Sistem Peradilan Pidana yang Edukatif Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kabupaten Simalungun).

(1)

SISTEM PERADILAN PIDANA YANG EDUKATIF TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA (STUDI DI KABUPATEN

SIMALUNGUN)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh : NIM : 100200235

DINI WAHYUNI N HARAHAP Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul Sistem Peradilan Pidana Yang Edukatif Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kabupaten Simalungun).

Proses penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari pihak lain, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof.Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak M. Husni, SH, MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(3)

6. Ibu Liza Erwina SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum pidana

7. Bapak Dr. Mohammad Eka Putra, SH, M.Hum selaku Dosen pembimbing I penulis yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam proses pengerjaan skripsi ini

8. Ibu Dr. Marlina SH, M.Hum selaku Dosen pembimbing II penulis yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam proses pengerjaan skripsi ini 9. Seluruh Staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum pidana 10. Seluruh Polisi Penyidik Kepolisian Bangun Kabupaten Simalungun 11. Seluruh Jaksa Penuntut umum Kejaksaan Negeri Siantar

12. Seluruh Hakim Anak dan staf Pengadilan Negeri Simalungun

13. Dahyar Harahap, SH., dan Dra. Arifah Dalimunthe, MA., selaku orangtua penulis yang sangat penulis cintai dan banggakan tiada henti-hentinya memberikan dukungan baik moril dan materil kepada penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

14. Adik – adik penulis Wini Aafini Harahap dan Fatwa Anugerah Harahap, Adik- adik dekat Penulis Yulia Puspita, Nurchalissa Saragih yang telah memberikan dukungan semangat kepada penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

15. Teman -teman seperjuangan Penulis juga sebagai sahabat dekat penulis Anggie Yoshephine Sinaga, Nurul Dwi Oktary Sitepu, Defina Simangunsong yang telah memberikan semangat dan motivasi sampai terselesaikannya skripsi ini.


(4)

16. Teman – teman stambuk 2010 sekaligus Kelompok Klinis Penulis, Diana Wijaya, Cynthia wirawan, Rivera Wijaya, Ekpi Simbolon, Rory, Paul, teman satu jurusan penulis Febrina Permatasari, Julin, Lidya, Elia, Yolanda, Rahmaini Zebua dan yang lainnya yang tidak dapat disebutkan semuanya telah memberikan dukungan semangat dan motivasi sampai terselesaikannya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi masih memiliki banyak kekeliruan, oleh karena itu penulis mohon maaf kepada pembaca skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan oleh penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada kitta semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapat berkah dari tuhan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di Negara republik Indonesia.

Medan , 2014

Penulis


(5)

SISTEM PERADILAN PIDANA YANG EDUKATIF TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA (STUDI DI KABUPATEN

SIMALUNGUN)

Dini Wahyuni N. Harahap*53

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses penanganan anak di kabupaten simalungun masih belum mencapai tujuan dari perlindungan anak, ditunjukkan dengan tidak menurunnya laporan pengaduan tindak pidana anak di Kepolisian Kabupaten Simalungun, dan meningkatnya perkara anak yang masuk ke Pengadilan Negeri Simalungun. Kesimpulan yang dapat dirumuskan adalah sistem peradilan pidana anak wajib memperhatikan kepentingan anak disetiap tahap peradilan yaitu prajudikasi, judikasi, dan pasca judikasi. Penerapan konsep diversi juga telah diwajibkan dalam setiap tahap peradilan sehingga kesempatan terlaksananya restorative justice semakin terbuka lebar. Hambatan yang muncul adalah dari segi penerapan peraturan, aparat penegak hukum yang belum memadai dan

Dr. Mohammad Eka Putra, SH, M.Hum** Dr. Marlina, SH, M.Hum***

Abstrak

Anak sangat mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan disekitarnya sehingga perbuatan salah yang dilakukan oleh anak tanpa adanya pengarahan dan bimbingan yang benar dapat menjadi juvenille delinquence yang pada akhirnya membuat anak masuk dalam sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana untuk anak dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan terbaik untuk anak walaupun dalam Undang-undang Pengadilan anak telah tersirat bahwa pidana penjara diupayakan sebagai last resort namun masih belum secara detail mengatur kepentingan anak dan tetap memungkinkan anak menempuh jalur sistem peradilan. Undang-undang Sistem peradilan pidana anak yang telah dirumuskan saat ini mengatur bagaimana proses penanganan khusus untuk anak dalam setiap tahapan peradilan, mewajibkan diversi dalam setiap tahap peradilan dan memungkinkan terlaksananya restorative justice. Sistem peradilan edukatif yang dimaksud adalah pemberian tindakan khusus yang memperhatikan kepentingan anak dalam setiap tahap peradilan dengan Integrated Criminal Justice Administrasion, sejalan dengan itu permasalahan yang muncul adalah bagaimana proses penanganan yang edukatif dalam setiap tahap peradilan pidana anak, bagaimana penerapan konsep diversi dan restorative justice dalam sistem peradilan pidana anak, apa saja hambatan dan upaya mengatasinya dalam menerapkan sistem peradilan pidana anak. Metode yang digunakan adalah desktiptif analitis dengan metode pengumpulan data Library Research dan Field research, data diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara (interview guide).

Kata Kunci : Sistem peradilan pidana, pidana edukatif, anak pelaku tindak pidana

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I


(6)

minimnya kepedulian masyarakat. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut adalah dengan mengadakan sosialisasi peraturan dan mengadakan Public awareness.

Daftar Tabel

Sandingan Ketentuan Hukum Pidana Anak dalam KUHP dan

UU No. 3/1997 ... 51 Sandingan Pengaturan UU No. 3/1997 dengan Pengaturan menurut

UU No. 1/ 2012 ... 58 Tabel restrukturisasi peradilan pidana setelah reformasi hukum ... 74

Tabel 1. Laporan Pengaduan (LP) Tindak Pidana yang dilakukan anak

tahun 2012 di Polsek Bangun Kabupaten Simalungun ... 85

Tabel 2. Laporan Pengaduan (LP) Tindak Pidana yang dilakukan anak

tahun 2013 di Polsek Bangun Kabupaten Simalungun ... 86

Tabel 3. Laporan Pengaduan (LP) Tindak Pidana yang dilakukan anak

tahun 2014 (Sampai bulan Maret) di Polsek Bangun ... 87

Tabel 4.Tabel jangka waktu penahanan anak tahap pemeriksaan

menurut Undang-undang Sistem Peradilan Pidana anak ... 91

Tabel 5. Perkara anak yang masuk ke Pengadilan Negeri Simalungun

tahun 2012 dan Tahun 2013 ... 92

Tabel 6. Perkara anak yang masuk ke Pengadilan Negeri Simalungun


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Keaslian Penulisan ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 10

E. Manfaat penelitian ... 10

F. Tinjauan Kepustakaan ... 11

G. Metode Penelitian ... 23

H. Sistematika Penulisan ... 26

BAB II : PROSES PENANGANAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK... 29

A. Proses Peradilan pidana anak tahap prajudikasi ... 30

1. Tahap penyidikan dan penyilidikan ... 30 a. Penyidikan dan penyelidikan anak pelaku tindak


(8)

No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ... 30 b. Penyidikan dan penyelidikan anak pelaku

tindak pidana menurut Undang-undangNo. 11

tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak ... 33 2. Tahap penangkapan dan penahanan ... 34 a. Penangkapan dan penahanan anak pelakutindak pidana

yang berlaku saat ini menurut Undang-undang

No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ... 34 b. Penangkapan dan penahanan anak pelaku tindak

pidana menurut Undang-undang No. 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ... 38 3. Tahap Penuntutan ... 39 a. Penuntutan anak pelaku tindak pidana saat ini menurut

Undang-undang U No. 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak ... 39 b. Penuntutan anak pelaku tindak pidana menurut

Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentangSistem

Peradilan Pidana Anak ... 42 B.Proses peradilan pidana anak tahap judikasi ... 43

1. Pemeriksaan perkara anak dalam sidang pengadilan yang berlaku saat inimenurut Undang-undang No. 3


(9)

2. Pemeriksaan perkara anak dalam sidang pengadilan menurut Undang-undang No. 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ... 45

C. Proses peradilan pidana anak pasca judikasi ... 49

1. Pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana yang berlaku saat inimenurut Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ... 49

2. Pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana menurut undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak ... 54

BAB III: KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE PADA PERADILAN ANAK ... 62

A.Konsep diversi ... 62

B.Restorative justice ... 65

C.Konsep diversi dan restorativemenurut Undang-undang No. 11 Tahun 2012 sistem peradilan pidana anak ... 73

BAB IV: HAMBATAN DAN UPAYA PENANGANAN DALAM MEWUJUDKANPERADILAN PIDANA ANAK YANG EDUKATIFTERHADAPANAK PELAKU TINDAK PIDANA (STUDI DI KABUPATENSIMALUNGUN) ... 83

A. Hambatan dalam pelaksanaan peradilan pidana anak ... 83

1. Hambatan dari segi yuridis ... 83

2. Hambatan dari segi aparat penegak hukum ... 94


(10)

B. Upaya dalam pelaksanaan peradilan pidana anak ... 98

1. Upaya dari segi yuridis ... 99

2. Upaya dari segi aparat penegak hukum ... 100

3. Upaya masyarakat ... 107

BABV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 109

A. Kesimpulan ... 110

B. Saran ... 111 DAFTAR PUSTAKA


(11)

SISTEM PERADILAN PIDANA YANG EDUKATIF TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA (STUDI DI KABUPATEN

SIMALUNGUN)

Dini Wahyuni N. Harahap*53

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses penanganan anak di kabupaten simalungun masih belum mencapai tujuan dari perlindungan anak, ditunjukkan dengan tidak menurunnya laporan pengaduan tindak pidana anak di Kepolisian Kabupaten Simalungun, dan meningkatnya perkara anak yang masuk ke Pengadilan Negeri Simalungun. Kesimpulan yang dapat dirumuskan adalah sistem peradilan pidana anak wajib memperhatikan kepentingan anak disetiap tahap peradilan yaitu prajudikasi, judikasi, dan pasca judikasi. Penerapan konsep diversi juga telah diwajibkan dalam setiap tahap peradilan sehingga kesempatan terlaksananya restorative justice semakin terbuka lebar. Hambatan yang muncul adalah dari segi penerapan peraturan, aparat penegak hukum yang belum memadai dan

Dr. Mohammad Eka Putra, SH, M.Hum** Dr. Marlina, SH, M.Hum***

Abstrak

Anak sangat mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan disekitarnya sehingga perbuatan salah yang dilakukan oleh anak tanpa adanya pengarahan dan bimbingan yang benar dapat menjadi juvenille delinquence yang pada akhirnya membuat anak masuk dalam sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana untuk anak dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan terbaik untuk anak walaupun dalam Undang-undang Pengadilan anak telah tersirat bahwa pidana penjara diupayakan sebagai last resort namun masih belum secara detail mengatur kepentingan anak dan tetap memungkinkan anak menempuh jalur sistem peradilan. Undang-undang Sistem peradilan pidana anak yang telah dirumuskan saat ini mengatur bagaimana proses penanganan khusus untuk anak dalam setiap tahapan peradilan, mewajibkan diversi dalam setiap tahap peradilan dan memungkinkan terlaksananya restorative justice. Sistem peradilan edukatif yang dimaksud adalah pemberian tindakan khusus yang memperhatikan kepentingan anak dalam setiap tahap peradilan dengan Integrated Criminal Justice Administrasion, sejalan dengan itu permasalahan yang muncul adalah bagaimana proses penanganan yang edukatif dalam setiap tahap peradilan pidana anak, bagaimana penerapan konsep diversi dan restorative justice dalam sistem peradilan pidana anak, apa saja hambatan dan upaya mengatasinya dalam menerapkan sistem peradilan pidana anak. Metode yang digunakan adalah desktiptif analitis dengan metode pengumpulan data Library Research dan Field research, data diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara (interview guide).

Kata Kunci : Sistem peradilan pidana, pidana edukatif, anak pelaku tindak pidana

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I


(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak sebagai unsur penting kehidupan masa depan memerlukan pembinaan dan bimbingan khusus agar dapat berkembang baik fisik, mental dan spiritualnya secara maksimal, perkembangan tersebut terjadi di lingkungan anak.

Lingkungan adalah hal yang penting untuk diperhatikan dalam perkembangan anak karena pada dasarnya tempat anak mempelajari hal-hal baru dalam pertumbuhannya adalah di lingkungan, termasuk hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh anak.

Anne Astasi mantan presiden American Psychological Associaton mengemukakan bahwa pengaruh keturunan kepada tingkah laku tidak terjadi secara langsung, pengaruh keturunan selalu membutuhkan perantara atau pernagsang yang terdapat dalam lingkungan, dan faktor lingkungan menjadi sumber dari berkembangnya setiap tingkah laku.54

Kesalahan anak yang ringan dapat berkembang menjadi kenakalan anak yangapabila dibiarkan tanpa adanya pengawasan dan pembinaan yang tepat, serta terpadu oleh semua pihak maka gejala kenakalan anak ini akan menjadi tindakan-tindakan yang mengarah kepada tindakan kriminalitas, menjadikan anak sebagai pelaku tindak pidana.

Anak yang masih dalam pencarian jati diri mempunyai mental yang sangat mudahterpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan disekitarnya, sehingga jika lingkungan tempat anak berada tersebut buruk dapat berpengaruh pada tindakan yang buruk juga.

55

54

Singgih, yulia, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,PT. BPK. Gunung Mulia, Jakarta, 2008, hlm. 19

55


(13)

Perbuatan atau tingkah laku anak yang menyalahi hukum disebut Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency), Peter Salim mengartikan juvenile delinquency adalah kenakalan anak remaja yang melanggar hukum, berprilaku anti sosial, melawan orang tua, berbuat jahat, sehingga sampai diambil tindakan hukum.56

Anak pelaku tindak pidana tidaklah sama dengan orang dewasa sebagai pelaku tindak pidana, ketentuan hukum mengenai anak-anak khususnya bagi anak yang melakukan tindak pidana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1997

Anak yang terlanjur masuk ke dalam sistem peradilan pidana tetap harus diperlakukan sebagai anak yang butuh perlindungan dan bimbingan tentu saja harus berbeda dengan orang dewasa, termasuk dalam sistem peradilan pidana bagi seorang anak pelaku tindak pidana tersebut tetaplah mementingkan hal-hal yang bersifat mendidik dan mementingkan hak anak.

Indonesia telah membuat peraturan-peraturan yang pada dasarnya sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu dapat dilihat dari diratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) dengan keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Peraturan perundangan lain yang telah ada antara lain, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

56

Peter Salim, Salim Ninth Collegiate English Indonesia Dictionary, cet 3, (Yogyakarta, Modern English Press, 1987), hlm. 321.


(14)

tentang Pengadilan anak, baik pembedaan perlakuan di dalam hukum acara maupun ancaman pidananya.

Penerapan Undang-Undang ini dimaksudkan untuk lebih memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap anak demi masa depannya yang masih panjang, dan pembedaan perlakuan antara pelaku tindak pidana anak dengan dewasa juga dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada anak agar setelah melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang lebih baik yang berguna bagi diri, keluarga , masyarakat, dan Negara.57 Data dari Direktorat jenderal Pemasyarakatan tentang Kondisi Anak Pelaku Tindak Pidana saat ini antara lain sebagai berikut:58

1. Lebih dari 7.000 anak sebagai pelaku tindak pidana masuk proses peradilan setiap tahun

2. Bulan Juli 2010 terdapat 6.273 anak yang berada di Tahanan dan lapas di seluruh Indonesia, terdiri dari 3.076 anak dengan status tahanan, 3.197 Narapidana dan 56 Anak negara .

3. Dari 6.273 anak tersebut diatas , 2.357anak ditempatkan di Lapas Anak, sedangkan sisanya sebanyak 3.916 anak ditempatkan di Lapas Dewasa . 4. 5 (lima) Jenis tindak pidana yang paling dominan dilakukan anak yaitu :

Pencurian , Narkotika Susila ,dan penganiayaan dan pengeroyokan

Peradilan anak ada hakikatnya diselenggarakan dengan tujuan untuk mendidik kembali dan memperbaiki sikap juga perilaku anak sehingga ia dapat meninggalkan perilaku buruk yang selama ini telah dilakukannya.59

57

Wagiati, Op.cit,hlm. 29

Sistem pemidanaan yang berlaku saat ini di Indonesia tampaknya hanya fokus kepada pemidanaannya saja tanpa memperhatikan bagaimana merubah si anak tersebut menjadi lebih baik.

58

Apong, Penanganan Anak yang bermasalah dengan hukum,

2

59

Maidin Perlindungan Hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana anak diindonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm.77


(15)

Data yang ditemukan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) pada tahun 2011:60

1. Lapas Klas II Anak Medan Sumut, tanggal 30 Maret 2011,ada 71 Anak yang telah di vonis hakim PN Medan tetapi belum menerima petikan putusan (Extract Vonnis) dan masa tahanan telah habis.

2. Rutan Pondok Bambu Tanggal 14 Maret 2011, Pada tanggal 11 Maret 2011, tercatat ada 20 Anak yang belum menerima petikan putusan maupun salinan putusan pengadilan, padahal hakim sudah memutus perkara tersebut antara 6 Desember 2010 -28 Februari 2011

3. Rutan Pondok Bambu Tanggal 1 Desember 2011, Ada 126 orang (anak laki-laki, anak perempuan dan perempuan dewasa) belum menerima extract vonis

4. Ada 162 orang ada putusan tapi belum dilengkapi surat perintah pelaksanaan putusan (P-48) dan Berita Acara Pelaksanaan eksekusi oleh Jaksa (BA-8) .

Keadaan dimana anak adalah generasi penerus yang diharapkan kelak dan kemungkinan masih dapat dibimbing lagi karena masih dalam tahap perkembangan, maka patutlah untuk seterusnya negara mengubah paradigma dalam penangan anak berhadapan dengan hukum atau anak pelaku tindak pidana.

Komisi Perlindungan anak Indonesia merekomendasi perubahan paradigma dalam penangan anak berhadapan dengan hukum antara lain:61

1. Penyelesaian kasus ABH/Peradilan pidanaAnak harus merupakan bagian dari perlindungan anak dan merupakan bagian integral proses pembangunan nasional.

2. Perlindungan ABH harus merupakan keseluruhan proses, dimulai dari pencegahan, penyelesaian kasus, program rehabilitasi dan reintegrasi ABH ke Masyarakat.

3. Anak, karena karakteristiknya (belum matang baik secara fisik maupun psikis), memerlukan perlindungan dan penanganan hukum yang khusus dibandingkan dengan orang dewasa

4. Kewajiban negara, masyarakat dan keluarga untuk melindungi anak.

Komite Pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) sejalan dengan itu telah membahas revisi UU Pengadilan anak dengan substansi penting :62

60

Apong,Op.Cit

61

Ibid

62


(16)

1. Penyelesaian perkara anak dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif

2. Dalam penyelesaian perkara anak dimungkinkan adanya proses pengalihan dari proses formal (diversi)

3. Perampasan kemerdekaan sebagai upaya terakhir.

Substansi dan hal penting tersebut dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang diharapkan akan mewujudkan sistem peradilan yang lebih spesifik dan sebagai penyempurnaan dan penanggulangan hambatan- hambatan yang dirasakan pada peraturan sebelumnya dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Hal-hal baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak, diantaranya definisi anak, lembaga-lembaga anak, asas-asas, sanksi pidana, ketentuan pidana.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dalam Pasal 1 menyebutkan sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai dari tahap penyidikan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani pidana, keseluruhan proses tersebutlah yang menyatu menjadi sistem peradilan pidana anak.

Pelaksanaan proses hukum terhadap pelaku tindak pidana berada dalam satu sistem yang terdiri dari subsistem yang saling berhubungan yang disebut dengan peradilan pidana atau dalam bahasa inggris criminal justice system.63

63

Marlina. Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan restorative justice, Refika Aditama, Medan, 2009, hlm 5


(17)

Mardjono Reksodiputro mengartikan sistem peradilan pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah keajahatan, bertujuan mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi dan menyelesaikan sebagian besar laporan ataupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta mendapat pidana kemudian mencegah terjadinya korban kejahatan dan mencegah pelaku mengulangi perbuatannya.64 Sistem Peradilan Pidana Anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara pidana yang menyangkut anak, menekankan atau memusatkan perhatian pada “kepentingan anak”, Sistem peradilan Pidana Anak adalah sistem pengendalian kenakalan anak yang terdiri dari lembaga-lembaga yang menangani Penyidikan anak, penuntutan anak, pengadilan anak, pemasyarakatan anak.65

Berdasarkan pengertian tersebut jelas bahwa tujuan CJS terwujud apabila keempat instansi yang terkait yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan bekerjasama secara terpadu (integrated Criminal Justice Administrasion).

Istilah sistem peradilan pidana atau criminal justice system (CJS) menurut davies menggambarkan the world system converts an impression of a complect to end, artinya kata sistem menunjukkan adanya suatu kesan dari objek yang kompleks terdiri dari bagian-bagian dan sub-sub bagian dengan bagian lainnya saling berhubungan satu sama lain dan berjalan sampai akhir.

66

Sistem peradilan pidana terdiri dari 4 (empat) komponen yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen tersebut bekerjasama dalam menegakkan keadilan. Tahapan dalam proses peradilan pidana yaitu tahap prajudikasi (sebelum sidang peradilan), meliputi penyidikan dan penyelidikan, judikasi (selama sidang peradilan) meliputi pemeriksaan dan pembuktian tuntutan pihak jaksa dan pascajudikasi (setelah sidang peradilan) meliputi

64

Ibid

65

Ibid, hlm. 70 66


(18)

pelaksanaan keputusan yang telah ditetapkan dalam persidangan seperti penempatan terpidana kedalam lembaga pemasyarakatan.

Peraturan-peraturan minimum Standar Perserikatan Bangsa- Bangsa mengatur mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak ( United NationsStandard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (TheBejing Rules))

Bagian satu : Prinsip-prinsip Umum Butir 5. Tujuan-tujuan Peradilan Anak

5.1. Sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan kesejahteraan anak dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia anak akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggar-pelanggaran hukumnya.

Butir 6. Ruang lingkup kebebasan membuat keputusan

6.1. Mengingat kebutuhan-kebutuhan khusus yang beragam dari anak anak maupun keragaman langkah-langkah yang tersedia, ruang lingkup yang memadai bagi kebebasan untuk membuat keputusan akan diizinkan pada seluruh tahap proses peradilan dan pada tahap tahap berbeda dari administrasi peradilan bagi anak, termasuk pengusutan, penuntutan, pengambilan keputusan dan pengaturan-pengaturan lanjutannya.

Butir 7. Hak-hak anak

7.1. Langkah-langkah pelindung prosedural yang mendasar seperti praduga tak bersalah, hak diberitahu akan tuntutan-tuntutan terhadapnya, hak untuk tetap diam, hak akan pengacara, hak akan kehadiran orang tua wali, hak untuk


(19)

menghadapi dan memeriksa silang saksi-saksi dan hak untuk naik banding ke pihak berwenang yang lebih tinggi akan dijamin pada seluruh tahap proses peradilan.

Perlindungan hukum terhadap anak menyangkut semua aturan hukum yang berlaku, hal ini perlu mengingat bahwa anak adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik dan mentalnya oleh karenanya anak memerlukan perlindungan dan perawatan khusus.67

Konsep diversi dan restorative tersebut merupakan hal baru di Indonesia, awalnya konsep diversi muncul dalam wacana-wacana seminar yang sering diadakan. Berawal dari pengertian dan pemahaman tentang konsep itu menumbuhkan semangat dan keinginan untuk mengkaji konsep tersebut, selanjutnya secara intern kelembagaan yang terlibat dalam sistem peradilan pidana anak tersebut masing-masing membicarakan kembali tentang konsep tersebut dalam memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana. Perlindungan hukum tersebut tidak terkecuali bagi anak yang melakukan tindak pidana, dalam sistem hukum khususnya peradilan pidana anak juga telah menjadi perhatian penting dengan adanya sistem yang edukatif atau mendidik khusus untuk anak, perkembangan sistem yang edukatif ini tak terlepas dari konsep diversi dan restorative justice.

68

Sistem pemidanaan yang bersifat mendidik (edukatif), tidak hanya menekankan dari segi pemidanaannya saja namun lebih kepada bagaimana caranya agar seorang anak itu bisa dirubah perilakunya menjadi lebih baik dan tidak akan mengulangi tindakannya tersebut tanpa harus diberikan sanksi badan atau penjara, memungkinkan dapat tercapainya tujuan dari pembuatan peraturan yang mengatur tentang anak tersebut.69

67

Ibid, hlm.42 68

Marlina, Op.cit

69


(20)

Salah satu contoh sanksi pidana yang bersifat edukatif adalah pemberian sanksi pidana yang tidak hanya dikembalikan kepada orang tua / wali atau lingkungannya saja namun sanksi pidana tersebut sifatnya juga mendidik misalnya dimasukkan ke pondok pesantren bagi pelaku tindak pidana yang beragama Islam, atau diberikan kepada gereja bagi yang beragama nasrani, dan lembaga keagamaan lainnya yang sesuai dengan agama yang dipeluk atau dianutnya. 70

70


(21)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian Latar Belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana proses penanganan yang edukatif terhadap anak pelaku tindak pidana pada tahap prajudikasi, judikasi, dan pasca judikasi?

2. Bagaimana konsep diversi dan restorative justice pada sistem peradilan pidana anak?

3. Apa hambatan yang ada dalam mewujudkan sistem peradilan anak yang edukatif, dan bagaimana upaya mengatasi hambatan tersebut?

C. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelitian dan penulusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian menyangkut masalah “Sistem Peradilan Pidana Yang Edukatif terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kabupaten Simalungun)”. Beberapa skripsi ada membahas tentang “sistem pemidanaan yang edukatif” namun di dalam penelitian penulis yang dibicarakan adalah sistem peradilan yang edukatif dengan tempat penelitian kabupaten simalungun sehingga permasalahan yang dibahas tidaklah sama.

Penelitian ini betul asli dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


(22)

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana proses penanganan yang edukatif terhadap anak pelaku tindak pidana pada tahap prajudikasi, judikasi dan pasca judikasi.

2. Untuk mengetahui penerapan konsep diversi dan restorative justice pada sistem peradilan pidana anak.

3. Untuk mengetahui apa saja hambatan yang ada dalam mewujudkan sisitem peradilan yang edukatif, dan upaya mengatasi hambatan tersebut.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat dari segi teoritis sebagai suatu bentuk penambahan literatur di bidang

hukum acara pidana khususnya dalam hal pelaksanaan sistem peradilan yang edukatif terhadap anak pelaku tindak pidana

2. Manfaat dari segi praktis sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan para pihak yang berkepentingan sehingga dapat dicapainya suatu kepastian hukum dalam bidang implementasi peraturan tentang anak.


(23)

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak

Peradilan secara Yuridis merupakan kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan, dalam peradilan terkait beberapa lembaga yaitu : kejaksaan, kepolisian, kehakiman, lembaga pemasyarakatan, bantuan hukum, dalam mewujudkan perlindungan dan keadilan bagi setiap warga Negara.71

Sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan dari lembaga-lembaga tersebut, yang diharapkan bekerjasama membentuk suatu “integrated criminal justice administrasion” dan merupakan implementasi atau aplikasi dari kekuasaan kehakiman dibidang peradilan pidana.72

Sistem Peradilan Pidana Anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara pidana yang menyangkut anak, menekankan atau memusatkan perhatian pada “kepentingan anak”.Sistem peradilan Pidana Anak adalah sistem pengendalian kenakalan anak yang terdiri dari lembaga-lembaga yang menangani Penyidikan anak, penuntutan anak, pengadilan anak, pemasyarakatan anak.73

Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan suatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatandan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana.74

71

Maidin,Loc.Cit., hlm.66 72

Ibid, hlm.67 yang dikutip dari Marjono Reksodiputro, “Sistem peradilan Pidana Indonesia (melihat kepada kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi)”. Pidato pengukuhan Penerimaan jabatan guru besar tetap dalam ilmu hukum pada fakultas hukum Universitas Indonesia, 1993 hlm.1

73

Ibid, hlm. 70 74

M. Yahya, (2003), Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika, hlm.101


(24)

Pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik, apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan “penyidikan” atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP (Pasal 1 butir 5)75

Penyidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan dari penyidikan, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.76

Dua penjelasan tersebut hampir tidak ada perbedaan makna keduanya, hanya bersifat gradual saja, antara penyidikan dan penyelidikan adalah dua fase tindakanyang berwujud satu, keduanya saling mengisi guna dapat menyelesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana.

Pasal 1 butir 1 dan 2, merumuskan pengertian penyidikan yang di lakukan oleh penyidik yaitu pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

77

Pengertian penyelidikan dan penyidikan walaupun hampir tidak ada perbedaannya, namun ditinjau dari beberapa segi terdapat beberapa perbedaan:78

a. Dari segi pejabat pelaksana, penyelidik terdiri dari semua anggota Polri, pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada dibawah pengawasan penyidik,

b. Wewenang terbatas, hanya dalam hal-hal mendapat perintah dari pejabat penyidik barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebut pasal 5 ayat 1 (satu) huruf b (penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan, dan sebagainya.

75

Ibid.

76

Pasal 1 Ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 77

M. Yahya,Op.cit, Hlm. 109 78


(25)

Pengertian Penangkapan dalam pasal 1 butir 20 dijelaskan penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.79

Penangkapan diperlukan agar pelaku tindak pidana tidak melarikan diri atau menghilangkan barang bukti yang dapat memberatkan dirinya, walaupun penangkapan adalah wewenang dari penyidik bukan berarti penyidik dapat menagkap sesorang dengan sesuka hati.80

Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang, jadi penahanan adalah suatu kewenangan penyidik yang sangat

Pasal 17 KUHAP menetukan syarat penangkapan adalah Tindakan penangkapan baru dapat dilakukan oleh seorang penyidik apabila sesorang itu : ‘diduga keras melakukan tindak pidana dan dugaan itu di sertai permulaan bukti yang cukup’. Adanya bukti permulaan yang cukup dan atas dasar bukti permulaan yang cukup itulah sesorang yang diduga keras melakukan tindak pidana dapat ditangkap, agar tidak terjadi kekeliruan dalam penangkapan.

Penjelasan pasal 1 butir 21 KUHAP : “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta cara yang diatur oleh undang-undang”.

79

M. Yahya, Ibid, hlm.157 80

Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam sistem peradilan pidana, USU Press,Medan, 2009, hlm. 19


(26)

bertentangan dengan hak asai manusia, sehingga penyidik haruslah berhati – hati untuk menahan sesorang.81

Penahanan seharusnya dilakukan jika perlu sekali, karena kekeliruan dalam penahan dapat menimbulkan hal-hal fatal bagi penahanan. Dalam KUHAP diatur tentang ganti rugi dalam pasal 95 disamping dapat dilakukannya praperadilan.82

2. Pengertian Sistem Peradilan yang edukatif menurut Undang- undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Anak bukanlah mimiatur orang dewasa, anak sebagai pelaku bukanlah sebagai pelaku murni akan tetapi juga sebagai korban.83

Numerous studies show that one of the most effective ways to help young people in juvenile justice get back on track is by advancing their educational skills, according to the National Center on Education, Juvenile Justice, and Disability. Reconnecting these kids to school has been shown to reduce recidivism. But the quality and even the availability of basic educational services in juvenile justice settings is spotty at best.

"Tragically, some of the kids who need the best options are the ones who get the worst alternatives," says David Domenici, co-founder of Maya Angelou and executive director of the See Forever Foundation.

"Kids who are already behind, have quit or been pushed out of school, or are in a confined facility need the most support to move out of poverty and low education [performance] and into college. They end up in schools that don't work well and it tracks them right back into an unhealthy situation," he says.84 (Sejumlah penelitian menunjukkan bahwasalah satu carayang paling efektifuntuk membantu kaum mudadalamperadilan anakkembali ke jaluradalahdenganmemajukanketerampilanpendidikan mereka, menurut

81

Ibid, hlm. 20 82

M. Yahya, Opcit, hlm. 164 83

Dewi , Proses diversi dalam SPPA diIndonesia, Expert Consultation meeting, Bali, 2013

84

Caitlin Johnson, SparkAction (at press time, Connect for Kids) , Education : the key to the

future for kids in juvenile justice, January 9, 2006,


(27)

National Center on Education, Juvenile Justice, and Disability, menghubungkan kembalianak-anak inike sekolahtelahterbukti mengurangiresidivisme,

tapikualitasdan bahkanketersediaanpelayanan dasar pendidikandalampengaturanperadilan anak adalah di titik terabaik.

"Tragisnya, beberapaanak-anak yangmemerlukan opsi-opsiterbaikadalah orang-orangyang mendapatkanalternatifterburuk," kata DavidDomenici, co-pendiri MayaAngeloudandirektur eksekutif dariSeeForever Foundation. "Anak-anakyangsudah tertinggal, telahberhenti atautelah keluar darisekolah, ataudi fasilitasterbataspalingmembutuhkandukunganuntukkeluar dari kemiskinandanpendidikan yang rendah[kinerja] danke perguruan tinggi. Mereka akhirnyadi sekolah-sekolahyang tidakbekerja dengan baikdanitu menjadi jalanmerekasegera kembali kesituasi yang tidak sehat, "katanya.)

Sistem peradilan pidana menuru Romli Asasmitaapabila dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan social defence yang terkait dalam tujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat maka dalam sistem peradilan terkandung aspek sosial yang menitik beratkan kepada kegunaan (ekspediensy)85

Sistem pemidanaan edukatif merupakan suatu sistem dimana anak sebagai pelaku tindak pidana tidak hanya diberikan suatu sanksi berupa pemidanaan semata, namun diberikan suatu tindakan (treatment) yang memposisikan anak bukan sebagai pelaku kejahatan layaknya orang dewasa tetapi merupakan individu yang belum dewasa, yang membutuhkan bimbingan moral, mental dan spiritualnya agar menjadi calon individu dewasa yang lebih baik.86

Sejalan dengan itu sistem pemidanaan yang bersifat mendidik (edukatif), tidak hanya menekankan dari segi pemidanaannya saja namun lebih kepada bagaimana caranya agar seorang anak itu bisa dirubah perilakunya menjadi lebih baik dan tidak akan mengulangi tindakannya tersebut tanpa harus diberikan sanksi badan atau penjara, memungkinkan dapat tercapainya tujuan dari pembuatan peraturan yang mengatur tentang anak tersebut.87

85

Tolib Efenndi, Sistem Peradilan pidana : perbandingan komponen dan proses peradilan pidana di beberapa negara,Pustaka Yustisia, Jakarta, 2013. Hlm. 12

86

Novie Amalia Nugraheni, “Sistem pemidanaan yang edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana”,( Thesis, Magister ilmu hukum UNDIP,2009). Hlm 20

87


(28)

Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan pidana anak yang telah mengatur Konsep diversi dan keadilan restoratif. menurut UU Sistem peradilan pidana anak tersebut Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana.88

Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.89

3. Pengertian Anak

Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun) termasuk anak yang masih dalam kandungan".Pasal 1 KHA / Keppres No.36 Tahun 1990, "Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal".

Pasal 1 Ayat (5) Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, "Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya".

88

Pasal 1 ayat 7 UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak 89


(29)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberi batasan yang berbeda antara anak perempuan dengan anak laki-laki, yakni anak perempuan berumur 16 tahun dan anak laki-laki berumur 19 tahun.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 1 Ayat (2) menyebutkan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.”

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 angka (1), menyebutkan: “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1 Ayat 3 menyebutkan “Anak yang berkonflik dengan Hukum selanjutnya disebut anak adalah anak yangtelah berumur 12 (dua belas) tahun tapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Undang-undang No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO tentang Batas Usia Minimum Anak Bekerja, adalah 15 (lima belas) tahun.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) memberi batasan mengenai pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun; seperti yang dinyatakan dalam Pasal 330 yang berbunyi: “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin”.


(30)

Hukum Islam dan Hukum Adat menentukan seorang masih anak-anak atau sudah dewasa bukan dari usia anak. Hal ini karena masing-masing anak berbeda usia untuk mencapai tingkat kedewasaan.90

90

Marlina, Op.cit, hlm.34

Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-undang tentang Perlindungan Anak sendiri ditetapkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, dan belum pernah menikah.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Sebelum putusan ini, menurut UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak yang berusia 8 hingga 18 tahun dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana.

Sidang uji materi Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun. Sebelumnya, anak yang berusia 8 - 18 tahun diberikan tanggungjawab pidana sesuai dengan pasal 1 angka 1, pasal 4 ayat 1 dan pasal 5 ayat 1 UU No 3/1997 Tentang Pengadilan Anak. Pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.


(31)

Mengenai batas usia anak untuk dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya, MK berdasarka batasminimal usia anak yang dapat dituntut pertanggung jawaban pidana menjadi 12 Tahun.91

Saat ini dalam UU Sistem Peradilan Anak yang baru ini mengatur beberapa hal penting dan salah satunya adalah batasan usia pertanggungjawaban pidana yaitu 12 tahun sampai 18 tahun serta batasan usia anak dapat dikenakan penahanan yaitu 14 tahun sampai 18 tahun (Pasal 32 ayat [2] RUU Sistem Peradilan Anak). 92

4. Pengertian Kenakalan Anak

Kenakalan anak sering disebut dengan “juvenile delinquency”, yang diartikan dengan anak cacat social. Istilah delinkuen berasal dari delinquency, yang diartikan dengan kenakalan anak, kenakalan remaja, kenakalan pemuda dan delinkuensi.93

norma hukum maupun norma sosial. Paul Moedikdo, SH mengartikan

94

1. Semua perbuatan yang dari orang dewasa merupakan suatu kejahatan bagi anak-anak merupakan kenakalan jadi semua yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya dan sebagainya.

2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu untuk menimbulkan keonaran dalam masyarakat.

3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial.

91

Ilman, Penerapan pidana penjara bagi anak,

pada tanggal 5 April 2014

92

Ibid

93

Marlina, Op.cit, hlm.37

94

Haryanto, kenakalan anak wujud kepribadian dan kreatifitas,

April 2014.


(32)

Ada banyak hukuman edukatif yang bisa diterapkan khususnya pada anak yang melakukan kesalahan ringan, diantaranya adalah:95

1. Menampakkan wajah masam

Wajah masam yang diperlihatkan oleh orang tua maupun gurunya bisa menjadi hukuman baginya, saat anak melihat perubahan ekspresi wajah kita dengan sendirinya anak akan menyadari jika yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan yang harus diperbaikinya.

2. Memberikan time out

Maksud dari memberikan time out adalah dengan menyuruh si anak untuk berpisah dari kelompoknya, menyuruhnya duduk atau berdiri di suatu ruangan tertentu dalam waktu tertentu untuk merenungi kesalahannya. Hukuman ini cocok untuk anak yang melakukan kesalahan terkait sopan santun baik kepada guru, orang tua, maupun kepada teman sebayanya. 3. Memberi anak tugas bersih-bersih

Saat di sekolah bisa menyuruh anak untuk membersihkan papan tulis, menyapu kelas sebelum pulang sekolah, atau tugas kebersihan lainnya. Saat di rumah, hukuman bisa diberikan dengan menyuruhnya merapikan kamar atau meja belajarnya, menyuruhnya membantu tugas ibu membersihkan rumah. Selain memberikan efek jera, hukuman ini juga bisa mengajarkan tanggungjawab terhadap kebersihan lingkungan kepada si anak.

4. Menyuruh anak meminta maaf kepada orang yang disakitinya ketika anak melakukan kesalahan kepada orang lain maka salah satu hukuman yang bisa berikan kepada si anak adalah dengan menyuruhnya meminta maaf kepada orang yang bersangkutan. Dengan menyuruhnya meminta maaf itu sama dengan kita mengajarkan anak untuk bertanggungjawab atas segala perbuatannya.

5. Menyuruh anak berjanji untuk tidak mengulanginya

salah satu tujuan diberikannya hukuman kepada anak adalah agar anak tidak mengulangi perbuatannya. Hukuman semacam ini memiliki banyak manfaat, salah satunya adalah melatih anak untuk berlaku jujur, amanah, dan konsisten untuk menepati janjinya.

6. Menyuruh anak membantu pekerjaan kita

salah satu hukuman yang edukatif adalah dengan menyuruh anak membantu pekerjaan kita, jika di rumah si anak bisa diminta untuk mengerjakan beberapa pekerjaan ringan seperti menyapu lantai, membuang sampah, dan lain sebagainya, jika di sekolah, anak bisa diminta untuk membagikan buku kepada siswa lain, menghapus papan tulis dan tugas lainnya

7. Menyuruh anak membaca buku dan menceritakan isinya

95

Aka, Memberikan anak hukuman edukatif,


(33)

menyuruh anak membaca buku adalah salah satu jenis hukuman edukatif yang cukup banyak disarankan oleh para pakar pendidikan dibanding dengan memarahi atau memukulnya.

8. Menyuruh anak menghafal

salah satu hukuman edukatif lainnya adalah menyuruh anak menghafal terkait pelajaran yang ia pelajari. Misalnya anak diminta menghafal perkalian atau menghafal surat pendek dalam Alqur’an. Hukuman ini akan sangat bermanfaat untuk mengasah daya ingat, melatih konsentrasi, dan banyak manfaat lainnya.

9. Menyuruh anak menulis

menulis merupakan kegiatan yang sangat baik dibiasakan sejak kecil. Dengan menulis, anak dilatih untuk bisa mentransfer apa yang ada dalam pikiran mereka dalam bentuk tulisan.

10.Mengurangi jatah waktu bermain

Dengan mengurangi jatah waktu bermainnya, diharapkan dapat memberikan efek jera kepada anak dan tidak mengulangi kesalahannya tersebut. Mengurangi jatah bermain anak harus dilakukan dengan mengalihkannya kepada kegiatan positif lainnya.

Delikuensi dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.

Badan Koordinasi penanggulangan Kenakalan Remaja dan penyalahgunaan Narkotika Sumatera Utara dalam Makalah “Pola penanggulangan Kenakalan Remaja” Kenakalan remaja adalah terjemahan dari Kata “juvenile delinquency” dan dirumuskan sebagai suatu kelainan tingkah laku, perbuatan ataupun tindakan remaja yang bersifat asocial, bertentangan dengan agama, dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat.96

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak, pasal 1 angka 2 menentukan bahwa anak nakal adalah :

Istilah yang lazim digunakan adalah kejahatan anak dan adapula yang menggunakan istilah kenakalan remaja.

97

1. Anak yang melakukan tindak pidana

96

Maidin, Op.Cit., hlm.56 97


(34)

2. Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dua pengertian anak nakal tersebut diatas yang dapat diselesaikan melalui jalur hukum adalah pengertian anak nakal menurut poin a, yaitu anak yang melakukan tindak pidana. KUHP tidak mengenal istilah anak nakal dari pengertian huruf b, karena KUHP mengatur tentang tindak pidana98

Perumusan tersebut masih dianggap terlalu luas dan masih bisa dipersempit menjadi dua macam sifat kenakalan berdasarkan ringan atau beratnya akibat yang ditimbulkan yaitu;

.

Pasal tersebut dalam penjelasannya tidak memberi penjelasan lebih lanjut, secara umum dari pasal tersebut dapat diartikan kenakalan sebagai salah satu tingkah laku anak yang menimbulkan persoalan bagi orang lain.

99

1. Kenakalan semu, merupakan kenakalan yang tidak dianggap kenakalan bagi pihak ketiga kecuali orang tua mereka, dianggap masih dalam batas kewajaran dan nilai moral.

2. Kenakalan nyata, adalah tingkah laku anak yang dianggap melanggar nilai social dan nilai moral, sehingga dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain.

98

Maidin, Opcit, hlm.57 99

Nandang , Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010 hlm. 209


(35)

Adapun gejala-gejala yang dapat memperlihatkan hal-hal yang mengarah kepada kenakalan Anak :100

1. Anak-anak yang tidak disukai oleh teman-temannya sehingga anak tersebut menyendiri. Anak yang demikian akan dapat menyebabkan kegoncangan emosi. 2. Anak-anak yang sering menghindarkan diri dari tanggung jawab di rumah atau di

sekolah. Menghindarkan diri dari tanggung jawab biasanya karena anak tidak menyukai pekerjaan yang ditugaskan pada mereka sehingga mereka menjauhkan diri dari padanya dan mencari kesibukan-kesibukan lain yang tidak terbimbing. 3. Anak-anak yang sering mengeluh dalam arti bahwa mereka mengalami masalah

yang oleh dia sendiri tidak sanggup mencari permasalahannya. Anak seperti ini sering terbawa kepada kegoncangan emosi.

4. Anak-anak yang mengalami phobia dan gelisah dalam melewati batas yang berbeda dengan ketakutan anal-anak normal.

5. Anak-anak yang suka berbohong.

6. Anak-anak yang suka menyakiti atau mengganggu teman-temannya di sekolah atau di rumah.

7. Anak-anak yang menyangka bahwa semua guru mereka bersikap tidak baik terhadap mereka dan sengaja menghambat mereka.

8. Anak-anak yang tidak sanggup memusatkan perhatian.

keluarga, karena merupakan lingkungan yang paling pertama ditemui seorang anak.

Menghadapi

dua sikap bicara yaitu :101

1. Sikap/cara yang bersifat preventif yaitu perbuatan/tindakan orang tua terhadap anak yang bertujuan untuk menjauhkan si anak daripada perbuatan buruk atau dari lingkungan pergaulan yang buruk. Dalam hat sikap yang bersifat preventif, pihak orang tua dapat memberikan/mengadakan tindakan sebagai berikut :

a) Menanamkan rasa disiplin dari ayah terhadap anak.

b) Memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak oleh ibu.

c) Pencurahan kasih sayang dari kedua orang tua terhadap anak.

d) Menjaga agar tetap terdapat suatu hubungan yang bersifat intim dalam satu ikatan keluarga.

e)

f) Penyaluran bakat si anak ke arab pekerjaan yang berguna dan produktif, supaya kepribadian dan kreatifitas anak terasah.

g) Rekreasi yang sehat sesuai dengan kebutuhan jiwa anak.

h) Pengawasan atas lingkungan pergaulan anak sebaik-baiknya.

100

Haryanto, Op.cit

101


(36)

2. Sikap/cara yang bersifat represif yaitu pihak orang tua hendaknya ikut serta secara aktif dalam kegiatan sosial yang bertujuan untuk menanggulangi masalah kenakalan anak seperti menjadi anggota badan kesejahteraan keluarga dan anak, ikut serta dalam diskusi yang khusus mengenai masalah perlindungan anak-anak. Selain itu pihak orang tua terhadap anak yang bersangkutan dalam perkara kenakalan hendaknya mengambil sikap sebagai berikut :

a) Mengadakan

diperbuatnya sehingga menyebabkan anak terjerumus dalam kenakalan anak.

b) Memahami sepenuhnya akan latar belakang daripada masalah kenakalan yang menimpa anaknya.

c) Meminta bantuan para ahli (psikolog atau petugas sosial) di dalam mengawasi

d) Membuat catatan perkembangan pribadi anak sehari-hari.

G. Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas: 1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif102

102

Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,Surabaya, Bayu media, 2008, hlm. 295

.

Penelitian hukum doktriner atau yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis karena penelitian ini diharapkan dapat memperoleh gambaran yang jelas, rinci dan sistematis. Sedangkan dikatakan Analitis karena data yang diperoleh akan dianalisis untuk pemecahan terhadap permasalahan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.


(37)

2. Jenis dan Sumber Data

Adapun jenis data penelitian ini bersumber dari data sekunder yang meliputi: a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autorotatif artinya mempunya otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki.103

b. Bahan Hukum Sekunder

Penelitian ini dipakai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian tentang sistem peradilan pidana anak yang edukatif ini yaitu Undang-undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997, dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Bahan Hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku- buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal- jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi uang berkaitan dengan topik penelitian. 104

103

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2006, hlm. 141 104

Jhony, Op.cit, Hlm. 296

Penelitian ini menggunakan bahan hukum sekunder berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti, khususnya tentang peradilan yang edukatif.


(38)

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder105

3. Teknik Pengumpulan Data

Bahan hukum tertier dengan menggunakan kamus hukum maupun kamus umum dan website internet baik itu melalui Google maupun Yahoo, serta saran ajar tentang penulisan karya ilmiah.

Metode Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Penelitian Kepustakaan (Library Research),

Pengumpulan data dari literatur-literatur, karya ilmiah peraturan perundang-undangan, pendapat-pendapat sarjana

b. Penelitian Lapangan (Field research)

Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer, data ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara (interview guide). Wawancara dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya.

105


(39)

4. Metode Analisa Data

Penelitian ini dianalisis dengan secara kualitatif, dan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data dengan memperhatikan fakta-fakta dalam pengaplikasiannya di lapangan yang kemudian dibandingkan dengan teori dalam studi kepustakaan, sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul, metode analisa data yang digunakan adalah Normatif Kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif maksudnya analisa data yang bertitik tolak pada informasi-informasi yang didapat dari responden untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas, sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara kesuluruhan dari skripsi ini penulis akan menguraikan sistematikanya.

Skripsi ini terdiri dari V Bab yaitu: Bab I Pendahuluan

Uraian dalam Bab ini penulis membuat Latar Belakang, yang menguraikan latar belakang dari penulisan skripsi ini. Pokok permasalahan menguraikan tujuan penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini. Manfaat penelitian menguraikan manfaat dari


(40)

penelitan dan penulisan skripsi ini. Keaslian penelitan yaitu suatu pernyataan bahwa penelitian dan penulisan skripsi ini hanya penulis yang mengungkapkan. Tinjuan kepustakaan, menguraikan sistem peradilan yang edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, pengertian sistem peradilan anak, pengertian anak, dan pengertian kenakalan anak. metode penelitian yakni cara yang penulis lakukan untuk dapat menyusun skripsi ini.

BAB II Proses Penanganan yang edukatif terhadap anak pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak.

Uraian dalam bab ini adalah tentang sistem peradilan anak pada umumnya yang melibatkan seluruh instansi yang terkait dalam proses peradilan anak, mulai dari proses peradilan anak tahap prajudikasi meliputi penyidikan dan penyelidikan, tahap penangkapan dan penahanan. Proses peradilan pidana anak tahap judikasi meliputi tahap pemeriksaan perkara, tahap penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Proses peradilan pidana anak tahap pasca judikasi meliputi pelaksanaan keputusan hakim, pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana, dan peranan lembaga-lembaga terkait dalam pelaksanaan peradilan pidana anak.

BAB III Konsep Diversi dan Restorative Justice pada peradilan anak

Uraian dalam bab ini adalah tentang penerapan konsep diversi dan restorative justice dalam pelaksanaan peradilan pidana anak yang


(41)

edukatif, sesuai dengan hukum yang berlaku di indonesia juga sejarah penggunaan diversi dan restoraive justice saat ini.

BAB IV Hambatan dan upaya penanganan dalam mewujudkan peradilan pidana anak yang edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana

Uraian dalam bab ini adalah tentang berbagai hambatan yang ada dalam pelaksanaan peradilan pidana anak ditinjau dari beberapa segi antara lain hambatan dari segi yuridis, hambatan dari segi aparat penegak hukum dan hambatan dari segi masyarakat. Penulis juga menguraikan upaya yang dapat dilaksanakan dalam pelaksanaan peradilan pidana anak yang edukatif, baik upaya dari segi yuridis, upaya dari segi aparat penegak hukum, dan upaya dari masyarakat. BAB V Kesimpulan dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan dan saran penulis dari bab-bab sebelumnya.


(42)

BAB II

PROSES PENANGANAN YANG EDUKATIF TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

Anak harus dididik untuk dapat bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukannya, terlebih lagi jika perbuatannya itu menyangkut perbuatan atas tindakannya dalam hal melanggar hukum. Menjadikan seorang anak dapat bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya dibutuhkan seperangkat hukum yang mengatur tentang sistem, status dan proses untuk menjadikan anak dimaksud disebut sebagai subjek hukum yang mampu dan atau mendapat ketetapan hukuman yang diberikan oleh hakim pengadilan dengan ketentuan khusus.106

Sistem peradilan pidana terdiri dari 4 (empat) komponen yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen tersebut bekerjasama dalam menegakkan keadilan, kerjasama tersebut terwujud dalam tahapan proses peradilan pidana.107

Menurut pengaturan kekuasaan kehakiman yang diatur secara istimewa dalam undang-undang pengadilan anak hanyalah masalah sidangnya yang berbeda dengan acara sidang orang dewasa, dengan demikian kompetensi absolut Pengadilan Anak ada pada Badan Peradilan Umum (Pasal 2 UU No.3/1997)

Tahapan dalam proses peradilan pidana yaitu tahap prajudikasi (tahap sebelum sidang peradilan) meliputi penyidikan dan penyelidikan, tahap judikasi (selama sidang) meliputi pemeriksaan dan pembuktian tuntutan pihak jaksa dan pasca judikasi (setelah sidang peradilan) meliputi pelaksanaan keputusan yang telah dalam persidangan seperti penempatan terpidana ke dalam lembaga pemasyarakatan.

106

Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, Hal.16

107


(43)

A. Proses Peradilan Pidana Anak Tahap Prajudikasi 1. Tahap penyidikan dan penyelidikan

a. Penyidikan dan penyelidikan anak pelaku tindak pidana yang berlaku saat ini menurut UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Undang- undang pengadilan anak menetukan bahwa penyelidik dan penyidik yang melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap anak adalah penyelidik dan penyidik anak, dengan demikian penyidik anak mempunyai tugas khusus menangani anak.

Hukum acara yang berlaku diterapkan pula dalam acara Pengadilan Anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini, namun dalam melaksanakan kewajibannya sebagai penyidik anak, ada beberapa hal yang penting sebagai berikut: 1) Penanganan proses penyidikan perkara anak nakal wajib dirahasiakan, hal ini

dipertegas UU Pengadilan anak.108

2) Penyidik wajib memeriksa tersangka anak dalam suasana kekeluargaan. Secara autentik dijelaskan suasana kekeluargaan antara lain pada waktu memeriksa tersangka penyidik tidak memakai pakaian dinas dan melakukan pendekatan secara efektif dan simpatik.

3) Dalam melakukan penyidikan, penyidik wajib meminta pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan 109

4) Dalam melakukan penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana bersama dengan orang dewasa maka berkasnya dipisah. Anak diajukan ke sidang anak sementara orang dewasa diajukan ke sidang orang dewasa.

108

Nashriana, Op.cit,hlm. 118

109


(44)

5) Pemberkasan perkara oleh penyidik anak berdasarkan ketentuan KUHAP, karena dalam pasal 41 dan pasal 42 UU Pengadilan Anak, tidak menngatur sedikitpun tentang pemberkasan perkara anak. artinya pemberkasan perkara anak dikembalikan kepada ketentuan KUHAP, penyidik diperintahkan membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan tindakan dalam rangka penyelidikan :

a) Pemeriksaan tersangka b) Penangkapan

c) Penahanan d) Penggeledahan e) Pemasukan rumah f) Penyitaaan surat g) Pemeriksaan surat h) Pemeriksaan saksi

i) Pemeriksaan di tempat kejadian

j) Pelaksanaan penetapan dari putusan hakim

k) Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan KUHAP

Berita acara tersebut dibuat oleh penyidik anak, setelah pemberkasan selanjutnya penyerahan berkas kepada penuntut umum.

Penyelidikan dan penyidikan terhadap anak pelaku tindak pidana polisi harus memperhatikan berbagai ketentuan mengenai upaya penanganan anak mulai dari penangkapan sampai proses penempatan.110

Anak tetaplah anak dengan segala ketidakmandirian yang ada pada diri mereka sehingga membutuhkan perlindungan dan kasih sayang dari orang dewasa di

110


(45)

sekitarnya. Anak mempunyai berbagai hak untuk diimplementasikan dalam kehidupan mereka, tidak terkecuali terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

Anak yang kebetulan berhadapan dengan hukum “khususnya anak sebagai pelaku”, Arief Gosita menyatakan ada beberapa hak-hak anak yang harus diperjuangkan pelaksanaanya secara bersama – sama yaitu:111

a) Hak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah

b) Hak untuk mendapat perlindungan terhadap tindakan- tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja (ancaman, penganiayaan, cara, dan tempat penahanaan misalnya)

c) Hak untuk mendapat pendamping, penasihat dalam rangka mempersiapkan diri berpartisipasi dalam persidangan

d) Hak untuk mendapat fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan terhadap dirinya. (transport, penyuluhan terhadap dirinya)

Beberapa hal yang tidak boleh dilakukan oleh seorang polisi dalam melakukan penyidikan terhadap anak, yaitu:112

a) Penyidik melakukan kekerasan atau tindakan tidak wajar terhadap anak. Hal ini dapat menimbulkan trauma terhadap anak

b) Memberikan label buruk pada anak dengan menggunakan kata-kata yang sifatnya memberikan label buruk terhadap anak seperti “pencuri”, “maling”, “pembohong” dan lain lain

c) Penyidik kehilangan kesabaran sehingga menjadi emosi dalam melakukan wawancara terhadap anak

d) Penyidik tidak boleh menggunakan kekuatan badan atau fisik atau perlakuan kasar lainnya yangdapat menimbulkan rasa permusuhan pada anak

e) Membuat catatan atau mengetik setiap perkataan yang dikemukakan oleh anak pada saat penyidik melakukan wawancara dengan anak. Seharusnya petugas mencatat poin-poin penting dari hasil wawancara setelah selesai baru dibuat catatan yang lengkap hasil wawancara tersebut, oleh karena itu sebaiknya penyidik menggunakan alat perekam yang tersembunyi untuk membantu mengingatnya.

111

Nashriana, Op.cit, hlm. 20 112


(46)

b. Proses penyidikan dan penyelidikan anak pelaku tindak pidanamenurut UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

Undang- undang 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak disebutkan bahwa Ketentuan beracara dalam hukum acara pidana berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang ini.113

Proses penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan keputusan kepala kepolisian negara republik indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kepala kepolisian negara republik indonesia, dengan persyaratan :114

1) Telah berpengalaman sebagai penyidik

2) Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalh anak 3) Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.

Penyidikan terhadap anak dapat dilaksanakan oleh penyidik yang melakukan tugas penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa dalam hal belum terdapat penyidik yang memnuhi persyaratan.115

Penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap perkara anak, wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan.116

113

Pasal 16 Undang-undang 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak 114

Pasal 26 ayat 3, Ibid

115

Pasal 26 ayat 4, Ibid

116

Pasal 27 ayat 1, Ibid

Pembimbing kemasyaratan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakata, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap anak didalam dan diluar proses peradilan pidana.


(47)

Penyidik apabila dianggap perlu dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, pekerja sosial profesional atau tenaga kesejahteraan sosial dan tenaga ahli lainnya.117

Tingkat penyidikan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi, dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

Hasil penelitian kemasyarakatan wajib diserahkan oleh Bapas kepada penyidik dalam waktu paling lama 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam setelah permintaan penyidik diterima.

118

a. Diancam dengan pidana penjara dibawah 7 tahun, dan b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana

2. Tahap Penangkapan dan Penahanan

a. Penangkapan dan penahanan anak pelaku tindak pidana yang berlaku saat ini menurut UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Awal proses suatu perkara pidana dimulai dengan tindakan penangkapan terhadap seorang yang diduga melakukan tindak pidana. Penangkapan tersebut untuk kepentingan penyelidikan atau kepentingan penyidikan. Penangkapan terhadap anak nakal ternyata dalam Undang-undang Pengadilan anak tidak mengatur secara tersendiri, oleh karena itu penangkapan berlaku ketentuan KUHAP.119

117

Pasal 27 ayat 2, Ibid

118

Pasal 7, Ibid

119

Nashriana, op.cit. hlm. 125

Hukum acara pidana mengatur wewenang polisi dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan yang selanjutnya di atur dalam petunjuk pelaksanaan (juglak) dan petunjuk teknis (juknis) kepolisian.


(48)

Dalam buku saku untukpolisi tersebut termuat panduan penanganan terhadap anak, seperti:120

1) Tindakan penangkapan diatur Pasal 16 sampai 19 KUHAP. Menurut Pasal 16 untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. Sesuai dengan Pasal 18 KUHAP perintah penangkapan dilakukan terhadapseorang yang di duga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup dengan menunjukkan surat perintah penangkapan kecuali tertangkap tangan. Perlindungan terhadap hak-hak anak tersangka pelaku tindak pidana di atur juga dalam UU No. 23 Tahun 2002 tenteng Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

2) Khusus tindakan penangkapan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, polisi memperhatikan hak-hak anak dengan melakukan tindakan perlindungan terhadap anak, seperti:

a) Perlakuan anak dengan asas praduga tak bersalah.

b) Perlakukan anak dengan arif, santun dan bijaksana, dan tidak seperti terhadap pelaku tindak pidana dewasa.

c) Saat melakukan penangkapan segera memberitahukan orang tuadan walinya.

d) Anak tertangkap tangan segera memberitahukan orang tua atau walinya. e) Wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab, polisi atau masyarakat berdasar pada asas kewajiban.

f) Penangkapan terhadap anak yang diduga sebagai tersangka bukan karena tertangkap tangan, merupakan kontak atau tahap bagi seorang polisi menghindarkan anak dari pengalaman – pengalaman traumatis yang akan dibawanya seumur hidup. Untuk itu polisi memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

(1) Menunjukan surat perintah penangkapan legal kepada anak yang diduga sebagai tersangka dengan ramah dan bertanggung jawab. Cara yang ramah memberi rasa nyaman terhadap anak daripada rasa takut.

(2) Menggunakan pakaian sederhana dan hindari penggunaan kendaraan yang bertanda / berciri khas polisi untuk menghindari tekanan mental anak akibat symbol symbol polisi yang terkesan membahayakan dan mengancam diri anak.

(3) Petugas yang melakukan penangkapan tidak boleh menggunakan kata-kata kasar, dan bernada tinggi yang akan menarik perhatian orang-orang, yang berada di sekeliling anak. Penggunaan kata-kata yang bersahabat akan mempermudah anak menjalani setiap prosesnya dengan tenang tanpa rasa takut dan tertekan.

120


(49)

(4) Membawa anak dengan menggandeng tangannya untuk menciptakan rasa bersahabat, hindari perlakuan kasar dan menyakitkan seperti memegang kerah baju atau bahkan menyeret dengan kasar.

(5) Petugas tidak memerintahkan anak untuk melakukan hal-hal untuk mempermalukannya dan merendahkan harkat dan martabatnya sebagai manusia, seperti menyuruh membuka pakaian. Akan tetapi memberikan perlindungan mental dan jiwa anak saat ditangkap (6) Jika keadaan tidak memaksa dan membahayakan, polisi tidak perlu

melakukan penangkapan dengan menggunakan borgol terhadap anak, karena perlakuan ini menyakitkan dan membuat trauma serta rasa malu dilihat masyarakat atau tetangganya.

(7) Media massa tidak boleh melakukan peliputan proses penangkapan tersangka anak dengan menjaga jati diri dan identitas anak.

(8) Pemberian pelayanan kesehatan seperti pemeriksaan kesahatan fisik dan psikis anak segera setelah penangkapan. Berkas pemeriksaan medis dan pengobatan anak menjadi bagian catatan kasus anak yang berhadapan dengan hukum.

(9) Penangkapan yang dilakukan diinformasikan kepada orangtua / walinya dalam waktu tidak lebih dari 24 jam dan kesediaan orangtua / wali mendampingi anak dalam pemeriksaan di kantor polisi

(10)Pemberitahuan penangkapan anak tersangka kepada petugas bapas di wilayah setempat atau pekerja social oleh polisi. Pemberitahuan dilakukan dalam waktu secepatnya tidak lebih dari 24 jam

(11)Polisi melakukan wawancara atau pemeriksaan di ruangan yang layak dan khusus untuk anak guna memberikan rasa nyaman kepada anak.

Penahanan anak merupakan pengakangan fisik sementara terhadap seorang anak berdasarkan putusan pengadilan selama anak dalam proses peradilan pidana.121

121

Marlina, Op.cit. hlm. 96

Pasal 45 ayat (1) UU Pengadilan Anak merumuskan bahwa penahanan terhadap anak dapat dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan / atau kepentingan masyarakat.


(50)

Penyidik yang melakukan penahanan harus memerhatikan kepentingan yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan anak secara fisik, mental, maupun sosial anak. selain itu juga dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat dengan ditahannya anak tersebut akan membuat masyarakat menjadi aman dan tentram.122

Polisi dapat melakukan tindakan penyidikan tanpa harus melakukan penahan terhadap anak dengan melakukan pengawasan terhadap anak dan mewajibkan anak untuk melaporkan diri secara berkala kepada aparat kepolisian selama penyidikan dilakukan terhadap dirinya.123

Polisi dapat melakukan penahanan atau tindakan lainnya melihat keseriusan dari pelanggaran yang dilakukannya, apabila tindak pelanggaran yang dilakukan hanya kesalahan ringan maka polisi dapat membebaskannya, jika kesalahan cukup serius polisi memberikan peringatan lalu melepaskannya atau meneruskan ke proses formal.Semua proses tersebut melalui tahapan pemeriksaan atau wawancara terlebih dahulu untuk menentukan kebijakan selanjutnya. 124

Butir 13 The Beijing Rules, dijelaskan bahwa “penahanan sebelum pengadilan hanya akan digunakan sebagai pilihan langkah terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.125

Anak yang terpaksa ditahan dalam proses peradilannya maka anak dapat dititipkan pada lembaga atau agen sosial dengan fasilitas yang memisahkan anak dengan orang dewasa, bila lembaga atau agen sosial yang dimaksudkan tidak ada maka anak dapat ditempatkan dirumah tahanan dengan fasilitas yang terpisah dengan orang dewasa.126

122

Nashriana, Op.cit, hlm.127 123

Marlina, Op.cit, hlm. 98 124

Ibid

125

Butir 13 Angka 1 The Beijing Rules

126


(51)

b. Penangkapan dan penahanan anak pelaku tindak pidana menurut UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sitem Peradilan Pidana pasal 32 ayat (1) di sebutkan bahwa Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.

Ayat 2 (dua) menentukan syarat penahan terhadap anak, Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut:

a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan

b. diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.

Syarat penahanan tersebut harus pula harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. Selama Anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap dipenuhi. Dalam hal Penempatan Untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan penempatan Anak di Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan sosial (LPKS).

Waktu penahanan terhadap anak untuk kepentingan penyidikan dilakukan paling lama7 (tujuh) hari, Jangka waktu penahanan tersebut atas permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum paling lama 8 (delapan) hari, apabila jangka waktu tersebut telah berakhir maka anak wajib dikeluarkan demi hukum, undang-undang No. 11 tahun 2012 menentukan pula tempat tempat penahan terhadap anak,


(52)

dalam pasal 32 ayat (4) disebutkan Penahan terhadap anak dilaksanakan di Lembaga Penempatan anak sementara (LPAS), atau di Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan sosial (LPKS) setempat,

Pasal 39 menetukan dalam hal jangka waktu penahanan telah berakhir, petugas tempat anak ditahan harus segera mengeluarkan anak demi hukum. Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada anak dan orang tua/wali mengenai hak memperoleh bantuan hukum (pasal 40), dalam hal pejabat tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud, penangkapan atau penahan terhadap anak batal demi hukum.

3. Tahap Penuntutan

a. Penuntutan anak pelaku tindak pidana yang berlaku saat ini menurut UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Menurut proses peradilan pidana, tahapan setelah penyidikan yaitu tahapan penuntutan yang dijalankan oleh penuntut umum. Kitab undang-undang hukum acara pidana memuat wewenang penuntut umu untuk menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan.127

127

KUHAP Pasal 14 Jo pasal 138 ayat 2

Struktur pidana yang selanjutnya berperan jaksa / Penuntut umumanak, artinya yang berwenang untuk melakukan penuntutan terhadap anak yang di dakwa melakukan tindak pidana adalah penuntut umum anak. ketentuan ini tertuang dalam pasal 53 UU Pengadilan Anak.


(53)

Pada prinsipnya, UU Pengadilan Anak menghendaki agar setiap kejaksaan negeri memiliki penuntut umum anak untuk menangani perkara anak nakal. Kantor kejaksaan negeri yang tidak mempunyai jaksa penuntut umum anak karena alasan tertentu maka menurut pasal 53 ayat (3) UU Pengadilan Anak penuntutan perkara anak nakal dibebankan kepada penuntutan umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.

Terkait dengan proses penuntutan terhadap anak nakal, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:128

1. Kewajiban meneliti hasil penyidikan

Tugas penuntut umum setela menerima hasil penyidikan dari penyidik anak, harus segera mempelajari dan menelitinya dan dalam tempo 7 hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan yang dilakukan telah cukup ataukah tidak. Pasal 138 ayat (2) KUHAP menetapkan dalam kurun waktu 14 (empat belas hari) sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah mengembalikan kembali berkas tersesbut kepada penuntut umum.

2. Lamanya penahanan

Penuntut umum anak diberikan wewenang untuk menahan (atau penahanan lanjutan) guna kepentingan penuntutan paling lama 10 (sepuluh) hari.129

3. Membuat surat dakwaan

Penahan lanjutan dilakukan penuntut umum sejak perkara dilimpahkan oleh penyidik kepada penuntut umum, walaupun pada saat itu masa penahan di tingkat penyidikan belum selesai, oleh karena itu saai itu pula penuntut umum harus segera mengeluarkan surat perintah penahanan.

Penuntut umum apabila dalam masa penahanan belum dapat menyelasikan tugasnya, maka atas permintaan penuntut umum kepada Ketua Pengadilan Negeri, penahanan dapat diperpanjang untuk paling lama 15 hari. Artinya, apabila seorang anak yang telah melewati masa penahanan 25 hari sementara penuntut umum belum menyelesaikan tugasnya, maka si anak harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

Sistem peradilan pidana yang dianut di Indonesia, pengadilan hanya memeriksa dan memutuskan perkara pidana atas dasar surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum.130

128

Nashriana, Op.cit, hlm 132 129

Pasal 46 ayat (2) UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak 130

Nahsriana, Op.cit, hlm. 134


(54)

di pengadilan tanpa perkara itu diajukan jaksa penuntut umum dan hanya jaksa penuntut umum satu-satunya pejabat yang diberi wewenang untuk melaksanakannya.131

Berkas pekara yang dilimpahkan oleh penyidik dan penuntut umum beranggapan bahwa hasil penyidikan telah cukup (P-21) dan dapat dilakukan penuntutan, maka secepatnya membuat surat dakwaan sesuai dengan ketentuan KUHAP.132

Penuntut umum anak membuat surat dakwaan harus memedomani ketentuan pasal 143 KUHAP, terutama ayat (2) dan (3) yang secara lengkap berbunyi;133

Penuntut umum anak yang diberi tugas untuk melakukan penuntutan terhadap tersangka anak nakal, selanjutnya melimpahkan berkas perkara ke pengadilan negeri disertai dengan surat dakwaan. Pelimpahan perkara pidana dilakukan penuntut umum dengan surat pelimpahan perkara dengan permintaan agar pengadilan negri segera mengadili perkara tersebut. Penuntut umum dalam pelimpahan tersebut juga menyerahkan barang bukti ke pengadilan, setelah perkara dilimpahkan, penuntut umum menunggu penetapan hakim tentang hari sidang perkara tersebut yang segera akan dikirim ke pangadilan.

(2) Penuntut umum yang membuat suratdakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani berisi ;

a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agam, dan pekerjaan tersangka

b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindakan pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan.

(3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.

(4) Melimpahkan berkas perkara ke pengadilan

134

131

Pasal 13, 14, 15 KUHAP jo Pasal 30 ayat (1) huruf a UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

132

Pasal 54 UU Pengadilan Anak jo pasal 140 ayat (1) KUHAP 133

Pasal 143 UU No. 11 tahun 2012 Sistem Peradilan pidana anak 134


(55)

b. Penuntutan anak pelaku tindak pidana menurut undang-undang no. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak

Penuntutan menurut pasal 1 butir 7 KUHAP adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang pengadilan.

Penuntutan terhadap perkara anak dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan berdasarkan keputusan jaksa agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh jaksa agung.135

a. Telah berpengalaman sebagai penuntut umum

Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak juga menentukan persyaratan bagi penuntut umum yaitu :

b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak c. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak

Penuntut umum yang dimaksud apabila belum terdapat yang memenuhi syarat tersebut maka dilaksanakan oleh penuntut umum yang melakukan tugas penuntutan terhadap orang dewasa. Penuntut umum diwajibkan untuk melakukan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik, dan dilaksanakan paling lama 30 (hari).136

135

Pasal 41 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana 136


(56)

Proses diversi yang telah mencapai kesepakatan maka penuntut umum menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.137

Penuntut umum apabila diversi gagal wajib menyampaikan berita acara diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan.138

B. Proses Peradilan Pidana Anak Tahap Judikasi

Penuntutan yang telah selesai dilanjutkan ke tahap pemeriksaan di sidang pengadilan yang menghadirkan semua pihak yang terkait seperti terdakwa, saksi, pembela, hakim dan semua berkas yang diperlukan.

1. Pemeriksaan perkara anak dalam sidang pengadilan yang berlaku saat ini menurut UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Proses penerapan hukum dalam struktur peradilan pidana anak yang terakhir adalah Hakim pemutus perkara anak nakal, dimana UU Pengadilan anak menetukan bahwa hakim pemutusnya adalah hakim anak.

Tata ruang sidang anak ditata berdasarkan ketentuan sebagaimana ketentuan sebagai berikut:139

a. Tempat meja dan kursi hakim terlettak lebih tinggi dari tempat penuntut umum, terdakwa, penasihat hukum dan pengunjung.

b. Tempat panitera terletak di belakang sisikanan tempat hakim ketua sidang c. Tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan hakim

d. Tempat terdakwa dan penasihat hukum terdapat di sisi kiri depan dari tempat hakim dan tempat terdakwa di sebelah kanan penasihat hukum.

137

Ibid, pasal 42 ayat 3 138

Ibid, pasal 42 ayat 4

139


(57)

e. Tempat kursi pemeriksaan saksi dan terdakwa terdapat didepan tempat hakim

f. Tempat saksi atau ahli yang telah didengar terletak di belakang kursi pemeriksaan

g. Tempat pengunjung terletak dibelakang tempat saksi yang telah didengar h. Bendera nasional ditempatkan disebelah kanan meja hakim dan panji

pengayoman ditempatkan di sebelah kiri meja hakim, sedangkan lambang negara ditempatkan didinding bagia atas dibelakang meja hakim.

i. Tempat rohaniawan terletak disebelah kiri tempat panitera j. Tempat sebagaimana dimaksud a sampai i diberi tanda pengenal

k. Tempat petugas keamanan dibagian dalam pintu masuk utama ruang sdiang dan ditempat lain yang dianggap perlu.

Hakim Penuntut umum dan Penasihat Hukum tidak memakai toga, juga panitera yang bertugas membantu hakim juga tidak memakai toga, dimaksudkan agar dalam persidangan tidak menimbulkan kesan menakutkan atau menyeramkan kepada anak yang diperiksa, juga aga dengan pakaian biasa dapat menjadikan persidangan berjalan lancar penuh kekeluargaan.140

Perkara anak yang disidangkan dengan hakim tunggal adalah perkara-perkara pidana yang ancaman hukumannya lima tahun atau kebawah dan pembuktiannya mudah atau tidak sulit. Apabila tindak pidananya diancam dengan hukuman penjara diatas lima tahun dan pembuktiannya sulit maka berdasarkan pasal 11 UU Pengadilan Anak perkara tersebut di periksa dengan hakim majelis.141

140

Nahsriana,Op.cit, hlm140 141

Ibid, hlm 141

Sidang anak prinsip dasarnya adalah hakim tunggal kemudian dalam hal tertentu dan dipandang perlu dilakukan dengan majelis hakim, sebaliknya dalam ketentuan UU No. 35 tahun 1999 mempergunakan ‘hakim majelis’ dan apabila diperlukan dilakukan dengan ‘hakim tunggal’.

Sesuai dengan pasal 56 UU Pengadilan anak, sebelum sidang dibuka, hakim memerintahkan kepada pembimbing kemasyarakatan agar menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyaraktan (LitMas) mengenai anak yang bersangkutan.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)