IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA. pdf

IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA1
oleh Djuni Pristiyanto2

Pencapaian PRB dengan Landasan HFA
upaya
Bangsa-bangsa di dunia memandang bangsa Indonesia unggul dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana (PB), khususnya di bidang pengurangan risiko
bencana (PRB). Maka dari itu tidak heran apabila Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa (PBB), Ban Ki Moon mengumumkan pemberian ―Penghargaan Tokoh Dunia Bidang
Pengurangan Risiko Bencana (Global Champion for Disaster Risk Reduction)‖ kepada
Presiden RI, Soesilo Bambang Yudhoyono (Presiden SBY) di Jenewa dalam acara Global
Platform for Disaster Risk Reduction Third Session di Jenewa, Swiss pada tanggal 10 Mei
2011. Di bawah kepemimpinan Presiden SBY, Indonesia dinilai oleh PBB telah mencapai
kemajuan yang luar biasa dalam PRB. Penghargaan tersebut diharapkan juga akan memacu
percepatan upaya pengurangan bencana di dunia.
Pencapaian penting dalam PRB ini menurut Presiden SBY sangat erat berkaitan dengan
―Kerangka Kerja Aksi Hyogo 2005 – 1015: Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas
terhadap Bencana (Hyogo Framework for Action 2005 – 2015: Building the Resilience of
Nations and Communities to Disasters / HFA)‖. Hal itu khususnya diutarakan oleh Presiden
SBY dalam pembukaan ―Konferensi Tingkat Menteri se-Asia untuk Pengurangan Risiko
Bencana Ke-5 (Fifth Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction) – AMCDRR
Ke-5 di Yogyakarta pada tanggal 22 – 25 Oktober 2012 dengan dihadiri oleh 2600 peserta

dari 72 negara, yang termasuk di dalamnya dua kepala negara dan 25 menteri. Pre siden
SBY menyampaikan dalam kata sambutannya, ―Sungguh merupakan suatu kehormatan bagi
Indonesia dipilih sebagai tuan rumah bagi penyelenggaraan Asian Ministerial Conference on
Disaster Risk Reduction kali ini. Penyelenggaraan konferensi ini mempunyai arti penting bagi
Indonesia yang sedang membangun kemampuan nasional di bidang penanggulangan
bencana, sekaligus merupakan tantangan untuk bekerja lebih keras dalam pengurangan
risiko bencana.‖
Presiden menyampaikan, ―Bersama dengan banyaknya bencana alam yang menimpa
banyak negara, pengurangan risiko bencana menjadi semakin penting. Saya mengikutsertakan kepentingan yang besar dalam upaya-upaya meningkatkan kapasitas PRB untuk
meminimalisir kerentanan dan risiko bencana. Dalam kasus Indonesia, ini juga sangat
penting untuk membantu memastikan keberlanjutan upaya-upaya pengembangan.‖
Menurut Presiden sebagai titik referensi utama dalam pelaksanaan agenda PRB adalah HFA
2005-2015. Lewat implementasi kerangka kerja tersebut Indonesia telah mengambil
beberapa langkah-langkah untuk mempromosikan PRB, yaitu membuat PRB sebagai
prioritas nasional dari strategi penanggulangan bencana, dan mengikutsertakan dalam
strategi ini skema-skema untuk miningkatkan ketangguhan dan kemitraan di tingkat nasional,
regional, dan global.
Indonesia berada di wilayah yang sangat rentan bencana, oleh karena itu sangat penting ke
upaya-upaya dalam merealisasikan visi: ―Ketangguhan Bangsa dalam Menghadapi
Bencana‖. Bahkan menurut Laporan Kebencanaan Dunia 2012, lebih dari seratus wilayah di

1

Sebagai masukan kepada Riset Target dan Indikator PRB dalam SDGs yang dilakukan oleh SCDRR II UNDP pada
awal April 2015.
2
Penulis lepas. Aktivis di bidang lingkungan hidup dan kebencanaan, tinggal di Bogor. Moderator Milis Bencana
dan Milis Lingkungan.
1

IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA oleh Djuni Pristiyanto

Asia rentan akan bencana alam. Ketika bencana alam menghantam, penduduk lokal yang
pertama dan paling menderita. Pemerintah daerah yang pertama harus turun-tangan
menghadapi masalah-masalah yang timbul akibat bencana. Benarlah bahwa sebelum
pemerintah pusat dapat mengulurkan bantuan, pemerintah daerah yang harus menanggapi
terlebih dahulu. Maka dari itu, penting untuk memperkuat kapasitas PRB mereka.
Dalam pidato kuncinya Presiden SBY memaparkan enam (6) buah kiat untuk melaksanakan
PRB sehingga bangsa Indonesia mendapatkan penghargaan tingkat internasional tersebut
antara lain:
1. Ketangguhan lokal dapat diperoleh melalui pengembangan desa tangguh.

2. Partisipasi dari beragam pemangku kepentingan adalah penting untuk kapasitas
daerah untuk PRB.
3. Kapasitas manusia dan teknis di tingkat daerah harus dikembangkan.
4. Keuangan adalah penting dalam mencapai kapasitas daerah untuk PRB.
5. Harus ada perpaduan antara kapasitas nasional dan lokal. Rencana aksi nasional
harus memperkuat rencana aksi lokal. Ini harus membantu aktor lokal
mengembangkan program-program daerah PRB.
6. Mengintegrasi PRB skala-kecil dan inisiatif adaptasi perubahan iklim (climate change
adaptation—CCA) ke dalam proses pengembangan daerah. Penting juga untuk
mengintegrasikan PRB lokal dan inisiatif CCA ke dalam perencanaan pengembangan
nasional.

Regulasi Pendukung Implementasi HFA
Dasar hukum paling kuat impelemtansi HFA di Indonesia adalah keikutsertaan Indonesia
dalam ―Konferensi Sedunia tentang Pengurangan Risiko Bencana (World Conference on
Disaster Reduction / WCDRR) yang diselenggarakan pada bulan Januari 2005 di Kobe,
Hyogo, Jepang. Pemerintah Indonesia terlibat aktif dan ikut meratifikasi hasil Konferensi ini,
yaitu HFA 2005-2015 bersama dengan 168 negara dan aktor-aktor lainnya. Dalam jangka
2005-2015 diharapkan akan dicapai adanya penurunan secara berarti hilangnya nyawa dan
aset-aset sosial, ekonomi dan lingkungan karena bencana yang harus dialami oleh

komunitas dan negara.
Secara khusus tidak ada regulasi mengenai HFA di Indonesia. Hal-hal yang menjadi
substansi dalam HFA sudah masuk dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (UU No. 24/2007) dan semua turunannya, seperti Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (PP
No. 21/2008), Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan
Pengelolaan Bantuan Bencana (PP No. 22/2008), Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun
2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-Pemerintah
dalam Penanggulangan Bencana (PP No. 23/2008) dan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun
2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Perpres No. 8/2008). Pada tataran
operasional telah diterbitkan peraturan pelaksanaannya oleh kementerian/lembaga terkait,
seperti oleh Kementerian Dalam Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
Kementerian Perikanan dan Kelautan, dan lain-lain.
Kerangka regulasi sektoral yang terkait dengan upaya penyelenggaran penanggulangan
bencana juga telah diterbitan antara lain Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (UU No. 26/2007), Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No. 27/2007), Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.
29/2009), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika (UU No. 31/2009), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan

Rakyat (UU No. 1/2011), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi
2

IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA oleh Djuni Pristiyanto

Geospasial (UU No. 4/2011), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan
Konflik Sosial (UU No. 7/2012), dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(UU No. 6/2014).

Perencanaan Pembangunan Berprespektif PRB
Optimalisasi pencapaian implementasi PRBdalam pembangunan nasional sangat tekait
dengan terakomodasinya elemen-elemen PRB dalam perencanaan pembangunan
nasional itu sendiri. Oleh karena itu, tersedianya berbagai program dan kegiatan
pembangunan nasional yang mencerminkan implementasi PRB dalam rencana
pembangunan nasional bisa menjadi indikator upaya pencapaian tujuan penanggulangan
bencana di Indonesia. Adanya berbagai program dan kegiatan tersebut bisa memberikan
kejelasan anggaran dan pelaksanaan pembangunan dalam mendorong pencapaian
implementasi PRBdalam pembangunan nasional.
Dari 11 (sebelas) Prioritas Nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010-2014, upaya penanggulangan bencana masuk pada Prioritas No. 9,

yaitu Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana. Konservasi dan pemanfaatan lingkungan
hidup mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang keberlanjutan, disertai
penguasaan dan pengelolaan risiko bencana untuk mengantisipasi perubahan iklim. Dalam
RPJMN 2015-2019 arah kebijakan nasional bidang penanggulangan bencana ditujukan
kepada penguatan tata kelola penanggulangan bencana di pusat dan daerah pada seluruh
tingkatan pemerintahan dan masyarakat termasuk perguruan tinggi, lembaga masyarakat
dan lembaga usaha guna meningkatkan ketangguhan dalam menghadapi bencana.
Impelementasi pengintegrasian PRB ke dalam perencanaan pembangunan nasional
mewujud dalam Renas PB. Renas PB merupakan komitmen dari pemerintah yang memuat
upaya-upaya pengurangan risiko bencana yang efektif, penanganan kondisi tanggap darurat
yang efisien dan upaya pemulihan yang tepat sasaran. Program -program kegiatan dalam
Renas PB disusun berdasarkan visi dan misi penanggulangan bencana serta rencana
tindakan yang harus diambil sesuai dengan manajemen risiko bencana. Selanjutnya turunan
Renas PB adalah Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB).
Untuk memastikan terlaksananya perencanaan dan tindakan penanggulangan bencana,
maka Renas PB diintegrasikan ke dalam RPJMN. Masing-masing Kementerian/Lembaga
(K/L) memformulasikan isu penanggulangan bencana ke dalam Rencana Strategis (Renstra)
dengan mengacu kepada program-program penanggulangan bencana dalam Renas PB.
Selanjutnya perencanaan ini dijabarkan ke dalam implementasi tahunan K/L melalui
Rencana Kerja (Renja). Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, Renas PB menjadi

panduan dan referensi dalam perencanaan penanggulangan bencana yang terintegrasi
dengan perencanaan pembangunan di daerahnya.
Selama ini sudah dijalankan Renas PB 2010-2014, RAN PRB 2006-2009, RAN PRB 20102012. Renas PB 2015-2019 sedang dalam tahap penyusunan, yang dalam prosesnya
kemudian akan diintegrasikan ke dalam RPJMN 2015-2019 sesuai dengan penjabaran visimisi presiden dan wakil presiden hasil pemilihan umum tahun 2014 ini. Dalam dokumen
Renas PB 2010-2014 antara Renas PB dan RAN PRB adalah dua dokumen yang terpisah,
tapi mulai pada Renas PB 2015-2019 isi Renas PB dan RAN PRB menjadi satu kesatuan
dokumen yang terintegrasi. Secara khusus, Renas PB 2015-2019 ini telah memadukan hasil
evaluasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 terkait
penanggulangan bencana dan evaluasi terhadap pelaksanaan Renas PB 2010-2014.
Selanjutnya, dalam pelaksanaannya perlu dipadukan dengan perencanaan pembangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d dalam UU No. 24/2007.

3

IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA oleh Djuni Pristiyanto

Pada tanggal 19 Februari 2010 di Museum Nasional, Jakarta dalam acara ―Peluncuran
Renas PB 2010-2014 dan RAN PRB 2010-2012: Pengurangan Risiko Bencana sebagai
Investasi Pembangunan Berkelanjutan‖, Kepala Bappenas, Prof. Dr. Armida Salfiah
Alisjahbana, SE, ME., mengatakan dalam kata sambutannya, ―Dokumen Renas PB dan RAN

PRB disusun sebagai bentuk komitmen pemerintah dan seluruh stakeholders terhadap
upaya terpadu di dalam penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana di
Indonesia dalam konteks jangka menengah. Keseriusan pemerintah yang berdimensi
pengurangan risiko bencana adalah dengan dimasukkannya PRB dalam RPJMN 2010-2014
dimana penanggulangan bencana telah ditetapkan sebagai salah satu prioritas
pembangunan nasional, khususnya Prioritas Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana.‖
Namun, pekerjaan menyusun Renas PB dan RPB tidak akan pernah selesai, karena
dokumen-dokumen tersebut harus selalu diperbarui setiap 5 tahun. Mekanisme
pembaharuan setiap 5 tahun dinilai cukup efektif karena selaras dengan pola RPJP, RPJM
dan RKP sehingga pengurangan risiko bencana dapat diarusutamakan ke dalam rencana
kerja pembangunan, baik di tingkat tahunan, menengah dan panjang di tingkat nasional
maupun di provinsi dan kabupaten/kota.
Sebagai salah satu prasyarat penyusunan dokumen Renas PB adalah adanya analisis risiko
bencana. Untuk mengetahui secara rinci tingkat kerawanan daerah di wilayah Indonesia,
BNPB telah melakukan penilaian tentang Indeks Kerawanan Bencana Indonesia pada 2009
yang diperbaharui dengan Indeks Rawan Bencana Indonesia (IRBI) pada 2011. Pada tahun
2013 BNPB meningkatkan analisis dari Indeks Rawan Bencana Indonesia menjadi Indeks
Risiko Bencana Indonesia. Risiko bencana merupakan penilaian kemungkinan dari dampak
yang diperkirakan apabila bahaya (hazard) itu menjadi bencana. Dengan demikian
perhitungan ini ditekankan pada potensi kemungkinan dan besarnya dampak yang diukur

dari keterpaparan (exposure) dari setiap bahaya dan gabungan dari beberapa bahaya yang
ada (multi hazards). Jadi apabila kerawanan yang lalu dihitung dari data korban/kerusakan
yang tercatat (existing data) untuk setiap bencana, saat ini indeks risiko ini dihitung dari
potensi kemungkinan korban dan dampak yang akan ditimbulkan dari suatu bencana. Dalam
penilaian Indeks Risiko Bencana Indonesia ini telah menggunakan parameter-parameter
bahaya, kerentanan dan kapasitas sebagai penghitungan risiko bencana.
Tujuan Indeks Risiko Bencana Indonesia antara lain untuk (1) Memberikan informasi tingkat
risiko bencana tiap-tiap kabupaten/kota di Indonesia sesuai dengan bahaya yang dimiliki dan
gabungan dari bahaya tersebut, (2) Memberikan gambaran perbandingan tingkat risiko dari
suatu daerah dibandingkan dengan daerah yang lain, dan (3) Melakukan analisis sebagai
dasar dari kebijakan kelembagaan, pendanaan, perencanaan, statistik, dan operasionalisasi
penanggulangan bencana.
Berdasarkan IRBI 2013, dari 33 provinsi di Indonesia ada 30 provinsi dengan risiko bencana
tinggi (Sulawesi Barat, Maluku, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan,Maluku Utara,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Bengkulu, Gorontalo, Kalimantan Timur, Riau, Sumatera
Selatan, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan
Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, Jambi, Jawa Timur,
Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, D.I. Yogyakarta, Banten, Sumatera Barat,
Papua Barat, dan Bali) dan ada 3 provinsi dengan risiko bencana sedang (Papua,
Kalimantan Selatan, dan DKI Jakarta). Sementara itu dari 497 kabupaten/kota di Indonesia

ada 388 kabupaten/kota (78%) memiliki indeks risiko bencana tinggi.

Kelembagaan Penanggulangan Bencana
UU No. 24/2007 mengamanatkan untuk membentuk kelembagaan penanggulangan
bencana. Di tingkat nasional lembaga ini disebut Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) dan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota disebut Badan Penanggulangan Bencana
4

IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA oleh Djuni Pristiyanto

Daerah (BPBD). Hingga bulan Februari 2014 telah terbentuk 436 BPBD yang terdiri dari 33
BPBD Provinsi dan 403 BPBD Kabupaten/Kota (81% dari 497 kabupaten/kota).
Pembentukan BNPB mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Perpres No. 8/2008). Sedangkan pembentukan
BPBD secara operasional mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun
2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(Permendagri No. 46/2008) dan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (Perka BNPB No. 3/2008).
Belum dibentuknya BPBD di tingkat kabupaten/kota di seluruh Indonesia karena disebabkan

adanya perbedaan antara Permendagri No. 46/2008 dengan Perka BNPB No. 3/2008. BNPB
mewajibkan pada semua kabupaten/kota untuk membentuk BPBD, sedangkan menurut
Mendagri pada kabupaten/kota ―dapat‖ membentuk BPBD. Kata ―dapat‖ ini berarti bahwa
kabupaten/kota bisa membentuk BPBD atau tidak membentuk BPBD. Pembentukan BPBD
di kabupaten/kota menurut Mendagri disesuaikan dengan kemampuan yang khas dari
masing-masing kabupaten/kota tersebut. Bagi kabupten/kota yang tidak membentuk BPBD
maka fungsi-fungsi PB akan dijalankan oleh satuan kerja yang ada, misalnya pada Dinas
Kesbanglinmas.
Di samping BNPB dan BPBD dibentuk pula Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana
(SRC PB) di tingkat nasional. SRC PB ini terdiri dari SRC Wilayah Barat yang berkedudukan
di Jakarta dan SRC Wilayah Timur yang berkedudukan di Malang JawaTimur. SRC PB
merupakan stand by force yang dibentuk atas arahan Presiden RI yang disampaikan pada
Sidang Kabinet Indonesia Bersatu II tanggal 5 November 2009. Stand by force ini
beranggotakan tim medis, tim penanganan listrik, tim komunikasi, tim gerak cepat. Satuan
yang melibatkan personil TNI dan Polri ini didukung pesawat jenis Hercules C-130, Be-200,
dan CN 235 sehingga mobilitas ke lokasi bencana dapat dilakukan dengan sangat cepat
atau dalam hitungan jam.
Kecepatan menjadi prinsip utama karena penyelamatan dini memberikan harapan lebih
banyak nyawa manusia tertolong. Profesional dimaksudkan bahwa setiap personel SRC PB
yang diterjunkan ke lokasi bencana telah memiliki standar kompetensi yang berlaku dengan
mengutamakan keselamatan, sedangkan fleksibilitas mengacu pada pelayanan yang
konsisten dan disesuaikan dengan kondisi yang ada dalam mengelola kejadian bencana di
lokasi, tanpa memandang faktor penyebab, ukuran, lokasi, dan kompleksitas bencana. Dan
terakhir, akuntabilitas menunjukkan bahwa operasi lapangan dilakukan dengan transparan,
tindakan yang dilaksanakan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
Selain itu UU No. 24/2007 juga mengamanatkan untuk membentuk sebuah mekanisme
forum PRB. Forum PRB merupakan forum multi-pihak yang melibatkan pemerintah,
organisasi non-pemerintah, sektor swasta, perguruan tinggi, para dan pemangku
kepentingan lainnya. Ini menjadi wadah sosialisasi dan peningkatan kesadaran akan isu
PRB, memfasilitasi pengarusutamaan PRB ke dalam pembangunan, serta berfungsi sebagai
forum koordinasi dan berbagi data/informasi antar pihak dalam melaksanakan kegiatan PRB.
Forum PRB ini dapat juga berfungsi sebagai pengawas kegiatan-kegiatan PRB.
Tujuan dibentuknya Forum PRB adalah untuk melakukan kerjasama efektif antar pihak
dalam isu PRB yang kompleks dan lintas bidang/sektor. Pada prinsipnya Forum PRB ini
merupakan milik bersama dari berbagai pihak yang terlibat dalam seluruh proses
pembentukannya itu. Ada banyak manfaat dengan adanya Forum PRB, yaitu meningkatkan
keterpaduan kegiatan PRB; menciptakan wadah untuk saling bertukar informasi, pelajaranpelajaran dan praktik-praktik yang baik dalam PRB; memfasilitasi pihak-pihak berwenang
dalam mengarusutamakan PRB ke dalam pembangunan; dan akses dan hubungan dengan
para pelaku PRB di tingkat lokal, nasional, regional dan global.
5

IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA oleh Djuni Pristiyanto

Di Indonesia Forum PRB dibentuk di tingkat nasional (disebut Platform Nasional PRB atau
Planas PRB), provinsi, kabupaten/kota dan forum tematik. Forum PRB tematik dibentuk
sesuai dengan kebutuhan dasar para pendukungnya atau berbasis bahaya bencana yang
sama, seperti Forum Perguruan Tinggi untuk PRB (FPT PRB), Forum Gunung Merapi,
Forum Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo (Forum Bengawan Solo), dan lain-lain. Hingga
pertengahan bulan Mei 2014 sudah terbentuk satu forum di tingkat nasional, 17 forum di
tingkat provinsi, 25 forum di tingkat kabupaten/kota, dan 17 forum tematik.
Forum PRB di tingkat provinsi antara lain di DIY, Sumbar, NTT, Bengkulu, Aceh, Sumut,
Sulteng, Sulut, Sulsel, Sultra, Bali, Jateng, Papua, Kaltim, Jabar, Jatim, dan DKI Jakarta.
Forum PRB di tingkat kabupaten/kota antara lain di Kab. Lombok Timur, Kota Banda Aceh,
Kab. Manggarai, Kab. Aceh Utara, Kota Tomohon, Kab. Cilacap, Kepulauan Sumbawa, Kota
Bima, Kab. Bima, Kab. Dompu, Kab. Cianjur, Kab. Sukabumi, Kab. Nabire, Kota Jayapura,
Kab. Bantul, Flores Raya, Kab. Pesisir Selatan, Pasuruhan, Lumajang, Malang, Mojokerto,
Lamongan, Bojonegoro, Trenggalek, dan Tulungagung. Sedangkan Forum PRB tematik
antara lain Forum Guru PRB Kabupaten Simeulue, Forum Multipihak DAS CiliwungCisadane "Save Our Jakarta", Forum Pengelolaan DAS Multi Pihak Provinsi Sumatera Barat,
Forum Gunung Merapi, Forum Gunung Slamet, jAnGkAr KeLuD - Jangkane Kawula Redi
Kelud, Forum Perguruan Tinggi untuk PRB, Forum DAS Bengawan Solo di Jateng dan
Jatim, Forum Gunung Kelud, Forum DAS Benanain, Jaringan Kemitraan Penanggulangan
Bencana atau Disaster Resource Partnership National Network for Indonesia, PASAG
Merapi, Forum DAS Brantas di Jawa Timur, Forum Mahasiswa Penanggulangan Bencana
IPB, Forum Mahasiswa Penanggulangan Bencana ITS, Forum Mahasiswa Penanggualngan
Bencana UNILA, dan Forum Mahasiswa Penanggualngan Bencana UNAND.

Pendanaan Penanggulangan Bencana
Pasal 6 huruf e dan huruf f UU No. 24/2007 menjelaskan tentang tanggung jawab
pemerintah pada bidang pendanaan penanggulangan bencana, yaitu pengalokasian
anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) yang memadai serta pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam
bentuk dana siap pakai. Sementara itu di tingkat pemda diatur dalam Pasal 8 huruf d, yaitu
pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) yang memadai.
Di bidang pendanaan PB diatur secara khusus melalui PP No. 22/2008. Pada Pasal 4 PP
No. 22/2008 menyebutkan bahwa (1) Dana PB menjadi tanggungjawab bersama antara
Pemerintah dan pemerintah daerah (budget sharing), (2) Dana PB berasal dari APBN,
APBD, masyarakat. Dalam pendanaan PB ini dikenal adanya dana kontijensi, dana siap
pakai (on call), dan dana bantuan sosial berpola hibah.
Dana kontinjensi bencana disediakan dalam APBN untuk kegiatan kesiapsiagaan pada
tahap prabencana. Dana siap pakai disediakan dalam APBN yang ditempatkan dalam
anggaran BNPB untuk kegiatan pada saat tanggap darurat. Pemerintah daerah dapat
menyediakan dana siap pakai dalam anggaran PB yang berasal dari APBD yang
ditempatkan dalam anggaran BPBD. Dana siap pakai harus selalu tersedia sesuai dengan
kebutuhan pada saat tanggap darurat. Dana bantuan sosial berpola hibah disediakan dalam
APBN untuk kegiatan pada tahap pascabencana (rehabilitasi dan rekontruksi).
Dari sudut pendanaan adalah meningkatnya jumlah anggaran PB dalam APBN, pada tahun
2012 anggarannya sebesar Rp9,5 Trilyun atau 0,77% dari total dana APBN. Dana tersebut
tidak saja untuk keperluan saat tanggap darurat dan pemulihan, tapi juga untuk pengurangan
risiko bencana (PRB). Khusus untuk dana penanggulangan bencana yang dialokasikan
6

IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA oleh Djuni Pristiyanto

melalui BNPB menjadi Rp1.045 milyar di tahun 2013. Dana APBN itu tersebar di 37 K/L yang
mempunyai program-program PB. Untuk upaya tanggap darurat disediakan dana siap pakai
(on call) sebesar Rp4 triliun yang disimpan di Kementerian Keuangan tapi apabila sewaktuwaktu dibutuhkan maka BNPB dengan persetujuan DPR dapat mencairkannya.
Kekurangan utama dari pendanan PB di atas adalah masih berasal dari APBN sedangkan
pendanaan dari APBD masih sangat kecil. Secara nasional, rata-rata setahun terdapat
Rp12,5 triliun anggaran yang tersebar di 37 K/L untuk PB, sedangkan di BNPB hanya
Rp1,34 triliun per tahunnnya. Di sisi lain, kebutuhan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi
pascabencana di seluruh Indonesia memerlukan biaya sekitar Rp30 triliun, sedangkan
ketersediaan dana cadangan PB hanya Rp4 triliun. Sementara itu rata-rata anggaran di
BPBD provinsi hanya 0,38% dari APBD setempat, bahkan di APBD kabupaten/kota kurang
dari 0,1% dari jumlah APBD.
Hal ini pada umumnya disebabkan oleh para pemangku kepentingan utama di daerah,
misalnya para eksekutif, dan legislatif yang baru terbentuk, dan para penyedia pelayanan
publik lainnya termasuk lembaga usaha belum mempunyai kepedulian dan komitmen yang
memadai sehingga perlu upaya untuk meningkatkan kepedulian dan komitmen tersebut.
Kondisi ini, akan menjadi tantangan berat karena untuk beberapa tahun ke depan ancaman
bencana menunjukkan tren peningkatan.

Proses Pengukuran Kemajuan Pencapaian HFA
Pemerintah Indonesia, melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) rajin
mengirimkan laporan implementasi HFA, antara lain:
1. Laporan perkembangan nasional implementasi HFA 2007-2009.
2. Laporan perkembangan nasional implementasi HFA 2009-2011.
3. Laporan perkembangan nasional implementasi HFA 2011-2013.
4. Laporan perkembangan nasional implementasi HFA 2013-2015.
Laporan perkembangan itu disampaikan kepada United Nations International Strategy for
Disaster Reduction (UNISDR). Dasar analisis untuk penyusunan laporan perkembangan
tersebut adalah menggunakan perangkat ‗monitoring tools‘ yang akan mempermudah
kegiatan peninjauan ini. Tujuan peninjauan itu antara lain untuk (1) Upaya sosialisasi HFA
dan kebijakan turunannya baik dalam sistem maupun dalam Renas PB dan RAN PRB; (2)
Untuk pengkajian atas kemajuan ‗mid term‘ pelaksanaan HFA; (3) Melihat hambatan dan
peluang dalam pelaksanaan pengurangan risiko di Indonesia sebagai hasil implementasi
pelaksanaan HFA; (4) mendapatkan gambaran atas pelaksanaan awal dari RENAS dan
RAN PRB sebagai dokumen PB dan PRB yang telah disyahkan oleh pemerintah; dan (5)
Menyusun laporan perkembangan periode yang bersangkutan untuk disampaikan kepada
Sekretariat UNISDR.
Pelaksanaan kajian tersebut dikoordinasikan oleh BNPB, Bappenas, dan Planas PRB
dengan melibatkan dengan seluruh pemangku kepentingan, baik dari unsur pemerintah
pusat, pemerintah daerah, lembaga non pemerintah dalam dan luar negeri, lembagalembaga lokal. Terdapat tiga kelompok indikator yang dapat dipergunakan dalam kajian ini,
yaitu (1) Indikator berdasarkan prioritas aksi HFA; (2) Indikator kinerja pelaksanaan
pengurangan risiko bencana, dan; dan (3) Indikator berdasarkan aspek 5K (konsistensi,
koordinasi, konsultasi, kapasitas dan keberlanjutan).

7

IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA oleh Djuni Pristiyanto

Alur dan mekanisme pembahasan kajian HFA ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Sumber: Planas PRB, 2010, Kerangka acuan penilaian pelaksanaan HFA.
Contoh pembahasan adalah sebuah acara yang bertajuk ―Focus Group Discussion (FGD)
Pengkajian Kemajuan PRB: Pelaksanaan PRB 2007-2009‖ pada tanggal 8 Mei 2009 di
Jakarta. Peserta FGD ini mencapai 45 orang yang berasal dari unsur pemerintah, LSM
nasional, LSM internasional, badan PBB, sektor swasta, perguruan tinggi dan media massa.
Ir. Sugeng Triutomo, DESS., Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB Periode 20082014 dalam kata sambutannya mengutarakan, ―Pada bulan Agustus 2008 telah dilakukan
evaluasi pelaksanaan PRB. Berdasarkan hasil-hasil evaluasi itu digunakan sebagai dasar
untuk evaluasi pertemuan hari ini, yaitu untuk memperbarui informasi mengenai pelaksanaan
PRB dan melihat/menilai tahun 2009 apakah ada kemajuan serta pandangan ke depan.
Hasil-hasil evaluasi pelaksanaan PRB secara keseluruhan akan disampaikan dalam acara
Global Platform for Disaster Risk Reduction pada 16-19 Juni 2009 di Jenewa, Swiss.‖
Sugeng Triutomo menekankan, ―Kita akan melaporkan secara apa adanya pelaksanaan
PRB di Indonesia. PRB yang dijalankan oleh semua pemangku kepentingan. Dalam
pertemuan di UNISDR, ada negara-negara yang melaporkan pelaksanaan PRB-nya dengan
nilai 5 dari skor 1-5. Nilai 5 adalah nilai sempurna, lalu setelah nilai 5 terus apa lagi?‖
Kajian ini dilakukan dengan diskusi-diskusi terfokus. Peserta FGD dibagi menjadi 5
kelompok untuk melakukan diskusi terfokus dengan topik dari lima prioritas PRB sesuai
HFA. Kelompok diskusi itu antara lain:
1. Kelompok 1: Prioritas-1: Menjadikan PRB sebagai prioritas nasional maupun daerah
yang penerapannya dilaksanakan oleh institusi yang kuat.
2. Kelompok 2: Prioritas-2: Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana
serta menerapkan sistem peringatan dini.
3. Kelompok 3: Prioritas-3: Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk
membangun budaya keselamatan dan ketahanan pada seluruh tingkatan.
4. Kelompok 4: Prioritas-4: Mengurangi faktor-faktor mendasar penyebab timbulnya
atau meningkatnya risiko bencana.
8

IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA oleh Djuni Pristiyanto

5. Kelompok 5: Prioritas-5: Memperkuat kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana
pada semua tingkatan masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif.
Sebagai dasar evaluasi pelaksanaan PRB di Indonesia menggunakan format dari UNISDR
yang sudah baku. Dalam pelaksanaan diskusi kelompok ada kesulitan-kesulitan seperti
nasional-daerah, kedalaman, indikator pengukuran dan lain-lain. Hal itu disebabkan karena
template yang sudah standar UNISDR dan berlaku internasional, sedangkan untuk evaluasi
tersebut berlaku secara spesifik di Indonesia. Untuk evaluasi ke depan diharapkan ada
masukan-masukan dari Indonesia mengenai template evaluasi PRB itu agar lebih sesuai
dengan kondisi Indonesia.

Tantangan dalam Mengimplementasikan HFA
Ada tantangan-tantangan dalam mengimplementasikan HFA, seperti:
 Kesepakatan sinergi pendanaan implementasi Renas PB dan RAN-PRB yang akan
ditindaklanjuti dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD) tahunan.
 Sistem pendanaan terobosan untuk implementasi PRB, seperti melalui DAK-PRB
dan Asuransi Risiko Bencana perlu diupayakan.
 Alokasi dana untuk PRB dalam APBN baru sekitar 0,17%, komitmen global untuk
sedikitnya 1% APBN dialokasikan untuk PRB memerlukan komitmen penuh
pemerintah.
 Sifat implementasi PRB yang multi-pihak dan multi-sumberdaya, perlu dipantau
implementasinya, untuk mengawal implementasi komitmen dari Pemerintah, Pemda,
dan para pemangku kepentingan lainnya.
 Meningkatkan peran koordinasi BNPB dalam mengawal implementasi RAN PRB
yang melibatkan K/L terkait, dengan Pemda, serta donor/LSM terkait.
 Implementasi HFA masih terkesan elitis pada kalangan pemerintah pusat (khususnya
di BNPB dan Bappenas), kalangan pemerintah daerah tertentu yang sering terpapar
dengan kegiatan-kegiatan PRB (misalkan di Yogyakarta, Jawa Tengah, Sumatera
Barat, Aceh), lembaga-lembaga non pemerintah internasional, lembaga PBB,
lembaga non pemerintah tingkat nasional dan provinsi. Di tingkat pejabat pemerintah
daerah masih balum banyak tahu tentang apa itu HFA.

--- dp ---

9

IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA oleh Djuni Pristiyanto