GAMBARAN KONFLIK PERAN GANDA PADA PEREMP

GAMBARAN KONFLIK PERAN GANDA
PADA PEREMPUAN SUKU JAWA
BERSTATUS JERO DAN MEMILIKI ANAK
AUTISME
Putu Noni Shintyadita
Program Studi Psikologi, Universitas
Udayana
Bali – Indonesia
pnshintyadita@gmail.com
Abstract
Nowdays, women have various
kinds of roles, not only domestic but also
social a d worki g role. I Bali, wo e ’s
roles are very important in the society.
Supported with strong traditions and
patriarchy in the social system causing
Balinese women or women who married
to Balinese man not only do a single role
but more than single role at once. Multiple
roles situation involving mind, experience
and perception which causing someone

who do more than single role expectation
at once causing difficulty to demonstrate
both roles at the same time properly and
it will cause conflicts role (Mohr and Puck,
2003). Research conducted in a qualitative
method by a phenomenological approach
using data collections by interviews and
observations. Respondent is a Javanese
working woman who became Jero
because she married to Wangsa Ksatria
man and has autism syndrome daughter.
The purpose of this study is to describe the
multiple roles conflict faced by respondent
initial SW. The result of this study is bidirectional: work-family and family-work
conflict where each of it having a
dimension of time-based conflict, strainbased conflict and behaviorbased conflict
with some factors on multiple role
conflicts are the age of SW’s child, the
quality of a person who taking care of the
kid, the person who assist in household


work and the age of the mother work.
Keywords : multiple role conflict, Balinese,
Woman. Mother.
Perempuan saat ini memiliki peran
yang sangat beragam. Tidak hanya dalam
peran domestik namun juga peran sosial
serta peran dalam bekerja. Di Bali, peran
perempuan sangat penting dalam tatanan
masyarakat ditunjang pula dengan adat
istiadat yang kental dianut dalam sistem
kemasyarakatan di Bali membuat peran
perempuan Bali ataupun perempuan yang
menikah dengan pria suku Bali
menjalankan peran gandanya secara
maksimal dimana suku Bali memgang
adat patriarki yang cukup kental. Situasi
peran
ganda
dimana

pikiran,
pengalaman, dan persepsi dari pemegang
peran (role incumbent) yang diakibatkan
oleh terjadinya dua atau lebih harapan
peran
(role
expectation)
secara
bersamaan, dan menimbulkan kesulitan
dalam menjalankan kedua peran tersebut
dengan baik pada waktu yang bersamaan
akan menimbulkan konflik peran (Mohr
dan Puck, 2003). Penelitian dilakukan
secara kualitatif dengan pendekatan
fenomenologis
yang
mengandalkan
pengumpulan data dengan wawancara
dan observasi. Kasus pada penelitian ini
adalah seorang perempuan bekerja yang

berasal dari suku Jawa, menikah dengan
pria suku Bali yang memiliki wangsa
ksatria dan memiliki seorang anak yang
menderita autisme. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui gambaran
konflik peran ganda yang dihadapi oleh
responden berinisial SW. Hasil penelitian
didapat adalah konflik peran ganda yang
dialami SW bersifat bi-directional yaitu
work-family dan family-work conflict
dengan masing-masing memiliki dimensi
time-based conflict, strain-based conflict
dan behavior-based conflict dengan
beberapa faktor yang terdapat pada
1

konflik peran ganda pada diri JS yaitu usia
anak, kualitas pengganti ibu, orang yang
membantu pekerjaan rumah tangga dan
usia ibu bekerja.

Kata Kunci : peran ganda, perempuan,
perempuan, bali, ibu.

PAPARAN KASUS
Seiring
perkembangan
zaman,
peran yang dimiliki perempuan telah
mengalami banyak perubahan. Bila pada
zaman dahulu, peran perempuan hanya
terbatas pada melahirkan anak dan
mengurus rumah tangga, kini perempuan
bisa memiliki peran sosial yang besar
dimana mereka dapat berkarir dalam
berbagai bidang pekerjaan fenomena ini
terjadi di seluruh belahan negeri dan juga
di pulau Bali.
Bali merupakan wilayah yang sangat
kuat dalam budaya dan adat istiadatnya.
Karena itulah, hukum adat sebagai

batasan-batasan atau aturan dalam
menjalankan
kehidupan
sehari-hari,
sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat
Bali. Suku Bali menganut sistem
kekerabatan patrilineal yakni sistem yang
meletakkan laki-laki pada kedudukan yang
tinggi dalam sistem kemasyarakatan di
Bali (Swarsi, 1986). Sancaya (dalam
Widayani, 2014) menyebutkan budaya
patriarki
dalam
kebudayaan
Bali
dinyatakan bersumber dari adanya konsep
purusha
dan
predana,
yang

melambangkan jiwatman (roh) yang
bersifat abadi (purusha) dan fisik manusia
yang mempunyai sifat berubah-ubah
(prakirti) . Di dalam masyarakat, konsep
ini lebih dikenal dengan hal-hal yang
berkaitan dengan laki-laki atau purusha,
dan hal-hal yang berkaitan dengan
perempuan atau predana. Konsep ini
dijadikan
sebagai
landasan
untuk
membedakan status dan peran antara

perempuan dengan laki-laki, yang dalam
hal
tertentu
tidak
bisa
saling

menggantikan (Wiasti, 2006). Status
perempuan di Bali saat ini sangat
kompleks dimana perempuan Bali tidak
hanya memiliki fungsi domestic namun
fungsi sosial dan berkarir.
Berbagai posisi yang dimiliki
perempuan dalam struktur sosialnya
menyebabkan ia memiliki beberapa
peran, Sarbin & Allen (dalam Solomon
1985)
menyatakan
bahwa
dalam
kehidupan sehari-hari, setiap individu
memiliki lebih dari satu peran atau
disebut multiple roles (peran ganda).
Perempuan yang bekerja bagaimana pun
mereka juga adalah ibu rumah tangga
yang sulit lepas begitu saja dari
lingkungan keluarga. Karenanya dalam

meniti karier, perempuan mempunyai
beban dan hambatan lebih berat
dibandingkan rekan prianya. Dalam arti
perempuan lebih dahulu harus mengatasi
urusan
keluarga-suami,
anak
dan
masyarakat. Jika perempuan karier tidak
pandai menyimbangi peran ganda
tersebut akhirnya akan berantakan
(Anoraga, 2009). Selain itu, adanya
pandangan
di
masyarakat
yang
e yataka bahwa ibu ya g baik
digambarkan
sebagai
ibu

yang
mendedikasikan diri pada anak dan rumah
dengan mengorbankan semua dimensi
lain dari dirinya (Mihelič, 2014).
Pandangan ini membuat kaum ibu yang
juga memiliki peran profesional merasa
bersalah bila dirinya tidak mampu
menjalankan peran ibu dengan baik.
Situasi dimana pikiran, pengalaman, dan
persepsi dari pemegang peran (role
incumbent) yang diakibatkan oleh
terjadinya dua atau lebih harapan peran
(role expectation) secara bersamaan, dan
menimbulkan
kesulitan
dalam
menjalankan kedua peran tersebut
dengan baik pada waktu yang bersamaan

2


akan menimbulkan konflik peran (Mohr
dan Puck, 2003).
Kasus pada penelitian ini adalah
seorang perempuan berusia 42 tahun
berinisial SW. SW berasal dari suku Jawa,
menikah dengan pria suku Bali yang
memiliki wangsa Ksatria. Suku Bali
menganut adat patriarki dan juga sistem
wangsa yang masih kental hingga saat ini,
dimana suku Bali menerapkan sistem yang
disebut dengan tri wangsa. Tri wangsa
adalah tatanan sosial masyarakat Bali
berdasarkan
garis
keturunan
dan
dianggap dari kalangan terhormat yaitu
kaum Brahmana, Ksatria dan Waisya. Adat
dalam tri wangsa ini pun berpengaruh
dalam perkawinan, dimana jika seorang
perempuan yang berbeda suku atau
perempuan suku Bali yang memiliki
wangsa yang berbeda dari suami
khususnya jika suami tersebut adalah
golongan tri wangsa maka perempuan
tersebut akan di panggil dengan sebutan
Jero. Hal ini dialami oleh SW, dimana SW
merupakan perempuan suku Jawa yang
menikah dengan wangsa Ksatria sehingga
SW diberikan sebutan baru yaitu Jero Sri.
Pernikahan SW dengan AA membuahkan
seorang anak perempuan yang menderita
autisme berusia 14 tahun.
SW adalah seorang perempuan
pendatang suku Jawa berusia 42 tahun.
Pada usia 18 tahun setelah SW
menyelesaikan
pendidikan
sekolah
menengah atasnya di Banyuwangi ia
pindah untuk menetap di Bali dikarenakan
orang tua beserta dua orang kakaknya
menetap di Bali, lalu SW memutuskan
untuk melanjutkan jenjang pendidikannya
di sekolah pariwisata di Bali, Setelah
tamat dari BPLP, SW bekerja di HS selama
tujuh tahun, awalnya ia diterima sebagai
guest relation. Di perusahaan tersebut
pula ia bertemu dengan pria suku Bali
berwangsa ksatria berinisial AA dan
menjalin hubungan dengannya dan tiga

tahun setelah SW menikah dengan AA dan
dikaruniai seorang anak perempuan yang
kemudian di diagnosa mengidap autisme.
SW berhenti bekerja di perusahaan
HS pada tahun ke tujuhnya ia bekerja
disana
dikarenakan
SW
ingin
meningkatkan pengalaman kariernya.
Setelah itu SW bekerja di perusahaan TL
dengan menjabat sebagai sales manager
namun setahun kemudian SW berhenti
dari TL dikarenakan SW meninilai
atasannya memiliki sikap yang kurang
baik,
jarang
sekali
mengapresiasi
karyawan
dan
seringnya
perilaku
atasannya yang gemar menyepelekan
pekerjaan, pernah suatu ketika SW sedang
overseas sales di Australia selama
seminggu dan pada hari keempatnya ia
mendengar kabar bahwa puteriya dirawat
di rumah sakit karena demam berdarah,
seketika itu juga SW meminta izin kepada
atasannya untuk segera pulang ke Bali,
SW juga mengaku bahwa saat itu tugas
yang diberikan oleh atasannya sudah
terselesaikan dan hanya menunggu waktu
pulang saja. namun atasan tersebut tidak
mengizinkannya dan meminta SW untuk
menyelesaikan pekerjaan tersebut hingga
hari yang ditentukan ditambah atasan
tersebut mengatakan bahwa SW tidak
perlu khawatir karena anak SW sudah
diurusi oleh suami SW. SW saat itu sangat
tersinggung atas pernyataan atasannya,
Sepulangnya dari overseas sales di
Australia, SW memutuskan untuk berhenti
bekerja di perusahaan TL tersebut.
SW kemudian mendapat tawaran
kerja oleh mantan atasannya ketika SW
bekerja di perusahaan HS untuk mengisi
posisi senior sales manager di perusahaan
STS, perusahaan STS ini merupakan
perusahaan
dibawah
manajemen
perusahaan HS. SW diterima dalam posisi
sebagai senior sales manager di
perusahaan STS. Ketika SW menjadi
3

karyawan dari perusahaan STS tersebut
banyak konflik terjadi dimana SW merasa
teman-teman
kerjanya
cemburu
dengannya dikarenakan SW dapat kembali
bergabung ke manajemen perusahaan HS,
padahal salah satu aturan pada sistem
yang ada pada manajemen perusahaan HS
adalah karyawan yang sudah keluar dari
manajemen HS tidak dapat kembali
bergabung dengan pihak manajemen
perusahaan tersebut. SW mengatakan
banyak pihak yang ingin menjatuhkannya
karena banyak mantan karyawan yang
dulu bergabung dengan manajemen HS
yang tidak diterima lagi ketika ingin
bergabung kembali ke manajeman namun
sebaliknya, SW diterima oleh manajemen.
Hal ini yang menimbulkan kecemburuan
bagi pihak-pihak lainnya, banyak pihak
yang mencoba menjatuhkan SW hingga
suatu
ketika
manajemen
pusat
perusahaan tersebut memberhentikan SW
tanpa alasan dan tanpa sepengetahuan
direktur sales pusat. SW merasa
diperlakukan tidak adil oleh sikap
manajemen HS dan SW merasa
kontribusinya selama dua tahun bekerja di
perusahaan STS tidak dihargai. Setelah
berhenti dari perusahaan STS, SW bekerja
di perusahaan TOB hingga saat ini dan
sejak tahun 2011 hingga sekarang jabatan
SW adalah director of sales.
SW bekerja dari hari Senin hingga
Jumat dari pukul sembilan pagi hingga
tujuh malam. Disini, SW mengaku bahwa
bekerja di bidang sales selama ini
merupakan suatu tantangan yang besar
baginya, salah satu hal yang terkadang
memberatkan SW pada pekerjaannya
adalah dimana ketika SW kerap kali pergi
keluar kota bahkan keluar negeri selama
beberapa hari bahkan beberapa minggu
untuk overseas sales, karena SW sebagai
seorang perempuan yang memiliki anak
berkebutuhan khusus yaitu autisme,
puteri SW lahir pada tahun 2002, puterid

SW didiagnosa autisme sejak usia tiga
tahun. Awal mulanya SW curiga dengan
perilaku anaknya yang tidak bisa
melakukan kontak mata pada lawan
bicara, ketika berjalan suka berjinjit,
terkadang suka menangis tanpa alasan
yang jelas, tidak bisa berkomunikasi untuk
mengungkapkan
perasaan
atau
keinginannya dan puteri SW ini sering
terbangun pada malam hari dan
melakukan
aktivitas
mengutak-atik
serpihan cat di dinding kamar sembari
monolog.
SW mengaku pada saat itu untuk
mengases informasi mengenai anak
berkebutuhan khusus sangat sulit dan
minim sekali. Pernah suatu ketika ia
membawa puterinya ke salah seorang
dokter karena SW ingin mendapat
kepastian mengenai kondisi puterinya, SW
khawatir akan perilaku puterinya yang
tidak
sesuai
dengan
tahap
perkembangannya dan ketika itu dokter
tersebut mengatakan bahwa puteri SW
tidak mengalami masalah, SW dianjurkan
tidak perlu merespon berlebihan akan
kondisi puterinya. SW merasa belum puas
dan akhirnya SW bergabung pada suatu
komunitas orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus, komunitas tersebut
sangat membantu SW dalam menangani
puterinya dimana seringnya diadakan
seminar yang mendatangkan psikolog dan
psikiater sebagai pembicara lalu akses
informasi
mengenai
terapi,
cara
perawatan dan lainnya yang dibutuhkan
oleh SW dalam menangani puterinya. SW
kemudian memakai jasa dua orang
psikolog dan seorang guru untuk
mempercepat proses terapi puterinya
yang saat itu dilakukan terapi empat kali
dalam seminggu. SW mengatakan juga
bahwa sebelumnya SW dan AA diterapi
terlebih
dahulu
dengan
tujuan
penerimaan diri sebagai orang tua dengan
anak berkebutuhan khusus dan salah satu
4

saran dari terapis saat itu bahwa kedua
orang tua atau salah satu harus memiliki
waktu yang maksimal untuk puteri
mereka sedangkan posisi SW dan AA saat
itu sama-sama bekerja.

walaupun struktur bahasa yang digunakan
agak sulit dipahami, puterid SW dapat
mengikuti pelajaran di sekolahnya, dapat
mengikuti perintah dan nasehat orang
tuanya. Saat ini puteri SW hanya
menjalani terapi seminggu sekali.

Pada
awalnya
SW
sempat
kebingungan dan mudah mengalami
stress dikarenakan kondisi tersebut, SW
harus bekerja dan juga merawat anaknya,
pernah suatu ketika dari pengakuan AA
bahwa puteri mereka tidak mengenali SW
sebagai ibunya dikarenakan SW yang
sering overseas call dan bekerja dari pagi
hingga malam. SW merasa sedih dan
suatu ketika SW berdiskusi dengan AA
mengenai
rencana
masa
depan
keluarganya
dan
akhirnya
AA
memutuskan untuk berhenti bekerja.
Keputusan AA untuk berhenti bekerja
diambil karena jabatan pada pekerjaan
SW lebih stabil dan berpotensi besar
untuk lebih baik lagi sehingga AA memulai
usaha mandiri agar dapat memberikan
waktu yang maksimal kepada puteri
mereka. SW mengaku banyak perubahan
terjadi setelah keputusan itu diambil dan
puterinya pun mengalami perkembangan
yang baik dan cepat.

Peran SW lainnya adalah sebagai
seorang istri dari AA. diketahui bahwa AA
merupakan laki-laki suku Bali yang
memiliki wangsa ksatria. Wangsa ksatria
di Bali dipercaya merupakan keturunan
pemimpin atau raja. Orang-orang dengan
wangsa ksatria ini cenderung dihormati
dan disegani oleh masyarakat Bali.
Wangsa ksatria ini mempunyai tradisi dan
adat Bali yang sangat kental dibanding
wangsa waisya dan wangsa sudra. Orang
dengan wangsa ksatria memiliki sebuah
bangunan besar yang disebut dengan puri
yang
merupakan
tempat
tinggal
keturunan wangsa ksatria di daerah
tersebut sekaligus menjadi tempat pusat
kegiatan upacara adat dan acara adat. Di
puri asal AA sangat sering dan banyak
sekali upacara adat istiadat dan acara
keluarga. Sehingga AA dan SW terkadang
bergantian untuk menghadiri kegiatan
tersebut.

Puteri SW saat ini duduk di bangku
kelas delapan di sekolah menengah
pertama pada salah satu sekolah swasta
di Bali. SW beberapa kali mendapat
laporan dari guru sekolah ditempat
puterinya mengenyam pendidikan bahwa
puterinya sering mengganggu salah satu
teman
sekelasnya
dan
terkadang
puterinya bertengkar dengan temannya
tersebut membuat SW khawatir dengan
pergaulan puterinya karena puterinya
merupakan anak berkebutuhan khusus
sehingga sulit bagi puterinya untuk
mengekspresikan emosi dan perasaannya
serta sulitnya beradaptasi dengan temanteman sebayanya. Namun puterid SW saat
ini dapat berkomunikasi dua arah

Masyarakat Bali memiliki norma
adat dan sosial yang tinggi, jika jarang
datang pada kegiatan-kegiatan adat dan
agama seperti upacara adat istiadat,
upacara agama dan acara keluarga maka
orang tersebut akan diberikan sanksi
sosial dan juga hukuman sesuai dengan
yang disebut awig-awig atau aturan adat
setempat. Awalnya ketika baru menikah
SW staus SW di puri disebut dengan jero
yaitu sebutan untuk pendatang di luar
wangsa tersebut dan menjadi anggota
keluarga di puri merasa kurang adanya
penerimaan oleh keluarga besar di puri
karena SW dipandang sebagai pendatang
dengan latar belakang yang berbeda
dengan orang-orang di puri yang
5

mengklaim
merupakan
keturunan
bangsawan. SW sering merasa dipandang
sebelah mata dan diperlakukan kurang
baik oleh keluarga di puri dan sampai
sekarang masih dirasakan oleh SW
walaupun tidak separah kondisi perlakuan
pada awal-awal SW menjadi jero. SW
mengaku kerepotan dan kebingungan
untuk belajar mengenai adat, tradisi dan
budaya Bali terutama di puri dikarenakan
SW sejak menikah tidak memiliki mertua
sebagai panutan untuk beradaptasi di puri
sedangkan menurut SW, AA kurang bisa
maksimal dalam mengayomi SW pada
kondisi di puri sehingga SW belajar
beradaptasi dan bersosialisasi dengan ipar
dan saudara-saudara AA mengenai iklim
budaya di puri.

METODE
Observasi Kasus
Salah satu teknik pengumpulan
data yang dilakukan dalam penyusunan
penelitian ini adalah dengan melakukan
observasi pada pihak- pihak yang terkait
dengan topik atau judul penelitian ini.
Nasution (dalam Sugiyono, 2013)
menjelaskan bahwa observasi merupakan
dasar yang digunakan dalam ilmu
pengetahuan.
Dengan
melakukan
observasi akan menghasilkan data yang
digunakan dalam perkembangan ilmu
pengetahuan. Marshall (dalam Sugiyono,
2013) menyatakan bahwa melalui
observasi,
peneliti
akan
mampu
mepelajari perilaku, serta makna dari
perilaku tersebut. Teknik observasi yang
digunakan dalam penyusunan penelitian
ini adalah observasi partisipatif. Pada
observasi partisipatif, peneliti terlibat
dalam kegiatan yang dijalani orang yang
diamati.
Observasi pertama yang dilakukan
adalah observasi awal pada saat SW

sedang melakukan aktivitas rumah
tangga pada hari Sabtu, 7 Mei 2016
pukul 07.00 WITA hingga pukul 11.00
WITA, bertempat di rumah tinggal SW.
Observasi kedua dilakukan pada Sabtu,
14 Mei 2016 bertempat di rumah SW.
Observasi ketiga dilakukan saat SW
berada di lingkungan kerjanya. Observasi
dilakukan pada hari Minggu, 15
November
2016,
bertempat
di
perusahaan SW bekerja.
Wawancara Kasus
Studi kasus ini menggunakan
teknik pengumpulan data melalui
wawancara pada pihak-pihak yang terkait
dengan topik atau judul penelitian ini.
Wawancara dilakukan oleh peneliti untuk
memperoleh
pengetahuan
tentang
makna-makna subjektif yang dipahami
individu berkenaan dengan topik yang
diteliti, dan bermaksud untuk melakukan
eksplorasi
terhadap
isu
tersebut.
Stainback (dalam Sugiyono, 2013)
mengatakan bahwa dengan wawancara,
peneliti akan mengetahui hal-hal yang
lebih mendalam mengenai partisipan
dalam menginterpretasikan situasi dan
fenomena yang terjadi, dimana hal ini
tidak bisa ditemukan melalui observasi.
Teknik wawancara yang digunakan
dalam penyusunan penelitian ini adalah
teknik wawancara semi terstruktur. Jenis
wawancara ini sudah termasuk dalam
kategori in-dept interview, dimana dalam
pelaksanaannya lebih bebas daripada
wawancara terstruktur. Dalam wawancara
ini, peneliti bertujuan untuk menemukan
permasalahan secara lebih terbuka,
dimana pihak yang diajak wawancara
diminta pendapat serta ide-idenya
(Sugiyono, 2013). Wawancara dalam
penelitian ini dilakukan pada subyek,
suami subyek dan karyawan bawahan SW
di perusahaan TOB. Berikut ini
merupakan hasil wawancara yang
6

dilakukan peneliti pada SW. Pada
S W , diajukan
beberapa
pertanyaan
utama oleh peneliti yang berkaitan
dengan topik yang dibahas dalam
penelitian ini.
Topik pertanyaan pertama adalah
mengenai
latar
belakang
SW
memutuskan untuk menetap di Bali. Saat
peneliti bertanya, sejak kapan SW
memutuskan untuk menetap di Bali, SW
mengatakan bahwa dirinya memutuskan
untuk menetap di Bali karena dua orang
kakaknya dan kedua orang tuanya sudah
menetap di Bali terlebih dahulu dan kala
itu, SW berusia 18 tahun yang saat itu
baru saja lulus dari Sekolah Menengah
Atas nya, lalu ia melanjutkan pendidikan
tingginya dengan mengambil jurusan D2
front office di BPLP yang merupakan
pendidikan
tinggi
untuk
bidang
pariwisata yang terletak di Nusa Dua,
Bali. SW kala itu juga sempat mendapat
beasiswa dari kedutaan Perancis untuk
mengikuti pelatihan front office selama
enam bulan.
Topik pertanyaan kedua adalah
mengenai perjalanan karir SW serta
peran SW pada pekerjaannya sebagai
director of sales. Saat peneliti bertanya,
mengenai riwayat karir SW, SW
mengatakan bahwa SW berhenti
bekerja di perusahaan TL dikarenakan
selain sikap dari atasannya yang kurang
bisa bisa menghargai diri SW, SW juga
semakin tidak tahan dan tersinggung
ketika SW tidak diberikan izin untuk
kembali pulang ke Bali pada hari
keempat saat SW bertugas, padahal
saat itu anaknya dirawat dirumah sakit
dikarenakan sakit demam berdarah dan
menurut pengakuan SW atasannya
berkata bahwa puterinya tersebut toh
sudah dijaga oleh AA sebagai ayahnya.
SW juga mengatakan bahwa bekerja
sebagai director of sales merupakan hal

yang besar tanggung jawabnya, dimana
SW harus disiplin dengan segala urusan
pekerjaannya karena departemen sales
merupakan ujung tombak perusahaan.
Belum lagi SW harus mengembangkan
potensi
bawahannya
dengan
mengadakan training sebulan sekali.
Ditambah overseas call yang sering
dilakukan oleh SW. SW melakukan
overseas call sekiranya minimal sebulan
sekali, baik itu di dalam negeri maupun
diluar negeri.
Topik pertanyaan ketiga adalah
peran SW sebagai ibu dan dengan anak
autisme.
Saat
peneliti
bertanya,
bagaimana menjalani peran sebagai ibu
dengan anak autisme, SW mengatakan
bahwa awalnya SW sangat sulit menjalani
perannya yang begitu kompleks dan
sering mengalami stress, ditambah lagi
SW yang sering melakukan overseas call
minimal sebulan sekali dan dalam jangka
waktu minimal 3 hari, membuat SW
sering khawatir jika meninggalkan rumah.
Namun seiring berjalannya waktu dan
semakin cepaat tumbuh kembang
puterinya maka SW mengaku sudah
dapat
mengatur
dirinya
dalam
menghadapi respon-respon stress SW
juga tetap harus memberikan waktu yang
cukup pada anaknya dikala kesibukannya
dalam
bekerja.
Seperti
SW
menyempatkan diri untuk datang pada
jadwal terapi puterinya, menyiapkan
keperluan sekolah dan memantau
perkebangan serta perilaku puterinya
tersebut.
Topik pertanyaan keempat adalah
kondisi kehidupan di puri dan peran SW
sebagai jero. SW mengaku bahwa
kehidupan di puri luar biasa beratnya
apalagi SW merupakan seorang dari latar
belakang yang berbeda dari suku, agama
dan budaya dan adat istiadat. Banyaknya
upacara dan tingginya norma sosial di
7

masyarakat puri, sering didapatnya
sindiran dari beberapa anggota keluarga
membuatnya harus bersabar sebagai
seorang istri dari AA. Selama ini acara dan
upacara yang dilakukan di puri tidak
semuanya diikuti oleh SW. SW dan AA
bergantian untuk hadir pada kegiatankegiatan tersebut. Jika kegiatan tersebut
dinilai merupakan acara besar dan
penting maka SW bersama AA dan
puterinya akan menghadiri bersama, jika
dirasa kurang tingkat kepentingan acara
tersebut maka cukup AA atau SW yang
menghadiri. SW juga mengatakan bahwa
iawalnya a sangat kesulitan beradaptasi
dengan lingkungan di puri karena tidak
ada peran mertua selaku orang tua
sebagai panutan dirinya di puri,
sedangkan AA dirasa kurang peduli
dengan hal-hal adat di puri. Jadi hingga
sekarang SW memakai ipar perempuan
dari kakak pertama AA sebagai
panutannya di puri karena SW
menganggap
bahwa
kakak
ipar
perempuannya
tersebut
dapat
mengayominya dengan baik di puri.
Berikut
merupakan
hasil
wawancara yang dilakukan oleh peneliti
kepada suami SW yaitu AA. Topik
pertama adalah mengenai pandangan AA
terhadap
SW
ketika
menjalakan
perannnya sebagai jero di puri beserta
hal-hal mengenai kondisi kehidupan di
puri. AA mengatakan bahwa kehidupan di
puri amat berat, banyaknya aturan dan
kewajiban yang harus dijalani sebagai
wangsa ksatria dan anggota puri. Maka
dari itu AA memutuskan untuk tidak
tinggal di puri karena AA tidak begitu
menyukai hal-hal yang konservatif selain
itu untuk melindungi SW dari tekanantekanan yang ada di puri. SW dipandang
oleh AA cukup mandiri dan mampu
beradaptasi dengan cepat pada keluarga
di puri. Awalnya AA memang menerima
sindiran-sindiran mengenai SW seperti

contoh sindiran yang diterima AAketika
salah seorang saudaranya di puri berkata
yaki , “W bekerja di luar egeri ? apa
tidak seli gkuh ? . hal-hal tersebut sering
terjadi dan AA mengatakan bahwa AA
hanya bersabar dan menguatkan SW
bahwa tidak perlu terlalu mendengarkan
perkataan orang-orang tersebut dan
biarkan waktu yang menjawab sindiransindiran kepada AA dan SW.
Topik kedua adalah mengenai
peran SW dalam rumah tangga serta
menjadi ibu untuk puterinya dengan
autisme. AA mengatakan bahwa selama
ini SW memang memiliki waktu yang
tidak banyak dirumah namun SW dapat
menjalankan tugasnya dalam rumah
tangga dan sebagai ibu dengan baik. Hal
yang terkenang oleh AA ketika saat itu
puterinya berusia tiga tahun dan tidak
mengenali SW sebagai ibunya dan
puterinya sempat tidak memanggil SW
dengan sebutan ibu, AA mengatakan hal
itu kemungkinan terjadi karena SW yang
berada jarang dirumah ditambah
seringnya berpergian ke luar daerah atau
Negara unuk overseas call selama
beberapa hari. Disana AA merasa iba
terhadap SW. AA mengerti kondisi SW
dan keluarganya memang tidak mudah
untuk menjalani hal dengan kondisi
seperti yang dialami oleh AA dan SW. AA
sangat kagum kepada SW yang dapat
menjalankan
semua
peran
dan
pekerjaannya, dimana AA mengatakan
bahwa SW selalu menyempatkan untuk
mempersiapkan bahan-bahan masakan
di malam hari, menyempatkan diri
datang pada jadwal terapi puteri mereka
dan selalu bersabar atas puterid semata
wayangnya tersebut.
Topik ketiga adalah mengenai
pandangan AA terhadap SW yang
bekerja sebagai pencari nafkah utama
dalam keluarga. AA mengatakan bahwa
8

sejak puteri mereka di diagnosa autisme
mereka sepakat bahwa SW lah yang akan
bekerja sementara AA dirumah membuat
usaha dan memiliki waktu yang lebih
banyak untuk puteri mereka. Keputusan
ini diambil dikarenakan jabatan SW
dalam pekerjaan stabil dan memiliki
potensi yang baik kedepannya dibanding
dengan
jabatan
AA
sebelumnya.
Kemudian AA dan SW merencanakan
memulai usaha sedini mungkin karena AA
dan SW memikirkan masa depan puteri
mereka dimana nanti jika puteri mereka
sudah besar dan tidak bisa bekerja pada
instansi atau perusahaan maka puteri
mereka bisa mengembangkan usaha
yang di buat oleh AA dan SW ini. AA
sering kali merasa khawatir dengan
pekerjaan SW yang dimana SW sering
pergi keluar kota ataupun keluar negeri
dalam jangka waktu beberapa hari
bahkan beberapa minggu. AA sering
marah jika SW tidak memberikannya
kabar ketika sudah sampai di tempat
tujuan overseas call tersebut, namun
menurut AA itu merupakan hal kecil
namun sangat berarti.
Berikut ini merupakan hasil
wawancara yang dilakukan oleh peneliti
kepada karyawan perusahaan TOB yang
merupakan bawahan dari SW. Topik
yang dibahas diantaranya mengenai
pandangan DP pada peran SW sebagai
atasan dan situasi kerja SW saat di
kantor. DP merupakan seorang sales
coordinator di perusahaan TOB. DP
mengatakan bahwa lingkungan kantor
cukup padat terutama di departemen
sales. SW dikenal sebagai seorang yang
tegas, keras, sedikit kaku dan memiliki
tingkat kedisiplinan yang tinggi. DP juga
mangatakan bahwa SW merupakan
sosok yang task-oriented. Sehingga
bawahannya segan terhadap SW.
pernah suatu ketika SW mengeluarkan
surat peringatan kepada salah satu

bawahannya karena suatu sikap
bawahannya tersebut yang tidak bisa
ditolerir lagi oleh SW, dimana
bawahannya tersebut memalsukan
laporan
mingguannya
dikarenakan
beberapa nota dan bukti transaksi
hilang. Lalu sempat juga SW memecat
salah satu bawahannya ketika itu salah
seorang bawahannya dengan posisi
junior sales yang baru bekerja tiga
minggu mengatakan bahwa bawahan
tersebut diterima beasiswanya dan akan
melanjutkan kuliah pada salah satu
Universitas di Negara lain. Namun
bawahan tersebut mengatakan bahwa ia
masih bisa bekerja sampai bulan depan.
Namun ternyata respon yang diterima
oleh SW berbeda, SW memecat saat itu
juga bawahannya karena SW kecewa
dengan sikap bawahannya tersebut.
Ketika peneliti bertanya mengenai
intensitas SW cuti bekerja dengan alasan
keluarga, DP mengatakan bahwa cukup
sering terjadi pada SW dan terkadang
mendelgasikan
tugasnya
kepada
bawahannya. DP cukup mengerti kondisi
SW sehingga DP memakluminya.

ANALISIS DAN DISKUSI
Studi kasus mengenai gambaran
konflik peran ganda pada perempuan
suku Jawa yang bersuamikan wangsa
ksatria dan memiliki anak dengan autisme
ini, akan menggunakan analisis dari teoriteori yang relevan terhadap permasalahan
kasus tersebut. Teori yang akan
diterapkan dalam menganalisa kasus ini
adalah teori mengenai konflik peran
ganda pada perempuan.
Goldman dan Millman (dalam
Triwahyuni, 2010) Konflik peran ganda
dapat diartikan sebagai situasi dimana
harapan-harapan
peran
seseorang
datang pada saat yang bersamaan, baik
dari individu sendiri maupun dari
9

lingkungan, tetapi bersifat bertentangan.
Sedangkan Netemeyer et al. (dalam
Widyamartaya, 1999) mendefinisikan
konflik peran ganda sebagai konflik yang
muncul akibat tanggung jawab yang
berhubungan
dengan
pekerjaan
mengganggu permintaan, waktu dan
ketegangan dalam keluarga. Dapat
disimpulkan bahwa konflik peran ganda
merupakan
situasi
yang
tidak
menyenangkan dan motif yang tidak
memiliki kesesuaian dalam mencapai
tujuannya, dimana individu dalam waktu
bersamaan dihadapkan pada dua peran
atau lebih yang saling bertentangan.
Menurut Greenhause dan Beutell (dalam
Ginting, 2011) konflik peran ganda
bersifat bi-directional dan multidimensi.
Bi-directional terdiri dari :
a. Work-family conflict:
Konflik yang muncul dikarenakan
tanggung
jawab
pekerjaan
yang
mengganggu tanggung jawab terhadap
keluarga. Netemeyer et el. (1996)
mendeskripsikan work-family conflict
sebagai suatu bentuk konflik antar peran
dimana secara umum permintaan, waktu
dan ketegangan yang diakibatkan oleh
pekerjaan mengganggu tanggung jawab
terhadap
keluarga.
Jadi
dapat
disimpulkan work-family conflict sebagai
konflik yang muncul dikarenakan
tanggung
jawab
pekerjaan
yang
mengganggu tanggung jawab keluarga
dimana secara umum permintaan waktu
dan ketegangan yang diakibatkan oleh
pekerjaan yang mengganggu tanggung
jawab keluarga.
b. Family-work conflict
konflik yang muncul dikarenakan
tanggung jawab terhadap keluarga
mengganggu tanggung jawab terhadap
pekerjaan. Netemeyer et el. (1996)
mendeskripsikan family-work conflict
sebagai suatu bentuk konflik antar peran
dimana secara umum permintaan, waktu
dan
ketegangan
dalam
keluarga

mengganggu tanggung jawab pekerjaan.
Jadi dapat disimpulkan family-work
conflict adalah konflik yang muncul
dikarenakan tanggung jawab terhadap
keluarga mengganggu tanggung jawab
terhadap pekerjaan dimana secara umum
permintaan, waktu dan ketegangan
dalam keluarga mengganggu tanggung
jawab pekerjaan.
Greenhause dan Beutell (dalam
Munandar, 1983) multidimensi dari
konflik peran ganda muncul dari masingmasing
direction
dimana
antara
keduanya baik itu work-family conflict
maupun family-work conflict masingmasing memiliki 3 dimensi yaitu: timebased conflict, strain-based conflict,
behavior-based conflict. Greenhaus dan
Beutell
(dalam
Ginting,
2011)
mendefinisikan tiga dimensi dari konflik
peran ganda, yaitu:
a. Time-based conflict
Konflik yang terjadi karena waktu yang
digunakan untuk memenuhi satu peran
tidak dapat digunakan untuk memenuhi
peran lainnya artinya pada saat yang
bersamaan seorang yang mengalami
konflik peran ganda tidak akan bisa
melakukan dua atau lebih peran
sekaligus.
b. Strain-based conflict
Ketegangan yang dihasilkan oleh salah
satu peran membuat seseorang sulit
untuk memenuhi tuntutan perannya
yang lain. Sebagai contoh, seorang ibu
yang seharian bekerja, ia akan merasa
lelah, dan hal itu membuatnya sulit untuk
duduk dengan nyaman menemani anak
menyelesaikan pekerjaan rumahnya.
Ketegangan peran ini bisa termasuk stres,
tekanan darah meningkat, kecemasan,
cepat marah dan sakit kepala.
c. Behavior-based conflict
Konflik yang muncul ketika pengharapan
dari suatu perilaku yang berbeda dengan
pengharapan dari perilaku peran lainnya.
10

Sebagai contoh, seorang perempuan yang
merupakan manajer eksekutif dari suatu
perusahaan mungkin diharapkan untuk
agresif dan objektif terhadap pekerjaan,
tetapi
keluarganya
mempunyai
pengharapan lain terhadapnya. Dia
berperilaku
sesuai
dengan
yang
diharapkan ketika berada di kantor dan
ketika berinteraksi di rumah dengan
keluarganya dia juga harus berperilaku
sesuai dengan yang diharapkan juga.
Berdasarkan teori-teori terkait
kasus yang telah dipaparkan di atas,
maka dapat ditarik suatu kaitan untuk
menganalisis kasus yang diangkat dalam
penelitian ini sesuai dengan teori-teori di
atas. Analisis kasus ditinjau dari teoriteori tersebut adalah sebagai berikut.
Sebagaimana telah dituliskan dalam
paparan kasus, SW merupakan seorang
perempuan bekerja suku Jawa, dengan
jabatan sebagai director of sales,
menikah dengan laki-laki suku Bali
wangsa ksatria dan memiliki anak dengan
autisme tentunya memiliki banyak sekali
peran dalam kehidupannya. Dimana
dengan jabatannya sebagai director of
sales SW harus berperan menjadi atasan
yang tegas, dapat mengayomi, disiplin
dan dihormati oleh karyawannya, ketika
SW dirumah tangga, SW berperan
menjadi seorang ibu untuk puterinya
yang perlu perhatian lebih karena
puterinya merupakan anak dengan
autisme, mengerjakan pekerjaan rumah
tangga, melayani dan patuh kepada
suaminya sedangkan SW merupakan
pencari nafkah utama di keluarganya.
Saat SW berada di lingkungan
masyarakat terutama saat perannya
sebagai jero di puri maka SW harus
mengikuti seluruh aturan dan tatanan
yang ada di puri apalagi dengan latar
belakang dari SW yang merupakan suku
Jawa dan dulunya merupakan seorang
muslim. Tentu SW sangat merasakan

sekali konflik peran yang terjadi pada
dirinya. SW sempat merasa tertekan
dengan kondisi yang ada pada dirinya,
SW karena situasi dimana harapanharapan peran dari SW datang pada saat
yang bersamaan, baik dari diri sendiri
maupun dari lingkungan, dan bersifat
bertentangan.
Pada kasus ini, konflik peran
ganda yang dialami oleh SW ini bersifat
bi-directional. SW mengalami Workfamily conflict dimana konflik yang
muncul dikarenakan tanggung jawab
pekerjaan yang mengganggu tanggung
jawab terhadap keluarga. Mencakup
dimensi time-based conflict yaitu konflik
yang terjadi karena waktu yang
digunakan untuk memenuhi satu peran
tidak dapat digunakan untuk memenuhi
peran lainnya, Strain-based conflict, yaitu
ketegangan yang dihasilkan oleh salah
satu peran membuat seseorang sulit
untuk memenuhi tuntutan perannya
yang lain dan dimensi terakhir yaitu
Behavior-based conflict, yaitu konflik
yang muncul ketika pengharapan dari
suatu perilaku yang berbeda dengan
pengharapan dari perilaku peran lainnya.
Dapat dilihat dari hasil observasi dan
wawancara, pada observasi pertama dan
kedua, SW melakukan kegiatan yaitu
menelpon dan mengirimkan pesan
kepada bawahannya untuk segera
memberikan laporan, lalu pada kasus
ketika SW bekerja di perusahaan TL, saat
itu SW sedang overseas call ke Australia
selama seminggu dan dihari keempat
saat dia berada di Australia anaknya
dirawat dirumah sakit karena demam
berdarah, dan saat itu pula SW meminta
izin pada atasannya untuk kembali ke Bali
namun tidak diizinkan oleh atasan SW.
Setelah pulang dari overseas call di
Australia SW mengajukan pengunduran
dirinya
dikarenakan
SW
merasa
atasannya tidak menghargai SW sebagai
11

karyawannya dengan tindakannya yang
tidak mengizinkan SW bertemu anaknya
yang dirawat di rumah sakit.
Analisis kedua dari sifat konflik
peran ganda yang bersifat bi-directional
yaitu Family-work conflict dimana konflik
muncul dikarenakan tanggung jawab
terhadap keluarga mengganggu tanggung
jawab terhadap pekerjaan. Dengan
dimensi yang sama yaitu time-based
conflict dimana konflik yang terjadi
karena waktu yang digunakan untuk
memenuhi satu peran tidak dapat
digunakan untuk memenuhi peran
lainnya, Strain-based conflict, yaitu
ketegangan yang dihasilkan oleh salah
satu peran membuat seseorang sulit
untuk memenuhi tuntutan perannya
yang lain dan dimensi terakhir yaitu
Behavior-based conflict, yaitu konflik
yang muncul ketika pengharapan dari
suatu perilaku yang berbeda dengan
pengharapan dari perilaku peran lainnya.
Dapat dilihat pada hasil observasi dan
wawancara dimana ketika SW berada di
perayaan ulang tahun perusahaannya,
SW meminta izin pulang terlebih padahal
acara tersebut belum selesai, lalu hasil
wawancara dari AA yang mengatakan
bahwa AA tidak menyukai sikap SW
dimana jika SW baru pulang dari overseas
SW akan langsung menuju ke kantor
terlebih dahulu untuk membuat laporan
sedangkan AA kurang menyukai perilaku
SW tersebut, menurut AA laporan SW
sebaiknya menemui keluarganya terlebih
dahulu dan pembuatan laporan bisa
ditunda sementara, ditunjang dengan
hasil wawancara dari DP yang merupakan
bawahan SW dimana DP mengatakan
bahwa SW kerap kali izin dari kantor
untuk mengurusi acara di puri ataupun
urusan puterinya.
Konflik peran ganda yang terjadi
pada SW dapat dianalisis pula melalui

faktor-faktor penunjang lain yang dapat
mempengaruhi Konflik peran ganda.
Dimana menurut Hewlett (dalam
Winslow, 2005) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi konflik peran ganda pada
ibu yang bekerja, yaitu:
a. Usia anak.
Keterlibatan ibu dalam pengasuhan
anak usia bayi dan prasekolah cenderung
tinggi dibandingkan dengan anak di atas
usia
sekolah
Mereka
mengidap
kekhawatiran dan rasa bersalah karena
dipenuhi
bayangan
bahwa
anak
kehilangan ibu atau sesuatu mungkin akan
terjadi pada anak. Ibu bekerja mengalami
konflik batin berkaitan dengan peran
mereka sebagai ibu. Hal ini terjadi pada
SW dimana puteri SW merupakan siswa
kelas delapan pada sekolah menengah
pertama yang kini berusia 13 tahun.
Dengan hasil wawancara dari SW yang
mengaku bahwa SW merasa khawatir jika
SW bekerja untuk overseas call dengan
waktu yang cukup lama.
b. Kualitas pengganti peran ibu
Ibu ini mengalami konflik batin
berkaitan dengan peran mereka sebagai
ibu, agar terbebas dari rasa bersalah
tentang keadaan anak terutama ibu yang
mempunyai anak balita maka dibutuhkan
pengganti peran ibu. Pengganti peran ibu
seperti baby sitter, nenek, atau pembantu
rumah tangga yang merawat anak sangat
dibutuhkan anak sebagai objek lekat
pengganti selama ibu sebagai objek lekat
terutama tidak ada dirumah atau ada di
rumah tetapi sedang mengerjakan tugas
kantor. Dalam kasus ini, pengganti peran
ibu dalam rumah tangga SW adalah AA
yaitu suami SW, dimana didapat dari hasil
wawancara dari SW dan AA bahwa sejak
tahun 2006 AA berhenti bekerja
dikarenakan puterinya merupakan anak
dengan autisme dan disarankan oleh
terapis agar peran orang tua sebaiknya

12

yang menjadi andil besar
perkembangan puterinya.

dalam

c. Orang yang membantu pekerjaan
rumah tangga.
Ibu bekerja yang mempunyai anak
di bawah usia delapan belas tahun tetap
melakukan pekerjaan rumah tangga
seperti
memasak,
mencuci,
membersihkan rumah, dan belanja
(Schaie & Willis, dalam Triwahyuni, 2010).
Ibu bekerja ini tidak pernah lepas dari
perasaan bersalah karena tidak bisa
menjadi ibu rumah tangga seutuhnya.
Menurut Deutsh (dalam Munandar,
1983), konflik antara peran perempuan
sebagai ibu rumah tangga dengan peran
sebagai pekerja dapat berkurang apabila
mereka mendapatkan bantuan tenaga
keluarga atau pembantu rumah tangga.
Dalam kasus ini SW awalnya memiliki dua
orang pembantu rumah tangga namun
sejak puterinya menginjak kelas enam
sekolah dasar SW mulai mengajarkan
puterinya pekerjaan rumah tangga yang
ringan. SW juga terbantu oleh suaminya
yang memiliki waktu yang banyak di
rumah sehingga urusan rumah tangga
dapat diatur dengan baik oleh SW.
d. Usia ibu bekerja.
Usia juga mempengaruhi konflik
peran ganda pada ibu bekerja, terutama
pada masa dewasa awal, dimana seorang
perempuan yang memiliki usia dewasa
awal sekitar 21-35 tahun diharapkan
memainkan peran ganda baru yaitu
sebagai istri, ibu dan pekerja. Hal ini
sejalan dengan apa yang terjadi pada diri
SW, dimana SW menikah pada usia 28
tahun dan memiliki anak saat berusia 29
tahun.

konflik peran ganda yang bersifat bidirectional yaitu work-family dan familywork conflict dengan masing-masing
memiliki dimensi time-based conflict,
strain-based conflict dan behavior-based
conflict. Dengan beberapa faktor yang
terdapat pada konflik peran ganda pada
diri SW yaitu usia anak, kualitas pengganti
ibu, orang yang membantu pekerjaan
rumah tangga dan usia ibu bekerja. Konflik
peran ganda yang dihadapi SW sangat
kompleks dan SW merupakan salah satu
kasus yang unik dalam menjalani
perannya. Pelaksanaan peran ganda
perempuan
pada
kenyataannya
menimbulkan masalah yang tidak sedikit.
Peran ganda memungkinkan terjadinya
konflik peran dimana suatu perilaku yang
diharapkan pada suatu posisi tidak cocok
dengan posisi yang lain. perempuan
bekerja mendapatkan sejumlah implikasi
klinis dan efek psikologis ketika
bernegosiasi dengan konflik internal dan
eksternalnya.
Pengalaman
konflik
perempuan bekerja sering menimbulkan
depresi, perasaan stress dan rasa bersalah.
Ketika seseorang menggunakan waktu dan
energi yang berlebihan terhadap peran
bekerja maka peran dalam keluarga akan
mengalami kesulitan, dan begitu juga
sebaliknya,
ketika
seseorang
menggunakan waktu yang berlebihan dan
energi terhadap peran dalam keluarga
maka peran bekerja akan mengalami
kesulitan. Dengan kemandirian tersebut,
perempuan juga bisa diandalkan untuk
membantu
keuangan
keluarga.
Perempuan bisa bekerja diberbagai sektor
formal maupun informal dan pada
realitanya banyak para suami yang
terbantu akan hal ini sehingga tidak
mempermasalahkan keadaan istri yang
memerankan peran ganda.

PENUTUP
SW merupakan perempuan yang
memiliki konflik peran ganda dimana
konflik peran ganda SW dapat dilihat dari

DAFTAR PUSTAKA

13

Anoraga Panji, 2009, Psikologi Kerja,
Jakarta : Rineka Cipta.
Ginting, SY. (2011). Hubungan Self Efficacy
Bekerja dan Keluarga dengan
Tingkat konflik peran ganda
pada Perempuan Dewasa
Dini.
http://repository.usu.ac.id/bit
stream.
Mihelič, Katari a Katja.
4 . WorkFamily Conflict: A Review Of
Antecedents And Outcomes.
International
Journal
of
Management & Information
Systems First Quarter, 2014
Volume 18, No 1.
Munandar,

S.C Utami, Gandadiputra,
Mulyono. (1983). Emansipasi
dan peran ganda perempuan
Indonesia: suatu tinjauan
psikologis. Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia.
Mohr, A.T., dan J.F. Puck. (2003). InterSender Role Conflicts, General
Manager Satisfaction and
Joint Venture Performance in
Indian-German
Joint
Ventures. Working Paper No.
03/19.
Netemeyer, R. G., Boles, J. S., &
McMurrian,
R.
(1996).
Development and validation
of work-family conflict and
family-work conflict scales.
Journal of Applied Psychology,
81(4), 400-410.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R &
D. Bandung : Alfabeta.
Solomon, Michael. R., Surprenant, Carol.,
Czepiel, John A. (1985). A Role
Theory Perspective On Dyadic
Interactions : The Service
Encounter.
Journal
Of
Marketing Vol. 48, 99-111,
Winter 1985.
Swarsi, Si Luh dkk. 1986. Kedudukan dan

Peranan Wanita Pedesaan
Daerah
Bali.
Jakarta :
Depdikbud.
Triwahyuni, Bunga. (2010). Dual Role
Conflict Relationship with
Satisfaction Work on the
Married Women Teachers.
Fakultas Psikologi Universitas
Gunadarma.
Widayani, Ni Made Diska. (2014).
Kesetaraan dan Keadilan
Gender dalam Pandangan
Perempuan
Bali:
Studi
Fenomenologis
Terhadap
Penulis Perempuan Bali. Jurnal
Psikologi Undip, Vol.13 No.2
Oktober 2014, 149-162
Widyamartaya,
(1999).
Individu,
Manyarakat dan Sejarah.
Yogyakarta
:
Penerbit
Kanisius.
Winslow, S. (2005). Work-Family Conflict,
Gender, and Parenthood,
1977-1997. Journal of Family
Issues, 26(6), 727-755.
Wiasti, N. M. (2006). Hubungan industrial
yang berwawasan gender:
Studi kasus pada industri
kerajinan bambu di desa
Belega, kabupaten Gianyar,
Bali.
Kembang
Rampai
Perempuan Bali

14

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124