STUDI KOMPARASI TENTANG PERBUATAN PIDANA PENGANIAYAAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM

PENGANIAYAAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh Rorys Adi Nugraha NIM. E0006216 FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2011

commit to user

Penulisan Hukum (Skripsi) STUDI KOMPARASI TENTANG TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM

Oleh Rorys Adi Nugraha NIM. E0006216

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, Agustus 2011

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

M. Adnan, S.H.,M.Hum. Sabar Slamet, S.H.,M.H. NIP. 19540712 1984031002

NIP. 19560727 1986011001

commit to user

Penulisan Hukum (Skripsi) STUDI KOMPARASI TENTANG TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM Rorys Adi Nugraha NIM. E0006216 Telah diterima dan dipertahankan di hadapan

Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta DEWAN PENGUJI

Mengetahui Dekan,

Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum. NIP. 195702031985032001

commit to user

Nama

: Rorys Adi Nugraha

NIM

: E0006216

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul

STUDI KOMPARASI TENTANG TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM

PIDANA ISLAM adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Agustus 2011 yang membuat pernyataan

Rorys Adi Nugraha NIM. E0006216

commit to user

Rorys Adi Nugraha, E 0006216. 2011. STUDI KOMPARASI TENTANG TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DALAM KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dengan cara membandingkan adanya persamaan maupun perbedaan mengenai pengaturan tindak pidana penganiayaan yang terdapat dalam hukum pidana positif dan hukum pidana Islam. Aspek yang dibandingkan meliputi 3 (tiga) hal yaitu jenis-jenis tindak pidana penganiayaan, ancaman pidananya, serta subjek dan objek hukumnya.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan atau sumber penelitian sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi pustaka. Data yang diperoleh kemudian dilakukan perbandingan mengenai aspek yang akan diteliti antara hukum pidana positif dan hukum pidana Islam. Analisis terhadap data tersebut dilakukan dengan menggunakan metode silogisme dan interpretasi sehingga menghasilkan data yang sesuai untuk dilakukan perbandingan pada aspek-aspek yang akan diteliti.

Simpulan yang dihasilkan dari penelitian ini yaitu, Kesatu, persamaan dalam jenis-jenis penganiayaannya. Hukum pidana Islam dikenal penganiayaan sengaja yang dapat disamakan dengan penganiayaan berencana dalam hukum pidana. Sedangkan penganiayaan tidak sengaja dapat disamakan dengan penganiayaan biasa dan penganiayaan ringan dalam hal ketiadaan unsur kesengajaan pada pelaku. Perbedaannya dalam hukum pidana ada jenis penganiayaan yang dapat menambahkan hukuman sedangkan dalam hukum pidana Islam hanyalah qishas dan diyat. Kedua, mengenai ancaman pidananya. Persamaannya yaitu pidana diyat dalam hukum Islam yang sama dengan pidana denda dalam hukum pidana. Perbedaannya dalam hukum pidana tidak ada hukuman mati dalam penganiayaan. Hukum pidana Islam mengenal pidana mati pada penganiayaan yaitu qishas mati. Dalam hukum pidana hanya mengenal penambahan masa hukuman penjara jika pelaku sengaja menganiaya korban sampai mati. Ketiga, mengenai subjek dan objek hukumnya. Persamaannya, dalam hukum pidana positif dikenal subjek hukum pidana penganiayaan yaitu hukum, ancaman pidananya, dan hakim yang memberikan putusan. Sedangkan dalam hukum pidana Islam subjeknya yaitu syari’at (hukum Islam), ancaman hukumnya, dan putusan qishas atau diyatnya. Mengenai objeknya, dalam hukum pidana positif objek dari penganiayaan ini adalah orang yang melakukan perbuatan dan akibat dari perbuatan pidana. Sedangkan dalam hukum pidana Islam dikenal sebagai objeknya adalah orang yang memperbuat, perbuatan itu sendiri, dan sanksi dari perbuatan itu.

Kata kunci : perbandingan, persamaan, perbedaan, penganiayaan.

commit to user

Rorys Adi Nugraha, E 0006216. 2011. STUDI KOMPARASI TENTANG TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DALAM KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

This research aims to find a way to compare the similarities and differences concerning the crime of persecution arrangements contained in the positive criminal law and criminal law of Islam. Aspects being compared includes

3 (three) things are the kinds of criminal abuse, criminal threats, also subject and object of the law. This research is a normative legal research that is prescriptive is by doing library research or secondary research sources of primary legal materials, legal materials secondary, and tertiary legal materials. Data collection techniques used is literature study. The data obtained and comparison is done on the aspects to be observed between the positive criminal law and criminal law of Islam. Analysis of the data is performed using the methods and the interpretation of syllogisms resulting in the appropriate data to do comparisons on the aspects to be investigated.

The conclusions resulting from this research is, One, equality in the kinds of persecution. Islamic criminal law known deliberate persecution that can be equated with ill-planned in the criminal law. While the abuse may inadvertently equated with abuse and maltreatment ordinary light in the absence of the element of intent to the perpetrator. The difference in criminal law there any kind of persecution can add a sentence in the criminal law whereas Islam is qishas and diyat. Secondly, regarding the criminal threats. The equation that is criminal diyat in the same Islamic law with criminal penalties in criminal law. The difference in criminal law there is no death penalty in the persecution.Islamic criminal law recognize the death penalty on the persecution of qishas dead. In the criminal law recognizes only the addition of a sentence of imprisonment if the offender intentionally mistreat victims to death. Third, regarding the subject and object of the law. The equation, in the positive criminal law criminal law recognized a subject of persecution that is legal, criminal threats, and the judge who gave the verdict.While in criminal law that is the subject of Islamic sharia (Islamic law), legal threats, and the verdict qishas or diyatnya. Regarding the object, the object of positive criminal law of this persecution is a person who has done and as a result of a criminal act. While the Islamic criminal law known as the object is a person who perpetrate, the act itself, and the sanction of the deed.

Key words: comparison, similarities, differences, persecution.

commit to user

Dengan mengucapkan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha

Kuasa akhirnya karya tulis (skripsi) ini dapat selesai tepat pada waktunya. Tak lupa semoga sholawat serta salam selalu dicurahkan pada Rasulullah Muhammad SAW beserta seluruh sahabat dan para pengikutnya hingga akhir jaman. Penulisan hukum / skripsi merupakan tugas wajib yang harus diselesaikan oleh setiap mahasiswa untuk melengkapi syarat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak pada semua pihak

yang telah berperan positif dalam membantu penyusunan skripsi ini. Penulis sadar karya tulis ini tidak akan dapat terwujud tanpa adanya bantuan sekecil apapun dari pihak lain. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Mohammad Adnan, S.H.,M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum dan Masyarakat sekaligus Pembimbing I Penulisan Hukum ini yang telah bersedia memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi bagi penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Sabar Slamet, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II Penulisan Hukum yang telah sabar menyediakan waktu, pikiran, dan berbagi ilmunya.

4. Ibu Sasmini, S.H., LL.M., selaku pembimbing akademis atas nasehat yang berguna selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum UNS.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada Penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan hukum ini.

6. Ketua Pengelola Penulisan Hukum Bapak Lego Karjoko S.H.,M.Hum., dan Mas Wawan anggota PPH yang banyak membantu dalam penulisan hukum ini.

commit to user

menyediakan bahan referensi yang terkait dengan topik penulisan hukum ini.

8. Bapak, ibu, adik-adikku atas cinta dan kasih sayang, doa, dukungan, semangat dan segala yang telah diberikan yang tidak ternilai harganya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini.

9. Teman-teman kuliah di Fakultas Hukum UNS angakatan 2005, 2006, dan 2007.

10. Semua pihak yang ikut dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat

kepada semua pihak baik untuk kalangan akademisi, praktisi, maupun masyarakat umum.

Surakarta, Agustus 2011

Rorys Adi Nugraha

commit to user

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum tidak diciptakan tetapi hukum hidup dan berkembang seiring dengan masyarakat suatu bangsa. Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Hans Kelsen dari mazhab Wina dengan teori Stufenbau, atau teori limas yang mengemukakan bahwa aturan hukum yang di bawah harus sesuai dengan mengemukakan aturan hukum yang paling tinggi (puncak limas) dimana puncak limas tersebut merupakan cita hukum yang tidak tertulis tetapi ditaati oleh masyarakatnya. Ketaatan tersebut diejawantahkan melalui aturan-aturan tertulis dari tingkat yang tinggi sampai ke tingkat yang lebih rendah tetapi tidak boleh bertentangan dengan cita hukum tadi. Masih dalam koridor yang sama, Ter Haar dengan teori besslisengenler yang mengemukakan bahwa hukum di dalam masyarakat akan dapat disebut hukum jika telah diputuskan oleh Kepala Adat.

Kedua teori tersebut mempunyai pemikiran dan dasar yang sama mengenai perkembangan hukum. Perbedaan terjadi hanya sebatas pendangan ke arah legalistik yang mengedepankan kepada hukum dalam arti aturan yang berbentuk putusan, perundangan baik segi isinya (materiel) maupun segi pembentukannya (formiel). Andi Hamzah berpendapat bahwa hukum pidana itu merupakan kode moral suatu bangsa. Di situ kita dapat melihat apa sebenarnya yang dilarang, tidak diperbolehkan dan yang harus dilakukan dalam suatu masyarakat atau negara. Apa yang baik dan apa yang tidak baik menurut pandangan suatu bangsa dapat tercermin dalam hukum pidananya. Yang kedua, hukum pidana merupakan hukum sanksi. Sanksi tersebut identik dengan penderitaan (Tri Wahyuningsih, 2007: 113 ).

Jauh sebelum Belanda berkuasa di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat. Kerajaan Islam di Indonesia telah mempraktekkan Islam sebagai agama dan hukum Islam sebagai hukum positif dalam wilayah kekuasaannya masing- masing. Pada abad ke-10 secara berangsur-angsur banyak orang Belanda sangat berharap segera menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan berbagai cara di antaranya melalui proses Kristenisasi. Hal itu didasarkan pada anggapan tentang superioritas agama Kristen terhadap agama Islam dan sebagian didasarkan pada kepercayaan bahwa sifat sinkretik agama Islam di pedesaan Jawa akan memudahkan orang

commit to user

muslim lainnya (Mohammad Idris Ramulyo, 1995, 48-49). Problem penerapan hukum sangat penting dalam menentukan sistem hukum yang akan diberlakukan. Hal ini mencakup usaha-usaha untuk menemukan hukum, memastikan mana di antara banyak aturan yang ada dalam sistem itu yang akan diterapkan. Kemudian menentukan penerapannya ke dalam kasus tindak pidana penganiayaan menurut hukum positif Indonesia dan hukum Islam.

Mengenai permasalahan tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan tindak pidana, Moeljatno dalam bukunya Azas-azas Hukum Pidana memberikan definisi sebagai berikut :

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum dimana larangan itu disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana, bagi barang siapa melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Untuk menyatakan hubungan yang erat itu maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkrit: pertama yaitu adanya kejadian yang tertentu dan yang kedua adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu (Moeljatno, 1987 : 54).

Sedangkan mengenai pengertian hukum pidana dikemukakan juga oleh beliau bahwa : Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku

di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

commit to user

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 1987: 1).

“Istilah pidana berasal dari bahasa Sansekerta, dalam bahasa Belanda disebut straaf dan dalam bahasa Inggris disebut penalty, yang semua itu artinya hukuman” (Noerwahidah H.A., 1994: 15). Sedangkan R. Soesilo mendefinisikan tindak pidana sebagai “Suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana” (R. Soesilo dalam Noerwahidah H.A., 1994: 15). Andi Hamzah membedakan antara pengertian hukuman dengan pengertian pidana. Dikatakan bahwa :

Hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai suatu pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, yaitu sebagai sanksi atau nestapa yang menderitakan (Andi Hamzah, 1993: 1).

“Hukum pidana ialah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara di dalam melaksanakan kewajibannya menegakkan tata hukum yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan menjatuhkan suatu nestapa/derita kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut” (Wiratmo, 1988: 125). KUHP mendefinisikan tindak pidana penganiayaan adalah “Tindak pidana mengenai tubuh dan nyawa seseorang, yaitu dengan kurang berhati-hati (culpa) menyebabkan seseorang luka atau mati.” Karena tindak pidana penganiayaan ini telah diatur dalam KUHP maka tindak pidana penganiayaan bisa dikaitkan dengan tindak pidana pembunuhan yang juga diatur dalam KUHP karena keduanya menyangkut tubuh dan nyawa seseorang. Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara jika setiap anggota masyarakat menaati peraturan-peraturan yang ada dalam masyarakat. Peraturan-peraturan ini dibuat oleh suatu badan yang berkuasa dalam masyarakat itu yang disebut sebagai pemerintah. Walaupun peraturan-peraturan ini telah dikeluarkan, masih tetap saja ada orang-orang yang melanggar peraturan tersebut.

commit to user

disebutkan baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah, sehingga menjadi hak kalifah atau hakim dalam menentukan bagaimana hukuman yang akan diberikan bagi pelaku tindak pidana ini (ta’zir). Jika penganiayaan itu berujung pada luka atau matinya seseorang maka dapat digolongkan dalam jarimah kisas. Jika luka itu tidak dapat diambil ukuran yang sama maka dapat dikenakan diyat.

Jika dicermati maka terdapat perbedaan yang signifikan antara tindak pidana penganiayaan yang terdapat dalam hukum pidana positif di Indonesia dan hukum pidana Islam. Perbedaan ini menarik perhatian penulis untuk mengkaji secara ilmiah tentang seluk-beluk perbedaan tersebut. Oleh karena itu dalam penulisan hukum ini penulis ingin meneliti bagaimana kedua sistem hukum ini mengatur mengenai tindak pidana penganiayaan dalam penelitian yang berjudul : “STUDI KOMPARASI TENTANG TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM”.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi pokok untuk dirumuskan dalam pembahasan penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana penganiayaan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dan Hukum Pidana Islam?

2. Apa persamaan dan perbedaan dari pengaturan tindak pidana penganiayaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Pidana Islam?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian memang diperlukan dalam menyusun sebuah penelitian karena dengan adanya tujuan penelitian berarti jawaban dari apa yang telah dirumuskan sebelumnya akan terjawab. Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan (solusi) dari berbagai isu hukum yang

commit to user

obyektif dan tujuan subyektif yang dijabarkan sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

a. Mengetahui sejauh mana hukum pidana yang ada di Indonesia mengatur dan menerapkan hukum dalam mengatur tindak pidana penganiayaan.

b. Untuk dijadikan perbandingan tentang sisi positif dan negatifnya mengenai pengaturan tindak pidana penganiayaan tersebut.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah pemahaman penulis mengenai pengaturan tindak pidana penganiayaan baik dalam hukum Islam maupun hukum pidana Indonesia.

b. Untuk memenuhi salah satu syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana strata satu dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian Sedangkan manfaat dari penulisan hukum ini yaitu :

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum Islam serta hukum pidana pada khususnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur kepustakaan hukum mengenai perbandingan pengaturan tindak pidana penganiayaan baik ditinjau dari sudut pandang hukum Islam dan hukum pidana Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai tambahan sumber pengetahuan dan informasi bagi pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidana penganiayaan.

commit to user

penulis dalam mengkaji masalah hukum terutama di bidang hukum Islam dan hukum pidana.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan penelitian yang bersangkutan.

E. Metode Penulisan

Penelitian adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan proses analisis (Soerjono Soekanto, 2006: 42). Metode penelitian hukum merupakan cara atau pedomena untuk mempelajari, menganalisa, dan mmahami sesuatu dengan tujuan untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, gejala, atau hipotesa.

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan sebagai berikut :

1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau sumber penelitian sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis , dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2006: 10).

2. Sifat penelitian Penelitian yang disusun penulis bersifat preskriptif yaitu penelitian yang dalam memperoleh datanya dengan melakukan studi kepustakaan secara intensif dengan memperhatikan kompatibilitas data dengan pokok bahasan yang akan diteliti. Data yang diperoleh kemudian diolah berdasarkan teknik pendekatan yang diinginkan penulis.

commit to user

Dalam menyusun suatu penelitian hukum, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan sesuai dengan topik atau tema yang akan dibahas, yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konsep (conseptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), dan pendekatan kasus (case approach) (Jhonny Ibrahim, 2006: 300).

Penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Pendekatan undang-undang digunakan dalam menelaah peraturan perundang- undangan yang memiliki kaitan erat dengan topik yang akan dibahas yaitu mengenai tindak pidana penganiayaan baik dalam hukum Islam maupun hukum pidana. Pendekatan perbandingan digunakan sebagai cara untuk membandingkan pengaturan mengenai tindak pidana penganiayaan dari kedua sistem hukum tersebut yang kemudian akan diperoleh jawaban dari masalah yang sedang diteliti.

4. Jenis dan sumber data penelitian Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang meliputi dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya. Bahan hukumnya dibedakan sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari :

1) Norma atau kaidah dasar, yaitu pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;

2) Peraturan dasar : - Batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945; - Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; - Peraturan perundang-undangan;

commit to user

adat; - Yurisprudensi. Dalam penelitian ini bahan hukum primernya adalah Al- Qur’an terutama Q.S. Al Maidah: 45 dan Q.S. An-Nisa: 92, KUHP Pasal 351 ayat (1), 351 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 352 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 354 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 355 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 356.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian atau pendapat pakar hukum. Dalam penelitian ini yang akan digunakan adalah buku tentang pidana baik hukum pidana positif maupun pidana Islam (jinayat), karya tulis ilmiah pakar mengenai tindak pidana penganiayaan, maupun literatur dan artikel-artikel yang terkait dengan permasalahan yang ada.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus besar bahasan Indonesia, ensiklopedi, dan sebagainya.

5. Teknik pengumpulan data Penulis menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum dengan studi dokumen atau bahan pustaka baik dari media cetak maupun elektronik.

6. Teknik analisis data Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori yang telah didapatkan sebelumnya (Mukti Fajar dan Yulianto Achmad 2010: 183). Pada penelitian hukum ini penulis menggunakan metode silogisme dan interpretasi. Silogisme adalah bentuk berfikir logis

commit to user

hal yang bersifat khusus. Sedangkan interpretasi adalah menafsirkan terhadap teks perundang-undangan yang tidak jelas agar perundang- undangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkret tertentu (Bambang Sutiyoso, 2009: 82).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberi gambaran yang jelas dan komprehensif mengenai penulisan hukum ini, maka berikut kami sajikan susunan sistematika :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis mengemukakan tentang :

A. Latar Belakang Masalah

B. Perumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

E. Metode Penelitian

F. Sistematika Penulisan Hukum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini diuraikan mengenai kajian pustaka yang berkenaan dengan judul dan masalah yang diteliti yang memberikan landasan/kerangka teori serta diuraikan juga mengenai kerangka pemikiran/konsep.

A. Kerangka Teori

B. Kerangka Pemikiran

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi hasil penelitian yang diperoleh dan pembahasannya, meliputi :

commit to user

Undang-undang Hukum Pidana dan hukum pidana Islam

B. Analisis persamaan dan perbedaan pengaturan tindak pidana penganiyaan dalam KUHP dan hukup pidana Islam

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan

B. Saran

commit to user

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang hukum pidana

a. Hukum pidana positif

1) Pengertian dan pembagian hukum pidana Sebelum abad ke-18, hakim menjatuhkan hukuman pada

seseorang tanpa adanya ukuran yang jelas mengenai apa hukuman yang pantas dijatuhkan pada pelaku tindak pidana, sehingga terkesan bahwa sanksi yang dijatuhkan adalah menurut kehendak hakim sendiri tanpa ada batasan aturan yang resmi. Artinya meskipun tidak ada undang-undang yang dapat mempermasalahkan seseorang, jika hakim menganggap bahwa orang tersebut bersalah maka hakim dapat menjatuhkan hukuman pada orang tersebut. Hukuman seperti ini dikenal dengan istilah hukuman yang arbitrair (Abdoerraoef, 1970: 153).

Lebih dari satu dasawarsa reformasi telah dijalani oleh bangsa Indonesia. Selama kurun waktu tersebut berbagai perubahan dilakukan mulai dari perombakan secara mendasar hukum dasar tertulis (written constitution ) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hingga penataan kembali baik infra maupun suprastruktur politik melalui perubahan berbagai piranti hukum yang mengaturnya. Kesemua pembaruan yang hingga kini masih berjalan secara evolutif didesain secara sadar menuju tercapainya kehidupan bernegara dan berbangsa yang demokratis-berkeadilan sosial. Pengalaman berkonstitusi tanpa internalisasi paham konstitusionalisme yang membawa berbagai opresi dan pengingkaran hak dasar manusia membangkitkan kesadaran pada bangsa ini akan satu hal utama pentingnya suatu sistem yang meniscayakan akuntabilitas dan limitasi kekuasaan negara serta jaminan akan penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia (Manunggal Kusuma Wardaya, 2010: 96-97).

Hukum dalam arti umum hanya diperlukan jika ada kepentingan hukum dari si manusia. Kepentingan di luar si manusia seolah tidak diurus oleh hukum. Oleh sebab itu, tidak salah jika dipahami bahwa hukum diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, atau dengan kata lain bahwa hukum itu ada jika ada lebih dari seorang manusia. Bila yang ada hanya seseorang maka hukum tidak ada atau tidak diperlukan. Di sinilah awal perbedaan yang hakiki antara hukum dengan syari’ah atau hukum Islam. Bagi yang beriman, tentang pemahaman hukum itu bukan karena hukum semata, tidak! Ada tuntutan lain yang disebut adil (Juhaya S. Praja, 1991: 156).

commit to user

Pengertian hukum pidana banyak dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :

1. Samidjo memberikan definisi hukum pidana yaitu “hukum yang memuat semua peraturan-peraturan yang mengandung keharusan atau larangan terhadap pelanggaran yang mana diancam dengan hukuman yang berupa siksaan badan” (Samidjo, 1993: 1).

2. Van Hamel sebagaimana dikutip oleh Moeljatno, S.H. mengatakan bahwa hukum pidana adalah “semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut” (Van Hamel dalam Moeljatno, 1987: 8).

3. A. Siti Soetami membagi hukum pidana menjadi dua bagian yaitu:

a. Hukum pidana obyektif Hukum pidana obyektif terdiri dari hukum pidana formil dan hukum pidana materiil. Hukum pidana formil memuat peraturan- peraturan tentang bagaimana memelihara dan mempertahankan hukum pidana materiil. Hukum ini juga disebut hukum acara pidana. Sedangkan hukum pidana materiil mengatur apa, siapa, dan bagaimana orang dapat dihukum. Dapat dikatakan bahwa hukum pidana materil mengatur rumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat bilamana seseorang dapat dihukum. Hukum pidana ini dibagi menjadi hukum pidana umum, yaitu hukum pidana yang berlaku terhadap setiap orang. Hukum pidana khusus yaitu hukum pidana yang khusus berlaku untuk orang-orang tertentu, misalnya hukum pidana militer.

b. Hukum pidana subyektif Hukum pidana subyektif yaitu hak negara beserta alat perlengkapannya untuk menghukum seseorang berdasarkan hukum pidana yang berlaku (A. Siti Soetami, 1992: 54).

4. C.S.T. Kansil membagi hukum pidana menjadi empat bagian yaitu :

a. Hukum pidana obyektif (ius punale), yang dapat dibagi ke dalam

1) Hukum pidana materiil.

2) Hukum pidana formal (hukum acara pidana).

b. Hukum pidana subyektif (ius puniendi).

commit to user

d. Hukum pidana khusus, yang dapat dibagi ke dalam:

1) Hukum pidana militer.

2) Hukum pidana pajak. Hukum pidana umum ialah hukum pidana yang berlaku terhadap setiap penduduk (berlaku terhadap siapapun juga di seluruh Indonesia) kecuali anggota ketentaraan. Hukum pidana khusus ialah hukum pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang tertentu (C.S.T. Kansil, 1980: 249).

Perbuatan-perbuatan pidana menurut wujud atau sifatnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum. Mereka adalah perbuatan yang melawan (melanggar) hukum. Tegasnya, mereka merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang baik dan adil (Moeljatno, 1987: 2).

2) Tujuan hukum pidana Hukum bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum juga harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan yang ada dalam masyarakat. Bagi setiap orang yang melanggar aturan hukum akan dikenakan sanksi berupa hukuman sebagai akibat dari perbuatan yang melanggar aturan hukum yang dilakukannya. Jadi pada dasarnya tujuan hukum selain sebagai alat untuk menghukum pelaku perbuatan pidana, juga sebagai pelindung dan pencegah masyarakat agar terhindar dan tidak melakukan perbuatan pidana.

Hukum pidana merupakan ilmu pengetahuan hukum, sehingga peninjauan bahan-bahan mengenai hukum pidana dilakukan dari sudut pandang pertanggungjawaban manusia terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat dikenai pidana (hukuman). Jika seseorang melanggar peraturan pidana maka akibatnya adalah ia harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu dan karenanya ia dapat dikenai pidana. Seseorang yang melakukan perbuatan pidana wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum, kecuali orang tersebut terganggu akalnya, di bawah umur, dan sebab lain seperti yang diatur dalam KUHP mengenai pertanggungjawaban pidana (C.S.T. Kansil, 1980: 250).

commit to user

Tujuan pidana berkembang dari dulu sampai sekarang dan telah menjurus ke arah yang lebih rasional. Awal mulanya pidana bertujuan untuk membalas (revenge) atau untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat maupun korbannya. Hal ini bersifat primitif, tapi kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern ini. Unsur primitif dari hukum pidana paling sukar dihilangkan. Tujuan yang juga dipandang kuno adalah penghapusan dosa (expiation) atau retribusi, yaitu melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan jahat atau menciptakan keseimbangan antara hak dan batil (Andi Hamzah, 1993: 24).

Tujuan hukum pidana menurut Bambang Poernomo mengenal dua aliran yaitu aliran klasik dan aliran modern. Aliran-aliran ini lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut :

Menurut aliran klasik, tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau negara. Peletak dasarnya adalah Markies van Beccaria yang menulis tentang “Dei dellite edelle pene” (1764). Dalam tulisan itu menuntut agar hukum pidana harus diatur dengan undang-undang, yang harus tertulis, maka karangan itu sangat berpengaruh sehingga timbullah aliran masyarakat yang menuntut agar hukum pidana itu diadakan dengan tertulis.

Sebaliknya aliran modern mengajarkan tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan. Sejalan dengan tujuan tersebut di atas, bahwa perkembangan hukum pidana toh harus memperhatikan kepada kejahatan serta keadaan penjahat, maka aliran modern ini dapat dikatakan mendapat pengaruh dari perkembangan kriminologi. Perkembangan kriminologi kurang mendapat perhatian dari aliran klasik hukum pidana. Di samping itu apa yang dimaksud dengan melindungi individu dari kekuasaan negara, pada akhirnya berkaitan dengan bentuk pemerintahan kedaulatan rakyat dengan kekuasaan yang diatur dalam undang-undang (Undang-Undang Dasar) dan peraturan hukum pidananya juga tertulis dalam undang-undang sehingga lambat laun yang dianggap sebagai tujuan melindungi individu di dalam pemerintahan kedaulatan rakyat telah beralih pada tujuan melindungi masyarakat terhadap kejahatan. Aliran modern hukum pidana itu lahir karena pengaruh kriminologi dan beralihnya tujuan hukum pidana itu sendiri menjadi melindungi masyarakat terhadap kejahatan (Bambang Poernomo, 1993: 24-25).

Menurut Moeljatno dikatakan bahwa tujuan hukum pidana adalah : Agar menjadi mengerti apa sebab-sebabnya sehingga sampai

berbuat jahat itu. Apakah memang karena bakatnya adalah jahat, ataukah

commit to user

maupun ekonomis. Atau ada sebab-sebab lain lagi. Jika sebab-sebab itu sudah diketahui, maka disamping pemidanaan, dapat diadakan tindakan- tindakan yang tepat, agar orang tadi tidak lagi berbuat demikian, atau orang-orang lain tidak akan melakukannya (Moeljatno, 1987: 13).

A. Siti Soetami menjelaskan tujuan pemidanaan berdasarkan pada teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan, yaitu: Menurut teori absolut, tujuan pemidanaan terletak pada hukum

pidana itu sendiri. Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan pidana, harus dijatuhi hukuman/pidana. Teori relatif mengatakan bahwa tujuan pidana adalah untuk :

1. Mencegah terjadinya kejahatan.

2. Memberikan efek takut sehingga orang lain tidak melakukan kejahatan.

3. Memperbaiki orang yang melakukan kejahatan.

4. Memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap kejahatan. Sedangkan menurut teori gabungan yang merupakan kombinasi antara teori absolut dan relatif, tujuan pidana adalah karena orang tersebut melakukan kejahatan dan agar ia jangan melakukan kejahatan lagi (A. Siti Soetami, 1992: 56-57).

Sedangkan Andrew Ashworth dan Lucia Zedner mengemukakan paradigma konsepsi liberal Criminal Justice dalam tulisan mereka yang berjudul Defending the Cirminal Law : Reflections on the Changing Character of Crime, Procedure, and Sanctions bahwa tujuan hukum pidana adalah :

The purpose of criminal law is to provide for the censure and sentencing of those who commit wrongs that have been (justifiably) criminalised. No person should be liable to conviction and / or punishment unless the charge has been dly tried in a criminal court according to the procedural safeguards expressed and implied in the European Convention of Human Rights. The purpose of the criminal trial is to have an examination by a court sitting in public of the admissible evidence brought by the prosecution and by the defence in order to decide whether the defendant did the act charged and, if so, was at fault for doing it (Andrew Ashworth dan Lucia Zedner, 2007: 22).

Menurut konsepsi tersebut, tujuan hukum pidana adalah untuk memberikan ancaman (censure) dan sanksi (sentence) pada mereka yang melakukan kesalahan (wrongs) yang dapat dikenai pidana (criminalised) dan tidak ada seorangpun dapat dipidana kecuali tuntutan tersebut telah

commit to user

didasarkan pada prosedur upaya perlindungan (safeguards) sebagaimana dicantumkan dalam Konvensi HAM Eropa.

Sedangkan tujuan dari pengadilan pidana adalah melakukan pemeriksaan (examination) bukti-bukti yang dapat diterima (admissible evidence ) yang dibawa oleh penuntut (prosecution) dan pembela (defence) untuk memutuskan apakah terdakwa (defendant) melakukan apa yang dituduhkan dan jika demikian merupakan kesalahan dalam melakukan hal itu.

3) Prinsip-prinsip hukum pidana Hal penting lain yaitu perlu diketahui adalah prinsip-prinsip hukum pidana. Karena prinsip memiliki arti penting dalam usaha mencapai tujuan yang hendak dicapai dalam pemidanaan. KUHP tidak terdapat mengenai prinsip hukum pidana tersebut. Namun jika dilihat dari ketentuan pasal-pasalnya maka akan ditemukan prinsip apa sebenarnya yang terkandung di dalam aturan tersebut. Dalam KUHP buku kesatu tentang aturan umum hukum pidana yang mengatur batas- batas berlakunya aturan pidana dalam perundang-undangan, ada pasal- pasal yang bisa dijadikan sebagai prinsip hukum pidana, yaitu : Pasal 1

- ayat (1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan

- ayat (2) Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa

Pasal 2 Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di Indonesia

Pasal 3 Aturan pidana dalam perundang-undangan di Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar di Indonesia, melakukan perbuatan pidana di dalam perahu Indonesia

Pasal 5 Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga negara yang di luar Indonesia

Pasal 7 Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di luar Indonesia

commit to user

XXIII buku kedua

Dari ketentuan tersebut di atas dapat dijadikan prinsip dasar hukum pidana, yaitu :

a. Tidak ada hukuman pidana selama tidak ada hukum yang mengatur tentang perbuatan pidana tersebut (asas legalitas).

b. Jika ada peraturan yang berubah, atau ada peraturan yang baru, maka hukuman yang diberikan adalah yang lebih ringan.

c. Peraturan perundangan Indonesia berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia, baik yang berada di Indonesia maupun yang berada di luar wilayah Indonesia, tidak memandang kepada siapa hukuman itu dijatuhkan apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan pidana, baik pejabat maupun masyarakat sipil yang menjadi warga negara Indonesia.

Peraturan pidana berlaku bagi orang yang di luar Indonesia yang berada dalam perahu berbendera Indonesia.

4) Objek hukum pidana Hukum pidana positif memiliki objek hukum yaitu perbuatan, akibat dari perbuatan, dan orang atau sekelompok orang yang melakukan perbuatan (pelaku). Bambang Poernomo mengatakan bahwa :

Delik mempunyai sifat melarang atau mengharuskan suatu perbuatan tertentu dengan ancaman pidana kepada siapa saja yang melakukannya, dan delik itu harus ditujukan kepada :

a. Memperkosa suatu kepentingan hukum atau menusuk suatu kepentingan hukum, seperti pembunuhan, pencurian, dan sebagainya.

b. Membahayakan suatu kepentingan hukum (Bambang Poernomo, 1993: 92).

Sifat delik itu berkewajiban menjaga kepentingan hukum. Maksudnya adalah meliputi kepentingan negara, kepentingan masyarakat, dan kepentingan individu, dengan diperinci lebih lanjut dalam arti setiap kepentingan yang tercakup kepentingan hukum individu, masyarakat, dan negara. Apa yang dinyatakan kepentingan

commit to user

kesadaran hukum di dalam masyarakat. Hubungan antara sifat delik tersebut dan kepentingan hukum yang dilindungi akan dapat menjadi subyek delik pada umumnya yaitu manusia (een natuurlijke persoon). Vos memberikan tiga alasan mengapa hanya manusia yang dapat menjadi subjek delik, yaitu:

a. Terdapatnya rumusan yang dimulai dengan peraturan undang-undang pada umumnya, yang berarti tidak lain adalah manusia.

b. Jenis-jenis pidana pokok hanya dapat dijalankan oleh manusia.

c. Dalam hukum pidana berlaku asas kesalahan bagi seorang manusia pribadi (Vos dalam Bambang Poernomo, 1993: 92).

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan tentang apa yang menjadi objek hukum pidana. Penulis berkesimpulan bahwa yang dapat menjadi objek hukum pidana adalah :

a. Perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum.

b. Orang yang melakukan perbuatan pidana.

c. Akibat dari suatu perbuatan.

d. Badan hukum juga bisa dijadikan objek pidana, seperti yang dikatakan oleh Bambang Poernomo bahwa : Perkembangan di dalam peraturan perundang-undangan hukum

pidana baru ternyata bagi badan hukum dapat juga dipidana dengan penetapan sebagai tindakan, dan di dalam undang-undang fiskal dapat dipidana badan hukum dengan reele executie atas harta kekayaannya. Pada waktu sekarang ini hanya undang-undang di luar KUHP yang membuat ketentuan dapat dipidananya badan hukum, dan mungkin di kemudian hari keadaan demikian dapat berubah (Bambang Poernomo, 1993: 92).

b. Hukum pidana Islam

1) Pengertian dan pembagian hukum pidana Islam

Dalam hukum Islam, hukum pidana disebut jinayat yang berarti kesalahan, dosa, kriminal, atau perbuatan dosa. Sedangkan jarimah berarti dosa atau durhaka (H. Mahmud Yunus, 1973: 87). Pengertian jinayat menurut para fuqoha adalah “perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik mengenai jiwa, harta, atau lainnya. Sedangkan

commit to user

hukuman had atau ta’zir” (Marsum, 1984: 1-2). Dalam jinayat tidak dikenal adanya pembagian seperti dalam hukum pidana positif. Jinayat mengenal pembagian hukum berdasarkan cara meninjaunya, yaitu :

a. Dilihat dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dibagi menjadi empat yaitu jarimah qishas, jarimah hudud, jarimah diyat, dan jarimah ta’zir .

b. Dilihat dari segi niat pelakunya, jarimah dibagi dua yaitu jarimah sengaja dan jarimah tidak sengaja.

c. Dilihat dari segi cara melakukannya, jarimah dibagi menjadi jarimah positif dan jarimah negatif.

d. Dilihat dari orang yang menjadi korban akibat perbuatan, jarimah dibagi menjadi jarimah perseorangan dan jarimah kelompok.

e. Dilihat dari segi tabiatnya yang khusus, jarimah dibagi menjadi jarimah biasa dan jarimah politik (Mardani, 2010: 114-115).

Untuk lebih jelasnya jenis-jenis jarimah tersebut dijelaskan sebagai berikut :

1. Menurut berat ringannya hukuman

a. Jarimah hudud Secara terminologis, pengertian hudud (had) adalah : Hukuman yang telah ditentukan sebagai hak Allah SWT.

Dan arti uqubah muqaddarah adalah bahwa hukuman telah dibatasi, ditentukan, tidak ada pada hukuman itu batasan terendah dan batasan tertinggi. Artinya bahwa hukuman itu adalah hak Allah dan bahwa hukuman itu tidak bisa digugurkan oleh individu-individu dan tidak pula oleh jama’ah (Abd al-Qadir ‘Audah dalam Mardani, 2010: 115).

Hukuman yang termasuk hak Tuhan adalah setiap hukuman yang dikehendaki oleh kepentingan umum (masyarakat) seperti untuk memelihara ketentraman dan keamanan masyarakat dan manfaat penjatuhan hukuman tersebut akan dirasakan oleh seluruh masyarakat. Jarimah yang termasuk hak Allah itu ada tujuh yaitu zina, qadzaf (menuduh berbuat zina), meminum minuman keras, mencuri, harabah (perampokan), murtad, dan al-bagyu atau pemberontakan (Mardani, 2010: 116).

b. Jarimah qishash dan diyat

“Pengertian qishash secara etimilogis adalah balasan dan perbuatan yang sama seperti yng seorang perbuat. Sedangkan

commit to user

Ma’luf dalam Mardani, 2010: 116). Sedangkan pengertian qishash dan diyat secara terminologis adalah :

Jarimah qishash dan diyat adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman qishash dan diyat. Setiap qishash dan diyat mempunyai hukuman yang telah ditentukan sebagai hak perorangan. Maksud muqaddarah (hukuman yang telah ditentukan) adalah bahwa qishash dan diyat mempunyai satu batasan, tidak ada baginya batasan tertinggi dan batasan terendah yang fleksibel antara keduanya. Maksud qishash dan diyat sebagai hak perorangan adalah bahwa si korban berhak memaafkan pelaku tindak pidana bila ia menghendaki. Apalagi ia telah memaafkan, maka gugurlah hukuman (Lowis Ma’luf dalam Mardani, 2010: 116-117).

Jarimah qishash dan diyat ada lima yaitu :

a. Pembunuhan sengaja

b. Pembunuhan semi sengaja

c. Pembunuhan tidak sengaja

d. Penganiayaan sengaja

e. Penganiayaan tidak sengaja Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun qishash telah ditentukan hukuman hukumnya oleh Allah SWT, tapi qishash juga merupakan hak individu yang apabila korban memaafkan maka gugurlah hukuman hukumnya (Mardani, 2010: 117).

c. Jarimah ta’zir

“Secara etimologis, ta’zir berasal dari kata ‘azzara yuaziru ta’ziran , yang artinya mencegah dan menolak atau mendidik dan memukul dengan sangat (Lowis Ma’luf dalam Mardani, 2010:117).” Secara terminologis ta’zir diartikan sebagai :

Hukuman pendidikan yang dijatuhkan hakim terhadap tindak pidana atau maksiat yang belum ditentukan hukumannya oleh syari’at, atau telah ditentukan hukumannya, akan tetapi tidak terpenuhi syarat pelaksanaannya seperti: bercumbu selain faraj, dan mencuri yang tidak terpenuhi syarat untuk pemotongan tangan (Sayid Sabiq dalam Mardani, 2010: 118).

Abu Ishaq al-Siraji mendefinisikan ta’zir sebagai hukuman yang tidak ditentukan oleh Al-Qur’an dan Hadis yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah

commit to user

kepada terpidana dan mencegahnya untuk tidak mengulangi lagi kejahatan itu (Abu Ishaq Al-Shiraji dalam Mardani, 2010: 118).

Dengan demikian tujuan hukuman ta’zir itu bersifat preventif (pencegahan), represif

(diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi terpidana), kuratif (diharapkan mampu membawa perbaikan sikap dan perilaku terpidana di kemudian hari), dan edukatif (diharapkan dapat menyembuhkan hasrat terpidana untuk mengubah pola hidupnya ke arah yang lebih baik).