TEORI BELAJAR MENURUT BEBERAPA AHLI

A. TEORI BELAJAR GAGNE
Sebagaimana tokoh-tokoh lainnya dalam psikologi pembelajaran, Gagne berpendapat
bahwa belajar dipengaruhi oleh pertumbuhan dan lingkungan, namun yang paling besar
pengaruhnya

adalah

lingkungan

individu

seseorang. Lingkungan

indiviu

seseorang

meliputi lingkungan rumah, geografis, sekolah, dan berbagai lingkungan sosial. Berbagai
lingkungan itulah yang akan menentukan apa yang akan dipelajari oleh seseorang dan
selanjutnya akan menentukan akan menjadi apa ia nantinya.
Bagi Gagne, belajar tidak dapat didefinisikan dengan mudah karena belajar itu bersifat

kompleks. Dalam pernyataan tersebut, dinyatakan bahwa hasil belajar akan mengakibatkan
perubahan pada seseorang yang berupa perubahan kemampuan, perubahan sikap, perubahan
minat atau nilai pada seseorang. Perubahan tersebut bersifat menetap meskipun hanya
sementara.
Menurut Gagne, ada tiga elemen belajar, yaitu individu yang belajar, situasi stimulus,
dan responden yang melaksanakan aksi sebagai akibat dari stimulasi. Selanjutnya, Gagne juga
mengemukakan tentang sistematika delapan tipe belajar, sistematika lima jenis belajar, fasefase belajar, implikasi dalam pembelajaran, serta aplikasi dalam pembelajaran.
1.

Sistematika ”Delapan TipeBelajar”
Menurut Robert M. Gagne, ada 8 tipe belajar, yaitu:
1.

Tipe belajar tanda (Signal learning)
Belajar dengan cara ini dapat dikatakan sama dengan apa yang dikemukakan oleh
Pavlov. Semua jawaban/respons menurut kepada tanda/sinyal.

2.

Tipe belajar rangsang-reaksi (Stimulus-response learning)

Tipe ini hampir serupa dengan tipe satu, namun pada tipe ini, timbulnya respons juga
karena adanya dorongan yang datang dari dalam serta adanya penguatan sehingga
seseorang mau melakukan sesuatu secara berulang-ulang.

3.

Tipe belajar berangkai (Chaining Learning)
Pada tahap ini terjadi serangkaian hubungan stimulus-respons, maksudnya adalah
bahwa suatu respons pada gilirannya akan menjadi stimulus baru dan selanjutnya
akan menimbulkan respons baru.

4.

Tipe belajar asosiasi verbal (Verbal association learning)

Tipe ini berhubungan dengan penggunaan bahasa, dimana hasil belajarnya yaitu
memberikan reaksi verbal pada stimulus/perangsang.
5.

Tipe belajar membedakan (Discrimination learning)

Hasil dari tipe belajar ini adalah kemampuan untuk membeda-bedakan antar objekobjek yang terdapat dalm lingkungan fisik.

6.

Tipe belajar konsep (Concept Learning)
Belajar pada tipe ini terutama dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman atau
pengertian tentang suatu yang mendasar.

7.

Tipe belajar kaidah (RuleLearning)
Tipe belajar ini menghasilkan suatu kaidah yang terdiri atas penggabungan beberapa
konsep.

8.

Tipe belajar pemecahan masalah (Problem solving)
Tipe belajar ini menghasilkan suatu prinsip yang dapat digunakan untuk
memecahkan suatu permasalahan.


2. Sistematika “Lima Jenis Belajar”
Sistematika ini tidak jauh berbeda dengan sistematika delapan tipe belajar, dimana
isinya merupakan bentuk penyederhanaan dari sistematika delapan tipe belajar. Uraian
tentang sistematika lima jenis belajar ini memperhatikan pada hasil belajar yang
diperoleh siswa. Hasil belajar ini merupakan kemampuan internal yang telah menjadi
milik pribadi seseorang dan memungkinkan orang tersebut melakukan sesuatu yang dapat
memberikan ptrestasi tertentu.
Sistematika ini mencakup semua hasil belajar yang dapat diperoleh, namun tidak
menunjukkan setiap hasil belajar atau kemampuan internal satu-persatu. Akan tetapi
memgelompokkan hasil-hasil belajar yang memiliki ciri-ciri sama dalam satu kategori
dan berbeda sifatnya dari kategori lain. Maka dapat dikatakan, bahwa sistematika Gagne
meliputi lima kategori hasil belajar. Kelima kategori hasil belajar tersebut
adalah informasi

verbal,

kemahiran

intelektual,


keterampilan motorik, dan sikap.
1.

Informasi verbal (Verbal information)

pengaturan

kegiatan

kognitif,

Merupakan pengetahuan yang dimiliki seseorang dan dapat diungkapkan dalam
bentuk bahasa, lisan, dan tertulis. Pengetahuan tersebut diperoleh dari sumber yang
juga menggunakan bahasa, lisan maupun tertulis. Informasi verbal meliputi ”cap
verbal” dan ”data/fakta”. Cap verbal yaitu kata yang dimiliki seseorang untuk
menunjuk pada obyek-obyek yang dihadapi, misalnya ’kursi’. Data/fakta adalah
kenyataan yang diketahui, misalnya ’Ibukota negara Indonesia adalah Jakarta’.
2.

Kemahiran intelektual (Intellectual skill)

Yang dimaksud adalah kemampuan untuk berhubungan dengan lingkungan hidup
dan dirinya sendiri dalam bentuk suatu representasi, khususnya konsep dan berbagai
lambang/simbol (huruf, angka, kata, dan gambar). Kategori kemahiran intelektual
terbagi lagi atas empat subkemampuan, yaitu:
a. Diskriminasi jamak, yaitu kemampuan seseorang dalam mendeskripsikan benda
yang dilihatnya.
b. Konsep, ialah satuan arti yang mewakili sejumlah obyek yang memiliki ciri-ciri
sama. Konsep dibedakan atas konsep konkret dan konsep yang harus
didefinisikan. Konsep konkret adalah pengertian yang menunjuk pada obyekobyek dalam lingkungan fisik. Konsep yang didefinisiskan adalah konsep yang
mewakili realitas hidup, tetapi tidak langsung menunjuk pada realitas dalam
lingkungan hidup fisik.
c. Kaidah, yaitu kemampuan seseorang untuk menggabungkan dua konsep atau
lebih sehingga dapat memahami pengertiannya.
d. Prinsip. Dalam prinsip telah terjadi kombinasi dari beberapa kaidah, sehingga
terbentuk suatu kaidah yang bertaraf lebih tinggi dan lebih kompleks.
Berdasarkan

prinsip

tersebut,


seseorang

mampu

memecahkan

suatu

permasalahan, dan kemudian menerapkan prinsip tersebut pada permasalahan
yang sejenis.
3.

Pengaturan kegiatan kognitif (Cognitive strategy)
Merupakan suatu cara seseorang untuk menangani aktivitas belajar dan berpikirnya
sendiri, sehingga ia menggunakan cara yang sama apabila menemukan kesulitan
yang sama.

4.


Keterampilan motorik (Motor skill)

Adalah kemampuan seseorang dalam melakukan suatu rangkaian gerak-gerik
jasmani dalam urutan tertentu, dengan mengadakan koordinasi antara gerak-gerik
berbagai anggota badan secara terpadu.
5.

Sikap (Attitude)
Merupakan kemampuan seseorang yang sangat berperan sekali dalam mengambil
tindakan, apakah baik atau buruk bagi dirinya sendiri.

3. Fase-Fase Belajar
Fase-fase belajar ini berlaku bagi semua tipe belajar. Menurut Gagne, ada 4 buah fase
dalam proses belajar, yaitu:
1) Fase penerimaan (apprehending phase)
Pada fase ini, rangsang diterima oleh seseorang yang belajar. Ini ada beberapa
langkah. Pertama timbulnya perhatian, kemudian penerimaan, dan terakhir adalah
pencatatan (dicatat dalam jiwa tentang apa yang sudah diterimanya).
2) Fase penguasaan (Acquisition phase)
Pada tahap ini akan dapat dilihat apakah seseorang telah belajar atau belum. Orang

yang telah belajar akan dapat dibuktikannya dengan memperlihatkan adanya
perubahan pada kemampuan atau sikapnya.
3) Fase pengendapan (Storage phase)
Sesuatu yang telah dimiliki akan disimpan agar tidak cepat hilang sehingga dapat
digunakan bila diperlukan. Fase ini berhubungan dengan ingatan dan kenangan.
4) Fase pengungkapan kembali (Retrieval phase)
Apa yang telah dipelajari, dimiliki, dan disimpan (dsalam ingatan) dengan maksud
untuk digunakan (memecahkan masalah) bila diperlukan. Jika kita akan menggunakan
apa yang disimpan, maka kita harus mengeluarkannya dari tempat penyimpanan
tersebut, dan inilah yang disebut dengan pengungkapan kembali. Fase ini meliputi
penyadaran akan apa yang telah dipelajari dan dimiliki, serta mengungkapkannya
dengan kata-kata (verbal) apa yang telah dimiliki tidak berubah-ubah.
Menurut Gagne, fase pertama dan kedua merupakan stimulus, dimana terjadinya
proses belajar,sedangkan pada fase ketiga dan keempat merupakan hasil belajar.

4.

Implikasi Teori Gagne dalam Pembelajaran
1. Mengontrol perhatian siswa.
2. Memberikan informasi kepada siswa mengenai hasil belajar yang diharapkan guru.

3. Merangsang dan mengingatkan kembali kemampuan-kemampuan siswa.
4. Penyajian stimuli yang tak bisa dipisah-pisahkan dari tugas belajar.
5. Memberikan bimbingan belajar.
6. Memberikan umpan balik.
7. Memberikan kesempatan pada siswa untuk memeriksa hasil belajar yang telah
dicapainya.
8. Memberikan kesempatan untuk berlangsungnya transfer of learning.
9. Memberikan kesempatan untuk melakukahn praktek dan penggunaan kemampuan
yang baru diberikan.

B. TEORI BELAJAR PIAGET
1. Beberapa Konsep dalam Teori Piaget.
Ada beberapa konsep yang perlu dimengerti agar lebih mudah memahami teori
perkembangan kognitif atau teori perkembangan Piaget, yaitu;
a. Intelegensi
Piaget mengartikan intelegensi secara lebih luas, juga tidak mendefinisikan secara
ketat. Ia memberikan definisi umum yang lebih mengungkap orientasi biologis.
Menurutnya, intelegensi adalah suatu bentuk ekuilibrium kearah mana semua struktur
yang menghasilkan persepsi, kebiasaan, dan mekanisme sensiomotor diarahkan.
(Piaget dalam DR. P. Suparno,2001:19).

b. Organisasi
Organisasi adalah suatu tendensi yang umum untuk semua bentuk kehidupan guna
mengintegrasikan struktur, baik yang psikis ataupun fisiologis dalam suatu sistem
yang lebih tinggi.
c. Skema
Skema adalah suatu struktur mental seseorang dimana ia secara intelektual beradaptasi
dengan lingkungan sekitarnya. Skema akan beradaptasi dan berubah selama
perkembangan kognitif seseorang.

d. Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep
atau pengalaman baru kedalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.
e. Akomodasi.
Akomodasi adalah pembentukan skema baru atau mengubah skema lama sehingga
cocok dengan rangsangan yang baru, atau memodifikasi skema yang ada sehingga
cocok dengan rangsangan yang ada.
f. Ekuilibrasi.
Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan
diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan
akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan
struktur dalamnya.
2. Pengertian Belajar Menurut Piaget
Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk
melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman
sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak
memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan
secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan
Menurut Piaget pengetahuan (knowledge) adalah interaksi yang terus menerus
antara individu dengan lingkungan. Fokus perkembangan kognitif Piaget adalah
perkembangan secara alami fikiran pebelajar mulai anak-anak sampai dewasa. Konsepsi
perkembangan kognitif Piaget, duturunkan dari analisa perkembangan biologi organisme
tertentu. Menurut Piaget, intelegen (IQ=kecerdasan) adalah seperti sistem kehidupan
lainnya, yaitu proses adaptasi.
3. Teori Belajar menurut Piaget
Pendapat Piaget mengenai perkembangan proses belajar pada anak-anak adalah:
a) Anak mempunyai struktur mental yang berbeda dengan orang dewasa. Mereka bukan
merupakan orang dewasa dalam bentuk anak kecil, mereka mempunyai cara yang khas

ntuk menyatakan kenyataan dan untuk menghayati dunia sekitarnya. Maka
memerlukan pelayanan tersendiri dalam belajar.
b) Perkembangan mental pada anak melalui tahap-tahap tertentu, menurut suatu urutan
yang sama bagi semua anak.
c) Walaupun berlangsungnya tahap-tahap perkembangan itu melalui suatu urutan tertentu
tetapi jangka waktu untuk berlatih dari satu tahap ke tahap yang lain tidaklah selalu
sama pada setiap anak.
d) Perkembangan mental anak dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu:
1. Kemasakan
2. Pengalaman
3. Interaksi Sosial
4. Equilibration (proses dari ketiga faktor di atas bersama-sama untuk membangun
dan memperbaiki struktur mental)
e) Ada 4 tahap perkembangan yaitu:
1. Tahap Sensori motor (0-2,0 tahun)
2. Tahap Pre operasional (2,0-7,0 tahun)
3. Tahap konkret (7,0-11,0 tahun)
4. Tahap operasi formal (11,0-dewasa)
4. Tahap Perkembangan Kognitif Piaget
Tahap perkembangan intelektual anak secara kronologis terjadi 4 tahap. Urutan
tahap-tahap ini tetap bagi setiap orang, akan tetapi usia kronologis memasuki setiap tahap
bervariasi pada setiap anak. Keempat tahap dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Tahap sensorimotor : umur 0 – 2 tahun.
(Ciri pokok perkembangannya anak mengalami dunianya melalui gerak dan
inderanya serta mempelajari permanensi obyek)
Tahap paling awal perkembangan kognitif terjadi pada waktu bayi lahir sampai
sekitar berumur 2 tahun. Tahap ini disebut tahap sensorimotor oleh Piaget. Pada
tahap sensorimotor, intelegensi anak lebih didasarkan pada tindakan inderawi anak
terhadapt lingkungannya, seperti melihat, meraba, menjamak, mendengar, membau
dan lain-lain. Pada tahap sensorimotor, gagasan anak mengenai suatu benda

berkembang dari periode “belum mempunyai gagasan” menjadi “ sudah mempunyai
gagasan”.
Gagasan mengenai benda sangat berkaitan dengan konsep anak tentang ruang dan
waktu yang juga belum terakomodasi dengan baik. Struktur ruang dan waktu belum
jelas dan masih terpotong-potong, belum dapat disistematisir dan diurutkan dengan
logis. Menurut Piaget, mekanisme perkembangan sensorimotor ini menggunakan
proses asimilasi dan akomodasi. Tahap-tahap perkembangan kognitif anak
dikembangkan dengan perlahan-lahan melalui proses asimilasi dan akomodasi
terhadap skema-skema anak karena adanya masukan, rangsangan, atau kontak
dengan pengalaman dan situasi yang baru.
2) Tahap Pra operasional : umur 2 -7 tahun.
(Ciri pokok perkembangannya adalah penggunaan symbol/bahasa tanda dan konsep
intuitif)
Istilah “operasi” di sini adalah suatu proses berfikir logik, dan merupakan aktivitas
sensorimotor. Dalam tahap ini anak sangat egosentris, mereka sulit me

nerima

pendapat orang lain. Anak percaya bahwa apa yang mereka pikirkan dan alami juga
menjadi pikiran dan pengalaman orang lain. Mereka percaya bahwa benda yang tidak
bernyawa mempunyai sifat bernyawa.
Tahap pra operasional ini dapat dibedakan atas dua bagian.
a.

Tahap pra konseptual (2-4 tahun), dimana representasi suatu objek dinyatakan
dengan bahasa, gambar dan permainan khayalan.

b.

Tahap intuitif (4-7 tahun). Pada tahap ini representasi suatu objek didasarkan
pada persepsi pengalaman sendiri, tidak kepada penalaran.

Karakteristik anak pada tahap ini adalah sebagai berikut:
 Anak dapat mengaitkan pengalaman yang ada di lingkungan bermainnya dengan
pengalaman pribadinya, dan karenanya ia menjadi egois. Anak tidak rela bila
barang miliknya dipegang oleh orang lain.
 Anak belum memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang
membutuhkan pemikiran “yang dapat dibalik (reversible).” Pikiran mereka
masih bersifat irreversible.\

 Anak belum mampu melihat dua aspek dari satu objek atau situasi sekaligus, dan
belum mampu bernalar (reasoning) secara individu dan deduktif.
 Anak bernalar secara transduktif (dari khusus ke khusus). Anak juga belum
mampu membedakan antara fakta dan fantasi. Kadang-kadang anak seperti
berbohong. Ini terjadi karena anak belum mampu memisahkan kejadian
sebenarnya dengan imajinasi mereka.
 Anak belum memiliki konsep kekekalan (kuantitas, materi, luas, berat dan isi).
Menjelang akhir tahap ini, anak mampu memberi alasan mengenai apa yang
mereka percayai. Anak dapat mengklasifikasikan objek ke dalam kelompok yang
hanya mempunyai satu sifat tertentu dan telah mulai mengerti konsep yang
konkrit.
3) Tahap operasi kongkret : umur 7 – 11/12 tahun
(Ciri pokok perkembangannya anak mulai berpikir secara logis tentang kejadiankejadian konkret)
Tahap operasi konkret (concrete operations) dicirikan dengan perkembangan sistem
pemikiran yang didasarkan pada aturan-aturan tertentu yang logis. Anak sudah
memperkembangkan operasi-oprasi logis. Operasi itu bersifat reversible, artinya
dapat dimengerti dalam dua arah, yaitu suatu pemikiran yang dapat dikemblikan
kepada awalnya lagi. Tahap opersi konkret dapat ditandai dengan adanya sistem
operasi berdasarkan apa-apa yang kelihatan nyata/konkret.
Ciri-ciri operasi konkret yang lain, yaitu:
1.

Adaptasi dengan gambaran yang menyeluruh.
Pada tahap ini, seorang anak mulai dapat menggambarkan secara menyeluruh
ingatan, pengalaman dan objek yang dialami. Menurut Piaget, adaptasi dengan
lingkungan disatukan dengan gambaran akan lingkungan itu.

2.

Melihat dari berbagai macam segi.
Anak pada tahap ini mulai mulai dapat melihat suatu objek atau persoalan secara
sediki menyeluruh dengan melihat apek-aspeknya. Ia tidak hanya memusatkan
pada titik tertentu, tetapi dapat bersam-sam mengamati titik-titik yang lain dalam
satu waktu yang bersamaan.

3.

Seriasi

Proses seriasi adalah proses mengatur unsur-unsur menurut semakin besar atau
semakin kecilnya unsur-unsur tersebut. Menurut Piaget , bila seorang anak telah
dapat membuat suatu seriasi maka ia tidak akan mengalami banyak kesulitaan
untuk membuat seriasi selanjutnuya.
4.

Klasifikasi
Menurut Piaget, bila anak yang berumur 3 tahun dan 12 tahun diberi bermacammaam objek dan disuruh membuat klasifikasi yang serupa menjadi satu, ada
beberapa kemungkinan yang terjadi.

5.

Bilangan
Dalam percobaan Piaget, ternyata anak pada tahap praoperasi konkret belum
dapat mengerti soal korespondensi satu-satu dan kekekalan, namun pada tahap
tahap operasi konkret, anak sudah dapat mengerti soal karespondensi dan
kekekalan dengan baik. Dengan perkembangan ini berarti konsep tentang
bilangan bagi anak telah berkembang.

6.

Ruang, waktu, dan kecepatan
Pada umur 7 atau 8 tahun seorang anak sudah mengerti tentang urutan ruang
dengan melihat intervaj jarak suatu benda. Pada umur 8 tahun anak sudan sudah
sapat mengerti relasi urutan waktu dan jug akoordinasi dengamn waktu, dan
pada umur 10 atau 11 tahun, anak sadar akan konsep waktu dan kecepatan.

7.

Probabilitas
Pada tahap ini, pengertian probabilitas sebagai suatu perbandingan antara hal
yang terjadi dengan kasus-kasus yang mulai terbentuk.

8.

Penalaran
Dalam pembicaraan sehari-hari, anak pada tahap ini jarang berbicara dengan
suatu alasan,tetapi lebih mengatakan apa yang terjadi. Pada tahap ini, menurut
Piaget masih ada kesulitan dalam melihat persoalan secara menyeluruh.

9.

Egosentrisme dan Sosialisme.
Pada tahap ini, anak sudah tidak begitu egosentris dalam pemikirannya. Ia sadar
bahwa orang lain dapat mempunyai pikiran lain.

4) Tahap operasi formal: umur 11/12 ke atas.

(Ciri pokok perkembangannya adalah hipotesis, abstrak, dan logis)
Tahap operasi formal (formal operations) merupakan tahap terakhir dalam
perkembangan kognitif menurut Piaget. Pada tahap ini, seorang remaja sudah dapat
berpikir logis, berpikir dengan pemikiran teoritis formal berdasarkan proposisiproposisi dan hipotesis, dan dapat mengambil kesimpulan lepas dari apa yang dapat
diamati saat itu. Cara berpikir yang abstrak mulai dimengerti. Sifat pokok tahap
operasi formal adalah pemikiran deduktif hipotesis, induktif sintifik, dan abstrak
reflektif.
1.

Pemikiran Deduktif Hipotesis
Pemikiran deduktif adalah pemikiran yang menarik kesimpulan yang spesifik
dari sesuatu yang umum. Kesimpulan benar hanya jika premis-premis yang
dipakai dalam pengambilan keputusan benar. Alasan deduktif hipotesis adalah
alasan/argumentasi yang berkaitan dengan kesimpulan yang ditarik dari premispremis yang masih hipotetis. Jadi, seseorang yang mengambil kesimpulan dari
suatu proposisi yang diasumsikan, tidak perlu berdasarkan dengan kenyataan
yang real. Dalam pemikiran remaja, Piaget dapat mendeteksi adaanya pemikiran
yang logis, meskipun para remaja sendiri pada kenyataannya tidak tahu atau
belum menyadari bahwa cara berpikir mereka itu logis. Dengan kata lain, model
logis itu lebih merupakan hasil kesimpulan Piaget dalam menafsirkan ungkapan
remaja, terlepas dari apakah para remaja sendiri tahu atau tidak.

2.

Pemikiran Induktif Sintifik
Pemikiran induktif adalah pengambilan kesimpulan yang lebih umum
berdasarkan kejadian-kejadian yang khusus. Pemikiran ini disebut juga dengan
metode ilmiah. Pada tahap pemikiran ini, anak sudah mulai dapat membuat
hipotesis, menentukan eksperimen, menentukan variabel control, mencatat hasi,
dan menarik kesimpulan. Disamping itu mereka sudah dapat memikirkan
sejumlah variabel yang berbeda pada waktu yang sama.

3.

Pemikiran Abstraksi Reflektif
Menurut Piaget, pemikiran analogi dapat juga diklasifikasikan sebagai abstraksi
reflektif karena pemikiran itu tidak dapat disimpulkan dari pengalaman.

5. Teori Pengetahuan.
Berdasarkan pengalamannya sejak masa kanak-kanak, Piaget berkesimpulan bahwa
setiap makhluk hidup memang perlu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat
melestarikan kehidupannya. Manusia adalah makhluk hidup, maka manusia juga harus
beradaptasi dengan lingkungannya. Berdasarkan hal ini, Piaget beranggapan bahwa
perkembangan pemikiran manusia mirip dengan perkembangan biologis, yaitu perlu
beradaptasi dengan lingkungannya.
Piaget sendiri menyatakan bahwa teori pengetahuannya adalah teori adaptasi pikiran ke
dalam suatu realitas, seperti organisme yang beradaptasi dengan lingkungannya.
A. Teori Adaptasi Piaget
Menurut Piaget, mengerti adalah suatu proses adaptasi intelektual dimana
pengalaman dan ide baru diinteraksikan dengan apa yang sudah diketahui untuk
membentuk struktur pengertian yang baru. Setiap orang mempunyai struktur
pengetahuan awal (skema) yang berperan sebagai suatu filter atau fasilitator terhadap
berbagai ide dan pengalaman yang baru. Melalui kontak dengan pengalaman
baru,skema dapat dikembangkan dan diubah, yaitu dengan proses asimilasi dan
akomodasi. Skema seseorang selalu dikembangkan, diperbaharui , bahkan diubah
untuk dapat memahami tanyangan pemikiran dari luar. Proses ini disebut adaptasi
pikiran.
B. Teori Pengetahuan Piaget
Teori pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Dalam pembentukan
pengetahuan , Piaget membedakan tiga macam pengetahuan, yakni:
1.

Pengetahuan fisis adalah pengetahuanakan sifat-sifat fisis
suatu objek atau kejadian, seperti bentuk, besar, berat, serta bagaimana objek itu
berinteraksi dengan yang lain.

2.

Pengetahuan matematis logis adalah pengetahuan yang
dibentuk dengan berpikir tentang pengalaman akan suatu objek atau kejadian
tertentu.

3.

Pengetahuan sosial adalah pengetahuan yang didapat dari
kelompok budaya dan sosial yang menyetujui sesuatu secara bersama.

C. Teori Konstruktivisme

Teori konstruktivisme Piaget menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang adalah
bentukan (bentukan) orang itu sendiri. Proses pembentukan pengetahuan itu terjadi
apabila seseorang mengubah atau mengembangkan slkema yang telah dimiliki dalam
berhadapan dengan tantangan, dengan rangsangan atau persoalan. Teori Piaget
seringkali disebut konstruktivisme personal karena lebih menekankan pada keaktifan
pribadi seseorang dalam mengkonstruksikan pengetahuannya. Terlebih lagi karena
Piaget banyak mengadakan penelitian pada proses seorang anak dalam belajar dan
membangun pengetahuannya.
C. TEORI BELAJAR AUSUBEL
Sebagai pelopor aliran kognitif, David Ausable mengemukakan teori belajar bermakna
(meaningful learning). Belajar bermakna adalah proses mengaitkan dalam informasi baru
dengan konsep-konsep yang relevan dan terdapat dalam struktur kognitif seseorang. (Ratna
Willis Dahar: 1996). Selanjutnya dikatakan bahwa pembelajaran dapat menimbulkan belajar
bermakna jika memenuhi prasayasat, yaitu:
1.

Materi yang akan dipelajari melaksanakan belajar
bermakna secara potensial

2.

Anak yang belajar bertujuan melaksanakan belajar
bermakna. Kebermaknaan materi pelajaran secara potensial tergantung dari materi itu
memiliki kebermaknaan logis dan gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam
struktur kognitif siswa.
Berdasarkan pandangannya tentang belajar bermakna, maka David Ausuble mengajukan

4 prinsip pembelajaran , yaitu:
1.

Pengatur awal (advance organizer)
Pengatur awal atau bahan pengait dapat digunakan guru dalam membantu mengaitkan
konsep lama denan konsep baru yang lebih tinggi maknanya. Pemggunaan pengatur awal
tepat dapat meningkatkan pemahaman berbagai macam materi , terutama materi pelajaran
yang telah mempunyai struktur yang teratur. Pada saat mengawali pembelajaran dengan
prestasi suatu pokok bahasan sebaiknya “pengatur awal” itu digunakan, sehingga
pembelajaran akan lebih bermakna.

2.

Diferensiasi progresif

Dalam proses belajar bermakna perlu ada pengembangan dan kolaborasi konsep-konsep.
Caranya unsur yang paling umum dan inklusif diperkenalkan dahulu kemudian baru yang
lebih mendetail, berarti proses pembelajaran dari umum ke khusus.
3.

Belajar superordinat
Belajar superordinat adalah proses struktur kognitif yang mengalami petumbuhan kearah
deferensiasi, terjadi sejak perolehan informasi dan diasosiasikan dengan konsep dalam
struktur kognitif tersebut. Proses belajar tersebut akan terus berlangsung hingga pada
suatu saat ditemukan hal-hal baru. Belajar superordinat akan terjadi bila konsepkonsep
yang lebih luas dan inklusif.

4.

Penyesuaian Integratif
Pada suatu sasat siswa kemungkinan akan menghadapi kenyataan bahwa dua atau lebih
nama konsep digunakan untuk menyatakan konsep yang sama atau bila nama yang sama
diterapkan pada lebih satu konsep. Untuk mengatasi pertentangan kognitif itu, Ausable
mengajukan konsep pembelajaran penyesuaian integratif Caranya materi pelajaran
disusun sedemikian rupa, sehingga guru dapat menggunakan hiierarkhi-hierarkhi
konseptual ke atas dan ke bawah selama informasi disajikan. Penangkapan (reception
learning). Menurut Ausubel , siswa tidak selalu mengetahui apa yang penting atau relevan
untuk dirinya sendiri sehigga mereka memerlukan motivasi eksternal untuk melakukan
kerja kognitif dalam mempelajari apa yang telah diajarkan di sekolah. Ausable
menggambarkan model pembelajaran ini dengan nama belajar penangkapan.
Inti belajar penangkapan yaitu pengajaran ekspositori, yakni pembelajaran sistematik

yang direncanakan oleh guru mengenai informasi yang bermakna (meaningful information).
Pembelajaran ekspositori itu terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1.

Penyajian advance organizer
Advance organizer merupakan pernyataan umum yang memeperkenalkan bagian-bagian
utama yang etrcakup dalam urutan pengajaran. Advance organizer berfungsi untuk
menghubungkan gagasan yang disajikan di dalam pelajaran dengan informasi yang telah
berda didalam pikiran siswa, dan memberikan skema organisasional terhadap informasi
yang sangat spesifik yang disajikan.

2.

Penyajian materi atau tugas belajar.

Dalam tahap ini, guru menyajikan metri pembelajaran yang baru dengan menggunakan
metode ceramah, diskusi, film, atau menyajikan tugas-tugas belajar kepada siswa.
Ausuble menekankan tentang pentingnya mempertahankan perhatian siswa, dan juga
pentingnya pengorganisasian meteri pelajaran yang dikaitakan dengan struktur yang
terdapat didalam advance organizer. Dia menyarankan suatu proses yang disebut dengan
diferensiasi progresif, dimana pembelajaran berlangsung setahap demi setahap, dimulai
dari konsep umum menuju kepada informasi spesifik, contoh-contoh ilustratif, dan
membandingkan antara konsep lama dengan konsep baru.
3.

Memperkuat organisasi kognitif.
Ausuble menyarankan bahwa guru mencoba mengikatkan informasi baru ke dalam
stuktur yang telah direncanakan di dalam permulaan pelajaran, degan cara mengingatkan
siswa bahwa rincian yang bersifat spesifik itu berkaitan dengan gambaran informasi yang
bersifat umum. Pada akhir pembelajaran ini siswa diminta mengjukan pertanyaan pada
diri sendiri mengenai tingkat pemahamannya terhadap pelajaran yang baru dipelajari,
menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki dan pengorganisasian materi
pembelajaran sebagaimana yang dideskripsikan didalam advance organizer samping itu
juga memberikan pertanyaan kepada siswa dalam rangka menjajaki keluasan pemahaman
siswa tentang isi pelajaran.
Ausubel (dalam Dahar, 1988:137) mengemukakan bahwa belajar dikatakan bermakna

(meaningful) jika informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur
kognitif yang dimiliki peserta didik sehingga peserta didik dapat mengaitkan informasi
barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Ausubel (dalam Dahar ,1988 :142) juga
menyatakan bahwa agar belajar bermakna terjadi dengan baik dibutuhkan beberapa syarat,
yaitu :
1.

Materi yang akan dipelajari
harus bermakna secara potensial,

2.

Anak yang akan belajar harus
bertujuan melaksanakan belajar bermakna sehingga mempunyai kesiapan dan niat untuk
belajar bermakna.

Dikatakan lebih lanjut oleh Ausubel (Dahar ,1989 :141) ada tiga kebaikan dari belajar
bermakna yaitu :
a)

Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat,

b) Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk
materi pelajaran yang mirip,
c)

Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip
walaupun telah terjadi lupa.
Belajar bermakna (meaningfull learning) yang digagas David P. Ausubel adalah suatu

proses pembelajaran dimana siswa lebih mudah memahami dan mempelajari, karena guru
mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya sehingga mereka dengan mudah
mengaitkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah ada dalam pikirannya. Sehingga
belajar dengan “membeo” atau belajar hafalan (rote learning) adalah tidak bermakna
(meaningless) bagi siswa. Belajar hafalan terjadi karena siswa tidak mampu mengaitkan
pengetahuan baru dengan pengetahuan yang lama.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah
struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi
tertentu dan pada waktu tertentu. Seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru
ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam prosesnya siswa mengkonstruksi apa yang ia
pelajari dan ditekankan pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta
baru kedalam system pengertian yang telah dipunyainya.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa
melalui proses belajar bermakna. Mereka yang berada pada tingkat pendidikan dasar, akan
lebih bermanfaat jika siswa diajak beraktivitas, dilibatkan langsung dalam kegiatan
pembelajaran. Sedangkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih efektif jika
menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram dan ilustrasi.
Empat tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:
A. Belajar dengan penemuan yang bermakna
Yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang
dipelajarinya atau siswa menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari
kemudian pengetahuan baru itu ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
B. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna

Yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan
pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.
C. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna
Materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai
bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang baru itu dikaitkan dengan pengetahuan
yang ia miliki.
D. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna
Yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa
sampai bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang baru itu dihafalkan tanpa
mengaitkannya dengan pengetahuan yang ia miliki. Prasyarat agar belajar menerima
menjadi bermakna menurut Ausubel, yaitu:
a.

Belajar menerima yang bermakna hanya akan terjadi apabila siswa memiliki
strategi belajar bermakna,

b.

Tugas-tugas belajar yang diberikan kepada siswa harus sesuai dengan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa,

c.

Tugas-tugas belajar yang diberikan harus sesuai dengan tahap perkembangan
intelektual siswa.

D. TEORI BELAJAR EGGEN
Eggen dan Kauchak (1993: 319) mendefinisikanpembelajaran kooperatif sebagai
sekumpulan strategi mengajar yang digunakan guru agar siswa saling -membantu dalam
mempelajari sesuatu. Oleh karena itu belajar kooperatif ini juga dinamakan “belajar teman
sebaya.”.Kooperatif adalah suatu gambaran kerjasama antara individu yang satu dengan
lainnya dalam suatu ikatan tertentu. Ikatan–ikatan tersebut yang menyebabkan antara satu
dengan yang lainnya merasa berada dalam satu tempat dengan tujuan–tujuan yang secara
bersama–sama diharapkan oleh setiap orang yang berada dalam ikatan itu.
Pemikiran tersebut hanya merupakan suatu gambaran sederhana apa yang tersirat
tentang kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan metode pembelajaran dengan siswa
bekerja

dalam

kelompok

yang

memiliki

kemampuan

heterogen.

Pembelajaran

kooperatif dapat digunakan untuk mengajarkan materi yang agak kompleks, membantu
mencapai tujuan pembelajaran yang berdimensi sosial, dan hubungan antara manusia. Belajar

secara kooperatif dikembangkan berdasarkan teori belajar kognitif konstruktivis dan teori
belajar social.
Menurut Arends (1997: 111), pembelajaran yang menggunakan model kooperatif
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
A. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menyelesaikan materi belajar.
B. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah
C. Jika mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang
berbeda-beda
D. Penghargaan lebih berorientasi pada kelompok dari pada individu.
Secara umum, pembelajaran kooperatif bertujuan untuk mencipatakan ikatan yang kuat
antar siswa, membangun kecerdasan sosial dan emosional, sehingga pada akhirnya siswa bisa
berinteraksi terhadap lingkungannya dengan segala kemampuan dan potensi diri yang
berkembang dengan baik. Secara garis besar, tujuan tersebut bisa dicapai apabila memenuhi
indikator sebagai berikut:
a. Kemandirian yang positif
Kemandirian yang positif akan berhasil dengan baik apabila setiap anggota kelompok
merasa sejajar dengan anggota yang lain. Artinya satu orang tidak akan berhasil kecuali
anggota yang lain merasakan juga keberhasilannya. Apapun usaha yang dilakukan oleh
masing-masing anggota tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi untuk semua
anggota kelompok. Kemandirian yang positif merupakan inti pembelajaran kooperatif.
b. Peningkatan interaksi
Pada saat guru menekankan kemandirian yang positif, selayaknya guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk saling mengenal, tolong menolong, saling bantu, saling
mendukung, memberi semangat dan saling memberi pujian atas usahanya dalam belajar.
Aktivitas kognitif dan dinamika kelompok terjadi pada saat siswa diikutsertakan untuk
belajar mengenal satu sama lain. Termasuk dalam hal ini menjelaskan bagaimana
memecahkan masalah, mendiskusikan konsep yang akan dikerjakan, menjelaskan pada
teman sekelas dan menghubungkan dengan pelajaran yang terakhir dipelajari.
c. Pertanggungjawaban individu
Tujuan kelompok dalam pembelajaran kooperatif adalah agar masing-masing anggota
menjadi lebih kuat pengetahuannya. Siswa belajar bersama sehingga setelah itu mereka

dapat melakukan yang lebih baik sebagai individu. Untuk memastikan bahwa masingmasing anggota lebih kuat, siswa harus membuat pertanggungjawaban secara individu
terhadap tugas yang menjadi bagiannya dalam bekerja. Pertanggungjawaban individu
akan terlaksana jika perbuatan masing-masing individu dinilai dan hasilnya diberitahukan
pada individu dan kelompok.
Dalam proses belajar mengajar, para siswa perlu dilatih untuk bekerja sama dengan
rekan-rekan sebayanya. Ada kegiatan belajar tertentu yang akan lebih berhasil jika dikerjakan
secara bersama-sama, misalnya dalam kerja kelompok, daripada jika dikerjakan sendirian oleh
masing-masing siswa. Latihan kerja sama sangatlah penting dalam proses pembentukan
kepribadian anak. Pembelajaran kooperatif mengajarkan kepada siswa keterampilan
kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini amatlah penting untuk dimiliki siswa dalam
rangka memahami konsep-konsep yang sulit, berpikir kritis dan kemampuan membantu
teman.
Para ahli psikologi umumnya sependapat bahwa siswa-siswa mudah memahami konsepkonsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh konkret dan dikerjakan
secara bersama-sama. Dalam ranah pengembangan kepribadian dan konsep diri siswa,
konselor di sekolah dapat menerapkan pembelajaran kooperatif dalam konseling melalui
teknik sebagai berikut:
3.

Bimbingan kelompok
Dalam bimbingan kelompok sebaiknya dibentuk kelompok-kelompok kecil yang lebih
kurang terdiri dari 4-5 orang. Murid-murid yang telah tergabung dalam kelompokkelompok kecil itu mendiskusikan bersama sebagai permasalahan termasuk didalamnya
permasalahan belajar.

4.

Peer Konseling
Melalui peer konseling, hubungan sosial dan kecerdasan emosional siswa meningkat dan
menjadi lebih baik. Dalam hal ini siswa bisa saling bekerjasama untuk menyelesaikan
permasalahan.

5.

Organisasi murid dan kegiatan bersama
Kegiatan bersama merupakan teknik bimbingan yang baik, karena dengan melakukan
kegiatan bersama mendorong anak saling membantu sehingga relasi sosial positif dapat

dikembangkan dengan baik. Organisasi siswa dapat membantu dalam proses
pembentukan anak, baik secara pribadi maupun secara sebagai anggota masyarakat.
4.

Sosiodrama
Sosiodrama adalah suatu cara dalam bimbingan yang memberikan kesempatan pada
murid-murid untuk mendramatisasikan sikap, tingkah laku atau penghayatan seseorang.
Maka dari itu sosiadrama dipergunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah.

E. TEORI BELAJAR BRUNER
Teori belajar bruner dikenal oleh tiga tahapan belajarnya yang terkenal. Pada dasarnya
setiap individu pada waktu mengalami atau mengenal peristiwa yang ada di dalam
lingkungannya dapat menemukan cara untuk menyatakan kembali peristiwa tersebut di dalam
pikirannya, yaitu suatu model mental tentang peristiwa yang dialaminya. Hal tersebut adalah
proses belajar yang terbagi menjadi tiga tahapan, yakni:
(1) Tahap enaktif;
dalam tahap ini peserta didik di dalam belajarnya menggunakan atau memanipulasi
obyek-obyek secara langsung.
(2) Tahap ikonik;
pada tahap ini menyatakan bahwa kegiatan anak-anak mulai menyangkut mental yang
merupakan gambaran dari obyek-obyek. Dalam tahap ini, peserta didik tidak
memanipulasi langsung obyek-obyek, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan
menggunakan gambaran dari obyek. Pengetahuan disajikan oleh sekumpulan gambargambar yang mewakili suatu konsep (Sugandi, 2004:37).
(3) Tahap simbolik;
tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak ada lagi kaitannya
dengan objek-objek. Anak mencapai transisi dari pengguanan penyajian ikonik ke
penggunaan penyajian simbolik yang didasarkan pada sistem berpikir abstrak dan lebih
fleksibel. Dalam penyajian suatu pengetahuan akan dihubungkan dengan sejumlah
informasi yang dapat disimpan dalam pikiran dan diproses untuk mencapai pemahaman.
Jerome Bruner membagi alat instruksional dalam empat macam menurut fungsinya
antara lain:

1.

Alat untuk menyampaikan pengalaman “vicaorus” (sebagai pengganti pengalaman yang
langsung) yaitu menyajikan bahan yang tidak dapat mereka peroleh secara langsung di
sekolah. Hal ini dapat dilakukan melalui film, TV, rekaman suara dan sebagainya;

2.

Alat model yang dapat memberikan pengertian tentang struktur atau prinsip suatu gejala
misalnya model molekul, model bangun ruang;

3.

Alat dramatisasi, yakni mendramatisasikan sejarah suatu peristiwa atau tokoh, film
tentang alam, untuk memberikan pengertian tentang suatu idea atau gejala;
Alat automatisasi seperti teaching machine atau pelajaran berprograma yang menyajikan
suatu masalah dalam urutan teratur dan memberikan balikan atau feedback tentang respon
siswa (Nasution, 2003:15).

F. TEORI BELAJAR VIGOTSKY
Nama lengkapnya adalah Lev Semyonovich Vygotsky. Ia dilahirkan di salah satu kota
Tsarist, Russia, tepatnya pada pada 17 November 1896, dan berkuturunan Yahudi. Ia tertarik
pada psikologi saat berusia 28 tahun.
Seseorang

yang

belajar

dipahami

sebagai

seseorang

yang

membentuk

pengertian/pengetahuan secara aktif dan terus-menerus. Inti teori Vygotsky adalah
menekankan interaksi antara aspek “internal” dan “eksternal” dari pembelajaran dan
penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif
berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga
yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum
dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of proximal development” mereka. Zone
of proximal developmentadalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang
ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan
perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
Vygotsky banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam
memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi
mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan
perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi seperti
ingatan, berpikir dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini

dianggap sebagai ”alat kebudayaan” tempat individu hidup dan alat-alat itu berasal dari
budaya. Alat-alat itu diwariskan pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih
tua selama pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara
berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang dunia.
Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama dengan anggota lain dalam
kebudayaannya.
Aliran psikologi yang dipegang oleh Vygotsky lebih mengacu pada kontruktivisme
karena ia lebih menekankan pada hakikat pembelajaran sosiokultural. Dalam analisisnya,
perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif,
juga ditentukan oleh lingkungan sosial secara aktif. Oleh karenanya, konsep teori
perkembangan kognitif Vygotsky berkutat pada tiga hal:
1.

Hukum Genetik tentang Perkembangan (Genetic
Law of Development)
Setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati dua aturan, yaitu
tataran sosial lingkungannya dan tataran psikologis yang ada pada dirinya.

2.

Zona Perkembangan Proksimal (Zone of Proximal
Development)
Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui
pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang jika
berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan pemikiran
operasional formal tanpa bantuan orang lain. Vygotsky membedakan antaraactual
development dan potential

development pada

anak. Actual

development ditentukan

apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa atau guru.
Sedangkan potensial development membedakan apakah seorang anak dapat melakukan
sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau kerjasama dengan
teman sebaya.
3.

Mediasi
Mediator yang diperankan lewat tanda maupun lambang adalah kunci utama memahami
proses-proses sosial dan psikologis. Makanya, jika dikaji lebih mendalam teori
perkembangan kognitif Vygotsky akan ditemukan dua jenis mediasi, yaitu metakognitif
dan mediasi kognitif. Media metakognitif adalah penggunaan alat-alat semiotic yang

bertujuan

untuk melakukan self

regulation (pengaturan

diri)

yang

mencakup self

planning, self monitoring, self checking, danself evaluation. Media ini berkembang dalam
komunikasi antar pribadi. Sedangkan media kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif
untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan pengetahuan tertentu. Sehingga
media ini dapat berhubungan dengan konsep spontan (yang mungkin salah)
dan konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya).
Vygotsky lebih menekankan pada peran aspek sosial dalam pengembangan intelektual
atau kognitif anak. Vygotsky memandang bahwa kognitif anak berkembang melalui interaksi
sosial. Anak mengalami interaksi dengan orang yang lebih tahu. Secara singkat, teori
perkembangan sosial berpendapat bahwa interaksi sosial dengan budaya mendahului.
Maksudnya dari relasi dengan budaya membuat seorang anak mengalami kesadaran dan
perkembangan kognisi. Jadi intinya Vygotsky memusatkan perhatiannya pada hubungan
dialektik antara individu dan masyarakat dalam pembentukan pengetahuan.
Pengetahuan terbentuk sebagai akibat dari interaksi sosial dan budaya seorang anak.
Pengetahuan tersebut terbagi menjadi dua bentuk, yaitu pengetahuan spontan dan
pengetahuan ilmiah. Pengetahuan spontan mempunyai sifat lebih kurang teridentifikasi secara
jelas, tidak logis, dan sistematis. Sedangkan pengetahuan ilmiah sebuah pengetahuan yang
diperoleh dari pendidikan formal dan sifatnya lebih luas, logis, dan sistematis. Kemudian
proses belajar adalah sebuah perkembangan dari pengertian spontan menuju pengertian yang
lebih ilmiah.

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA KONDISI EKONOMI WARGA BELAJAR KEJAR PAKET C DENGAN AKTIVITAS BELAJAR DI SANGGAR KEGIATAN BELAJAR KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PELAJARAN 2010/2011

1 100 15

UPAYA PENINGKATAN PROSES DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENGGUNAAN ALAT PERAGA PADA MATA PELAJARAN IPA DI KELAS IV (EMPAT) SDN 3 TEGALSARI KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN PELAJARAN 2011/2012

23 110 52

MENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS III SD NEGERI I MATARAM KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN PELAJARAN 2011/2012

21 126 83

PENGARUH MOTIVASI BELAJAR DAN PEMANFAATAN SARANA BELAJAR DI SEKOLAH TERHADAP HASIL BELAJAR MATA PELAJARAN AKUNTANSI KEUANGAN SISWA KELAS XI AKUNTANSI SMK WIYATA KARYA NATAR TAHUN PELAJARAN 2010/2011

10 119 78

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI 1 SINAR MULYA KECAMATAN BANYUMAS KAB. PRINGSEWU

43 182 68

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENGARUH PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH DAN MINAT BACA TERHADAP HASIL BELAJAR IPS TERPADU SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 WAY

18 108 89

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62