PENGARUH INFORMASI DAN BUDAYA ASING MELA

PENGARUH INFORMASI DAN BUDAYA ASING MELALUI MEDIA TELEVISI
TERHADAP ISLAM KHUSUSNYA PARA PEMUDA YANG TINGGAL DIDAERAH
PERKOTAAN DI KOTA BANDUNG

(Draft Rencana Proposal Penelitian Untuk Tesis)

Oleh GUNAWANSAM

A. Latar Belakang Masalah

Sudah bisa dipastikan masyarakat di perkotaan sangat akrab dengan televisi. Khususnya di
Kota Bandung, televisi seakan menjadi bagian dari kebutuhan sehari-hari yang sulit
dipisahkan dari setiap keluarga. Dalam satu rumah, ada banyak diantaranya yang memiliki
lebih dari satu televisi. Di ruang tamu, di kamar tidur, di dalam kendaraan, sampai di telepon
selular pun ada televisi.

Televisi bukan saja dimiliki oleh masyarakat yang memiliki garis ekonomi menengah ke atas,
melainkan bisa dinikmati semua kalangan dengan harga pesawat televisi yang cukup
terjangkau. Terlepas dari jenis dan harganya, perhatikan saja di berbagai pangkalan ojek,
pangkalan becak, di bis kota, termasuk sebagian angkutan kota, televisi sudah tersedia. Maka
televisi sudah tidak lagi menjadi barang eksklusif yang hanya bisa dinikmati orang kaya.

Sangat berbeda dengan tahun 1980-an, ketika pesawat televisi hanya dimiliki keluarga
tertentu, sehingga pada saat ada tayangan yang menarik untuk disimak, para tetangga di
sekitarnya berbondong-bondong numpang menonton televisi. Di zaman ini, sudah tidak ada
lagi istilah ”numpang mononton televisi”.

Para pemiarsa televisi tidak mengenal tua atau muda, laki-laki atau perempuan, miskin atau
kaya. Waktu yang digunakan untuk menonton acara televisi sudah tidak lagi pada saat-saat
istirahat untuk mencari hiburan. Ada berbagai kantor yang pada saat jam kerja pun tetap
menyalakan televisi. Misalnya di ruangan pelayanan nasabah beberapa bank, televisi tetap
menyala untuk dinikmati para nasabah yang sedang mengantri, dan tentu saja sekaligus untuk
dinikmati para karyawan. Begitu pula di rumah, banyak diantara para ibu rumah tangga yang
tetap menyaksikan televisi sambil melakukan berbagai aktivitas di dalam rumah. Terlebih
bagi yang memiliki aplikasi televisi di dalam telepon selular, maka lebih leluasa lagi
menonton dalam berbagai kesempatan

Mengamati gejala antusiasme masyarakat terhadap tayangan televisi, maka untuk menghitung
jumlah televisi, tidak lagi cukup diukur dengan perbandingan jumlah rumah atau perkantoran.

Sebab pada saat ini justru sedang terjadi masa peralihan menju satu masa dimana satu orang
akan memiliki satu buah pesawat televisi. Masa peralihan tersebut tampaknya tidak akan

berlangsung lama, jika memperhatikan pesatnya perkembangan teknologi informasi.

Ada alasan mendasar yang cukup logis, yang menjadi penyebab di dalam satu rumah tidak
cukup hanya ada satu pesawat televisi. Maraknya chanel stasiun televisi yang menyajikan
berbagai mata acara, membuat para pemiarsa mendapatkan banyak pilihan. Sedangkan setiap
orang memiliki selera masing-masing dalam menentukan acara pilihannya yang akan
ditonton. Di dalam satu rumah, jarang ada yang memiliki selera sama. Anak-anak tidak akan
menyukai acara untuk orang tua, remaja berbeda seleranya dengan orang tua, laki-laki tidak
sama selerenya dengan perempuan, dan ada berbagai faktor-faktor lainnya menyebabkan
semua orang punya pilihan masing-masing dalam menyaksikan acara televisi. Tidak jarang
ada percekcokan di lama keluarga dikarenakan berebut chanel stasiun televisi, ketika terjadi
bentrok jadwal beberapa acara yang sangat disukai. Misalnya suami mau menyaksikan
pertandingan sepakbola, istrinya ingin menonton telenovela di stasiun televisi yang lain,
sementara anaknya juga ingin menonton film kartun yang sedang seru-serunya di stasiun
televisi yang berbeda pula. Maka wajar saja jika selanjutnya setiap orang ingin memiliki
televisi masing-masing agar lebih leluasa dalam menentukan acara yang disukainya.

Acara bernuansa agama Islam disajikan oleh semua televisi dalam waktu-waktu tertentu.
Bahkan adzan pun berkumandang setiap datang saatnya sholat Magrib dan Subuh. Wajar
kalau orang yang kurang paham ajaran Islam, mengira sholat wajib umat Islam di Indonesa

hanya Magrib dan Subuh, karena stasiun televisi hanya mengumandangkan dua kali adzan.
Tapi dua kali adzan pun sudah terbilang cukup, daripada tidak sama sekali.

Terlepas dari motivasinya seperti apa, semua stasiun televisi memang menayangkan acaraacara islami. Sejak menjelang terbit sang fajar, hampir semua teevisi menyiarkan acara
siraman rohani, dengan mengampilkan para ustad dan atau ustadzah terkemuka. Acara
dikemas sedemikian rupa agar lebih menarik, dan diharapkan bisa merangsang minat para
pemiarsa untuk menyimak. Setiap stasiun televisi berlomba-lomba meraih simpati
masyarakat penonton. Sebab, di setiap acara yang ditayangkan selalu tersimpan muatan bisnis
yang hitungannya sudah perdetik, yaitu penayangan iklan di sela-sela acara

Bagaimanapun juga di hampir di setiap televisi, persentasi nuansa Islam tampak lebih banyak
dibandingkan dengan nuansa agama lain. Hal tersebut sangat wajar dikarenakan mayoritas
masyarakat Indonesia beragama Islam. Bahkan beberapa stasiun televisi mengadakan siaran
langsung tabligh akbar dari masjid-masjid ternama di berbagai kota atau di tempat-tempat
tertentu semisal Senayan, Jakarta. Maka tidak heran jika bermunculan tokoh-tokoh dai muda
yang memiliki kharisma luar biasa di mata camera, dan mampu menyedot perhatian
masyarakat

Selain acara ceramah atau tabligh akbar, hampir seluruh stasiun televisi
menayangkan acara lain yang bernuansa Islam. Dari mulai audisi dai cilik, pementasan

lagu-lagu islami, sampai film televisi islami. Kebangkitan film-film televisi religius
Islam dimulai sejak TPI (kini bernama MNC) menayangkan serial ”Rahasia Ilahi”
yang menuai kesuksesan luar biasa. Tayangan ”Rahasia Ilahi” mulai disiarkan pada
bulan Ramadhan tahun 2004, yang tidak disangka-sangka meraih rating tinggi. AC
Nielsen menempatkan sinetron ”Rahasia Ilahi” menjadi rating nomor 1 untuk semua
program di seluruh stasiun televisi. Hal tersebut mengakibatkan stasiun televisi
tetangganya pun berlomba-lomba menyajikan tayangan yang hampir serupa dengan
sinetron ”Rahasia Ilahi”. Sebut saja misalnya sinetron ”Kuasa Ilahi” (SCTV), ”Azab
Ilahi”, ”PadaMu Ya Rabb” (Lativi), ”Taubat” (Trans TV), ”Titipan Ilahi” (Indosiar),
dan lain-lain. Sampai dengan tahun 2013, sinetron yang menggunakan judul ”Ilahi”
masih tetap bertahan dan disukai oleh masyarakat, seperti ”Cinta Ilahi” (RCTI).

Lebih menggembirakan ketika tayangan bernuansa Islam ternyata tidak saja menempati
rating tinggi pada saat bulan Ramadhan. Sinetron Islami sepanjang tahun meraja di layar
kaca. Silahkan tengok kesuksesan sinteron ”Islam KTP” yang menembus 500 episode. Lebih
gila lagi sinetron ”Tukang Bubur Naik Haji” (RCTI) yang menembus 700 episode. Ini
merupakan fenomena luar biasa dari tayangan bernuansa Islam di televisi. Sebagai
perbandingan, film bioskop bernuansa Islam pun mengalami kebangkitan signifikan sejak
meledaknya film ”Ayat-ayat Cinta” (MD Pictures), yang diangkat dari novel ”Ayat-ayat
Cinta” karya Habiburrahman el Shirazy (Republika). Begitu pula dibalik kesuksesan pertama

kali ”Rahasia Ilahi” tidak terlepas dari bacaan rubrik Kisah Nyata di Majalah Hidayah. Pada
intinya, semua berawal buah pena para penulis.

Lembaga riset Nielsen mencatat bahwa dari tahun ke tahun, para penonton televisi meningkat
cukup pesat. Pada tahun 2011, data Nielsen menyatakan kaum perempuan yang lebih
mendominasi para penonton sinetron. Nielsen juga mencatat bahwa pemirsa yang paling
setia menonton tayangan sinetron adalah masyarakat di kota Banjarmasin, Bandung, dan
Makassar[1].\

Meledaknya sinetron bernuansa Islam pun tentu saja diantaranya berkat para penonton setia,
yang didominasi kaum perempuan di Kota Bandung. Demikian pula pengaruh dari maraknya
tayangan islami di televisi sedikit-besarnya bisa berkaitan dengan perilaku perempuan.
Misalnya dalam berpenampilan sehari-hari. Perempuan di Indonesia, khususnya di Kota
Bandung, cenderung terbawa oleh tend busana yang sedang berkembang. Mereka biasanya
terpengaruh oleh apa yang sering dilihat dan yang dianggap sedang trend. Jika dalam
tayangan islami di televisi banyak menampilkan kaum ahwat yang berhijab, tentunya akan
membawa pengaruh juga terhadap penampilan kaum perempuan penikmat tayangan tersebut,
dan tidak menutup kemungkinan bukan hanya penampilan saja melainkan pengaruh dalam
perilaku keagamaan.


Kedudukan perempuan dalam agama Islam sangat mulia. Islam sangat menjunjung tinggi
harkat dan martabat kaum perempuan. Perempuan ditempatkan sebagai keindahan yang tiada
tandingannya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma,
bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihiwassalam bersabda:

“Dunia ini adalah perhiasan atau kesenangan, dan sebaik-baik perhiasan atau kesenangan
dunia adalah perempuan yang shalihah.” (HR. Muslim, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad).

Sementara sosok perempuan yang shalihah itu sudah begitu jelas dipaparkan dalam Al-Quran.
Dari mulai dalam penampilan berbusana sehari-hari hingga dalam perilakunya. Dalam AlQuran, surat An Nuur ayat 31, Allah berfirman:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki
mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam,
atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti

tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.

Menutup aurat atau berhijab bukanlah sebuah budaya, melainkan perintah Allah SWT.
Dengan berhijam, tidak lantas membuat perempuan kehilangan daya tariknya. Terlebih lagi di
era sekarang, para desainer terkemuka tidak melewatkan kesempatan berharga dalam
menciptakan desain indah untuk hijab para muslimah. Dari layar kaca, menapak ke dunia
nyata. Kaum perempuan, dari mulai anak-anak, remaja, hingga ke ibu rumah tangga, tidak
lagi tampak grogi mengenakan busana muslimah, karena mereka tidak harus ketinggalan
zaman. Terlepas dari motivasi apa yang menjadi latar belakang mengenakan hijab, gejala
trendy busana muslimah merupakan kondisi positif untuk melangkah ke tingkat selanjutnya,
yakni perilaku islami.
Allah berfirman dalam Al-Quran, surat Al A’raaf, ayat 26:
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk
menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah
yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda
kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.

Meski sudah begitu jelas apa yang difirmankan Allah SWT dalam kitab suci Al-Quran, tetapi

terpaan budaya barat yang negatif semakin merajalela hingga ke pedesaan. Televisi pula
salahsatu media yang dominan dalam memperkenalkan sekaligus mempengaruhi masyarakat,
khususnya kaum perempuan untuk meniru budaya barat yang tidak sesuai dengan ajaran

Islam. Misalnya cara berbusana yang justru memamerkan aurat, pergaulan bebas, dan lainlain.
Sadar dengan keadaan yang sangat mengkhawatirkan bagi generasi perempuan di masa yang
akan datang, maka bermunculan organisasi atau perkumpulan kaum muslimah yang memiliki
tujuan dasar mempertahankan ajaran dan nilai Islam. Hijabers Community Bandung (HCB)
merupakan salahsatu diantaranya. HCB yang didirikan pada 13 Februari 2011, pada awalnya
hanya merupakan wadah untuk silaturahmi melalui kegiatan rutin pengajian. Begitu pula
jumlah anggotanya hanya beberapa orang saja. Namun selanjutnya HCB menjadi sebuah
organisasi terkemuka dengan anggota ribuan muslimah muda. Dari waktu ke waktu,
anggotanya semakin bertambah. Halaman HCB di jejaring sosial Facebook, disukai oleh
56.650 facebooker[2]. Sementara di jejaring sosial Twitter, HCB memiliki followers 16.512
orang[3]. Selain itu, kegiatan yang dilaksanakan HCB bukan saja pengajian rutin pengajian,
melainkan bakti sosial yang bersentuhan langsung dengan masyrakat atau menggelar
berbagai acara bertajuk perempuan muslimah.
B. Pembatasan Masalah
Bertolak dari latar belakang yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, dapat
diidentifikasi beberapa permasalahan. Maraknya tayangan islami di setiap stasiun televisi, di

satu sisi membawa pengaruh positif bagi para pemirsa, khususnya kaum perempuan.
Hadirnya tokoh cerita protagonis dalam sinetron islami misalnya, bisa menjadi barometer
penampilan muslimah di era sekarang. Banyak diantara kaum perempuan yang tertarik untuk
meniru busana muslimah yang dikenakan oleh tokoh protagonis dalam sinetron islami.
Namun di sisi lain, dalam sinetron islami sekalipun selalu ada tokoh antagonis, yang tentunya
busana dan perilakunya jauh dari nilai-nilai Islam. Tidak menutup kemungkinan kalau
diantara pemirsa malah memilih ikut-ikutan meniru cara berbusana tokoh antagonis. Hal yang
lebih penting lagi adalah berkenaan dengan pengaruh terhadap perilaku keagamaan dari
tayangan sinetron islami. Bagaimanapun juga para penonton pun sebenarnya sadar, bahwa
cerita dalam sinetron islami hanyalah piktif belaka. Pemain yang memerankan tokoh
protagonis atau antagonis hanyalah bersandiwara. Lantas, jika dalam kenyataannya pemeran
tokoh antagonis berseberangan dengan peran yang dia mainkan, dampaknya pun pasti ada.
Hijaber Community Bandung (HCB), tampil sebagai salahsatu perkumpulan kaum akhwat
yang mempunyai visi dan misi untuk membentuk sebuah komunitas yang dapat bermanfaat
terutama bagi para muslimah, agar senantiasa tetap istiqamah. Di tengah terpaan budaya
asing yang tidak selaras dengan budaya ketimuran dan nilai-nilai Islam, HCB mendapat
tantangan yang besar untuk tetap konsisten mempertahankan jati diri perempuaan muslimah
yang taat ajaran Islam. Anggota HCB yang didominasi para muslimah muda, hidup di era
modern yang sangat lekat dengan teknologi komunikasi. Jejaring sosial dan acara di televisi
menjadi bagian dari kesehariannya yang tidak bisa terpisahkan. Maka dari itu, untuk

memerangi budaya asing yang begitu kuat mempengaruhi bumi Indonesia, memang bukan
dengan cara menghindari koneksi internet atau chanel televisi, melainkan lebih bijak dalam
menentukan apa yang harus dilihat, apa yang harus disaksikan, dan apa yang harus diselami.

Ini juga sekaligus menjadi pekerjaan berat bagi para sineas dan insan televisi untuk selalu
membuat inovasi baru yang tetap mengakar pada ajaran Islam.
Dalam penelitian ini, agar permasalahan yang diteliti tidak terlalu melebar dan hilang
kefokusan pada hal-hal yang menjadi kajian, maka permasalahannya dibatasi sebagai berikut:
1.

Bagaimana para pemuda islam menyikapi pengaeruh yang timbul dari media televisi?

2.

Bagaimana dampak baik positif maupun negatip media televisi terhadap para pemuda
islam?

3.

Bagaimana dampak tayangan media televisi terhadap perilaku kaum muda islam?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagai mana para pemuda islam menyikapi informasi dan budaya asing yang
muncul melui media televisi.
2. Dampak apa saja yang bisa ditimbulkan dari pengaruh informasi dan budaya
asing.
3. Dampak informasi dan budaya asing melalui media televisi terhadap perilaku
para pemuda islam diperkotaan di kota Bandung..
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara akademis maupun secara praktis.
Untuk lebih rincinya, hasil penelitian ini diharapkan berguna, sebagai berikut:
1. Secara akademis
Hasil penelitian ini diharapkan berguna dalam menambah khazanah pengetahuan, untuk
selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan kajian ilmiah mengenai gejala sosial dari dampak
informasi dan budaya asing melalui media televisi terhadap kaum muda di perkotaan,
khususnya Kota Bandung, yang lebih difokuskan lagi pada para pemuda di wilayah
perkotaan. Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi salahsatu kajian dalam
komunikasi penyiaran Islam.
2. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi para insan pertelevisian
untuk lebih inovatif dalam mengemas mata acara yang mendidik dan menjadikan syiar Islam.
Hasil penelitian ini pun bsa menjadi bahan masukan bagi para tokoh pemuka agama, para
pemuda, aktivis muslim dan muslimah, untuk lebih memahami dampak dari pengaruh
tayangan islami di televisi kaum muda.
E. Kerangka Pemikiran

Maraknya berbagai tayangan di televisi membawa pengaruh besar bagi kehidupan sosial
masyarakat. Sebab, pada kenyataannya masyarakat perkotaan, khususnya di Kota Bandung,
pada umumnya memiliki ketergantungan terhadap televisi. Berkenaan dengan dampak dari
menyaksikan tayangan televisi, baik yang islami maupun tidak islami, ada sebuah teori yang
dikenal teori kultivasi (cultivation). Teori kultivasi dikembangkan untuk menjelaskan dampak
menyaksikan televisi yang berhubunga pada persepsi, sikap, dan nilai-nilai manusia.
Teori kultivasi berasal dari program riset jangka panjang dan ekstensif yang dilakukan oleh
George Gerbner beserta para koleganya di Annenberg School of Communication di
University of Pennsylvania (Gerbner, Gross, Morgan, dan Signorielli, 1980). Menurut Gabner
dalam penelitiannya, masyarakat penikmat televisi terbagi menjadi dua bagian. Yakni
pemirsa penonton televisi “berat” dan “ringan”. Adapun yang dimaksud Pemirsa berat adalah
mereka yang menonton televisi lebih dari 4 jam dalam sehari. Sementara pemirsa penonton
televisi ringan adalah mereka yang menonton televisi kurang dari satu hari. Riset awal yang
mendukung teori kultivasi didasarkan pada perbandingan antar pemirsa “berat” televisi dan
pemirsa “ringan” televisi. Tim Gerbner menganalisis jawaban-jawaban atas pertanyaan yang
diajukan dalam survey dan menemukan bahwa pemirsa “berat” televisi dan pemirsa “ringan”
televisi pada umumnya memberikan jawaban yang berbeda. Pemirsa “berat” televisi sering
memberikan jawaban yang lebih dekat dengan dunia yang digambarkan dalam televisi.
Jelas bahwa pengaruh televisi begitu besar bagi kehidupan masyarakat. Terutama bagi
pemirsa yang disebut oleh George Gerbner sebagai pecandu “berat”. Mereka menganggap
semua yang ditayangkan di televisi adalah refleksi dari kehidupan nyata, yang bisa langsung
ditiru, tanpa melalui saringan pemikiran, pertimbangan, perbandingan, dan perenungan.
Terutama bagi anak-anak dan remaja, tayangan televisi benar-benar menjadi barometer dalam
menentukan penampilan dan sikapnya untuk kemudian ditrasformasikan ke dalam kehidupan
nyata di dalam masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan Hurlock (Suharto, 2006), bahwa
tahap perkembangan anak-anak hingga remaja, menjadi fase yang sangat kuat dalam
memiliki pola perilaku akan hasrat penerimaan sosial yang tinggi. Kaum remaja mulai
menyesuaikan pola perilaku sosial sesuai tuntutan sosial. Para pemuda atau remaja yang
memiliki intensitas menonton televisi, akan menyesuaikan hal-hal yang diterimanya dengan
realitas sosial, dan pengaruhnya akan begitu mudah diterima, baik pada aspek kognitif,
afektif, maupun behavioral.
Haermann’s Whole Brain memaparkan bahwa kognisi merupakan kepercayaan sesorang
tentang sesuatu didapatkan dari proses berpikir tentang sesuatu atau seseorang. Selain itu,
dapat juga diartikan sebagai bagaimana cara manusia menerima, mempersepsi, mempelajari,
menalar, mengingat, dan berpikir tentang sesuatu informasi. Sementara informasi yang
didapatkan merupakan suatu pengetahuan seseorang tentang sesuatu yang dipercaya dapat
mempengaruhi sikap mereka, yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku/ tindakan mereka
terhadap sesuatu. Perilaku yang ditiru tidak hanya bersifat fisik dan verbal, melainkan nilainilai yang dianut tokoh-tokoh yang diceritakan dalam tayangan tersebut.[4]
Pengaruh tayangan televisi, secara otomatis akan berdampak pada kehidupan sosial. Ada
berbagai organisasi atau perkumpulan di tengah masyarakat yang didirikan guna meredam

pengaruh negatif dari tayangan televisi. Selain itu, ada pula perkumpulan, komunitas, atau
organisasi yang justru didirikan untuk menyalurkan pengaruh positif dari tayangan televisi.
Sebab, bagaimanapun televisi banyak dicerca sebagai alat budaya untuk membunuh generasi
muda, tetapi disamping itu selalu terdapat sisi positifnya. Salahsatunya adalah tayangan
islami, diharapkan mampu membangkitkan dan menggerakan masyarakat muslim untuk lebih
patuh terhadap ajaran Islam.
Baik laki-laki maupun perempuan, semua manusia merupakan makhluk homosocius. Dalam
arti, manusia memiliki naluri kemasyarakatan. Secara alamiah, tidak bisa dipungkiri bahwa
manusia senantiasa menginginkan hidup berkelompok di tengah masyarakat. Ketika
seseorang berinisiatif mendirikan sebuah kelompok, selalu akan mendapat dukungan dari
manusia lainnya, terlepas dari berapa jumlah pendukungnya. Yang pasti selalu ada.
Dalam kajian sosiologi, manusia secara individu tidak mungkin terpisah antara satu dengan
yang lainnya. Artinya, kebutuhan untuk bermasyarakat merupakan hal yang azasi dan
mendasar bagi manusia untuk menempuh kehidupannya. Kebebasan sebagai individu tidak
mungkin dipikirkan tanpa adanya ikatan dan keterikatan dengan orang lain. Begitupun
independensi sebagai individu tidak mungkin ada tanpa dependensi dari masyarakat.[5]
Kajian mengenai naluri kemasyarakatan di atas, secara sistematis dapat ditinjau
berdasarkan kerangka sosiologis struktural fungsional. Kerangka ini telah mampu
memberikan konsepsi bahwa pergaulan hidup yang medianya adalah masyarakat, merupakan
inti dari interaksi sosial sebagai hubungan timbal balik antara manusia dengan kehidupan
masyarakatnya. Dari sisi dinamka masyarakat,[6] hal itu berbentuk proses sosial.
Selanjutnya, proses sosial tersebut akan melahirkan struktur sosial sebagai sisi statis
masyarakat, antara lain kelompok-kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi
sosial, kekuasaan dan wewenang. Adapun pada sisi mentalitasnya, akan melahirkan wujud
sistem nilai, pola-pola pikiran, sikap, pola-pola tingkah laku dan sistem kaidah atau normanorma.[7]
Lebih ditegaskan oleh Parsons, yang menyatakan bahwa sebagai suatu sistem sosial,
masyarakat merupakan suatu sistem tindakan. Oleh karena itu, jika unit sistem sosial adalah
pelaku, maka struktur sosial merupakan sebuah sistem hubungan-hubungan berpola pada
pelaku dalam kapasitasnya untuk memainkan peranan sosial. Menurutnya, proses kontinuitas
tiap-tiap sistem sosial itu akan tergantung pada empat imperatif atau masalah yang harus
ditanggulangi secara memadai supaya keseimbangan atau eksistensi sistem tersebut terjamin,
yaitu: (1) adaptasi, (2) kemungkinan mencapai tujuan, dan (3) integrasi anggota-anggotanya,
dan (4) kemampuan mempertahankan identitasnya terhadap kegoncangan dan ketegangan
yang timbul dari dalam.[8]
Sedangkan Weber, mendeskripsikan masyarakat berdasarkan konsep tindakan sosial.
Baginya, ciri-ciri yang khas dari hubungan-hubungan sosial adalah hubungan itu bermakna
bagi mereka yang mengambil bagian di dalamnya, dan hubungan sosial tersebut memiliki
tiga bentuk, yaitu: konflik atau perjuangan, komunitas, dan kerja sama.[9]

Pernyataan-pernyataan di atas menggambarkan bahwa konsepsi kehidupan sosial merupakan
suatu sistem atau suatu jaringan dari bagian yang berbeda-beda yang menjelaskan bagian
struktur dan analogi mengenai sebuah sistem yang menjelaskan bagian fungsionalnya.[10]
Menutup aurat dengan kerudung atau berhijab merupakan perintah agama Islam yang wajib
ditaati oleh kaum perempuan muslimah. Sedangkan aneka corak dan warna hijab adalah
sebuah kebudayaan. Apabila kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang tidak mandek atau
suatu proses yang dinamis, maka kebudayaan perlu dipahami sebagai sesuatu yang secara
internal heterogen dan muncul dari peristiwa-peristiwa yang mendasarinya. Cara pandang
seperti ini memungkinkan untuk melihat pengaruh dari apa yang dipandang modern, sebagai
suatu proses dinamis yang secara internal memang bervariasi berdasarkan berbagai macam
peristiwa yang mendasarinya.
Dengan mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia yang
digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan pengalaman serta menghasilkan
perilaku sosial, maka berbagai macam pengalaman dan peristiwa sehari-hari yang dilihat di
televisi akan dipahami dan di interpretasikan sebagai suatu gaya hidup dan pengetahuan yang
secara terus-menerus berkembang. Dengan kata lain, semakin besar tekanan-tekanan
eksternal maupun internal terhadap kehidupan perkotaan, maka mereka akan memberikan
reaksi melalui negosiasi ataupun penolakan terhadap kekuatan-kekuatan yang mendominasi
kehidupan mereka.
Kemudian terkait dengan perlaku keagamaan, Stark dan Glock, mengatakan bahwa seseorang
apabila disebut beragama, maka di dalamnya ada penyebutan dirinya sebagai seorang
beragama, keyakinan terhadap doktrin-doktrin agama, etika hidup, tatacara peribadatan
pandangan-pandangan dan banyak lagi tindakan atas perilaku dalam beragama tersebut, yang
kesemuanya dapat menunjuk kepada ketaatan dan komitmen kepada agama. Dalam hal ini
agama dipahami sebagai sesuatu yang bersifast riil yakni melihat agama secara empirik dan
dihubungkan dengan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu secara
empirik, untuk mengetahui perilaku keagamaan sebagai wujud keyakinan manusia terhadap
suatu agama lebih lanjut Glock dan Stark mengatakan bahwa perilaku keagamaan secara
integral meliputi lima dimensi berikut:
1. Ritual Involvement (keterlibatan ritual); merupakan bagian prilaku keberagamaan
yang hubungannya langsung dengan Tuhannya. Perilaku ini bersifat aktif dan
dapat diamati. Dalam dimensi ini sejauhmana orang mengerjakan kewajiban
ritual di dalam agama mereka. Seperti shalat, puasa, membayar zakat, berdoa,
mengucapkan ucapan-ucapan formal tertentu, membaca kitab suci, pergi ke
gereja atau mesjid, pura dan lain sebagainya.

2. Ideological Involvement (keterlibatan ideologis); yaitu tingkatan sejauhmana
orang menerima hal-hal yang dogmatik di dalam agama mereka masing-masing
Misalnya apakah seseorang yang beragama percaya tentang adanya malaikat,
hari kiamat, surga, neraka, dan lain-lain yang sifatnya dogmatik.

3. Intelektual Involtvement (keterlibatan intelektual); yakni seberapa jauh seseorang
mengetahui tentang ajaran agamanya. Seberapa jauh aktivitasnya di dalam
menambah pengetahuan agamanya. Apakah dia mengikuti pengajian, membaca

buku-buku agama, bagi yang beragama Islam. Bagi yang beragama Kristen
apakah dia menghadiri Sekolah minggu, membaca buku-buku agama, dan lainlain. DDemikian pula dengan pemeluk agama lainnya, apakah dia mengadakan
hal hhal yang serupa.

4. Experimental Involvement (keterlibatan pengalaman); yaitu dimensi yang
berisikan pengalaman-pengalaman unik dan spektakuler yang merupakan
keajaiban yang datang dari Tuhan. Misalnya, apakah seseorang pernah
merasakan bahwa doanya dikabulkan Tuhan, apakah dia pemah mendapat rizki
yang tak terduga sebagai anugrah Tuhan, apakah dia pemah merasakan bahwa
jiwanya selamat dari bahaya karena pertolongan Tuhan, dan lain-lain.

5. Consequential Involvement (Keterlibatan konsekuensial); yaitu dimensi yang
mengukur sejauhmana prilaku seseorang dimodifikasikan oleh ajaran agamanya.
Apakah dia menerapkan ajaran agamanya di dalam kehidupan sosial. Misalnya,
apakah dia mengunjungi tetangganya yang sakit, mendermakan sebagian
kekayaannya untuk kepentingan fakir miskin, menyumbangkan uangnya untuk
membangun tempat ibadah rumah yatim piatu dan sebagainya.

F.

Hipotesis

Berdasarkan pada kerangka pemikiran yang telah diuraikan di bagian sebelumnya, maka
dapat dibuat sebuah hipotesis dalam penelitian ini. Yaitu: “Terdapat pengaruh informasi dan
budaya asing melaui media televisi terhadap islam khususnya para pemuda yang tinggal
didaerah perkotaan di kota Bandung”. Secara operasional hipotesis tersebut dapat dirinci
sebagai berikut:
H0 = Ada pengaruh informasi dan budaya asing melalui media televisi terhadap
islam khususnya para pemuda yang tinggal didaerah perkotaan di kota
Bandung.
H1 = Tidak Ada pengaruh informasi dan budaya asing melalui media televisi
terhadap islam khususnya para pemuda yang tinggal didaerah perkotaan di
kota Bandung.

DAFTAR PUSTAKA

5.
A. BUKU
Dedi Mulyana, DR, M.A. 2005. Nuansa-Nuansa Komunikasi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya

Don Martindale. 1990. The Nature and Tipesof Sociological Theory.
Cambridg: The Reverside

Doyle Paul Jhonson. 1990. Teori Sosiologi Klasik. Jakarta: Gramedia.

K.J. Veeger. 1993. Realitas Sosial: Refleksi Sosial atas Hubungan Individu Masyarakat
dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia.

Soekanto. 1993. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Masyarakat. Jakarta:
Rajawali Press.

Tom Campbell. 1994. Seven Theoris of Human Society, Yogyakarta:
Kanisius.

5.
B. INTERNET
http://www.antaranews.com/berita/256900/jumlah-penonton-sinetron-bertambah
https://www.facebook.com/pages/Hijabers-Community-Bandung/170186769711767
https://twitter.com/HijabersCommBDG