Sistem pertanian terpadu pertanian terpadu
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Pemerintah di masa Orde Baru sangat banyak memberikan perhatian pada pembangunan lahan-lahan beririgasi. Teknologi mendukung penuh peran tersebut dalam setiap tahap pembangunan pertanian, seperti menggunakan benih unggul dan pupuk kimia yang secara intensif telah diterapkan sejak REPELITA I pada tahun 70-an dan berhasil memacu produksi cukup tinggi, namun juga menyebabkan merosotnya kualitas dan kesuburan lahan. Atas dasar Pertimbangan mengejar swasembada beras, disain kebijakan pengembangan pertanian Orde Baru sangat bias ke usahatani padi. Terkonsentrasinya pengembangan teknologi pangan pada lahan sawah menyebabkan kurang berkembangnya teknologi pada ekosistem lainnya seperti pada lahan-lahan kering.
Perhatian terhadap perkembangan pertanian pada agroekosistem lahan kering (kecuali perkebunan skala besar) menjadi sangat kurang. Sebagai ilustrasi, perkembangan teknologi dan produktivitas tanaman pangan pada agroekosistem lahan kering (kecuali beberapa komoditas tertentu) menjadi sangat lamban jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada agroekosistemn persawahan. Pada saat teknologi lahan sawah mencapai tahap levelling off, teknologi lahan kering maupun agroekosistem lainnya belum mampu meningkatkan produktifitas tanaman secara signifikan Sama halnya peternakan, berbagai terobosan yang memungkinkan terjadinya lompatan produktivitas dan usahatani juga kurang terfasilitasi. Kebijakan pengembangan komoditas pangan yang terfokus pada padi secara monokultur telah mengabaikan potensi pengembangan sumberdaya lainnya terutama di lahan-lahan kering.
Menurut data BPS tahun 2004 total luas lahan pertanian di Indonesia adalah sekitar 73.4 juta hektar. Dari jumlah itu, sekitar 65.7 juta hektar (90.5 %) adalah lahan kering dan sekitar 7.7 juta hektar (10.5 %) lahan sawah. Apabila dikaji lebih jauh dari data penggunaan lahan kering yang ada, menunjukkan bahwa ketergantungan pertanian pada usahatani lahan kering jauh lebih besar Menurut data BPS tahun 2004 total luas lahan pertanian di Indonesia adalah sekitar 73.4 juta hektar. Dari jumlah itu, sekitar 65.7 juta hektar (90.5 %) adalah lahan kering dan sekitar 7.7 juta hektar (10.5 %) lahan sawah. Apabila dikaji lebih jauh dari data penggunaan lahan kering yang ada, menunjukkan bahwa ketergantungan pertanian pada usahatani lahan kering jauh lebih besar
3.24 juta ha berada di Jawa (Minardi, 2009). Survei Pertanian-BPS memberikan angka-angka luasan lahan kering khususnya dalam hal penggunaannya dan secara ringkas dapat disebutkan dari yang terbesar berturut-turut adalah hutan rakyat (16.5%), perkebunan (15.8%), tegalan (15%), ladang (5.7%), padang rumput (4%). Lahan kering yang kosong dan merupakan tanah yang tidak diusahakan seluas (14%) dari total lahan kering, sudah barang tentu merupakan potensi yang besar untuk dapat dimanfaatkan
Selama ini makna tentang agoekosistem lahan kering tidak berkonotasi tunggal. Pertama, agroekosistem lahan kering dimaknai sebagai wilayah atau kawasan pertanian yang usahataninya berbasis komoditas lahan kering dalam hal ini adalah komoditas selain padi sawah. Kedua, agroekosistem lahan kering dimaknai sebagai wilayah beriklim kering yang basis ekonominya adalah pertanian. Ketiga, dimaknai sebagai kawasan pertanian di wilayah hulu dari suatu Daerah Aliran Sungai (Upland Agriculture) (Notohadiprawiro, 1989). Dalam makalah ini makna agroekosistem lahan kering yang diacu adalah pada konotasi kedua yaitu wilayah yang beriklim kering. Dengan mengambil posisi ini maka sistem usahatani sawah (yang secara teoritis semestinya minoritas) tercakup pula didalamnya karena merupakan bagian integral dari sistem pertanian agroekosistem lahan kering. Secara normatif, kinerja pertanian pada wilayah tersebut didominasi oleh komoditas pertanian pangan non padi, tanaman perkebunan, sayuran dan peternakan.
1.2 Perumusan Masalah
Tujuan pembangunan pertanian bersifat multi dimensi dan multi tujuan. Secara agregat, yang terpenting adalah peningkatan produksi, peningkatan pendapatan dan pemerataan pendapatan, dan perluasan tenaga kerja. Bahkan sesungguhnya dimensi keberlanjutan (sustainability) juga harus menjadi bagian integral dari pembangunan pertanian. Hal ini berlaku umum, termasuk pula pada pembangunan pertanian pada agroekosistem lahan kering.
Urgensi Peningkatan skala prioritas pembangunan pertanian lahan kering terkait dengan beberapa hal berikut. Pertama, akselerasi pembangunan pertanian agroekosistem lahan kering dapat berkontribusi pada peningkatan produksi pertanian secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung adalah peningkatan produksi pertanian di daerah itu sendiri, sedangkan yang sifatnya tidak langsung adalah kaitan kedepan dan kebelakangnya. Kedua, berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. Ketiga, berkontribusi pada peningkatan manfaat dalam perdagangan baik melalui penciptaan devisa (ekspor) maupun penghematan devisa (mengurangi impor). Keempat, realisasi dan komitmen untuk mewujudkan keadilan. Kelima, pengembangan basis-basis pertumbuhan ekonomi di luar Pulau Jawa, karena secara empiris sebagian besar sumberdaya pertanian lahan kering dominan di wilayah tersebut. Keenam, berkontribusi dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim melalui pengembangan sistem pertanian terpadu berbasis prinsip konservasi dan keberlanjutan (Kadekoh, 2010).
Melihat peranan lahan kering sangat penting dalam menunjang kegiatan pertanian maka sangat penting pula untuk menelaah yang terkait dengan pengembangannya secara ramah lingkungan, menata pengembangan sumberdaya yang berkelanjutan, kesejahteraan petani serta penciptaan lapangan kerja. Struktur pertanian lahan kering ini umumnya didominasi oleh usaha pertanian yang berskala kecil oleh karenanya sangat membutuhkan sentuhan teknologi tepat guna spesifik lokasi agar terjadi peningkatan nilai tambah.
Secara umum pemanfaatan lahan kering baik dataran rendah maupun dataran tinggi telah menerapkan konsep pengembangan pertanian terpadu dimana terdapat komponen pemeliharaan tanaman, komponen pemeliharaan ternak serta penanganan limbahnya walaupun sering teknologi yang diterapkan masih bersifat tradisional. Pada aspek pemeliharaan tanaman, komponen produksi masih sering dilaporkan rendah, peningkatan bobot ternak misalnya sapi juga rendah yang berkisar 250-350 gram per ekor per hari serta limbah ternak dan tanaman sering tidak dimanfaatkan (Kariada, et. al. 2002). Realita dan permasalahan di atas melatarbelakangi munculnya konsep sistem pertanian berkelanjutan yang berorientasi pada optimalisasi potensi sumber daya secara bijaksana dan lebih Secara umum pemanfaatan lahan kering baik dataran rendah maupun dataran tinggi telah menerapkan konsep pengembangan pertanian terpadu dimana terdapat komponen pemeliharaan tanaman, komponen pemeliharaan ternak serta penanganan limbahnya walaupun sering teknologi yang diterapkan masih bersifat tradisional. Pada aspek pemeliharaan tanaman, komponen produksi masih sering dilaporkan rendah, peningkatan bobot ternak misalnya sapi juga rendah yang berkisar 250-350 gram per ekor per hari serta limbah ternak dan tanaman sering tidak dimanfaatkan (Kariada, et. al. 2002). Realita dan permasalahan di atas melatarbelakangi munculnya konsep sistem pertanian berkelanjutan yang berorientasi pada optimalisasi potensi sumber daya secara bijaksana dan lebih
Konsep pertanian terpadu mengharapkan agar terjadi suatu keseimbangan alamiah yang menekankan pada aspek konservasi sumberdaya, menekan dampak negatif, memelihara keseimbangan lingkungan, meningkatkan efisiensi dengan pemanfaatan/mengembalikan bahan organik ke dalam tanah serta meningkatkan rasa percaya diri petani terhadap profesinya bahwa pertanian adalah sumber pendapatan yang sarat dengan makna kehidupan (Kariada, et. al., 2004).
1.3. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menyajikan :
1. Analisis pemanfaatan potensi agroekosistem lahan kering.
2. Konsep pertanian terpadu pada lahan kering.
3. Strategi pengembangan sistem pertanian terpadu yang ramah lingkungan dengan menekankan pada optimalisasi pemanfataan potensi sumberdaya pertanian lokal pada wilayah dominan agroekosistem lahan kering.
II. ANALISIS PEMANFAATAN POTENSI DARI AGROEKOSISTEM LAHAN KERING DI INDONESIA
2.1 Agroekosistem Lahan Kering
Penggunaan istilah lahan kering di Indonesia belum tersepakati secara aklamasi. Beberapa pihak menggunakan untuk padanan istilah Inggris: upland, dryland, atau non irrigated land (Notohadiprawiro, 1989). Sementara menurut Minardi (2009), lahan kering umumnya selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air. Definisi lahan kering menurut Direktorat perluasan areal (2009) adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian kecil waktu dalam setahun, yang terdiri dari lahan kering dataran rendah, dan lahan kering dataran tinggi.
Menurut Bamualim (2004), secara teoritis lahan kering di Indonesia dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu (1) lahan kering beriklim kering, yang banyak dijumpai diwilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI), dan (2) lahan kering beriklim basah, yang banyak terdapat di kawasan barat Indonesia. Wilayah pengembangan lahan kering yang dominan di Indonesia berdasarkan dua kategori tersebut diklasifikasikan berdasarkan potensi dan dominasi vegetasinya.
2.2. Pemanfaatan Potensi Lahan Kering
Potensi pemanfaatan lahan kering cukup luas. Untuk komoditas pangan dapat dikembangkan padi gogo, padi legowo, jagung, sorghum, kedele dan palawija lainnya. Ketersediaan lahan ini cukup luas terutama di luar P. Jawa. Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangkan) ada 7 provinsi yang memiliki potensi pengembangan tanaman lahan kering seperti padi gogo dan palawija yaitu provinsi Riau (291 077 ha), Sumatera Selatan (1 437 075 ha) Lampung (802 341 ha), Jawa Barat (184 160 ha),
Banten (36 631 ha), NTT (550 075 ha) dan Kalimantan Barat (2 211 632 ha) (Direktorat Perluasan Areal, 2009). Untuk
pengembangan komoditas perkebunan, dapat dinyatakan bahwa hampir semua komoditas perkebunan yang produksinya berorientasi ekspor dihasilkan dari usahatani lahan kering. Kontribusinya terhadap devisa dan pendapatan petani serta dalam penyerapan tenaga kerja sangat berarti bagi pertumbuhan sektor pertanian dalam beberapa tahun terakhir ini.
Prospek agroekosistem lahan kering untuk pengembangan peternakan cukup baik (Bamualim, 2004). Peluang pasarnya masih sangat terbuka. Kemampuan pasar domestik untuk menyerap produksi yang dihasilkan dari usaha peternakan sapi pedaging, sapi perah, kambing, domba, babi, unggas masih akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita. Bahkan dalam rangka mengurangi ketergantungan impor, perlu ada program dan aksi nyata yang revolusioner.
Ternak ruminasia dapat dikembangkan dengan sistem landbase dan non- landbase . Pengembangan dengan sistem landbase mengandalkan pakan ternak dari lahan penggembalaan dan kebun rumput, sedangkan non-landbase lebih pada menggunakan butir-butiran, limbah pertanian dan limbah industri pertanian. Disamping itu ada juga pengembangan pola mix-farming, kombinasi antara usahatani ternak dengan tanaman karet (rubber ruminat), usaha ternak dibawah pohon kelapa (coco-beaf), usaha ternak dibawah kebun kelapa sawit (palm-oil- beef ), dan kombinasi tanamn pangan dengan ternak (Crops Livestock System- CLS ). Usaha ternak ruminansia dengan sistem landbase dilakukan pada padang penggembalaan yang merupakan lahan kelas III dan IV yang banyak terdapat di KTI. Daerah itu umumnya merupakan daerah lahan kering seperti NTB, NTT dan Sulawesi. Sejak lama daerah itu merupakan sentra produksi ternak sapi dan kerbau yang berbasis lahan penggembalaan.
Usaha peternakan sapi yang merupakan bagian integral dalam sistem usahatani lahan kering di NTT berperan penting sebagai sumber pendapatan bagi petani, terutama jika tanaman pangan mengalami kegagalan (Ratnawaty et al., 2004). Menurut Arsana et al., (2004) dengan rata-rata kepemilikan lahan 50 are, Usaha peternakan sapi yang merupakan bagian integral dalam sistem usahatani lahan kering di NTT berperan penting sebagai sumber pendapatan bagi petani, terutama jika tanaman pangan mengalami kegagalan (Ratnawaty et al., 2004). Menurut Arsana et al., (2004) dengan rata-rata kepemilikan lahan 50 are,
25.5 %, kelapa dan kopi 19.9%, usahatani tumpangsari jagung ubi jalar dan undis pada MK 17% dan usahatani padi pada MK 6.2%. Terlihat bahwa peran sapi cukup tinggi.
Selain pendapatan dari penjualan ternak, pengembangan peternakan ruminasia dilahan kering dapat meningkatkan kualitas lahan. Kualitas lahan dapat ditingkatkan dengan adanya kotoran ternak. Seekor sapi dewasa dapat menghasilkan kotoran padat segar (feces) rata-rata 7.5 ton per tahun yang mengandung sekitar 15 kg N, 15 kh P2O5 dan 20kg K2O (Hasnudi dan Saleh, 2004). Selain meningkatkan kandungan hara, kotoran ternak mampu memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Pengembangan
dilahan kering membutuhkan hijauan pakan. Tanaman pakan ternak ada yang berupa rerumputan (gramineae dan leguminosa) dan ada pepohonan. Tanaman rerumputan dapat ditanam di lahan-lahan berkemiringan sebagai pencegah erosi dan menyuburkan tanah melalui rhizobium yang terdapat pada bintil akar.
peternakan
III. KONSEP PERTANIAN TERPADU PADA LAHAN KERING
3.1 Konsep Pertanian Terpadu
Sistem pertanian lahan kering pada umumnya belum dipahami secara mendalam, sementara keragaman ekosistemnya cukup kompleks. Kendala lingkungan, kondisi sosial ekonomi masyarakat serta keterbatasan sentuhan teknologi yang adaptif mengakibatkan kualitas, produktivitas dan stabilitas sistem usahatani yang ada masih terbatas. Kerusakan fungsi lahan sebagai media tumbuh, seperti pekanya tanah terhadap erosi, unsur hara yang minim, terbatasnya kandungan bahan organik merupakan permasalahan biofisik. Sementara itu pihak petani lahan kering merupakan petani yang tergolong marjinal ditandai dengan pendapatan dan tingkat pendidikan yang rendah, keterampilan terbatas serta terbatasnya pelaksanaan konservasi pada lahan usahataninya (Sholahuddin et al., dalam Kadekoh 2010). Hal ini merupakan masalah masalah klasik di kalangan petani lahan kering yang memerlukan penanganan yang optimal, terencana dan berkelanjutan.
Teknologi sepadan diperlukan untuk menciptakan prospek cerah, khususnya bagi lahan kering baik bagi lingkungan biofisik maupun lingkungan sosial ekonomi. Teknologi yang dipandang tepat adalah teknologi yang berasaskan intergrated farming system (pertanian terpadu) yaitu suatu sistem pertanian yang efisien dan berwawasan lingkungan, yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya lokal secara optimal bagi tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan. Pengertian usahatani integrasi menurut Suwandi dalam Kariada (2004) adalah suatu kegiatan petani dalam memanfaatkan secara optimal dan terpadu lebih dari satu komoditas pertanian, baik komponen usahatani pangan, palawija, hortikultura, ternak, dan ikan selama setahun. Sedangkan usahatani tidak terintegrasi hanya dengan satu komoditas selama setahun. Sistem Pertanian terpadu merupakan sistem yang menggabungkan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan ilmu lain yang terkait dengan pertanian dalam satu lahan, sehingga diharapkan dapat sebagai salah satu solusi bagi peningkatan Teknologi sepadan diperlukan untuk menciptakan prospek cerah, khususnya bagi lahan kering baik bagi lingkungan biofisik maupun lingkungan sosial ekonomi. Teknologi yang dipandang tepat adalah teknologi yang berasaskan intergrated farming system (pertanian terpadu) yaitu suatu sistem pertanian yang efisien dan berwawasan lingkungan, yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya lokal secara optimal bagi tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan. Pengertian usahatani integrasi menurut Suwandi dalam Kariada (2004) adalah suatu kegiatan petani dalam memanfaatkan secara optimal dan terpadu lebih dari satu komoditas pertanian, baik komponen usahatani pangan, palawija, hortikultura, ternak, dan ikan selama setahun. Sedangkan usahatani tidak terintegrasi hanya dengan satu komoditas selama setahun. Sistem Pertanian terpadu merupakan sistem yang menggabungkan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan ilmu lain yang terkait dengan pertanian dalam satu lahan, sehingga diharapkan dapat sebagai salah satu solusi bagi peningkatan
Solusi yang dapat diberikan kepada petani untuk mengatasi kelemahan revolusi hijau menurut Artaji (2011) adalah pengelolaan usahatani dengan model intergrated farming system yang mencakup:
(1) Integrated Crop Management (ICM) atau Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), seperti cara tanam, pola tanam, perawatan tanaman, metode panen, dll.
(2) Integrated Nutrient Management (INM) atau Pengelolaan Hara Terpadu, yaitu menyediakan hara yang sesuai dengan jumlah hara (neraca hara) yang dibutuhkan oleh setiap komoditas, sehingga tercipta kecukupan hara dalam jumlah yang tepat dan tanaman dapat berproduksi optimal.
(3) Integrated Pest Management (IPM) atau Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) yang lebih efektif dan ramah lingkungan seperti penggunaan pestisida nabati, perangkap, predator alami, organisme antagonis, dan usaha-usaha penegahan serangan hama/penyakit.
(4) Integrated Soil Moisture Management (IMM) atau Pengelolan Air Terpadu (PAT) seperti peggunaan irigasi teknis atau teknologi yang lebih canggih lainnya dalam sistem vertigasi.
(5) Integrated Livestock Management (ILM) atau Pengelolaan Ternak Terpadu Untuk peternakan dan/atau sistem/pola pertanian terpadu di mana ada hubungan timbal-balik antara pertanian dan peternakan.
(6) Integrated Waste Management (IWM) atau Pengelolaan Limbah Terpadu Untuk peternakan dan/atau sistem/pola pertanian terpadu di mana siklus biologi (bio-cycle) dalam usaha budidaya yang tidak terputus dan pemanfaatan biomassa yang lebih efektif dan efisien (zero waste management) .
Rural Industries Research and Development Corporation (RIRDC) (2002) menyebut sistem usahatani integrasi dengan bio-cyclo farming atau integrated biosystems yang didefinisikan sebagai sistem yang menghubungkan beberapa aktivitas produksi pangan yang berbeda, dengan aktivitas lain seperti pengolahan limbah dan pembuatan bahan bakar. Integrated biosystems adalah sistem pertanian dimana produksi dan konsumsi berlangsung pada suatu siklus tertutup, output dari suatu operasi menjadi input untuk yang lainnya secara berkesinambungan. Sistem ini memungkinkan adanya hubungan fungsional antara aktivitas produksi pangan yang berbeda, seperti pertanian, perikanan, dan industri pangan, dengan aktivitas lainnya seperti pengelolaan limbah, penggunaan air dan degenerasi bahan bakar. Pangan, pupuk, pakan ternak dan bahan bakar dapat diproduksi dengan input atau sumberdaya minimum, seperti yang terlihat pada bagan aliran bahan dalam sistem pertanian terpadu berikut (Gambar 1).
Gambar 1. Aliran Bahan Dalam Sistem Pertanian Terpadu
Salah satu bentuk pertanian terpadu yang telah dilakukan pada agroekosistem lahan kering di Indonesia adalah integrasi tanaman-ternak (ITT) atau pola Crop-Livestock System (CLS) dan integrasi tanaman-ternak-ikan (ITTI). Semua integrasi tersebut termasuk dalam model pertanian terpadu dalam satu Salah satu bentuk pertanian terpadu yang telah dilakukan pada agroekosistem lahan kering di Indonesia adalah integrasi tanaman-ternak (ITT) atau pola Crop-Livestock System (CLS) dan integrasi tanaman-ternak-ikan (ITTI). Semua integrasi tersebut termasuk dalam model pertanian terpadu dalam satu
Memadukan tanaman, ternak dan ikan pada sistem Integrated Bio Cycle Farming mempunyai kelebihan ditinjau dari ekologi dan ekonomi. Ditinjau dari ekologi Sistem pertanian terpadu bersifat produktif dan menguntungkan karena melaksanakan daur ulang secara intensif. Limbah dari satu kegiatan dapat dimanfaatkan sebagai sumber hara kegiatan yang lain. Selain itu ikan merupakan sumber protein hewani untuk rumah tangga petani (Sutanto 2002). Limbah pertanian untuk pakan ternak dan limbah peternakan diolah jadi biogas dan kompos sehingga impian membentuk masyarakat tani yang makmur dan mandiri terkonsep dengan jelas. Sistem ini secara kondusif telah melaksanakan konservasi sumberdaya alam, karena mendorong stabilitas habitat dan keanekaragaman kehidupan alami di lingkungan pertanian dan sekitarnya. Sistem terpadu ini mengoptimumkan penggunaan sumberdaya yang berasal dari usahatani itu sendiri maupun yang ada di sekitarnya, dan mendorong konservasi habitat daripada merusaknya.
Adapun keuntungan atau manfaat ekonomi atas penyelenggaraan usahatani terpadu bagi petani dan keluarga adalah sebagai berikut:
1. Menyediakan kebutuhan pangan dan gizi yang bervariasi bagi keluarga petani.
2. Memberikan pendapatan yang tidak tergantung kepada musim. Pendapatan itu dapat diperoleh secara bersinambung dari waktu ke waktu dengan jarak yang tidak begitu lama. Hasil pertanian dan perikanan diharapkan mampu mencukupi kehidupan jangka pendek, sedangkan hasil peternakan dan perkebunan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan jangka menengah Selain itu usahatani tersebut dapat mengurangi resiko kegagalan hasil.
3. Mengefektifkan tenaga kerja keluarga. Dengan usahatani integrasi pengangguran tak kentara dapat dihindarkan dan produktivitas tenaga kerja keluarga dapat ditingkatkan.
4. Usahatani integrasi juga dapat meningkatkan produktivitas penggunaan lahan dan modal, serta menjaga kelestarian alam. Dengan usahatani integrasi 4. Usahatani integrasi juga dapat meningkatkan produktivitas penggunaan lahan dan modal, serta menjaga kelestarian alam. Dengan usahatani integrasi
Konsep terapan sistem Integrated Bio Cycle Farming akan menghasilkan
langkah pengamanan terhadap ketahanan dan ketersediaan pangan dan energi
secara regional maupun nasional yang tercakup dalam F4 (Artaji, 2011), yaitu : (1) F1 (FOOD); Pangan manusia (beras, jagung, kedelai, kacang-kacangan,
jamur, sayuran, dll.), produk peternakan (daging, susu, telor, dll.), produk budi-daya ikan air tawar (lele, mujair, nila, gurame, dll.) dan hasil perkebunan (salak, kayumanis, sirsak, dll.)
(2) F2 (FEED); Pakan ternak termasuk di dalamnya ternak ruminansia (sapi, kambing, kerbau, kelinci), ternak unggas (ayam, itik, entok, angsa, burung dara, dll.), pakan ikan budidaya air tawar (ikan hias dan ikan konsumsi).
Dari budidaya tanaman padi akan dihasilkan produk utama beras dan produk sampingan bekatul, sekam padi, jerami dan kawul, semua produk sampingan apabila diproses lanjut masih mempunyai kegunaan dan nilai ekonomis yang layak kelola. Jerami dan malai kosong (kawul) dapat disimpan sebagai hay (bahan pakan kering) untuk ternak ruminansia atau dibuat silage (makanan hijau terfermentasi), sedangkan bekatul sudah tidak asing lagi sebagai bahan pencampur pakan ternak (ruminansia, unggas dan ikan). Pakan ternak ini berupa pakan hijauan dari tanaman pagar, azolla, dan eceng gondok.
(3) F3 (FUEL); Akan dihasilkan energi dalam berbagai bentuk mulai energi panas (bio gas) untuk kebutuhan domestik/masak memasak, energi panas untuk industri makanan di kawasan pedesaan juga untuk industri kecil. Hasil akhir dari bio gas adalah bio fertilizer berupa pupuk organik cair dan kompos.
Pemakaian tenaga langsung lembu untuk penarik pedati, kerbau untuk meng- olah lahan pertanian sebenarnya adalah produk berbentuk fuel/energi.
Sekam padi dapat dikonversi menjadi energi (pembakaran langsung maupun gasifikasi) dan masih akan menghasilkan abu maupun arang sekam yang dapat diimplementasikan sebagai pupuk organic, sementara apabila energi Sekam padi dapat dikonversi menjadi energi (pembakaran langsung maupun gasifikasi) dan masih akan menghasilkan abu maupun arang sekam yang dapat diimplementasikan sebagai pupuk organic, sementara apabila energi
(4) F4 (FERTILIZER); Sisa produk pertanian melalui proses decomposer maupun pirolisis akan menghasilkan organic fertilizer dengan berbagai kandungan unsur hara dan C-organik yang relative tinggi. Bio/organic fertilizer bukan hanya sebagai penyubur tetapi juga sebagai perawat tanah (soil conditioner), yang dari sisi keekonomisan maupun karakter hasil produknya tidak kalah dengan pupuk buatan (anorganik fertilizer) bahkan pada kondisi tertentu akan dihasil-kan bio pestisida (dari asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis gasifikasi) yang dapat dimanfaatkan sebagai pengawet makanan yang tidak berbahaya (bio preservative).
Pola CLS antara tumbuhan dan ternak pada umumnya banyak dipraktekkan dengan tanaman perkebunan. Tujuan sistem ini adalah untuk pemanfaatan lahan secara optimal, namun belum banyak mendapat perhatian. Dalam sistem ini tanaman perkebunan sebagai komponen utama dan tanaman rumput dan ternak yang merumput diatasnya sebagai komponen kedua. Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa integrasi antara tanaman perkebunan dan peternakan dapat meningkatkan kualitas tanah, produksi kelapa, produksi kopra, hasil buah sawit segar dan keuntungan ekonomis serta meningkatkan hasil ternak, menurunkan biaya penyiangan dan mempermudah pengumpulan hasil perkebunan. (Moningka et al ., 1993 dalam Kariada, 2004) menjelaskan keuntungan-keuntungan dari sistem ini antara lain : (1) Tersedianya tanaman peneduh bagi ternak sehingga dapat mengurangi stress karena panas; (2) Meningkatkan kesuburan tanah melalui proses kembaliya air seni dan feces ke dalam tanah; (3) Meningkatkan kualitas pakan ternak dan membatasi pertumbuhan gulma; (4) Mengurangi penggunaan herbisida; (5) Meningkatkan hasil tanaman perkebunan dan (6) Meningkatkan keuntungan ekonomis termasuk hasil ternaknya
IV. STRATEGI DAN LANGKAH OPERASIONAL
4.1 Pengembangan Konsep Integrasi Ternak dan Tanaman (ITT)
Pengembangan pertanian berwawasan lingkungan di pedesaan mempunyai sasaran untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, pemberdayaan, kapasitas, kemandirian dan akses masyarakat pertanian dalam pembangunan berkelanjutan. Langkah-langkah yang diperlukan adalah melalui peningkatan kualitas dan kuantitas produksi, efisiensi pemanfaatan input serta pengembangan potensi sumberdaya lokal. Indikator tercapainya sasaran pengembangan pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan antara lain dicirikan oleh:
1. Petani mampu akses langsung dengan teknologi spesifik lokasi yang diintroduksikan oleh berbagai pihak, baik peneliti maupun instansi lainnya.
2. Tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok tani mandiri yang selalu menyuarakan konsep ramah lingkungan.
3. Aktivitas para petani/kelompok tani berkelanjutan walaupun dengan binaan yang sangat minimal.
4. Para petani mengerti dan menyadari untuk berproduksi sehat dan berkualitas dengan standard yang telah ditetapkan untuk menjamin daya saing yang akan berhadapan dengan perdagangan bebas.
5. Para petani mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan input dan peningkatan produktivitas yang ramah lingkungan melalui kreativitas kelompok tani.
6. Meningkatnya produktivitas lahan serta menurunnya intensitas serangan OPT dan penyakit.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam suatu zona agroekologi lahan kering tertentu dapat diciptakan suatu aktivitas terpadu yang mampu menciptakan suatu sistem holistic yang saling memberikan peningkatan nilai tambah. Pada lahan-lahan kering secara umum para petani telah memiliki ternak baik ternak sapi, kambing, ayam maupun babi serta mengelola usaha pertanian walaupun dalam skala kecil. Dalam kegiatan yang bersifat holistik maka ada langkah- Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam suatu zona agroekologi lahan kering tertentu dapat diciptakan suatu aktivitas terpadu yang mampu menciptakan suatu sistem holistic yang saling memberikan peningkatan nilai tambah. Pada lahan-lahan kering secara umum para petani telah memiliki ternak baik ternak sapi, kambing, ayam maupun babi serta mengelola usaha pertanian walaupun dalam skala kecil. Dalam kegiatan yang bersifat holistik maka ada langkah-
4.1.1 Meningkatkan Produktivitas Ternak (Sapi)
Dalam meningkatkan produktivitas ternak sapi maka pemilihan bibit sapi menjadi prioritas terutama untuk sapi penggemukan perlu memilih bibit yang sudah besar dengan berat awal rata-rata 250 s/d 300 kg. Bibit sapi yang besar akan lebih cepat peningkatan bobotnya bila dibandingkan dengan sapi yang lebih kecil. Beberapa hasil pengkajian introduksi teknologi bioplus (bio-cas 5 cc/ekor/hari, HMT 10% dari bobot sapi serta pakan penguat dedak 2 kg/ekor/hari) menunjukkan bahwa rata-rata PBB sapi yang berat awalnya 300 kg mampu meningkat mencapai rata-rata 0.640 kg/ekor/hari pada sapi Bali (Kariada, et. al., 2004), sementara pada sapi Ongole sebesar 0,90 kg/hari/ekor (Herry, et al.; 1996).
Beberapa hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa dengan pemberian pakan penguat pada sapi ternyata mampu menghasilkan peningkatan bobot secara nyata. Parwati et al. (1999), menyatakan hal ini disebabkan karena pakan penguat atau konsentrat lebih banyak mengandung karbohidrat sederhana dan lebih sedikit kandungan serat kasarnya sehingga penambahan konsentrat akan meningkatkan nilai cerna keseluruhan pakan (Blakely and Bade, 1998). Meningkatnya PBB sapi pada pemberian probiotik disebabkan karena Biocas mengandung mikroba- mikroba yang dapat membantu memecahkan karbohidrat kompleks menjadi Beberapa hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa dengan pemberian pakan penguat pada sapi ternyata mampu menghasilkan peningkatan bobot secara nyata. Parwati et al. (1999), menyatakan hal ini disebabkan karena pakan penguat atau konsentrat lebih banyak mengandung karbohidrat sederhana dan lebih sedikit kandungan serat kasarnya sehingga penambahan konsentrat akan meningkatkan nilai cerna keseluruhan pakan (Blakely and Bade, 1998). Meningkatnya PBB sapi pada pemberian probiotik disebabkan karena Biocas mengandung mikroba- mikroba yang dapat membantu memecahkan karbohidrat kompleks menjadi
Gambar 2. Peternakan Sapi pada Sistem Integrated Bio Cycle Farming
Selain memperhatikan kondisi pakan ternak (HMT segar, HMT olahan, pakan penguat dan probiotik), maka faktor kesehatan ternak juga memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan bobot sapi. Pada umumnya pemeliharaan ternak secara tradisional belum memperhatikan tentang kesehatan hewan. Kesehatan hewan baru mendapatkan perhatian saat hewan tersebut sudah sakit, dan hal ini biasanya terlambat untuk mendapatkan penanganan, dan hal ini akan berakibat fatal bagi peternak.
4.1.2 Pengolahan Limbah Ternak dan Tanaman menjadi Pupuk Organik
Pada umumnya para petani di pedesaan meliliki ternak sapi berkisar 2-3 ekor/KK. Kotoran sapi yang bercampur sisa-sisa pakan ataupun limbah organik lainnya dapat dijadikan pupuk organik dengan prosesor cacing untuk pembuatan pupuk kascing. Dengan pembuatan pupuk kascing ini di tingkat petani dan Pada umumnya para petani di pedesaan meliliki ternak sapi berkisar 2-3 ekor/KK. Kotoran sapi yang bercampur sisa-sisa pakan ataupun limbah organik lainnya dapat dijadikan pupuk organik dengan prosesor cacing untuk pembuatan pupuk kascing. Dengan pembuatan pupuk kascing ini di tingkat petani dan
Pada proses pembuatan pupuk organik kascing diperlukan beberapa langkah mulai dari persiapan hingga pelaksanaan dan panen (Gambar 2). Dalam pelaksanaannya diperlukan : (a) bak prosesing beratap, (b) cacing, (c) bahan- bahan dasar yang diproses yaitu limbah ternak sapi dan limbah tanaman/ sayuran, sebagai sumber makanan cacing, (d) sumber air untuk menjaga kelembaban, (e) Menjaga agar tidak dimakan semut. Proses ini sangat sederhana dan dapat dilakukan dengan baik oleh para petani.
Dalam tahap awal bahan-bahan mentah seperti limbah ternak dan limbah tanaman dimasukkan ke dalam bak penampungan dengan luas bangunan yang bervariasi sesuai banyaknya limbah ternak. Untuk kepemilikan sapi 3 ekor sapi dapat dibuat bak penampungan yang beratap dengan luas 3 x 4 m dan diberi dinding batako 2 susun agar kompos dapat dikumpulkan untuk diproses hingga panen selama sekitar 30 hari. Adapun proses tersebut seperti terlihat pada
Diberikan cacing tanah
Limbah ternak dan tanaman
Pupuk kascing siap digunakan untuk Gambar 3 berikut.
Gambar 3. Proses Pembuatan Pupuk Kascing.
Komposisi nutrisi pupuk organic kascing dapat diketahui dengan melakukan analisis kimia, seperti hasil analisis kimia pupuk kascing dari daerah Tabanan berikut (Tabel 1) (Kariada et al., 2004)
Tabel 1. Hasil analisis kimia tanah dan pupuk kompos di dusun Pemuteran Candikuning Baturiti Tabanan
No.
Uraian
Analisis kascing
4. P Tersedia (ppm) 624.25 (ST)
5. K Tersedia (ppm) 11.842.40 (ST)
6. Kadar Air (%)
13.18 (KU)
Keterangan : Tekstur : pasir berlempung
A = alkalis, T = tinggi, ST = sangat tinggi, KU = kering udara, R = rendah, S = sedang, AM = agak masam.
Data di atas menunjukkan bahwa kadar nutrient pupuk organic kascing adalah sangat baik apabila diaplikan ke dalam tanah akan mampu meningkatkan pH tanah serta mampu melepaskan beberapa unsure-unsur nutrisi yang terjerap, misalnya Al-P. Sementara menurut Kartini (1999) kandungan unsure hara pupuk kascing adalah N (1.99%), P (3.92%), K (0.69 %), S (0.92%), Cu (0.045 %) dan Fe (0.081 %) serta mengandung zat tumbuh (Auksin) yang mampu merangsang pertumbuhan akar dengan baik. Dengan kondisi seperti maka pupuk kascing sangat baik diaplikasikan pada tanam-tanaman pangan maupun perkebunan.
4.1.3 Introduksi Pupuk Organik Dalam Meningkatkan Produktivitas Tanaman
Beberapa kajian introduksi pupuk organic kascing pada tanaman telah dilaporkan mampu meningkatkan hasil secara nyata. Data beberapa produksi tanaman sayuran yang dikompilasi sejak tahun 2000 menunjukkan sebagai berikut (Tabel
2) (Kariada et. al. 2000)
Tabel 2. Rata-Rata Tinggi Tanaman, Jumlah dan Lebar Daun, Diameter Batang dan Bobot Tanaman Sawi pada Umur 16 HST.
Bobot Produksi Pemberian
Cara Tinggi
tanaman (kg/are) Perlakuan *)
P0 =cara petani 28.23 6.34 9.47 0.64 57.26 128.26 a P1 = Fine
37.63 7.34 12.59 0.84 105.16 235.11 d compost
P2 = Kastcing 44.41 9.34 14.81 1.12 125.36 280.88 e P3 = ½ P0 + ½
31.34 6.38 10.36 0.63 80.42 170.14 b P1
P4 = ½ P0 + ½ 33.20 7.56 11.10 0.82 93.78 210.07 c P2
Tingginya hasil yang ditunjukkan oleh perlakuan pupuk kascing diakibatkan oleh komposisi unsur hara yang dikandung oleh pupuk kascing cukup baik (Tabel 1). Unsur hara yang dikandung ini sangat sesuai dengan kebutuhan tanaman sayuran yang membutuhkan kation-kation makro maupun mikro seperti di atas. Komposisi unsur yang dikandungnya pun sangat berimbang sehingga ketersediaan unsur hara yang siap diabsorpsi oleh akar pada fase generatif akan terpenuhi terutama pada saat fase-fase absorpsi nitrogen dalam pembentukan akar, batang dan daun (Soepardi dalam Kariada et. al. 2000). Sementara pada pemberian pupuk anorganik (NPK) justru memperlambat ketersediaan unsur hara akibat dari sifat fisik tanah di lokasi lahan kering tersebut teksturnya berpasir yang berarti aerasinya sangat baik. Pupuk kimia Nitrogen akan mudah mengalami pencucian, demikian pula P dan K akan menjadi tidak berimbang karena faktor N yang berkurang
Beberapa data pengkajian yang dilakukan di tempat lain seperti di lahan kering daerah pinggiran perkotaan tentang pengkajian pupuk organic kascing terhadap sifat fisik tanah dengan komoditi kacang panjang menunjukkan terjadinya peningkatan pH tanah, C-organik dan produksi (Tabel 3) (Kariada et al ., 2004).
Tabel 3. Pengaruh Beberapa Perlakuan Pupuk Organik Kascing terhadap pH Tanah, C-Org. Tanah dan Produksi Kacang Panjang Dibandingkan dengan Perlakuan NPK
C-Organik Tanah
Dosis (kg/Ha)
pH Tanah
Produksi (T/Ha)
Pupuk Kascing 0 6.01 1.20 2.42 2500
Pupuk NPK 100
Dari data tersebut di atas ternyata perlakuan pupuk organik kascing memberikan perbaikan terhadap sifat fisik tanah dimana pH dan C-Organik tanah tertinggi diperoleh pada dosis 7.500 kg/ha masing-masing 6.51 dan 1.67% sementara bila dibandingkan dengan perlakuan pupuk kimiawi dengan dosis anjuran hanya mampu menghasilkan pH 6.02 dan C-org tanah 1.14%. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk organic kascing mampu memperbaiki sifat fisik tanah.
Pengaruh perlakuan pupuk organik kascing dan kombinasinya dengan NPK pada tanaman cabai merah menunjukkan bahwa jumlah buah yang dihasilkan oleh perlakuan kascing menunjukkan jumlah terbanyak (Tabel 4) (Kariada, et. al. 2000). Hal ini diakibatkan oleh selain pupuk kascing mampu memperbaiki struktur tanah, pupuk ini juga ditengarai mengandung zat tumbuh auksin, giberelin dan sitokinin (Anonim, 1999).
Tabel 4. Rata-rata Jumlah Buah Cabai per Tanaman di Desa Tonja, Kota Denpasar
Rata-rata Jumlah Buah Cabai per Perlakuan Tanaman (buah)
P0 (Kontrol)
91.20 P1 (Fine Compost)
128.90 P2 (Kascing)
140.56 P3 (1/2 P0 + 1/2 P1)
114.00 P3 (1/2 P0 + 1/2 P2)
Sementara itu, data-data pengkajian pupuk organic kascing pada bawang merah di daerah pinggiran perkotaan menunjukkan bahwa perlakuan pupuk Kascing Sementara itu, data-data pengkajian pupuk organic kascing pada bawang merah di daerah pinggiran perkotaan menunjukkan bahwa perlakuan pupuk Kascing
Tabel 5. Rata-rata Tinggi dan Jumlah Umbi Tanaman Bawang Merah Var. Philippina.
Rata-rata tinggi
Jumlah Umbi per
Perlakuan Produksi (kg/Ha)
(cm)
rumpun
P1 (Cara petani)
33.45 9.15 10.69 P2. (NPK 100-
34.75 10.35 10.80 50-50) P3 (Pukan babi 5
35.50 10.65 11.28 t/Ha) P4 (Kascing 5
39.35 10.50 15.07 t/Ha)
4.1.4 Pemberdayaan Sumberdaya Air Melalui Pembangunan Bak-bak Penampung Air Hujan (Embung)
Dengan mengambil contoh pada pengembangan teknologi integrasi pada lahan kering dataran tinggi beriklim basah di Kecamatan Baturiti Tabanan Bali, maka diperoleh data-data monografi wilayah yang menunjukkan bahwa terjadi musim kemarau selama selama 5 bulan mulai dari bulan Juli hingga Nopember. Dampak yang ditimbulkannya adalah banyak petani menjual ternaknya pada bulan-bulan tersebut walaupun belum siap dijual dengan alasan kesulitan pakan baik yang bersumber dari rumput-rumputan (HMT) maupun dari limbah sayuran serta tidak melakukan budidaya sayuran. Untuk mengantisipasi kesulitan air, para petani menampung air dalam bak penampungan yang digunakan untuk kebutuhan sapi, mengoptimalkan hijauan maupun sayuran yang berasal dari limpasan curah hujan. Tabel 6, Gambar 4 dan 5 berikut menunjukkan keadaan curah hujan di wilayah tersebut.
Tabel 6. Rata-rata curah hujan per bulan di Baturiti Tabanan selama 5 tahun (1998 -2002)
Total curah hujan (mm)
Tahun Jan
Feb Mar Apr
Mei Juni Juli
Ags
Sep
Okt Nop Des Total
mm/bln
Juni Juli Ags Sep Okt Nop Des
Gambar 4. Rata-rata Curah Hujan per Bulan di Kecamatan Baturiti Tabanan
JHH/bln
Gambar 5. Rata-rata Hari Hujan per Bulan di Kecamtan Baturiti Tabanan
Sementara rata-rata jumlah hari hujan per bulan disajikan dalam Tabel 7. Nampak bahwa para petani mengalami kesulitan melakukan budidaya sayuran Sementara rata-rata jumlah hari hujan per bulan disajikan dalam Tabel 7. Nampak bahwa para petani mengalami kesulitan melakukan budidaya sayuran
Tabel 7. Rata-rata hari hujan per bulan di Baturiti selama 5 tahun (1998 - 2002).
Total hari hujan (hari/bulan)
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Total
Rata- 19 20 20 16 11 11 8 7 8 11 16 17 162 rata
Beberapa pengkajian pengelolaan sumberdaya air menunjukkan bahwa penampungan air limpasan hujan dapat diberdayakan untuk keperluan ternak dan tanaman hingga perioda 6 bulan tergantung besarnya penampuangan air yang dibuat. Menurut hasil penelitian pemanfaatan embung yang dilakukan oleh Suprapto, et al. (2000) di Desa Patas Buleleng menunjukkan terjadinya peningkatan aktivitas usahatani di musim kemarau dengan indeks penanaman yang meningkat pada tanaman-tanaman jagung, sayuran, padi gogo, kacang tanah dan lain-lainnya yang berkisar 0.25 – 0.30 ha per petani dan pendapatan petani meningkat sekitar 11.9%. Oleh karena itu air yang ditampung dalam embung akan memberikan nilai tambah yang cukup baik.
Embung memiliki peran penting karena berfungsi sebagai depot air yang bisa dimanfaatkan pada saat tanaman membutuhkan air, selain juga bermanfaat untuk ternak dan kebutuhan sehari-hari. Melihat besarnya manfaat embung maka pengembangan teknologi embung pada daerah-daerah lahan kering di Baturiti sangatlah bermanfaat, dengan melihat daya dukung daerah masing-masing. Berdasarkan potensi seperti ini maka upaya-upaya dalam membangun embung permanen dalam skala rumah tangga akan mampu digunakan lebih baik untuk kebutuhan ternak, prosesing pupuk organik kascing maupun untuk tanaman bernilai tambah tinggi seperti kentang, cabai, bawang dan lainnya (Gambar 6).
Gambar 6. Embung sebagai Penampungan air (Model Embung Permanent).
Dengan introduksi embung permanen maka intensitas tanam sayuran dapat dilakukan secara berlanjut pada saat musim kemarau tiba. Pembangunan embung- embung penyimpan air skala rumah tangga adalah strategis karena tidak membutuhkan biaya besar dan diharapkan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan daya dukung lahan dalam kegiatan usahatani sehingga akan dapat meningkatkan produktivitas lahan, tenaga kerja dan pendapatan petani. Beberapa tulisan tentang pentingnya peran embung sebagai bak penampung air dapat dilaporkan seperti pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Pemanfaatan Embung untuk Tujuan Pertanian di beberapa Daerah Sasaran/Topik
Lahan kering
Suprapto, et dataran rendah
Grokgak
SUT terpadu :
Buleleng Bali
konservasi tanah dan al ., 2000,2001
air, tanaman (pola tanam), ternak.
Lahan kering
Kariada, et al., dataran tinggi
Baturiti Tabanan SUT terpadu :
konservasi tanah dan 2002 air, tanaman, ternak Lahan sawah tadah Pati, Cilacap
Bali
Mulyadi dan hujan
Budidaya tanaman
pangan (pola tanam) Suprapto, 2000 Embung : kolam
Rembang Jateng
Diseminasi teknologi Syamsiah, et penampung air
al ., 1994 serbaguna Embung : sumber
embung
Diseminasi teknologi Retno., 1994 air lahan kering
embung
Cubang : rumah
Integrasi tanaman dan Dresta, 2003. penampung air
Kintamani,
Bangli, Bali
ternak
Dengan kondisi seperti di atas, maka dalam pengembangan pertanian lahan kering dibutuhkan adanya konsep integrasi ternak sapi potong dan sayuran serta aspek konservasi sumberdaya air dan tanah melalui penanaman tanaman pakan ternak sehingga sekaligus sebagai pelindung tanah dan sumber HMT ternak (Gambar 7).
Gambar 7. Konservasi Lahan Menggunakan Penanaman Rumput Gajah pada Setiap Galengan Lahan.
4.2 Pengembangan Konsep Integrasi Tanaman, Ternak dan Ikan (ITTI)
Dalam makalah ini, makna agroekosistem lahan kering yang diacu adalah wilayah yang beriklim kering. Dengan mengambil posisi ini maka sistem usahatani sawah (yang secara teoritis semestinya minoritas) tercakup pula di dalamnya karena merupakan bagian integral dari sistem pertanian agroekosistem lahan kering. Salah satu konsep penerapan pertanian terpadu yang dapat meningkatkan pendapatan usahatani sawah irigasi adalah konsep integrasi tanaman padi, perikanan dan peternakan (integrasi Padi, Ikan, Itik, Azolla dan Sapi), integrasi ini disamping mendatangkan pendapatan sampingan, penggabungan usaha tani terpadu yang berpijak pada pemanfaatan hubungan saling menguntungan antara satu sama lain ini (simbiosis mutualisme), juga memberikan dampak lingkungan yang positif bagi pertanian berkelanjutan.
Bentuk integrasi tanaman padi, ikan, itik, azolla dan sapi baru bisa dilaksanakan pada sawah yang airnya lancar. Ketersediaan air yang cukup lancar tersedia untuk mengairi usahatani lahan sawah irigasi diagroekosistem lahan kering ini adalah syarat mutlak bisa dilakukannya usahatani terpadu ITTI. Sistem pengelolaan dengan mengintegrasikan tanaman padi, itik, ikan, azolla dan sapi diharapkan dapat meningkatkan produktivitas padi, meningkatkan pendapatan petani dari hasil samping pemeliharaan sapi, itik, dan ikan, menekan penggunaan pupuk anorganik dan pestisida anorganik, menyediakan pakan sapi dari limbah pertanian (jerami padi), menyediakan pakan ikan dan itik dari azolla, menyediakan pupuk organik dari limbah sapi dan biogas untuk energi alternatif bagi petani.
Penggabungan beberapa jenis komoditas dalam ekosistem sawah irigasi yang memiliki hubungan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) ini tidak hanya memberikan keuntungan pada ekosistem itu sendiri, namun juga keuntungan bagi petani yang mengusahakannya, yaitu : dapat meningkatkan pendapatan dan pemenuhan karbohidrat serta protein hewani. Dengan mengusahakan padi, sekaligus ikan, azolla, bebek dan itik ini tentu saja memberikan pendapatan yang lebih besar dibandingkan bila kita hanya mengusahakan satu komoditas saja.
Pengusahaan tanaman padi tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan semata namun juga untuk memenuhi kebutuhan pangan sebagai sumber karbohidrat. Sedangkan adanya ikan dan bebek ini secara langsung maupun tidak langsung akan menjadi sumber protein hewani. Karena dengan adanya kotoran yang berasal dari bebek, sapi serta ikan menjadi pupuk organik yang selain dibutuhkan tanaman padi, juga dapat memperbaiki sifat fisik maupun kimia tanahnya. Kotoran yang dihasilkan oleh bebek maupun sapi dapat dimanfaatkan sebagai media makanan untuk menumbuhkan mikroorganisme yang menjadi makanan alami ikan. Sedangkan perilaku bebek dan ikan yang suka mengaduk-aduk tanah dalam mencari makanan dapat menyebabkan struktur tanah sawah menjadi lebih baik.
Tidak semua lokasi bisa menerapkan usaha integrasi ini karena selain memerlukan penanganan lebih intensif juga harus memenuhi beberapa kondisi tertentu. Karena dalam penanaman padi ini juga mengikut sertakan ternak ikan, maka sistem penanamannya pun harus memberikan keleluasan bagi ikan maupun pertumbuhan azolla itu sendiri. Jadi, dalam hal ini budidaya minapadi-azolla sangat dianjurkan menggunakan cara tanam sistem legowo. Teknologi legowo merupakan rekayasa teknik tanam dengan mengatur jarak anam antar rumpun dan antar barisan sehingga terjadi pemadatan rumpun padi dalam barisan dan melebar jarak antar barisan sehingga seolah-olah rumpun padi berada dibarisan pinggir dari pertanaman yang memperoleh manfaat sebagai tanaman pinggir (border effect ) seperti yang terlihat pada Gambar 8 (Anonim, 2010).
Gambar 8. Teknologi Legowo dalam Sistem Integrasi Tanaman Ternak Ikan