ORGANISASI BISNIS DALAM ISLAM riyadi

ORGANISASI BISNIS DALAM ISLAM
Dasar perekonomian dalam islam sesungguhnya mengacu pada pelarangan
riba’ dan anjuran untuk berjual beli. kedua istilah tersebut secara jelas dan tegas di
sebutkan dalam alqur’an dan hadis nabi saw. Disamping kedua istilah tersebut
alqur’an juga banyak menyebutkan tuntunan–tuntunan lain yang bersifat ethical,
seperti larangan berbuat gharair, dzalim, bathil, penimbunan, maisir, egois, dan nilai
ethical, lainnya yang tidak di tunjukkan dalam kegiatan berekonomi.oleh karena itu
agama islam menganjurkan umatnya untuk memikirkan urusan–urusan dunianya
karena yang tidak banyak nya ayat–ayat alqur‘an yang mengatur atau menunjukkan
secara jenis-jenis muamamallah wajib bagi umat islam di maksudkan wajib bagi umat
islam bisa sebebasnya-bebasnya melakukan apa saja dalam urusan keduniawian. ini
ditandai dengan ¾ lebih ayat–ayat alqur’an menjelaskan tentang urusan duniawi
sementara lebihnya adalah masalah ibadah.Didasari ataupun tidak sesunggunya
alqur’an ( ALLAH ) memahami bahwa kehidupan duniawi manusia senantiasa
berubah – ubah mengikuti perkembangan zaman, maka jika alqur ‘an menden ifisikan
secara rinci jenis dan bentuk perbuatan muamallah barang kali ajaran islam akan
terkubur oleh kemajuan budaya manusia.
Adanya kehidupan bervariasi ini sesunggunya mengajarkan umat islam untuk
saling memahami, tolong menolong dan hormat - menghormati karena secara naluriah
manusia berwatak saling membutuhkan. Si kaya membutuhkan si miskin, si pandai
memerlukan si bodoh. Adanya orang maju dan juga karena adanya orang yang

lemah .oleh karena itu tolong menolong sesama manusia merupakan sunatulloh yang
tidak bisa dihindari .
Islam adalah agama yang mengajurkan umatnya melakukan kerjasama yang
terorganisasi dengan baik. Dalam konteks itu, maka prinsip syirkah, yang didalamnya
terdapat aktivitas musyarokah dan mundharabah, menjadi prinsip dasarnya.
Musyarokah adalah kerjasam dua orang, yang keduanya menyediakan modal atau
keahlian yang dibuhtuhkan dalam berusaha. sedangkan Mudharabah adalah satu jenis
kerja sama antara dua orang, dimana satu pihak kelebihan moadal dan pihak lain
kekurangan. orang

yang kelebihan modal

ingin agar hartanya tidak stagnan,

demikian orang yang kekurangan modal ingin agar bisa bertahan hidup.
Dari sini, maka terjadilah kerjasama berupa pemberian modal dari pemilik
harta ( shahibul mal ) kepada perkerja (mudharib) agar ia mengelola hartanya tersebut
1

untuk sebuah usaha. Keuntungan yang didapat dari usaha itu di bagi dua berdasarkan

nisbah perbandingan yang telah disepakati. Sementara jika terjadi kerugian, modal
ditanggung sepenuhnya oleh shahib al-mal dan mudlarib hanya menanggung tenaga,
waktu serta kesempatan mendapatkan laba.

ORGANISASI BISNIS DENGAN PRINSIP MUSYARAKAH
Pengertian AL -Musyarakah
Musyarakah adalah kerjasama antara dua Pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu dimana masing–masing pihak memberikan kontribusi dana ( atau ketrampilan
usaha ) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan di tanggung bersama
sesuai kesepakatan.
Musyarakah mempunyai dua jenis: musyarakah pemilan dan musyarakah akad
(kontrak). Musyarakah kepemilikan tercipta karna warisan. wasiat atau kondisi
lainnya yang mengakibatkan pemilikan suatu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam
musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata
dan berbagi pula dalam keuntungan yang dihasilkan dari aset terebut.
Jenis –jenis Musyarakah
Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau lebih
setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Merekapun
sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.Musyarakah akad terbagi menjadi inan,
mufawadah, a’ mal, dan mudlarabah dengan penjelasan sebagai berikut :

a) Syirkah al –inan, adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih di
mana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dan berpartisipasi
dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama
sebagaimana kesepakatan. Akan tetapi porsi masing–masing pihak baik dalam
dana maupun kerja atau bagi hasil tidak harus sama dan harus identik dengan
kesepakatan mereka.
b) Syirkah al–mufawadhah, adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih
di mana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dan
berpartisipasi dalam setiap pihak mebagi keuntungan dan kerugian secara
2

sama sebagai mana kesepakatan .Dengan demikian syarat utama dari jenis
musyarakah ini adalah kesamaan dana, tanggung jawab, laba dan kerugian.
c) Syirkah al–a’mal adalah kontrak kerjasama antara dua orang seprofesi untuk
menerima perkerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dalam pekerjaan
itu. Misalnya, kerjasama antara dua arsitek untuk menggarap sebuah proyek,
atau kerjasama antara dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan
seragam kantor. Jenis musyarakah ini kadang–kadang juga disebut
musyarakah abdan atau musyarakah shana’i.
d) Syirkah al-wujuh, adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih yang

memiliki reputasi dan prestis yang baik serta ahli dalam berbinis. Mereka
membeli barang secara kredit dari perusahaan dan menjual barang tersebut
secara tunai. Mereka membagi keuntungan dan kerugian secara sama jaminan
kepada penyuplai yang disediakan oleh setiap mitra.
e) Syirkah al–mudharabah, adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih
dimana terdapat pihak yang menyediakan modal dan ada pula pihak yang
menyediakan ketrampilan kerja.
Aplikasinya dalam organisasi bisnis syari’ah, musyarakah meliputi dua bentuk :
a) Pembiayaan proyek Musyarakah, dalam hal ini, biasanya diterapkan untuk
pembiyaan proyek di mana nasabah dan bank sama–sama menyediakan dana
untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai nasabah
mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk
bank.
b) Modal ventura. Pada lembaga keuangan khusus yang di bolehkan melakukan
investasi dalam kepemilikan perusahaan musyarakah diterapkan dalam skema
modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan
setelah itu bank melakukan divestasi atau mkenjual bagian sahamnya baik
secara singkat.

ORGANISASI BISNIS DENGAN PRINSIP MUDHARABAH

Pengertian Mudharahabah

3

Secara etimologi kata mudharabah berasal dari kata dharb. Dalam bahasa
Arab, kata ini termasuk di antara kata yang mempunyai banyak arti. Di antaranya
memukul; dharaba ahmad, al kalb, berdetak; dharaba al–alqalbu, mengalir, dharaba
damuhu, berenang; dharaba fi al–ma‘ ,bergabung; dharaba fi al–amr, menghindar;
dharaba al–syai ‘, berjalan; dharaba fi al–ardl‘ dan yang terjadi dalam kata tersebut
tampak bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang yang
membentuknya. Namun di balik keluwesan kata ini dapat ditarik dalam benang merah
yang dapat mempersentasikan keragaman makna yang di timbulkannya, yaitu
bergeraknya sesuatu kepada sesuatu yang lain.
Di dalam alquran kata mudharabah tidak disebutkan secara jelas. Alquran
hanya mengungkapkan musytaq dari kata dharaba sebanyak 58 kali. Diantara jumlah
itu terdpat kata yang di jadikan oleh sebagian ulama‘ fiqh sebagai akar kata
mudharabah, yaitu kata dharaba fi al-ardl yang artinya berjalan di muka bumi. Bahkan
mereka menganggap bahwa yang di maksud berjalan di bumi adalah berpergian
kesuatu wilayah untuk sebuah perdangangan.
Sementara dalam hadits, akar kata mudharabah (dharaba) pun banyak

disebutkan, tetapi juga mengindikasikan makna yang bermacam–macam. Misalnya,
hatta mudhariba alqaum, sehingga memerangi kaum tersebut. Dharaba disini bearti
perang atau jihad. kana yaqli fi al-mudharib illa biqodla ain, kata dharaba disimpan
tidak menunjukkan arti mudharabahia yang kita kenal sekarang. Bahkan terdapat pula
kata mudharabah, yaitu pada hadits yang berbunyi al–ardhlu‘ indi, matsalu mal al–
mudharabah shaluha fi al–ardli wa ma lam yashluhish fi ma al mudharabah lam
yashluh fi al ardl “ini pun tidak scara tegas dimaksudkan sebagai kerjasama
mudharabah yang di jelaskan oleh para jumhur ulama fiqh. kecenderungan makna
yang terdapat dalam makna mudharabah tersebut lebih mengarah pada kerja sama
dalam hal pertanian atau perkebunan.
Para ulama fiqh dalam mencari rujukan bagi keabsahan mudharabah ini,
secara umum

kmengacu pada aspek latar belakang sosio–historisnya. Mereka

menganalisa wacana–wacana kegiatan muammallah Nabi saw dan para sahabatnya
yang terjadi waktu itu. seperti, diriwayatkan oleh ibnu abbas bahwa bapaknya al–
abbas telah mempratekkan mudharabah ketika ia memberi uang kepada temannnya
dimana ia mempersyaratkan agar mitranya tidak digunakannya dengan jalan
mengarungi lautan, menuruni lembah atau membelikan sesuatu yang hidup. jika

melakukan salah satunya, maka akan menjadi tanggungannya. Peristiwa ini
dilaporkan kepada nabi, beliau pun menyetujuinya.
4

Beberapa peristiwa diatas oleh mereka di jadikan landasan keabsahan
mudharabah. Iebih Menurutnya, segala sesuatu yang dilakukan dan di biarkan oleh
nabi NABI SAW merupakan sunnah taqririyah yang dapat menjadi sumber buku
islam. Bahkan ada beberapa pendapat mengatakan bahwa pratek mudharabah pun
telah di lakukan oleh beliau ketika bermitra dengan khadijah pada masa prakenabian.
Namun satu acuan tertulis yang umumnya di jadikan dasar hukum islam yang
tidak kalah oleh mereka adalah sebuah hadits yang diriwayatkan ibnu majah, yang
mengatakan bahwa

terdapat tiga jenis usaha yang mendapatkan barakah, yaitu;

menjual dengan kredit, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur terigu dengan
gandum untuk kalangan sendiri bukan untuk di jual. Namun ibnu Hazm menolak hal
itu, setiap bagian dalam fiqh mempunyai dasar acuan dalm alqur’an Hadits kecil
kecuali mudharabah. Kita tidak menemukan dasar hukum apapun dalam hal ini. ’’
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa keabsahan mudharabah sebagai dasar hukum lebih

mengarah konsensus (ijma’) para ulama yang menilai mudharabah sebagai kerjasama
yang mengadung banyak kemashlahatan bagi masyarakat.
Perdebatan mengenai dasar hukum mudharabah senantiasa menjadi wacana
yang membutuhkan pencarian yang lebih serius. Namun sebagai bukti yang kuat bagi
keautentikan dasar hukum mudharabah adalah kenyataan bahwa mudharabah
merupakan kegiatan ekonomi yang paling sering di pratikkan oleh masyarakat oleh
masyarakat jahiliyah dimana mata pencahariannya berorientasi pada sektor
perdangangan. oleh karena itu pengaruhnya sangat kental pada masa Rasulullah,
sehingga sulit di pahami ketidakteribatan kaum muslimin dalam menggunakan jenis
usaha ini. Termasuk juga Nabi Saw dan para sahabatnya. Disamping itu watak
kerjasama ini mengadung nilai solidaritas yang tinggi yang dapat memberikan
kemaslahatanbagi masyarakat.
Kata mudharabah ini beberapa mempunyai sinonim, yaitu muqaradhah qiradh
atau mamallah. Menurut para ulama fiqhn perbedaan itu terletak dalam hal kebiasaan
penyebutan dari tiap–tiap daerah islam. Masyarakat Irak menggunakannya dengan
istilah mudharabah atau kadang kala juga muamalah, masyarakat Islam Madinah atau
wilayah Hijaz lainnya menyebutkannya dengan muqaradhah atau qiradh.
Dari beberapa penelusran tentang kata mudharabah tersebut maka dapat
dikatakan bahwa istilah mudharabah tidak disebutkan secara ekplisit dalam al qur’an,
sementara penyebutan dalam hadits masih menjadi perdebatan didalam kalangan

ulama fiqh. Keabsahan hukumnya hanya disandarkan pada kesepakatan ulama dengan

5

mengacu pada sunnah taqririyah dimana Nabi

membiarkanya untuk dipratikkan

masyarakat muslim itu.
Dalam fiqh muamallah, denifisi terminlogi bagi mudharabah diungkap secara
bermacam–macam oleh beberapa ulama dalam keuntungan dengan modal dari salah
satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.
Sementara madzhab Maliki menamainya sebagai: Penyerahan uang dimuka
oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan
menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan dari keuntungannya.
Madzab Syafi’i mendefinisikannya: bahwa pemilik modal menyerahkan
sejumlah uang kepada pengusaha untuk di jalankan dalam suatu usaha dangang
keuntungan menjadi milik bersama antara keduanya.
Sedangkan menurut madzhab Hambali: Penyerahan suatu barang atau
jenisnya dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya

dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntunganya.
Denifisi secara global sesungguhnya dapat di pahami, namun secara terinci
definisi tersebut mempunyai kekurangan masing–masing yang masih belum
terjelaskan. Denifisi mazdhab Hanafi misalnya, tidak secara detail menjelaskan
tentang cara pembagian keuntungan antara kedua orang yang bersyarikat tersebut.
Dalam madzhab Maliki penekanan akad kerjasamanya justru tidak nampak jelas,
mereka mengatakannya sebagai sebuah pemberian kuasa (tawkil) kepada seorang
wakil atau bawahahanya. Seakan–akan mudharabah bukan sebuah kerjasama tetapi
sebuah permintaan pertolongan dari satu pihak yang mempunyai modal atau barang
untuk dikelola dalam sebuah usaha. Jelas hal ini membawa implikasi yang berbeda,
pihak kedua tentu saja bukanlah seorang mitra kerja yang sejajar, tetapi ia adalah
seorang agen (wakil) yang mewakili pihak pertama. Dalam hal pembagian
keuntungan inipun berbeda dimana seorang mita kerja dalam hal pembagian
keuntungan jika usaha yang di kelolanya mendatangkan hasil sementara hal
perwakilan (wakalah) keuntungan diberikan sebagai sebuah gaji tetap yang diterima
oleh seorang wakil walaupun usaha yang di lakukannya tidak mendatangkan
keuntungan.
Sedangkan

definisi


yang

diungkapkan

Syafi’i

dan

Hambali

tidak

menyebutkannya sebagai sebuah akad atau sebuah tawkil. Keduanya mendefinisikan
mudharabah sebagai sebuah penyerahan atau pemberian yang luas dan tidak terikat.
Padahal menurut penulis, mudharabah itu sebuah kerjasama yang diikat oleh akad.
Karena akad inilah kedua belah pihak mempunyai konsekuensi–konsekuensi yang
harus ditaati.
6

Satu hal yang barang kali terlupakan oleh keempat madzhab ini di dalam
mendefinisikan mudharabah adalah bahwa kegiantan kerjasama mudharabah
merupakan jenis uaha yang tidak secara otomatis mendatangkan hasil. Oleh karena itu
penjabaran mengenai untung dan rugi perlu untuk di selipkan sebagai bagian yang
integral dari sebuah definisi yang baik. Banyak parang da ulama mengatakan bahwa
kerjasama mudharabah terjadi manakala terdapat untung dari sebuah usaha,
Sementara ketika tidak mendatangkan untuk tidak disebut sebagai mudharabah.
Oleh karena itu sebagai definisi yang dapat mewakili pengertian mudharabah
adalah suatu akad yang memuat penyerahan modal atau semaknanyadalam jumlah,
jenis karakter tertentu dari seorang pemilik modal (shahib al–mal) kepada pengelola
(mundharib) untuk dipergunakan sebagai sebuah usaha dengan ketentuan jika usaha
tersebut mendatangkan hasil maka hasil (laba) tersebut.
Dibagi berdua berdasarkan kesepakatan sebelumnya sementara jika usaha
tersebut tidak

dengan syarat dengan syarat dan rukun–rujun tertentu.selain

menjelaskan wujud mudharabah yang utuh, juga tersirat dimensi filosofis yang
melandasinya, yaitu adanya penyatuan antara modal (capital) dan usaha (skill dan
entrepreneurship) yang dapat membuat pemodal (shabib al – mal) dan pengusahanya
ini lebih mengarah pada aspek solidaritas yang tinggi dari pemilik modal untuk dan
membantu para tenaga terampil kurang modal. Karena dalam kehidupan keadaan
seperti ini memang tidak bisa terhindarkan.

Beberapa Unsur Mudharabah
Mudharabah sebagai sebuah kegiatan kerjasama antara dua pihak mempunyai
beberapa ketentuaan–ketententuan yang harus di penuhi dalam rangka mengikat
jalinan kerjasama tersebut dalam kerangka hukum. Menurut madzab hanafi dalam
kaitanya dengan kontrak tersebut unsur yang paling mendasar adalah ijab dan qobul
(offer and acceptence), artinya bersuaiannnya kinginan dan maksud dari kedua belah
pihak tersebut untuk menjalin ikatan kerjasama. Namun beberapa madzab lain seperti
Syafi ’i mengajukan beberapa unsur mudharabah yang tidaka hanya adanya ijab dan
qobul saja ,tetapi juga adanya laba dan adanya modal.
Oleh karena itu dalam pembahasan mengenai unsur (rukun) dalam tulisan ini
penulis akan mengambil jalan tengah yang lebih jelas dan di pahami secara mudah
7

dengan menyebutkan unsur–unsur yang harus ada yang menjadi

prasyarat sah

transaksi mundharabah. Adapun unsur (rukun) perjanjian mudharabah tersebut
adalaha :
1. Ijab dan qobul
pernyataan tersebut kehendak yang berupa ijab dan qobul antara kedua pihak
memiliki syarat – syarat yaitu ;
(a) ijab dan qobul itu harus jelas menunjukkan maksud melakukan kegiatan
mudharabah, qiradh muqorodhah, muamallah atau semua kata yang
semakna dengannya .Bisa pula tidak menyebutkan kata mudharabah dan
kata – kata sepadan lainnya, jika maksud dari penawaran tersebut di
pahami. Misalnya Ambil uang ini dan di gunakan untuk usaha dan
keuntungan kita bagi dua.
(b) ijab dan qobul harus bertemu , artinya penawaran pihak

sampai dan di

ketahui oleh pihak kedua. Artinya ijab yang di ucapkan pihak pertama
harus di terima dan disetujui oleh pihak kedua sebagai ungkapan
kesediaanya

berkerjasama.

Ungkapan

kesediaan

tersebut

bisa

di

ungkapkan dengan kata atau gerakan tubuh ( isyarat ) lain yang
menunjukkan kesediaan. seperti misalnya dengan mengucapakan ; “ ya
saya terima ”, atau “ saya setuju ” atau dengan isyarat setuju lain seperti
menganggukkan kepala , diam atau senyum. Oleh karena itu peristiwa ini
harus terjadi dalam satu majlis akad agar terhindar dari kesalah pahaman.
(c) Ijab dan qobul harus sesuai maksud pihak pertama cocok dengan keinginan
pihak kedua . Secara lebih luas ijab dan qobul tidak saja terjadi dalam soal
kesediaan dua pihak untuk menjadi pemodal Dan pengusaha tetapi juga
kesediaan untuk menerima kesepakatan – kesepakatan lain yang muncul
lebih terinci . Dalam hal ini , ijab (penawaran )tidak selalu di ungkapkan
oleh pihak pertama , begitu juga sebaliknya . begitu juga sebaliknya
.Keduanya harus saling menyetujui artinya jika pihak pertam melakukan
ijab ( penawaran ) , maka pihak kedua melakukan qobul penerimaan ,
begitu juga sebaliknya .ketika kesepakatan – kesepakatan itu di setujui
maka terjadilah.

8

2. Adanya Dua Pihak ( pihak penyedia dana dana pengusaha ). Para pihak (shahib
al – mal ) dan pihak mudharib ).
(a) Cakap bertindak hukum secara syar ’i .artinya ,shahib al –mal memiliki
kapasitas untuk menjadi pemodal dan mudharib memilki kapasitas menjadi
pengelola . jadi mudharabah yang di sepakati oleh shahib al –mal yang
mempunyai penyakit gila tidaklah syah, namun jika di kuasakan oleh
orang lain maka syah .Bagi mudharib, asalkan ia memahami maksud
kontrak saja sudah cukup dan syah mudharababahnya.
(b) memiliki wiayah al tawkil waal wikalah (memiliki kewenangan untuk
mewakilkan / memberi kuasa dan menerima pemberian kuasa ), karena
penyerahan modal oleh pihak pemberi modal kepada pihak pengelola
modal merupakan suatu bentuk pemberian kuasa untuk mengolah modal
tersebut.
3. Adanya modal. Adapun modal di syaratkan:
(a) Modal harus jelas jumlah dan jenisnya dan di ketahaui oleh kedua belah
pihak

pada

waktu

dibuatnya

akad

mudharabah

sehingga

tidak

menimbulkan sengketa dalam pembagian laba karena ketidak jelasan
jumlah .Kepastian dan kejelasan laba itu penting dalam kontrak ini.
(b) Harus berupa uang (bukan barang). Mengenai modal harus berupa uang
tidak boleh barang adalah pendapat mayoritas ulaoma ’. Mereka beralasan
mudharabah dengan barang itu dapat menimbulkan kesamaran. Karena
barang tersebut umumnya bersifat fluktuatif. Sedangkan jika barang
tersebut tidak bersifat fluktuatif seperti emas dan perak, mereka berbeda
pendapat. Imam Malik dalam hal ini tidak tegas untuk melarang atau
memperbolehkannya. Oleh karenanya para muridnya berbeda pendapat
Sebagian membolehkannya dan sebagian ibnu al–qasim membolehkannya
dengan catatan emas dan perak tersebut belum menjadi barang perhiasan
Dalam kaitanya mudharabah dengan emas dan perak ini Imam Syafi ’ i
melarangnya. Secara umum fuqaha yang melarang mudharabah dengan
emas atau perak beralasan bahwa keduanya disamakan dengan barang
,sedangkan yang membolehkannya, termasuk diantaranya Ibnu Abi
9

Laila ,beralasan bahwa keduanya di samakan dengan dinar dan dirham
.keduanya berbeda sedikit dalam harga hanya berbeda sedikit (tidak
fluktuatif ). Dalam hal kaitanya dengan modal ini pula para fuqaha sepakat
bahwa sepakarahkant bahwa jika barang yang diserahkan tersebut tidak
untuk di –mudharabah –kan tetapi untuk di jadikan sebagai sebuah modal
mudharabah dengan cara menjualkannya terlebih dahulu maka hal ini ini
di perbolehkan. Menurut Ibnu Hazm karena hal telah banyak disebutkan
dalam hadits nabi SAW.
(c) Uang bersifat tunai (bukan utang)
Mengenai keharusan uang dalam bentuk tunai (tidak utang) bentuknya
adalah

misalnya shahib al –mal memiliki piutang kepada seseorang

tertentu. Piutang pada seseorang tersebut kemudian di jadikan modal
mudharabah bersama si berutang. Ini tidak d benarkan karena piutang itu
sebelum diterima kan oleh siberhutang kepada si berpiutang masih
merupakan milik arti berhutang. Jadi apabila ia jalankan dalam suatu usaha
berarti ia menjalankan dananya sendiri bukan dana siberhutang. selain itu
hal ini bisa membuka pintu kearah perbuatan riba, yaitu mmberi tangguh
kepada siberhutang yang belum mampu membayar hutangnya dengan
kompensansi siberhutang mendapatkan imbalan tertentu. Dalam hal ini
para ulama fiqh tidak berbeda pendapat. Perselisihan para fuqaha tersebut
terletak pada orang yang menyuruh orang lain untuk menerima hutang
orang ketiga, kemudian orang tersebut memutarkannya berdasarkan
mudharabah. Imam malik dan para pengikutnya tidak boleh pengikutnya
yang tidak membolehkan hal tersebut karena memandang bahwa pada cara
tersebut terdapat penambahan kerja dari orang tersebut orang yang bekerja
(memutarkan harta). Kerja tambahan tersebut adalah suruhan untuk
menerimanya. Alasan ini didasarkan pada aturan pokok mudharabah, maka
bathal. Sedang Imam syafi ’i dan Abu Hanifah membolehkanya dengan
alasan orang tersebut telah mewbakilkan penerimaan kepada orang lain.
Jadi ia tidak menjadikan penerimaan sebagai syarat pemutar utang.
(d) Modal diserahkan sepenuhnya kepada pengelola secara langsung . karena
jika tidak diserahkan kepada mundharib secara langsung dan tidak
10

diserahkan sepuhnya (berangsur - angsur) dikhawatirkan akan terjadinya
kerusakan pada modal penundaan yang dapat menganggu waktu mulai
berkerjanya dan akibat yang lebih jauh mengurangi kerjanya secara
maksimal. Jumhur fuqaha sepakat akan hal ini, hanya saja sebagian dari
madzab Hanafi lebih fleksibel menambahkan apabila pengangsuran
kucuran modal tersebut dikehendaki oleh mundharib maka tidak bathal.
4. Adanya usaha ( al-aml ).
Mengenai jenis usaha pengelolaan ini sebagai ulama, khususnya Syafi’i dan
Maliki, mensyaratkan bahwa usaha itu hanya berupa usaha dangang
(commercial). Mereka menolak usaha yang berjenis kegiatan industri
(manufacture) dengan anggapan bahwa kegiatan industri itu termasuk dalam
kontrak persewaan (ijarah) yang mana semua kerugian dan keuntungan
ditanggung oleh pemilik modal (investor). Sementara para pegawainya di gaji
secara tetap. Tetapi Abu Hanifah membolehkan usaha apa saja selain
berdagang, termasuk kegiatan kerajinan atau industri. Seseorang dapat
memberikan modalnya kepada pekerja yang akan digunakannya ntuk membeli
bahan mentah untuk dibuat sebuah produk dan kemudian dijualnya.
Keuntungan ini dapat dibagi di bagi dua antara keduanya. Ini memandang tidak
termasuk jenis perdangangan murni yang mana seseorang hanya terlibat dalam
pembelian dan penjualan. Dalam menjalankan usaha ini shahib al-mal tidak
boleh ikut campur dalam tkni operasional dan manajemen usaha tidak boleh
membatasi usaha mundharib sedemikian rupa sehingga mengakibatkan upaya
perolehan keuntungan maksimal tidak tercapai. Tetapi di lain pihak pengelola
harus senantiasa menjalankan usahanya dalam ketentuan syari’ah secara
umum . Dalam usaha itu dijalankan dibawah akad mudharabah terbatas. Maka
ia harus memenuhi klausul – klausul yang ditentukan oleh shahib al- mal.

5. Adanya mengenai keuntungan. Mengenai keuntungan disyaratkan bahwa :
(a) Keuntungan tidak boleh dihitung berdasarkan persentase dari jumlah
modal yang di investasikan, melainkan hanya keuntungannya saja setelah
dipotong besarnya modal. Dalam hal ini perhitungan harus dilakukan
11

secara cermat. Setiap keadaan yang membuat ketidak jelasan perhitungan
akan membawa kepada suatu kontrak yang tidak syah.
(b) Keuntungan untuk masing–masing pihak di tentukan dalam jumlah
nominal berarti shahib al-mal telah mematok untung tertentu dari sebuah
usaha yang belum jelas untung dan ruginya. Ini akan membawa pada
perbutan riba.
(c) Nisbah pembagian ditentukan dengan prosentase, misalnya 60:40 %,
50:50 % dan seterusnya .Penentuan prosentase tidak harus terikat pada
bilangan tertentu. Artinya nisbah bagi hasil tidak ditentukan pada saat
akad, maka masing–masing pihak memaami bahwa keutungan itu akan
dibagi secara sama. Karena aturan umum dalam perhitungan ini adalah
kesamaan. Namun pada awal kontrak adalah lebih baik untuk menghindari
mulnculnya kesalah pahaman. Prosentase yang diungkapkan oleh salah
satu pihak dianggap cukup. Jika terdapat pihak ketiga, seorang yang
membantu usaha mundharib, maka prosentase bagi hasil tidak boleh di
bagi menjadi tiga bagian. Namun jika pihak ketiga itu meruptakan budak
(pekerja) dari shahib al-mal, para ulama berbeda pendapat. Imam Malik,
Syafi ’i dan Abu Hanifah membolehkannya, sementara para ulama murid
imam malik tidak membolehkannya. Keuntungan harus menjadi hak
bersama sehingga tidak boleh diperjanjikan bahwa seluruh keuntungan
berdasarkan kesamaan. Namun jika seorang mundharib mensyarakatkan
seluruh keuntungan untuk dirinya para fuqaha berbeda pendapat. Imam
Malik membolehkanya, karena cara itu meruapakan kebaikan atau kesuka
– relaan shahib al- mal. Di lain pihak Imam syafi’i

melarangnya. Ia

menganggap cara seperti itu sebagai kesamaran, karena jika terjadi
kerugian shahib al- mal itu telah berat dan tidak boleh ditambahinya lagi.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, dalam kaitannya dengan hal
tersebut, berpependapat bahwa hal itu tidak termasuk kategori mudharabah
melainkan qaradh (pinjaman). Artinya perlimpahan selurh kegiatan
ekonomi tersebut sebagai sbuah pinjaman, maka dari itu jika terjadi
kejadian yang sebaliknya (kerugian) maka seluruh kerugian ditanggung
oleh mundharib.

12

Kesepakatan dan Implikasi Kontrak Mundharabah
Sebagai sebuah kerjasama yang mempertemukan dua pihak yang berbeda
dalam proses dan bersatu dalam. Kerjasama ini memerlukan beberapa kesepakatan
berupa ketentuan - ketentuan yang meliputi aturan dan wewenang yang dirumuskan
oleh kedua belah pihak yang akan menjadi patokan hukum berjalannya kegitaan
mudharabah tersebut. Hal – hal ini yang harus disepakati tersebut antara lain :
1. Manajemen,
Ketika mundharib telah siap dan menyediakan tenaga untuk kerjasama
mundharabah maka saat itulah ia mulai mengelola modal shahib al –mal.
Pengelolaan usaha tersebut membutuhkan kreativitas dan ketrampilan tertentu
yang kadang – kadang hanya ia hanya ia sendiri yang mengetahuinya. Oleh
karena itu dalam kaitannya dengan manajemen, kebebasan mudharib dalam
merencanakan, merancang, mengatur, dan mengelola usaha merupakan faktor
yang menentukan. Menurut madzab Hanafi, mudharabah itu mempunyai dua
macam; mudterharabah muthlaqah (absolut, tidak terikat) dan mudharabah
muqayyadah

(terikat).

Dalam

mudharabah

muthlaqoh,

mundharib

mendapatkan kebebasan untuk menset up mudharabah sebagaimana yang ia
inginkan. Mundharib bisa membawa pergi modalnya memberikan modalnya,
kepihak ketiga atau bahkan untuk modal musyarakah dengan orang lain.
Mundharib juga bisa mencampur modal mudharabah dengan modalnya
sendiri. Dia bebas menyewa orang atau barang dengan modal itu .Interfensi
shahib al- mal dalam mudharabah ini tidak ada. Sebaliknya dalam mudharabah
muqayyadah semua keputusan yang mengatur praktek mudharabah ditentukan
oleh shahib al- mal. Mundharib tidak bebas mewujudkan keinginannya tetapi
dia harus terbatasi oleh aturan–atuaran yang di tetapkan oleh shahib al- mal
dalam sebuah kontrak. Sementara menurut Imam malik syafi ’i jika shahib almal mengatur mundharib untuk membeli barang tertentu dan kepada
seseorang tertentu , maka mudharabah itu bathal Karena hal itu dikhawatirkan
upaya

pemerolehan

keuntungan

2. Tetangga Waktu (Duration).

13

yang

maksimal

tidak

terpenuhi.

Satu hal yang harus mendapat kesepakatan antara shahib al-mal dan
mundharib adalah lamanya waktu usaha. Ini penting karena tidak semua
modal yang diberikan kepada mundharib itu dana mati yang dibutuhkan oleh
pemiliknya. Disamping itu penenetuan waktu adalah sebuah cara untuk
memacu mudharib bertindak lebih efektif dan terencana. Namun disisi lain
penentuan waktu itu bisa membuat mudharib menjadi tertekan dan tidak bebas
menjalani usaha mudharabah. Apalagi kerja ekonomi bersifat spekulatif tidak
selalu berjalan lancar. Karenanya para fuqaha berselisih pendapat. madzab
Maliki dan Syafi’i penentuan waktu itu dapat membathalkan kontrak.
Sedangkan menurut madzab Hanafi dan Hambali penentuan waktu tidak syah.
Kontrak mudharabah dapat diakhiri oleh satu pihak dengan memberitahukan
terlebih dahulu. Ini dimungkinkan terjadi dan para fuqaha sepakat bahwa
mudharabah adalah kontrak yang tidak mengikat. Tidak ada perbedaan
pndapat mengenai diakhirinya kontrak sebelum mudharib melakukan usaha.
Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa ketika mundharib
melakukan kerja salah satu pihak dalam mengakhirinya. Namun demikian
Imam Malik tidak membolehkanya. Ketika mudharabah menjadi bathal,
karena suatu alasan tertentu, maka ia berhak menerima upah tertentu atas
pekerjaan yang telah ia kerjakan, dan ini termasuk wilayah kontrak
mudharabah tetapi wilayah kontrak sewa (ijarah) Oleh karena itu dia harus
dibayar atas usahanya.
3. Jaminan (dhilman).
satu hal yang tidak kalah pentingnya dalam mewujudkan kesepakatan
bersama adalah adanya aturan tentang jaminan atau tanggungan. Tangunggan
menjadi penting ketika shahib Al- mal khawatir akan munculnya
penyelewengan dari mudharib. Namun pertanyaan penting yang perlu
diajukan adalah apakah suatu kerjasama yang saling membutuhkan jaminan
menjadi suatu yang urgen? Bukankah kerjasama itu suatu kontrak yang saling
mempercayai? Apakah setiap kerugian itu berarti penyelewengan? Para ulama
berbeda pendapat mengenai keharusan adanya tanggungandalam mudharabah
ini. Para fuqaha pada dasarnya tidak setuju adanya tanggungan. Alasannya
mudharabah

merupakan

kerjasama

saling

menanggung,

suatu

pihak

menanggung, saling mempercayai serta jika terjadi kerugian semua pihak
merasakan kerugian tersebut. Oleh karenanya jaminan harus ditiadakan.
14

Namun jaminan menjadi perlu ketika modal yang rusak melampaui batas.
Tetapi bagaimana batasan sesuatu dianggap melampaui batas, para ulama pun
berbeda pendapat. Menurut imam malik dan Syafi’i, jika shahib al–mal
bersikeras terhadap adanya jaminan dari shahib al –mal dan menetapkannya
sebagai bagian dari kontrak, maka kontrak menjadi tidak syah.
Ketika sebuah kontrak telah disepakati, imaka kontrak tersebut menjadi sebuah
hukum yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. Jika ada pelanggaran yang
dilakukan oleh salah satu pihak, baik shahib al–mal atau mundharib, maka kontrak
menjadi gugur tidak berlaku lagi. Kesepakatan kontrak mundharabah yang menjadi
hukum terebut membawa berbagai implikasi, diantaranya :
1. Mundharib sebagai Amin (orang yang dipercaya).
Seorang mudharib menjadi amin untuk modal yang telah diserahkan
kepadanya. Ini berarti bahwa dia telah diizinkan oleh pemilik modal utuk
memiliki modal tersebut. Penyerahan ini bukan suatu jual beli, pinjaman
ataupun sewa. Modal yang diserahkan dalam hal ini adalah amanah yang harus
dijaga oleh mudharib. Namun pengertian amanah tersebut berpijak pada suatu
ketentuan dimana jika modal tersebut rusak ditanganya tanpa ada unsur
penyelewengan, maka tidak ada tanggungan baginya. Posisi mudharib sebagai
amin mengindikasikan bahwa penyerahan modal dan pengelolaanya
sepenuhnya tergangantung pada mundharib. sebab dalam pengelolaanya
modal tersebut akan bercampur dengan modal dan barang – barang lain milik
mundharib. Keadaan seperti ini tentu saja sulit dideteksi. Oleh karena itu
dengan diposisikannya mudharib sebagai amin akan dapat memunculkan
kesadaran dan sikap kehati–hatian pengelola dalam mengolah usahanya
utamanya memisahkan antara modal prfibadi dan orang lain dalam
perhitungan keuntungannya.
2. Mudharib sebagai wakil.
Mundharib sebagai wakil dari shahib al–mal dalam semua transaksi yang ia
sepakati. Konsekuensinya hak–hak kontrak kembali kepadanya sebagai
seorang yang menyepakati transaksi. Disamping itu dia adalah seorang yang
dituntut oleh para penjual untuk melakukan pembayaran dan dituntut oleh para
pembeli untuk mengirimkan barang. Pemaknaan mudharabah seperti ini
15

dlakukan oleh Madzab Hanafi. Mundharib sebagai wakil menjeakan bahwa
mundharib merupakan tangan kanan dari shahib al- mal dalam kegiatan bisnis
Implikasinya sebagai seorang wakil tentu dia tidak menanggung apapun dari.
modal ketika terjadi kerugian. Namun menurut mayoritas fuqaha seorang akil
tetap akan mendapat uapah kerjanya.
3. Mundharib sebagai Mitra dalam Laba.
Mundharib akan mendapatkan bagian laba dari usaha yang dilakukan, sebab
mundharabah sendiri adalah pertemanan dalam laba. Sementara seorang agen
atau wakil tidak mendapatkan laba ketika terjadi keuntungan dalam usahanya,
karena dia hanya teman dalam kaitannya dengan kontrak. Pembagian laba ini
telah ditentukan pada awal kontrak. Dengan menjadikannya mundharib
sebagai mitra dalam laba maka besar atau kecilnya laba akan sangat
tergantung pada ketrampilan mundharib dalam menjalankan usahanya.
Demikian pendapat ilmu fiqh tentang mundharabah. Pembahasan tentang
mundharabah yang diulas dalam bab ini hanya memaparkan teori–teori fiqh murni
yang menjadi dapat dijadikan pijakan pengembangan organisasi bisnis. Bentuk
praktis, organisasi yang beroperasi dengan konsep mundharabah salah satunya adalah
bank syari ’ah.

16