Pemakalah 2 PENINGKATAN KOMPETENSI GURU

PENINGKATAN KOMPETENSI GURU
UNTUK MENINGKATKAN MINAT SISWA PADA BIDANG MIPA
Oleh Istamar Syamsuri1

A. PENDAHULUAN
Peningkatan minat siswa pada bidang MIPA dipengaruhi oleh banyak
faktor, misalnya latar belakang orang tua, pergaulan, harapan masa depan, dan
guru. Guru merupakan faktor dominan yang dapat mempengaruhi minat siswa.
Jika gurunya dapat melakukan pembelajaran yang profesional, misalnya
menyenangkan, memudahkan, mampu menumbuhkan aktivitas dan kreativitas
siswa, serta membelajarkan siswa, maka siswa akan memiliki minat yang tinggi
terhadap bidang MIPA. Sebaliknya apabila guru kurang profesional, menyajikan
materi pelajaran berpusat pada dirinya, menyebabkan siswa sulit memahami,
otoriter dan akhirnya membuat siswa malas belajar, maka siswa akan kehilangan
minatnya terhadap bidang MIPA.
Guru yang profesioal adalah guru yang memiliki kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional.
Berdasarkan keprofesionalannya, guru dapat dibedakan

menjadi 2 golongan


besar yakni guru yang profesional (walau dia tidak tersertifikasi) dan guru yang
belum profesional (termasuk yang tersertifikasi).
Keprofesionalan guru dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor
tersebut antara lain faktor kepala sekolah dan pengawas, DIKNAS, Kebijakan
1

Dr. Istamar Syamsuri, M.Pd, adalah dosen Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang, penulis dan
peneliti, dan aktif dalam Program Lesson Study, kerjasama antara Pemerintah RI dengan JICA .
2 Makalah disampaikan dalam Lokakarya MIPAnet 2010, The Indonesian Network of Higher Educations
of Mathematics and Nanutal Sciences, tanggal 26-27 Juli 2010, di IPB, Bogor

Pemerintah (kurikulum, sertifikasi, kebijakan tentang buku, UN, dsb). Mengingat
terbatasnya kesempatan, tidak semua faktor dibahas dalam makalah ini.

B. MUTU PENDIDIKAN KITA MASIH RENDAH
Kita harus mengakui bahwa mutu pendidikan di negara kita masih rendah.
Kualitas pendididkan kita masih berada di bawah rata-rata negara berkembang
lainnya.

Hasil survai World Competitiveness Year Book tahun 1997-2007


menunjukkan bahwa dari 47 negara yang disurvai, pada tahun 1997 Indonesia
berada pada urutan 39, pada tahun 1999, berada pada urutan 46. Tahun 2002,
dari 49 negara yang disurvai, Indonesia berada pada urutan 47, dan pada 2007
dari 55 negara yang disurvai, Indonesia menempati posisi ke-53.

Menurut

laporan monitoring global yang dikeluarkan lembaga PBB, UNESCO, tahun 2005
posisi Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara berkembang di Asia
Pasifik. Selain itu, menurut laporan United Nations Development Programme
(UNDP), kualitas SDM Indonesia menempati urutan 109 dari 177 negara di
dunia. Sedangkan menurut The Political and Economic Risk Consultancy
(PERC) yang merupakan lembaga konsultan dari Hongkong menyatakan
kualitas pendidikan di Indonesia sangat rendah, di antara 12 negara Asia yang
diteliti, Indonesia satu tingkat di bawah Vietnam.
Khusus bidang MIPA, pendidikan di Indonesia juga masih cukup
memprihatinkan. Hasil survai TIMSS tahun 2003 yang diikuti 46 negara, siswasiswa Indonesia menempati urutan 34 untuk matematika, dan menempati urutan
36 untuk sains. Singapura menempati urutan pertama untuk dua-duanya, Korea


Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Jepang, juga mendominasi peringkat atas,
sementara Malaysia menempati urutan 10 untuk matematika, dan 20 untuk
sains.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan oleh data
dari Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya
delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The
Primary Years Program (PYP), dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga
hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The
Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah
yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Mudah diduga, jika mutu pendidikan rendah maka kualitas sumber daya
manusia (SDM) juga akan rendah. Pada 15 September 2004 lalu United Nations
for Development Programme (UNDP) mengumumkan hasil studi tentang kualitas
manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul
Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia
hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibandingkan dengan
negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya. Ini
sungguh memprihatinkan. Berbicara tentang kualitas pendidikan, Yusuf Kalla
pernah mengatakan bahwa kualitas pendidikan Indonesia saat ini lebih buruk di
banding 30-40 tahun yang lalu, bahkan menurut laporan hasil survey The

Political and Economic Risk Consultancy (PERC) kualitas pendidikan Indonesia
berada pada peringkat 16 di tingkat Asia dan berada di urutan 160 untuk tingkat

dunia. Ironisnya, kedudukan itu berada di bawah negara Vietnam yang sering
mengalami kekacauan politik dan peperangan itu.
Walaupun demikian, berita menggembiarakan masih ada. Para anak
bangsa ternyata cukup berprestasi di ajang olimpiade MIPA tingkat internasional,
dan hampir setiap tahun para siswa kita yang mengikuti olimpiade matematika,
Fisika, Kimia dan Biologi memperoleh medali emas. Mereka mengalahkan para
siswa dari negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Belanda, Australia.
Dari para peraih emas itu, terdapat mutiara hitam dari Indonesia Timur
Irian Jaya yang mengharumkan nama bangsa. Ini untuk mempertegas bahwa
sebenarnya, anak Indonesia, dari manapun asalnya, memiliki potensi kuat untuk
menjadi juara olimpiade. Anak Indonesia memiliki potensi kuat juga untuk
menjadi ahli MIPA, menyumbangkan ilmunya untuk kemajuan IPTEK di tanah air
menyamai negara lainnya.
Jika “bahan baku” yang berupa kecerdasan anak Indonesia memiliki
potensi besar, tetapi setelah sekolah mereka prestasinya rendah, berarti ada
sesuatu yang menyebabkannya, ada sesuatu yang keliru dalam sistem
pendidikan kita. Seharusnya mutu pendidikan di Indonesia tidak kalah dengan

negara-negara lain, tetapi mengapa kenyataannya tidak? Bahan baku berupa
kecerdasan anak Indonesia itu baru berbuah emas ketika mereka digodok
beberapa bulan, melalui suatu pelatihan untuk menjadi ilmuwan.

Ini berarti

bahwa kesalahan terletak pada proses pembelajaran di kelas, mengapa mutu
pendidikan rendah. Dan proses pembelajaran di kelas itu, selain ditentukan oleh
keprofesionalan guru, juga oleh kualitas kepala sekolah, kondisi sekolah, Dinas

Pendidikan, dan kebijakan pemerintah mengenai pendidikan. Seandainya anak
Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan bakat dan
minatnya terhadap bidang MIPA, maka di Indonesia akan bertumbuh ahli-ahli
MIPA yang tidak kalah dengan negara lain yang sudah maju. Kapan?

C. GURU PROFESIONAL >< GURU BELUM PROFESIONAL
Apakah guru kita sudah profesional? Mungkin jawabannya ya, karena
guru tersebut memang melakukan upaya pembelajaran secara profesional dan
memiliki kompetensi sebagai pendidik yang baik, meskipun dia belum
tersertifikasi. Guru yang demikian masih langka. Namun masih banyak juga

guru yang belum profesional meskipun tekah tersertifikasi. Untuk mengetahui
sampai di tingkat mana keprofesionalan guru, diadakanlah survai di Malang,
dengan asumsi sekolah di kota Malang sudah cukup memadai dan dapat
dijadikan

sebagai

“contoh”

bagi

sekolah

di

sekitarnya. Survai

serupa

diselenggarakan di Padang dan Banjarbaru.

Berdasar survai yang diselenggarakan penulis bekerjasama dengan JICA
pada bulan Februari dan Maret 2010 menghasilkan kesimpulan bahwa masih
perlu adanya Inservice Training guru (pembinaan guru dalam jabatan) dalam
bentuk pendampingan oleh para ahli. Survai yang diselenggarakan di kota
Malang, mengambil sampel 11 SMP terdiri dari 1 RSBI, 2 SSN, 3 SMPN non
SSN, 3 SMP Swasta, 1 MTs N dan 1 MTs Swasta, bertujuan untuk mengetahui
kesesuaian antara kebijakan Pemerintah (DIKNAS Pusat, Provinsi, Kota) tentang
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan implementasinya di

sekolah beserta permasalahan yang ada.

Responden terdiri dari Tim

Pengembang Kurikulum (TPK) Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Kepala
Bidang Pendidikan Menegah (DIKMEN) Dinas Pendidikan Kota Malang dan
beberapa anggota TPK Kota Malang (KASI Kurikulum dan 3 orang pengawas
SMP), Kepala MAPENDA Kantor Departemen Agama Kota Malang dan Staf, 11
Kepala Sekolah SMP/MTs negeri dan swasta, dan sejumlah orang guru
matematika dan IPA, serta beberapa orang guru non MIPA. Pengumpulan data
survai dilakukan melalui wawancara terhadap responden, meminta dokumen

KTSP, dan observasi pembelajaran di kelas.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa proses sosialisasi KTSP dari
Tingkat Pusat, Provinsi, ke Kota dan Sekolah berlangsung baik.

Setiap Tim

Pengembang mulai dari Pusat hingga ke Kota melakukan DIKLAT Penyusunan
KTSP. Pendek kata, secara normatif dan administratif segalanya berjalan baik.
Namun bagaimana hasilnya?
Beberapa temuan survai tersebut diuraikan berikut ini:
a. Umumnya para guru masih menyusun KTSP Buku II (silabus, RPP dan
LKS) dengan teknik “copy paste”, yang berarti mereka belum menyusun
silabus, RPP dan LKS berdasar keperluan dan kondisi mereka sendiri;
b. Meskipun mereka mengaku memiliki RPP, namun ketika proses
pembelajaran siswanya diobservasi, semua guru tidak membawa RPP
dengan alasan tertinggal di rumah;
c. Dari analisis RPP yang diperoleh ternyata terdapat perbedaan antara apa
yang dituliskan dengan apa yang diimplementasikan di kelas. Di RPP guru

menuliskan penggunaan pendekatan konstruktivistik, guru berperan

selaku fasilitator, namun dari observasi di kelas dapat diketahui bahwa
guru lebih dominan, banyak menggunakan ceramah, para siswa pasif,
dan guru tidak memahami bagaimana mengimplementasikan pendekatan
konstruktiivistik di kelas sebagaimana disarankan kurikulum 2006;
d. Pengelolaan kelas dilakukan secara konvensional sehingga tidak
memungkinkan terjadinya interaksi antar siswa, kecuali ada 2 SMP yang
menggunakan pengelolaan kelas yang memungkinkan terjadinya saling
belajar antar siswa.
e. Dalam melakukan evaluasi/assesmen, umumnya guru menggunakan tes
secara tertulis, sehingga tes hanya berorientasi ke ranah kognitif, hanya
beberapa guru yang menggunakan rubrik untuk assesmen.

Ini berarti

bahwa pemahaman guru tentang asesmen hanya pada ranah kognitif,
tidak sampai pada ranah afektif dan psikomotor
Hasil survai ini menunjukkan juga bahwa tidak ada perbedaan
keprofesionalan antara guru sekolah “bermutu” dengan sekolah yang “tidak
bermutu”, yang artinya bahwa baik sekolah “bermutu” maupun sekolah “tidak
bermutu” memiliki keprofesionalan yang sama yaitu sama-sama belum

profesional. Rupaya prestasi siswa sekolah “bermutu” selama ini bukan karena
hasil desain pembelajaran gurunya, melainkan karena mutu masukan siswanya
yang memiliki nilai DANEM tinggi.
Dalam rangka meningkatkan mutu guru, Pemerintah telah berupaya
maksimal untuk melakukan

inservis training

dengan menyelenggarakan

penataran, pelatihan,

workshop

dalam beberapa minggu sehingga guru

meninggalkan kelasnya, namun setelah kembali ke sekolah para guru tidak
menerapkan ilmunya untuk mengefektifkan pembelajaran. Hal ini disebabkan
karena beberapa alasan yang sering dikemukakan para guru sebagai berikut::
a. Latar belakang siswa (DENEM rendah, dari keluarga menengah ke

bawah, dari desa/daerah terpencil) yang sulit untuk diajak aktif dan kreatif;
b. Guru tidak memiliki waktu cukup untuk menerapkan metode, pendekatan
dan model-model pembelajaran yang disarankan. Jika diterapkan,
waktunya lama sehingga guru tidak dapat menyelesaikan penyampaian
materi pembelajaran yang cukup banyak kepada siswa.
c. Jika menghadapi Ujian Nasional, guru cenderung mengadakan drill dan
latihan soal-soal ujian.
d. Media dan laboratorium tidak mencukupi/tidak ada;
e. Jam mengajar guru terlalu banyak
Melihat alasan yang dikemukakan guru nampak bahwa guru lebih
berorientasi pada faktor dari luar dirinya alias lebih menyalahkan faktor luar
daripada dirinya. Dengan pendampingan oleh dosen melalui kegiatan Lesson
Study, alasan guru itu akhirnya dapat diatasi sendiri oleh mereka, kecuali alasan
Ujian Nasional.

D.

FAKTOR KEPALA SEKOLAH

Faktor Kepala Sekolah (juga Pengawas,

DIKNAS) memiliki hubungan

komando yang tegas dalam menentukan bentuk kegiatan guru di kelas. Berdasar
ketentuan DEPDIKNAS, KS hendaknya memiliki lima aspek kompetensi, yaitu
kompetensi kepribadian, sosial, manajerial, supervisi, dan kewirausahaan. Hasil
uji kompetensi yang dilakukan oleh Dirjen PMPTK menunjukkan bahwa 70% dari
250.000 KS tidak kompeten, terutama di bidang manajerial dan supervisi,
sebagai kompetensi yang paling menentukan kualitas pendidikan.

Menurut

Direktur Tenaga Kependidikan, Surya Dharma, dua kompetensi itu merupakan
kekuatan kepala sekolah untuk mengelola sekolah dengan baik. Sebagai
pembanding, uji kompetensi terhadap 50 KS dari sebuah yayasan juga
menunjukkan hasil yang sama.
Bagaimana KS dapat melakukan supervisi terhadap guru jika mereka
tidak kompeten?

Apakah supervisi dilakukan oleh

para Pengawas?.

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa para Pengawas juga tidak
melakukan pengawasan sesuai dengan TUPOKSInya. Mengapa hal ini terjadi?
Jawabannya karena perekrutan KS (juga Pengawas, DIKNAS Kabupaten/Kota)
tidak dilakukan berdasarkan keprofesionalan mereka sesuai dengan ketentuan,
melainkan berdasar faktor-faktor lain, misalnya faktor politik.
diberlakukannya

otonomi

daerah,

pengangkatan

KS

Kabupaten/Kota) ditentukan oleh Bupati atau Walikota.

(juga

Sejak
DIKNAS

Pengawas yang

diangkat oleh DIKNAS biasanya terdiri dari guru yang sudah hampir pensiun,
bukan atas dasar kemampuannya dalam melakukan supervisi pembelajaran.

Dalam kondisi demikian, para guru melakukan pembelajaran di kelas
tanpa adanya supervisi yang memadai. Para KS tidak pernah menjenguk proses
pembelajaran di kelas (di Kabupaten Pasuruan hanya 5 KS dari 125 KS yang
pernah mengunjungi guru mengajar di kelas, 2008), Pengawas tidak tahu apa
yang harus dilakukan terhadap problem guru di kelas.
Rendahnya kompetensi KS dapat dilihat dari keberadaan Laboratorium
dan Perpustakaan Sekolah.

Laboratorium ada tetapi terbatas, peralatan dan

bahan tidak lengkap, sementara di dalam perpustakaan yang ada hanyalah buku
yang digunakan guru dalam proses pembelajaran. Tidak ada pilihan buku yang
ditawarkan kepada siswa yang dapat digunakan sebagai sumber belajar.
Kebijakan Pemerintah tentang pengadaan buku cenderung mengarahkan
sekolah untuk memiliki buku seragam, tanpa variasi yang memadai.

E. FAKTOR KEBIJAKAN PEMERINTAH
1.

Payung Hukum
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan
mutu pendidikan di Indonesia, mulai dari upaya pengubahan kurikulum
(sekarang berlaku KTSP), peningkatan guru (penataran, seminar,
pelatihan), manajemen sekolah, melengkapi media, laboratorium (sarana,
prasarana), hingga ke penerbitan payung hukum dalam peningkatan mutu
pendidikan dengan dikeluarkannya UU No 14 tentang Guru dan Dosen,
serta Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.

Dalam UU no 14 Tahun 2005, guru dianggap sebagai

tenaga profesional yang memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Di antara 4
kompetensi tersebut, terdapat 2 kompetensi yang terkait langsung dengan
tugas guru yaitu kompetesi pedagogik dan profesional.
Peraturan dan undang-undang tentang pendidikan memuat normanorma

baku, dan pelaksanaan memiliki faktanya tersendiri. Misalnya

berdasar Peraturan Pemerintah RI No 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, pasal 19 menyatakan:
(1) Proses Pemebelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan
secara interaktif, menyenangkan, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan
fisik serta psikologis peserta didik;
(2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam proses
pembelajaran pendidik memberikan keteladanan;
(3) Setiap

satuan

pendidikan

melakukan

perencanaan

pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran,
pembelajaran,

dan

pengawasan

proses

proses

penilaian hasil

pembelajaran

untuk

terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
Untuk

menyukseskan

upaya

peningkatan

mutu

pendidikan

tersebut, Pemerintah (KEMENDIKNAS) melakukan kerjasama dengan
berbagai negara misalnya dengan Australia, Amerika, Jepang, Jerman,
dsb.

Namun kerjasama tersebut umumnya kurang berarti dalam

meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Hasil-hasil survai
menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah.
Biasanya, para guru bersemangat ketika “proyek” berlangsung, namun
mereka akan kembali ke kebiasaan aslinya ketika “proyek” itu usai.
Untuk mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) Pemerintah telah melakukan penataran, pelatihan serta upayaupaya lain misalnya memberikan block grant dsb. Dengan kata lain, apa
yang dilakukan Pemerintah pada tataran ini sudah cukup memadai.
Mengingat payung hukum sudah baik, pelatihan, penataran sudah
dilaksanakan, maka seharusnya kualitas pendidikan berangsur membaik
pula. Namun kenyataan menunjukkan lain. Kualitas pendidikan kita
(termasuk pendidikan bidang MIPA) tetap rendah. Mengapa?
2.

Ujian Nasional Membelenggu Guru
Faktor Kebijakan Pemerintah yang cukup mengganggu proses
pembelajaran adalah Ujian Nasional (UN). Menjelang UN, semua
perhatian sekolah tertuju pada persiapan menghadapi UN. Para guru
yang biasanya aktif di MGMP menjadi tidak aktif.

Mereka sibuk

mengadakan dril dan latihan menyelesaikan soal untuk para siswanya.
Para kepala sekolah diperintahkan oleh DIKNAS agar serius melakukan
persiapan

dengan

melakukan

dril,

sebab

kelulusan

dalam

UN

menunjukkan kualitas sekolah. Para Walikota/Bupati juga sering
menghimbau (menginstruksikan) para KaDIKNAS untuk melakukan
persiapan menjelang UN.

Seringkali para Bupati/Walikota/KaDinas

dalam pidatonya menyinggung kelulusan siswa dalam UN, karena jika
semua siswa di suatu daerah lulus UN, maka daerah tersebut dikatakan
sebagai daerah yang pendidikannya berhasil. Peringkat kelulusan juga
menjadi kebanggaan tersendiri. Karena itu, UN tidak lagi menjadi
prestasi pendidikan melainkan menjadi prestise daerah.
Itulah sebabnya mengapa dalam menghadapi UN terjadi berbagai
tindakan yang mencoreng dunia pendidikan itu sendiri. Guru, Kepala
sekolah, melakukan kecurangan agar siswanya lulus UN demi
meningkatkan prestise daerah. Kalau tidak, DIKNAS dan Kepala Daerah
akan marah.
Menyimak dari upaya yang dilakukan sebelum UN, yakni
melakukan dril dan latihan penyelesaian soal, kita cukup prihatin karena
dril dan latihan soal

bukanlah upaya pembelajaran siswa. Dril dan

latihan mengerjakan soal bukanlah pendidikan. Tidak heran jika setelah
seminggu mengikuti UN,
terlupakan.

semua yang dihafalkan siswa hilang

Siswa hanya disuruh menghafal fakta-fakta dalam ilmu

melalui dril, padahal kemampuan seseorang menghafal ada batasnya.
Menghafal tidak dapat bertahan lama.
Ironisnya lagi, soal-soal dalam UN yang hanya berupa soal kognitif
tidak banyak mengungkap apa saja yang dilakukan siswa ketika belajar
di laboratorium dan menggunakan media. Di kelas para guru melatih
siswa melakukan pengamatan, menganalisis, merumuskan hipotesis,
melakukan eksperimen, tetapi soal-soal UN tidak pernah mempermasa-

lahkannya. Mungkin guru biologi pernah mengajak siswa ke kebun atau
sungai, guru kimia melakukan eksperimen dengan tabung-tabung
reaksinya, guru fisika mengajak siswa membuat percobaan dengan
menggunakan

arus

listrik,

tetapi

soal-soal

UN

tidak

pernah

mempermasalahkan kegiatan siswa tersebut. Akibatnya para guru
enggan untuk melatih siswa berkegiatan. Untuk apa ke sungai sampai
digigit lintah kalau soal UN tidak pernah beranjak dari hafalan di buku?
Begitulah kira-kira apa yang ada di benak guru. Akhirnya guru kembali
ke pola lama: berceramah, menyajikan semua materi yang banyak agar
target tercapai dan melakukan drill untuk para siswanya.
Dari uraian ini nampak bahwa UN memberikan andil yang tidak
sedikit kepada guru dan menentukan keputusan guru dalam proses
pembelajarannya. Segala teori belajar, pendekatan, metode, dan model
pembelajaran yang dilatihkan ke guru dianggap menghambat guru dalam
menyelesaikan target sesuai dengan tuntutan UN. Ceramah dan dril
adalah metode yang dianggap guru paling cocok dan mudah untuk itu.
Jika demikian maka UN yang seharusnya dapat meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia (sebagaimana harapan Zakaria, T Ramli dari
Balitbang, DEPDIKNAS Jakarta), tidak akan pernah tercapai, melainkan
justru menurunkan mutu pendidikan itu sendiri.
Memang ada yang berpendapat bahwa UN mendorong siswa
belajar lebih giat, guru mengajar lebih baik, kepala sekolah memperbaiki
mutu sekolah, dan orang tua lebih memperhatikan anak belajar (Hasil

Seminar PPS Psikologi UI), tetapi yang perlu dikritisi adalah dengan
adanya UN pendidikan di sekolah hanya bermuara pada tingkat
kelulusan, pada nilai UN, bukan pada seberapa bermakna materi
pelajaran itu bagi kehidupan dirinya, masyarakat dan lingkungannya. Di
dukung oleh media informasi, masyarakat kita masih memandang bahwa
hasil UN menjadi penentu kualitas pendidikan, meskipun menurut Pasal
72 PP No 19 tahun 2005, UN bukan satu-satunya penentu kelulusan.
Kebiasaan mengejar nilai hasil tes terbawa hingga ke perguruan tinggi,
sehingga mahasiswa hanya mengejar IP tinggi, lalu bekerja, dan tidak
berbuat apa-apa untuk kemajuan bangsanya. Berapa banyak sarjana
MIPA yang kita miliki, namun kenapa permasalahan yang berkaitan
dengan ke-MIPA-an di masyarakat tidak tertangani?.
Sekiranya UN masih dipertahankan agar terjadi pemerataan mutu
pendidikan

dan

Pemerintah

dapat

mendiagnosis

secara

tepat

permasalahan pendidikan di sekolah, maka: 1) UN diberikan tidak
terbatas di kelas 3, melainkan juga di kelas 2 dan kelas 1. 2) Hasil UN
tidak untuk kenaikan kelas/kelulusan, melainkan untuk mendiagnosis
permasalahan pembelajaran di sekolah; 3). Soal-soal UN tidak hanya
terbatas pada prinsip-prinsip yang tertera di buku pelajaran melainkan
juga mempermasalahkan kegiatan siswa di laboratorium/di luar kelas.
Jika hal ini dilakukan, maka perlu adanya perubahan rumusan dalam
pasal 68 PP 19 Tahun 2005 itu.

3. Sertifikasi Guru, Sebuah Dilemma
Kebijakan Pemerintah tentang sertifikasi guru dan dosen, pada
dasarnya memiliki niatan yang luhur. Guru profesional, yang memiliki 4
kompetensi, perlu dihargai, diberi sertifikat dengan imbalan gaji yang
memadai. Namun sayangnya, implementasi dari UU 14/2005 tentang
Guru

dan

Dosen

itu

terkesan

ada

unsur

“balas

budi”,

“bergiliran” dan mengaburkan upaya untuk mencari bibit
unggul berupa guru profesional yang tanpa dibatasi usia,
pangkat dan senioritas.
Sertifikat

sudah

dibagikan

dan

sebagian

gaji

sudah

dibayarkan. Apakah ada kemajuan proses pembelajaran antara
sebelum dan setelah sertifikasi? Mana yang lebih profesional,
guru yang disertifikasi melalui portofolio ataukah melalui PLPG?
Mengingat uang gaji yang disampaikan ke guru tersertifikasi
adalah uang dari rakyat, apakah rakyat berhak untuk melihat
proses

pembelajaran

oleh

guru

profesional

tersertifikasi

tersebut?

F. BENARKAH MINAT SISWA PADA BIDANG MIPA RENDAH?
Bagaimana minat siswa pada bidang MIPA di Indonesia, apakah rendah,
sedang atau tinggi? Jika indikator banyaknya calon mahasiswa yang mendaftar
MIPA yang dijadikan ukuran, maka beberapa tahun terakhir minat siswa menjadi
guru MIPA dengan memasuki FMIPA UM (juga di FMIPA LPTK lain) cukup

tinggi.

Pada tahun 2008- 2010 minat

masuk FMIPA selalu meningkat.

Perhatikan Tabel berikut (Berdasar Data Kabag. Pendidikan dan Kerjasama
Universitas negeri Malang, 2010)
TABEL 1: Minat Siswa terhadap FMIPA UM 2008-2010
2007/2008
No
1
2
3
4
5
6
7
8

Prog Study
P. Matematika
Matematika
P. Fisika
Fisika
P. Kimia
Kimia
P. Biologi
Biologi
FMIPA

Pminat
1922
504
885
270
1027
413
1285
427
6733

Ditrima
188
123
176
154
187
176
163
165
1332

2008/2009
Pminat
2760
524
1380
275
2051
521
1963
457
9931

Ditrima
163
131
124
142
146
114
141
147
1108

2009/2010
Pminat
3049
673
1967
283
2398
602
2500
529
12001

Dtrima
171
109
160
95
125
88
129
117
994

Peningkatan minat tersebut di duga ada kaitannya dengan gaji guru yang
meningkat. Dulu, ketika gaji guru rendah, minat masuk MIPA (juga masuk
Fakultas lain di LPTK) rendah. Sekarang setelah gaji guru meningkat, maka
minat masuk FMIPA juga meningkat. Dengan demikian ketertarikan pada bidang
MIPA berkaitan dengan ”imbalan yang akan diterima’ di masa depannya.
Selain FMIPA Negeri, yang menjadi sasaran masuk ke FMIPA setelah
tidak diterima di negeri adalah LPTK Swasta.

LPTK Swasta “berlomba”

menerima mahasiswa MIPA untuk dididik menjadi calon guru. Jika FMIPA LPTK
Swasta tersebut memenuhi persyaratan (tenaga dosen, lab, penguasaan
pembelajaran, ruangan dst) yang memadai, maka kualitas lulusannya akan
menjadi baik dan dapat memotivasi para siswa untuk lebih meningkatkan minat

mereka pada bidang MIPA. Sebaliknya, jika LPTK Swasta tersebut hanya
bertujuan untuk mendapatkan mahasiswa yang banyak (jumlah kelas besar,
jumlah mahasiswa perkelas besar, tenaga dan fasilitas tidak memadai walaupun
telah terakreditasi), maka akan menjadi bumerang bagi dunia pendidikan kita
sebagaimana yang kita rasakan saat ini. Dunia pendidikan kita tidak pernah maju
dan bahkan akan mengalami kemunduran, karena populasi lulusan LPTK
swasta yang tidak bermutu lebih besar daripada populasi guru LPTK bermutu.
Jika mutu guru masih diragukan, maka mutu pendidikan akan tetap rendah dan
kualitas hasil pendidikan MIPA tetap rendah. Bagaimana bangsa ini akan dapat
meningkatkan IPTEK dan menyongsong masa depannya lebih baik?
Ironisnya, kita menerima semua lulusan LPTK untuk menjadi guru
berdasarkan IP, dengan asumsi IP yang tinggi lebih mumpuni daripada yang
IPnya rendah. Ujian yang berfungsi untuk mengetahui tingkat keprofesionalan
guru dalam proses pembelajaran tidak pernah diberikan.

Ujiannya cukup

kognitif. Sementara itu apabila guru yang diterima tidak bermutu, Pemerintah
kesulitan untuk mengeluarkannya. Di Jepang, guru yang tidak profesional dilatih
pada kurun waktu tertentu. Jika telah dilakukan 3 X pelatihan yang bersangkutan
tetap tidak bermutu, maka dikeluarkan.
Apakah para guru itu rajin masuk ke sekolah? Berdasarkan survei yang
dilakukan untuk Laporan Pembangunan Dunia 2004, 20 persen tenaga pengajar
Indonesia tidak masuk sekolah pada saat dilakukan pengecekan di sekolahsekolah yang terpilih secara random. Jadi, terdapat 20 persen dari dana yang
digunakan untuk membiayai tenaga pengajar tidak memberikan manfaat secara

langsung kepada murid, karena ternyata tenaga pengajar tersebut tidak berada
di kelas.
Permasalahan

guru

semakin

rumit

jika

dilihat

distribusinya

dan

kesesuaian antara bidang yang diampu dengan latar belakang pendidikannya.
Di satu sekolah/daerah terdapat kekurangan guru bidang studi tertentu
sementara di tempat lain berlebihan.

Saat ini di daerah Jawa Timur yang

tergolong daerah “maju” masih terdapat guru yang mengajar bidang MIPA yang
tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Belum lagi masalah
banyaknya jam mengajar, mengajar di lebih dari satu sekolah, dsb. Semuanya
sangat berpengaruh pada pola proses pembelajaran guru di kelas.

G. SERTIFIKASI MENINGKATKAN KEPROFESIONALAN GURU?
Guru menempati posisi penting dalam pendidikan dan memberikan
kontribusi yang tinggi untuk peningkatan hasil belajar siswa. Hasil studi yang
dilakukan oleh Heyneman & Loxley (1983) di 29 negara menunjukkan bahwa
guru memiliki peranan penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran.
Perhatikan Tabel berikut:

Tabel : Kontribusi Guru, Manajemen, Waktu Belajar dan Sarana Fisik terhadap
Prestasi Belajar Siswa
JENIS
NEGARA
16 NEGARA

GURU

MANAJEMEN

WAKTU
BELAJAR

SARANA
FISIK

INDUSTRI
16 NEGARA
SEDANG
BERKEMBANG

36%

23%

22%

19%

34%

22%

18%

26%

Jalal, Fasli (2007) mengungkapkan bahwa pendidikan yang bermutu
sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu,

yakni guru yang

profesional, sejahtera dan bermartabat. Karena itu sangat tepat jika Pemerintah
berupaya

untuk

meningkatkan

keprofesionalan

guru,

dengan

tidak

mengesampingkan faktor-faktor lainnya. Salah satu upaya untuk meningkatkan
keprofesionalan guru adalah melalui sertifikasi guru. Adapun tujuan sertifikasi
guru adalah:
a. Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen
pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional
b. Meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan
c. Meningkatkann martabat guru, dan
d. Meningkatkan profesionalitas guru
Adapun manfaat sertifikasi guru adalah:
a. melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten yang
dapat merusak citra profesi guru
b. Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak bermutu
dan tidak profesional
c. Meningkatkan kesejahteraan guru

Pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan dapat dilakukan melalui dua
cara yaitu (1) penilaian portofolio guru dan (2) Jalur pendidikan.
(1)

Penilaian portofolio dilakukan terhadap kumpulan dokumen yang
mencerminkan kompetensi guru yang meliputi berbagai aspek. Hanya
saja, penilaian portofolio ini mengandung sisi kelemahan dan para guru
yang mengejar gaji menyiasati portofolio dengan berbagai cara yang
bertentangan dengan prinsip pendidikan. Guru yang belum lulus
sertifikasi melalui jalur portofolio diwajibkan mengikuti Pendidikan dan
Latihan Profesi Guru (PLPG).

(2)

Jalur Program Pendidikan Guru (PPG) saat ini baru akan diawali dengan
pelaksanaan PPG di beberapa LPTK yang mengadakan kerjasama
untuk

mendidik

para

mahasiswa

lulusan

Basic

Science.

PPG

dilaksanakan selama 2 semester (bagi lulusan LPTK) atau 3 semester
(bagi lulusan non LPTK) dengan sebagian besar waktunya digunakan
untuk workshop dan latihan di sekolah. Kegiatan ini masih terlalu dini
untuk dinilai. Jika PPG dilaksanakan secara konsekuen seperti
peraturan yang ada, maka hasilnya adalah guru-guru profesional yang
siap meningkatkan kualitas pendidikan di masa yang akan datang. Jika
yang ditunjuk melaksanakan PPG (entah karena alasan apapun) adalah
LPTK yang “tidak bermutu”, maka hasilnya akan tetap terjerembab
dalam kubangan rendahnya kualitas calon guru seperti selama ini.
Tidak semua guru yang ada di sekolah saat ini dihasilkan oleh
LPTK berkualitas. Padahal populasi guru yang belum profesional ini

lebih besar dibandingkan dengan guru profesional alumni LPTK
berkualitas. LPTK yang kurang berkualitas itu (tidak mumpuni untuk
menghasilkan guru profesional) begitu mudahnya merekrut mahasiswa
baru (yang gagal memasuki LPTK bermutu) walau dosen, sarana,
prasarana, dan profesionalitasnya tidak dimiliki. Ada Perguruan Tinggi
yang menerima 12 kelas (12 kelas dalam satu jurusan dalam bidang
MIPA) walau hanya memiliki beberapa dosen dan mempercayakan
kuliahnya dibina oleh mahasiswa senior. Pada waktu kegiatan kuliah
para mahasiswa sepi namun terasa ramai dan semarak ketika wisuda
berlangsung. Kapan mereka kuliah? Di mana mereka praktek? Apakah
mereka siap menjadi guru profesional?

F. LESSON STUDY MENINGKATKAN KEPROFESIONALAN GURU
Berbagai uraian di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa:
1.

Dalam segi UU, Peraturan, serta hal-hal yang bersifat normatif
kita telah mampu menyusunnya dengan baik. Kita memang ahli dalam
mendeskripsikan hal-hal yang bersifat filosofis dan normatif, namun jauh dari
realita yang sesungguhnya terjadi.

2.

Upaya untuk melakukan sosialisasi kebijakan telah cukup,
namun biasanya tidak diikuti bagaimana memantau dan mengevaluasi suatu
kebijakan, serta bagaiamana upaya pemecahan masalah yang muncul dapat
dirumuskan;

3.

Semua pihak menyadari bahwa mutu pendidikan kita rendah,
akan tetapi solusi untuk mengatasinya belum diikuti oleh kebijakan yang
mengacu kepada aspek pendidikan. Aspek lain misalnya politik, ekonomi, ikut
berperan serta

4.

Salah satu contoh mengenai peningkatan keprofesionalan
guru seringkali dijawab dengan kebijakan pelatihan dan penataran, tanpa
diikuti upaya monitoring dan evaluasi. Para guru hanya diberi prinsip-prinsip
atau teori, tetapi tidak dibimbing bagaimana menerapkan teori dan prinsip
tersebut ke dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari. Para pejabat asyik
berkelakar tentang peraturan dan undang-undang, sementara para pakar
kekurangan waktu untuk menyajikan materi yang diperlukan guru.

5.

Para guru yang ditatar dan dilatih tidak menerapkan
pengetahuannya setelah mereka kembali ke sekolah. Mereka terjebak ke
dalam pola pembelajaran lama yang berpusat kepada guru, bukan berpusat
kepada siswa.

Hal-hal pokok seperti teori pembelajaran, model-model

pembelajaran, pendekatan pembelajaran, penggunaan media, sumber belajar
serta asesmen dan evaluasi pembelajaran hanya merupakan pengetahuan
yang berhenti sebagai sesuatu yang diketahui, tetapi sulit untuk diterapkan di
kelas.
6.

Para guru mengalami kesulitan dalam menyusun silabus,
RPP, LKS, dan bagaimana menerapkannya dalam proses pembelajaran.
Sejak tahun 2004, FMIPA UM telah melaksanakan program Lesson

Study bekerjasama dengan JICA, atas kerjasama antara Pemerintah dengan

Jepang. Sejak tahun 2006, Program Lesson Study dilaksanakan di Pasuruan
(Jatim), Bantul DIY dan Sumedang (Jabar) atas bimbingan teknis dari JICA.
Melalui Lesson Study, guru berkolaborasi dengan guru, dibimbing oleh dosen
pendamping bagaimana menyusun RPP, LKS yang efektif dan membelajarkan
siswa. Hasilnya, yakni RPP dan LKS tersebut, diimplementasikan ke dalam
proses pembelajaran di kelas dengan menunjuk salah seorang sebagai guru
model dan guru lain bertindak selaku observer.

Guru membelajarkan siswa

berpedoman kepada RPP yang telah disusun bersama. Observer tidak
mengamati guru, melainkan mengamati siswa. Apakah siswa benar-benar
belajar. Apakah semua siswa bisa (bukan sebagaian besar siswa). Observer
akan mencatat temuannya. Setelah proses pembelajaran berlangsung, para guru
segera melakukan diskusi refleksi. Mereka mengungkapkan temuannya secara
obyektif. Siswa mana yang belajar dan mana yang tidak. Mengapa hal itu terjadi,
mengapa siswa tidak mampu memahami, dan bagaimana cara mengatasinya.
Semua observer mengungkapkan temuannya dan jalan keluar yang disarankan
akan dipergunakan untuk merevisi RPP. RPP hasil revisi dapat diterapkan untuk
proses pembelajaran di kelas lain. Demikian seterusnya
Lesson Study dapat dibedakan menjadi 3 tahapan utama yaitu tahap
perencanaan (plan), yaitu diskusi untuk merumuskan skenario pembelajaran,
yang menghasilkan RPP dan LKDS; tahapan pelaksanaan (do) yakni menunjuk
seorang guru untuk menjadi guru model sementara yang lainnya menjadi
pengamat; tahap ketiga adalah diskusi refleksi (see), yang merupakan diskusi
untuk mencari solusi dan menemukan jalan keluar pemecahan masalah

pembelajaran untuk dijadikan bahan revisi.

Demikian seterusnya siklus ini

berulang berkali-kali, karena setiap pembelajaran itu khas, kondisi tidak sama,
dan tidak ada proses pembelajaran yang sempurna.
Melalui Lesson Study para guru dapat menggunakan metode apapun,
pendekatan belajar manapun, dan boleh menggunakan media buatan sendiri,
semuanya harus bermuara pada jawaban pertanyaan: Apakah siswa belajar
dengan mudah? Apakah semua siswa bisa? Apakah antar siswa terjadi proses
saling belajar?

Apakah siswa bergairah dan senang selama pembelajaran?

Apakah tujuan pembelajaran tercapai?
Berdasarkan penelitian selama Lesson Study, para guru akhirnya: mampu
menyusun RPP dan LKS yang kreatif dan membelajarkan, kolegalitas antar guru
terbentuk dan mereka saling membelajarkan,
pihak manapun,

guru model tidak takut diamati

guru tidak sakit hati tetapi justru senang mendapatkan

masukan, para guru tidak saling menjelekkan tetapi muncul solusi konstruktif,
guru lebih memperhatikan hak setiap siswa belajar,

siswa merasa senang,

siswa senang mengemukakan pendapat dan kreatif, siswa saling belajar, dan
prestasi siswa akhirnya meningkat.

Para siswa akhirnya menyenangi

matapelajaran abstrak yang selalu dianggap sulit yakni matematika. Demikian
juga halnya siswa akhirnya menyenangi fisika, kimia dan biologi karena mereka
tertantang untuk kreatif dalam suasana menyenangkan.
Lesson Study bukanlah suatu metode, tetapi suatu wahana tempat guru
belajar melalui media proses pembelajarannya sendiri. Obyek pengkajiannya
adalah kelas nyata, dan jalan keluar yang ditawarkannya adalah jalan keluar

yang praktis. Melalui Lesson Study guru dapat menggunakan pendekatan
apapun, metode dan media manapun, asalkan menimbulkan minat belajar
dengan maksud untuk tercapainya tujuan belajar.
Merujuk pada judul makalah ini: Bagaimana meningkatkan kompetensi
guru untuk meningkatkan minat siswa pada MIPA, jawabannya adalah dengan
menyelenggarakan Lesson Study. Lesson Study dilaksakan apabila terdapat
komitmen dari para guru, kepala sekolah, pengawas dan DIKNAS. Lesson Study
tidak dapat hanya dilaksanakan satu dua kali, melainkan harus terus menerus
sepanjang hayat. Wadah MGMP dapat dijadikan wahana untuk pelaksanaan
Lesson Study. Tidak harus setiap mengajar melaksanakan Lesson Study dalam
arti kegiatan pembelajaran dilaksanakan untuk diamati guru lain. Seorang guru
cukup sekali dalam satu semester melaksanakan open lesson, yang diamati
guru-guru lain (boleh mengundang orang tua siswa, stake holder, organisasi
sosial, dst sebagai peninjau). Setelah itu mereka melaksanakan sendiri proses
pembelajaran di kelas berdasar temuan-temuan dan saran-saran dalam open
lesson. Jika semua guru di sekolah melaksanakannya, maka di sekolah telah
terbentuk Learning Community (masyarakat belajar), yakni saling belajar
membelajarkan antara guru-guru, guru-siswa, siswa-guru, sekolah-masyarakat.
Agar segala proses dapat berlangsung dengan baik dan dapat terus
ditingkatkan secara berkelanjutan, maka perlu dibentuk Tim Monitoring dan
Evaluasi yang akan melakukan pengukuran dan evaluasi sejak program belum
dilaksanakan, selama program berjalan dan program mencapai akhir periode
tertentu. Melalui Lesson Study, para guru diajak berfikir ilmiah,

melakukan

pengkajian terhadap proses pembelajaran di kelas nyata, menyampaikan saransaran perbaikan, dan menyusun laporan baik dalam bentuk karya ilmiah maupun
hasil penelitiannya selama berLesson Study.

Sejumlah isu yang dipaparkan diatas menunjukkan perlunya suatu agenda
reformasi yang didorong oleh keinginan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan dasar di Indonesia. Agenda ini harus didasari pada peningkatan
kapasitas manajemen dan akuntabilitas disetiap tingkat pemerintahan,
pemberdayaan sekolah dalam membuat perencanaan dan melaksanakan
strategi mereka sendiri untuk meningkatkan kualitas pendidikan, mengurangi
ketimpangan sumber daya fskal daerah dalam pendidikan, menciptakan
mekanisme pertukaran dan penggunaan informasi dalam suatu sistem yang
menyeluruh, membangun kemampuan pengajaran yang lebih baik dan
memperjelas kembali struktur kelembagaan pusat untuk menyesuaikan
amanat baru dari rakyat. Sekarang merupakan waktu yang tepat untuk
melaksanakan agenda perubahan ini dengan segara: dimana pemerintahan
baru berada dibawah kepemimpinan baru telah memperoleh mandat amat
besar dari rakyat Indonesia.