Petunjuk Praktis bagi Guru untuk Mengena

PROSED UR I D EN TI FI KASI D AN LAYAN AN PEN D I D I KAN BAGI AN AK D EN GAN D I SABI LI TAS

D AN KEBUTUH AN BELAJAR KH USUS LAI N N YA

Pet unj uk Pr akt is bagi Gur u unt uk Mengenali Gangguan Per kem bangan dan Belaj ar pada Siswa

Ignatius Dharta Ranu Wijaya

Prosedur identifikasi dan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, dilengkapi dengan indikator dan cheklist untuk membantu para guru dalam rangka pelaksanaan kebijakan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus disekolah dasar. Melalui pengamatan terhadap setiap gejala yang ada, jika guru menemukan siswa yang memiliki tanda-tanda mirip atau sama dengan gejala-gejala tertulis dalam checklist yang ada dalam buku panduan ini, dengan mudah mereka dapat menandainya, dan jika secara kualitatif memenuhi standar minimal yang ditetapkan, maka anak tersebut dapat dikategorikan sebagai anak dengan disabilitas dan kebutuhan belajar khusus lainnya. Klarifikasi kasus dan tindak lanjut kemudian direncanakan untuk dapat diimplementasikan bagi anak-anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR SAMBUTAN

Latar Belakang

Tujuan

Pengertian Anak Penyandang Disabilitas dan Anak Berkebutuhan Khusus

Pengertian dan Jenis Disabilitas serta Kebutuhan Belajar Khusus pada Anak

- Anak dengan ketunanetraan (hambatan penglihatan) - Anak dengan ketunarunguan (hambatan pendengaran) - Anak dengan ketunagrahitaan (hambatan intelegensi) - Anak dengan ketunadaksaan (hambatan motorik) - Anak berbakat dan cerdas istimewa (keberbakatan dan kecerdasan istimewa) - Anak dengan lamban belajar (potensi intelektual sedikit di bawah rata-rata dan di atas hambatan intelegensi) - Anak dengan kesulitan belajar spesifik (hambatan tugas-tugas akademik khusus, seperti kemampuan membaca, menulis dan atau berhitung/matematika) - Anak dengan gangguan komunikasi (mengalami gangguan komunikasi, kelainan suara, artikulasi/pengucapan, atau kelancaran bicara) - Anak dengan ketunalarasan (hambatan emosi dan perilaku) - Anak dengan autisme

Peran Orang Tua dalam Identifikasi dan Rencana Pemenuhan Kebutuhan Belajar Anak

Langkah Awal Mendapatkan Bantuan

Identifikasi dan Asesmen

- Penjaringan (screening) - Pengalihtanganan (referral) - Klasifikasi - Rencana Pembelajaran - Pemantauan Kemajuan Belajar

Alat Identifikasi dan Asesmen

- Riwayat Perkembangan Anak - Data Orang Tua Anak - Checklist Profil disablitas - Tes dan Asesmen

Pelaksanaan Identifikasi

- Sasaran - Pelaksana - Langkah

Tindak Lanjut Kegiatan Identifikasi

- Perencanaan Pembelajaran dan pengorganisasian siswa - Pelaksanaan Pembelajaran - Penilaian Kemajuan Belajar dan Evaluasi

LAMPIRAN

- Lampiran 1: Contoh Daftar Pertanyaan Bagi Orangtua Siswa - Lampiran 2: Contoh Daftar Riwayat Hidup Siswa - Lampiran 3: Contoh Alat Identifikasi - Lampiran 4: Contoh Asesmen Perkembangan - Lampiran 5: Contoh Asesmen Pre Akademis dan Akademis - Lampiran 6: Contoh Formulir Observasi di Kelas - Lampiran 7: Contoh Rencana Pembelajaran Individual (RPI) - Lampiran 8: Artikel Komitmen dan Kompetensi dalam Penanganan Masalah

Pendidikan bagi Anak Dengan Disabilitas dan Kebutuhan Belajar Khusus Lainnya di Indonesia

KATA PENGANTAR

Kebutuhan menemukan dan mengenali kelainan maupun gangguan perkembangan peserta di sekolah menjadi kebutuhan yang mendesak bagi para guru di sekolah. Apalagi pendidikan saat ini semakin terbuka dan inklusif. Semua anak tanpa terkecuali hampir semua telah mendapatkan akses pendidikan, khususnya di sekolah dasar. Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa buku ini tidak diperuntukkan untuk menggantikan mendiagnosa atau bahkan kemudian mengambil peran ahli lain, seperti dokter, psikolog, dsb. Buku prosedur ini secara kontekstual mengambil pendekatan pendidikan sehingga diagnosa bukan hal yang utama karena rencana intervensi yang didasarkan pada asesmen guru menjadi dasar utamanya.

Semoga buku prosedur ini bermanfaat!

Ignatius Dharta Ranu Wijaya

I. LATAR BELAKANG

Dalam rangka implementasi kebijakan inklusi, para guru yang ada di sekolah perlu dibekali dengan berbagai pengetahuan tentang anak dengan disabilitas dan kebutuhan belajar khusus lainnya. Mengetahui siapa yang disebut anak dengan disabilitas serta karakteristiknya dapat dilakukan oleh para guru melalui identifikasi terhadap siswa-siswa yang ada di kelas mereka. Dengan identifikasi yang tepat, mereka dapat mengupayakan bantuan pelayanan yang sesuai untuk mendukung dan menuntaskan hak pendidikan anak.

Pendidikan sebagai hak untuk semua anak telah tercantum dalam berbagai instrumen internasional mulai dari Deklarasi Universal 1948. Instrumen-instrumen selanjutnya menunjukkan bahwa kelompok-kelompok tertentu, termasuk anak penyandang cacat dan anak berkebutuhan khusus lainnya, sangat rentan untuk dipinggirkan. Hak untuk memperoleh pendidikan dan tidak didiskriminasikan telah disorot dalam instrumen-instrumen yang lebih rinci seperti deklarasi Jomtien dan Konvensi PBB tentang Hak Anak. Namun, hak atas pendidikan tidak secara otomatis mengimplikasikan inklusi. Hak atas Pendidikan Inklusif yang paling jelas telah dinyatakan dalam Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi yang menekankan bahwa sekolah membutuhkan perubahan dan penyesuaian. Pentingnya penggalangan sumber-sumber yang tepat untuk inklusi dinyatakan dalam Peraturan Standar PBB. Implementasi instrumen-instrumen PBB tersebut telah dievaluasi oleh sejumlah LSM internasional yang menyatakan bahwa Pendidikan untuk Semua belum terlaksana dan tidak akan terlaksana kecuali adanya partisipasi di tingkat akar rumput dan adanya alokasi sumber- sumber secara nyata.

Ada persoalan faktual yang dihadapi sekolah ketika mereka menerapkan pendidikan inklusif. Para guru di sekolah umum tidak banyak yang mempunyai keterampilan untuk membuat adaptasi dalam proses pembelajaran di sekolah dengan melibatkan berbagai karakteristik perkembangan dan kebutuhan belajar siswa yang beragam. Hingga saat ini tidak ada model pembelajaran yang baku bagi sekolah-sekolah dasar penyelenggara pendidikan inklusif padahal. guru wajib melakukan adaptasi dalam metodologi pengajarannya. Pengadaptasian dalam proses pengajaran dan pembelajaran ini memberikan peluang yang sama kepada semua murid baik yang pintar maupun siswa berkebutuhan khusus. Tidak terbatas pada adaptasi metodologi pengajaran dan penilaian saja guru perlu melakukan adaptasi-adaptasi terhadap area-area perkembangan lainnya, seperti emosi sosial, fisik dan tingkah laku. Semua akan memberikan iklim pembelajaran yang lebih adil, tepat, dan dapat melibatkan semua siswa termasuk di dalamnya siswa berkebutuhan belajar khusus.

Secara mendasar, siswa dengan kebutuhan belajar yang khusus perlu dikenali dan diidentifikasi dari kelompok siswa pada umumnya karena mereka memerlukan pendekatan dan strategi yang berbeda. Pendekatan-pendekatan dan strategi pengajaran maupun pembelajaran tersebut dapat beragam bentuknya; treatment yang bersifat medis, latihan- latihan therapetik, maupun program pendidikan khusus yang semuanya bertujuan untuk membantu meningkatkan fungsionalitas siswa tersebut dalam kehidupannya di masyarakat. Dalam rangka mengidentifikasi atau menemukan siswa berkebutuhan khusus, diperlukan pengetahuan tentang berbagai bentuk hambatan perkembangan dan belajar serta tingkat keparahan yang dialami oleh siswa. Bentuknya mungkin dapat disebabkan oleh adanya kecacatan fisik, hambatan mental dan intelektual, gangguan sosial dan emosional. Di luar bentuk-bentuk hambatan pertumbuhan dan perkembangan tersebut dapat juga ditemukan siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Masing-masing memiliki gejala-gejala dan tanda serta ciri yang berbeda. Gejala serta tanda-tanda itu dapat digunakan Secara mendasar, siswa dengan kebutuhan belajar yang khusus perlu dikenali dan diidentifikasi dari kelompok siswa pada umumnya karena mereka memerlukan pendekatan dan strategi yang berbeda. Pendekatan-pendekatan dan strategi pengajaran maupun pembelajaran tersebut dapat beragam bentuknya; treatment yang bersifat medis, latihan- latihan therapetik, maupun program pendidikan khusus yang semuanya bertujuan untuk membantu meningkatkan fungsionalitas siswa tersebut dalam kehidupannya di masyarakat. Dalam rangka mengidentifikasi atau menemukan siswa berkebutuhan khusus, diperlukan pengetahuan tentang berbagai bentuk hambatan perkembangan dan belajar serta tingkat keparahan yang dialami oleh siswa. Bentuknya mungkin dapat disebabkan oleh adanya kecacatan fisik, hambatan mental dan intelektual, gangguan sosial dan emosional. Di luar bentuk-bentuk hambatan pertumbuhan dan perkembangan tersebut dapat juga ditemukan siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Masing-masing memiliki gejala-gejala dan tanda serta ciri yang berbeda. Gejala serta tanda-tanda itu dapat digunakan

Buku identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang disertai instrument identifikasi ini disusun untuk membantu guru dalam rangka identifikasi dan asesmen kebutuhan belajar siswa sehingga dapat direkomendasikan strategi pembelajaran yang tepat bagi siswa yang membutuhkannya. Instrumen ini berupa daftar peryataan yang berisi gejala-gejala yang tampak pada anak untuk setiap jenis hambatan atau gangguan perkembangan dan belajarnya. Melalui observasi yang mendalam guru akan dapat menemukan siswa yang memiliki tanda- tanda mirip atau sama dengan gejala-gejala tertulis dalam instrumen ini. Guru kemudian dapat mengenali siswa tersebut dan bila secara kualitatif memenuhi standar minimal yang ditetapkan, maka siswa tersebut dapat dikategorikan sebagai ABK. Secara sederhana, istrumen ini dapat membantu para guru untuk menyimpulkan apakah seorang siswa tergolong ABK atau bukan. Istrumen ini bersifat sederhana dan terbatas pada kemampuan para guru melihat gejala-gejala fisik yang ditunjukkan siwa. Untuk mendiagnosis secara akurat dan sesungguh selalu dibutuhkan tenaga profesional yang berwenang untuk itu, seperti dokter tumbuh kembang anak, psikolog, orthopedagog, dan sebagainya. Namun ketika di sekolah tidak tersedia tenaga-tenaga profesional tersebut di atas, maka dengan menggunakan instrumen ini secara cermat dan hati-hati sudah cukup bagi para guru untuk menetapkan seorang siswa memerlukan layanan pendidikan khusus atau tidak di sekolahnya.

Alat identifikasi ini dapat digunakan oleh guru dan edukator lainnya serta orang di lingkungan anak yang memberikan pengasuhan pada anak (caregivers) untuk menjaring kelompok anak usia pra-sekolah dan usia sekolah dasar, baik yang sudah bersekolah maupun yang belum bersekolah atau yang sudah drop-out.

II. TUJUAN PENULISAN Setelah selesai membaca buku identifikasi anak dengan disabilitas ini, diharapkan pembaca

(terutama para guru di sekolah dasar) mampu mengidentifikasi apakah seorang siswa tergolong menyadang disabilitas dan berkebutuhan khusus lainnya atau bukan, sehingga guru bersama orang tua dapat merencanakan tindak lanjut yang sesuai bagi kebutuhan perkembangan mereka.

III. ANAK DENGAN DISABILITAS DAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)

Individu dengan disabilitas adalah kelompok yang heterogen. Mereka mungkin dapat memiliki kecacatan secara fisik, hambatan intelektual maupun hambatan mental lainnya. Disabilitas dapat dialami sejak lahir dan mungkin juga dialami sewaktu bersekolah atau pada masa tertentu sewaktu mengalami kecelakaan tertentu. Kondisi-kondisi tersebut dapat memiliki dampak pada kemampuan mereka untuk mengambil bagian dalam masyarakat sehingga mereka membutuhkan dukungan dan bantuan. Individu dengan disabilitas atau dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai orang cacat, sering dianggap sebagai warga masyarakat yang tidak produktif, tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sehingga hak-haknya pun diabaikan.

Indonesia telah mempunyai UU RI No. 4 tahun 1977 tentang Penyandang Cacat, namun sampai saat ini implementasinya masih dianggap lemah, UU ini dipandang kurang memberdayakan subyek hukumnya. Istilah “penyandang cacat” yang digunakan dianggap menstigmatisasi karena kata “penyandang” menggambarkan seseorang yang memakai label kecacatan itu pada keseluruhan pribadinya. Dalam buku ini kemudian istilah penyandang cacat digantikan dengan ‘disabilitas’ sebagai sebuah konsep yang menjelaskan hasil dari interaksi antara individu-individu yang mempunyai keterbatasan fisik atau mental/intelektual dengan sikap dan lingkungan yang menjadi penghambat kemampuan mereka berpartisipasi di masyarakat secara penuh, sama dengan orang-orang pada umumnya. Sementara Anak dengan Kebutuhan Khusus menjelaskan perlunya pendekatan dan strategi belajar yang berbeda sesuai dengan hambatan dan kebutuhan perkembangan anak sendiri. Kedua istilah tersebut, baik anak dengan disabilitas dan anak berkebutuhan khusus kemudian digunakan secara konsisten untuk menjelaskan adanya kemajemukan dari hambatan-hambatan perkembangan dan kebutuhan belajar anak. Istilah ABK ini sebenarnya merujuk pada anak yang membutuhkan pendidikan khusus atau dalam bahasa inggris disebut Children with Sepecial Educationally Need (Children with SEN).

Secara umum, diperkirakan ada 200 juta anak atau 10% dari populasi anak di dunia 1 yang mengalami disabilitas atau berkebutuhan khusus lainnya. Dilaporkan bahwa populasi anak

yang mengalami disabilitas dan berkebutuhan khusus, berbeda secara signifikan dengan populasi di negara lainnya. Jumlah yang mendekati standar minimum disepakati para ahli bahwa 2,5% dari seluruh anak berusia 0 – 14 tahun ditemukan mengalami disabilitas dari taraf yang sedang hingga taraf sensoris yang berat, gangguan fisik dan intelektual, dan sebagai tambahan 8% anak-anak dalam usia yang sama dapat diduga mengalami kesulitan

belajar dan persoalan perilaku. 2

Total populasi penyandang disabilitas di Indonesia ada sekitar 1,48 juta, dimana 21,42% nya berusia 5-18 tahun. Namun, hanya 25% atau 79,061 dari usia tersebut terdaftar di sekolah khusus (Sensus Nasional, 2004). Laporan negara mengenai pendidikan (2004), menyebutkan bahwa dari seluruh siswa berkebutuhan khusus yang tercatat, terdiri dari 45% mengalami hambatan pendengaran, hambatan penglihatan 30%, 13% hambatan intelektual ringan, 3% hambatan intelektual sedang, 3% mengalami ‘kecacatan’ fisik yang moderat, tuna ganda 3%, 2% mengalami persoalan perilaku dan 1% mengalami hambatan perkembangan yang ringan. Saat ini diperkirakan antara 3 – 7 persen atau sekitar 5,5 – 10,5 juta anak usia di bawah 18 tahun mengalami disabilitas atau masuk kategori Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pada tahun 2012, prevalensi anak dengan disabilitas mencapai 10 anak dari 100 anak. Data tersebut menunjukkan bahwa 10% populasi anak-anak di Indonesia mengalami disabilitas dan mereka perlu mendapatkan perhatian serta pelayanan bagi kebutuhan perkembangan dan belajar mereka.

Untuk mengenali apakah seorang anak tergolong anak dengan disabilitas atau bukan, maka perlu terlebih dahulu dirumuskan pengertian anak dengan kebutuhan khusus, karakteristik (ciri-ciri) anak dengan disabilitas, baru kemudian dirumuskan hal-hal yang berkaitan dengan identifikasi.

1 Unit ed Nat ions (2012). Factsheet on persons w it h disabilities CBM (2012:3) Inclusion M ade Easy – A Quick Program Guide to Disabilit y and Development .

2 UNICEF (2007) Promot ing the Right s of Children w it h Disabilit ies.

A. Pengertian Anak dengan disabilitas dan kebutuhan khusus lainnya

Anak dengan disabilitas dan kebutuhan khusus lainnya adalah anak yang secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, emosional, dan perilaku) dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan/ penyimpangan tertentu, tetapi kelainan/penyimpangan tersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan disabilitas dan kebutuhan khusus lainnya.

Berdasarkan hasil studi selama pelaksanaan Program Manajemen Berbasis Sekolah dan Inklusi (2012 – 2013) yang dilakukan oleh Plan Indonesia di 30 sekolah target yang ada di Kabupaten Grobogan, data sekolah menunjukkan adanya 10 jenis disabilitas atau kebutuhan belajar khusus lainnya yang dapat dijumpai di sekolah-sekolah tersebut. Meskipun ada bermacam-macam jenis anak dengan disabilitas dan kebutuhan khusus lainnya, untuk keperluan praktis dalam membantu guru melakukan identifikasi dan asesmen, maka dalam buku ini anak dengan disabilitas dan kebutuhan khusus lainnya dikelompokkan menjadi 10 jenis saja. Masing-masing jenis disabilitas dan kebutuhan khusus kemudian dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

1. Anak dengan Ketunanetraan atau anak yang mengalami hambatan penglihatan

Umumnya untuk mendefinisikan tunanetra digunakan kartu Snellen dalam pemeriksaan klinis tentang ketajaman penglihatan dalam suatu kondisi tertentu. Seorang anak dikatakan tunanetra apabila menggunakan kemampuan perabaan dan pendengaran sebagai saluran utama dalam belajar (Levy, S.E., 1996). Mereka mungkin mempunyai sedikit persepsi cahaya atau bentuk atau sama sekali tidak dapat melihat (kebutaan menyeluruh). Seorang anak dikatakan ‘kurang lihat’ atau low vison apabila ketunanetraannya berhubungan dengan kemampuannya dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

Nakata (2003) mengemukakan bahwa yang dimaksud degan tunanetra adalah mereka yang mempunyai kombinasi ketajaman penglihatan hampir kurang dari 0.3 (60/200) atau mereka yang mempunyai tingkat kelainan fungsi penglihatan yang lainnya lebih tinggi, yaitu mereka yang tidak mungkin atau kesulitan secara signifikan untuk membaca tulisan atau ilustrasi awas meskipun dengan mempergunakan alat bantu kaca pembesar.

Anak dengan ketunanetraan menurut pedoman pendidikan inklusif dari Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2006) adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

2. Anak dengan Ketunarunguan atau anak yang mengalami hambatan pendengaran

Tunarungu adalah istilah umum yang dipergunakan untuk menggambarkan semua tingkat dan jenis kehilangan pendengaran dan ketulian. Seorang anak dikatakan tunarungu apabila tidak mampu menerima suara bicara dan jika perkembangan bahasanya sendiri terganggu. Anak yang masih dapat mendengar suara dan masih dapat mempergunakan sisa pendengarannya disebut kurang dengar atau hard of hearing. Dalam buku panduan pendidikan inklusif yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2006) menyebutkan bahwa Tunarungu adalah istilah umum yang dipergunakan untuk menggambarkan semua tingkat dan jenis kehilangan pendengaran dan ketulian. Seorang anak dikatakan tunarungu apabila tidak mampu menerima suara bicara dan jika perkembangan bahasanya sendiri terganggu. Anak yang masih dapat mendengar suara dan masih dapat mempergunakan sisa pendengarannya disebut kurang dengar atau hard of hearing. Dalam buku panduan pendidikan inklusif yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2006) menyebutkan bahwa

American Speech-Laguage-Hearing Association (ASLHA, 2002) mendefinisikan ketunarunguan sebagai orang yang memiliki kemampuan mendengar di kedua telinganya hampir di atas 60 desibel, yaitu mereka yang tidak mungkin atau kesulitan secara signifikan untuk memahami suara bicara normal meskipun dengan mempergunakan alat bantu dengar atau alat-alat lainnya. Ketajaman pendengaran tersebut diukur dengan menggunakan audiometer.

3. Anak dengan ketunagrahitaan atau anak dengan hambatan intelegensi

Anak dengan ketunagrahitaan (retardasi mental) adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental jauh di bawah rata-rata sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan layanan pendidikan khusus (Direktorat PLB, 2006). Amerika Serikat masih mempergunakan istilah mental retardation atau retardasi mental yang didefinisikan sebagai kelainan yang ditandai dengan adanya keterbatasan yang siginifikan dalam aspek fungsi intelektual dan perilaku adaptif yang diekspresikan dalam bentuk konseptual, sosial, dan praktik keterampilan adaptif (AAMD, 2002). Definisi tersebut berlaku bagi anak yang ketunagrahitaannya terjadi sebelum usia 18 tahun.

4. Anak dengan ketunadaksaan atau anak dengan hambatan motorik

Direktorat PLB (2006) mendefinisikan anak dengan ketunadaksaan sebagai anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Individual with Disabilities Education Act (IDEA) yang dipergunakan di Amerika Serikat menyebutkan ketunadaksaan sebagai orthopedic impairments atau kelainan ortopedi yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti; anomali congenital (bentuk telapak kaki yang tidak sempurna, hilangnya anggota tubuh, dsb.), penyakit (polio, penyakit tulang, dsb.) dan kelainan yang disebabkan kasus- kasus lain (cerebral palsy, luka akibat kecelakaan yang menyebabkan kelumpuhan, dan amputasi). Beberapa dari kelainan tersebut terkadang tidak mempengaruhi kemampuan intelektual dan tingkat intelegensi individu yang mengalaminya (dalam Bigge, 1991).

5. Anak dengan keberbakatan dan kecerdasan istimewa

Direktorat PLB (2006) mendefinisikan anak berbakat adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (inteligensi), kreativitas, dan tanggungjawab terhadap tugas (task commitment) di atas anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata, memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

6. Anak lamban belajar atau anak dengan potensi intelektual sedikit di bawah rata-rata

dan di atas hambatan intelegensi Anak yang lamban belajar didefinisikan oleh Direktorat PLB (2006) sebagai anak yang

memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan yang tunagrahita, lebih memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan yang tunagrahita, lebih

7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik atau anak dengan hambatan tugas- tugas akademik khusus, seperti membaca, menulis, dan atau berhitung/matematika

Kesulitan belajar merupakan istilah yang dipergunakan pada siswa yang mempunyai kesulitan tidak dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar akibat kelainan sensoris, ketidakberuntungan atau ketidak cukupan budaya atau bahasa (Bauer, Keefe and Shea, 2001). Hambatan ini ditandai dengan adanya perbedaan antara kemampuan dan prestasi akademik. Beberapa siswa dengan kesulitan belajar mungkin juga menunjukkan permasalahan dalam keterampilan sosial dan kesulitan dalam keterampilan motorik atau fisik.

Dalam pedoman pendidikan inklusif dari Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2006) disebutkan bahwa anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus (terutama dalam hal kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematika), diduga disebabkan karena faktor disfungsi neugologis, bukan disebabkan karena faktor inteligensi (inteligensinya normal bahkan ada yang di atas normal), sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung (diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak mengalami kesulitan yang signifikan (berarti).

8. Anak yang mengalami hambatan komunikasi

The American Speech-Laguage-Hearing Association (ASLHA, 2002) mendefinisikan hambatan komunikasi sebagai adanya kelainan yang ditunjukkan melalui ketidakmampuan menerima, menyampaikan, memproses, dan memahami konsep-konsep atau simbol-simbol verbal, nonverbal, dan gambar. Hambatan komunikasi ini dapat muncul dengan jelas pada proses mendengar, berbahas, dan atau berbicara. Definisi lain dari IDEA mengenai anak-anak dengan hambatan bahasa dan bicara adalah apabila anak tersebut menunjukkan kesulitan komunikasi seperti; gagap, kelainan artikulasi, kelainan bahasa atau kelainan suara yang secara nyata berpengaruh terhadap kinerja pendidikan mereka.

Menurut Direktorat PLB (2006), anak yang mengalami gangguan komunikasi adalah anak yang mengalami kelainan suara, artikulasi (pengucapan), atau kelancaran bicara, yang mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa, isi bahasa, atau fungsi bahasa, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak yang mengalami gangguan komunikasi ini tidak selalu disebabkan karena faktor ketunarunguan.

9. Anak dengan ketunalarasan atau anak dengan hambatan emosi dan perilaku

Newcomer (2003) menyebutkan bahwa tidak ada definisi yang diterima secara universal tentang ketunalarasan atau hambatan emosi dan perilaku. Adanya keanekaragaman atau definisi dan istilah merupakan perpaduan dari ciri yang beraneka ragam dari definisi umum mengenai perilaku yang ‘normal’. Bauer dan Shea (2001) menyebutkan bahwa emotional or behavioral disorder merupakan ketidakmampuan yang ditandai oleh adanya respon perilaku dan emosional dalam program sekolah yang berbeda usia, budaya, atau norma-norma yang Newcomer (2003) menyebutkan bahwa tidak ada definisi yang diterima secara universal tentang ketunalarasan atau hambatan emosi dan perilaku. Adanya keanekaragaman atau definisi dan istilah merupakan perpaduan dari ciri yang beraneka ragam dari definisi umum mengenai perilaku yang ‘normal’. Bauer dan Shea (2001) menyebutkan bahwa emotional or behavioral disorder merupakan ketidakmampuan yang ditandai oleh adanya respon perilaku dan emosional dalam program sekolah yang berbeda usia, budaya, atau norma-norma yang

Anak dengan ketunalarasan adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya (Direktorat PLB, 2006).

10. Anak yang mengalami gangguan autisme.

Asosiasi Psikiater Amerika Serikat dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, fourth edition, text revision, mengklasifikasikan autism sebagai jenis kelainan perkembangan perpasif atau perpasive developmental disorder (PDD) atau istilah yang digunakan untuk menyebutkan adanya hambatan perkembangan anak yang berat dan perpasif pada beberapa area perkembangan; interaksi sosial yang timbale balik, kemampuan komunikasi, atau adanya perilaku, minat, dan aktivitas yang stereotip. Subkategori dari PDD selain autism adalah Asperger Snydrome dan Perpasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD-NOS).

Definisi Autisme yang dikeluarkan oleh Direktorat PLB tahun 2006 mengacu kepada definisi yang diberikan oleh Baron-Cohen (1993), yaitu suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk

dalam dunia repetiti f , aktivitas dan minat yang obsesif Anak-anak autis dan spektrumnya memiliki kesulitan memahami konsekuensi-konsekuensi dari setiap perilaku mereka, sehingga hukuman cenderung membuat persoalan perilaku berkembang semakin kompleks

bagi anak sendiri, orang tua, maupun para guru.

Kesepuluh klasifikasi di atas diharapkan dapat menjadi pedoman dasar dalam pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah dasar. Namun demikian, karena sifatnya yang heterogen, para guru di sekolah dapat menemukan jenis-jenis yang berbeda di luar 10 klasifikasi yang telah disebutkan di atas. Oleh sebab itu guru bersama orang tua siswa dapat bekerjasama dengan pihak lain yang relevan untuk menanganinya. Kasus-kasus tersebut mungkin diantaranya adalah anak korban HIV dan AIDS, anak korban narkoba, anak yang memiliki penyakit kronis, dan lain-lain.

IV. PERAN ORANG TUA DALAM IDENTIFIKASI DAN RENCANA PEMENUHAN KEBUTUHAN PERKEMBANGAN DAN BELAJAR SISWA

Jika orang tua memilih untuk memasukkan anaknya yang berkebutuhan khusus ke sekolah, maka mereka perlu mempertimbangkan beberapa area perkembangan yang perlu direncanakan. Untuk mengetahui lebih banyak perkembangan anak dan bagaimana ia belajar, para guru umumnya akan melihat beberapa area berikut:

1. Kemampuan sosial atau perilaku anak yang ditunjukkan melalui perkembangan:

a. kemampuan bergaul terbatas, lebih mudah bergaul dengan orang dewasa dari pada dengan teman sebaya semakin besar kemampuan bergaul semakin luas dan bervariasi dengan orang dari berbagai usia a. kemampuan bergaul terbatas, lebih mudah bergaul dengan orang dewasa dari pada dengan teman sebaya semakin besar kemampuan bergaul semakin luas dan bervariasi dengan orang dari berbagai usia

c. ketergantungan kepada orang dewasa, semakin besar semakin mandiri

d. sibuk

bersama teman-teman semakin besar semakin mampu bergaul dengan teman sebaya, mulai dapat mengikuti aturan permainan, aturan sosial

e. belajar bersikap sportif melalui permainan, berusaha untuk menang, bersedia menerima kekalahan, bekerja sama dalam kelompok

2. Kemampuan berkomunikasi:

a. semakin besar anak, semakin mampu memahami bahasa verbal dan non verbal, ekspresi wajah

b. semakin besar anak mampu memahami makna dari setiap pengalamannya bersama dengan orang lain

3. Kemampuan kognitif

a. kemampuan berpikir konkret, lebih mudah mengerti melalui pengalaman nyata semakin besar makin mampu berpikir abstrak memahami kata-kata, lambang

b. pola berpikir kaku, sama rata, belum dapat membedakan peran semakin besar pola berpikir semakin fleksibel, terdiferensiasi, dapat membedakan peran

c. daya ingat kuat, meniru perbuatan dan perkataan walaupun belum mengerti semakin besar kemampuan berpikir, nalar, menemukan sebab akibat semakin berkembang

4. Kemampuan sensoris dan fisiknya

a. kemampuan motorik terbatas, kemampuan motorik besar sudah berfungsi, semakin besar kemampuan motorik halus semakin berkembang

b. pengembangan terjadi melalui kegiatan bermain, olah raga, musik, tari, menggambar dan lain-lain

Diagnosa dari seorang dokter mengenai suatu kondisi tertentu atau suatu kecacatan mungkin tidak memberikan cukup informasi dalam merencanakan kebutuhan perkembangan dan pendidikan individual seorang anak. Tidak pernah ada dua anak yang memiliki kesamaan persis, baik dalam kebutuhan perkembangan maupun belajarnya. Anak yang telah diidentifikasikan dengan diagnosa yang sama seringkali memiliki kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda dan memerlukan dukungan yang berbeda pula. Sebagai contoh, dua anak yang didiagnosa sebagai anak lamban belajar dapat memiliki kebutuhan belajar yang sangat berbeda. Seorang anak mungkin dapat menunjukkan keberfungsiannya dengan baik ketika belajar di kelas sementara anak lain mungkin memiliki hambatan belajar yang berat sehingga dan strategi pembelajaran yang bebeda dan kebutuhan adaptasi kurikulum yang diberikan bagi mereka pun akan berbeda.

V. LANGKAH AWAL UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN

Jika orang tua merasa bahwa anaknya memiliki suatu jenis disabilitas atau hambatan dalam belajar, langkah pertama adalah berbicara dengan guru kelas untuk mengidentifikasikan kebutuhan belajar anak yang bersangkutan. Guru kemudian dapat:

1. mengajak anak berkomunikasi

2. melakukan pengamatan selama kegiatan belajar mengajar di kelas

3. menganalisa hasil pekerjaan anak di kelas

4. melakukan asemen kemampun belajar anak, misalnya dalam berhitung, membaca, dan kemampuan akdemis lainnya

Orang tua sesungguhnya juga dapat mengumpulkan informasi yang dapat berguna dalam proses asesmen yang dilakukan guru. Informasi yang dapat diberikan orang tua dapat berupa catatan medis dan observasi sehari-hari orang tua di rumah.

Setelah melakukan tahapan menentukan kebutuhan belajar anak, guru dengan berkonsultasi dengan orang tua dapat menentukan suatu sistem rujukan kepada seorang spesialis tertentu untuk melakukan asesmen lanjutan yang diperlukan. Kesediaan tertulis dari orang tua sangat direkomendasikan sebelum sekolah melakukan rujukan kepada dokter maupun ahli lainnya. Setiap bidang di sekolah mempunyai prosedur asesmen yang berbeda sehingga orang tua wajib berbicara dengan guru kelas atau kepala sekolah mengenai perbedaan prosedur asesmen yang akan menentukan jenis asesmen yang akan dilaksanakan, tempat pelaksanaannya dan berapa lama asesmen akan dilaksanakan.

Identifikasi dini dan intervensi dini bagi anak berkebutuhan khusus seringkali membawa perubahan yang baik pada penyesuaian dan performa belajar anak di sekolah. Melalui asesmen dapat ditentukan kebutuhan individual dalam belajar. Beberapa anak mungkin menunjukkan kesulitan untuk belajar dalam kegiatan tertentu dan mungkin memerlukan bantuan di waktu tertentu. Namun demikian, banyak hambatan perkembangan dan belajar yang bersifat sepanjang hidup. Kebutuhan perkembangan dan belajar anak juga akan berubah sesuai dengan lingkungan dan strategi pembelajaran yang dikembangkannya. Berbagai faktor dapat berpengaruh pada kebutuhan pendidikan anak dan sekolah kemudian perlu melakukan pertemuan secara rutin untuk mengidentifikasikan dan mendiskusikan faktor-faktor yang berpengaruh tersebut dan menyesuaikannya dengan kebutuhan anak.

Setelah orang tua memberikan surat persetujuannya kepada sekolah maka proses rujukan dapat dilakukan baik kepada guru pendidikan khusus maupun kepada dokter ahli sehingga rencana asesmen dapat dibuat.

VI. BAGAIMANA IDENTIFIKASI DAN ASESMEN DILAKSANAKAN?

Beberapa ahli dapat terlibat di dalam proses identifikasi dan asesmen, ahli tersebut dapat meliputi dokter syaraf anak, guru pendidikan khusus, orthopedagog, terapis wicara, psikolog, terapis okupasi dan lain-lainnya. Banyak cara bagi orang tua untuk dapat terlibat proses asesmennya. Para profesional yang berbeda tersebut memiliki kompetensi untuk melakukan asesmen dalam area-area perkembangan yang berbeda. Sebagai contoh, seorang psikolog akan melakukan pengukuran dalam kemampuan dan potensi kognitif anak. Guru pendidikan khusus dan orthopedag dapat meneliti kemampuan dan cara anak belajar. Orang tua wajib berbicara dengan guru kelas untuk mengetahui siapa saja yang akan melakukan asesmen dan apa saja yang akan di ukur.

Berbagai instrumen asesmen dapat digunakan untuk menentukan kemampuan kognitif, sosial, emosional, komunikasi, dan perkembangan perilaku serta kebutuhan anak. Beberapa instrument asesmen akan menyertakan orang tua maupun guru untuk memastikan adanya informasi yang akurat dan menggambarkan kondisi anak yang sesungguhnya. Asesmen umumnya dilakukan dengan beberapa pertimbangan berikut ini: Berbagai instrumen asesmen dapat digunakan untuk menentukan kemampuan kognitif, sosial, emosional, komunikasi, dan perkembangan perilaku serta kebutuhan anak. Beberapa instrument asesmen akan menyertakan orang tua maupun guru untuk memastikan adanya informasi yang akurat dan menggambarkan kondisi anak yang sesungguhnya. Asesmen umumnya dilakukan dengan beberapa pertimbangan berikut ini:

b. mengidentifikasikan apa yang dapat dilakukan anak saat ini, kemampuannya, dan kebutuhan belajarnya

c. mengetahui apakah kebutuhan belajar yang khusus tersebut berpengaruh pada kemampuan anak untuk belajar dan menjalankan fungsinya di sekolah

d. mengidentifikasikan program dan layanan yang tepat dan dapat memenuhi kebutuhan individual anak untuk bisa berkembang

Perkembangan anak mungkin saja diukur dalam satu area maupun berbagai kombinasi dari area-area perkembangan anak, semunya tergantung pada kebutuhan belajar yang ditunjukkan anak. Setelah seluruh hasil identifikasi dan asesmen didapatkan, pihak sekolah akan menghubungi dan mengatur pertemuan dengan seluruh staf yang terlibat dalam proses identifikasi dan asesmen untuk menjelaskan, mendiskusikan, dan menyusun rekomendasi sebagai hasil dari seluruh kegiatan tersebut. Laporan tertulis dari sekolah akan diberikan kepada orang tua orang, guru kelas anak, dan semua orang yang membantu proses pendidikan anak.

Bila orang tua ingin mengetahui berapa lama asesmen akan dilakukan sebaiknya hal ini didiskusikan dengan guru kelas anak atau dengan kepala sekolah. Sekolah bekerja dengan staf yang akan mengidentifikasikan layanan dan dukungan yang diperlukan anak. Staf klinis yang bertugas di sekolah akan mengevaluasi hasil yang diberikan dan kemudian memprioritaskan untuk terlibat dan membantu mengakomodasikan kebutuhan perkembangan anak. Untuk mengetahui batasan waktu yang ditentukan dalam proses asesmen, orang tua dapat membicarakannya dengan guru kelas anak.

Untuk memulai suatu asesmen, pertama harus dirancang pertanyaan-pertanyaan yang di dasarkan pada hasil belajar yang akan dicari. Langkah awal dalam merancang asemen yang baik adalah menganalisa kondisi belajar di kelas dengan mendefinisikan target-target, tujuan- tujuan, dan kemudian menentukan hasil dari representasi belajar yang telah didefinisikan, misalnya: memahami konsep-konsep, menganalisa data, melakukan sintesa, dsb.

Jenis-jenis pertanyaan dan tes yang dapat digunakan. Komponen ini menjelaskan kelebihan dan kekurangan dari berbagai jenis item soal yang akan membantu guru mendapatkan hasil belajar yang diinginkan dari para siswa. Saran-saran dalam membangun soal-soal pilihan, benar-salah, juga disediakan dalam makalah ini.

Menentukan hasil asesmen dengan menggunakan grafik atau dengan memberikan nilai mutu pada siswa. Komponen ini akan membantu guru membedakan antara norma kompetisi dalam ujian dan kriteria tercapai atau tidaknya materi yang disampaikan guru sehingga guru mampu mengetahui tujuan asesmen yang dilakukannya secara tepat.

Menganalisa seluruh item-item soal secara lengkap untuk menentukan akurasi dan efektifitas suatu asesmen. Soal-soal yang digunakan untuk menganalisa akan membantu guru memperbaiki dan mengembangkan asesmen menjadi lebih baik.

Memilih dan menggunakan berbagai jenis alat tes untuk meneliti performa kelas atau kelompok. Teknologi dan media pembelajaran dapat memfasilitasi para guru dalam melakukan asesmen melalui penggunaan berbagai alat/media yang dirancang sebagai suatu tes.

VII. PENGERTIAN IDENTIFIKASI DAN ASESMEN Istilah identifikasi secara harfiah dapat diartikan menemukan atau mengenali. Dalam

prosedur ini istilah identifikasi anak dengan kebutuhan khusus yang dimaksud adalah suatu usaha seseorang (orang tua, pendidik, pembina, maupun tenaga relewan lainnya) untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami hambatan/gangguan (fisik, intelektual, sosial, emosional dan tingkah laku) dalam pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.

Setelah dilakukan identifikasi, kondisi seseorang dapat diketahui, apakah pertumbuhan/perkembangannya termasuk tipikal (normal) atau mengalami kelainan dan penyimpangan. Bila mengalami hambatan/gangguan, dapat diketahui pula apakah anak tergolong: (1) tunanetra; (2) tunarungu; (3) tunagrahita; (4) tunadaksa; (5) berbakat; (6) lamban belajar; (7) kesulitan belajar; (8) gangguan komunikasi; (9) tunalaras; dan (10) autis.

Kegiatan identifikasi sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih ditekankan pada menemukan (secara kasar) apakah seorang anak tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan. Maka biasanya identifikasi dapat dilakukan oleh orang-orang yang dekat (sering berhubungan/bergaul) dengan anak, seperti ibu, orang tuanya, pembina, pendidik, dan pihak- pihak yang terkait dengannya. Sedangkan langkah berikutnya, yang sering disebut asesmen, bila diperlukan dapat dilakukan oleh tenaga profesional, seperti dokter, psikolog, neurolog, orthopedagog, therapis, dan lain-lain.

Sementara pengertian asesmen dapat dipahami sebagai suatu proses mendapatkan dan mendiskusikan berbagai informasi dan sumber-sumber yang bertujuan membangun pemahaman yang mendalam mengenai apa yang diketahui dan dipahami oleh siswa yang telah teridentifikasi serta apa yang dapat dilakukan oleh mereka dengan pengetahuan yang dimilikinya sebagai hasil dari pengalaman belajar mereka. Proses ini sesungguhnya bertujuan meningkatkan komponen-komponen dalam pembelajaran. Asesmen digunakan untuk menentukan apa yang diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa dengan disabilitas maupun siswa berkebutuhan khusus lainnya, sementara evaluasi digunakan untuk menentukan kelayakan dan nilai suatu program atau latihan. Data dari asesmen berpengaruh pada pengembangang pembelajaran, penempatan siswa, level, dan juga keputusan-keputusan yang berkaitan dengan strategi pengajaran dan kurikulum (Herman & Knuth, 1991). Evaluasi sering menggunakan data asesmen dengan sumber-sumber lain untuk membuat keputusan mengenai perbaikan suatu program, adopsi suatu program, atau malah menolak suatu program dan latihan tertentu bagi siswa disabilitas maupun berkebutuhan khusus lainnya.

Bila kita melakukan asesmen pada siswa di kelas, maka ada dua pertanyaan penting yang harus diajukan oleh guru adalah:

1. Apa yang sudah dipelajari oleh siswa dan sebaik apa mereka mempelajarinya?

2. Sejauh mana pencapaian dan kesuksesan siswa dalam setiap proses belajarnya?

Melalui pertimbangan-pertimbangan tersebut, asesmen dalam konteks pendidikan inklusif selalu berorientasi pada hasil belajar semua siswa termasuk siswa disabilitas maupun berkebutuhan khusus lainnya di sekolah. Asesmen dapat terfokus pada siswa secara individual, lingkungan belajar (kelas, kelompok siswa, kelompok-kelompok lainnya yang Melalui pertimbangan-pertimbangan tersebut, asesmen dalam konteks pendidikan inklusif selalu berorientasi pada hasil belajar semua siswa termasuk siswa disabilitas maupun berkebutuhan khusus lainnya di sekolah. Asesmen dapat terfokus pada siswa secara individual, lingkungan belajar (kelas, kelompok siswa, kelompok-kelompok lainnya yang

Tujuan akhir dalam suatu pelaksanaan asesmen di sekolah sangat bergantung pada kerangka teori (theoretical framework) yang digunakan oleh para guru sebagai praktisi maupun peneliti. Asumsi dan sistem kepercayaan yang melandasi, di antaranya adalah: perkembangan kemampuan berpikir, originalitas pengetahuan dan proses pembelajaran.

Untuk memudahkan kita membedakan pengertian identifikasi dan asesmen di atas, maka identifikasi dapat disebut dengan istilah penjaringan, sedangkan asesmen disebut dengan istilah penyaringan.

A. Tujuan Identifikasi Secara umum tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi apakah seorang anak

mengalami hambatan/gangguan (fisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis) dalam pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (anak-anak tipikal), yang hasilnya akan dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya.

Dalam rangka pendidikan inklusif, kegiatan identifikasi anak dengan disabilitas dan kebutuhan khusus lainnya dilakukan untuk lima keperluan, yaitu: (1) penjaringan (screening), (2) pengalihtanganan (referral), (3) klasifikasi, (4) perencanaan pembelajaran, dan (5) pemantauan kemajuan belajar. Berikut penjelasannya:

1. Penjaringan (screening)

Penjaringan dilakukan terhadap semua anak di setiap PU dengan alat identifikasi (contoh dalam lampiran). Pada tahap ini identifikasi berfungsi menandai anak-anak mana yang menunjukkan gejala-gejala tertentu, kemudian menyimpulkan anak-anak mana yang mengalami hambatan/gangguan tertentu, sehingga tergolong anak dengan disabilitas atau berkebutuhan khusus lainnya.

Dengan menggunakan Checklist Profil Disabilitas, orang tua maupun maupun guru yang terkait dapat melakukan kegiatan ini secara baik dan hasilnya dapat digunakan untuk bahan penanganan lebih lanjut.

2. Pengalihtanganan (referral)

Berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan pada tahap penjaringan, selanjutnya siswa-siswa dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, ada siswa yang tidak perlu dirujuk ke ahli lain (tenaga profesional) dan dapat langsung ditangani sendiri oleh orang tua, Guru Pendidikan Khusus (GPK), dan guru wali kelas dalam bentuk layanan pembelajaran yang sesuai.

Kedua, ada siswa yang perlu dirujuk ke ahli lain terlebih dulu (referral) seperti psikolog, dokter, orthopedagog (ahli PLB), dan/atau therapis, baru kemudian ditangani oleh guru di sekolah.

Proses perujukan siswa didik oleh sekolah ke tenaga profesional lain untuk membantu mengatasi masalah siswa yang bersangkutan disebut proses pengalihtanganan (referral). Jika tenaga professional tersebut tidak tersedia dapat dimintakan bantuan ke tenaga lain yang ada seperti tenaga medis yang ada di Puskesmas dan tenaga pendidik lainnya yang ada di Sekolah Luar Biasa.

3. Klasifikasi

Pada tahap klasifikasi, kegiatan identifikasi bertujuan untuk menentukan apakah anak yang telah dirujuk ke tenaga professional benar-benar memerlukan penanganan lebih lanjut atau langsung dapat diberi pelayanan pendidikan inklusif. Apabila berdasar pemeriksaan tenaga professional ditemukan masalah yang perlu penanganan lebih lanjut (misalnya pengobatan, terapi, latihan-latihan khusus, dan sebagainya) maka sekolah melalui guru wali kelas atau guru pendidikan khusus yang ada akan mengkomunikasikan kepada orang tua siswa yang bersangkutan. Guru kelas dan duru pendidikan khusus di sekolah hanya akan membantu siswa dalam hal pemberian pelayanan pendidikan sesuai dengan kondisi anak yang bersangkutan.

Kegiatan klasifikasi ini memilah-milah mana siswa dengan disabilitas dan kebutuhan khusus lainnya yang memerlukan penanganan lebih lanjut dan mana yang langsung dapat mengikuti pelayanan pendidikan inklusif di sekolah-sekolah dasar umum.

4. Perencanaan pembelajaran

Pada tahap ini, kegiatan identifikasi bertujuan untuk keperluan penyusunan Rencana Pembelajaran Individual atau RPI. Dasarnya adalah hasil dari klasifikasi. Setiap jenis dan gradasi atau tingkat keparahan dari disabilitas yang dialami maupun kebutuhan belajar khusus siswa yang memerlukan program pembelajaran yang berbeda satu sama lain. RPI akan disusun bersama oleh Guru Kelas, Guru Pendidikan Khusus dan diajukan kepada orang tua siswa melalui diskusi dan pembahasan bersama di sekolah.

5. Pemantauan kemajuan belajar