Social Support dan Psychological Well-Being Pada Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung

(1)

SOCIAL SUPPORT DAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

PADA PENYINTAS BENCANA ALAM GUNUNG SINABUNG

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

ANGGITA WINDY MARPAUNG

101301103

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP 2014/2015


(2)

(3)

(4)

SOCIAL SUPPORT DAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA PENYINTAS BENCANA ALAM GUNUNG SINABUNG

Anggita Windy dan Ari Widiyanta

ABSTRAK

Penyintas yang merasakan dampak khususnya yang tinggal di pengungsian memperoleh dan membutuhkan social support dari orang lain dan penyintas dituntut untuk mampu merealisasikan dirinya dengan mengatasi setiap tantangan hidup dan memenuhi setiap kebutuhannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui dan memahami social support dan psychological well-being pada penyintas bencana alam Gunung Sinabung, sebanyak enam partisipan perempuan dimana tiga partisipan di relokasi dan tiga partisipan tidak di relokasi. Pekerjaan partisipan yaitu empat partisipan bekerja sebagai petani, satu partisipan bekerja sebagai petani dan wiraswasta, dan satu partisipan bekerja sebagai bidan. Partisipan diperoleh melalui sampel kasus tipikal dengan metode wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partisipan memperoleh social support seperti emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support, dan companionship support. Hasil penelitian juga terlihat bahwa partisipan yang di relokasi lebih membutuhkan emotional or esteem support dan tangible or instrumental support

sedangkan partisipan yang tidak direlokasi membutuhkan tangible or instrumental support dan informational support. Hal ini karena kebutuhan dan kehilangan yang dirasakan berbeda. Hasil penelitian juga terlihat bahwa psychological well-being

yang cukup baik dimana penyintas memiliki penerimaan diri, otonomi, penguasaan lingkungan, dan tujuan hidup yang jelas namun beberapa penyintas kurang dapat menjalin hubungan yang positif dengan orang lain dan kurang dapat bertumbuh. Hal ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi, social support dan evaluasi terhadap pengalaman hidup.


(5)

SOCIAL SUPPORT AND PSYCHOLOGICAL WELL-BEING IN NATURAL DISASTER SURVIVORS SINABUNG

Anggita Windy and Ari Widiyanta

ABSTRACT

Survivors who feel the impact especially those living in refugee camps to obtain and requires social support from others and survivors demanded to realize himself to overcome every challenge of life and fulfill everything their need. This study used a qualitative approach that aims to identify and understand the social support and psychological well-being in a natural disaster survivors Sinabung, as many as six participants were women, where three participants in the relocation and three participants were not relocated. There are four participants work as a farmer, one of others participants work as farmers and self-employed, and another participants work as a midwife. Participants obtained through sample typical cases with in-depth interview. The results showed that participants acquire social support such as emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support, and companionship support. The results also shown that the participants in the relocation are more in need of emotional or esteem support and tangible or instrumental support, while participants who are not relocated require tangible or instrumental support and informational support. These are caused the loss and perceived need different. The results also shown that psychological well-being is good enough where survivors have self-acceptance, autonomy, environmental mastery, and purpose in life, but some survivors are less able to establish a positive relationship with others and personal growth. These are influenced by economic factor, social support and evaluation of the experience of life.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia dan kekuatan sehingga Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul penelitian dalam skripsi ini adalah

Social Support dan Psychological Well-Being Pada Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka bertujuan memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga mengucap rasa syukur tidak henti-hentinya karena kasih-Nya yang begitu besar telah menghadirkan orang-orang terkasih untuk memberikan bimbingan, dukungan serta kasih sayang sehingga menjadi berkat bagi penulis. Ucapan terimakasih tersebut dipersembahkan kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara,

2. Bapak Ari Widiyanta, M.Si., psikolog, selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis selama proses mengerjakan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan, arahan, masukan, kesabaran, dan tenaga yang telah bapak berikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini, 3. Ibu Filia Dina Anggaraeni, M.Pd, selaku dosen pembimbing akademik.

Terima kasih atas bimbingan dan arahan Ibu selama saya mengikuti perkuliahan di Fakultas Psikologi USU,


(7)

waktu untuk menguji skripsi ini dan memberikan informasi dan kritik serta saran demi penyempurnaan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar khususnya dosen di Departemen Psikologi Sosial, yang telah membagikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis dan kepada seluruh staf pegawai di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas bantuan yang telah diberikan selama perkuliahan dan penyusunan skripsi, 6. Keluarga tersayang, Papa Edwin Marpaung, Mama Budi Rahayu Tambunan, Abang Martin Maulana Marpaung, Abang Joenari Anthony Marpaung, dan Kakak Hetti Citra Marbun yang selalu menaruh kasih setiap waktu. Terima kasih atas doa, kesabaran, dukungan moral serta material yang telah diberikan selama ini kepada penulis,

7. Sahabat terkasih HF (Happy Family). Mona Sriukur Meliala, Putri Olwinda Sianipar, Yosephine Allysa Mendrofa, Christian Yosie Wahyuni Simbolon, Martina Lydia, dan Selvia Veronika Tarigan, yang menemani dan mendukung. Terima kasih telah menjadi bagian keluarga penulis selama di kampus,

8. Sahabat kelompok kecil, Godwin. Abang Hitler Manik, Mentari Manik dan Rocky Sihite, yang senantiasa memberikan dukungan serta doa kepada penulis,

9. Sahabat terbaik penulis, “Partner in Crime”. Rina, Yossica dan Manna, yang selalu memberikan perhatian, semangat serta doa setiap waktu,


(8)

10.Teman-teman khususnya Teissa, Martha, Momo, Owl, Anggun, Riri, dan Rika yang memberikan semangat, kritik, dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini,

11.Abang Syahta, yang selalu sabar dan setia memberikan dukungan, doa, serta perhatian kepada penulis selama mengerjakan skripsi ini,

12.Seluruh teman angkatan 2010 di Fakultas Psikologi USU, terima kasih atas kebersamaan dan semangat yang diberikan,

13.Kepada para partisipan penelitian, yang telah memberikan waktu dan mempercayakan sebagian pengalaman hidupnya dengan penulis. Terima kasih atas bantuan serta semangat yang kalian berikan kepada penulis. Semoga Tuhan memberikan berkat berkelimpahan kepada kalian.

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Penulis mengharapkan segala kritik maupun saran yang membangun dari semua pihak guna menyempurnakan penelitian ini. Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi banyak pihak.

Medan, 26 Agustus 2015 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian ... 12

C. Tujuan Penelitian... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Sistematika Penelitian ... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Social Support ... 16

1. Pengertian Social Support ... 16

2. Bentuk-bentuk Social Support ... 17

3. Dampak Social Support ... 19

B. Psychological Well-being ... 22

1. Pengertian Psychological Well-being... 22

2. Dimensi Psychological Well-being ... 23

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well-being... 27


(10)

1. Pengertian Penyintas ... 31

2. Pengertian Bencana Alam ... 31

3. Bencana Alam Gunung Sinabung ... 33

4. Dampak Bencana Alam Gunung Sinabung ... 34

D. Social Support dan Psychological Well-being Pada Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung ... 37

E. Paradigma Berpikir ... 41

BAB III METODE PENELITIAN ... 42

A. Penelitian Kualitatif Fenomenologis ... 42

B. Partisipan Penelitian ... 44

1. Karakteristik Partisipan ... 44

2. Jumlah Partisipan ... 44

3. Teknik Pengambilan Partisipan ... 46

4. Lokasi Penelitian ... 46

C. Metode Pengumpulan Data ... 46

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 47

1. Pedoman Wawancara ... 47

2. Alat Perekam (Handphone) ... 47

3. Alat tulis dan kertas untuk mencatat ... 47

E. Prosedur Penelitian ... 48

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 48


(11)

4. Prosedur Analisa dan Interpretasi Data ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55

A. HASIL ANALISA DATA ... 55

1. Partisipan A (Ibu R.A) ... 55

a. Gambaran Social Support yang diperoleh Pada Partisipan A ... 55

b. Gambaran Social Support yang dibutuhkan Pada Partisipan A ... 64

c. Gambaran Psychological Well-being Pada Partisipan A ... 68

2. Partisipan B (Ibu R.B) ... 75

a. Gambaran Social Support yang diperoleh Pada Partisipan B ... 75

b. Gambaran Social Support yang dibutuhkan Pada Partisipan B ... 83

c. Gambaran Psychological Well-being Pada Partisipan B ... 87

3. Partisipan C (Ibu R.C) ... 93

a. Gambaran Social Support yang diperoleh Pada Partisipan C ... 93

b. Gambaran Social Support yang dibutuhkan Pada Partisipan C .... 103

c. Gambaran Psychological Well-being Pada Partisipan C ... 106

4. Partisipan D (Ibu R.D) ... 114

a. Gambaran Social Support yang diperoleh Pada Partisipan D ... 114

b. Gambaran Social Support yang dibutuhkan Pada Partisipan D .... 122

c. Gambaran Psychological Well-being Pada Partisipan D ... 124

5. Partisipan E (Ibu R.E) ... 130

a. Gambaran Social Support yang diperoleh Pada Partisipan E ... 130

b. Gambaran Social Support yang dibutuhkan Pada Partisipan E ... 137


(12)

6. Partisipan F (Ibu R.F) ... 145

a. Gambaran Social Support yang diperoleh Pada Partisipan F ... 145

b. Gambaran Social Support yang dibutuhkan Pada Partisipan F ... 154

c. Gambaran Psychological Well-being Pada Partisipan F ... 157

B. PEMBAHASAN ... 167

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 235

A. Kesimpulan ... 235

B. Saran ... 241

1. Saran Metodologis... 241

2. Saran Praktis ... 242

DAFTAR PUSTAKA ... 243


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

3.1. Gambaran Data Keenam Partisipan ... 45 4.1. Rangkuman Analisis Social Support yang diperoleh Pada Partisipan A ... 63 4.2. Rangkuman Analisis Social Support yang dibutuhkan Pada

Partisipan A ... 67 4.3. Rangkuman Analisis Psychological Well-being Pada Partisipan A ... 74 4.4. Rangkuman Analisis Social Support yang diperoleh Pada Partisipan B ... 82 4.5. Rangkuman Analisis Social Support yang dibutuhkan Pada

Partisipan B ... 86 4.6. Rangkuman Analisis Psychological Well-being Pada Partisipan B ... 92 4.7. Rangkuman Analisis Social Support yang diperoleh Pada Partisipan C .... 101 4.8. Rangkuman Analisis Social Support yang dibutuhkan Pada

Partisipan C ... 105 4.9. Rangkuman Analisis Psychological Well-being Pada Partisipan C ... 113 4.10. Rangkuman Analisis Social Support yang diperoleh Pada Partisipan D .... 121 4.11. Rangkuman Analisis Social Support yang dibutuhkan Pada

Partisipan D ... 123 4.12. Rangkuman Analisis Psychological Well-being Pada Partisipan D ... 129 4.13. Rangkuman Analisis Social Support yang diperoleh Pada Partisipan E .... 136 4.14. Rangkuman Analisis Social Support yang dibutuhkan Pada

Partisipan E ... 139 4.15. Rangkuman Analisis Psychological Well-being Pada Partisipan E ... 144


(14)

4.16. Rangkuman Analisis Social Support yang diperoleh Pada Partisipan F .... 153 4.17. Rangkuman Analisis Social Support yang dibutuhkan Pada

Partisipan F ... 156 4.18. Rangkuman Analisis Psychological Well-being Pada Partisipan F ... 165 4.19. Gambaran Kemunculan Social Support dan Psychological Well-being Pada


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

4.1.A.Bentuk-Bentuk Social Support yang diperoleh Pada Seluruh Partisipan ... 230 4.1.B .Bentuk-Bentuk Social Support yang diperoleh Pada Seluruh Partisipan .. 231 4.2. Bentuk-Bentuk Social Support yang dibutuhkan Pada Seluruh Partisipan ... 232 4.3.A.Psychological Well-being Pada Seluruh Partisipan ... 233 4.3.B.Psychological Well-being Pada Seluruh Partisipan ... 234


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Pedoman Wawancara ... 248


(17)

SOCIAL SUPPORT DAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA PENYINTAS BENCANA ALAM GUNUNG SINABUNG

Anggita Windy dan Ari Widiyanta

ABSTRAK

Penyintas yang merasakan dampak khususnya yang tinggal di pengungsian memperoleh dan membutuhkan social support dari orang lain dan penyintas dituntut untuk mampu merealisasikan dirinya dengan mengatasi setiap tantangan hidup dan memenuhi setiap kebutuhannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui dan memahami social support dan psychological well-being pada penyintas bencana alam Gunung Sinabung, sebanyak enam partisipan perempuan dimana tiga partisipan di relokasi dan tiga partisipan tidak di relokasi. Pekerjaan partisipan yaitu empat partisipan bekerja sebagai petani, satu partisipan bekerja sebagai petani dan wiraswasta, dan satu partisipan bekerja sebagai bidan. Partisipan diperoleh melalui sampel kasus tipikal dengan metode wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partisipan memperoleh social support seperti emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support, dan companionship support. Hasil penelitian juga terlihat bahwa partisipan yang di relokasi lebih membutuhkan emotional or esteem support dan tangible or instrumental support

sedangkan partisipan yang tidak direlokasi membutuhkan tangible or instrumental support dan informational support. Hal ini karena kebutuhan dan kehilangan yang dirasakan berbeda. Hasil penelitian juga terlihat bahwa psychological well-being

yang cukup baik dimana penyintas memiliki penerimaan diri, otonomi, penguasaan lingkungan, dan tujuan hidup yang jelas namun beberapa penyintas kurang dapat menjalin hubungan yang positif dengan orang lain dan kurang dapat bertumbuh. Hal ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi, social support dan evaluasi terhadap pengalaman hidup.


(18)

SOCIAL SUPPORT AND PSYCHOLOGICAL WELL-BEING IN NATURAL DISASTER SURVIVORS SINABUNG

Anggita Windy and Ari Widiyanta

ABSTRACT

Survivors who feel the impact especially those living in refugee camps to obtain and requires social support from others and survivors demanded to realize himself to overcome every challenge of life and fulfill everything their need. This study used a qualitative approach that aims to identify and understand the social support and psychological well-being in a natural disaster survivors Sinabung, as many as six participants were women, where three participants in the relocation and three participants were not relocated. There are four participants work as a farmer, one of others participants work as farmers and self-employed, and another participants work as a midwife. Participants obtained through sample typical cases with in-depth interview. The results showed that participants acquire social support such as emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support, and companionship support. The results also shown that the participants in the relocation are more in need of emotional or esteem support and tangible or instrumental support, while participants who are not relocated require tangible or instrumental support and informational support. These are caused the loss and perceived need different. The results also shown that psychological well-being is good enough where survivors have self-acceptance, autonomy, environmental mastery, and purpose in life, but some survivors are less able to establish a positive relationship with others and personal growth. These are influenced by economic factor, social support and evaluation of the experience of life.


(19)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bencana alam adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Ancaman akan terjadinya bencana dari waktu ke waktu semakin luas dan cenderung meningkat. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, gempa, kekeringan, angin topan dan tanah longsor (BNPB, 2007).

Menurut Wassenhove (2006), setiap tahun terjadi sekitar 500 bencana alam yang membunuh 75.000 manusia dan berdampak pada 200 juta orang lainnya. Bertambahnya jumlah populasi yang menyebabkan masuknya manusia ke daerah-daerah rawan bencana serta adanya perubahan iklim membuat jumlah bencana alam ke depannya menjadi semakin banyak (Whybark, 2007). Bencana dapat dipicu oleh perbuatan manusia termasuk di dalamnya kecelakaan, perang, dan lainnya (Danieli, 1996).

Indonesia berpotensi besar mengalami bencana dimasa mendatang karena berbagai faktor, misalnya letak, kontur dan dinamika penduduknya. Indonesia juga merupakan negara kepulauan yang dilingkari oleh jalur gempa paling aktif di dunia, yaitu Cincin Api Pasifik. Cincin Api merupakan akibat langsung dari pertemuan lempeng tektonik, dimana Indonesia terletak di pertemuan 3 lempeng, yaitu Lempeng Pasifik, Indo-Australia, dan Eurasia. Kondisi ini menyebabkan Indonesia sering dilanda gempa bumi maupun letusan gunung berapi. Selain itu,


(20)

bencana hidrometeorologi yang terkait dengan cuaca juga sangat sering melanda wilayah nusantara (Gempa BNPB, 2014). Indonesia memiliki gunung berapi dengan jumlah kurang lebih 240 buah, dengan 130 buah di antaranya masih aktif (Lavigne, dkk, 2007).

Salah satu gunung berapi yang aktif di Indonesia berada di Kabupaten Karo . Letak geografis berada di dekat jejeran gunung berapi wilayah Sumatera, di Kabupaten Karo ada 2 dari 129 gunung berapi yang aktif berada di Indonesia yaitu Gunung Berapi Sinabung dan Gunung Berapi Sibayak. Kedua gunung ini berstatus siaga (level III). Kedua gunung ini tidak pernah erupsi sejak tahun 1600. Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), catatan letusan Gunung berapi Sinabung pada tahun 1600 dengan aktivitas vulkanik berupa muntahan batuan piroklastik serta aliran lahar yang mengalir ke arah Selatan. Kemudian pada tahun 1912, gunung ini mengeluarkan aktivitas solfatara yang terlihat di puncak dan lereng atas. Setelah hampir 100 tahun, gunung berapi berjenis strato ini kembali meletus. Kabupaten Karo mengalami peristiwa erupsi Gunung Sinabung yang cukup mengejutkan pada tahun 2010, terjadi beberapa kali letusan yang di antaranya berupa letusan freatik. Letusan pada tanggal 7 april 2010 sampai pada tanggal 27 agustus 2010 menyebabkan status Gunung Sinabung berubah dari tipe B menjadi tipe A. Berselang tiga tahun, Gunung Sinabung menunjukkan aktivitas vulkanik selama 15 September 2013 dan terakhir 24 oktober 2013. Berdasarkan data dan analisis data pemantauan dari tanggal 19-24 Oktober 2013, PVMBG sebagai bagian dari Badan Geologi menetapkan status


(21)

Gunung Sinabung masih pada waspada, Level III atau siaga (Gempa BNPB, 2013).

Surono selaku Kepala PVMBG sebelumnya menyatakan: “Gunung

Sinabung tidak akan mengalami erupsi” Akhirnya Surono mengumumkan

pernyataan: “Gunung Sinabung berbahaya dari status tipe B berubah menjadi tipe

A. Masyarakat agar mengungsi sejauh 6 Km dari kaki Gunung Sinabung” (Anshari, 2014).

Gunung Sinabung, tanggal 29 Januari 2014 Status level IV (Awas) ini terus bertahan hingga memasuki tahun 2014. Guguran lava pijar dan semburan awan panas masih terus terjadi sampai 3 Januari 2014. Mulai tanggal 4 Januari 2014 terjadi rentetan kegempaan, letusan, dan luncuran awan panas terus-menerus terjadi sampai hari berikutnya. Hal ini memaksa tambahan warga untuk mengungsi, hingga melebihi 20 ribu orang. Setelah kondisi ini bertahan terus, pada minggu terakhir Januari 2014 kondisi Gunung Sinabung mulai stabil dan direncanakan pengungsi yang berasal dari luar radius bahaya (5 km) dapat dipulangkan. Namun demikian, sehari kemudian 14 orang ditemukan tewas dan 3 orang luka-luka terkena luncuran awan panas ketika sedang mendatangi Desa Suka Meriah, Kecamatan Payung yang berada dalam zona bahaya I (Berita Satu, 2014).

Tercatat sebanyak 3.287 jiwa atau 1.019 kepala keluarga pengungsi Sinabung yang masih tinggal di penampungan. Mereka berasal dari zona merah (daerah berbahaya), yakni Desa Sukameriah, Desa Bekerah dan Desa Simacem (Berita Satu, 2014). Sebanyak 19.478 jiwa (5.675 KK) telah dipulangkan ke


(22)

rumahnya, sedangkan pengungsi yang tinggal di hunian sementara 6.179 jiwa (2.053 KK). Pengungsi ini berasal dari Desa Sukameriah, Bekerah, Simacem, Kutatonggal, Gamber, Berastepu, dan Gurukinayan (Assifa, 2014)

Data sementara yang diperoleh Badan Penanggulan Bencana Daerah (BPBD), kerusakan infrastruktur pasca-erupsi Gunung Sinabung mulai September 2013 hingga Oktober 2014 ini mencapai lebih dari 5.000 bangunan. Seperti ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV, bangunan itu terdiri dari rumah, sekolah, rumah ibadah, dan pasar. Kerusakan lainnya mencakup infrastruktur jalan dan irigasi (Liputan 6, 2014).

Erupsi Gunung Sinabung berdampak pada rusaknya lahan pertanian dan perkebunan seluas 60 hektare. Sektor mata pencaharian utama sebahagian besar masyarakat Kabupaten Karo adalah sektor pertanian. Masyarakat yang mengungsi ke 21 titik pengungsian sebanyak 27.472 orang, korban meninggal sebanyak dua orang (KeMenKes RI, 2010). Lahan pertanian milik masyarakat yang mengalami kerusakan dan terancam gagal panen akibat erupsi Gunung Sinabung di enam kecamatan di Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara, diperkirakan mencapai 2.924 hektare. Kerusakan komoditas pertanian milik masyarakat di sana itu meliputi tanaman cabai yang mengalami kerusakan seluas 367 hektare, kentang sebanyak 230 hektare, sayur kembang kol mencapai 222 hektare, sisanya tomat dan sayuran lainnya. (Berita Satu, 2014)

Erupsi Gunung Sinabung juga berdampak luas hingga turunnya kualitas perkembangbiakkan ternak serta penurunan drastis kunjungan wisata alam


(23)

Sumatera. Kerugian total yang diakibatkan bencana panjang itu mencapai lebih dari Rp. 1 Triliun (Liputan 6, 2014)

Fenomena yang telihat di lapangan semakin memperjelas bahwa erupsi Gunung Sinabung berdampak pada kehidupan penyintas. Ini terbukti dari hasil wawancara dengan kedua partisipan, Ibu J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40 tahun, yang tinggal di pengungsian kota kabanjahe :

“...Tanah di kampung sudah hancur semua, jadi keadaan kami sehari-hari disini ee.. kadang kerja di ladang orang dibayar upahan. kalau balik lagi ke kampung sudah tidak bisa lagi ladangnya digunakan karena banyak batu di situ. kampung kami yang dekat gunung itu, mulutnya itu ke arah kampung kami. Jadi awan panas sama ee.. lahar dingin dari situlah lewat. Waktu musibah itu tepatlah di ladang kami, itulah ladang berastepu. Rata... semua, pohon-pohon sudah tidak ada lagi...”

(Komunikasi personal, 15 November 2014)

“...Kalau sudah terkena tanaman, masak semua dibuatnya, mati semua tanaman kita, jeruk itu berjatuhan lah semua buah-buah yang masih kecil, yang belum besar. Kalau daun kentang gosong dibuatnya gitu. Kita gatal-gatal kena abu itu...”

(Komunikasi personal, 16 November 2014) Individu dan komunitas yang tinggal dalam wilayah bencana dan terkena dampak bencana tersebut langsung terposisikan sebagai korban, namun individu yang selamat dalam bencana tersebut langsung ditantang untuk tetap survive

dalam menjalani hidup pasca bencana. Individu-individu tersebut adalah penyintas, bukan hanya korban. Penyintas dapat laki-laki ataupun perempuan, baru menikah, orang hamil, usia bayi, anak, remaja, pemuda, orang dewasa, tengah baya, pasangan bersangkar kosong, masa matang, ataupun usia lanjut (Wiryasaputra, 2006). Bagi sebagian korban yang selamat (penyintas) menerima kenyataan bahwa dirinya telah kehilangan banyak hal akibat erupsi Gunung Sinabung adalah hal yang sulit dilakukan, meskipun terasa lebih ringan karena


(24)

bencana ini melanda banyak orang, namun perubahan yang sangat mendadak dan berkaitan dengan kehidupan selanjutnya sangat sulit diterima oleh penyintas bencana alam Gunung Sinabung. Semakin luas, dahsyat, ganas, kompleks, dan tragis suatu bencana, semakin dalam pula tingkat kehilangan, kedukaan, dan goncangan batin yang dirasakan oleh para penyintas (Wiryasaputra, 2006).

Bencana alam membuat penderitaan mendalam bagi yang mengalaminya. Walaupun respon secara cepat dan efektif telah diupayakan secara optimal, namun dampak negatif pada sosio-ekonomi dan psikologis jangka panjang dari bencana dapat terus menghantui komunitas yang terkena bencana dalam waktu relatif lama setelah bencana tersebut terjadi. Fenomena yang telihat dilapangan memperjelas bahwa bencana alam Gunung Sinabung berdampak negatif. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh kedua partisipan, Ibu J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40 tahun, yang tinggal di pengungsian kota Kabanjahe:

“...Kalau perubahan ekonomi ya jelas lah, merosot jauh kayak mana pun kalau seandainya dulu kita menanam sekarang enggak menanam lagi, apa yang kita jual ke pasar, kan enggak ada lagi, yang ditanampun enggak ada lagi. Seandainya pun dulu masih ada modal sudah kita tanam. Modal ada, datang gunung enggak kita panen, kan ekonomi pasti merosot. Itulah makanya beban kami sangat berat.”

(Komunikasi personal, 15 November 2014)

“... Kalau perekonomian gimana kalau di pengungsian, sudah itu tadi lah menurun karena kerjaan enggak ada...”

(Komunikasi personal, 16 November 2014) Bencana yang terjadi dapat berdampak secara umum yaitu baik nature dan

manmade meliputi kehilangan jiwa, luka-luka, kerusakan infrastruktur, kerusakan kehidupan dan hasil panen, gangguan produksi, gangguan kehidupan sehari-hari,


(25)

secara nasional dan gangguan dalam sistem pemerintahan, penurunan ekonomi nasional, dampak sosiologis dan psikologis setelah bencana terjadi (Carter, 1991). Bencana yang berdampak pada psikologis, yang meliputi shock, stress, cemas, takut, khawatir dan ganguan-ganguan yang berkaitan dengan gejala-gejala psikologis lainnya (Salzer & Bickman. 2005).

Fenomena yang telihat dilapangan semakin memperjelas bahwa erupsi Gunung Sinabung berdampak pada psikologis mereka. Ini terbukti dari hasil wawancara dengan kedua partisipan, Ibu J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40 tahun yang tinggal di pengungsian kota kabanjahe :

“...Banyak, banyak yang stress. Ada juga yang gantung diri, ada juga yang minum racun. Itu lah makanya karena sudah stressnya...”

(Komunikasi personal, 15 November 2014)

“...wihh..kalau aku dulu kan, waktu meletus itu, aku kalau ngomong kita gitu kan, baju ku terus basah.. aku sudah apa.. sudah trauma. kalau ngomong sama orang begitu terus apa air mata ku, basah semua baju ku.. begitu terus hari itu...”

(Komunikasi personal, 16 November 2014) Dampak psikologis yang terjadi berupa trauma ataupun stres tidak dapat dihindari dari bencana erupsi Gunung Sinabung tersebut. Bencana yang dahsyat membuat para penyintas merasa tidak berdaya, berminggu-minggu paska kejadian mereka mengalami berbagai macam gangguan psikologis. Beberapa orang akan mengalami duka mendalam, depresi, gelisah, atau rasa bersalah yang kuat. Sebagian orang yang lainnya mengalami, kesulitan mengontrol kemarahan dan mudah curiga. Selain itu ada yang menghindar atau menarik diri dari orang lain, sering mengalami mimpi buruk, sering merasa terkejut seakan-akan kejadian tersebut akan terulang lagi, merasa kehilangan makna hidup, dan pesimis


(26)

menghadapi masa depan. Situasi bencana yang demikian muncul sebagai hasil interaksi antara satu atau kombinasi beberapa fenomena fisik dan komunitas manusia sebagai korban yang tidak mampu mengatasi kondisi yang terjadi (Danieli, 1996). Dari situasi bencana yang terjadi akan memunculkan perasaan menerima kondisi yang sudah terjadi pada kehidupannya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan, Ibu J berusia 45 tahun yang tinggal di pengungsian kota kabanjahe:

“...Kita harus banyak berdoalah, kalau enggak, enggak bisa nak. selalu berdoa..kalau kita enggak berdoa kita enggak kuat. Berserah, pasti ada jalan keluar yang dikasih Yang Maha Kuasa...”

(Komunikasi personal, 15 November 2014). Beberapa penyintas bencana alam yang mengalami gangguan kurang tidur, mimpi buruk, kehilangan keleluasaan beraktifitas, dan akan mengalami perubahan pada kehidupan sosial. Keadaan ini akan menjadi stressful bagi mereka. Social support akan memberikan stress-buffering effect bagi korban (Bolin, 1983; Lindy & Grace, 1985 dalam Veitch & Arkkelin, 1995).

Fenomena yang telihat dilapangan bahwa social support akan membantu beban mereka. Hal ini terbukti dari hasil wawancara dengan kedua partisipan, Ibu J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40 tahun yang tinggal di pengungsian kota kabanjahe :

“...Pertamanya memang ya menderita juga, kalau pertamanya itu, tapi sudah lama kelamaan banyak lah bantuan yang datang. Jadi, beban yang kami rasa sangat berat, jadi terangkat sedikit-sedikit. Jadi, anak sekolah diluar pun kalau ada yang membantu, ada ngasih uang. Jadi, untuk anak sekolah itu enggak terhalang. Jadi, beban itulah yang selama ini kami rasa berat jadi terangkat oleh kalian semua...”


(27)

“...Kalau dikasihnya begitu mau nangis rasanya aku. Karena gembiranya, sedih juga nya. Orang enggak berapa kenal pun mau dia ngasihnya. Kan gembira kita itu, dikasihnya duit begitu...”

(Komunikasi personal, 16 November 2014) Bantuan yang diberikan orang lain kepada penyintas dapat meringankan beban mereka dan bantuan ini dapat berupa dukungan sosial. Social support

adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan yang dirasakan atau bantuan yang diterima oleh seseorang dari orang lain atau kelompok (Sarafino, 2006). Dukungan ini bisa berasal dari pihak manapun yang merupakan significant others

bagi orang yang menghadapi masalah atau situasi stres, seperti orang tua, pasangan, sahabat, rekan kerja ataupun dokter dan komunitas organisasi (DiMatteo, M. Robin, 1991).

Bentuk-bentuk dukungan yang dapat diberikan kepada penyintas bencana alam Gunung Sinabung seperti dengan menunjukkan perhatian, empati dan dukungan secara emosional (emotional or esteem support), sumber-sumber fisik dan bantuan secara langsung seperti meminjamkan uang, membantu merawat anak, dll (instrumental or tangible support), bantuan berupa saran-saran, petunjuk, informasi dan nasehat (informational support), serta dukungan dengan mendamping (companionship support) (Sarafino, 2006).

Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti di lapangan diketahui bahwa adanya social support yang diperoleh pada penyintas bencana alam Gunung Sinabung dalam bentuk instrumental or tangible support yaitu bantuan seperti makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup penyintas selama di pengungsian (Observasi, 15 November 2015).


(28)

Selain itu, peneliti juga melihat dalam bentuk lain yaitu companionship support seperti bantuan pendampingan, psikologis untuk anak-anak yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa psikologi yang bekerja sama dengan organisasi kemahasiswaan dan instansi dalam program “Heal Sinabung”. Bantuan-bantuan lainya juga diberikan terlihat dari pemerintah, instansi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), komunitas motor, organisasi mahasiswa dari universitas lain dan bantuan secara pribadi (Observasi, 13 Desember 2014).

Social support yang diterima dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana social support mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan stres. Stres yang tinggi dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang atau lama dapat memperburuk kondisi kesehatan dan menyebabkan penyakit. Tetapi social support yang diterima oleh individu yang sedang mengalami atau menghadapi stres akan membantu individu mempertahankan daya tahan tubuh dan meningkatkan kesehatannya (Baron & Byrne, 2000).

Social Support dapat memberikan arti bagi individu dalam mengatasi dampak dari bencana yang membuat penyintas menjadi merasa tidak berdaya, duka mendalam, depresi, gelisah, rasa bersalah, sulit mengontrol kemarahan dan sebagainya (Danieli, 1996). Individu yang mendapat social support merasa bahwa dirinya diperhatikan, dicintai dan dihargai sehingga dapat menjadi kekuatan bagi individu, menolong secara psikologis maupun secara fisik. Social support dapat melindungi individu dari macam-macam bentuk patologi (Taylor, 2009).


(29)

Baron & Bryne (2000) social support diyakini mampu memberikan dampak positif pada kesejahteraan fisik maupun kesejahteraan psikologis. Hal tersebut dibuktikan oleh penemuan Robinson dalam (Rubbyk, 2005) yang menunjukkan bahwa individu yang mendapat social support memiliki tingkat

psychological well-being yang tinggi.

Individu yang memiliki Psychological well-being yang tinggi adalah individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional yang positif, mampu melalui pengalaman-pengalaman yang buruk dapat menghasilkan kondisi emosional negatif, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas dan mampu mengembangkan dirinya sendiri (Ryff,1989).

Berdasarkan pemaparan diatas, seorang penyintas bencana alam Gunung Sinabung diperhadapkan dengan lingkungan yang baru yaitu tinggal di pengungsian. Tinggal di pengungsian menjadi tantangan hidup bagi penyintas karena mereka terpaksa harus meninggalkan harta benda mereka di kampung halaman akibatnya dapat membuat penyintas merasa stressful. Sebagai upaya untuk mengatasinya, penyintas membutuhkan bentuk dukungan dari orang lain dan penyintas dituntut untuk mampu merealisasikan dirinya dengan mengatasi setiap tantangan hidup dan memenuhi setiap kebutuhannya. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat social support dan psychological well-being pada penyintas bencana alam Gunung Sinabung.


(30)

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belaang diatas, maka terdapat masalah yang bisa dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk-bentuk social support yang diperoleh pada penyintas bencana alam gunung sinabung?

2. Bagaimana bentuk-bentuk social support yang dibutuhkan pada penyintas bencana alam gunung sinabung dan mengapa mereka membutuhkan social support tersebut?

3. Bagaimana psychological well-being pada penyintas bencana alam gunung sinabung?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk memahami dan mendeskripsikan mengenai social support dan psychological well-being pada penyintas bencana alam gunung sinabung melalui bentuk-bentuk social support seperti emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support dan

companionship support; dan dimensi psychological well-being seperti penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan perkembangan pribadi.


(31)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat teoritis dan praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan sumber informasi yang bermanfaat untuk pengembangan terhadap ilmu psikologi, khususnya dibidang psikologi sosial, berkenaan dengan social support dan

psychological well-being pada penyintas bencana alam gunung sinabung.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara lain :

a. Untuk penyintas bencana alam

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada penyintas bencana alam mengenai aspek-aspek psikologis yang dirasakan oleh penyintas sehingga dirinya mampu menyikapi setiap tantangan yang dihadapi secara positif serta dengan adanya social support ini diharapkan dapat mengurangi tekanan secara psikologis yang dirasakan sehingga meningkatkan harapan untuk hidup lebih baik.

b. Untuk keluarga dan masyarakat

a) Dapat menjadi sumber informasi mengenai aspek psikologis yang dirasakan oleh penyintas bencana alam sehingga keluarga mampu memberikan social support kepada penyintas bencana alam, untuk tetap merasakan kehidupan yang lebih baik


(32)

b) Dapat menjadi sumber informasi kepada masyarakat untuk mengetahui masalah yang dihadapi pada penyintas bencana alam, apa dampak secara fisik terutama psikologis yang dirasakan oleh penyintas, dan bagaimana social support yang harus diberikan dan mengetahui kenapa mereka membutuhkan social support tersebut. Sehingga, ketika ada anggota keluarga ataupun saudara yang mengalami bencana alam dapat mengetahui hal apa yang dilakukan pada penyintas tersebut.

c. Untuk Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah mengenai aspek-aspek psikologis yang dirasakan oleh penyintas dan masukan mengenai social support seperti apa yang harus segera diberikan untuk mengurangi tekanan psikologis pada penyintas bencana alam

E. Sistematika Penelitian

Sistematika penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini digambarkan latar belakang masalah berupa bencana alam gunung sinabung, aspek psikologis yang ditemukan pada penyintas, penjelasan mengenai social support, dan juga penjelasan mengenai


(33)

BAB II : LANDASAN TEORI

Pada bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori-teori yang berhubungan dengan bencana alam gunung sinabung, masalah yang dihadapi peyintas, social support, dan psychological well-being.

BAB III : METODE PENELITIAN

Pada bab ini berisikan subjek penelitian, informan penelitian dan lokasi penelitian. Selain itu juga teknik pengambilan sampel yang dipergunakan dalam penelitian dan metode pengambilan data.

BAB IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini menguraikan mengenai hasil analisa data dan pembahasan berisi pendeskripsian data partisipan, analisa data partisipan dan pembahasan yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini menjelaskan mengenai kesimpulan dan saran mengenai

social support dan psychological well-being pada penyintas bencana alam gunung sinabung. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan, dan saran berisikan saran-saran praktis sesuai dengan masalah-masalah penelitian serta saran-saran metodologi untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.


(34)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Social Support

1. Pengertian Social Support

Social support adalah salah satu istilah untuk menerangkan bagaimana hubungan sosial menyumbang manfaat bagi kesehatan mental atau kesehatan fisik pada individu. Baron dan Byrne (2000) mendefinisikan social support sebagai kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh teman-teman dan keluarga individu tersebut. Sama halnya Menurut Taylor (2009) mendefinisikan social support sebagai informasi yang diterima dari orang lain bahwa individu tersebut dicintai, diperthatikan, memiliki harga diri dan bernilai serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama yang berarti saling dibutuhkan yang didapat dari orang tua, suami, atau orang yang dicintai, keluarga, teman, hubungan sosial dan komunikasi.

Beberapa ahli juga memberikan definisi social support. Menurut Cobb (dalam Sarafino, 2006), social support adalah suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang dirasakan individu dari orang-orang atau kelompok-kelompok lain. Sedangkan Cohen dan Wills (dalam Bishop, 1997) mendefinisikan social support sebagai pertolongan dan dukungan yang diperoleh seseorang dari interaksinya dengan orang lain. Social support timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat orang-orang yang akan membantu apabila terjadi suatu keadaan atau peristiwa yang dipandang akan menimbulkan masalah dan bantuan


(35)

diri. Kondisi atau keadaan psikologis ini dapat mempengaruhi respon-respon dan perilaku individu sehingga berpengaruh terhadap kesejahteraan individu secara umum.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa social support adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diperoleh dan dirasakan seseorang dari hubungannya dengan orang lain. Bedasarkan pengertian dapat dilihat bahwa sumber social support berasal dari orang lain yang berinteraksi dengan individu sehingga individu dapat merasakan kenyamanan fisik dan psikologis. Orang lain yang maksud mencangkup pasangan hidup, orang tua, saudara, anak, kerabat, teman, rekan kerja, pihak medis, dan anggota kelompok masyarakat.

2. Bentuk-Bentuk Social Support

House (dalam Smet, 1994) membedakan social support ke dalam empat bentuk, yaitu :

a. Dukungan emosional : mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan

b. Dukungan penghargaan : terjadi melalui ungkapan penghargaan positif untuk orang tersebut, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu.

c. Dukungan instrumental : mencakup bantuan langsung, seperti memberikan bantuan berupa uang, barang, dan sebagainya.

d. Dukungan informatif : mencakup pemberian nasehat, petunjuk-petunjuk, saran ataupun umpan balik.


(36)

Wills & Fegan (dalam Sarafino, 2006) mengemukakan 4 bentuk-bentuk

social support, yaitu:

a) Emotional or esteem supporrt

Jenis dukungan ini melibatkan rasa empati, peduli terhadap seseorang sehingga memberikan perasaan nyaman, perhatian, dan penerimaan secara positif, dan memberikan semangat kepada orang yang dihadapi. Taylor (2009) berpendapat dengan menyediakan kenyamanan dan menjamin dengan mendalam perasaan dan sehingga seseorang yang menerima dukungan ini akan merasa dicintai dan dihargai.

b) Tangible or instrumental Support

Dukungan jenis ini meliputi bantuan yang diberikan secara langsung atau nyata, sebagaimana orang yang memberikan atau meminjamkan uang atau langsung menolong teman sekerjanya yang sedang mengalami stres. Menurut Taylor (2009), Tangible support ini termasuk berupa dukungan material, seperti pelayanan, bantuan finansial, atau benda-benda yang dibutuhkan. Dimatteo (1991), menyatakan tangible support sebagai bentuk-bentuk yang lebih nyata seperti meminjamkan uang, berbelanja, dan merawat anak.

c) Informational Support

Jenis dukungan ini adalah dengan memberikan nasehat, arahan, sugesti atau feedback mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu. Dukungan ini dapat dilakukan dengan memberi informasi yang dibutuhkan oleh seseorang. Adanya informasi akan membantu individu memahami situasi yang stressful lebih baik


(37)

mengatasinya. Menurut House (dalam Orford, 1992) menjelaskan bahwa dukungan informsi terdiri dari 2 bentuk, yaitu dukungan informasi yang berarti memberikan informasi atau mengajarkan sesuatu keterampilan yang berguna untuk mendapatkan pemecahan masah dan yang kedua adalah berupa dukungan penilaian (appraisal support) yang meliputi informasi yang membantu seseorang dalam melakukan penilaian atas kemampuan dirinya sendiri.

d) Companionship Support

Dukungan jenis ini merupakan kesediaan untuk meluangkan waktu dengan orang lain dengan memberikan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok orang yang tertarik untuk saling berbagi dan kegiatan sosial. Hal ini dapat mengurangi stres dengan terpenuhinya kebutuhan affiliation dan berhubungan dengan orang lain, dengan menolong seseorang yang terganggu dari kekhawatiran akan masalah yang ia miliki, atau memfasilitasi perasaan yang positif (Cohen dan Wills dalam Orford, 1992)

Berdasarkan bentuk-bentuk social support yang telah disampaikan oleh beberapa ahli di atas, maka yang akan digunakan adalah bentuk social support

menurut Sarafino (2006) yaitu, emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support dan companionship support.

3. Dampak Social Support

Seperti yang dikemukakan diatas, social support dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana social support dapat mempengaruhi kesehatan individu, salah satunya adalah kejadian dan efek dari stres. Lieberman (1992) mengemukakan bahwa


(38)

secara teori social support dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stres.

Selain itu, adanya social support yang diterima oleh individu yang sedang mengalami atau menghadapi stres maka hal ini akan dapat mempertahankan daya tahan tubuh dan meningkatkan kesehatan individu (Baron & Byrne, 2000). Kondisi ini dijelaskan oleh Sarafino (2006) bahwa berinteraksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu mengenai kejadian tersebut, dan ini akan mengurangi potensi munculnya stres baru atau stres yang berkepanjangan.

Sarafino (2006) dan Taylor (2009) mengemukakan dua teori untuk menjelaskan bagaimana social support mempengaruhi kesehatan, yaitu:

1. Buffering Hypotesis

Social support akan mempengaruhi kesehatan dengan berfungsi sebagai pelindung dari stres. Social support melindungi seseorang untuk melawan efek-efek negatif dari stres tinggi. Buffering effect bekerja dengan dua cara, yaitu: pertama saat seseorang bertemu dengan stresor yang kuat, dan yang kedua adalah social support dapat memodifikasi respon-respon seseorang sesudah munculnya stresor

2. Direct effect hypotesis

Individu dengan tingkat social support yang tinggi memiliki perasaan yang kuat bahwa individu tersebut dicintai dan dihargai. Individu dengan dukungan sosial tinggi merasa bahwa orang lain peduli dan membutuhkan


(39)

individu tersebut, sehingga hal ini dapat mengarahkan individu kepada gaya hidup yang sehat.

Teori ini sangat penting untuk dipahami oleh orang yang akan memberikan social support, karena tidak selamanya social support dapat memberikan keuntungan bagi kesehatan. Dalam Sarafino (2006) disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari social support, antara lain:

1. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara emosional sehingga tidak meperhatikan dukungan yang diberikan.

2. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu.

3. Sumber dukungan memberikan contoh yang buruk pada individu seperti melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.

4. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya.

Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa, hal ini terjadi karena satu hal, meskipun social support tersedia untuk seseorang namun ia tidak merasa bahwa itu adalah sebuah dukungan (Dunkle-Scheter, dkk, dalam Sarafino 2006).

Social support bukan sekedar tersedia bagi individu yang membutuhkan, tetapi yang terpenting adalah persepsi akan keberadaan (avalibility) dan ketepatan (adequency) dari dukungan (Cohen dan Wills, dalam Namora, 2009).


(40)

B. Psychological Well-Being

1. Pengertian Psychological well-being

Teori Psychological well-being dikembangkan oleh Ryff pada tahun 1989. Ryff (1989) merumuskan konsepsi psychological well-being yang merupakan integrasi dari teori-teori kesehatan mental, teori psikologis klinis dan llife-span development. Psychological well-being merupakan suatu dorongan untuk menyempurnakan dan merealisasikan potensi diri individu. Dorongan ini dapat menyebabkan seseorang individu pasrah terhadap keadaan sehingga memiliki

psychological well-being menjadi rendah atau berupaya untuk memperbaiki kehidupannya sehingga akan membuat psychological well being menjadi meningkat (Ryff & Keyes, 1995).

Individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi adalah individu yang mampu menerima dirinya sendiri baik kondisi emosional yang positif maupun pengalaman-pengalaman yang buruk yang dapat menghasilkan kondisi emosional negatif, menjalin hubungan yang positif dengan orang lain, mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mampu mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup dan selalu mengalami pertumbuhan sebagai seorang individu (Ryff, 1989).

Banyak sekali literatur-literatur dari para ahli yang merujuk pada pendefenisian positive psychological functioning. Misalnya teori dari Malow (1968) tentang konsep aktulaisasi diri, pandangan Roger (1961) tentang fully functioning person, formulasi teori jung (1933), Vonzfranz (1964) tentang


(41)

Menurut Ryff (1989) konsep-konsep mengenai positive psychological functioning dapat diintegrasikan menjadi sebuah model psychological well-being

yang multidimensional yang memiliki enam dimensi psikologis. Setiap dimensi

psychological well-being memiliki tantangan yang berbeda-beda dimana setiap individu harus berusaha untuk mengatasinya sehingga individu dapat berfungsi secara positif (Ryff, 1989; Ryff & Keyes, 1995; Keyes, Ryff, Shmotkin, 2002).

2. Dimensi Psychological Well-Being

Ryff (dalam Ryff & Singer, 2008) mengemukakan enam dimensi

psychological well-being, yakni :

a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance)

Kemampuan untuk mengenali diri sendiri dan berupaya untuk menerima setiap tindakan, motivasi, dan perasaannya merupakan ciri utama dari kesehatan mental sebagaimana yang diungkapkan oleh Jahoda. Penerimaan diri merupakan karakteristik dari seorang yang mencapai self-ectualization (Maslow), optimal functioning (Rogers), dan maturity (Allport). Menurut Erikson dan Neugarten, seseorang harus bisa menerima dirinya, termasuk masa lalu dirinya. Penerimaan diri bersifat jangka panjang, melibatkan kesadaran, dan berupa penerimaan akan kelebihan dan kekurangan seseorang (Ryff dan Singer, 2006).

Dimensi penerimaan diri menjelaskan tentang kemampuan individu untuk menilai dirinya secara positif (Ryff, 1989). Penerimaan diri dibangun dengan menilai jujur diri sendiri. Individu mampu mengakui dan menyadari kegagalan dan keterbatasan dirinya dan mampu menerima diri apa adanya. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi penerimaan diri akan memiliki sikap positif


(42)

terhadap dirinya, mengetahui dan menerima seluruh aspek dalam dirinya baik aspek positif maupun negatif, menanggapi masa lalu secara positif.

Sebaliknya, Individu yang memiliki skor rendah dalam dimensi penerimaan diri akan menunjukkan bahwa individu merasa tidak puas akan dirinya, kecewa akan masa lalu, meragukan kemampuannya, dan mengharapkan keadaan yang berbeda dengan keadaan dirinya pada kenyataan (Ryff dan Keyes, 1995).

b. Hubungan Positif dengan Orang lain (Positive Relations with Others). Dimensi hubungan positif dengan orang lain menjelaskan mengenai kemampuan untuk membangun hubungan yang menyenangkan, dekat, intim, dan penuh kasih sayang dengan orang lain (Ryff 1989). Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain merupakan sosok yang hangat, memiliki kepuasan, memiliki hubungan yang terpercaya dengan orang lain, peduli atas kesejahteraan orang lain, berempati yang kuat, peka dalam perasaan, keintiman, memahami dan memelihara hubungan dengan orang lain.

Sebaliknya, Individu yang memiliki skor rendah dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain merupakan sosok yang kurang akrab, cenderung tidak memiliki kepercayaan dalam menjalin hubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, terbuka, dan peduli terhadap orang lain. Individu merasa terisolasi dan frustasi Selain itu, individu juga cenderung tidak memiliki keinginan untuk membuat suatu komitmen dalam menjalin hubungan dengan orang lain (Ryff dan Keyes, 1995).


(43)

c. Otonomi (Autonomy)

Dimensi otonomi menekankan pada kemampuan individu untuk menentukan diri sendiri, mandiri, serta melakukan evaluasi atas dirinya berdasarkan standar pribadinya (Ryff, 1989). Individu dengan skor tinggi pada dimensi otonomi akan mampu untuk menentukan arah hidupnya sendiri, bersikap mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, mengelola setiap perilakunya, dan mengevaluasi dirinya berdasarkan standar pribadi

Sebaliknya, skor rendah pada dimensi otonomi menunjukkan individu cenderung berfokus pada harapan dan evaluasi dari orang lain. Individu juga bergantung kepada penilaian orang lain ketika membuat suatu keputusan sehingga membuat individu mudah dipengaruhi oleh tekanan sosial ketika bertindak dan berpikir (Ryff dan Keyes, 1995).

d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Dimensi penguasaan lingkungan menekankan pada kemampuan untuk menguasai lingkungan di sekitarnya serta mampu menciptakan dan memperoleh lingkungan yang menguntungkan dirinya (Ryff, 1989). Individu dengan skor tinggi pada dimensi penguasaan lingkungan menunjukkan bahwa individu memiliki keyakinan untuk menguasai dan mampu mengelola lingkungannya, menggunakan kesempatan dengan efektif, dan mampu memilih dan menciptakan konteks yang sesuai dengan nilai dan kebutuhan dirinya.


(44)

Sebaliknya, skor yang rendah pada dimensi penguasaan lingkungan akan menunjukkan bahwa individu akan mengalami kesulitan dalam mengelola kegiatan sehari-harinya, merasa tidak mampu untuk mengubah dan memperbaiki lingkungannya, tidak menyadari adanya kesempatan, dan kurang mampu mengendalikan lingkungan luar (Ryff dan Keyes, 1995).

e. Tujuan Hidup (Purpose in life).

Dimensi tujuan hidup menjelaskan tentang seseorang yang berfungsi secara positif akan memiliki tujuan dan arahan dimana semuanya itu akan memunculkan perasaan akan makna hidup (Ryff, 1989). Individu dengan skor tinggi pada dimensi tujuan hidup menunjukkan bahwa individu memiliki tujuan yang jelas dan hidup lebih terarah, memegang pada keyakinan bahwa individu tersebut mampu mencapai tujuan hidupnya dan memiliki target yang hendak dicapai dalam kehidupannya.

Sebaliknya, skor yang rendah pada dimensi tujuan hidup memiliki makna hidup yang tidak baik, kurang target, kurang memiliki arahan hidup, tidak memiliki tujuan di masa lalu, dan tidak memiliki keyakinan bahwa hidup ini berarti (Ryff dan Keyes, 1995).

f. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

Dimensi pertumbuhan personal menjelaskan tentang keberlanjutan dari pertumbuhan dan perkembangan, serta individu menyadari potensi dirinya untuk dikembangkan menjadi suatu hal yang baru (Ryff, 1989). Individu dengan skor tinggi pada dimensi pertumbuhan pribadi menunjukkan bahwa individu memiliki


(45)

tumbuh, berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, merealisasikan potensi diri, melihat perubahan yang positif dalam diri dan perilakunya sepanjang waktu, serta berubah dalam cara merefleksikan diri menjadi lebih mengenali diri dan efektif.

Sebaliknya, skor yang rendah pada dimensi pertumbuhan pribadi menunjukkan stagnasi pada individu, kurang mampu untuk melihat perkembangan sepanjang waktu, merasa bosan, kurang tertarik atas hidupnya, dan merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru (Ryff dan Keyes, 1995).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being pada diri individu yaitu :

A. Faktor Demografis

Ryff & Singer (1996) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor demografis yang mempengaruhi psychological well-being antara lain sebagai berikut :

1. Usia

Beberapa dimensi psychological well-being berubah signifikan seiring bertambahnya usia dan beberapa dimensi lainnya akan tetap stabil. Ryff & Singer (1996) membedakan usia partisipan menjadi tiga kelompok yaitu dewasa muda, dewasa madya dan dewasa akhir. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan otonomi menunjukkan pola peningkatan seiring bertambahnya usia, terutama pada dewasa muda hingga dewasa tengah.


(46)

Sebaliknya, pada dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi memperlihatkan pola penurunan seiring bertambahnya usia, terutama pada dewasa madya hingga dewasa akhir. Dimensi lainnya seperti hubungan positif dengan orang lain dan penerimaan diri ditemukan tidak ada perbedaan signifikan selama usia dewasa muda hingga dewasa akhir.

2. Jenis Kelamin

Ryff & Singer (1996) menemukan bahwa dibandingkan dengan pria, wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Sedangkan pada dimensi yang lainnya tidak menunjukkan adanya perbedaan antara wanita dan pria. Wanita lebih sering berhubungan dengan peristiwa atau kegiatan kemasyarakatan sedangkan pria cenderung lebih berfokus pada lingkungan profesi.

3. Status Sosial Ekonomi

Ryff & Singer (1996) menyatakan bahwa status sosial ekonomi mencakup pendidikan, penghasilan dan pekerjaan. Ryff (2001) menyatakan terdapat hubungan antara sosial ekonomi dan beberapa dimensi psychological well-being seperti dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001) juga menambahkan individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cendeurng membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status ekonomi yang lebih baik dari dirinya.


(47)

Hubungan sosial ekonomi terhadap psychological well-being juga dibuktikan oleh hasil penelitian longitudinal Wisconsin (dalam Ryff & Singer 1996) yang menunjukkan psychological well-being lebih tinggi pada individu yang memiliki pendidikan yang tinggi, terutama pada dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi. Selain itu, individu yang memiliki penghasilan dan jabatan yang tinggi menunjukkan psychological well-being yang lebih baik. Individu yang berada pada kelas sosial bawah bukan hanya menunjukkan rendahnya

psychological well-being tetapi juga mengalami kesehatan yang buruk (Marmots dkk dalam Ryff & Singer 1996).

4. Budaya

Ryff & Singer (1996) menyatakan bahwa sistem nilai yang dianut oleh suatu masyarakat baik itu individualisme maupun kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being. Budaya barat yang menganut budaya individualisme lebih berorientasi kepada self seperti dimensi penerimaan diri atau otonomi. Sedangkan, budaya timur yang menganut budaya kolektivisme lebih berorientasi pada hubungan dengan orang lain seperti dimensi hubungan positif dengan orang lain.

Untuk membuktikan adanya hubungan antara budaya dengan

psychological well-being, Ryff dkk dalam (Ryff & Singer,1996) melakukan sebuah penelitian dengan partisipan orang Amerika dan Korea Selatan. Penelitian tersebut menunjukkan orang Amerika cenderung mampu melihat kualitas positif dalam diri mereka dibandingkan dengan orang korea. Partisipan korea selatan menilai diri tinggi pada hubungan positif dengan orang lain dan rendah pada


(48)

penerimaan diri dan pertumbuhan pribadi. Partisipan Amerika cenderung menilai diri tinggi pada pertumbuhan pribadi terutama pada wanita, dan berbeda dari dugaan semula bahwa ternyata wanita Amerika menilai diri rendah otonomi.

B. Dukungan Sosial

Menurut Baron & Bryne (2000) dukungan sosial diyakini mampu memberikan dampak positif pada kesejahteraan fisik maupun kesejahteraan psikologis. Hal tersebut dibuktikan oleh penemuan Robinson dalam (Rubbyk,2005) yang menunjukkan bahwa individu yang mendapat dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi. Dukungan sosial diartikan sebagai informasi dari orang lain bahwa individu dicintai dan diperhatikan, berharga dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kebersamaan, baik itu dari orangtua, pasangan atau kekasih, kerabat lainnya, teman, maupun kontak komunitas seperti keagamaan dan klub (Taylor, 1999).

C. Evaluasi terhadap pengalaman hidup.

Pengalaman hidup tertentu mampu mempengaruhi kondisi psychological well-being individu (Ryff, 1989). Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ryff & Essex (1992) mengenai pengaruh interpretasi dan evaluasi inidvidu terhadap pengalaman hidup terutama pada kesehatan mental. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa evaluasi terhadap diri berpengaruh pada psychological well-being individu, terutama pada dimensi penguasaan lingkungan dan hubungan positif dengan orang lain.


(49)

C. Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung 1. Pengertian Penyintas

Istilah “penyintas” muncul pertama kali pada tahun 2005. Kemunculannya

bukan dari kalangan ahli sastra ataupun ahli linguistik. Kata ini muncul dari para pegiat alias aktivis LSM dalam konteks bencana. Para pegiat ini memerlukan kata

yang lebih pendek untuk menerjemahkan kata “survivor”. Mereka paling tidak

harus menggunakan tiga patah kata, yakni: “korban yang selamat” (Juneman, 2010). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), disebutkan bahwa penyintas berasal dari kata “sintas” yang mempunyai makna “terus bertahan

hidup” atau “mampu mempertahankan keberadaannya”. Kemudian dalam

pemakaiannya diberikan awalan “pe-“, sehingga menjadi penyintas.

Istilah penyintas sama artinya dengan istilah survivor, berarti orang yang selamat dari peristiwa yang mengancam nyawanya (Yayasan Pulih, 2005). Penyintas diartikan sebagai terus bertahan hidup artinya orang yang selamat dari suatu peristiwa yang mungkin dapat membuat nyawa melayang atau sangat berbahaya. Padanan kata survivor dalam Bahasa Indonesia (KBBI, 2007).

2. Pengertian Bencana Alam

Bencana menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 pasal 1 Tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (BNPB, 2007)


(50)

Dalam buku Methods for Disaster Mental Health Research, bencana didefinisikan sebagai peristiwa yang berpotensi menimbulkan kejadian-kejadian traumatik yang dialami secara kolektif, terjadi secara akut, dan tidak terbatas waktu; bencana mungkin dapat disebabkan faktor alam, teknologi, atau yang disebabkan oleh manusia (Norris, Galea, Friedman, & Watson, 2006).

Carter (1992) membagi penyebab bencana menjadi dua, yaitu ’ancaman

tradisional’ seperti gejala‐gejala alami termasuk gempa bumi, angin topan, letusan gunung api, tsunami, kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, dan kekeringan.

Sementara itu timbul pula ’ancaman baru’ seperti kekerasan sosial, serangan

terror, kerusuhan sosial dan sebagainya. Dalam kategori ini juga didapati ancaman dari penyimpanan, transportasi, pemrosesan dan pembuangan limbah bahan‐bahan berbahaya (hazardous materials), ancaman nuklir baik dalam konteks penggunaan untuk tujuan damai maupun peperangan.

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, gempa, kekeringan, angin topan dan tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror (BNPB, 2007).


(51)

3. Bencana Alam Gunung Sinabung

Gunung Sinabung merupakan gunung berapi di Sumatera Utara yang mempunyai ketinggian 2.640 meter diatas permukaan laut yang berada pada koordinat 30 10 menit LU dan 980 23 menit BT. Letaknya cukup dekat dengan kota Berastagi dan Kabanjahe dan terdapat banyak desa di lerengnya. Satu-satunya Gunung di Sumatera Utara yang berkakikan danau (Widiastuti,R, 2008)

Pada tahun 1600 Gunung Sinabung meletus pertama dan pada tanggal 28 Agustus 2010. Gunung Sinabung meletus lagi pada tanggal 29 Agustus 2010, sekitar pukul 00.08 WIB. Asap dan debu membumbung sampai ketinggian 1.500 meter dari bibir kawah. Tindakan evakuasi segera dilakukan. 12.000 warga yang tinggal di sekitar gunung diungsikan. Berikut hasil pantauan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi yaitu aktivitas tanggal 28 Agustus 2010 pada pukul 08.00-16.00 WIB, secara visual terpantau asap putih tipis, ketinggian sekitar 20 meter dengan tekanan lemah hingga sedang. Pada pukul 16.00 - 19.00 WIB, Gunung Sinabung tertutup kabut dan pada pukul Pukul 19.00 - 24.00 WIB, tidak terpantau adanya asap dari kawah aktif. Dengan demikian Gunung Sinabung tidak menunjukkan adanya tanda-tanda peningkatan kegiatan.

Aktivitas yang terjadi pada tanggal 29 Agustus 2010 adalah pukul 00.08 WIB, terdengar suara gemuruh. Dengan aktivitas tersebut maka Gunung Sinabung diubah tipenya dari tipe B menjadi tipe A dan statusnya dinyatakan AWAS terhitung pukul 00.10 WIB tanggal 29 Agustus 2010, pada Pukul 00.10 WIB berkoordinasi dengan tim di lapangan, diputuskan dilakukan pengungsian masyarakat yang bermukim dan beraktivitas pada radius 6 km dari kawah aktif


(52)

dan pada Pukul 00.12 WIB, tampak asap letusan dengan ketinggian 1500 meter dari bibir kawah. Pada saat ini sejumlah warga yang masih bertahan karena menjaga rumahnya di zona bahaya pun akhirnya ikut mengungsi. karena hutan di sekeliling desa mereka sudah rata dihujani debu vulkannik. Kumpulan debu vulkanik keluar lagi dari kawah Gunung Sinabung, pukul 06.27 WIB, pada hari Senin, 30 Agustus 2010, Gunung yang semula tenang tiba-tiba saja kembali memuntahkan letusannya. Walaupun tidak disertai lava namun terlihat munculnya debu vulkanik disertai gemuruh dan getaran hebat (Wikipedia B, 2010).

4. Dampak Bencana Alam Gunung Sinabung

Dampak umum bencana baik nature dan manmade dari bencana meliputi kehilangan jiwa, luka-luka, kerusakan infrastruktur, kerusakan kehidupan dan hasil panen, gangguan produksi, gangguan kehidupan sehari-hari, kehilangan keluarga, gangguan dalam pelayanan umum, kerusakan infrastruktur secara nasional dan gangguan dalam sistem pemerintahan, penurunan ekonomi nasional, dampak sosiologis dan psikologis setelah bencana terjadi (Carter, 1991).

Adapun dampak bencana terhadap kesehatan yaitu terjadinya krisis kesehatan, yang menimbulkan : (1) Korban massal; bencana yang terjadi dapat mengakibatkan korban meninggal dunia, patah tulang, luka-luka, trauma dan kecacatan dalam jumlah besar. (2) Pengungsian; pengungsian ini dapat terjadi sebagai akibat dari rusaknya rumah-rumah mereka atau adanya bahaya yang dapat terjadi jika tetap berada dilokasi kejadian. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat resiko dari suatu wilayah atau daerah dimana terjadinya bencana (Depkes RI, 2008)


(53)

Menurut American Psychological Association (2006), setiap individu mengalami reaksi yang berbeda-beda dalam merespon dampak bencana. Faktor-faktornya adalah: (1) Tingkat intensitas kehilangan, semakin banyak kehilangan, akan menimbulkan reaksi yang lebih hebat, (2) Kemampuan individu secara umum untuk menghadapi situasi emosional, (3) Peristiwa lain yang menimbulkan stress mengikuti peristiwa traumatic yang baru dialaminya.

Young, Ford & Watson (2005), hal yang dialami orang dewasa yang bertahan dalam bencana, akan mengalami reaksi stress yaitu: (1) Reaksi emosi ( shock, ketakutan, kemarahan, grief, penolakan, rasa bersalah, tidak berdaya, merasa tidak punya harapan dan mati rasa), (2) Kognitif (binggung,disorientasi, tidak bisa memutuskan, kawatir, kurangnya perhatian, sulit berkonsentrasi, hilangnya ingatan, gangguan memori dan menyalahkan diri sendiri), (3) Reaksi fisik (tegang, capai, kesulian tidur, rasa sakit pada tubuh, mudah terganggu, detak jantung lebih cepat, mual) (4) Reaksi interpersonal (ketidak percayaan, merasa terganggu, menarik diri, diabaikan).

Bencana dapat menyebabkan dampak psikologis, yang meliputi shock, stress, cemas, takut, khawatir dan ganguan-ganguan yang berkaitan dengan gejala-gejala psikologis lainnya. Dari kumpulan gejala-gejala-gejala-gejala tersebut dapat dikategorikan dalam posttraumatic stress disorder (Salzer & Bickman, 2005).

Bencana alam yang terjadi akan memunculkan dampak positif dan dampak negatif bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Salah satu contoh dari dampak positifnya adalah tanah di sekitar daerah tersebut subur setelah berapa tahun meletus gunung tersebut. Dengan tanah yang menjadi subur maka sekitar daerah


(54)

Gunung Sinabung terdapat banyak pohon tinggi yang dapat menjadi tempat penampungan air, sehingga daerah sekitarnya tidak kekurangan air. Kondisi udara yang sejuk juga menjadi dampak positif dari keberadaan Gunung Sinabung. Sementara dampak negatifnya adalah berjatuhan korban yang terkena lava panas, dan dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit karena terhirup butiran abu vulkanik.

Dari banyaknya pengamatan akan bencana, maka dapat ditemukan karakteristik dari bencana itu sendiri sebagai berikut (Royan, 2004):

1. Terdapat kerusakan pada pola kehidupan normal. Kerusakan tersebut biasanya terlihat cukup parah, sebagai akibat dari kejadian yang mendadak dan tidak terduga serta luasnya cakupan akan dampak dari bencana.

2. Dampak dari bencana merugikan manusia, baik bersifat langsung maupun tidak. Biasanya dapat berupa kematian, kesengsaraan, maupun akibat negatif lainnya yang berdampak pada kesehatan masyarakat.

3. Merugikan struktur sosial, seperti kerusakan pada sistem pemerintahan, bagunan, komunikasi, dan berbagai sarana dan prasarana pelayanan umum lainnya.

Adanya pengungsian yang membutuhkan tempat tinggal atau penampungan, makanan, pakaian, bantuan kesehatan, dan pelayanan sosial, yang terkadang tidak mencukupi atau kurang terkoordinasi.


(55)

D. Social Support dan Psychological Well-Being Pada Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung

Bencana alam dapat diakibatkan oleh serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, berupa gempa bumi, tsunami, kekeringan, angin topan, tanah longsor, dan gunung meletus. Indonesia yang memiliki sejarah bencana dan potensi bencana dimasa mendatang dikarenakan berbagai faktor, seperti letak, kontur dan dinamika penduduknya. Indonesia memiliki gunung berapi dengan jumlah kurang lebih 240 buah, dengan 130 buah di antaranya masih aktif. Salah satu gunung berapi yang aktif berada di Kabupaten Karo yaitu Gunung Sinabung

Bencana alam gunung sinabung yang terjadi akan memunculkan dampak positif maupun dampak negatif bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Salah satu contoh dari dampak positif yaitu akan menyuburkan tanah yang terkena erupsi Gunung Sinabung pada jangka waktu panjang sehingga tanah yang menjadi subur di sekitar daerah Gunung Sinabung akan tumbuh pohon-pohon yang dapat menjadi tempat penampungan air, sehingga daerah sekitarnya juga tidak kekurangan air. Kondisi udara yang sejuk juga menjadi dampak positif dari keberadaan Gunung Sinabung.

Sementara dampak negatif adalah adanya korban yang terkena lava panas saat erupsi terjadi, menimbulkan berbagai penyakit, kerusakan infrastruktur jalan dan irigasi, kerusakan lahan pertanian dan perkebunan, penurunan terjadi pada perkembangbiakan ternak, penurunan terjadi pada kunjungan wisata, penurunan ekonomi, dan berdampak psikologis setelah bencana terjadi.


(56)

Keadaan ini dirasakan langsung oleh penyintas bencana alam Gunung Sinabung khususnya penyintas yang tinggal di pengungsian. Penyintas adalah orang yang selamat dari suatu peristiwa yang kemungkinan dapat mengancam nyawa melayang atau sangat berbahaya. Penyintas yang berada di pengungsian Gunung Sinabung adalah penyintas yang tinggal di desa yang dinyatakan zona merah atau tidak aman untuk ditempati, penyintas yang tinggal di pengungsian terdiri dari dua penyintas, pertama penyintas adalah orang-orang yang akan di relokasi ke desa yang baru yaitu siosar. Hal ini karena tempat tinggal mereka sudah tidak dapat ditempati kembali dan mengancam nyawanya, dan kedua penyintas adalah orang-orang yang tidak di relokasi artinya mereka dapat pulang ke rumah mereka kembali. Hal ini karena desa tempat mereka tinggal masih layak untuk ditempati.

Selama tinggal di pengungsian, terbatasnya sumber-sumber personal material, dan sosial banyak dikaitkan dengan rendahnya fungsi dan penyesuaian psikologis individu pasca-bencana berupa kemampuan individu dalam melakukan penyesuian diri karena berkaitan dengan perubahan kehidupan personal, interpersonal, sosial, dan ekonomi pasca-bencana. Oleh karena itu, pentingnya

social support terhadap pemulihan pada penyintas bencana alam.

Bentuk-bentuk social support yang tepat diberikan kepada penyintas bencana alam dengan berbagai permasalahan, baik fisik maupun psikologis, menjadi suatu pertanyaan yang perlu diketahui sehingga dapat menghasilkan kemampuan untuk dapat bertahan, bangkit dari keterpurukan tersebut. Tidak


(57)

mempengaruhi apakah individu menerima atau tidak menerima dukungan seperti ketersediaan sarana pendukung di pengungsian.

Bentuk social support yang diperoleh dan dibutuhkan oleh individu tergantung pada keadaan tertekan yang dihadapi.. Bentuk social support seperti

emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support dan companionship support memiliki peran yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan yang tiap individu. Social support diperoleh dari teman-teman dan keluarga atau instansi lainnya. Social support tersebut bertujuan untuk memperkecil pengaruh tekanan-tekanan atau stress yang dialami individu yang merasakan dampak akibat erupsi Gunung Sinabung.

Pemberian social support yang sesuai dengan kebutuhan setiap penyintas akan memberikan manfaat bagi mereka. Social Support yang diperoleh sesuai dengan yang dibutuhkan diharapkan dapat mengurangi tekanan secara psikologis yang dialami oleh penyintas. Social support yang diperoleh akan membantu penyintas dalam menghadapi setiap tantangan dalam hidupnya. Hal ini akan mempengaruhi psychological well-being pada penyintas bencana alam Gunung Sinabung. Psychological well-being merupakan perasaan yang mengarahkan seseorang bertindak dan kemampuan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya.

Seorang penyintas dituntut untuk mampu beradaptasi dengan situasi pasca-bencana alam Gunung Sinabung dan mampu menghadapi dampak negatif yang dirasakan pada kehidupan meraka saat ini. Seseorang yang mampu beradaptasi dan menghadapi situasi ini adalah mereka yang mengalami pertumbuhan dan


(58)

mampu memenuhi kebutuhannya. Kemampuan beraptasi dan menghadapi kondisi ini merupakan kunci penting penentu psychological well-being, yakni perasaan yang mengarahkan seseorang bertindak dan kemampuan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Psychological well-being berfokus pada perkembangan manusia dan eksistensi seseorang dalam menghadapi tantangan hidup. Setelah mengalami bencana alam, banyak tantangan hidup yang harus dihadapi dan akan mempengaruhi psychological well-being pada penyintas bencana alam Gunung Sinabungseperti penerimaan diri, memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, mempunyai tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Social support dan Psychological well-being ini akan menunjukkan gambaran yang kompleks mengenai penyintas bencana alam Gunung Sinabung.


(1)

Wikipedia,B (10 September 2014). Gunung sinabung. Diunduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Sinabung. Tanggal akses : 6 Desember 2014.

Wiryasaputra, T. S. (April 2006). Pelayanan Psikologis Paska Bencana Traumatik (PPBT). Diunduh dari http://bencana-jembeP.Blogspot.com/ 2006/ 01/ pelayanan- psikologis- paska-bencana.Html. Tanggal akses: 10 November 2014.

Whybark, D.C. (2007). ‘Issues in managing disaster relief inventories’, International Journal of Production Economics, Vol. 108, Nos. 1–2, pp.228–235.

Yayasan Pulih & JICA. (2006). Bersama Meraih Asa. Pusat Krisis Psikologi: Universitas Indonesia.

Young, B.H., Ford, J.D. & Watson, P.J. (2005). Survivor of human caused and natural disaster. Diunduh dari http://apahelpcentre.org/article. Tanggal akses: 10 November 2014


(2)

(3)

Lampiran 1

PEDOMAN WAWANCARA

A. Latar belakang kehidupan partisipan

1. Data pribadi partisipan mengenai nama, usia, tempat kelahiran, latar belakang pendidikan dan pekerjaan, latar belakang tempat tinggal.

2. Data mengenai status sudah menikah atau belum (jika sudah, Data mengenai suami seperti nama dan latar belakang pekerjaan)

3. Data anak-anak mengenai jumlah anak, latar belakang pekerjaan atau pendidikan anak.

4. Kegiatan sehari-hari partisipan selama tinggal di pengungsian

5. Pengalaman yang dialami oleh partisipan saat bencana alam gunung sinabung terjadi

6. Dampak yang terjadi dalam hidup partisipan pasca-erupsi gunung sinabung

7. Perasaan yang dirasakan oleh partisipan pasca bencana alam B. Emotional or esteem support

8. Perkataan yang dikatakan orang saat menemui partisipan setelah bencana menimpahnya dan keluarga.

9. Bentuk ungkapan atau kepedulian yang partisipan butuhkan untuk mengurangi beban yang dirasakan saat ini.

10.Mengapa bantuan tersebut dibutuhkan oleh partisipan 11.Perasaan partisipan ketika orang memperdulikannya. C. Tangible or Instumental support

12.Bantuan yang diperoleh partisipan secara langsung

13.Bentuk bantuan yang dibutuhkan partisipan secara langsung 14.Mengapa bantuan tersebut dibutuhkan oleh partisipan

15.Perasaan partisipan ketika orang memberikan dukungan secara langsung tersebut.


(4)

D. Informational support

16.Bentuk bantuan infomasi yang diperoleh partisipan dari orang lain.

17.Bentuk nasehat, arahan atau petunjuk yang dibutuhkan partisipan dari orang lain

18.Mengapa bantuan tersebut dibutuhkan oleh partisipan.

19.Perasaan partisipan ketika orang memberikan dukungan informasi tersebut E. Companionship support

20.Bentuk bantuan yang diperoleh dari kelompok atau dukungan melalui kegiatan sosial yang diberikan kepada partisipan.

21.Bentuk bantuan yang dibutuhkan oleh partisipan dari orang lain melalui kegiatan sosial selama tinggal di pengungsian .

22.Mengapa bantuan tersebut dibutuhkan oleh partisipan.

23.Perasaan partisipan ketika orang lain meluangkan waktunya untuk berbagi cerita.

F. Penerimaan Diri (Self-Acceptance)

24.Perubahan yang terjadi pada diri partisipan setelah adanya social support. 25.Penilaian partisipan mengenai kekurangan atau kelebihan yang dimiliki. G. Hubungan yang positif dengan orang lain (Positive Relations with Others)

26.Pendapat partisipan mengenai social support yang diberikan orang lain kepadanya.

27.Hubungan partisipan dengan orang lain setelah bencana alam terjadi dan setelah adanya social support yang diperoleh.

H. Otonomi (Autonomy)

28.Kemampuan untuk berusaha sendiri setelah adanya social support yang diperoleh partisipan.

29.Cara partisipan untuk berusaha sendiri melangsungkan hidup yang lebih baik dari sebelumnya.

30.Keyakinan yang dimiliki oleh partisipan untuk hidup lebih baik setelah bencana alam terjadi.


(5)

32.Jika orang lain memberikan penilaian yang negatif, tanggapan apa yang dilakukan oleh partisipan.

I. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

33.Tindakan yang akan dilakukan partisipan apabila lingkungan sekitar tidak sesuai dengan keinginan atau harapan.

34.Cara partisipan dalam mengatasi masalah yang terjadi di sekitarnya. 35.Cara partisipan dalam mengelolah lingkungan sekitar menjadi lebih baik. J. Tujuan Hidup (Purpose in life)

36.Menceritakan harapan-harapan yang dimiliki oleh partisipan untuk kelangsungan hidup partisipan setelah bencana alam terjadi.

37.Rencana yang akan dilakukan partisipan setelah bencana alam. 38.Cara partispan untuk mencapai rencana yang sudah dibuat.

K. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

39.Keinginan partisipan untuk mempunyai pekerjaan lain selain bertani 40.Cara partisipan untuk meningkatkan potensi dirinya.


(6)

Lampiran 2

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin Oleh Partisipan

Judul penelitian : Social Support dan Psychological Well-Being Pada Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung

Peneliti : Anggita Windy Marpaung

NIM : 101301103

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai partisipan dalam penelitian mengenai Social Support dan Psychological Well-Being Pada Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaanya oleh peneliti dan hanya akan digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Kabanjahe, Februari 2015