Dinamika Psychological Well-Being Pada Narapidana

(1)

DINAMIKA PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

PADA NARAPIDANA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

FIFI YUDIANTO

071301069

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2010/2011


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Dinamika Psychological Well-Being Pada Narapidana

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi mana pun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juli 2011

FIFI YUDIANTO 071301069


(3)

Dinamika Psychological Well-Being Pada Narapidana Fifi Yudianto dan Juliana I. Saragih

ABSTRAK

Masuknya seorang pelanggar hukum ke dalam dinding penjara merupakan suatu perubahan hidup yang dramatis. Narapidana akan mengalami suatu moment kritis yang sulit untuk dijalani. Perubahan hidup dari seorang manusia yang hidup bebas menjadi manusia yang terkekang dan terbelenggu kebebasannya. Dalam diri narapidana sendiri, akan muncul rasa kesepian, kehilangan dan terjadinya konflik-konflik dalam batin. Keluarga, masyarakat, dan juga para petugas Lembaga Permasyarakatan memunculkan ketakutan tersendiri bagi narapidana. Secara umum, dampak kehidupan di penjara dapat merusak kondisi psikologis seseorang.

Masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan seorang narapidana dapat menimbulkan ketidaknyamanan secara fisik dan psikologis yang akhirnya berdampak pada kondisi psychological well-being. Psychological well-being (PWB) merupakan kondisi individu yang ditandai dengan perasaan bahagia, adanya kepuasan hidup dan realisasi diri. Bagi narapidana, PWB merupakan kondisi yang penting agar bisa tetap menjalani kehidupannya dengan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki. Adapun dimensi dari PWB yaitu: penerimaan diri, pertumbuhan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, otonomi dan hubungan positif dengan orang lain.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana dinamika PWB pada narapidana yang berada di dalam LP. Melalui dimensi PWB yang dikemukakan oleh Ryff, peneliti berharap bisa mendapatkan gambaran PWB yang komprehensif.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jumlah responden sebanyak 3 orang. Prosedur pengambilan responden penelitian dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan snowball sampling. Penelitian dilakukan di wilayah Sibolga, tepatnya LP Kelas IIA Sibolga. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara dengan pedoman umum dan mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, gambaran PWB pada saat memasuki LP berbeda dengan PWB pada kurun waktu ±1 tahun setelah menjalani hidup di LP. Salah seorang responden memiliki gambaran PWB yang baik, dimana ia mampu menjalani kehidupannya dengan lebih positif dibandingkan dengan kedua responden lainnya. Kedua responden lainnya mengalami masalah dalam dimensi pertumbuhan diri, tujuan hidup dan otonomi. Kata Kunci: Narapidana, Psychological well-being


(4)

Dynamic of Psychological Well-Being in Inmate Fifi Yudianto and Juliana I. Saragih

ABSTRACT

The enter of an offenders to prison can be seen as a dramatic life change. A critical and difficult moment will occur during imprisonment. Inmate will alter from a free man to fetter who experience lack of liberty. Family, community, even prison staff rise a fear in inmates. In general, life in prison could harm psychological condition in person.

Problems occured in their life may caused physical and psychological distress and lead to affect psychological well-being (PWB). PWB is a condition which indicate with excited feeling, life-satisfaction dan self-realization. The importance of PWB in inmates so they can run their life by develop their self potentials. Dimensions of PWB are self-acceptance, personal growth, purpose of life, environmental mastery, autonomy and positive relations with other.

This study aims to describe how PWB in inmates during their incarceration. By means of dimension of psychological well-being proposed by Ryff, researcher hope to obtain a comprehensive description of psychological well-being.

This study uses a qualitative method and by 3 subjects. The procedure of selecting subjects in this research is accomplished based on snowball sampling. This study located in Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Sibolga. Meanwhile, the data collection method used is depth interview and open interview.

Result of this study shows that the dynamic of PWB when inmates first entered the prison is different after ±1 year during incarceration. One of the respondents have a good PWB, where he can running his life positively compared with two others. Two respondents having a problem in their personal growth, purpose of life and autonomy.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan berkat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dengan judul “Dinamika

Psychological Well-Being pada Narapidana” dengan baik. Segala syukur dan

pujian yang tertinggi penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat doa Bunda Maria dan perantaraan Roh Kudus, penulis dapat menjalani tahap demi tahap penyelesaian skripsi ini dengan penuh pembelajaran dan suka cita.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah berupaya dengan segala kemampuan pembahasan dan penyajian, baik dengandisiplin ilmu yang diperoleh dari perkuliahan, menggunakan literatur serta bimbingan dan arahan dari Dosen Pembimbing.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis juga mendapat banyak bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orangtua tercinta, Ayahanda (Alm) Yos Yudianto dan Ibunda Anisia Hui yang tidak henti-hentinya berdoa dan bersabar hingga skripsi ini rampung, saudara/saudari tersayang (Jimmy, Nancy, Maria) serta abang dan kakak ipar (Liansen, Krisna), yang selalu memberikan suntikan semangat yang tak pernah pudar pada penulis, kedua keponakan penulis (Adelaine dan Maureell) di rumah yang selalu menghibur dan menemani penulis, membantu penulis untuk tertawa ketika mengalami saat-saat yang berat.

2. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU, beserta Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Psikologi USU.

3. Kak Juliana Irmayanti Saragih, M. Psi., psikolog, selaku dosen pembimbing penulis. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan atas segala do’a, dukungan, masukan, kritikan, perhatian, energi, waktu serta motivasi yang telah Kakak berikan; atas referensi buku dan bahan lainnya yang telah dipinjamkan, bimbingan dan dukungan moril. Semua kebaikan dan kesabaran


(6)

Kakak dalam membimbing penulis tidak akan mampu penulis balas dengan apapun dan akan penulis kenang selalu. Makasih ya, Kak.

4. Staf pengajar Fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmu, wawasan dan pengetahuan yang sangat berharga kepada penulis dan seluruh staf administrasi yang bersedia membantu penulis dalam pengurusan administrasi dan menyediakan segala keperluan selama perkuliahan, khususnya dalam penelitian ini.

5. Bapak Sugeng Sukarja, SH., selaku Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Sibolga. Terima kasih atas izin, fasilitas serta bimbingan dan saran yang diberikan selama melakukan penelitian.

6. Ketiga responden penulis, Bang Awan, Bang Na’O dan Bang Edo. Terima kasih karena abang bersedia membuka diri dan bercerita banyak hal kepada penulis serta atas dukungan dan wejangan-wejangan yang abang berikan kepada penulis. Semoga sekeluarnya abang dari LP, dapat menjadi pribadi baru yang lebih baik lagi, terutama bagi orangtua maupun masyarakat.

7. Semua staf petugas Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Sibolga dan narapidana yang berada di dalamnya. Terima kasih atas segala bantuan, inspirasi dan motivasi dalam membantu penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Teman-teman terbaik penulis, (Debby, Dewi, Christy, Ayeth, Liana, Vivilia, Trisa, Idelia) yang tidak pernah berhenti memberikan persahabatan dan suntikan semangat kepada penulis. Love y’all. Terima kasih untuk semangat, motivasi, dukungan, serta doa yang kalian berikan. Semoga persahabatan ini terjalin selamanya.

9. Gang of Korea (Aurora, Esna, Masitah), yang telah menjadi sahabat terbaik

saat semangat menurun dan virus jenuh menjangkiti penulis. Terima kasih telah menjadi teman dalam berbagi, bertukar ‘barang baru’ dan bercerita hal-hal baru mengenai Korea. Bagaimana dengan mimpi kita ke Korea bersama-sama?


(7)

10.Teman-teman angkatan 2007, terima kasih atas segala perhatian, doa, dukungan dan motivasi dalam membantu penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini serta kebersamaan kita dalam suka dan duka selama ini.

11.Teman-teman gereja penulis, Legio Maria Perawan Yang Murah Hati Katedral (Ci Agnes, Kak Lysna, Ci Silvi, Ci Donna, Ci Henny, Kak Anna, Bang Serdas, Ko Benny) yang tercinta dan tak kan terlupakan. Terima kasih atas dukungan doanya, serta selalu mendukung penulis untuk sama-sama memuji Tuhan dan untuk sama-sama menghilangkan penat kuliah dengan semua kebersamaan dan kegilaan yang akan selalu penulis kenang.

12.Terima kasih buat semua orang yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Bantuan yang telah diberikan sangat berharga bagi penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena itu penulis terbuka untuk menerima semua saran dan kritik demi tercapainya penulisan yang lebih baik lagi.

Akhir kata, penulis berharap kiranya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak.

Medan, Juli 2011 Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ………. i

ABSTRAK ……… ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Psychological Well-Being 1. Definisi Psychological Well-Being ... 12

2. Dimensi Psychological Well-Being ... 13

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being ... 17

B. Narapidana 1. Pengertian Narapidana ... 18


(9)

3. Fakor-Faktor Penyebab Kejahatan ... 20

C. Gambaran Psychological Well-Being pada Narapidana ... 22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif ... 24

B. Responden Penelitian ... 25

C. Metode Pengumpulan Data ... 26

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 28

E. Prosedur Penelitian ... 29

F. Metode Analisis Data ... 32

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data I 1. Identitas Responden ... 34

2. Rangkuman Hasil Observasi ... 35

3. Rangkuman Hasil Wawancara ... 46

4. Gambaran Psychological Well-Being pada Responden I ... 51

B. Deskripsi Data II 1. Identitas Responden ... 72

2. Rangkuman Hasil Observasi ... 72

3. Rangkuman Hasil Wawancara ... 79

4. Gambaran Psychological Well-Being pada Responden II ... 83

C. Deskripsi Data III 1. Identitas Responden ... 98

2. Rangkuman Hasil Observasi ... 98

3. Rangkuman Hasil Wawancara ... 104

4. Gambaran Psychological Well-Being pada Responden I .... 110


(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN ... 138 B. SARAN

1. Saran Teoritis ... 140 2. Saran Praktis ... 140

DAFTAR PUSTAKA ... 143 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel I Waktu Wawancara ... 30 Tabel II Rangkuman Analisa Antar Responden ……….. 134 Tabel III Dimensi Psychological Well-Being Antar Responden ……….. 137


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Verbatim Halaman

Responden I Wawancara 1 ... 1

Responden I Wawancara 2 ... 10

Responden I Wawancara 3 ... 28

Responden II Wawancara 1 ... 42

Responden II Wawancara 2 ... 51

Responden II Wawancara 3 ... 59

Responden III Wawancara 1 ... 67

Responden III Wawancara 2 ... 81

Responden III Wawancara 3 ... 89

Lampiran 2 INFORMED CONSENT INFORMED CONSENT Responden 1 ... 100

INFORMED CONSENT Responden 2 ... 101

INFORMED CONSENT Responden 3 ... 102

Lampiran 3 DATA DIRI SUBJEK DATA DIRI Responden 1 ... 103

DATA DIRI Responden 2 ... 104

DATA DIRI Responden 3 ... 105

Lampiran 4 PEDOMAN WAWANCARA ... 106


(13)

Dinamika Psychological Well-Being Pada Narapidana Fifi Yudianto dan Juliana I. Saragih

ABSTRAK

Masuknya seorang pelanggar hukum ke dalam dinding penjara merupakan suatu perubahan hidup yang dramatis. Narapidana akan mengalami suatu moment kritis yang sulit untuk dijalani. Perubahan hidup dari seorang manusia yang hidup bebas menjadi manusia yang terkekang dan terbelenggu kebebasannya. Dalam diri narapidana sendiri, akan muncul rasa kesepian, kehilangan dan terjadinya konflik-konflik dalam batin. Keluarga, masyarakat, dan juga para petugas Lembaga Permasyarakatan memunculkan ketakutan tersendiri bagi narapidana. Secara umum, dampak kehidupan di penjara dapat merusak kondisi psikologis seseorang.

Masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan seorang narapidana dapat menimbulkan ketidaknyamanan secara fisik dan psikologis yang akhirnya berdampak pada kondisi psychological well-being. Psychological well-being (PWB) merupakan kondisi individu yang ditandai dengan perasaan bahagia, adanya kepuasan hidup dan realisasi diri. Bagi narapidana, PWB merupakan kondisi yang penting agar bisa tetap menjalani kehidupannya dengan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki. Adapun dimensi dari PWB yaitu: penerimaan diri, pertumbuhan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, otonomi dan hubungan positif dengan orang lain.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana dinamika PWB pada narapidana yang berada di dalam LP. Melalui dimensi PWB yang dikemukakan oleh Ryff, peneliti berharap bisa mendapatkan gambaran PWB yang komprehensif.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jumlah responden sebanyak 3 orang. Prosedur pengambilan responden penelitian dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan snowball sampling. Penelitian dilakukan di wilayah Sibolga, tepatnya LP Kelas IIA Sibolga. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara dengan pedoman umum dan mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, gambaran PWB pada saat memasuki LP berbeda dengan PWB pada kurun waktu ±1 tahun setelah menjalani hidup di LP. Salah seorang responden memiliki gambaran PWB yang baik, dimana ia mampu menjalani kehidupannya dengan lebih positif dibandingkan dengan kedua responden lainnya. Kedua responden lainnya mengalami masalah dalam dimensi pertumbuhan diri, tujuan hidup dan otonomi. Kata Kunci: Narapidana, Psychological well-being


(14)

Dynamic of Psychological Well-Being in Inmate Fifi Yudianto and Juliana I. Saragih

ABSTRACT

The enter of an offenders to prison can be seen as a dramatic life change. A critical and difficult moment will occur during imprisonment. Inmate will alter from a free man to fetter who experience lack of liberty. Family, community, even prison staff rise a fear in inmates. In general, life in prison could harm psychological condition in person.

Problems occured in their life may caused physical and psychological distress and lead to affect psychological well-being (PWB). PWB is a condition which indicate with excited feeling, life-satisfaction dan self-realization. The importance of PWB in inmates so they can run their life by develop their self potentials. Dimensions of PWB are self-acceptance, personal growth, purpose of life, environmental mastery, autonomy and positive relations with other.

This study aims to describe how PWB in inmates during their incarceration. By means of dimension of psychological well-being proposed by Ryff, researcher hope to obtain a comprehensive description of psychological well-being.

This study uses a qualitative method and by 3 subjects. The procedure of selecting subjects in this research is accomplished based on snowball sampling. This study located in Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Sibolga. Meanwhile, the data collection method used is depth interview and open interview.

Result of this study shows that the dynamic of PWB when inmates first entered the prison is different after ±1 year during incarceration. One of the respondents have a good PWB, where he can running his life positively compared with two others. Two respondents having a problem in their personal growth, purpose of life and autonomy.


(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kejahatan merupakan perilaku anti sosial dan juga gejala sosial yang bersifat universal. Pembunuhan, pencurian, penipuan, hingga kejahatan-kejahatan lainnya telah dimulai dari dulu sampai sekarang. Dalam masyarakat praliterate (sebelum mengenal huruf), tindakan kejahatan diartikan sebagai semua perbuatan-perbuatan yang melawan kekuasaan-kekuasan supernatural atau yang melanggar kekuasaan Tuhan. Sedangkan menurut hukum, kejahatan atau kriminalitas adalah bentuk tingkah laku yang dilarang oleh Undang-Undang dengan sanksi-sanksi hukuman tertentu (Kartono, 2009). Terhadap kejahatan, masyarakat berkehendak untuk memberantas dan mencegah, sedangkan terhadap pelaku kejahatan, masyarakat menumpahkan kebencian, sumpah serapah, cacian, serta mengasingkannya dari pergaulan (Atmasasmita, 1997).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online, seseorang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana yang dilakukannya dinamakan terhukum atau disebut narapidana. Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, pengertian terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan pengertian narapidana adalah terpidana yang hilang kemerdekaan di lembaga permasyarakan.


(16)

Haney (2001), menyatakan bahwa ketika seseorang pertama sekali menginjakkan kaki ke dalam tembok penjara, ia dipaksa untuk mampu menyesuaikan diri dengan rutinitas penjara yang kaku dan kasar, hilangnya privasi, dan mengalami suatu kondisi kritis, tidak menyenangkan dan sulit. Dalam “Social Readjustment Rating Scale” (SRRS) yang dikembangkan oleh Holmes dan Rahe (1967), hukuman penjara menempati urutan keempat dalam skala urutan pengalaman hidup yang menimbulkan stress (dalam Sarafino, 2006). Harsono (1995), kembali mempertegas bahwa narapidana adalah manusia yang tengah menjalani krisis, berada di persimpangan jalan, mengalami dissosiasi dengan masyarakat dan tengah merencanakan kehidupan baru setelah keluar dari Lembaga Permasyarakatan (seterusnya akan disebut LP).

Dampak psikologis akibat dari pidana penjara jauh lebih berat dibandingkan dengan pidana penjara itu sendiri, sehingga sebenarnya narapidana tidak hanya dipidana secara fisik, tetapi juga secara psikologis (Harsono, 1995). Bartollas (dalam Bartol, 1994), menyatakan bahwa secara umum dampak kehidupan di penjara merusak kondisi psikologis seseorang.

Hal senada diungkapkan oleh Arson (nama samaran), salah seorang narapidana yang menghuni Lapas Klas IIA Abepura, Jayapura, mengungkapkan:

”Kami selalu dipukul dan disiksa kalau keluar kamar trus disuruh masuk oleh petugas tapi terlambat masuk. Tidak sampe satu jam kami diluar. Mungkin hanya tiga menit saja kami terlambat. Biarpun begitu tetap dipukul.. kata –kata kotor juga terus menerus dikeluarkan petugas lapas.. Ini akan bikin mental kami tambah rusak.. bisa-bisa napi dan tahanan lebih jahat lagi dari yang sebelumnya,” (Tabloidjubi.com. Edisi Minggu, 08 Mei 2011)


(17)

Zamble (dalam Bartol, 1994), menjelaskan mengenai sikap menarik diri dari kehidupan sosial yang dialami para tahanan di dalam penjara. Para tahanan mempunyai kecenderungan menghabiskan waktu di dalam sel masing-masing atau dengan beberapa teman dekat saja. Permasalahan-permasalahan tersebut disebabkan oleh ketidakbebasan atas aturan-aturan di penjara. Sedangkan Kartono (2009), menyatakan bahwa kehidupan yang berjalan di dalam penjara memiliki kebudayaan tersendiri. Di kalangan narapidana, terdapat norma-norma, hukum-hukum, kontrol dan sanksi-sanksi sosial serta bahasa dengan logat dan kode tersendiri. Selain itu, banyak terjadi konflik-konflik terbuka dan konflik-konflik batiniah yang serius.

Penolakan juga datang dari pihak keluarga narapidana sendiri. Keluarga yang ditandai dengan kurangnya saling ketergantungan emosional dan kesatuan yang erat akan memandang kejahatan sebagai salah satu masalah yang mendatangkan aib pada seseorang maupun keluarganya. Para keluarga mencoba untuk menyembunyikan tingkah laku tercela dari anggota keluarganya agar dapat menghindari “getah” pada seluruh anggota keluarga lainnya. Sedangkan keluarga yang memiliki tingkat kesatuan yang tinggi dan kasih sayang yang kuat dalam keluarga, aib lebih sering dilihat sebagai masalah keluarga daripada masalah pribadi (Khairuddin, 1997).

Meskipun sudah 10 tahun mendekam di dalam Lembaga Permasyarakatan Cipinang, Aznani (40), tetap dengan setia mengunjungi suaminya selama ini. Jarak yang ditempuh dan biaya yang dikeluarkan tidaklah sedikit. Selain itu, pihak keluarga juga tidak henti-hentinya berupaya untuk mendapatkan pengurangan maupun keringanan hukuman terhadap suaminya.


(18)

“Sedih sekali rasanya, sejak putri saya berumur 3 tahun, hingga kini tak pernah berkumpul sebagaimana keluarga lainnya. Walau saya sering menjenguknya setiap pekan, tapi tak lengkap rasanya kalau dia tidak bisa berkumpul di rumah bersama kami. Apalagi LP Cipinang cukup jauh dari tempat tinggal saya, jadi lumayan banyak biaya yang harus dikeluarkan, Dulu kami punya empat unit angkutan sebagai penopang hidup, awalnya suami saya juga bekerja sebagai agen mobil. Setelah dia ditangkap saya kewalahan memenuhi kebutuhan hidup, jadi beberapa mobil terpaksa kami jual. Sekarang hanya tinggal satu unit. Untunglah beberapa famili di Aceh masih ada yang membantu biaya hidup kami sehari-hari” (Tabloid Kontras. Edisi Rabu, 29 September 2010)

Ndoen (2009), dalam penelitiannya tentang pengungkapan diri pada mantan narapidana menyatakan bahwa pada dasarnya, mantan narapidana yang ingin berinteraksi kembali ke dalam masyarakat memiliki rasa rendah diri yang besar dan cenderung tertutup. Secara garis besar hal ini disebabkan karena adanya penolakan dari masyarakat dalam kehidupan yang normal. Menurut Harsono (1995), rasa tidak aman yang dialami oleh bekas narapidana dalam kehidupan di masyarakat bukan berasal dari petugas LP, tetapi dari masyarakat sekelilingnya yang selalu menaruh curiga kepada mantan narapidana.

Harsono (1995), juga menyatakan bahwa sebelum kembali ke masyarakat, mantan narapidana terlebih dahulu dididik, dibina, serta dikembangkan kehidupannya agar menjadi orang yang aktif dan produktif serta kreatif sehingga mantan narapidana dapat membuktikan diri, berinteraksi kembali dengan masyarakat dan dapat memenuhi kebutuhan hidup nya sendiri maupun untuk keluarganya dengan jalan tidak melanggar hukum lagi.

LP Kelas II A sebagai satu-satunya Lembaga Pemasyarakatan yang berada di Kota Sibolga turut mengambil andil dalam proses memanusiakan kembali para narapidana, agar nantinya dapat diterima kembali dalam masyarakat. Sistem yang digunakan dalam LP saat ini adalah untuk membina dan memasyarakatkan warga


(19)

binaannya, serta menciptakan suasana LP seperti narapidana berada dalam lingkungan sendiri (Harsono, 1995). Bila perilaku narapidana dapat ditangani secara efektif, LP dapat berfungsi menjadi tempat kerja yang nyaman, lingkungan yang aman dan bersih, serta dapat memberikan layanan terhadap komunitas (Hutchinson, dkk, 2009).

Menurut penuturan Sukarja, SH., selaku Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan, terdapat enam blok kurungan yang dihuni oleh para narapidana, dimana Blok A, Blok B, Blok D dan Blok E dihuni oleh narapidana pria, Blok C dihuni oleh narapidana wanita dan Blok F dihuni oleh narapidana anak. Pada masing-masing blok terdapat jumlah kamar kurungan/sel yang berbeda pula. Setiap kamar kurungan dilengkapi dengan kamar mandi sehingga mempermudah narapidana mengakses air bersih meskipun berada dalam kamar kurungan. Selain itu, setiap lantai kamar kurungan dibatasi dan dilapisi dengan papan agar para narapidana dapat terhindar dari berbagai penyakit, seperti masuk angin dan penyakit beri-beri yang muncul akibat bersentuhan langsung dengan lantai. Pada setiap atap kamar, dilengkapi dengan jerjak atau plafon.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan informan dalam LP, ditemukan bahwa mayoritas penghuni LP adalah pria dewasa dengan rentang usia 20-45 tahun. Berkaitan dengan daya tampung dan jumlah keseluruhan narapidana di LP ini, terjadi over kapasitas narapidana. Adapun daya tampung LP berjumlah 332 narapidana sedangkan jumlah keseluruhan berjumlah 440 narapidana. Jadi, terdapat over kapasitas sebanyak 108 narapidana. Selain itu, tidak ada perilaku maupun pelayanan khusus yang ditujukan kepada narapidana tertentu.


(20)

Menyinggung standar hidup dalam LP, terdapat sarana dan prasarana yang memadai, yaitu ruang kunjungan untuk para tamu yang datang membesuk, kantin yang menyediakan keperluan narapidana, tersedianya air bersih, tempat ibadah seperti Gereja dan Mesjid, dan pelayanan kesehatan seperti klinik. Di dalam LP sendiri, dipenuhi dengan tanaman dan pepohonan rindang sebagai tempat untuk berteduh, bahkan di beberapa titik terdapat tempat duduk untuk para narapidana dalam menghabiskan waktu sehari-hari.

Kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh LP sendiri mencakup kegiatan olahraga dan keterampilan kerja. Kegiatan ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu dan ditujukan kepada semua narapidana. Menurut Sukarja, SH., tujuan dari dilakukannya pembinaan ini yaitu memberikan kesempatan kepada narapidana untuk bekerja dan mengembangkan diri, sehingga setelah keluar dari LP, dapat hidup secara mandiri dan menjadi pribadi yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Harsono (1995). Untuk menunjang kegiatan ini, terdapat aula yang digunakan untuk pelatihan ketrampilan dan lapangan terbuka untuk kegiatan olahraga.

Menurut Haryadi (2010), beberapa permasalahan yang umumnya terdapat di LP tidak lepas dari minimnya sarana dan prasarana, penganiayaan oleh oknum petugas dan over kapasitas. Hal ini menyebabkan proses pendidikan dan pembinaan tidak maksimal. Disamping itu, standar hidup disebagian Lembaga Pemasyarakatan belum layak, seperti satu ruang tahanan yang harus dihuni oleh sejumlah besar narapidana, minimnya air bersih, pelayanan kesehatan yang terbatas dan sanitasi yang buruk.


(21)

Kondisi dan perubahan hidup yang dialami oleh para narapidana dapat membawa mereka ke dalam suatu perasaan ketidaknyamanan fisik dan psikis. Ketidaknyamanan secara fisik maupun psikis selama menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan akan berdampak pada psychological well-being narapidana. Ryff & Singer (dalam Papalia, 2008), menjelaskan mengenai kesehatan mental bahwa orang yang sehat secara mental bukan hanya berarti ketiadaan sakit secara mental. Kesehatan mental yang positif mencakup

psychological well-being, yang bisa didapat dengan perasaan sehat dari diri

sendiri. Individu yang mencapai psychological well-being dapat meningkatkan kebahagiaan, kesehatan mental yang positif, dan pertumbuhan diri.

Psychological well-being dapat menjadikan gambaran mengenai level

tertinggi dari fungsi individu sebagai manusia dan apa yang diidam-idamkannya sebagai makhluk yang memiliki tujuan dan akan berjuang untuk tujuan hidupnya (Snyder and Lopez, 2002). Ryff dan Keyes (dalam Hoyer, Rybash, dan Roodin, 1995), menyatakan bahwa individu yang memiliki psychological well-being yang positif adalah individu yang memiliki respons positif terhadap dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis yang berkesinambungan. Pada intinya, psychological

well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari.

Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan, dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn, 1995).

S (29 tahun), salah seorang narapidana kasus Narkoba asal Aceh yang berada di LP Tuatunu Kelas IIa Pangkalpinang menuturkan:


(22)

“Sudah lima kali Lebaran saya di sini, saat-saat seperti ini saya teringat orangtua dan kerabat saya di Aceh, khususnya ibu yang sekarang seorang diri… Saya di sini tidak ada keluarga, jadi pas lihat teman-teman di sini dikunjungi keluarga, ada rasa iri, tapi saya tetap bersyukur teman-teman di sini baik-baik, termasuk petugas lapas yang terus membimbing kita… Dulu pertama masuk saya buta soal agama, sekarang syukurlah. Pesan saya kepada kawan-kawan yang sudah atau belum mengenal narkoba, janganlah memakai atau mencoba narkoba apalagi kenal, karena kasihan orangtua kita. Penyesalan itu akan datang di kemudian hari, contohnya seperti saya ini…”

(BANGKAPOS.com, Edisi 23 September 2009)

Ryff (1995), mengemukakan enam komponen fungsi psychological

well-being mencakup, evaluasi positif seseorang mengenai diri dan masa lalu (self acceptance), pertumbuhan dan perkembangan individu (personal growth),

kepercayaan mengenai tujuan dan makna hidup individu (purpose in life), kualitas hubungan dengan individu lain (positive relations with other), kapasitas untuk mengatur kehidupan dan diri seseorang secara efektif (enviromental mastery), dan perasaan self-determination (autonomy). Keyes (dalam Snyder and Lopez, 2002), menyatakan bahwa psychological well-being menghadirkan kriteria personal yang lebih pribadi dalam mengevaluasi fungsi seseorang.

Rogers (dalam Schulz, 1991), menggambarkan kepribadian sehat yang dimiliki individu dapat terlihat dari aktualisasi diri yang dilakukannya. Ia berpendapat bahwa kepribadian yang sehat itu bukan merupakan suatu keadaan dari ada, melainkan suatu proses atau suatu arah, bukan suatu tujuan. Aktualisasi diri berlangsung terus, tidak pernah merupakan kondisi yang selesai atau statis. Tujuannya yakni orientasi ke masa depan, atau menarik individu ke depan yang selanjutnya mendiferensiasikan dan mengembangkan segala segi dari diri.


(23)

Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti melihat bahwa narapidana sebagai individu yang melakukan tindak pidana sehingga harus menjalani pidana penjara akan mengalami efek-efek psikis dan psikologis yang buruk selama berada di penjara, seperti munculnya rasa rendah diri yang hebat, hilangnya identitas, isolasi dan stigma dari masyarakat, serta kepercayaan diri yang menurun secara drastis. Kondisi ini akan mempengaruhi narapidana tersebut dalam melihat dirinya sendiri, orang lain dan masyarakat di sekitarnya, hingga akhirnya akan mempengaruhi psychological being yang dimilikinya. Psychological

well-being yang kurang baik akan memunculkan perasaan ketidakmampuan dalam diri

narapidana sehingga akan menghambat narapidana dalam memaksimalkan potensi yang dimiliki. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana dinamika

psychological well-being yang dimiliki oleh narapidana.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan di atas, masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah: Bagaimana dinamika psychological well-being pada narapidana dengan menggunakan dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh Ryff (1995).

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan dan menjelaskan dinamika


(24)

D. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat, antara lain: a. Manfaat teoritis

a. 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi disiplin ilmu psikologi, khususnya psikologi klinis, terutama yang berkaitan mengenai psychological well-being.

a. 2. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai

psychological well-being baik dalam bidang sosial, pendidikan maupun

perkembangan. b. Manfaat Praktis

b. 1. Bagi para petugas LP, agar dapat lebih memperhatikan kondisi fisik serta psikologis para narapidana yang sedang menjalani masa tahanan dan memfasilitasi terciptanya hubungan yang lebih harmonis antara narapidana dan petugas LP.

c. 2. Bagi narapidana sendiri, agar dapat mengupayakan serta meningkatkan potensi yang ada dalam dirinya sehingga dapat memandang dirinya sendiri secara lebih baik dan positif. Selain itu, diharapkan agar narapidana yang sedang menjalaani masa tahanan dapat menggali potensi dirinya walaupun sedang berada di LP.


(25)

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun berdasarkan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teori

Bab ini memuat teori-teori yang menjadi acuan dalam penelitian, yaitu: teori tentang psychological well-being termasuk di dalamnya definisi

psychological well-being, dimensi psychological well-being dan

faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being. Disertai dengan teori tentang narapidana.

Bab III Metode Penelitian

Bab ini membahas metode yang digunakan dalam penelitian yaitu metode penelitian kualitatif, termasuk di dalamnya responden penelitian, metode pengambilan data, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian. Bab IV Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini menguraikan tentang deskripsi identitas diri, data hasil observasi dan wawancara serta analisa data masing-masing responden.

Bab V Kesimpulan dan Saran


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Psychological Well-Being

A. 1. Defenisi Psychological Well-Being

Ryan dan Deci (2001), mengemukakan dua perspektif mengenai

well-being. Pendekatan hedonic, yang mendefenisikan well-being sebagai kesenangan atau kebahagiaan dan pendekatan eudaimonic, yang fokus pada realisasi diri, ekspresi personal dan tingkat dimana individu mampu mengaktualisasikan kemampuannya. Waterman (1993), menekankan bahwa eudaimonic terdiri dari pemenuhan atau menyadari siapa dirinya sebenarnya. Beberapa literature dari para ahli merujuk pada pendefinisian positive psychological functioning. Diantaranya adalah teori Maslow (1968) tentang konsep aktualisasi diri (self-actualization), pandangan Roger (1961) tentang individu yang berfungsi secara penuh (fully

functioning system), formulasi teori Jung (1933) tentang individuasi

(individuation), dan konsep kedewasaan (maturity) oleh Allport (1961).

Lawton (dalam Keyes, 2003), mendefinisikan psychological well-being sebagai tingkat evaluasi mengenai kompetensi dan diri seseorang, yang ditekankan pada hirarki tujuan individu. Menurut Ryff (1989), psychological

well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana

individu dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan dirinya, mandiri, mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain, dapat menguasai lingkungannya dalam arti dapat memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan


(27)

keinginannya, memiliki tujuan dalam hidup, serta terus mengembangkan pribadinya. Psychological well-being bukan hanya kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek positif dan afek negative, namun juga melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan tantangan-tantangan selama hidup (Keyes, Shmotkin dan Ryff, 2002).

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa psychological well-being adalah kondisi individu yang ditandai dengan perasaan bahagia, adanya kepuasan hidup dan realisasi diri. Kondisi ini sendiri dipengaruhi oleh penerimaan diri, pertumbuhan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, otonomi dan hubungan positif dengan orang lain.

A. 2. Dimensi Psychological Well-Being

Konsep psychological well-being memiliki enam dimensi pendukung. MAsing-masing dimensi dalam psychological well-being menjelaskan tantangan-tantangan yang berbeda yang dihadapi individu untuk dapat berfungsi secara penuh dan positif (Ryff, 1989a; Ryff & Singer, 2006; Ryff, dalam Keyes & Haidt, 2003). Dimensi-dimensi tersebut adalah:

a. Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Dimensi ini didefinisikan sebagai karakteristik utama dari kesehatan mental, aktualisasi diri, berfungsi optimal dan kematangan. Penerimaan diri berarti sikap yang positif terhadap diri sendiri dan kehidupan di masa lalu, serta mampu menerima kekurangan dan kelebihan serta batasan-batasan yang dimiliki


(28)

dalam aspek diri individu. Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan sikap yang positif terhadap diri sendiri, mengetahui dan menerima segala aspek yang ada pada dirinya, baik kelebihan maupun kekurangan, serta memiliki sikap yang positif terhadap kehidupan di masa lalu. Sebaliknya, individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik ditandai dengan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, kecewa terhadap apa yang terjadi di masa lalu, terganggu dengan sifat-sifat tertentu yang dimiliki dan memiliki keinginan tidak menjadi dirinya.

b. Pertumbuhan Diri (Personal Growth)

Dimensi ini didefenisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang, perkembangan diri, serta keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru. Individu yang baik dalam dimensi ini memiliki perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang terus tumbuh, menyadari potensi-potensi yang dimiliki dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang yang stagnan, kurang peningkatan dalam perilaku dari waktu ke waktu, merasa bosan dengan hidup dan tidak mampu mengembangkan sikap dan perilaku yang baru.

c. Tujuan Hidup (Purpose in Life)

Dimensi ini menekankan pentingnya memiliki tujuan, pentingnya keterarahan dalam hidup dan percaya bahwa hidup memiliki tujuan dan makna. Individu yang memiliki tujuan hidup yang baik, memiliki target dan cita-cita serta


(29)

merasa bahwa baik kehidupan di masa lalu dan sekarang memiliki makna tertentu. Individu tersebut juga memegang teguh kepercayaan tertentu yang dapat membuat hidupnya lebih berarti. Sebaliknya, individu yang kurang memaknai hidup, tidak memiliki tujuan dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dari masa lalu dan kurang memiliki target dan cita-cita, menandakan bahwa individu tersebut kurang memiliki dimensi tujuan hidup yang baik.

d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Dimensi ini ditandai dengan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang cocok atau untuk mengatur lingkungan yang kompleks. Individu yang baik dalam dimensi ini ditandai dengan kemampuannya untuk memilih dan menciptakan sebuah lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pibadinya dan memanfaatkan secara maksimal sumber-sumber peluang yang ada di lingkungan. Individu juga mampu mengembangkan dirinya secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang dapat menguasai lingkungannya akan mengalami kesulitan mengatur kegiatan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan apa yang ada diluar dirinya serta tidak menyadari peluang yang ada di lingkungan.

e. Otonomi (Autonomy)

Dimensi ini dideskripsikan dengan individu yang mampu menampilkan sikap kemandirian, memiliki standard internal dan menolak tekanan sosial yang tidak sesuai. Individu yang memiliki tingkatan otonomi yang baik ditunjukkan sebagai pribadi yang mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan


(30)

bertingkah laku dengan cara tertentu, mampu mengatur tingkah laku diri sendiri dan mengevaluasi diri sendiri dengan standard pribadi. Sebaliknya, individu yang terlalu memikirkan ekspektasi dan evaluasi dari orang lain, bergantung pada orang lain untuk mengambil suatu keputusan serta cenderung untuk bersikap conform terhadap tekanan sosial, menandakan individu tersebut belum memiliki tingkat otonomi yang baik.

f. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others)

Dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan, saling percaya dengan orang lain serta memungkinkan untuk timbulnya empati dan intimasi. Individu yang memiliki hubungan positif yang baik dengan orang lain ditandai dengan memiliki hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan rasa empati, rasa sayang dan keintiman serta memiliki konsep dalam memberi dan menerima dalam hubungan sesama manusia. Sebaliknya, individu yang hanya memiliki sedikit hubungan dekat dengan orang lain, susah untuk bersikap hangat, tidak terbuka dan memberikan sedikit perhatian terhadap orang lain berarti memiliki tingkatan yang kurang baik dalam dimensi ini.


(31)

A. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Beberapa faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada diri seseorang, yaitu:

a) Usia

Penelitian Ryff pada tahun 1989, 1991, 1995, dan 1998 menunjukkan bahwa usia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi psychological

well being. Pada aspek penguasaan lingkungan, otonomi, penerimaan diri,

hubungan positif, menunjukkan peningkatan terhadap usia yang semakin dewasa. Sedangkan tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi menunjukkan penurunan yang tajam pada setiap periode kehidupan usia dewasa (dalam Snyder & Lopez, 2002).

b) Tingkat Pendidikan

Ryff, Magee, Kling & Wling (dalam Synder & Lopez, 2002) menemukan bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap

psychological well being yang dimiliki individu Individu yang memiliki

tingkat pendidikan yang lebih baik memiliki psychological well being yang lebih baik juga.

c) Jenis Kelamin

Wanita menunjukkan psychological well being yang lebih positif jika dibandingkan dengan pria. Ryff (1989) menunjukkan bahwa pada dimensi relasi positif, wanita menunjukkan skor yang lebih tinggi dibandingkan pria. Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu


(32)

perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia & Feldman, 2001). Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain.

d) Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya (Ryff, dalam Snyder & Lopez, 2002). Individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki psychological

well-being yang lebih tinggi.

B. Narapidana

B. 1. Pengertian Narapidana

Menurut KUHP pasal 10 (dalam KUHAP dan KUHP, 2002) narapidana adalah predikat lazim diberikan kepada orang yang terhadapnya dikenakan pidana hilang kemerdekaan, yakni hukuman penjara (kurungan). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online, narapidana adalah orang hukuman atau terhukum, atau seseorang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana yang dilakukannya.


(33)

Narapidana adalah orang yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya, perilakunya dianggap tidak dapat ditoleransi dan harus diperbaiki dengan penjatuhan sanksi pengambilan kemerdekaannya sebagai penegakkan norma-norma (aturan-aturan) oleh alat-alat kekuasaan (negara) yang ditujukan untuk melawan dan memberantas perilaku yang mengancam keberlakuan norma tersebut.

B. 2. Dampak Psikologis Pidana Penjara

Zamble, Porporino, Bartollas (dalam Bartol, 1994), menemukan bahwa secara umum dampak kehidupan di penjara merusak kondisi psikologis seseorang. Studi ini mendeskripsikan gejala-gejala psikologis yang diakibatkan oleh pemenjaraan terhadap seseorang. Gejala-gejala psikologis yang muncul meliputi depresi berat, kecemasan, dan sikap menarik diri dari kehidupan sosialnya. Selanjutnya, Zamble (dalam Bartol, 1994), juga menjelaskan mengenai sikap menarik diri dari kehidupan sosial yang dialami para tahanan di dalam penjara. Para tahanan mempunyai kecenderungan menghabiskan waktu di dalam sel masing-masing atau dengan beberapa teman dekat saja. Permasalahan-permasalahan tersebut disebabkan oleh ketidakbebasan atas aturan-aturan di penjara.

Menurut Kartono (2009), isolasi yang lama karena disekap dalam penjara akan menyebabkan narapidana tidak memiliki partisipasi sosial, terkucilkan dan lekat dengan stigma-stigma negatif yang berkembang dalam masyarakat. Selain itu, narapidana akan didera oleh tekanan-tekanan batin yang semakin memberat


(34)

dengan bertambahnya waktu pemenjaraan, munculnya kecenderungan-kecenderungan autistik (menutup diri secara total) dan usaha melarikan diri dari realitas yang bersifat traumatik. Para narapidana juga akan mengembangkan reaksi-reaksi emosional yang stereotypis, yaitu cepat curiga, mudah marah, cepat membenci dan pendendam.

B. 3.Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan

Bonger (1977), menyimpulkan adanya 6 faktor lingkungan sebagai penyebab kejahatan, yaitu :

a. Terlantarnya anak-anak

Salah satu penyebab timbulnya kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur ialah karena mereka di telantarkan oleh orang tuanya, orang tua bercerai atau orang tua tidak mampu menghidupi anak, hal ini dapat membuat anak-anak berusaha mempertahankan hidup dengan segala usahanya. Mulai dari hidup di jalan, mencuri, bahkan mereka harus mencari makan di antara tumpukan sampah.

b. Kesengsaraan dan kemiskinan

Tingginya mobilitas sosial semakin memperjelas jurang antara si miskin dan si kaya, akibatnya timbul kesengsaraan dan kemiskinan yang mendorong mereka untuk melakukan pencurian dan perampokan hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya.


(35)

c. Rasa ingin memiliki

Seiring dengan perkembangan zaman dan meningkatnya teknologi dalam berbagai bidang membuat pekerjaan manusia menjadi semakin ringan dan semakin efektif, manusia semakin berlomba-lomba untuk meningkatkan dan memenuhi kesejahteraan hidupnya. Sementara mereka yang tidak mampu memenuhi dan meningkatkan kesejahteraannya, terkadang timbul rasa ingin memiliki dan mereka mulai melakukan segala usahanya untuk mencapai apa yang mereka inginkan, termasuk dengan melakukan kejahatan.

d. Demoralisasi seksual

Munculnya rumah bordir dan maraknya perzinahan dalam kota-kota besar, mengakibatkan kemerosotan dalam segi agama. Seiring dengan hal ini sering terjadi penyimpangan-penyimpangan seksual dan mengakibatkan munculnya perselingkuhan dan perkosaan.

e. Alkoholisme

Sudah hampir dipastikan efek dari alkohol dapat meningkatkan emosi dan hilangnya kesadaran sementara waktu, sehingga tak jarang jika perbuatan perkelahian, pencurian, sampai perbuatan yang paling fatal sekalipun, yaitu pembunuhan dipicu dari minuman beralkohol.

f. Perang

Pada masa perang dunia kedua, banyak masyarakat yag kehilangan harta benda dan sanak saudara mereka. Mereka tidak lagi memiliki tempat tinggal karena hancur semua akibat perang. Akibatnya perampokan dan


(36)

penjarahan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, tak dapat dihindari.

Adapun Sutherland (dalam Bonger, 1977), menerangkan bahwa terdapat 2 macam pengaruh penyebab kejahatan :

a. Pengaruh faktor yang berasal dari dalam diri individu dan merupakan pembawaan yang ada secara alamiah pada dirinya atau juga sebagai adanya tahapan perkembangan jiwa (pengaruh historis atau genetika), yang disebut sebagai faktor internal.

b. Pengaruh faktor yang berasal dari luar diri individu baik itu yang berupa lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya, yang merupakan reaksi atas situasi seketika yang dipandang dari mata individu tersebut, yang disebut sebagai faktor eksternal.

C. Gambaran Psychological Well-Being pada Narapidana

Masuknya narapidana ke dalam sel penjara menjadi suatu perubahan hidup yang akan berdampak pada kondisi fisik dan psikologis narapidana. Sebagai pengalaman hidup yang penuh tekanan, narapidana mengalami efek-efek psikis dan psikologis yang buruk selama berada di lembaga permasyarakatan, seperti rasa rendah diri yang besar, kegagalan, stress, hilangnya identitas diri hingga mengalami depresi. Selain itu, sistem pemidanan yang buruk juga turut mempengaruhi kondisi psikologis narapidana ketika menjalani masa pidana.


(37)

Penolakan yang muncul dari keluarga dan masyarakat juga memperburuk kondisi psikologis narapidana. Hal ini akan memunculkan isolasi dan keengganan untuk berpartisipasi dalam lingkungan sosial nantinya.

Perbedaan antara kehidupan di luar lembaga permasyarakatan dan kehidupan di dalam lembaga permasyarakatan akan membawa sejumlah perubahan kehidupan sehingga tidak mampu memenuhi aspek-aspek

psychological well-being. Bagi narapidana, psychological well-being merupakan

kondisi yang penting agar bisa tetap menjalani kehidupannya dengan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki. Psychological well-being ditunjukkan dengan kriteria penerimaan diri, pertumbuhan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, otonomi dan hubungan positif dengan orang lain

Kaitan antara psychological well-being dengan masalah psikologis yang dialami narapidana yaitu pada efek negatif psikologis yang dialami individu. Efek negative akan menghambat perkembangan dirinya dan dapat mengakibatkan timbulnya ketidakberdayaan diri. Hal ini akan mengakibatkan individu hanya mampu menerima keadaan apa adanya tanpa ada usaha dari dirinya untuk membuat hidupnya menjadi lebih baik. Adanya psychological well-being yang baik dalam diri individu, terutama narapidana yang sedang menjalani masa tahanan, akan membuat individu mampu bertahan dalam menghadapi kondisi yang sedang dijalani.


(38)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian mengenai dinamika psychological well-being pada narapidana ini menggunakan penelitian kualitatif. Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam suatu penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2003). Metode penelitian kualitatif ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai psychological well-being para narapidana yang berada di Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Sibolga.

A. Pendekatan Kualitatif

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam mengenai psychological

well-being narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini disebabkan

karena sebagian perilaku manusia, yang penghayatannya melibatkan berbagai pengalaman pribadi, sulit dikuantifikasikan dan direduksi dalam bentuk elemen atau angka, apalagi dituangkan dalam satuan numerik, dan akan lebih ”etis” dan kontekstual bila diteliti dalam setting ilmiah. Artinya, tidak cukup hanya mencari ”what” dan ”how much”, tetapi perlu juga memahami ”why” dan ”how” dalam konteksnya (Poerwandari, 2007).

Metode kualitatif berusaha memahami suatu gejala sebagaimana pemahaman responden yang diteliti, dengan penekanan pada aspek subjektif dari


(39)

perilaku seseorang. Penelitian kualitatif memungkinkan pemahaman tentang kompleksitas perilaku dan penghayatan manusia sebagai mahluk yang memiliki pemahaman tentang hidupnya (Poerwandari, 2007).

B. Responden Penelitian

B. 1. Karakteristik Responden Penelitian

Karakteristik responden dalam penelitian ini berdasarkan ciri-ciri tertentu, yaitu narapidana yang masih berada dalam masa pidana di lembaga permasyarakatan. Penelitian ini menggunakan 3 orang responden dengan ciri-ciri sampel sebagai berikut:

1. Berstatus narapidana.

2. Responden telah menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan minimal 1,5 tahun. Menurut Zambel (dalam Bartol, 1994), pada rentang waktu 1,5 tahun atau lebih, narapidana yang tinggal di penjara akan menunjukkan reaksi kehilangan motivasi untuk berubah.

3. Responden berdomidili di Kota Sibolga.

4. Bersedia menjadi responden penelitian

B. 2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di lembaga permasyarakatan yang terletak di Kota Sibolga, tepatnya di Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Sibolga. Hal ini berhubungan dengan masalah praktis yaitu bahwa peneliti memiliki akses yang memudahkan peneliti untuk masuk ke lembaga permasyarakatan daerah tersebut.


(40)

Disamping belum adanya penelitian sejenis yang dilakukan dalam lingkup lembaga permasyarakatan di daerah tersebut.

B. 3.Teknik Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan responden atau sampel dalam penelitian ini menggunakan snowball sampling. Pengambilan sampel dilakukan secara berantai dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai atau dihubungi sebelumnya (Poerwandari, 2007).

C. Metode Pengumpulan Data

Rancangan penelitian kualitatif bersifat fleksibel, luwes serta terbuka terhadap kemungkinan bagi suatu perubahan serta penyesuaian-penyesuaian ketika suatu proses berjalan. Meskipun tetap menjadi pedoman awal untuk masuk ke lapangan, rancangan penelitian yang disusun tidak membelenggu peneliti untuk tunduk terhadap pedoman awal manakala kenyataan di lapangan menunjukkan kecenderungan yang berbeda dengan yang dipikirkan sebelumnya (Bungin, 2003).

Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luwes, metode pengumpulan data yang digunakan juga beragam, disesuaikan dengan masalah tujuan penelitian serta sifat objek yang diteliti. Metode dasar yang umumnya banyak dipakai dan dilibatkan dalam penelitian kualitatif adalah observasi dan wawancara (Poerwandari, 2007).

Dalam penelitian ini pengumpulan data akan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dengan pedoman umum dan wawancara mendalam sebagai metode utama. Selain itu juga akan menggunakan metode observasi sebagai metode pendukung pada saat melakukan wawancara.


(41)

C. 1.Wawancara

Menurut Bungin (2001), metode wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara. Sedangkan Banister (dalam Poerwandari, 2007), menjelaskan bahwa wawancara merupakan percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dalam Poerwandari, 2007).

Ada tiga jenis wawancara yang dikemukakan oleh Patton (Poerwandari, 2007), diantaranya adalah wawancara informal, wawancara dengan pedoman umum dan wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka. Dalam penelitian ini, jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara dengan pedoman umum dan wawancara mendalam.

Pada wawancara dengan pedoman umum, peneliti menetapkan pedoman umum wawancara sebelum proses wawancara dilakukan, namun tidak menutup kemungkinan akan beralih pada wawancara informal yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat spontan. Sedangkan dalam wawancara mendalam, peneliti dapat mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan responden secara utuh dan mendalam. Wawancara mendalam


(42)

memberikan kesempatan yang maksimal untuk menggali “background life” seseorang sehingga peneliti mendapatkan gambaran dan dinamika yang hendak diteliti.

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Untuk mempermudah peneliti dalam mencatat hasil wawancara maka peneliti menggunakan alat bantu berupa alat perekam (tape recorder) dan pedoman wawancara. Penggunaan tape recorder diharapkan tidak ada informasi yang terlewatkan ketika dilakukan wawancara oleh peneliti. Tape recorder tentunya dapat digunakan dengan izin dan sepengetahuan responden.

Selain penggunaan tape recorder, peneliti juga menggunakan pedoman wawancara sebagai alat bantu untuk mengkategorikan jawaban responden. Pedoman tersebut digunakan untuk mempermudah dalam menganalisa data yang diperoleh. Pedoman wawancara berkaitan dengan masalah yang ingin diungkapkan.

Peneliti juga melakukan observasi terhadap reaksi responden, lingkungan tempat wawancara berlangsung, tampilan responden dan hal-hal yang dapat memperkaya konteks wawancara. Informasi yang diperoleh hanya digunakan sebagai alat perantara antara apa yang dilihat, didengar dan dirasakan dengan catatan yang diperoleh dari lapangan sebenarnya.


(43)

E. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap ini peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan dalam penelitian, diantaranya adalah:

a. Memilih lapangan peneltian. Lapangan penelitian dipilih berdasarkan tujuan penelitian. Pilihan jatuh pada Lembaga Permasyarakatan Klas II A Sibolga setelah melakukan beberapa pertimbangan.

b. Melakukan proses perizinan untuk melakukan penelitian di Lembaga Permasyarakatan Klas II A Sibolga. Peneliti dilengkapi dengan surat izin untuk melakukan penelitian dari pihak Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

c. Menggumpulkan data dan teori yang berkaitan dengan psychological

well-being dan narapidana. Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan

teori-teori yang berhubungan dengan psychological well-being kemudian membahas kaitan psychological well-being dengan narapidana yang berada di lembaga permasyarakatan.

d. Membuat susunan pedoman wawancara. Pedoman ini disusun berdasarkan kerangka teori psychological well-being yang digunakan.

e. Persiapan untuk pengumpulan data. Peneliti menjelaskan maksud dan kepentingan peneliti kepada para pihak yang berwenang. Setelah mencapai kesepakatan bersama, peneliti mengajukan beberapa kriteria responden yang akan dijadikan responden penelitian. Kemudian memberikan 1 nama responden yang sesuai, dengan kesepakatan responden lainnya akan


(44)

diperhitungkan kemudian. Selanjutnya, peneliti menanyakan kesediaan calon untuk menjadi responden penelitian.

f. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara. Setelah memperoleh kesediaan dari responden, peneliti meminta kesediaan responden untuk bertemu dan mulai membangun rapport. Setelah membangun rapport awal, peneliti dan responden mengatur dan menyepakati waktu untuk melakukan wawancara berikutnya.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah memperoleh responden yang memenuhi karakteristik responden penelitian, peneliti kemudian meminta kesediaan responden penelitian untuk diwawancarai melalui surat pernyataan yang telah disiapkan sekaligus membangun rapport antara peneliti dan responden. Peneliti selanjutnya menentukan lokasi wawancara dilakukan. Percakapan yang berlangsung akan direkam dengan tape recorder mulai dari awal sampai akhir percakapan.

Keseluruhan wawancara dilakukan di Lembaga Permasyarakatan Klas II A Sibolga, tepatnya di ruangan kantor KaSi BinaDik (Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan).

Tabel 1. Waktu Wawancara

Responden I

Wawancara ke: Hari/ Tanggal Waktu

I Hari Sabtu, 12 Februari 2011 pukul 11.00-12.20 WIB II Hari Senin, 28 Februari 2011 pukul 10.45-12.00 WIB III Hari Kamis, 10 Maret 2011 pukul 10.45-12.30 WIB


(45)

Responden II

Wawancara ke: Hari/ Tanggal Waktu

I Hari Selasa, 01 Maret 2011 pukul 10.00-12.00 WIB II Hari Sabtu, 26 Maret 2011 pukul 10.00-11.30 WIB III Hari Jumat, 08 April 2011 pukul 10.00-11.15 WIB

Responden III

Wawancara ke: Hari/ Tanggal Waktu

I Hari Senin, 28 Maret 2011 pukul 10.00-11.30 WIB II Hari Jumat, 01 April 2011 pukul 11.00-12.15 WIB III Hari Jumat, 08 Maret 2011 pukul 11.00-12.30 WIB

3. Tahap Pencatatan Data

Poerwandari (2001) menyatakan bahwa data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif adalah berupa kata-kata dan bukan angka-angka. Peneliti kemudian membuat verbatim dari hasil wawancara yang dilakukan secara akurat.

Langkah selanjutnya adalah membuat koding sesuai dengan teori yang digunakan. Hasil koding akan membantu peneliti dalam menganalisa dan menginterpretasi data yang diperoleh dari masing-masing responden. Setelah koding selesai dilakukan, peneliti kemudian menganalisis dan membahas data yang diperoleh.


(46)

F. Metode Analisis Data

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber seperti wawancara, observasi dan sebagainya. Menurut Poerwandari (2007), terdapat beberapa tahapan dalam menganalisa data kualitatif, yaitu:

1. Organisasi Data

Pengolahan dan analisis sesungguhnya dimulai dengan mengorganisasikan data. Dengan data kualitatif yang sangat beragam dan banyak, peneliti berkewjiban untuk mengorganisasikan datanya dengan rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Hal-hal yang penting untuk diorganisasikan diantaranya adalah data mentah (catatan lapangan, kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagian (transkripsi wawancara, catatan refleksi peneliti), data yang sudah dibubuhi kode-kode dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

2. Koding dan Analisis

Langkah penting pertama sebelum analisis dilakukan adalah membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasikan data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya. Peneliti berhak memilih cara melakukan koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya.


(47)

3. Pengujian Terhadap Dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran atau fenomena berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut.

4. Strategi Analisis

Analisa terhadap data pengamatan sangat dipengaruhi oleh kejelasan mengenai apa yang ingin diungkapkan peneliti melalui pengamatan yang dilakukan. Patton (dalam Poerwandari, 2007), menjelaskan bahwa proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata responden sendiri maupun konsep yang dikembangkan oleh peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis. Analisa yang dilakukan adalah dengan cara menganalisa setiap responden terlebih dahulu yang kemudian diikuti dengan analisa keseluruhan responden.

5. Tahapan Interpretasi

Menurut Kvale (dalam Poerwandari, 2007), interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut.


(48)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini, akan di uraikan analisa data dan pembahasan hasil penelitian mengenai psychological well-being pada narapidana. Bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Pada bagian pertama, akan diuraikan mengenai hasil observasi masing-masing responden, rangkuman hasil wawancara dan analisa data. Sedangkan pada bagian kedua, akan diuraikan interpretasi mengenai hasil penelitian yang diperoleh.

Kutipan dalam setiap bagian analisa akan dilengkapi dengan kode-kode tertentu untuk mempermudah diperolehnya pemahaman yang jelas dan utuh. Contoh kode yang digunakan adalah: (W1.R1/b.100-105/h.6). Maksud kode ini adalah kutipan dari Wawancara I, Responden I, baris 100 sampai 105, verbatim halaman 5.

A. Deskripsi Data I

1. Identitas Responden

Nama : Awan (bukan nama sebenarnya)

Usia : 29 tahun

Suku : Batak


(49)

Pendidikan Terakhir : D2

Tanggal Masuk LP : 19 November 2008

Lama Masa Hukuman : 12 tahun

Kasus : Pelecehan Seksual Anak di Bawah Umur

II. Rangkuman Hasil Observasi

Untuk memberikan pemahaman yang jelas mengenai keadaan lingkungan Lembaga Permasyarakatan, peneliti akan menggambarkan terlebih dahulu bagaimana kondisi di sekeliling Lembaga Permasyarakatan.

II. a. Observasi Lingkungan Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Sibolga

Sebelum memasuki Lembaga Permasyarakatan (selanjutnya akan disebut LP), peneliti harus melewati beberapa prosedur yang diwajbkan oleh LP. Pertama sekali memasuki daerah LP, peneliti harus berjalan sekitar 700 meter untuk mendapatkan pintu masuk LP. Walaupun jalan setapak yang dilalui sedikit berbatu dan menanjak, terdapat banyak pepohonan hijau dan sebuah sungai kecil yang mengalir di sebelah kanan jalan. Sedangkan di sebelah kiri, dipenuhi dengan rerumputan dan tanaman bunga dalam areal yang luas. Di sepanjang jalan, peneliti sering bertemu dengan orang-orang yang hendak membesuk kerabat di dalam lembaga. Selain itu, peneliti juga sering berjumpa dengan para narapidana yang sedang bekerja membersihkan areal sekitar LP.


(50)

Pintu masuk LP berupa pintu besi yang kokoh sepanjang 4 meter dan menjulang tinggi serta berwarna coklat tua. Selain itu, pintu masuk ini dilapisi dengan jeruji besi. Di pertengahan pintu masuk tersebut, terdapat pintu kecil setinggi 1 meter sebagai jalur keluar-masuk pengunjung. Di pintu ini, terdapat suatu jendela kecil berbentuk persegi yang akan dibuka tutup oleh petugas penjaga untuk mananyakan kepentingan pengunjung. Di depan pintu ini, tersedia tempat duduk untuk para pengunjung yang hendak membesuk narapidana di dalamnya.

Setelah sampai di depan pintu masuk, jendela kecil tersebut harus diketuk terlebih dahulu. Sejurus kemudian, seorang penjaga pintu, yang juga merupakan seorang narapidana, akan membuka menanyakan keperluan dan tujuan peneliti. Setelah itu, peneliti dipersilahkan untuk menunggu dan jendela ditutup kembali. Beberapa waktu kemudian, pintu akan dibuka dan peneliti dipersilahkan masuk.

Setelah melewati pintu, petugas penjaga yang berpakaian lengkap akan menanyakan kembali mengenai kepentingan peneliti berkunjung. Setelah itu, peneliti diperiksa terlebih dahulu. Seorang petugas yang menjaga pintu masuk akan memeriksa barang bawaan peneliti. Terkadang, petugas wanita kemudian meraba pakaian peneliti. Petugas penjaga berbeda dengan penjaga pintu. Petugas penjaga adalah oknum resmi yang ditunjuk oleh pihak LP untuk menjaga keamanan. Oleh karena itu, petugas penjaga ini dilengkapi dengan pakaian resmi hingga senjata. Sedangkan penjaga pintu merupakan narapidana yang sedang menjalani masa tahanan dan bekerja untuk membantu petugas penjaga. Setelah dinyatakan tidak ada hal yang mencurigakan, peneliti dipersilahkan untuk


(51)

menunggu sebentar sementara petugas lainnya akan memanggil responden penelitian peneliti.

II. b. Observasi Lingkungan Ruangan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan (KaSi BinaDik)

Wawancara dilakukan di ruangan kantor KaSi BinaDik. Ruangan ini terletak di sebelah kiri pintu masuk. Untuk mencapai ruangan ini, peneliti harus melewati dua ruangan lainnya terlebih dahulu. Ruangan tersebut berukuran 4m x 5m dengan pintu coklat berplitur, dimana engsel pintu tersebut telah rusak sehingga pintu tidak dapat tertutup dengan rapat. Tepat berada di atas pintu, tergantung papan bertuliskan Ruangan KaSi BinaDik berwarna coklat tua. Ruangan tersebut berdinding putih dan pada dinding ruangan sebelah kiri tepatnya di sebelah pintu masuk, terdapat papan yang menyerupai papan tulis berukuran 1m x 2m yang memuat daftar narapidana khusus LP Kelas II A Sibolga. Tepat di sudut sebelah kiri papan, terdapat satu lemari besi setinggi 2m yang menghadap ke pintu masuk. Lemari tersebut memiliki 4 bagian dan bagian atas lemari menutupi bagian sudut kiri bawah papan tersebut. Tepat di atas lemari, terdapat kertas-kertas dan beberapa map yang tersusun kurang rapi, hingga ada map yang hampir jatuh. Pada dinding atas lemari, tergantung sebuah foto berbingkai yang memuat gambar pohon cemara.

Di tengah ruangan tersebut, terdapat 4 kursi yang saling berhadapan dan dipisahkan dengan 1 meja kecil dilapisi kaca dengan kulit kayu yang mulai mengelupas. Tepat di samping meja dan kursi, terdapat jendela kaca yang terbuka


(52)

dan dipasang terali besi. Dari jendela tersebut, baik peneliti maupun responden, dapat melihat secara langsung jalan setapak yang dilalui peneliti sebelumnya. Tepat di belakang kursi, terdapat meja kerja untuk Ketua KaSi BinaDik. Meja tersebut dilapisi kaca dan berukuran lebih besar dibandingkan dengan meja yang berada di ruang tengah. Di atas meja, terdapat papan nama Kepala KaSi BinaDik dan beberapa map yang tersusun rapi. Jendela yang sama terdapat di belakang meja KaSi BinaDik tersebut. Pada sudut kiri dinding, terdapat beberapa kotak dan kertas yang disusun bertumpuk.

II. c. Observasi Wawancara

2. c. 1. Wawancara I

Responden pertama bernama Awan. Awan adalah seorang pria, dengan tinggi 165 cm dan berat 65 kg, berkulit coklat dan memiliki rambut yang ikal. Peneliti dan Awan pertama sekali diperkenalkan oleh Bapak Sinar (bukan nama sebenarnya), yang menjabat sebagai Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan (selanjutnya akan disebut KaSi Binadik). Awalnya, ia terlihat bingung dan mengernyitkan dahi, namun setelah Pak Sinar menjelaskan secara singkat mengenai maksud dan kedatangan peneliti, ia kemudian paham dan bersedia membantu. Setelah menyepakati tempat dilakukannya wawancara, akhirnya peneliti dipersilahkan untuk mengikuti Awan ke ruangan kantor KaSi BinaDik. Di dalam ruangan tersebut peneliti menjelaskan kembali maksud dan kepentingan peneliti dengan lebih terperinci. Ia mendengar dengan sungguh-sungguh dan bertanya apakah wawancaranya akan dimulai sekarang. Karena ini adalah


(53)

kunjungan pertama peneliti, peneliti kemudian berinisiatif untuk memilih hari dan jam lain sebagai waktu wawancara. Peneliti tidak langsung pulang, namun memilih untuk bercakap-cakap mengenai keadaan Awan dan kehidupannya di dalam LP. Selang beberapa lama, peneliti menyudahi kunjungannya dan pamit. Peneliti kemudian berjanji untuk datang kembali pada waktu yang telah ditentukan.

Pada hari yang telah ditentukan, peneliti kembali datang ke LP. Setelah melalui prosedur yang diwajibkan, peneliti akhirnya berhasil menjumpai Awan. Ketika melihat peneliti, ia tersenyum dan berbicara sebentar kepada petugas penjaga. Pagi itu, ia mengenakan kaus putih, celana jeans berwarna biru dan sepatu putih. Ia segera menuntun peneliti menuju ruangan kantor KaSi BinaDik.

Begitu memasuki ruangan, Awan mempersilahkan peneliti duduk dan mengambil posisi tempat duduk di sebelah jendela. Peneliti dan Awan duduk berhadapan. Sebelumnya, peneliti bercakap-cakap, menanyakan apakah peneliti mengganggu waktu Awan dan dijawab dengan tidak apa-apa. Pada awal wawancara, Awan menyandar di kursi dengan posisi kaki sedikit terbuka dan melihat ke arah luar jendela. Ia kemudian mengambil sebatang rokok dari saku celana dan menyalakan pemantik api. Ia menanyakan apakah peneliti bermasalah dengan asap rokok dan peneliti menjawab tidak apa-apa. Peneliti meletakkan tas putih peneliti di atas meja dan mengeluarkan alat perekam yang telah disiapkan. Peneliti kembali menjelaskan bahwa hasil wawancara merupakan rahasia dan tidak akan terbongkar. Peneliti meletakkan alat perekam di pegangan kursi kayu agar tidak mengganggu proses wawancara.


(54)

Ketika wawancara berlangsung, Awan sering menghadap ke luar jendela ketika menjawab pertanyaan, terutama ketika menceritakan pengalamannya yang menyedihkan. Matanya terlihat meredup ketika menceritakan bagaimana orangtuanya sangat sedih akibat kesalahan yang dilakukannya dan bagaimana perlakuan teman-teman sesama narapidana saat pertama sekali ia menginjakkan kaki di dalam LP. Secara keseluruhan, ia dapat menjawab dengan baik pertanyaan peneliti.

Di tengah wawancara, Awan menawarkan minuman kepada peneliti dan dijawab dengan iya oleh peneliti. Ia kemudian pamit keluar sebentar untuk membeli minuman. Ketika ia keluar, terdengar suara derit pintu yang rusak. Tak lama kemudian, ia kembali dan membawakan dua botol minuman serta meletakkannya di atas meja. Sambil berdiri, ia segera meneguk minuman tersebut.

Wawancara kemudian dilanjutkan. Namun, sebentar kemudian, Awan berdiri dan keluar ruangan. Di luar terdengar suara Awan bercakap-cakap dan tertawa dengan petugas lainnya. Beberapa saat kemudian, ia memasuki ruangan dan menyandarkan badannya pada kursi di depan peneliti dan menanyakan apakah masih ada hal yang ingin ditanyakan lagi. Ia terlihat telah bosan dan terburu-buru. Akhirnya, peneliti pun berinisiatif untuk menyudahi proses wawancara.

Beberapa hal yang mengganggu proses wawancara I yaitu: Suara mesin pemotong rumput yang sedang digunakan di areal lembaga dimana suaranya terdengar hingga ke dalam ruangan. Selain itu, para petugas yang sedang


(55)

bercakap-cakap dan bekerja di luar ruangan sering tertawa dengan suara yang cukup keras.

2. c. 2. Wawancara II

Pada wawancara II, Awan menyambut peneliti yang baru saja memasuki pintu masuk. Ia kemudian mengajak peneliti langsung ke ruangan wawancara. Ketika melewati ruangan sebelah, ia memberi tahu peneliti bahwa di ruangan inilah ia bekerja, dan ketika peneliti datang, ia sedang mengerjakan suatu hal. Peneliti pun meminta maaf karena telah mengganggu waktu Awan. Ia hanya tertawa dan mengatakan tidak apa-apa. Peneliti lalu memberikan keyboard komputer yang dijanjikan dan meminta Awan untuk mencobanya terlebih dahulu. Ia pun masuk ke ruangan tersebut dan peneliti mengikuti dari belakang. Ruangan kerja Awan berisi satu meja kayu yang diatasnya terdapat satu buah computer, satu buah kursi kerja dan beberapa kertas serta map yang berserakan. Pada dinding ruangan sebelah kiri yang berwarna putih, tertempel daftar nama-nama narapidana dan jenis kejahatan yang dilakukannya. Setelah mengganti keyboard yang rusak, ia lalu mengetikkan beberapa karakter huruf pada layar komputer. Setelah memastikan semuanya baik, ia lalu berterima kasih kepada peneliti dan mengajak peneliti menuju ruangan wawancara.

Di luar ruangan, seorang petugas wanita sedang bekerja di depan komputernya. Wanita tersebut bertubuh tambun, dengan tinggi sekitar 160 cm dan berat 70 kg. Ia mengenakan seragam berwarna kehijauan, di depannya terdapat beberapa map berserakan. Ketika melihat Awan dan peneliti, petugas tersebut


(56)

dengan bercanda mengatakan kepada peneliti untuk berhati-hati terhadap Awan. Peneliti dan Awan hanya tersenyum menanggapi gurauan tersebut. Selain petugas wanita, terlihat seorang pria yang sedang bekerja menggunakan mesin tik.

Wajah Awan terlihat sumringah pada pagi itu. Ia mengenakan kaus lengan pendek berwarna orange yang bertuliskan “TAMPING Lapas Sibolga”, celana

jeans berwarna biru dan sepatu putih. Ketika memasuki ruangan wawancara, Pak

Sinar sedang berada di dalam dan duduk di meja kerjanya. Setelah peneliti menyampaikan salam, Pak Sinar mengajak peneliti dan Awan bercakap-cakap terlebih dahulu. Awan mengambil kursi yang berada di sebelah jendela dan membelakangi Pak Sinar, sedangkan peneliti memilih duduk di depan Awan dan Pak Sinar. Jarak antara kursi tamu dan meja kerja Pak Sinar tidaklah jauh. Pak Sinar merupakan seorang Bapak berusia sekitar 50 tahun dengan tinggi badan 170 cm dan berat badan 75 kg. Walaupun dengan rambut yang mulai memutih, Pak Sinar postur tubuh yang tegap dan memiliki suara yang keras. Pak Sinar yang pada saat itu sedang merokok, sedang sibuk mengurus beberapa berkas yang terletak di mejanya. Sambil membereskan pekerjaanya, Pak Sinar bercerita tentang betapa berharganya ilmu pengetahuan dan bagaimana sulitnya seorang mahasiswa untuk mendapatkan gelar pertamanya. Pak Sinar kemudian menceritakan pengalamannya yang baru saja memperoleh gelar S2 di bidang Hukum. Pada bulan Oktober 2010 yang lalu, Pak Sinar berhasil lulus dari salah satu perguruan tinggi swasta di kota Medan dengan memperoleh IPK Cum Laude.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Pak Sinar mempersilahkan peneliti untuk melakukan wawancara dan meninggalkan ruangan. Sebelum meninggalkan


(57)

ruangan, Pak Sinar bepesan kepada Awan agar menjawab dengan baik pertanyaan yang diajukan kepadanya. Awan hanya tersenyum dan kemudian meminta sebatang rokok kepada Pak Sinar. Setelah kondisi dinilai nyaman, peneliti mulai bercakap-cakap dengan Awan. Suasana ruangan sama dengan ketika peneliti datang untuk pertama kalinya. Hanya saja, di meja terdapat satu gelas berisi air putih dan asbak rokok yang terbuat dari kayu, dipenuhi dengan beberapa puntung rokok. Untuk memudahkan wawancara, peneliti memilih untuk pindah dan duduk di sebelahnya.

Pada wawancara II, Awan mulai terlihat lebih santai. Sambil merokok, ia menjawab satu-persatu pertanyaan yang diajukan padanya. Tak jarang ia mengajak peneliti bercanda dan tertawa atas kelakar-kelakar yang diucapkannya sendiri. Ia juga mulai menatap mata peneliti secara langsung ketika berbicara. Namun, ketika bercerita tentang masa lalunya, mata Awan terlihat menerawang jauh dan terdiam untuk beberapa saat. Di tengah wawancara, beberapa petugas memasuki ruangan tempat wawancara dilakukan dalam selang waktu yang bergantian, sehingga peneliti harus menghentikan proses wawancara sementara.

Hal yang mengganggu selama proses wawancara II berlangsung yaitu: Di luar ruangan terdengar suara musik yang dihidupkan di ruangan sebelah. Lagu tersebut merupakan lagu yang sedang trend akhir-akhir ini. Selain itu, terdengar suara menyerupai bunyi “tik tik” yang dihasilkan oleh mesin tik yang dipergunakan salah seorang narapidana. Adanya interferensi dari beberapa petugas yang menanyakan kepentingan peneliti di ruangan tersebut, hingga yang


(58)

menanyakan mengenai pekerjaan Awan membuat wawancara kurang dapat berjalan dengan lancar.

2. c. 3. Wawancara III

Wawancara III berjalan dengan lancar. Tidak ada kesulitan berarti yang dialami oleh peneliti. Pada pagi itu, Awan mengenakan kemeja putih bergaris, celana jeans biru dengan sepatu putihnya. ia langsung mengajak peneliti memasuki ruangan. Ketika melewati ruangan pertama, ia menyapa para petugas yang sedang bekerja di depan komputer. Memasuki ruangan wawancara, ia lalu memilih duduk di dekat jendela, sama seperti sebelum-sebelumnya, Wawancara tidak langsung dimulai, ia mengajak peneliti bercakap-cakap terlebih dahulu. Wawancara berlangsung nyaris tanpa gangguan.

Ketika wawancara telah selesai, Awan mengajak peneliti untuk sharing mengenai banyak hal. Tiba-tiba, seorang pria bertubuh kecil, dengan tinggi 160 cm dan berkulit gelap memasuki ruangan wawancara. Pria yang mengenakan kaus lengan pendek berwarna biru dan bertuliskan “Warga Binaan” tersebut datang dan membawa nampan berisikan 2 piring mie instan dan 2 gelas air putih. Awan tersenyum dan berterima kasih, sambil berdiri tegak mengambil nampan dan meletakkannya di atas meja. Awan mempersilahkan peneliti untuk makan namun ditolak secara halus oleh peneliti. Masih berdiri, Awan berteriak dengan keras memanggil temannya yang berada di ruangan sebelah dan menanyakan apakah Ia telah makan atau belum. Terdengar seruan dari luar yang mengatakan, “Sudah”.


(59)

Awan akhirnya memaksa peneliti untuk makan. Ia sendiri mulai menyantap makanannya dengan lahap. Peneliti pun memutuskan untuk makan bersama dengannya. Sesekali, ia juga mengajak peneliti bercakap-cakap di tengah santap siangnya tersebut. Tiba-tiba, seorang Bapak yang berpakaian dinas lengkap, dengan tinggi sekitar 170cm dan berat 80 kg, memiliki badan yang tegap dan berkulit gelap memasuki ruangan wawancara dan duduk di depan peneliti. Bapak tersebut kemudian mengambil sebatang rokok dari saku celana dan menyalakannya. Sambil merokok, Bapak tersebut mengajak peneliti dan Awan bercakap-cakap. Bapak tersebut duduk bersandar di kursi dengan kaki sedikit terbuka dan tangan menopang di pergelangan kursi. Dengan tubuh yang besar, kursi terlihat penuh dengan tubuh Bapak tersebut. Setelah Awan selesai makan, dengan piring dan gelas yang kosong, Awan pun terlibat dalam pembicaraan dengan Bapak tersebut. Suara Bapak tersebut cukup keras, begitu juga dengan suara Awan. Namun, Awan terlihat lebih sering mengiyakan perkataan Bapak tersebut daripada mengeluarkan pendapat sendiri. Walaupun sedang makan, peneliti juga terus mengikuti pembicaraan hingga akhirnya penelti memutuskan untuk menyudahi santapannya.

Pembicaraan dengan Bapak tersebut memakan waktu yang cukup lama. Ketika akhirnya Bapak tersebut pamit keluar, jam telah menunjukkan pukul 12.30. Waktunya Awan untuk melakukan checking kamar. Peneliti pun segera berdiri mengucapkan pamit serta menanyakan bagaimana membayar mie tersebut. Awan mengatakan bahwa peneliti cukup memberikan uangnya kepadanya.


(60)

Setelah membayarkan sejumlah uang, Awan kemudian membuka pintu dan mengantar peneliti ke luar hingga menuju pintu masuk.

III. Rangkuman Hasil Wawancara

Melihat frekuensi kemunculannya di dalam data penelitian, peneliti menggambarkan data ke dalam 2 tema utama untuk mengungkap masalah penelitian, yaitu:

a. Latar belakang kehidupan responden b. Latar belakang penangkapan responden

III. a. Latar Belakang Kehidupan Responden

Awan dilahirkan dalam keluarga yang berkecukupan. Ayahnya seorang wiraswasta sedangkan Ibunya dulu bekerja sebagai seorang guru. Meskipun keluarganya kurang harmonis, Awan memiliki ikatan emosional yang cukup kuat dengan Ibunya, karena menurutnya, Ibu merupakan sosok yang memperjuangkan anak-anaknya. Delapan tahun yang lalu, ibu Awan terserempet mobil hingga akhirnya sakit-sakitan dan meninggal. Bulan Desember tahun 2002, Awan kehilangan figur Ibu dalam hidupnya. Kematian Ibu Awan membawa pengaruh yang besar bagi diri Awan. Hubungan Awan dan Ayahnya tidak begitu baik. ia menganggap Ayahnya hanya sekedar Ayah dalam keluarga. Hal itu dirasakan Awan karena ayahnya yang hanya sibuk bekerja sehari-hari dan tidak begitu memperdulikan keharmonisan keluarganya.


(1)

Lampiran 2

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin oleh Responden

Tema Penelitian : Psychological Well-Being Peneliti : Fifi Yudianto

NIM : 071301069

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai responden dalam penelitian mengenai Psychological Well-Being.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Sibolga, 2011

( ) ( )


(2)

Lampiran 3

DATA DIRI RESPONDEN

Nama responden : Jenis kelamin :

Usia :

Agama / Suku : Pendidikan :

Keterangan mengenai status narapidana :

Kasus :

Lama Masa Hukuman :

Telah menjalani hukuman selama tahun di Lembaga Permasyarakatan Kelas IIA Sibolga


(3)

Lampiran 4

Pedoman Wawancara

Dinamika Psychological Well-Being Pada Narapidana

Pedoman wawancara yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan wawancara serta disusun berdasarkan dimensi psychological well-being adalah sebagai berikut:

I. Dimensi Psychological Well-Being

A. Penerimaan Diri (Self Acceptance)

1. Bagaimana tanggapan orang terdekat (keluarga, kekasih, teman) atas tindakan yang dilakukan responden?

• Apa yang terjadi ketika mengetahui bahwa responden melakukan tindak pidana?

• Bagaimana sikap mereka setelah mengetahui bahwa responden melakukan tindak pidana?

2. Bagaimana respon lingkungan masyarakat maupun institusi/ lembaga/ tertentu di sekitar responden?

• Bagaimana sikap masyarakat setelah mengetahui bahwa responden melakukan tindak pidana?

3. Bagaimana perasaan responden ketika pertama kali memasuki lembaga permasyarakatan?

• Bagaimana sikap para petugas lembaga permasyarakatan?

• Bagaimana respon dari sesama narapidana terutama selama masa awal berada dalam lembaga permasyarakatan?


(4)

B. Pertumbuhan Diri (Personal Growth)

1. Usaha apa yang dilakukan responden untuk dapat mengembangkan diri selama berada di lembaga permasyarakatan?

2. Apa yang responden dapatkan selama berada di dalam lembaga permasyarakatan?

3. Apakah pembinaan yang disediakan oleh LP bermanfaat terhadap diri responden?

4. Bagaimana kehidupan keagamaan responden selama berada dalam penjara?

C. Tujuan Hidup

1. Apa yang akan responen lakukan setelah bebas dari lembaga permasyarakatan?

2. Usaha-usaha apa yang dilakukan responden untuk mencapai tujuan hidup?

D. Penguasan Lingkungan

1. Apa saja kesulitan-kesulitan yang muncul selama berada dalam lembga permasyarakatan dan bagaimana cara mengatasinya?

2. Bagaimana responden mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lembaga permasyarakatan?

3. Apakah subjek telah merasa nyaman tinggal di dalam lembaga permasyarakatan?

4. Bagaimana responden menyikapi kekurangan-kekurangan yang ada di lembaga permasyarakatan?

E. Otonomi

1. Bagaimana responden mengontrol kehidupannya sehari-hari?

2. Apakah responden membutuhkan orang lain dalam mengambil keputusan? 3. Bagaimana responden dapat memenuhi kebutuhannya sendiri selama di


(5)

F. Hubungan Positif dengan Orang Lain

1. Bagaimana hubungan responden dengan teman-teman sesama narapidana? 2. Bagaimana hubungan responden dengan para petugas lembaga

permasyarakatan?

3. Apakah responden lebih memilih bergaul dengan kelompok/suku/agama tertentu selama berada dalam lembaga permasyarakatan?

4. Apakah responden cukup terbuka untuk menceritakan masalahnya kepada sesama narapidana?


(6)

Lampiran 5

Kerangka Berpikir

Narapidana

Dampak Psikis Dampak

Psikologis

terganggunya kondisi kesehatan

kesepian, kehilangan minat,

deprivation of liberty, depresi,

kecemasan, isolasi social.

Dipengaruhi oleh: diri sendiri, keluarga, masyarakat dan petugas LP

Ketidaknyamanan fisik dan psikologis yang berpengaruh pada kondisi Psychological

Well-Being (PWB)

Dinamika PWB pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan II A Kotamadya Sibolga

Dimensi PWB: a. Penerimaan Diri b. Pertumbuhan

Diri

c. Tujuan Hidup d. Penguasaan Lingkungan e. Otonomi f. Hubungan Positif dengan Orang lain