetapkan sebagai berikut:
1) Kawasan terlarang (harim) untuk sebuah sungai adalah meliputi ukuran setengah
dari lebar sungai pada kedua tepinya.
2) Kawasan terlarang (harim) untuk sebatang pohon meliputi jarak dua setengah
hingga tiga meter di sekeliling pohon tersebut.

13

3) Untuk sumur ditetapkan kawasan zona larangan sekurangnya sejauh 20 meter
keliling.
4) Kawasan terlarang (harim) untuk mata air didasarkan pada keadaan air dengan
memberikan pertimbangan yang memadai tentang saluran, ukuran kolam yang
akan dibuat, tempat yang dibutuhkan bagi orang dan binatang untuk bergerak di
sekitarnya dan tipe tanah dimana air itu mengalir
Ihya al Mawaat
“Islam adalah agama yang mengajarkan untuk selalu produktif, selalu melakukan
perbaikan (ishlah) dan menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia. Dalam fiqh klasik,
tanah kosong itu disebut dengan al-mawat. Ulama berselisih paham ketika
mendefinisikan tanah mawat ini. Sebagian mereka mengatakan, bahwa yang dimaksud
adalah tanah yang tidak ada pemiliknya. Karena itu, tanah yang sudah lama ditinggalkan
oleh pemiliknya, masih digolongkantanah mawat. Yang lain mengartikannya dengan
tanah yang tidak pernah dikelola oleh seorangpun. Tanah yang sudah pernah
dimanfaatkan, lalu ditinggalkan oleh pemiliknya, tidak disebut tanah mawat.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk dapat memperoleh hak mengelola
tanah ini, yakni apa yang disebut dengan cara ihya’. Yakni pemanfaatan lahan yang
dilakukan oleh individu. Dalam hal ini, seseorang mematok lahan untuk dapat digarap
dan difungsikan untuk kepentingan pribadinya. Orang yang telah melakukannya dapat
memiliki lahan tersebut. Karena itu, orang lain tidak dibenarkan untuk mengambil
alihnya. Dalam masala