PENGARUH SOSIAL DAN KONTROL SOSIAL

PENGARUH SOSI AL DAN KONTROL SOSI AL

A. KONFORMITAS

1. Definisi Konformitas

¾ sikap patuh tetapi lebih kepada mengalah atau mengikuti tekanan dari kelompok

¾ perilaku seseorang yang sama (seragam) dengan perilaku orang lain atau perilaku kelompoknya

¾ definisi konformitas mengandung tiga hal, yaitu: patuh, perceived group pressure, dan subjek tidak diminta untuk patuh

Jadi, apabila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena setiap orang lain menampilkan perilaku tersebut dikatakan konformitas.

2. Eksperimen Solomon Asch (1951, 1956, 1958)

standar line

comparison lines

target

ƒ 12 trial ƒ N = 50 ƒ respon conformity 32% atau 3,84 kali dari 12 trial

3. Mengapa Orang Menjadi Konform?

Morton Deutch dan Harold Gerald (1955) :

a. Informational Influence

¾ bahwa kelompok merupakan presentasi fakta atau pengetahuan tentang situasi. Kelompok merupakan sumber informasi yang objektif.

b. Normative Influence

¾ tekanan untuk mengikuti kelompok ¾ tekanan sosial berasal dari norma-norma kelompok, seperti loyalitas,

solidaritas ¾ ingin mencapai seperti anggota kelompok ¾ tidak ingin kelihatan berbeda

c. Self Categorization (Dominic Abrams & Michael Hogg, 1990)

¾ usaha untuk memelihara konsep atau identitas diri sebagai anggota kelompok

4. Respon Non Conformity

Terdapat dua respon non conformity, yaitu:

a. Independence

¾ tingkah laku “tidak responsif” terhadap kelompok ¾ tingkah laku bebas dari norma-norma kelompok

b. Anti conformity atau Counterconformity

¾ oposisi yang konsisten terhadap norma kelompok ¾ dilakukan anti konformis untuk memelihara konsep diri mereka

5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konformitas

a. Ukuran Kelompok

¾ pengaruh menguat ¾ makin banyak anggota yang “rela” patuh pada norma kelompok

b. Unanimous

¾ kelompok sepakat atau kelompok tidak saling berbeda pendapat, misalnya : parpol, MPR/DPR

6. Perbedaan Individual Dalam Konformitas

a. Non – Conformist

¾ independent, efektif secara intelektual, egostrength kuat, kepemimpinan dan hubungan sosial baik, tidak rendah diri, rigid, otoriter

b. Orang Yang Konform

¾ memiliki need for afiliation yang besar (Mc Ghee & Trevan, 1967) ¾ mengandalkan kelompok sebagai sumber informasi mereka

(Champbel,1986) ¾ self blame, ragu

7. Zimbardo & Leippe (1991)

™ Wanita lebih konform daripada pria ™ Pria lebih luas jalur informasinya

¾ wanita dan pria konform bila informasi tentang sesuatu kurang lengkap ¾ wanita lebih konform pada situasi interaksi tatap muka ¾ dalam situasi tekanan kelompok, wanita lebih konform ¾ supaya wanita lebih independent maka harus memperluas jalur

informasi

B. COMPLIANCE

1. Definisi Compliance

¾ patuh, ada permintaan langsung dari orang lain atau tidak, individu setuju

untuk patuh

2. Teknik-teknik Dalam Compliance

a. The Foot In The Door Effect

¾ Istilahnya ketika meminta sesuatu pada seseorang ibarat seperti kaki yang sudah melangkah melewati pintu (pasti dikabulkan) ƒ small request → dikabulkan maka, ƒ diikuti permintaan yang besar (permintaan yang sesungguhnya)

¾ Eksperimen Jonathan Freedman & Scott Fraser (1966) Mula-mula meminta izin untuk memasang poster kecil tentang keselamatan lalu-lintas. Kemudian pemilik rumah mengizinkannya. Di

hari yang lain, ia meminta izin lagi untuk memasang poster yang lebih besar, maka pemilik rumah mengizinkannya.

¾ Mengapa hal ini terjadi? $ persepsi diri, memelihara image diri dihadapan orang lain

b. The Door In The Face Effect

¾ Ketika permintaan diajukan, seperti pintu yang ditutup atau sudah pasti ditolak

ƒ diawali suatu permintaan yang berat ƒ subjek akan mau menerima permintaan yang lebih ringan

kemudian ¾ Mengapa hal ini terjadi?

$ permintaan awal “sangat besar” atau “berat”, penolakan tidak

membuat subjek menilai dirinya negatif atau buruk $ permintaan kedua dilakukan oleh orang yang sama

Jerry Burger (1986) menyatakan bahwa “that’s not all “ technique contoh: A menjual permen yang mahal, ia akan memberi harga permen yang murah pada si B, padahal si B tidak membeli atau tidak ingin permen tersebut.

c. The Low Ball Procedure

¾ Penawaran sangat rendah ¾ Kondisi deal diubah ¾ Terjadi karena : ketika seseorang mengambil keputusan akan malu

apabila merubahnya ¾ The “lure” technique: ƒ penawaran sangat rendah ƒ harga diubah dengan harga yang tinggi ƒ yang tersedia hanya ‘subtitute product’

3. Strategi Compliance

a. bertanya : “Would you please”

b. menunjukkan keahlian diri : “Saya baca di ensiklopedia bahwa………”

c. alasan pribadi : “Saya butuh…………”

d. menggunakan “peran hubungan” : “Bila kamu teman saya………….”

e. bargaining : “Kalau kamu mau bantu saya, maka saya akan……………”

f. mengandalkan norma : “Semua orang melakukannya……………….”

g. menggunakan prinsip moral : “It would right thing to do”

h. menggunakan altruisme : “Kesehatan banyak orang tergantung padamu!”

i. memuji : “Hari ini kamu cantik, deh!” i. memuji : “Hari ini kamu cantik, deh!”

demikian) n. mengancam : “Saya adukan dosen lho, kalau kamu…………” o. menggunakan kekerasan : “Lakukan sekarang!” (dengan diikuti gerakan

fisik)

C. OBEDIENCE

1. Definisi Obedience

¾ patuh ¾ respon permintaan langsung (perintah) ¾ perilaku seseorang yang disebabkan adanya tuntutan dari pihak lain

(orang tua, kelompok, instansi, pemerintah atau negara)

Bila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena adanya tuntutan meskipun sebenarnya ia tidak suka atau tidak mengkehendaki perilaku tersebut dikatakan kepatuhan.

2. Eksperiment Milgram (1963)

¾ Mengumpulkan 40 orang untuk mengetahui pengaruh hukuman terhadap prestasi. Kemudian 20 orang menjadi guru dan 20 orang menjadi murid.

¾ Didepan guru, duduk murid dan ditengah-tengah ditaruh bel listrik yang tegangannya dari rendah ke tinggi. Bel itu akan menyetrum murid apabila

ia melakukan kesalahan (memberikan shock). ¾ Dari guru-guru itu ada guru yang tentu memberikan shock sampai murid

menunjukkan kesakitan. Dan kalau perlu menambahkan tegangannya. ¾ Dasar eksperiment : manusia membutuhkan struktur yang jelas (perintah

dari otoritas yang diakui) untuk bergerak dengan cara patuh pada peraturan yang ada.

¾ Eksperiment Milgram (1965, 1974) : ƒ orang dapat kejam karena pengaruh situasi ƒ orang baik pun dapat berbuat jahat

3. Eksperiment Zimbardo

¾ Membuat penjara2an lalu diiklankan untuk mencari subjek penelitian dari mahasiswa. Penelitian direncanakan diadakan selama 2 minggu dengan imbalan uang.

¾ Subjek dijemput dirumahnya menggunakan mobil bersirine dan diborgol. Dalam waktu 3 hari mulai terjadi pemukulan yang dilakukan oleh sipir

kepada tahanan. ¾ Pemukulan tersebut sudah sangat kejam sehingga ketika baru berjalan

seminggu, penelitian tersebut dihentikan. ¾ Hal ini terjadi, karena: ƒ adanya kekuasaan ƒ kekuasaan dijadikan sebagai identitas dirinya

¾ Orang dapat menjadi terlalu patuh yang melewati batas, karena: ƒ ada jarak emosional → hubungan interpersonal yang tidak dekat

ƒ kedekatan dan sahnya kekuasaan yang memberi kekuasaan ƒ kewibawaan institusi ƒ reinterpretasi kognitif ƒ karena pelatihan, misalnya: polisi, tentara

D. SENSE OF CONTROL

1. Definisi Sense of Control

¾ bagaimana manusia menguasai tingkah laku mereka

Humanis vs Skinner → manusia dikontrol lingkungan atau stimulus luar ↓ manusia mempunyai pilihan yang bebas

2. Illusion of Control

¾ undian ¾ Eksperimen Langer (1975):

ƒ memilih sendiri nomer undian → punya ilusi dia bisa mengontrol pilihannya ƒ kompetisi → kalau bisa merasa lebih ahli maka kita akan lebih berilusi ƒ involvement → semakin terlibat dengan suatu tugas maka kita bisa berhasil ƒ keberhasilan pada tugas (Langer &Roch)

3. Manfaat “Belief in Control”

¾ memungkinkan peramalan ¾ reaksi manusia lebih positif

ƒ lingkungan lebih menyenangkan ƒ lansia (Langer & Robin, 1976) : lebih aktif, semangat dan sosial

4. Perbedaan Individual Dalam Persepsi Kontrol

¾ Locus of control (Julian Rotter, 1966) ¾ Kontrol terhadap lingkungan : - internal

- eksternal

(mencari penyebab dari tingkah laku) ƒ orang eksternal control : lebih mau patuh terhadap social

influence ƒ orang internal control : lebih hati-hati, menghindari natural disorder (gempa, dll)

5. Reaksi Terhadap Loss of Control

a. Teori Reactance (Jack Brehm, 1966)

¾ apabila kita dibatasi oleh kemampuan kontrol maka akan timbul usaha atau tingkah laku untuk menjaga kontrol dan personal freedom kita ¾ ancaman terhadap kemerdekaan

ƒ keadaan psikologis “reactance” ƒ menimbulkan tingkah laku yang dapat memelihara kontrol dan

1 personal freedom

b. Learned Helplessness

¾ percaya bahwa hasil yang dicapai “independent” dari usaha yang ia lakukan ¾ 3 keadaan deficit yang dapat terjadi: ƒ motivational deficit → tidak punya motivasi lagi untuk berusaha ƒ cognitive deficit → sudah tidak bisa belajar lagi ƒ emotional deficit → mengalami depresi

6. Self Induced Dependence

¾ ketergantungan yang dimunculkan sendiri ¾ tuduhan atau anggapan “inkompeten”

ex : pada lansia (Langer, 1983), pada high school student (Langer & Benevento, 1978)

¾ potensi manusia hanya dapat dimunsulkan hanya 10%, hanya sedikit sekali yang dapat dimunculkan

AFI LI ASI , DAYA TARI K, DAN CI NTA

A. SENDIRI ATAU BERSAMA-SAMA?

Sebagai social animal, kita membutuhkan hubungan interpersonal. ¼ Eksperimen Stanley Schachter (1959) :

ƒ 5 orang berpartisipasi dalam eksperimen ƒ tinggal sendirian di sebuah rumah yang tidak berjendela, tetapi

memiliki lampu, tempat tidur, meja, dan kamar mandi ƒ makanan disediakan di luar pintu pada jam-jam makan, namun partisipan tidak berkesempatan mengetahui pengantarnya ƒ tidak diijinkan adanya orang lain, telpon, buku, majalah, koran, radio ƒ partisipan diperkenankan meninggalkan rumah tersebut kapanpun dia

menginginkan ƒ hasilnya, ternyata ketahanan partisipan untuk tinggal dalam situasi tersebut berbeda-beda : ada yang hanya bertahan selama 20 menit, dan ada yang dapat bertahan hingga 8 hari

Dengan demikian tampak bahwa reaksi orang dapat berbeda-beda dalam menghadapi situasi terisolir. Peter Suedfelt (1982) mencatat bahwa orang yang mencari kesendirian, dalam situasi isolasi akan menemukan kesegaran, stimulasi, atau kondusif untuk pengalaman religius. Namun bagi orang-orang lain, situasi tersebut sangat mengganggu.

Kesepian

Kesendirian tidak sama dengan kesepian : ƒ Kesendirian (aloneness), merupakan kondisi objektif, dapat diamati ƒ Kesepian (loneliness), merupakan pengalaman subjektif, tergantung

interpretasi kita terhadap berbagai situasi

3 elemen kesepian :

ƒ merupakan pengalaman subjektif ƒ secara umum merupakan hasil dari perasaan kekurangan dalam

interaksi sosial ƒ dirasa tidak menyenangkan

Perasaan-perasaan pada orang yang kesepian :

Berdasarkan survei, Carin Rubenstein dan Phillip Shaver (1982) menemukan bahwa terdapat empat faktor umum perasaan yang muncul ketika orang berada dalam kesepian :

ƒ putus asa, panik dan lemah ƒ depresi ƒ bosan, tidak sabar ƒ mengutuk diri sendiri

Tipe-tipe kesepian : Menurut Robert Weiss (1973), terdapat dua tipe :

ƒ Emotional Loneliness : kesepian yang disebabkan kurang dekat- intim-lekat dalam hubungan dengan seseorang. Misalnya, kesepian ƒ Emotional Loneliness : kesepian yang disebabkan kurang dekat- intim-lekat dalam hubungan dengan seseorang. Misalnya, kesepian

ƒ Social Loneliness : merupakan hasil dari ketiadaan teman dan famili atau jaringan sosial tempat berbagi minat dan aktivitas.

Shaver dkk (1985) menegaskan perlunya membedakan kesepian dalam dua tipe yang lain :

ƒ Trait Loneliness : merupakan pola perasaan kesepian yang stabil, yang hanya sedikit berubah tergantung situasi. Pada umumnya orang yang memiliki harga diri (self-esteem) yang rendah lebih sering

mengalami trait loneliness (Jones, Freemon, & Goswick, 1981; Peplau, Miceli, & Morasch, 1982).

ƒ State Loneliness : merupakan kesepian yang lebih temporer yang seringkali disebabkan oleh perubahan yang dramatis dalam kehidupan. Misalnya, seseorang yang baru saja pindah lokasi tempat

tinggal, menjadi murid baru, dsb. Kesepian ini akan hilang bila telah ditemukan jaringan sosial yang baru (Shaver, Furman, & Buhrmeister, 1985).

Sebab-sebab kesepian :

Mengenai penyebab kesepian, tidak dapat diketahui dengan pasti karena untuk mengetahuinya diperlukan penelitian eksperimental yang tidak etis yang mencakup kondisi yang dirancang untuk membuat orang menjadi kesepian. Namun demikian, hasil penelitian korelasional menemukan bahwa :

ƒ Orang yang kesepian cenderung miskin dalam ketrampilan sosial (Horowitz & French, 1979) dan oleh orang lain dirasa relatif kurang

trampil dalam berbagai bidang sosial (Sloan & Sloano, 1984). ƒ Orang yang kesepian juga cenderung lebih cemas akan ketrampilan

sosialnya (Sloano & Koester, 1989).

Terdapat dua faktor umum yang berhubungan dengan penyebab kesepian tersebut di atas, yaitu harga diri yang rendah dantidak adanya kehendak untuk menggunakan sumber-sumber dukungan sosial (Vaux, 1988).

Reaksi terhadap rasa kesepian :

Reaksi terhadap kesepian sangat bervariasi, dapat berupa reaksi pasif atau aktif (Rubenstein & Shaver, 1982).

ƒ Reaksi pasif : menangis, tidur, makan, minum, menggunakan obat penenang, terus menerus menonton TV. ƒ Reaksi aktif : melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas seperti menyalurkan hoby, belajar, berolah raga, ke bioskop, shopping sambil bersenang-senang, mengusahakan kontak sosial, menelpon, atau mengunjungi orang lain.

Perbedaan antara pria dan wanita :

Frekuensi kesepian antara pria dan wanita nampaknya sama, namun wanita lebih mungkin mengakui dirinya kesepian daripada pria. Pria lebih banyak mengingkari kesepian yang dialaminya. Salah satu alasan untuk hal tersebut adalah bahwa pria yang kesepian kurang dapat diterima dan lebih sering ditolak secara sosial (Borys & Perlman, 1985). Menurut stereotip jenis kelamin, pria Frekuensi kesepian antara pria dan wanita nampaknya sama, namun wanita lebih mungkin mengakui dirinya kesepian daripada pria. Pria lebih banyak mengingkari kesepian yang dialaminya. Salah satu alasan untuk hal tersebut adalah bahwa pria yang kesepian kurang dapat diterima dan lebih sering ditolak secara sosial (Borys & Perlman, 1985). Menurut stereotip jenis kelamin, pria

Mengatasi kesepian :

Hal ini tergantung bagaimana atribusi masing-masing orang mengenai kesepiannya tersebut. Mereka yang menyalahkan kekurangan dirinya sebagai penyebab kesepian yang dialaminya, cenderung tetap tidak bahagia. Sedangkan orang yang melihat kesepiannya bersifat temporer, cenderung lebih berbahagia dan lebih berusaha melakukan tindakan korektif. Salah satu tindakan terbaik untuk mengatasi kesepian adalah dengan membangun relasi yang bermakna dengan teman-teman (Cutrona, 1982).

Alasan-alasan Untuk Berafiliasi

Kontak dengan orang lain seringkali merupakan pencegah kesepian. Tetapi apakah menghindari kesepian merupakan alasan bagi kita untuk berafiliasi ? Apa yang kita peroleh dari interaksi sosial ? Pada studi awal mengenai afiliasi, Stanley Schachter (1959) mengajukan empat kemungkinan jawaban untuk pertanyaan tersebut di atas, yaitu :

ƒ Berada di sekitar orang lain secara langsung mengurangi kecemasan. ƒ Kehadiran orang lain dapat mengalihkan perhatian terhadap diri sendiri

sehingga secara tidak langsung mengurangi kesepian. ƒ Reaksi orang lain dapat memberikan informasi tentang situasi, sehingga memberikan kejelasan terhadap pikiran-pikiran (kognisi) kita. ƒ Orang lain merupakan pembanding : kita dapat mengevaluasi diri kita

sendiri berdasarkan perilaku orang lain.

Hasil eksperimen Schachter :

Berdasarkan serangkaian eksperimen yang dilakukannya, Schachter menemukan dukungan yang kuat untuk dugaan pertama, yaitu bahwa berada di sekitar orang lain secara langsung mengurangi kecemasan. Dugaan-dugaan yang lain tidak didukung oleh hasil eksperimen.

Afiliasi dapat menurunkan kecemasan karena beberapa alasan : ƒ Kita seringkali mencari bantuan orang lain ketika menghadapi situasi yang mengancam. ƒ Informasi yang kita peroleh dari orang lain memungkinkan kita

memperoleh kejelasan mengenai situasi yang menimbulkan kecemasan.

ƒ Dukungan emosional dari orang-orang lain memungkinkan kita menguji respon-respon kita terhadap situasi yang menimbulkan stress.

Namun demikian tentu saja alasan orang untuk berafiliasi bukan hanya untuk mengurangi stress dan kecemasan. Orang berafiliasi dengan orang lain kemungkinan karena menyukai orang lain tersebut, karena ingin berbagi minat (interes), untuk memperoleh dukungan dan mengembangkan identitas diri, dan sebagainya.

Pola-pola Afiliasi Dan Jaringan Sosial

Untuk memahami pola afiliasi, dapat dilihat dari hasil-hasil penelitian berikut ini :

¼Bibb Latane dan Liane Bidwell (1977), berdasarkan observasi terhadap mahasiswa di berbagai kampus di Ohio State dan Universitas North Carolina, menemukan bahwa sekitar 60% dari subjek yang diamati, terlihat bahwa masing- masing bersama orang lain, paling sedikit dengan satu orang yang lain. Yang menarik, wanita lebih banyak ditemukan bersama-sama dengan orang lain. Hal ini merupakan indikasi bahwa paling tidak di tempat umum, wanita lebih banyak berafiliasi daripada pria. ¼Ladd Wheeler dan John Nezlek (1977) yang meneliti pola afiliasi pada mahasiswa baru menemukan bahwa :

ƒ Pada umumnya (56%) afiliasi berkembang antar jenis kelamin yang sama.

ƒ Pada semester pertama, mahasiswa perempuan lebih banyak meluangkan waktu untuk berinteraksi dengan teman daripada mahasiswa laki-laki. Namun pada semester berikutnya, perbedaan ini sudah tidak nampak. Mengenai hal ini Wheeler & Nazek menyimpulkan bahwa mahasiswa perempuan mencari interaksi sosial sebagai cara untuk mengatasi stress pertama memasuki universitas.

Pola afiliasi berhubungan dengan jaringan sosial (social network). Jaringan

sosial, yaitu dengan siapa seseorang menjalin kontak yang nyata (Berscheid, 1985). Berikut ini beberapa informasi mengenai jaringan sosial.

ƒ Orang yang berpindah lokasi tempat tinggal, mengalami perubahan jaringan sosial.

ƒ Pada mahasiswa, terdapat perbedaan jaringan sosial antara mahasiswa laki-laki dan perempuan. Misalnya, pada laki-laki, lebih banyak berteman dengan lawan jenis. Pada mahasiswa perempuan, interaksinya lebih sering, dan lebih banyak bertukar informasi dan dukungan emosional dengan teman. Namun demikian antara mahasiswa laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan dalam berinteraksi dengan keluarga.

ƒ Penelitian dengan subjek bukan mahasiswa juga menemukan bahwa wanita, dibanding dengan pria, memiliki kontak yang lebih sering dan lebih erat dengan teman-teman. Mengenai perbedaan jaringan sosial

antara laki-laki dan perempuan ini, Ladd Wheeler, Harry Reis, dan John Nezlek (1983) memberikan alasan bahwa wanita lebih disosialisasikan untuk mengekspresikan emosinya daripada pria.

B. DAYA TARIK (ATTRACTION) Dasar-dasar Ketertarikan Pertama

Berdasarkan penelitian-penelitian yang melibatkan orang asing (orang yang sebelumnya tidak dikenal oleh subjek penelitian), dapat disimpulkan bahwa kita menyukai seseorang jika orang tersebut :

ƒ Berdekatan dengan kita secara geografis. ƒ Memiliki kesamaan kepercayaan, nilai-nilai, dan ciri-ciri kepribadian. ƒ Memuaskan kebutuhan-kebutuhan kita. ƒ Menyenangkan atau dapat kita setujui (sikap, pandangan, dan

perilakunya). ƒ Menarik secara fisik. ƒ Membalas kesukaan kita (kita cenderung tertarik terhadap orang yang

menyukai kita ---- sesuai dengan Balance Theory dari Heider, 1946).

Model-model Teoritik Daya Tarik Terdapat tiga model yang dipertimbangkan di sini, yaitu :

1. Teori penguat / teori afek (reinforcement/ affect theory)

Teori ini menjelaskan daya tarik interpersonal dengan bersandar pada konsep reinforcement, yakni kita menyukai orang lain yang memberikan reward (hal-hal yang menyenangkan) kepada kita dan kita tidak menyukai orang yang memberikan punishment (hal-hal yang tidak menyenangkan) kepada kita.

Asumsi yang digunakan model ini : Sebagian besar stimuli dapat diklasifikasikan sebagai reward atau punishment , dan bahwa stimuli yang menimbulkan reward menimbulkan perasaan (affect) positif , dedangkan stimuli yang menimbulkan punishment menimbulkan perasaan (affect) negatif.

Evaluasi-evaluasi kita terhadap orang lain atau objek-objek adalah berdasarkan seberapa tingkat perasaan negatif atau positif yang kita alami.

2. Teori pertukaran sosial (social exchange theory)

Pada prinsipnya teori ini tidak menolak asumsi bahwa reinforcement meruoakan dasar yang penting bagi daya tarik interpersonal, namun teori ini tidak sesederhana teori reinforcement. Social exchange theory secara khusus menghubungkan relasi antar dua orang dengan pengeluaran/ kerugian (costs) dan perolehan/ keuntungan yang didapat oleh masing-masing.

Margaret Clark dan Judson Mills (1979, 1982) menjelaskan bahwa costs dan benefits dapat didefinisikan secara berbeda-beda, tergantung jenis hubungannya:

ƒ Dalam relasi antara dua orang yang masih asing, kenalan, rekanan bisnis, relasi berlangsung berdasarkan pertukaran (exchange)

perolehan yang kaku/ketat. Berlaku aturan : apa yang diberikan dan apa yang diterima oleh seseorang di dalam hubungan tersebut haruslah seimbang.

ƒ Dalam relasi yang erat, seperti hubungan dengan anggota keluarga dan teman dekat, orang lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan

pihak lain dan kurang mempedulikan keseimbangan antara modal (input) dan perolehan (outcomes).

3. Teori saling ketergantungan (interdependence theory)

Teori dari John Thibaut dan Harold Kelley (1978, 1959) ini memiliki kesamaan dengan teori pertukaran sosial, yakni keduanya mengkonsepkan interaksi antara costs dan benefits. Kekhususan teori ini adalah :

ƒ Interdependence theory menjelaskan interaksi perilaku antara dua orang secara lebih rinci, khususnya dalam hal matriks perolehan (outcome matrix).

ƒ Di dalamnya terdapat konsep comparison level (standard perbandingan), yaitu standard/ukuran/patokan yang digunakan untuk mengevaluasi orang lain. Menurut teori ini orang membandingkan antara apa yang dicapai/diperoleh dalam relasi dengan apa yang menjadi harapannya. Comparison level diperoleh berdasarkan pengalaman masa lampau. Relasi yang sekarang dianggap memuaskan hanya jika apa yang dicapai/diperoleh tingkatannya melebihi comparison level.

Catatan : ƒ Comparison level ini dapat berubah-ubah sepanjang waktu. Misalnya,

setelah lebih tua kita memiliki tuntutan yang lebih banyak dari suatu relasi bila dibanding waktu kita muda.

ƒ Comparison level juga dapat berubah tergantung situasi. Misalnya, perhitungan kita mengenai nilai perolehan (reward dikurangi costs) dapat sangat berbeda dalam hubungan kita dengan seorang dokter gigi dibanding dalam hubungan kita dengan seseorasng yang

mencintai kita.

C. PENGEMBANGAN HUBUNGAN

Pada bagian ini kita akan membahas dua tipe hubungan yang berkembang, yakni persahabatan dan cinta.

Persahabatan Kita mempunyai harapan-harapan tertentu dari sahabat kita. Di sisi lain, terdapat

hal-hal yang tidak kita harapkan dari seorang kenalan. Pada suatu saat kita merasakan adanya perilaku yang tidak sesuai dengan persahabatan sehingga menyebabkan berakhirnya persahabatan. Dari hal-hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa persahabatan diatur oleh serangkaian aturan informal yang dihargai dan dipelihara. Michael Argyle dan Monika Henderson ( 1984) menyebutkan adanya empat kriteria berlakunya peraturan dalam hal persahabatan :

ƒ Pada umumnya orang setuju bahwa di dalam suatu persahabatan, perilaku perlu dibatasi/diatur oleh suatu aturan.

ƒ Untuk teman-teman lama dan teman-teman baru, peraturan tersebut diterapkan secara berbeda.

ƒ Kegagalan untuk setia terhadap peraturan seringkali menjadi alasan berakhirnya sebuah persahabatan.

ƒ Terdapat peraturan yang membedakan perilaku antara teman dekat dengan teman yang tidak terlalu dekat.

Berdasarkan interview dengan mahasiswa-mahasiswa dari Inggris, Italia, Jepang, dan Hong Kong, selanjutnya Argyle dan Henderson mengidentifikasi aturan-aturan yang dianggap penting dalam persahabatan :

ƒ Berbagi berita kesuksesan dengansahabat. ƒ Memberikan dukungan emosional.

ƒ Membantu dengan suka rela ketika dibutuhkan. ƒ Mengusahakan kebahagian sahabat di dalam lingkungannya masing-

masing. ƒ Saling percaya dan menceritakan rahasia satu sama lain. ƒ Tetap bersikap/bertindak sebagai sahabat, baik ketika teman tersebut

ada maupun tidak ada. ƒ Saling membayar hutang dan kebaikan-kebaikan. ƒ Bersikap/bertindak toleran terhadap sahabat. ƒ Tidak mengomel terhadap sahabat.

Catatan : Aturan ke 7 s/d 9 tidak dapat membedakan antara teman dekat dengan teman yang kurang dekat.

Hays (1985) dalam penelitiannya terhadap mahasiswa baru membuktikan bahwa pasangan yang hubungannnya berkembang menjadi sahabat, tindakan- tindakannya agak berbeda dengan pasangan yang hubungannya tidak berkembang menjadi sahabat. Pada hubungan yang tidak berkembang menjadi persahabatan, tampak bahwa kontak mereka semakin berkurang. Sebaliknya, pada hubungan yang berkembang menjadi persahabatan ditandai pertama-tama oleh kesibukan aktivitas bersama, lalu aktivitas itu berkurang secara bertahap karena peningkatan aktivitas lain sebagai mahasiswa tahun pertama. Namun demikian penurunan jumlah interaksi ini dibarengi dengan peningkatan keintiman atau kualitas interaksi.

Analisis persahabatan pada jenis kelamin yang berbeda :

ƒ Persahabatan pada laki-laki lebih mungkin berkembang dari aktivitas bersama ; sedangkan persahabatan pada perempuan lebih tergantung pada komunikasi verbal dan keterbukaan diri ( Hays, 1985).

ƒ Derlega, Lewis, Harrison, Winstead, & Costanza (1989) menemukan bahwa pada persahabatan yang menggunakan sentuhan (misalnya pelukan atau ciuman, ketika menyambut kehadiran seorang sahabat yang

tiba dari perjalanan, di airport) : ƒ Pada persahabatan antar laki-laki, tingkat keintiman sentuhan mereka

paling rendah di antara pasangan-pasangan sahabat yang lain. ƒ Dalam studi mengenai persepsi terhadap sentuhan, dapat disimpulkan

bahwa laki-laki lebih sering merasakan sentuhan sebagai awal seksualitas; dan sentuhan laki-laki lebih sering diinterpretasikan secara seksual dari pada sentuhan perempuan.

Pola-pola persahabatan yang lain :

McAdams, Healy, & Krause (1994) menemukan :

ƒ Individu yang memiliki kebutuhan keintiman (need for intimacy) yang lebih

kuat, lebih mungkin untuk mengembangkan persahabatan, dan lebih mungkin untuk membuka diri terhadap sahabat-sahabatnya.

ƒ Individu-individu yang termotivasi oleh kebutuhan untuk berkuasa dan dominasi (need for power and dominance), lebih mencari kelompok yang besar untuk beraktivitas/berafiliasi, bukan mencari persahabatan dengan

dengan perorangan.

D. KONSEPSI-KONSEPSI TENTANG CINTA & PENGUKURAN CINTA

Hampir semua orang yakin bahwa cinta itu berbeda dengan persahabatan. Cinta romantik berkembang lebih cepat daripada persahabatan. Cinta romantik nampaknya lebih mudah retak daripada persahabatan, dan lebih dapat berakibat negatif, misalnya frustrasi (Berscheid, 1985).

Merawat, merupakan dasar konsepsi dari cinta. Dalam hubungan percintaan, perilaku sering lebih dimotivasi oleh kepedulian terhadap minat-minat pasangan daripada minat-minat diri sendiri. Sedangkan kepedulian terhadap kebutuhan-kebutuhan diri sendiri nampaknya lebih merupakan ciri ketertarikan sepintas lalu daripada hubungan percintaan yang serius (Steck, Levitane, & Kelley, 1982).

Seorang psikolog sosial, Zick Rubin (1970, 1973) telah mengembangkan dua kuesioner, masing-masing untuk mengukur kondisi kesukaan dan kecintaan. Menurut Rubin :

ƒ Kesukaan, pertama-tama lebih didasarkan pada afeksi dan respek. Item-

item skala ini dikaitkan dengan kesepakatan tentang kualitas positif seorang teman dan kebutuhan untuk menjadi sama dengan teman tersebut.

ƒ Kecintaan, bersandar pada keintiman, kelekatan, dan peduli terhadap kesejahteraan pihak lain. Item untuk skala ini dihubungkan dengan kesedihan karena tidak adanya seseorang yang dicintai, pemaafan terhadap kesalahan, dan tingginya tingkat keterbukaan diri.

Beberapa penemuan mengusulkan bahwa cinta bukan merupakan konsep yang berdimensi tunggal. Misalnya, terdapat dua tipe cinta : passionate (romantik) dan companionate (Hatfield, 1988; Peele, 1988; Walster & Walster, 1978).

ƒ Cinta passionate merupakan pengalaman emosional yang mendalam: luar biasa gembira jika berbalas, dan sangat menderita bila tak berbalas.

ƒ Cinta companionate merupakan bentuk cinta yang lebih familiar, yang didefinisikan sebagai afeksi yang kita rasakan terhadap seseorang yang

memiliki jalinan mendalam dengan diri kita, merefleksikan hubungan jangka panjang, dan kemungkinan merupakan tahap lanjut dari cinta romantik.

John Alan Lee (1973) menunjukkan bahwa cinta itu bervariasi. Terdapat enam

tipe gaya mencinta : cinta romantik, cinta permainan (game-playing love), cinta persahabatan, cinta yang menguasai (possesive love), cinta yang logis, dan cinta diri.

Robert Sternberg (1986) mencirikan cinta sebagai segi tiga yang terdiri dari tiga komponen : keintiman, gairah/nafsu, dan keputusan/komitmen.

ƒ Keintiman menunjuk pada perasaan kedekatan/keterikatan terhadap orang lain. ƒ Gairah/nafsu menunjuk pada aspek romantik dan seksual dalalam hubungan ƒ Keputusan/komitmen, mencakup dua aspek : Pada tahap awal hubungan, menunjuk pada keputusan untuk menjalin cinta dengan ƒ Keintiman menunjuk pada perasaan kedekatan/keterikatan terhadap orang lain. ƒ Gairah/nafsu menunjuk pada aspek romantik dan seksual dalalam hubungan ƒ Keputusan/komitmen, mencakup dua aspek : Pada tahap awal hubungan, menunjuk pada keputusan untuk menjalin cinta dengan

Menurut Sternberg, perbedaan tipe cinta merupakan hasil dari perbedaan kekuatan dari tiga komponen tersebut diatas. Sebagai contoh :

ƒ Tipe suka (liking), mencakup keintiman yang kuat, tetapi sedikit

gairah/nafsu dan komitmen. ƒ Tipe infatuation, gairah/nafsunya paling kuat. ƒ Tipe empty love, komitmen yang paling kuat. ƒ Tipe consummate love, memiliki keseimbangan antara keintiman, nafsu,

dan keputusan/komitmen. ƒ Tipe romantic love, mencakup keintiman dan nafsu yang kuat, namun

lemah dalam hal keputusan/komitmen.

Decision/commitment

Empty love

Consumate love

Infatuation Liking

Passion Intimacy

Tahap-tahap Perkembangan Cinta

ƒ Tahap pertama, dapat disebut tahap perkenalan. Pada tahap ini dua

orang mulai mengenal satu sama lain. Terbentuk kesan pertama, dan selanjutnya terjadi interaksi. Banyak hubungan yang tidak pernah berlanjut melebihi tahap ini, misalnya hubungan dengan dokter gigi yang merawat gigi kita,sopir bis langganan, seseorang yang pernah kita jumpai dalam pesta di rumah tetangga.

ƒ Tahap kedua, pembentukan hubungan yang nyata. Pada tahap ini terjadi

peningkatan saling ketergantungan. Terjadi peningkatan interaksi dan kehendak untuk saling membuka diri; mulai meluangkan waktu dan energi untuk hubungan tersebut; mengkoordinasikan aktivitas satu sama lain; dan mengantisipasi interaksi-interaksi yang menyenangkan di masa yang akan datang.

ƒ Tahap ketiga, adalah tahap mempererat hubungan. Kemajuan dalam

tahap ini tidak selalu mulus. Dapat terjadi ketegangan di antara keduanya. Misalnya, pasangan yang bercinta, seringkali mengidealkan tahap ini tidak selalu mulus. Dapat terjadi ketegangan di antara keduanya. Misalnya, pasangan yang bercinta, seringkali mengidealkan

Pada tahap ini kemungkinan terjadi kecemburuan, sebagai akibat pertumbuhan komitmen. Terdapat ungkapan “Cemburu selalu lahir bersamaan dengan lahirnya cinta”. White (1981) serta White & Mullen (1989) menunjukkan bahwa terdapat dua faktor umum yang ada pada reaksi cemburu : kebutuhan untuk memiliki hubungan yang eksklusif dan perasaan kurang/ tidak cakap (inadequacy). Pada laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan :

¾ Pada laki-laki, kecemburuan seringkali berhubungan dengan harga diri (self-esteem), khususnya bahwa respek terhadap pasangan merupakan sumber harga diri, dan bahwa hal ini tergantung sejauh mana dia mendukung keyakinan-keyakinan akan peran gender tradisional. Dengan kata lain, kecemburuan pada laki-laki

tampaknya lebih berhubungan erat dengan status. ¾ Pada perempuan, kecemburuan terutama berhubungan dengan

ketergantungan yang kuat terhadap hubungan itu sendiri.

Meskipun kecemburuan dapat menjadi ancaman dalam perkembangan hubungan, namun hal ini tidak selalu dialami.

ƒ Tahap ke empat, merupakan tahap perkembangan komitmen yang nyata.

Pada tahap ini terjadi perubahan perasaan-perasaan dan perilaku. Salah satu perubahan yang ada adalah terjadinya peningkatan kepercayaan (trust). Dalam hal ini kita dapat mempertimbangkan tiga macam kepercayaan terhadap pasangan : ¾ Kepercayaan yang mencakup predictability, yaitu kemampuan untuk

meramalkan apa yang akan dilakukan oleh pasangannya. ¾ Kepercayaan yang berimplikasi dependability, yaitu mengembangkan

asumsi tertentu tentang karakteristik dan kecenderungan- kecenderungan internal dari pasangannya. (Predictability maupun dependability diperoleh berdasarkan pengalaman dan fakta yang telah lewat).

¾ Kepercayaan yang berimplikasi faith. Pada tahap ini orang memandang kedepan, yakin bahwa outcome (hasil) tertentu akan dicapai.

Dalam hubungan yang erat, cinta dan kebahagiaan terkait erat dengan tiga elemen kepercayaan ini.

Pada beberapa kasus, perkembangan komitmen nyata yang dicapai pada tahap ke empat ini merupakan hasil perkembangan dari cinta. Namun demikian pada kasus di mana masyarakat mengatur perkawinan sebagai suatu keharusan, komitmen merupakan hasil dari kesepakatan formal, dan selanjutnya keterlibatan emosional serta cinta berkembang mengikuti lahirnya komitmen tersebut.

Berdasarkan penelitian Marc Blais (Blais, Sabourin, Boucher, & Valeran, 1990) terhadap subjek yang rata-rata umurnya 38.1 tahun dan telah berpasangan rata-rata selama 12.6 tahun, ditemukan bahwa individu yang Berdasarkan penelitian Marc Blais (Blais, Sabourin, Boucher, & Valeran, 1990) terhadap subjek yang rata-rata umurnya 38.1 tahun dan telah berpasangan rata-rata selama 12.6 tahun, ditemukan bahwa individu yang

Lebih lanjut, Blais dkk menemukan bahwa motivasi-motivasi dari pihak perempuan (bukan dari pihak laki-laki), mempengaruhi persepsi pasangannya (secara nyata memang kita dapat melihat bahwa dalam suatu hubungan, persepsi masing-masing pihak akan mempengaruhi persepsi pihak lain). Hal ini menunjukkan bahwa perempuan memainkan peran yang lebih besar dalam mengembangkan dan mengelola hubungan dari pada laki- laki.

PUTUS CINTA

Perpisahan

Untuk memahami terjadinya perpisahan, Hill, Rubin, dan Peplau (1976) mengadakan penelitian yang ekstensif selama dua tahun, yaitu dengan subjek sebanyak 231 pasangan di wilayah Boston, AS. Pada akhir penelitian (masa penelitian dua tahun), ternyata 103 pasangan (45%) telah berpisah; 65 pasangan masih berkencan; 9 pasangan telah bertunangan, 43 pasangan telah menikah, dan 11 pasangan tidak dapat dihubungi.

Hill dkk menemukan bahwa mereka yang melaporkan perasaan dekat dengan pasangannya pada tahun pertama penelitian (1972) tidak selalu berarti bahwa hubungan dengan pasangannya tetap langgeng dalam dua tahun kemudian. Hal ini sesuai dengan pembahasan hasil penemuan Rubin (1970) mengenai kecintaan dan kesukaan. Hasil penelitian Rubin tersebut menunjukkan bahwa skor dari skala cinta (love) lebih prediktif (lebih dapat digunakan untuk memprediksi/meramalkan) terhadap hubungan tersebut dari pada skor dari skala rasa suka (liking). Selanjutnya, terbukti juga bahwa skor skala cinta dari subjek perempuan lebih prediktif terhadap kelanggengan hubungan dari pada skor skala cinta dari subjek laki-laki. Artinya bahwa pada subjek perempuan, yang skor skala cinta-nya lebih tinggi, lebih langgeng pula hubungan subjek tersebut dengan pasangannya. Hal ini tentu saja seperti yang telah kita bahas di atas, karena perempuan cenderung memainkan peran yang lebih besar dalam mengelola hubungan, maka perasaan perempuan dalam suatu hubungan merupakan indeks yang lebih sensitif untuk kesehatan hubungannya. Apakah pasangan tersebut telah melakukan sexual intercourse dan apakah telah hidup bersama, hal ini tidak menjamin keberhasilan hubungan di masa yang akan datang.

Pada subjek penelitian Hill dkk tersebut, kesamaan yang ada pada satu pasangan (yang merupakan faktor penting untuk Daya Tarik), juga penting bagi berhasilnya suatu hubungan. Kesamaan dalam pendidikan, inteligensi, dan daya tarik, lebih banyak ditemukan pada pasangan yang hubungannya langgeng dari pada pasangan yang akhirnya berpisah. Kesamaan dalam

agama, sikap-sikap terhadap peran gender, dan kebutuhan/harapan akan agama, sikap-sikap terhadap peran gender, dan kebutuhan/harapan akan

Prediktor penting yang lain yang dapat digunakan untuk meramalkan keberhasilan hubungan adalah kebutuhan untuk berkuasa (need for power) pada laki-laki (Stewart & Rubin, 1976). Kebutuhan berkuasa di sini didefinisikan sebagai suatu kecenderungan yang stabil untuk mempengaruhi orang lain melalui tindakan langsung ataupun yang lebih halus/licik/cerdik. Pada pasangan-pasangan di Boston (penelitian Hill dkk), laki-laki yang kebutuhan berkuasa-nya tinggi lebih, lebih banyak menunjukkan masalah di dalam hubungan dan lebih banyak menunjukkan ketidakpuasan terhadap hubungan dengan pasangannya.

Ketidakseimbangan (Inequity) dan Ketidakpermanenan (Impermanence)

Menurut equity theory (yaitu versi lain dari social exchange theory), di dalam suatu hubungan orang tidak hanya mempertimbangkan costs dan rewards yang ada padanya, namun juga costs dan rewards pada orang lain. Idealnya dua perbandingan tersebut seimbang. Orang yang merasa bahwa dalam hubungannya terjadi ketidakseimbangan, akan mengalami ketegangan dan mengusahakan adanya keseimbangan, baik secara nyata mengubah input dan outcomes ataupun secara psikologis mengubah persepsi tentang perolehan dan costs yang dialami oleh dua belah pihak. Menurut penemuan Davidson (1984) serta Traupmann, Peterson, Utne, & Hatfield (1981), pasangan yang masing-masing individunya merasakan keseimbangan, paling mungkin untuk sukses hubungannya. Sebaliknya, persepsi ketidakseimbangan merupakan sinyal adanya kesulitan dalam hubungan tersebut.

Perceraian (perpisahan setelah perkawinan)

Perkawinan bukanlah jaminan berlangsungnya hubungan yang langgeng. Di Amerika, tingkat perceraian semakin tinggi dari tahun ke tahun. Apakah yang menyebabkan retaknya perkawinan ? Beberapa faktor kepribadian dan demografis ditemukan berhubungan dengan kemungkinan perceraian (Newcomb & Bentler, 1981). Misalnya, orang yang menikah terlalu muda, lebih besar kemungkinannya untuk bercerai. Dari sisi kepribadian, misalnya, mereka yang tingkat ambisi dan kebutuhan berprestasinya terlalu tinggi, cenderung kurang stabil perkawinannya.

AGRESI DAN KEKERASAN

S elama 5.600 manusia telah merekam sejarahnya: lebih dari 16.600

peperangan telah terjadi, rata-rata 3 peperangan terjadi setiap tahun (Montagu, 1996). Tempat seperti pulau Fakland dan Teluk Persi di negara Qatar dan Kuwait menjadi dikenal banyak orang hanya karena perang. Sejak awal abad 20-an, lebih dari 900.000 rakyat sipil Amerika meninggal akibat tindak kriminal. Setiap harinya orang membaca surat kabar tentang orang tua yang menganiaya anaknya, suami-istri berdebat dengan kekerasan fisik, dan orang diserang dan dibunuh dengan penyebab yang sering kurang masuk akal.

Dari fakta-fakta di atas orang dapat menyimpulkan dengan mudah bahwa kekerasan dan tindakan agresif merupakan aspek integral dalam masyarakat. Para ilmuwan perilaku pun berasumsi bahwa agresi merupakan hasil alami dari insting membunuh (killer instict) dalam sifat manusia. Sementara yang lain meyakini bahwa agresi dapat dijelaskan secara lengkap sebagai perilaku belajar social yang dapat diprediksikan dan potensial untuk dikendalikan.

AGRESI DAN SIFAT MANUSIA

Walaupun agresi merupakan istilah yang sering digunakan sehari-hari, namun para ilmuwan sosial memerlukan beberapa penjelasan yang lebih spesifik mengenai agresi. Hal ini mengingat bahwa terdapat kekaburan mengenai apa artinya menjadi agresif.

Definisi Agresi Terdapat sejumlah definisi agresi yang telah diusulkan; definisi-definisi tersebut sering kali merupakan refleksi asumsi teoritik dari penganjurnya.

• Teori Psikoanalisa (dikembangkan oleh Freud), mendefinisikan agresi

sebagai dorongan biologis yang mendasar, yang harus diekspresikan. • Perspektif Ethologi (studi perilaku binatang dalam seting alami), Konrad Lorenz menggambarkan agresi sebagai instink berkelahi yang diarahkan terhadap anggota spesies yang sama

• Para Behavioris, sebaliknya mendefinisikan agresi dalam konteks perilaku yang nampak; bukan sebagai dorongan dari dalam diri (inner drive) atau motivasi.

Berdasarkan tinjauan aspek internal dan aspek yang nampak tersebut, definisi perilaku agresi yang paling banyak diterima oleh para psikolog sosial adalah: Agresi merupakan berbagai berilaku yang diarahkan untuk membahayakan makhluk hidup lain.

Definisi tersebut mencakup beberapa deskripsi penting:

1. Membatasi agresi sebagai perilaku yang disertai niat (intensi) menyakiti atau membahayakan kurban. Dengan batasan ini maka bila tanpa sengaja pada waktu mengendarai mobil kita menabrak seseorang, itu tidak dapat 1. Membatasi agresi sebagai perilaku yang disertai niat (intensi) menyakiti atau membahayakan kurban. Dengan batasan ini maka bila tanpa sengaja pada waktu mengendarai mobil kita menabrak seseorang, itu tidak dapat

2. Dalam percakapan sehari-hari orang sering mengatakan “manajer agresif” atau “penjual yang agresif”. Secara umum gambaran seperti itu menunjuk pada seseorang yang kompetitif, energik, dan asertif. Perilaku ini tidak sesuai dengan definisi aresi, kecuali bila manajer atau penjual tersebut menyakiti orang lain untuk mencapai keberhasilannya.

3. Definisi agresi tidak hanya mencakup agresi yang membahayakan fisik, Menghina atau mencaci secara verbal juga termasuk agresi. Demikian pula menolak untuk memberikan sesuatu yang menjadi kebutuhan orang lain, dapat dipertimbangkan sebagai bentuk perilaku agresi. Menendang dinding tidak termasuk agresi, namun memukul anjing merupakan perilaku agresi.

™ Penjelasan Biologis Terhadap Agresi

1. Freud (1930) menulis: “Kecenderungan berperilaku agresi merupakan innate (bawaan lahir), independen (tidak tergantung pada faktor lain, dan bersifat instinctual”. Menurut tradisi psikoanalisa, energi agresi secara konstan (ajeg) dihasilkan oleh proses tubuh kita. Dengan demikian agresi didefinisikan sebagai dorongan dasar yang harus diekspresikan.

Pelepasan agresi dapat diekspresikan secara langsung atau tidak langsung. Pelepasan secara tidak langsung, yang lebih dapat diterima secara sosial, misalnya dengan debat yang seru atau aktivitas atletik. Yang tidak dapat diterima secara social, seperti menghina/mencela atau berkelahi. Pelepasan dorongan agresi yang destruktif tidak selalu diarahkan terhadap orang lain, melainkan dapat juga terhadap diri sendiri, yaitu bunuh diri. Bagaimanapun agresi itu dilepaskan, dan agresi dipertimbangkan sebagai bawaan lahir, Freud yakin bahwa masyarakat berfungsi mengendalikan agresi.

2. Ethologi (suatu cabang ilmu biologi yang sangat peduli mengenai instink dan pola perilaku umum semua spesies dalam habitat alami), sering berasumsi bahwa perilaku-perilaku (pola tindakan) berbagai spesies merupakan innate, atau dalam kendali instink (Crook, 1973).

Seperti psikoanalisa, para etholog berpandangan bahwa ekspresi dari berbagai tindakan (agresi) yang polanya menetap itu tergantung dari akumulasi energi, namun .pelepasan energi itu harus dipicu oleh stimulus eksternal yang disebut releaser (Hess, 1962). Releaser dapat berupa ancaman-ancaman dari pihak lain atau perubahan lingkungan.

Agresi, menurut Lorenz (1966) berfungsi untuk melindungi spesies; dengan demikian agresi bernilai sebagai survival. Lorenz yakin bahwa organisme lebih agresif terhadap spesiesnya sendiri daripada terhadap spesies lain.

3. Sociobiology (E.O. Wilson: studi sistematis mengenai dasar biologis semua perilaku social), yang merupakan perluasan dari teori evolusi Darwin, berpandangan bahwa agresi merupakan perilaku adaptif. Keuntungan biologis dari perilaku agresi yaitu mencakup kemampuan untuk mendapatkan sumber daya lebih besar, mempertahankan sumber daya yang dimiliki, dan melindungi individu-individu terdekat. Bila berhasil, agresi individu akan memperkuat posisi kelompoknya dalam hubungannya dengan kelompok lain.

™ Penjelasan Sosial Terhadap Agresi

Meskipun perilaku agresi pada binatang yang lebih rendah dapat dijelaskan berdasarkan proses instink, para ahli ilmu social berpandangan bahwa perilaku agresi manusia tidak diatur oleh dorongan internal, melainkan dipelajari dari orang lain. Psikolog J.P. Scott (1958) menyimpulkan bahwa semua hasil riset menunjukkan bahwa tidak terdapat fakta psikologis yang berupa dorongan internal atau daya dorong spontan untuk berkelahi; dan bahwa semua stimulasi agresi berasal dari daya yang tampil dalam lingkungan fisik.

Bila agresi merupakan hasil belajar, bagaimana terjadinya proses belajar tersebut? Menurut Bandur (1973) melalui dua metode: instrumental learning dan observational learning.

• Instrumental learning. Menurut prinsip ini, perilaku yang diperkuat (reinforced) atau direspon positif (rewarded) lebih mungkin diulang pada masa mendatang. Beberapa bentuk reward untuk agresi antara lain: persetujuan masyarakat, peningkatan status, perolehan uang (untuk orang dewasa), atau permen (untuk anak-anak). Pada orang yang sangat terprovokasi, fakta si kurban menderita dapat berarti sebagai bentuk reinforcement (Baron, 1974; Fesbach, Stiles, & Bitter, 1967).

• Observational learning/ social modeling. Menurut banyak penemuan,

ini merupakan cara yang lebih umum dalam menghasilkan perilaku agresif. Menurut observational learning atau social modeling, kita dapat mempelajari perilaku baru dengan mengamati tindakan orang lain (model).

Mereka yang beranggapan bahwa perilaku agresi adalah respon yang dipelajari, telah mengklaim bahwa masyarakat di mana tidak terdapat perilaku agresi merupakan manifestasi bahwa belajar memiliki peran penting terhadap agresi. Misalnya, di Amerika dan Canada, anggota komunitas yang terisolir seperti suku Amish, Mennonites, dan Hutterites, berusaha keras untuk mencapai koeksistensi damai. Perilaku agresif pada masyarakat tersebut tidak mendapatkan reward (Bandura & Walters, 1963).

Gorer (1968) menggambarkan beberapa karakteristik masyarakat yang memfasilitasi perkembangan dan pengelolaan perilaku non-agresif:

1. Mereka berada di tempat yang kurang dapat diakses, sehingga tidak ditempati kelompok lain. Bila kelompok lain menginvasi teritori itu, mereka berpindah ke tempat lain yang lebih sulit dijangkau.

2. Masyarakat itu berorientasi terhadap kenikmatan hidup yang kongkrit, seperti makan-minum-dan seks, Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut telah memuaskan mereka. Kebutuhan berprestasi atau kekuasaan, pada anak-anak tidak didukung.

3. Masyarakat tersebut hanya membuat sedikit perbedaan antara pria dan wanita. Meskipun nampak terdapat perbedaan peran antara pria dan wanita, namun tidak ada usaha yang dilakukan yang mencerminkan agresive masculinity (perilaku agresif karena sifat maskulin).

™ Penjelasan Biologi dan Belajar

Mayoritas masyarakat di dunia menampilkan bentuk agresi (Rohner, 1976). Dengan demikian tidak ada alasan untuk mengasumsikan agresi sebagai hasil dari instink atau proses social. Keberadaan masyarakat non-agresif merupakan hasil tempaan sifat manusia, dan merupakan sesuatu yang berbeda besar dengan perilaku-perilaku “normal” berbagai masyarakat (Eisenberg, 1972).

Menurut faham biologi dan belajar, stimulus yang tidak menyenangkan (aversive stimuly) yang melibatkan ancaman, menghasilkan arousal (gejolak) fisiologis yang menyebabkan keseimbangan individual untuk melarikan diri (flee) atau berkelahi (fight) (Berkowitz & Heimer, 1989). Namun, bagaimanapun kesiapan instinctual manusia untuk perperilaku agresif, hal itu dapat dipastikan dimodifikasi oleh pengalaman belajar.

KONDISI-KONDISI YANG MEMPENGARUHI AGRESI

Terdapat berbagai kondisi yang dapat meningkatkan kemungkinan perilaku agresif. Ada yang berhubungan dengan kondisi motivasional atau afektif, dan ada pula yang merupakan kondisi di luar individu.

Frustrasi

Pada tahun 1939 sekelompok psikolog di Yale University (Dollard, Doob, Miller, Mowrer, & Sears, 1939) mengajukan hipotesis bahwa frustrasi menyebabkan agresi. Hipotesis frustrasi-agresi tersebut dipostulatkan: “terjadinya agresi selalu mensyaratkan adanya frustrasi” (Miller, 1941). Namun demikian, frustrasi dapat memiliki akibat lain (tidak selalu agresi).

Frustrasi, oleh para teoris dari Yale didefinisikan sebagai kondisi yang berkembang bila lingkungan menghambat/mengganggu respon pencapaian tujuan. Jadi, frustrasi merupakan hasil ketidakmampuan organisme untuk melengkapi serangkaian perilaku.

Fakta yang diperoleh dari berbagai studi menunjukkan bahwa agresi kadang- kadang disebabkan oleh frustrasi (Azrin, Hutchinson, & Hake, 1976; Rule & Percival, 1971). Misalnya Arnold Buss (1963) yang menciptakan tiga kondisi Fakta yang diperoleh dari berbagai studi menunjukkan bahwa agresi kadang- kadang disebabkan oleh frustrasi (Azrin, Hutchinson, & Hake, 1976; Rule & Percival, 1971). Misalnya Arnold Buss (1963) yang menciptakan tiga kondisi

Dengan hasil eksperimennya tersebut Buss (1967, 1967) menyimpulkan bahwa frustrasi dan agresi dapat berkaitan hanya bila agresi memiliki nilai instrumental, yaitu bila perilaku agresif akan membantu mengurangi frustrasi.

Marah, merupakan mediator yang penting dalam keterkaitan frustrasi-agresi (Krebs & Miller, 1985).