TINJAUAN SINTAKSIS DALAM PERKEMBANGAN BA

Apa dampak perkembangan bahasa anak kalau dipaksakan?
Contohnya pada menghilangkan mata pelajaran bahasa Inggris pada
tingkat SD
TINJAUAN SINTAKSIS DALAM PERKEMBANGAN
BAHASA INGGRIS PADA ANAK
Oleh: Ma’arif (1212300037)

A. Latar Belakang
Apabila kita mengamati proses perkembangan bahasa anak, proses
seorang anak di dalam mempelajari bahasa ibunya –dari saat-saat setelah lahir
ke saat mengeluarkan kata-kata pertamanya (sekitar satu tahun), ke saat
mengeluarkan kalimat pertamanya, ke saat memasuki bangku sekolah dasarakan kita saksikan kisah petualangan, kisah pergumulan anak yang penuh
dengan “jatuh bangun” berkali-kali. Anak tidak sekadar, secara pasif, merekam
atau menerima atau meniru bahasa yang diutarakan oleh orang dewasa di
sekitarnya. Anak memegang peranan yang aktif, mreka bersimbah peluh,
berjatuh bangun di dalam proses penguasaan bahasa. Mereka bergumul dengan
bahasa terasyikkan dengan kegiatan mengolah dan memecahkan soal
kebahasaan dengan liku-liku kerumitannya. Mereka adalah penjelajah yang
kreatif, penelusur seluk-beluk yang serba baru, dan penggali temuan-temuan
baru. Hampir seluruh waktunya pada masa-masa prasekolah mereka habiskan
semata-mata untuk bergelut dengan bahasa.

Mereka bertindak dengan cara mereka sendiri, seiring dengan tahap
perkembangan kemampuan mereka, dari waktu ke waktu. Mereka tidak sekedar
meniru, meskipun anggapan bahwa anak belajar bahasa dengan menirukan
bahasa orang dewasa di sekitarnya. Kalaupun mereka menirukan bahasa orang
dewasa, hal itu mereka lakukan hanya apabila isinya memang dapat masuk akal
mereka, sesuai dengan tingkat kemampuan mereka. Namun tidak jarang, orang
tua –dengan niat baik membantu mendidik anak- memaksakan diri kepada anak

dengan cara “orang tua”, tanpa mempedulikan cara “anak” dan tingkat
perkembangannya.
Lewat contoh dialog antara orang tua dan ank perempuannya (usia 2,5
tahun) berikut ini dapat tersingkapkan bagaimana gigihnya usaha orang tua
memaksakan “niat mendidiknya”, dan betapa sia-sianya hasil yang diraih
(Bernstein dan Tiegerman, 1985:76).
[Context: breakfast table]
Child : Want other one spoon, Daddy.
Father : You mean, you want THE OTHER SPOON.
Child : Yes, I want other one spoon, please, Deddy.
Father : Can you say “ the other spoon”?
Child : Other … one … spoon.

Father : Say … “other”.
Child : Other.
Father : Spoon
Child : Spoon
Father : Other … spoon.
Child : Other … spoon. Now give me the other one spoon.
Berikut ini contoh dialog lain lagi, yang juga menyingkapkan bahwa kalau
belum sampai pada waktunya yang tepat, tidak mungkin kesalahan bahasa anak
itu dibetulkan. Apabila sudah tiba waktunya, anak akan memakai caranya sendiri
untuk sampai pada tahap “sama dengan bahasa orang dewasa”.
Child
: Nobody don’t like me
Mother
: No, say “Nobody likes me”.
Child
: Nobody don’t like me.
Mother
: No, say “Nobody likes me”
Child
: Nobody don’t like me.

[Sesudah mengulangi dialog ini tujuh kali, sang ibu akhirnya berkata:]
Mother
: No! Now listen carefully! Say “Nobody … likes … me!”
Child
: Oh! Nobody don’t likes me!
Penelitian Nelson (1973) dalam Bernstein dan Tiegerman (1985:76)
menyingkapkan bahwa tindakan orang tua yang suka mencela itu akan
menghambat proses penguasaan bahasa anak.
Selama ini ada keluhan mengenai rendahnya kemampuan bahasa siswa
dan mahasiswa di Indonesia; kalimatnya kacau, gagasannya tidak disusun

secara runut. Apakah ini ada kaitannya dengan “gangguan” dari orang dewasa di
dalam proses perkembangan bahasa anak? Apakah ini ada kaitannya dengan
pengajaran bahasa di peringkat sekolah dasar yang lebih menekankan pada segi
penguasaan kaidah dan “tata tertib” bahasa daripada pengembangan dan
pemacuan daya kreatif anak? Terlalu keras atau mungkin terlalu gegabah
kiranya pelontaran pertanyaan seperti ini karena tanpa didukung oleh kegiatan
penelitian. Barangkali ada sejumlah faktor lain lagi yang menjadi penyebabnya.
Akan tetapi, penelitian mengenai perkembangan bahasa anak (dari lahir sampai
masa remaja) di Indonesia, yang hingga kini belum menarik perhatian para

peneliti Indonesia, sudah barang tentu akan dapat menyingkapkan banyak hal,
diantaranya akan dapat disumbangkan untuk penjelasan pertanyaan di atas.
Yang

jelas,

penelitian

seperti

itu

sudah

dirasakan

mendesak

keperluannya untuk membantu proses “penyembuhan” anak-anak yang
mengalami kelambatan atau kesulitan di dalam perkembangan bahasa. Dengan

mengetahui bagaimana tahap perkembangan bahasa pada anak yang normal,
akan semakin jelaslah langkah-langkah yang harus ditempuh untuk membantu
melicinkan jalan bagi proses penguasaan bahasa untuk anak yang tidak normal
perkembangannya.
B. Permasalahan
Pembahasan mengenai penguasaan sintaksis ini dibagi atas dua hal:
penguasaan pada anak usia prasekolah (0-4 tahun), dan pada anak usia sekolah
(5 tahun ke atas).
C. Pembahasan
1. Penguasaan Sintaksis pada Anak Usia 0-4 tahun
Di dalam perkembangan anak (normal), konstruksi sintaksis paling awal
dapat diamati pada usia sekitar 18 bulan. Namun, pada beberapa anak tertentu
konstruksis sintaksis itu sudah dapat ditemui pada usia di sekitar satu tahun,
sedangkan pada beberapa anak yang lain pada usia lebih dari dua tahun.
Konstruksis sintaksis yang pertama yang dimaksudkan di sini ialah kalimat yang

terdiri atas dua kat. ‘Kalimat dua kata’ yang dihasilkan oleh anak usia 18 bulan
dapat dikatakan sebagai konstruksi yang betul-betul merupakan hasil rangkaian
dua kata karena komponen katanya terjadi secara mandiri dan juga dapat
ditemukan pada rangkaian-rangkaian yang lain.

Ini berbeda dengan yang terjadi pada anak usia antara 9 dan 18 bulan,
yang lazim disebut sebagai masa ‘holofrastis’. Pada masa ini, setiap ‘kalimat’
hanya terdiri atas satu kata. Namun, peneybutan kalimat pada masa ini kiranya
kurang tepat karena penyeburtan itu mengandaikan adanya struktur sintaksis;
padahal, kaidah sintaksis belum ada di situ. Penyebutan ‘kata’ juga kurang tepat
karena ‘kata’ pada masa holofrastis ini tidak memiliki ciri penggabungan dengan
kata lain untuk membentuk rangkaian frasa dan klausa. (periksa Griffiths, 1981).
‘Kalimat satu kata’ itu digunakan secara komunikatif, dan penafsirannya
hanya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan konteks penggunaannya.
Unsur lingual (atau ‘kata’) hanya merupakan salah satu diantara keseluruhan
tindak komunikasi, yang di dalamnya termasuk gerak-gerik yang terarah pada
orang atau benda yang hadir, arah tatapan mata, dan pola intonasi. Dengan
mempertimbangkan arti kata semata-mata tidaklah mungkain dapat ditangkap
maksud dari ‘kalimat satu kata’ itu. Apabila seorang anak mengatakan ‘daddy’
sembari menunjuk ke gambar ayahnya, maka fungsi kalimat satu kata itu ialah
sebagai (tindakan komunikatif) penamaan atau penyebutan. Namun apabila ia
mengatakan

‘daddy’


sembari

memegang

sandal

ayahnya,

maka

ia

mengkomunikasikan suatu hubungan tertentu (misalnya, posesif) antara ayah
dan benda tersebut (periksa Slobin 1979:79). Tuturan ‘mama’ dapat berarti ‘ibu’
datang ke sini’, atau ‘ibu beri aku…’, atau ‘ibu, dudukkan aku di kursi’. Kalimat
satu kata itu tidak semata-mata satu kata, tetapi mengandung gagasan penuh.
Kalimat satu kat itu dapat digunakan untuk mengungkapkan beberapa gagasan,
Dan tidak mengandung struktur gramatikal. Kalimat satu kata itu bukan sematamata pengungkapan kalimat, melainkan merupakan kesatuan antara konsep dan
kebutuhan internal si anak.


Berikut ini contoh pentahapan dari kalimat satu kata (yang juga disebut
holofrastis), ke kalimat dua kata (yang juga disebut telegrafis), ke kalimat
lengkap.
(1) Ball
(2) a. Throw ball
b. Daddy throw
(3) Daddy throw ball.
Ada kaitan antara penguasaan perkembangan kosa kata (secara
produktif) dan perkembangan penguasaan sintaksis. Pada awal masa holofrastis
perkembangan jumlah kosa kata berjalan lambat, tetapi mulai usia sekitar 18
bulan terjadi pelonjakan jumlah kosa kata, dari 22 kata pada usia 16 bulan
sampai 272 kata pada usia dua tahun (Smith 1962, dikutip dari Ingram1989:234).
Jumlah kosa kata yang dimaksudkan di sini adalah jumlah kosa kkata yang
dikuasai secara produktif. Kosa kata yang dikuasai secara reseptif jumlahnya
lima kali lebih banyak.
Peralihan dari kalimat satu kata ke kalimat yang merupakan rangkaian
kata terjadi secara bertahap. Berdasarkan pengamatan terhadap anaknya
(Allisn), Bloom (dalam Ingram, 1989:238-239) mengemukakan adanya dua jenis
perkembangan: yang ‘mata ranti’ (chained) dan yang holisits. Pertimbangkanlah
dua contoh berikut.

Allison (16 bulan, 3 minggu)
Allison
: cow (tiga kali, seraya meraih-raih di bawah kursi, lalu
mengangkat sapi mainan) chair (dua kal, seraya mencoba
mendirikan kaki belakang sapi mainan itu di atas kursi)
Ibu
: What’s that?
Allison
: Mama (sambil menyerahkan sapi itu kepada ibunya supaya
membantu mendirikan sapi pada kaki belakangnya).
Tiga buah kalimat satu kata pada dialog di atas diturunkan sebagai mata
rantai, dan masing-masing mengacu pada kejadian atau kegiatan tersendiri;
masing-masing memiliki konteksnya sendiri. Tuturan ‘cow’ digunakan untuk
mengacu pada tindakan mengambil sapi maina; tutran itu seakan-akan berarti
‘ini sapiya’. ‘Chair’ diucapkan oleh Allison ketika menaruh sapi itu di atas kursi,

dengan arti ‘saya akan menaruhnya di atas kursi’. Tuturan terkhir, ‘Mama’
merupakan panggilan untuk meminta bantuan ibu.
Tidak seperti halnya kalimat satu kata yang berurutan secara ‘mata
rantai’, kalimat satu kata yang berurutan secara holisitis mengacu pada kegiatan

yang sama. Berikut ini contohnya.
Allison (20 bulan, 3 minggu)
Allison
: up (dua kali, sambil mengenakan mantelnya dan menunjuk ke
leher)
Mother
: What?
Allison
: neck up
Mother
: Neck? What do you want? What?
Allison
: Neck
Mother
: What’s on your neck?
Allison
: zip (tiga kali sambil menunjuk ke resliting dan mengangkat
dagunya).
Allison pada contoh ini menyatakan satu hal, yaitu menyatakan
keinginannya untuk meminta ibunya mengancingkan ritsliting mantelnya. Tuturan

‘up’, ‘neck’, dan ‘zip’ digunakan untuk mengungkapkan kegiatan yang sama.
Pengurutan secara holistis ini memperlihatkan kemajuan di dalam diri anak,
karena tuturannya tidak lagi terkait pada gerak-gerik tertentu, dan lebih terikat
pada konteks. Menurut Bloom, pengurutan secara holistis ini baru terjadi
menjelang akhir masa ‘kalimat satu kata’, yaitu beberapa minggu sebelum tahap
‘kalimat dengan rangkaian kata’.
Pada waktu kalimat pertama terbentuk, yaitu penggabungan dua kata
menjadi kalimat, rangkaian kata itu berada dalam satu jalinan intonasi (berbeda
halnya dengan rangkaian kalimat satu kata, yang memiliki nada datar yang
sama). Kalimat dua kata, yang mulai dapat disusun oleh anak pada usia sekitar
18 bulan itu, mengandung elemen yang memiliki hubungan semantis yang
terpapar pada tabel berikut ini.
Semantic Relations

Examples

Agent + action
Action + object
Agent + object
Action + location
Entity + location
Possessor +possession
Entity + atribut
Demonstrative +entity

Mommy come; daddy sit
Drive car; eat grape
Mommy sock; babby book
Go park; sit chair
Cup table; toy floor
My teddy; mommy dress
Box shiny; crayon big
Dat money; dis telephone

Jika terjadi bahwa kalimat dua kata itu membawakan makna yang lebih
dari satu, maka anak dapat membedakan keambiguan itu dengan menggunakan
pola intonasi yang berbeda. Pembedaan makna tidak lagi menggantungkan diri
pada gerak-gerik atau tunjukan tangan. Tuturan ‘doggie bed’, misalnya, yang
dimaksudkan untuk menunjuk pada tempat berbarting si anjing (konstruksi
posesif) diucapkan pada tekanan pada kata doggie.Tuturan yang sama, yang
dimaksudkan untuk mengomentari bahwa anjingnya tidur di tempat tidur ibunya
(pengertian lokatif), diucapkan dengan tekanan pada kata bed.
Tahap perkembangan sintaksis pada anak secara ringkas dapat
dirangkumkan sebagai berikut (Ingram 1989:2); ini pentahapan yang dikenal
secara tradisional.
1. masa “pra-lingual” -lahir sampai akhir usia 1 tahun.
2. kalimat satu kata -sekitar 1 tahun sampai 1,5 tahun.
3. kalimat dengan rangkaian kata -sekitar 1,5 sampai 2 tahun.
4. konstruksi sederhana dan kompleks -3 tahun.
Pada usia 2 tahun anak mulai menguasai kaidah infleksi, dan pada usia
2,6 tahun ke atas terjadi pemunculan klausa subordinatif. Sebelum usia 3 tahun
anak hanya dapat bertanya mengenai-benda-benda konkret, dengan kata tanya
“apa” dan “di mana”, tetapi sesudah tiga tahun anak mulai menanyakan hal-hal
yang abstrak, dengan kata tanya seperti “mengapa”, “kapan”.
Mengenai pertanyaan pada usia berapa anak mulai menggunakan
kalimat kompleks, terdapat perbedaan di antara para peneliti. Nice dalam
Ingram, 1989:46, misalnya, melaporkan bahwa anak usia 3 tahun baru dapat
menguasai kalimat pendek, atau kalimat tidak sempurna. Adapun kalimat
lengkap dan kalimat kompleks baru dikuasai oleh anak pada usia 4 tahun.

Perbedaan ini, menurut Bowens (1981), antara lain karena perbedaan mengenai
jenis-jenis kalimat yang didefinisikan sebagai kalimat kompleks dan perbedaan
mengenai pengetahuan yang dimaksudkan sudah dimiliki anak sehingga dapat
menghasilkan kalimat kompleks itu. Akan tetapi kebanyakan penelitian
berkesimpulan bahwa sebagian besar dari jenis-jenis kalimat kompleks sudah
muncul pada anak antara usia 2 dan 4 tahun.
2. Penguasaan Sintaksis pada Anak Usia 5 Tahun ke atas.
Konstruksi apakah yang merupakan persoalan bagi anak usia 5 tahun ke
atas? Salah satunya, seperti yang dikemukakan oleh Chomsky (1969) adalah
penafsiran subjek pada klausa komplemen karena konstituen subjek tidak
muncul secara formatif. Pertimbangkanlah contoh-contoh berikut.
a. John wanted to leave.
b. John wanted Bill to come.
c. John told Harry what to do.
Yang merupakan subjek atau pelaku untuk verba yang dicetak tebal itu
ialah John pada a, Bill pada b, dan Harry pada c. Kaidah ini mengikuti apa yang
disebut “prinsip jarak minimal” (minimal principle distance), atau disingkat MDP.
Sebagian besar verba di dalam bahasa Inggris yang dapat menjadi verba matriks
seperti pada a, b, c, dan d, itu mengikuti MDP, tetapi verba seperti promise
secara konsisten tidak mengikuti MDP, dan verba seperti ask dan beg pada
kalimat tertentu mengikuti MDP sedangkan pada kalimat lain tidak.
Chomsky melaporkan bahwa anak pada usia itu merupakan MDP pada
semua konstruksi. Mereka secara konsisten dapat melakukan interpretasi yang
benar dengan verba tell, tetapi salah interpretasi pada verba promise dan ask. Di
dalam proses perkembangan selanjutnya, anak akan menguasai perangai verba
ask, promise secara konsisten melanggar MDP, sedangkan ask tidak konsisten.
Akan tetapi, anak pada usia 3-4 tahun justru tidak menerapkan MDP; ini
kebalikan dari yang ditemukan oleh Chomsky pada anak usia 5-10 tahun. Anak
pada usia yang lebih awal itu justru melakukan interpretasi yang benar pada
konstruksi dengan verba promise dan ask, dan salah interpretasi pada konstruksi

dengan verba tell. Menurtut Tavakolin, anak pada usia lebih awal itu
memperlakukan kalimat berklausa komplement itu seperti kalimat yang
klausanya dirangkaikan secara koordinatif, sebagaimana yang terdapat pada
contoh berikut. NP yang menjadi subjek pada kalusa pertama juga akan menjadi
subjek pada klausa berikutnya.
a. The lion jumps over the pig and stands on the horse.
Kalimat kompleks lain yang diteliti oleh Chomsky ialah seperti yang terpapar
pada contoh berikut.
b. John is eager to see
c. John is easy to see.
Yang dipersoalkan di sini adalah siapa yang melakukan perbuatan pada
verba see? Pada kalimat b john merupakan subjek da ri see, sedangkan pada
kalimat c John merupakan objek dari see. Hampir semua anak usia lima tahun
menjawab salah mengenai interpretasi kalimat c, anak usia 6-8 tahun ada yang
menjawab salah ada yang menjawab benar, sedangkan anak usia 9 tahun dapat
menjawab benar.
Anak pada usia 5 tahunan ke atas itu, selain mengalami kesulitan
menyangkut penafsiran subjek sebagaimana yang digambarkan di atas, juga
mempunyai anggapan bahwa yang menjadi subjek selalu pelaku yang
melakukan perbuatan. Sudah barang tentu ini akan menyulitkan mereka di dalam
pemahaman terhadap konstruksi pasif.
Sebelum

menguasai

konstruksi

pasif,

anak

menganggap

bahwa

konstruksi pasif pada contoh b di bawah ini memiliki ciri struktural yang mirip
dengan konstruksi yang mengandung frasa berpreposisi seperti pada contoh a.
a. The cat was sitting by the fence.
b. The cat was bitten by the dog.
Di dalam perkembangan selanjutnya, pada waktu sudah menguasai
konstruksi pasif seperti pada contoh b, anak akan mengalami kesulitan kesulitan
menghadapi konstruksi seperti pada contoh c berikut ini.
c. The boy is pushed by the girl.

Mengenai persoalan semantik leksikal verba pada konstreuksi pasif itu,
berikut ini dipaparkan hasil penelitian kuantitatif Maratsos et al, (1979, seperti
yang dikutip Ingram 1989:469-475), berkenaan dengan penguasaan anak pada
usia 4-5 tahun terhadap perbedaan antara ‘verba tindakan’ (seperti wash, hold)
dan ‘verba bukan tindakan’ ( seperti see, hear) di dalam konstruksi pasif.
Hasilnya menunjukkan bahwa verba tindakan lebih mudah dikuasai dari pada
konstruksi dengan verba bukan tindakan. Penelitian ini melaporkan pula bahwa
penguasaan pasif terjadi secara bertahap dan akan memakan waktu beberapa
tahun.
D. Penutup
Pada dasarnya bahasa anak tidak serta merta menjadi sebuah bahasa
sperti halnya bahasa orang dewasa. Bahasa anak mengalami suatu proses.
Proses itu adalah proses perubahan dari bahasa yang kurang lengkap menjadi
lebih lengkap, dari yang tidak sempurna menjadi bahasa yang lebih sempurna.
Proses tersebut berjalan siring dengan perkembangan fisik, bilogis dan mental
anak.
Proses ini lebih jelasnya dapat dilihat pada penguasaa sintaksis.
Penuasaan sintaksis rupanya berbeda pada diri anak yang mempunyai
perbedaan usia yang signifikan. Sehingga dapat diketahui bahwa penguasaan
sintaksis itu melalui suatu tahapan. Anak pada usia 0-4 tahun perkembangan
konstruksi sintaksisnya cukup sederhana dan akan menjadi lebih berterima
ketika anak tersebut mencapai usia 5 tahun ke atas.

DAFTAR PUSTAKA

Bernstein, Deena K. dan Ellen Morris Tiegerman. 1985. Language and
Communication Disorders in Children. Columbus: Charles E. Merril
Publishing Company.
Chomsky, Carol. 1969. The Acquisition of Syntax in Children from 5 to 10.
Cambridge: MIT Press.
Clark, Herbert H. and Clark, Eve V. 1981. Psychology and Language. United
States of Amerika: Harcourt Brace Jovannovich Publishers.
Fletcher, Paul dan Michaej Garman. 1981. Language Acquisition: Studies in
First Language Development. Cambridge: Cambridge University
Press.
Garman, Michael. 1981. Early Grammatical Development. New York:
Academic Press.
Griffiths, Patrick. 1981. Speech Acts and Early Sentences.Cambridge:
Cambridge University Press.
Hudson, R.A. 1987. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University
Press.

Ingram David. 1989. First Language Acquistion: Method, Description, and
Explanation. Cambridge: Cambridge University Press.
Karmiloff-Smith, Annette. 1981.Language Acquisition after Five. Fletcher dan
Garman 1981, 307-323.
Kaswanti Purwo, Bambang. 1988. “Konstruksi pasif: Frekuensi pemakaian
dan kepekaan persona”, Atma nan Jaya 1.1 (Juni 1988), 31-49.
Krashen, stephen D. 1985. Principle and Practice in Second Language
Acquisition. Great Britain: Pergamon Press.
Nababan, Sri Utari Subyakto. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar.
Jakarta: PT. Gramedia Pustakan Utama.
Pateda, Mansoer. 1990. Aspek-Aspek Psikolinguistik. Yogyakarta: Nusa
Indah.

TINJAUAN SINTAKSIS DALAM PERKEMBANGAN
BAHASA INGGRIS PADA ANAK

Oleh:

MA’ARIF
NIM. 1212300037

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE
2013