ARSITEKTUR DAN KOTA TANPA ETIKA

ARSITEKTUR DAN KOTA TANPA ETIKA
Antariksa

Perkembangan arsitektur dan kota dewasa ini telah menimbulkan kesemrawutan baru dalam
kehidupan berarsitektur. Kota-kota di Indonesia telah dijadikan sebagai tempat kompetisi
para arsitek-perencana dalam menentukan bentukan dan suasana kebaruan arsitektur. Di era
yang disebut sebagai globalisasi ini perkembangan kota dan arsitektur menjadi salah kaprah
dalam penerjemahanya. Ruang publik dan terbuka hijau yang terdapat dalam kota mulai
tergeser oleh pembangunan kota yang tidak terkendali. Tatanan papan-papan reklame,
bergesernya ruang publik dan terbuka hijau menjadi fungsi baru, serta munculnya bangunanbangunan ruko dan mall, telah menandai terjadinya perubahan peradaban dalam budaya
berarsitektur. Kota menjadi tempat permainan baru untuk meletakkan bangunan dengan
desain dan wacana komersial yang menyilaukan. Para arsitek yang mengatasnamakan bisniskreatif telah menjadikan lahan ’ruang publik’ dan ’ruang terbuka hijau’ sebagai ajang
permainannya. Peraturan perundangan maupun Perda tergeser oleh perubahan tata ruang
telah bergeser menjadi ”tata uang”. Nuansa kearifan lokal pun dimunculkan, diharapkan agar
dapat mengantisipasi keganasan arsitektur-kota yang sedang berkembang di Indonesia saat
ini. Dalam Great Disruption, Fukuyama (2002:11) menegaskan, bahwa kebiasaan, adatistiadat yang telah menjadi ciri khas kehidupan desa dan kampung telah digantikan oleh ritme
perusahaan dan kota. Tak hanya itu, kawasan bersejarah pun tak luput dari ekspansi arsitektur
pasca post-modern ini, bahkan bangunan-bangunan lama yang mepunyai nilai sejarah tinggi
pun ikut dihancurkan. Charles Jencks dalam The Post-Modern Agenda mejelaskan, ekspansi
arsitektur pasca post-modern sering menghancurkan struktur bangunan tradisional. Ia hampir
meratakan semua bangunan tradisional dengan bulldozer. Bulldozer adalah alat cetusan jiwa

modern untuk ”maju” (progress). (Grenz 2001:39) Sekarang kita sedang merasakan
perubahan budaya yang berlawanan dengan ciri khas budaya setempat, yakni inovasi yang
lahir sebagai reaksi terhadap kemandulan dan kelumpuhan budaya arsitektur di Indonesia.
Arsitektur yang diilhami oleh logos mekanistis telah terbukti membuat kita gagal.
Menanggapi hal di atas, Skolimowski (2004:122-123) pun melakukan pembelaan, bahwa
kekurangan-kekurangan arsitektur yang sekarang dan ketakmampuannya memberi tempat
perlindungan yang memadai pada kita dan memberi ruang yang meningkatkan mutu
kehidupan terutama bukanlah kesalahan para arsitek dan para pembangun, tetapi lebih berupa
kesalahan konsepsi-konsepsi yang lebih besar yang mendasari arsitektur dan kebudayaan
kita. Hal yang paling penting adalah, bagaimana para arsitek mencari cara pandang universal
untuk melihat ekspresi budaya melalui dimensi kehidupan sehari-hari masyarakat
perkotaannya. Ada sesuatu yang tersembunyi dan membahayakan di dalam pertunjukan para
arsitek yang berbakti, tekun, dan berbakat yang bisa, dan ingin, membangun lebih baik
daripada yang diizinkan untuk mereka hasilkan di dalam konteks masa kini.
Masyarakat kita berada dalam pergolakan dan pergeseran kebudayaan yang didominasi oleh
kekuatan ekonomi dan teknologi. Arsitek dan karya arsitekturnya pun dalam
perkembangannya selalui dipengaruhi oleh kedua hal tersebut. Kadang-kadang arsitektur
membuat kegelisahan, kemegahan, bukan hanya kekokohan dan komoditi, tetapi juga
kegembiraan. Ketika kebudayaan sedang runtuh, dan tak mampu mempertahankan corak
khasnya, arsitektur mendapat bagian yang banyak dipersalahkan karena kekurangan1


kekurangannya. Peran kebudayaan sebagai sumber informasi untuk memecahkan persoalanpersoalan arsitektur sebenarnya dapat menjelaskan alasan mengapa ekonomi muncul
melampaui batas-batas kultural. Kalau kita lihat, seperti proyek Pruitt-Igoe di St. Louis,
Missouri dianggap sebagai lambang arsitektur modern. Rumah itu berdiri sebagai gambaran
modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia untuk
kesejahteraan manusia. Akan tetapi, para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan
sengaja (Grenz 2001:26). Pembrontakan sosial masyarakat masa kini terhadap arsitektur
modern, post-modern, dan pasca post-modern adalah suatu ungkapan dari pertimbanganpertimbangan atas kehidupan ini.

Hilangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau
Perjalanan yang dilakukan oleh para arsitek-perencana kota dalam menentukan kehidupan
berarsitektur telah ’menjamah’ bagian inti dari paru-paru kota, yaitu ruang publik dan ruang
terbuka hijaunya. Kehancuran tatanan kota-kota besar di Indoensia saat ini, terjadi sebagian
besar akibat hilangnya ruang terbuka hijau (RTH) maupun ruang publik. Semakin terdesak
dan hilang tergusur oleh budaya konsumerisme baru, datangnya dari penentu kebijakan akibat
desakan globalisasi ekonomi yang tak terkendali. Ruang publik dan terbuka hijau beralih dan
mungkin berubah menjadi ’kerajaan’ baru, yaitu bangunan mall atau ruko. Hal ini
menandakan telah terjadi ekspansi fungsi dan guna lahan dan perubahan tata ruangnya.
Suasana keruangpublikan sebagai tempat masyarakat beraktifitas sudah tidak ada lagi. Dalam
bahasa arsitektur aspek-aspek ruang manusia yang mencakup sosial-psikologis-estetis (ruang

eksistensial) menjadi hilang. Arsitektur dan kota yang memiliki kualitas kehidupan adalak
arsitektur dan kota yang mempunyai kebranian untuk mengakui dimensi spiritual dan
transendental manusia. Skolimowski (2004:135) menegaskan, bahwa kualitas bersemayam di
dalam ruang-ruang yang dengan bebas dan bertujuan diaugerahi dengan karakteristikkarakteristik dan sifat-sifat yang transfisik. Kesejahteraan fisik bukanlah suatu suasana fisik,
tetapi suatu suasana psikologis. Habermas (2007:5) menegaskan, bahwa di dalam penafsirandiri Yunani kuno, ruang publik menjadi sebuah alam kebebasan dan kekekalan. Hanya di
dalam terang cahaya ruang publik saja, apa yang eksis menjadi benar-benar tersingkap,
karena segala sesuatu menjadi terlihat bagi semua orang. Malapetaka-malapetaka ruang
publik dan sosial yang utama telah terjadi di masa kini karena masyarakat menerima dengan
sikap yang tidak kritis terhadap kota sebagai basis merancang yang mereka lakukan.

Peran arsitek dalam berarsitektur
Kembali pada masalah ’berarsitektur’, arsitek-arsitek modern mendirikan bangunan sesuai
dengan prinsip kesatuan (unity). Frank Llyod Wright menjadi contoh bagi arsitek lainnya. Ia
mengatakan bahwa bangunan modern harus merupakan sebuah kesatuan organis. Bangunan
harus merupakan ”kesatuan yang agung” (one great thing) dan bukan kumpulan ”bahan yang
tidak agung” (little things). Sebuah bangunan harus mengekspresikan makna tunggal (Grenz
2001:39). Kalau disimak dengan cermat bahasa modern adalah bahasa kekuasaan. Paolo
Portoghesi dalam After Modern Architecture mengatakan bangunan-bangunan modern
menggunakan bahan-bahan industri dan mereka melayani sistem industri (Grenz 2001:41).
Jelaslah bahwa modernisasi itu telah terasa sampai ke segala penjuru tanah air, sampai ke

pelosok-pelosok yang paling terpencil. Tak ada demensi kehidupan yang tidak terkena.
Kehidupan dalam kota-kota kita sekarang lebih berbeda dari kota-kota kita seratus tahun yang
lalu. (Magnis-Suseno 1987:16) Pada bagian lain Skolimowski (2004:124-125) mengatakan,
jika kita melihat dengan mata yang arif pada aneka ragam apa yang disebut tren-tren dan
kecenderungan-kecenderungan baru, kita tidak bisa tidak mengatakan bahwa hampir
2

semuanya adalah ungkapan etos teknologis; episilus dari sistem teknologi. Brutalisme atau
Venturisme, Archigram atau arsitektur rasional operasionalisme baru-semuanya mengandung
kesan teknologi. Kesatuan dan keseragaman (uniformity) arsitektur ternyata sangat tidak
manusiawi. Arsitektur demikian berbicara dengan bahasa produksi massal dan standar. Akan
tetapi, ada sebagian yang menolak secara tegas konsep dan bahasa demikian. Mereka ingin
menemukan sebuah bahasa baru yang menghargai kenekaragaman dan pluralisme. Charles
Moore dalam Conversation with Architects mengatakan, bahwa sebuah bangunan mempunyai
kekuatan untuk menjadi apa yang diinginkan, mengatakan apa yang ingin dikatakan sehingga
telinga kita mulai mendengar apa yang ingin disampaikan oleh bangunan tersebut (Grenz
2001:42). Tujuan sejati arsitektur ialah, melanjutkan, meningkatkan mutu, dan merayakan
kehidupan. Frasa ”melanjutkan, meningkatkan mutu, dan merayakan kehidupan” harus dilihat
di dalam konteks yang tepat. Para penipu industrial yang menghancurkan habitat-habitat kita
demi keuntungan dan sering memaksa para arsitek untuk merancang lingkungan-lingkungan

yang anti kehidupan dapat mengklaim melanjutkan, meningkatkan mutu, dan merayakan
kehidupan mereka sendiri (Skolimowski 2004:136).

Bentuk mengikuti kebudayaan
Relativisme kultural adalah kepercayaan bahwa aturan-aturan kultural bersifat arbitrer,
merupakan artefak-artefak yang dikonstruksi secara sosial dari berbagai masyarakat yang
berbeda dan bahwa tidak ada standar moralitas universal dan tidak ada cara yang bisa kita
gunakan untuk menilai norma dan aturan-aturan dari kebudayaan lain. (Fukuyama 2002:253).
Bahkan Eco (2004:369) mengatakan, kita dapat memberikan sebuah interpretasi yang
berkaitan dengan sejarah budaya, arsitektur atau bahkan dalam sudut pandang visual, oral,
maupun komunikasi tulisan. Ditegaskan lagi oleh Skolimowski (2004:127) yang mengatakan,
dengan kemampuan apa yang harus dilakukan setelah pasca peristiwa, kini kita dapat
menyarankan suatu karakterisasi arsitektur yang jauh lebih memadai: bentuk mengikuti
kebudayaan. Sebagai kemungkinan lain kita dapat mengatakan: kulit mengikhtisarkan jiwa
(yakni sebagaimana diungkapkan ole kebudayaan tertentu), atau bahkan kulit menampung
jiwa. Keyakinan Skolimowski ini, di dasari bahwa dogma arsitektur dari bagian pertama abad
ke-20 ialah: bentuk mengikuti fungsi. Ketika fungsi dibatasi pada parameter-parameter fisik
dan ekonominya, kita, sebagai manusia menemukan bentuk yang dihasilkan bersifat
memaksa dan mencekik. Jadi slogan itu sama sekali telah dibuang. Dengan demikian, bukan
bentuk mengikuti fungsi, bukan kulit yang mendahului pelaksanaan, tetapi bentuk yang

cocok menampung jiwa kebudayaan. Singkatnya, bentuk mengikuti kebudayaan. Bahkan van
Peursen (1976:85) menegaskan, bahwa ”fungsionil” diperuntukkan bagi kebudayaan modern,
karena sifat kebudayaan yang istimewa dalam menonjolkan diri. Masyarakatlah yang
membuat sesuatu dengan tradisi itu; ia menerimanya, menolaknya atau mengubahnya. Itulah
sebabnya mengapa kebudayaan selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan
yang sudah ada. Perubahan-perubahan yang signifikan di dalam arsitektur tidak dicapai
dengan cara memperkenalkan teknologi-teknologi yang lebih efisien atau hanya dengan
memanipulasikan teori arsitektur. Jika kita hendak mengubah arsitektur kita tidak dapat
membatasi diri pada arsitektur atau memulainya dari arsitektur saja. Ditegaskan oleh
Skolimowski (2004:128), kita harus memulai bersama― atau secara serentak mengarahkan
perhatian kita pada― level yang lain, level kebudayaan umum yang mendasari pemikiran dan
perilaku zaman yang tengah kita jalani.

Etika berarsitektur
3

Dalam transformasi ekonomi, sosial, intelektual dan budaya itu nilai-nilai budaya yang
tradisional ditantang semuanya. Dalam situasi ini etika mau membantu agar arsitek jangan
kehilangan orientasi, dapat membedakan antara apa yang hakiki dan apa yang boleh saja
berubah dan dengan demikian tetap sanggup untuk mengambil sikap-sikap yang dapat

dipertanggungjawabkan. Dalam masyarakat modern bukan ”apa” yang pertama-tama
dipentingkan melainkan ”bagaimana”, yaitu bagaimana ketiga bidang (arsitek/arsitektur,
budaya, dan etika) dapat diintegrasikan dalam satu sikap yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian lapangan yang dinilai oleh etika jauh lebih luas daripada dulu; etika bukan
sejumlah kaidah bagi orang perorangan, mengenai apa yang halal atau haram, tetapi
berkembang menjadi etika-makro, yaitu merencanakan masyarakat kita sedemikian rupa
sehingga kita belajar mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang telah kita
bangkitkan sendiri (van Peursen 1976:192). Bahwa etika itu harus diterapkan dalam situasi
konkrit, janganlah tenggelam dalam daya kekuatan arsitektur dan kota yang tak berwajah itu.
Setiap bentuk ”arsitektur” dan ”tata ruang kota” hendaknya menghasilkan etika, tetapi untuk
menumbuhkan etika itu diperlukan suatu ”counter play” juga. Yang bersifat normatif, itulah
counter partner sejati bagi masyarakat.
Pemandangan kita terhadap arsitektur dan kota menjadi kabur, dan mereka kehilangan
identitas mereka sendiri. Secara fungsional mereka baru menjadi seorang pribadi, bila mereka
terbuka untuk sesuatu yang lain atau seorang arsitek-kota yang lain. Jalur-jalur baru dirintis
dan dibuka sehingga terbentanglah sejumlah kemungkinan baru, tetapi itu semua lalu
tersumbat; alternatif-alternatif makin jauh dari pandangan kita. Identitas kita sendiri tak dapat
ditemukan lagi. Masyarakat dan arsitek-kota memudar dalam denah perbuatan-perbuatan di
mana keontentikan kita hilang. Maka dari itu, sikap ”berbudaya-beretika-berarsitektur” lebih
menunjukkan suatu tanggung jawab dari pada suatu tahap yang telah tercapai.


Sumber Pustaka
Eco, U. 1987. Tamasya Dalam Hiperialitas. Yogyakarta: Jalasutra.
Fukuyama, F. 2002. The Great Disruption. Hakikat Manusia dan Rekonstruksi Tatanan
Sosial. Yogyakarta: Qalam.
Grenz, S.J. 2001. A Primer on Postmodernism. Pengantar Untuk Memahami Postmodrnisme.
Yogyakarta: Yayasan ANDI.
Habermas, J. 2007. Ruang Publik. Sebuah Kajian tentang kategori Masyarakat Borjuis.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Magnis-Suseno, F. 1987. Etika Dasar. Masalah-Masalah Pokok Filsafat Dasar. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Skolimowski, H. 2004. Filsafat Lingkungan. Jogjakarta: Bentang Budaya.
Van Peursen, C.A. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Antariksa © 2008

4