PENDIDIKAN RAMAH ANAK DAN PEREMPUAN Rev

PENDIDIKAN RAMAH ANAK DAN PEREMPUAN:
Beberapa Catatan Kebijakan1
Nanang Martono2

Pendahuluan
Nasib perempuan dan anak hampir selalu menghiasi pemberitaan di media massa. Keduanya

hampir selalu berdampingan, seolah “perempuan” dan “anak” adalah dua konsep yang
menyatu: di mana ada anak, di situ ada perempuan. Di sisi lain, kita hampir tidak pernah

menemukan penyatuan konsep “laki-laki” dan “anak”. Argumen yang dikemukakan adalah

karena perempuan dan anak hampir selalu menjadi korban ketidakadilan sistem sosial yang

sangat patriarki, alias “berpihak pada laki-laki”. Untuk itu, saya melihat bahwa penyatuan dua

konsep tersebut mengalami “bias gender” karena tidak berupaya menganalisis masalah “lakilaki” yang sebenarnya juga berpotensi menjadi korban ketidakadilan gender. Hampir tidak
ada wacana yang mencoba membebaskan laki-laki dari ketidakadilan sistem sosial yang selalu

memosisikan perempuan sebagai pusat analisis dalam wacana akademik. Selain itu,


penyatuan perempuan dan anak juga mengalami bias gender karena masalah anak seolah
masih menjadi tanggung jawab perempuan.

Namun dalam tulisan ini, saya tidak ingin memperpanjang perbedaan pandangan mengenai

“perempuan” dan “anak”; dan “mengapa harus perempuan?” Saya akan menggambarkan
beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam perumusan kebijakan terkait “posisi

perempuan” dan sistem sosial yang tidak adil tersebut (?) serta upaya perlindungan anak agar
dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan sosial yang “ramah anak”.

Perempuan dan anak dalam “perspektif korban” menjadi pusat perhatian banyak pihak.

Korban yang dipahami masyarakat awam lebih banyak mengacu pada makna “korban
kekerasan atau kejahatan” dan korban dalam makna ekonomi ketika ada pembedaan akses

perempuan dalam beberapa sumber daya ekonomi serta fasilitas publik. Meskipun jumlah

1 Disampaikan dalam Seminar Nasional “Anak, Perempuan, dan Perubahan Sosial”, Senin 21 November 2016 di
FISIP Unsoed.

2 Staf pengajar sosiologi pendidikan FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto; penulis buku
“Kekerasan Simbolik di Sekolah”; “Dunia Lebih Indah Tanpa Sekolah”; “Sekolah Bukan Penjara”; dan “Sekolah Publik vs
Sekolah Privat”. Email: nanang_martono@yahoo.co.id

perempuan mendominasi populasi dunia, namun sebagian besar dari mereka justru tidak
memiliki kekuatan untuk “menguasai dunia”. Namun dalam tulisan ini, saya memaknainya
dalam cakupan yang lebih luas untuk memahami “perempuan dan anak sebagai korban”,
bukan semata sebagai korban kekerasan secara fisik (kasat mata).

Secara sosiologis, lembaga pendidikan memiliki peran strategis untuk mengurangi atau
mencegah peningkatan jumlah perempuan dan anak sebagai korban ketidakadilan sosial.
Sementara, keluarga sebagai salah satu lembaga pendidikan primer sering kali justru menjadi

tempat terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Fenomena ini kemudian

memotivasi pemerintah menyusuan UU KDRT pada 2002 yang lalu. Sementara, kejadian

serupa juga sering terjadi di lingkungan sekolah dalam beberapa waktu terakhir. Keduanya
masih menjadi korban dalam relasinya dengan laki-laki, sebagai anggota keluarga, guru,
teman, pacar, dan relasi lainnya.


Melalui tulisan ini saya ingin memaparkan beberapa fenomena yang menunjukkan bagaimana
lembaga pendidikan (terutama sekolah) telah menjadi ruang yang tidak ramah bagi

perempuan dan anak. Lembaga yang seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan, justru
menjadi tempat “yang menakutkan” dan tidak berpihak pada mereka. Ini dapat menjadi
catatan dalam penyusunan kebijakan masalah perempuan dan anak.
Perempuan dalam pendidikan

Di pagi hari, jutaan perempuan yang berperan sebagai “ibu” dan “istri” harus berjibaku
dengan urusan dapur. Sebagian dari mereka bahkan harus bangun saat sepertiga malam
terakhir. Mereka “berkewajiban” menyiapkan berbagai “ubo rampe” yang diperlukan
suami dan anaknya untuk segera beraktivitas sejak pagi hingga sore hari. Dini hari
mereka harus bergelut dengan bahan masakan, bumbu, kompor, dan masalah
“perdapuran” untuk sekedar menyiapkan sarapan pagi yang bergizi sehingga suami dan
anak-anak mereka dapat berangkat ke tempat aktivitas dalam kondisi perut kenyang.
Dalam waktu terbatas, para perempuan harus menyelesaikan banyak “tugas”.
Itulah gambaran aktivitas perempuan yang tidak tertangkap kebijakan pendidikan nasional.

Jadi, menurut saya sederhana saja, bila ingin mewujudkan pendidikan ramah perempuan

(sebagai ibu), pemerintah cukup mengubah jam masuk sekolah, bukan pukul tujuh pagi,

melainkan pukul 7.30 atau 8 pagi. Kita tidak dapat membayangkan mana kala sang
perempuan tersebut ternyata bukan hanya berperan sebagai ibu, melainkan juga sebagai

pekerja. Bayangkan, bila mereka juga berprofesi sebagai guru (dan pekerjaan lainnya).
2

Mereka harus “berebut berangkat ke sekolah bersama putra putrinya” agar berhasil mencapai

gerbang sekolah sebelum pukul tujuh pagi. Kita dapat melihat betapa sibuknya para
perempuan membersihkan rumah setiap pagi sembari menyiapkan sarapan pagi. Beruntung
bagi mereka yang memiliki ART (asisten rumah tangga).

Sebagian lainnya bahkan “berkewajiban” mengantar dan menjemput anak tatkala suaminya
bergelut mencari nafkah. Mereka harus bergelut dengan riuhnya suasana lalu lintas di pagi
hari. Pemandangan di Purwokerto, beberapa ibu harus mengantar tiga anaknya sekaligus

menggunakan sepeda motor. Ini adalah pemandangan yang sangat menakjubkan yang saya


yakin juga dapat ditemui di kota lainnya. Mereka bukan sedang bermain akrobat, melainkan
sedang menunjukkan aksi sebagai “korban” sistem pendidikan yang tidak berpihak pada
perempuan dan rakyat kecil.

Gambaran tersebut hanya awalan saja. Selanjutnya, untuk mengurai masalah pendidikan
ramah perempuan dan anak, saya mencoba memilah dua konsep tersebut. Pertama, saya

mengurai masalah perempuan dalam sistem pendidikan nasional, dan kedua saya mencoba
menggambarkan masalah anak dalam pendidikan. Pendidikan dalam tulisan ini mengacu pada
pendidikan dalam lingkup tripusat pendidikan: keluarga, sekolah, dan masyarakat; dan kedua
konsep tersebut sesekali saya satukan dalam konsep “pendidikan ramah anak perempuan”.

Pendidikan di sekolah merupakan sebuah isu signifikan bagi perempuan di masa sekarang
karena mereka terlibat dalam berbagai tingkatan dan aneka ragam lingkungan (Martono,
2010). Mulai dari pendidikan prasekolah dan taman kanak-kanak, hingga sekolah menengah,

dan perguruan tinggi, perempuan telah bergerak melalui struktur yang sama seperti siswa

laki-laki. Dalam setiap situasi pendidikan tersebut keduanya (laki-laki dan perempuan) samasama terbuka untuk mengakses serta menanggapi buku-buku kelas, bahan-bahan belajar, dan


sikap serta perlakuan guru yang dapat memengaruhi penilaian mengenai diri mereka sendiri
dan masyarakat.

Menurut Durkheim (1960), sekolah memunyai tugas dan fungsi menanamkan nilai-nilai yang
bermanfaat untuk mempertahankan sistem sosial. Sekolah adalah representasi (miniatur)
masyarakat, sehingga norma-norma yang berlaku di masyarakat juga ditanamkan di sekolah
melalui proses sosialisasi. Sebagaimana diketahui, di dalam masyarakat perempuan seringkali

diposisikan sebagai “orang kedua” dalam struktur hubungan antara laki-laki dan perempuan.
3

Perempuan diharuskan selalu tampil cantik, lemah lembut, halus, sedangkan laki-laki

diposisikan sebagai “makhluk” yang kuat sehingga harus mampu melindungi perempuan.
Laki-laki harus melindungi perempuan, sementara perempuan harus melayani laki-laki.

Secara kuantitatif, bila kita membicarakan masalah kesempatan belajar, perempuan telah

mampu memanfaatkan kesempatan yang diberikan untuk mengakses pendidikan formal. Data


BPS (Tabel 1) menunjukkan bahwa APS (Angka Partisipasi Sekolah) perempuan dalam tiga
tahun terakhir relatif lebih tinggi daripada laki-laki. Kecenderungan ini mewarnai APS untuk

jenjang SD sampai SMA dan sederajat. Tingginya APS perempuan ini tentu ditopang kesadaran
serta cara pandang orang tua mengenai arti penting pendidikan, sehingga mereka termotivasi

menyekolahkan putrinya sampai jenjang yang lebih tinggi. Kecenderungan ini juga didukung
kebijakan sekolah gratis melalui BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang dapat diakses
sampai jenjang SMA.

Tabel 1 Perbandingan Angka Partisipasi Sekolah3 laki-laki dan perempuan
Wilayah

Perkotaan
Perdesaan
Perkotaan+
Perdesaan

Jenis Kelamin


7-12 th

13-15 th

16-18 th

2013

2014

2015

2013

2014

2015

2013


2014

2015

Laki-laki

98.84

99.27

98.89

92.46

95.77

95.58

68.25


74.03

73.98

Laki-laki + Perempuan

98.98

99.31

99.00

93.15

96.37

95.92

68.94


74.68

75.70

Perempuan

98.04

98.54

98.32

89.70

93.51

93.60

57.84

65.34

65.30

Perempuan
Laki-laki

99.13

97.51

99.35

98.26

99.10

98.04

93.87

87.05

97.00

91.52

96.28

91.87

69.64

58.29

75.34

65.24

77.50

63.94

Laki-laki + Perempuan

97.76

98.40

98.17

88.34

92.48

92.72

58.07

65.29

64.58

Perempuan

98.56

98.93

98.70

91.67

95.17

94.87

63.98

70.58

71.64

Laki-laki

Laki-laki + Perempuan

Sumber: BPS RI - Susenas, 2009-20154

98.13

98.34

98.74

98.83

98.45

98.57

89.62

90.62

93.51

94.32

93.65

94.25

63.32

63.64

69.70

70.13

68.99

70.26

Tabel 1 menunjukkan bahwa ketimpangan gender dalam kesempatan mengakses pendidikan

tidak lagi menjadi masalah krusial dalam pendidikan di Indonesia. Namun, ketika perempuan
berhasil memanfaatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki, apakah keberhasilan

tersebut mampu mengatasi berbagai masalah ”keperempuanan” dalam praktik pendidikan?
Tentu saja tidak semudah itu.

3 Angka Partisipasi Sekolah adalah proporsi anak sekolah pada usia jenjang pendidikan tertentu dalam
kelompok usia yang sesuai dengan jejang pendidikan tersebut.
4 Diunduh dari: https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1613

4

Dalam praktik persekolahan, perempuan masih diposisikan sebagai “kelompok kedua” di

bawah dominasi laki-laki. Akibatnya, mereka sering menjadi korban kekerasan (fisik) selama
menikmati

fasilitas

pendidikan

publik.

Berbagai

pemberitaan

di

media

massa

menggambarkan banyak perempuan menjadi korban kekerasan di sekolah: kekerasan fisik
maupun psikologis; pelakunya pun beragam: guru, karyawan sekolah, maupun siswa laki-

lakinya, bahkan penjaga sekolah juga turut andil memosisikan perempuan sebagai korban.

Dengan menggunakan terminologi kekuasaan Foucault (1961), di sini ada relasi kekuasaan
dalam hubungan atau interaksi antarwarga sekolah. Laki-laki dalam wujudnya sebagai guru

maupun siswa berposisi sebagai pemilik kekuasaan, sementara perempuan diposisikan
sebagai objek kekuasaan dalam relasi tersebut. Situasi ini tentu saja menyebabkan sekolah
menjadi tidak ramah dan nyaman bagi perempuan.

Akan tetapi, di sisi lain berbagai kajian menyebutkan bahwa meskipun perempuan sering
diposisikan sebagai “makhluk kelas kedua”, dalam hal prestasi akademik mereka ternyata
mampu menduduki posisi di atas laki-laki. Secara sosiologis, ini bukanlah terjadi secara tiba-

tiba atau kebetulan saja. Dalam relasi sosial di sekolah, perempuan “selalu dilindungi” dengan
diposisikan sebagai individu yang penurut, taat, rajin, tekun, dan lainnya. Sementara, laki-laki

berada di bawah stereotype “yang tidak menguntungkan”. Mereka diperlakukan berbeda

dengan perempuan dengan image sebagai individu yang tidak tertib, suka membolos, suka

membuat onar atau keributan di sekolah, dan sebagainya. Laki-laki gemar membolos adalah
biasa dan wajar; lalu bagaimana dengan citra perempuan yang suka membolos? Tentu

menjadi perilaku perempuan yang “luar biasa”. Dalam pencitraan ini, laki-laki sebenarnya
juga berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.

Bila kita kembali menggunakan analogi kekuasaan menurut Foucault, maka dalam gejala ini,

perempuan sebenarnya memiliki kekuasaan untuk “mengalahkan laki-laki”. Perempuan
memiliki kekuasaan melalui banyak karakter personal yang ternyata mampu memengaruhi

persepsi guru mengenai mereka. Guru memiliki persepsi bahwa siswa perempuan lebih

penurut daripada laki-laki, sehingga mereka selalu “diutamakan” dan “dipercaya” bahwa

mereka mampu berprestasi dan melakukan banyak tugas akademik lebih baik daripada lakilaki. Hasil pekerjaan mereka pun dinilai lebih teratur dan rapi.

Berbagai “strereotype negatif” mengenai laki-laki menyebabkan laki-laki menjadi tertinggal

dalam bidang akademik dibandingkan perempuan. Browne & Mitsos (1998) menjelaskan
5

bahwa terdapat bukti yang dapat menjelaskan bahwa perempuan memiliki tingkat prestasi

akademik yang lebih baik daripada laki-laki. Menurut mereka, perempuan lebih termotivasi

dan bekerja lebih rajin daripada laki-laki ketika mengerjakan pekerjaan sekolah. Motivasi dan
keterampilan organisasi yang lebih tinggi pada perempuan juga memberikan keuntungan

dalam pekerjaan yang turut diperhitungkan dalam ujian selanjutnya daripada kemampuan
perempuan pada masa lalu (EOC/OFSTED, 1996; Francis & Skelton, 2005).

Laki-laki lebih sering membuat keributan di kelas dan lebih suka membolos daripada
perempuan. Ini kemudian menyebabkan laki-laki banyak kehilangan waktu belajarnya di

kelas. Budaya maskulinitas mendorong laki-laki untuk berpenampilan macho dan keras.

Mereka kemudian lebih bersifat “antipendidikan” dan “antibelajar”. Bersekolah kemudian
dilihat sebagai kegiatan yang “tidak macho (unmacho)” (Francis & Skelton, 2005).

Kemunduran hasil pekerjaan laki-laki juga disebabkan rendahnya motivasi laki-laki ketika

mengerjakan pekerjaan di kelas. Hal ini berdampak rendahnya kepercayaan dan penghargaan
diri laki-laki dalam kelompoknya.

Kepercayaan diri perempuan yang lebih bagus daripada laki-laki dalam menyelesaikan

pekerjaan turut menyumbang prestasi pendidikannya. Browne & Mitsos (1998) mengatakan
bahwa secara sederhana, ketika laki-laki menyukai aktivitas fisik yang kasar (sepak bola,

permainan olahraga) mereka akan menarik diri dari aktivitas “perempuan”. Di lain pihak,

sementara perempuan lebih suka membaca atau berdiam diri. Perempuan lebih suka
mengembangkan keterampilan berbahasa daripada laki-laki. Kemudian, sejak sekolah

menjadi wahana mengembangkan pengalaman berbahasa, laki-laki mengalami kemunduran
karena pengalaman serta motivasi membaca mereka relatif rendah (Haralambos & Holborn,
2008).

Senada dengan pendapat tersebut, Giddens & Sutton (2013) dan Martin & Marsh (2005)
menyatakan bahwa perempuan seringkali lebih baik dalam melakukan organisasi serta
memiliki motivasi belajar lebih tinggi daripada laki-laki. Perempuan juga terlihat lebih
dewasa daripada laki-laki. Sebuah manifestasi dari hal ini adalah bahwa perempuan mampu
memelihara kecakapan dan keterampilan verbal. Laki-laki di sisi yang lain bersosialisasi

menggunakan cara yang lebih aktif –dengan berolah raga, bermain game komputer, dan
bermain di lapangan– dan lebih suka membuat keributan di kelas. Pola perilaku tersebut
kemudian diafirmasi guru di kelas yang memiliki harapan yang lebih rendah pada laki-laki
6

daripada perempuan. Guru juga melekatkan aktivitas keributan pada laki-laki dengan
memberikan perhatian (baca: pengawasan) yang lebih ketat pada mereka. Dengan kata lain,
perilaku laki-laki yang suka membuat keributan merupakan satu aspek yang menjadi

perhatian utama guru. Artinya, individu yang membuat keributan dianggap sebagai individu

yang kurang memiliki harapan untuk mampu berprestasi. Reay (2005) menyebutkan bahwa
pemaknaan terhadap karakter laki-laki dan perempuan berhubungan dengan prestasi

akademik anak. Pemaknaan ini meliputi “bagaimana seharusnya anak laki-laki dan
perempuan berperilaku?”

Deskripsi tersebut mengindikasikan bahwa relasi gender dalam pendidikan sebenarnya tidak

menguntungkan kedua pihak (laki-laki dan perempuan). Karakter feminim yang ditanamkan
dalam diri perempuan serta karakter maskulin yang dilekatkan dalam diri laki-laki hampir
selalu disosialisasikan dalam lingkungan sekolah di banyak tempat (tidak hanya di Indonesia).

Proses ini berpotensi merugikan kedua belah pihak. Karakter maskulin dapat menghambat
laki-laki mencapai prestasi akademik di sekolah, namun berpotensi memunculkan motivasi

“menguasai diri perempuan”. Sementara karakter feminim menguntungkan perempuan
karena mereka dapat mengungguli prestasi akademiknya di atas laki-laki, di sisi lain karakter
feminim berpotensi memosisikan perempuan sebagai subjek “penurut” sehingga “mudah
dikuasai”.

Anak di Sekolah
Problematika anak dalam proses pendidikan di sekolah harus mendapatkan perhatian serius

dari semua pihak. Masalah ini menjadi perhatian masyarakat dunia dan menjadi masalah

pokok di banyak negara. Anak memiliki beragam makna. Dalam kehidupan bangsa, anak
adalah kunci masa depan, peradaban dunia, penerus generasi sekarang. Nasib bangsa di masa

depan berada di tangan anak-anak. Artinya, kondisi anak-anak sekarang adalah cermin
kondisi masyarakat masa depan. Dalam lingkup keluarga, anak juga diklaim sebagai penentu
keutuhan hubungan pernikahan (Martono, 2015).

Pada awal 2015, Mendikbud Anies Baswedan pernah mencanangkan program “sahabat
Kemdikbud”. Dengan meluncurkan program ini, Mendikbud ingin mengurangi berbagai risiko

kecelakaan yang dihadapi setiap pelajar ketika menuntut ilmu dengan mengajak warga

masyarakat memberikan laporan ketika menemui hal-hal yang membahayakan. Untuk
7

memfasilitasi

ini,

Kemendikbud

“http://sahabat.kemdikbud.go.id./”.

pun

membuka

situs

pelaporan

bernama

Beberapa waktu kemudian, bertepatan dengan Hari Ibu 2015, Kemdikbud di bawah kendali
Anies

Baswedan

meluncurkan

laman

“Sahabat

Keluarga”

dengan

alamat

http://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id./. Laman tersebut berisi dongeng, lagu wajib, lagu

daerah, profil keluarga hebat, dan profil sekolah-sekolah inspiratif. Selain itu laman tersebut

juga menyediakan forum diskusi bagi masyarakat untuk berdiskusi mengenai pendidikan
anak di keluarga. Mendikbud juga mengajak para ayah untuk datang ke sekolah agar mereka
turut memperhatikan anak mereka5.

Kemudian, pada akhir Januari 2016, Kemdikbud kembali membuat gebrakan positif dengan
meluncurkan program “sekolah aman”. Program ini diikuti dengan peluncuran laman
http://sekolahaman.kemdikbud.go.id./. Melalui program sekolah aman, Mendikbud berusaha
mewujudkan suasana sekolah yang aman, bebas dari tindak kekerasan, pelecehan,
perpeloncoan, atau berbagai bentuk kekerasan lain yang terjadi di sekolah.

Tiga kebijakan produk Kemendikbud era Anies Baswedan tersebut perlu mendapat dukungan

dari berbagai pihak. Namun tidak semua kelompok masyarakat mengetahui keberadaan
program-program tersebut. Masalah berikutnya, program-program tersebut menurut saya
masih berkutat pada perlindungan anak dari banyak tindakan menyimpang dari sisi

perlidungan (kekerasan) fisik semata. Selain itu, kita belum mengetahui efektivitas

penanganan serta sejauh mana Kemendikbud menindaklanjuti laporan-laporan dari
masyarakat yang disampaikan melalui laman tersebut.

Terlepas dari kebijakan pendidikan era Mendikbud Anies Baswedan yang cenderung
memaknai “ramah anak” secara fisik, kita tidak dapat menghindarkan diri dari fakta bahwa
dalam kenyataannya “anak masih diposisikan sebagai objek kekuasaan” terutama keluarga.
Contoh sederhana, anak bodoh dipandang sebagai aib. Alih-alih menjadikan si anak menjadi

anak genius, banyak orang tua memaksanya mengikuti les ini dan itu setiap hari tanpa

memedulikan kebutuhan, keinginan anak, serta kapasitas anak. Ini adalah bentuk keegoisan
orang tua (Martono, 2015). Anak harus mengikuti semua keinginan orang tua, sementara
mereka tidak diberi hak untuk memiliki pendapat lain. Untuk mewujudkan pendidikan ramah
5

Dikutip dari http://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2015/12/laman-sahabat-keluarga-diluncurkan

8

anak, kondisi semacam ini harus mendapatkan perhatian ketika anak masih mengalami

kekerasan psikologis. Artinya, keluarga harus dilibatkan agar mereka dapat mengubah
mainstream untuk tidak memosisikan anak sebagai objek yang harus patuh.

“Pemaksaan” ini tidak hanya dilakukan keluarga, secara tidak langsung negara juga

melakukan hal yang sama. Negara menggunakan instrumen berupa kurikulum yang
diberlakukan di setiap sekolah untuk mewujudkan ambisinya terhadap anak. Kurikulum tidak

dirancang dengan memperhatikan kemampuan, keberagaman kondisi sosial, dan kebutuhan
anak. Anak usia SD kelas 1 dipaksa mempelajari banyak mata pelajaran. Jumlah mata
pelajaran berbanding lurus dengan beban buku pelajaran yang harus mereka bawa dan baca.

Akibatnya, hampir setiap hari mereka harus “memanggul” tas sekolah yang penuh dengan
buku-buku pelajaran. Menurut saya, hal ini secara jelas menunjukkan bahwa pendidikan di
sekolah sangat tidak ramah bagi anak.

Objektivikasi anak dalam relasi kekuasaan dalam ranah pendidikan juga dapat ditemukan
dalam muatan atau substansi mata pelajaran. Banyak buku pelajaran disusun dengan tidak
memperhatikan kemampuan anak: menggunakan bahasa dan kata-kata yang sulit dipahami

anak atau tidak sesuai dengan daya nalar anak; memaparkan materi yang sangat padat; serta
menggunakan tulisan yang sangat kecil. Secara tidak langsung, sistem pendidikan di sekolah
ini telah merampas waktu anak untuk bermain sebagai sarana mereka melakukan sosialisasi

secara intensif dengan teman sebayanya. Sekolah memaksa anak berlama-lama fokus pada
pelajaran yang melelahkan.

Untuk mengakses sarana pendidikan yang layak, anak menghadapi banyak risiko: di jalan
maupun di sekolah. Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar fasilitas umum di Indonesia

berada dalam kondisi tidak layak pakai. Pemerintah seolah mengabaikan faktor keselamatan

pengguna fasilitas umum tersebut. Risiko kecelakaan berpeluang besar terjadi ketika anakanak berangkat (dan pulang) sekolah. Di banyak tempat, kita mudah menjumpai anak sekolah

terpaksa bergantungan di pintu-pintu bis kota atau angkutan umum karena keterbatasan
armada angkutan yang mengantar mereka. Ada pula sebagian anak sekolah memanfaatkan
mobil bak terbuka demi mendapatkan ilmu.

Gambaran ini menunjukkan bahwa pemerintah belum menyediakan sistem transportasi yang
ramah anak sekolah, semacam bus khusus sekolah di setiap daerah. Inilah yang sebenarnya
9

menjadi agenda penting Kemdikbud. Bila dirunut, peningkatan kepadatan lalu lintas pada jam

berangkat dan pulang sekolah sebenarnya adalah imbas ketidakmerataan fasilitas pendidikan
yang berkualitas. Sebagian masyarakat terpaksa memilih bersekolah di tempat yang jauh

daripada harus bersekolah di sekolah yang dekat namun kualitasnya rendah. Mereka
meyakini bahwa sekolah yang jauh tersebut lebih berkualitas karena menyandang “sekolah
favorit”.

Selain berisiko selama perjalanan, pilihan ini jelas merupakan pemborosan anggaran
pendidikan bagi orang tua. Mereka harus menyediakan anggaran untuk biaya transportasi

yang sangat mahal. Sebagian orang tua memilih membeli sepeda motor untuk anaknya
dengan alasan lebih murah dan lebih cepat. Akibatnya, banyak anak sekolah mengendarai

motor tanpa memiliki SIM (Surat Ijin Mengemudi). Bahkan banyak pelajar SMP dan SMA
mengendarai motor secara bebas. Ini jelas berisiko bagi mereka dan pengguna jalan yang

lainnya. Sebaliknya, bila pemerintah mampu menjamin pemerataan sarana pendidikan yang
berkualitas, maka mereka tentu tidak perlu menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk
mengakses sarana pendidikan (Martono, 2015a).

Sesampainya di sekolah, anak-anak kembali dihadapkan pada risiko “tertimpa bangunan”

akibat bangunan sekolah yang sudah tidak layak pakai. Banyak gedung sekolah yang
menunggu roboh namun tetap digunakan sebagai tempat belajar. Anak-anak juga dihantui

risiko makanan tidak sehat yang dapat dikonsumsi secara bebas. Banyak jajanan tidak layak
konsumsi dijual bebas di sekolah, terutama di sekolah dasar. Kesehatan dan nyawa anak
sekolah kembali menjadi taruhannya.

Khusus anak-anak PAUD, risiko selama mendapatkan pendidikan juga dapat berasal dari

arena atau sarana permainan yang tidak aman dan tidak memenuhi standar (Martono,
2015a). Proses pembangunan sarana bermain seringkali tidak memedulikan aspek
keamanaan: alas tempat bermain terbuat dari bahan yang keras, sehingga ketika terjatuh,

anak rawan mengalami luka serius. Sarana bermain juga harus meminimalisasi kemungkinan
anak terjepit, terbentur hingga menyebabkan sakit serius; beberapa sarana bermain di

sekolah PAUD juga terlihat sudah berkarat. Selain tidak aman, ini juga kondisi ini tentu tidak
nyaman bagi mereka..

10

Pendidikan Kapitalistik
Sebagai catatan akhir, apa yang telah dipaparkan dalam bagian sebelumnya merupakan
cermin bahwa praktik pendidikan yang terjadi di sekolah adalah praktik pendidikan yang

kapitalistik. Dalam kasus bias gender dalam pendidikan, ketika guru memiliki stereotype
tertentu yang membedakan siswa laki-laki dan perempuan, ternyata perempuan lebih

“diuntungkan”. Mereka “mampu merebut perhatian guru”. Ini adalah wujud nyata bahwa
sekolah masih bercita-cita membentuk pribadi yang taat dan penurut untuk memenuhi
kriteria “kelompok tertentu”.

Marx (Anyon, 2011; Haralambos & Holborn, 2008) menyebutkan bahwa pendidikan di

sekolah sebenarnya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan para kapitalis. Sekolah

menciptakan individu yang taat dan mudah diatur agar di kemudian hari mereka dapat diatur

dan tunduk pada aturan kelompok kapitalis. Di sekolah, anak yang patuh, taat, ataupun
penurut mendapatkan banyak perhatian dari guru dan diposisikan sebagai contoh “siswa

yang baik”. Di kemudian hari, anak-anak penurut akan mudah dikendalikan (oleh para
kapitalis). Sebagaimana dijelaskan di bagian awal, anak-anak seperti ini akan mudah meraih

prestasi puncak di sekolah dibandingkan anak-anak “pembangkang” yang suka menciptakan
keributan di sekolah. Keberadaan anak-anak pembangkang adalah tidak menguntungkan bagi
kelompok kapitalis karena dapat mengganggu kinerja serta mengancam posisinya.

Sosok “taat” dan “penurut” memang diperlukan, akan tetapi yang perlu ditekankan adalah
anak (laki-laki dan perempuan) harus memiliki sifat kritis ketika menghadapi berbagai

masalah sosial di sekitarnya. Sebaliknya, karakter “pembangkang” yang dimiliki laki-laki

harus dimaknai sebagai karakter positif yang perlu disalurkan sesuai porsinya. Tidak adil

ketika guru memaknai “prestasi” hanya sebatas prestasi dalam bidang akademik yang
ditunjukkan dalam nilai-nilai rapor. Ini sekaligus kritik bagi dunia pendidikan nasional yang
masih mengutamakan nilai rapor untuk mengukur kecerdasan anak daripada prestasi

nonakademik yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi masa depannya. Pendidikan tidak

semestinya hanya menghasilkan individu penurut dan “tidak berani melawan”, akibatnya
perempuan selalu menjadi objek kekuasaan laki-laki dalam sistem sosial yang tidak adil
tersebut.

11

Berikutnya, kondisi sekolah-sekolah tidak ramah anak juga menjadi imbas pendidikan yang
kapitalistik. Anak digiring untuk memiliki banyak pengetahuan yang dibutuhkan dunia kerja.

Alhasil, anak dipaksa mempelajari berbagai macam mata pelajaran. Nilai-nilai yang dianut

para kapitalis juga disosialisasikan di lingkungan sekolah. Sebut saja nilai “kompetisi” yang
selalu menjadi jargon di banyak sekolah. Persaingan diklaim menjadi mekanisme yang
mampu memotivasi setiap sekolah untuk maju menjadi sekolah berkualitas. Alhasil, semua

sekolah berusaha memenangkan persaingan tersebut dengan menggunakan anak atau siswa
sebagai alat utamanya. Keberhasilan anak diklaim sebagai keberhasilan sekolah yang mampu

menaikkan pamor atau kredibilitasnya. Sementara, semua siswa dipaksa saling berkompetisi;
mereka dituntut memiliki kemampuan yang sama tanpa memedulikan kondisi sosial ekonomi

siswa yang beragam. Prestasi siswa “dijual” sebagai alat promosi sekolah. Kita dapat

menebak, siapa yang mampu memenangkan kompetisi tersebut. Bourdieu & Passeron (1977)
meyakini bahwa hanya siswa kelas atas yang mampu memenangkannya, sedangkan siswa

kelas bawah sulit mewujudkan impiannya memenangkan kompetisi tersebut. Ini disebabkan
anak kelas atas memiliki banyak modal ekonomi, modal budaya, serta modal sosial yang sulit
dimiliki anak dari kelas bawah.

Anak kehilangan otonominya, sehingga tidak dapat berkembang sesuai dengan potensi atau
kemampuannya. Keunikan yang dimiliki anak pun tercerabut. Sekolah tidak lagi menjadi

lembaga yang mengakomodasi keunikan dan keberagaman potensi setiap individu. Anak pun
menjadi objek kekuasaan orang tua dan sekolah.

Praktik pendidikan yang mengedepankan ideologi kapitalisme cenderung merugikan

kelompok tertentu yang tidak memiliki “modal”. Mereka terus menjadi objek kekuasaan yang
menghapus otonominya sebagai seorang individu.
Penutup

Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari uraian pada bagian sebelumnya. Pertama,
praktik pendidikan di Indonesia masih mengandung bias gender. Dalam kenyataannya,
kecenderungan ini tidak serta merta hanya merugikan kelompok perempuan saja, laki-laki

juga dirugikan atas berbagai stereotype yang “disosialisasikan” di lingkungan sekolah. Citra

perempuan sebagai sosok penurut di satu sisi menjadi kekuatan karena menyebabkan

perempuan lebih berprestasi (akademik) daripada laki-laki. Namun karakter ini juga
12

merugikan perempuan karena mereka diposisikan sebagai individu penurut yang menjadi
objek kekuasaan laki-laki.

Kedua, praktik pendidikan nasional belum mampu mewujudkan pendidikan ramah anak.

Posisi anak masih termaginalkan karena mereka selalu menjadi objek kebijakan yang tidak

humanis. Anak diposisikan sebagai individu pasif sehingga berbagai pengetahuan ditanamkan
secara kuat dalam pikiran anak. Anak menjadi kehilangan otonominya. Mereka bukan lagi

menjadi individu yang unik yang berbeda satu sama lain. Isi otak mereka pun diseragamkan
melalui praktik kompetisi dalam pendidikan. Praktik ini tentu dapat memunculkan persepsi

bahwa “semua teman adalah musuh” yang harus dikalahkan dalam persaingan tersebut,
sehingga akan muncul watak individualis.
Pustaka
Anyon, J. (2011) Marx and Education. London: Routledge.

Bourdieu, P., & Passeron, J. C. (1977). Reproduction in education, society, and culture. London:
SAGE Publications.

Browne, K. & Mitsos, E. (1998) Gender differences in education: the achievement of boys.
Sociology Review. Vol. 18 (1), p. 27-31.
Durkheim, E. 1960. Education and Sociology. New York: Free Press.

EOC/OFSTED (1996) The Gender Divide: Performance Difference between Boys and Girls in
School. London: HMSO.

Foucault, M. (1961). Folie et déraison: Histoire de la folie ý l’âge classique. Paris: Librairie Plon.
Francis, B., & C. Skelton. (2005). Reassessing gender and achievement. London: Routledge.
Giddens, A. & P. W. Sutton (2013) Sociology 7th Edition. London: Polity Pres.

Haralambos & Holborn. (2008). Sociology: Themes and Perspectives 6th Edition. London:
Harper Collins Publisher.

Martin, A.J., & H. Marsh. (2005). Motivating boys and motivating girls: Does teacher gender
really make a difference? Australian Journal of Education. Vol. 49 (3), p. 320-334.
Martono, N. (2010) Pendidikan bukan tanpa masalah. Yogyakarta: Gava Media.

Martono, N. (2015) Anak, Keluarga, dan Negara. Sinar Harapan, 20 November 2015.
Martono, N. (2015a) Sekolah Minim Risiko. Suara Karya, 18 Mei 2015.

13

Reay, D. (2005) “‘Spice Girls’, ‘Nice Girls’, ‘Girlies’ and ‘Tomboys’: Gender Discourses, Girls’
Cultures and Femininities in The Primary Classroom”, in A Feminist Critique of
Education: 15 years of gender education. C. Skelton and B. Francis (eds). London:
Routledge.
[][][]

14