Hukum Perikemanusiaan Internasional
This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 4:39:39 2017 / +0000 GMT
Hukum Perikemanusiaan Internasional
LINK DOWNLOAD [58.00 KB]
Hukum Perikemanusiaan Internasional
A. Sejarah HPI
Salah apabila kita mengatakan bahwa pendirian Palang Merah di tahun 1863 ataupun pengadopsian Konvensi Jenewa pertama tahun
1864 menandakan kelahiran hukum perikemanusiaan sebagaimana yang kita kenal saat ini. Sebagaimana tidak ada satu masyarakat
yang tidak memiliki seperangkat aturan, begitu pula tidak pernah ada perang yang tidak memiliki aturan jelas maupun samar-samar
yang mengatur tentang mulai dan berakhirnya suatu permusuhan, serta bagaimana perang itu dilaksanakan.
Pada awalnya ada aturan tidak tertulis berdasarkan kebiasaan yang mengatur tentang sengketa bersenjata. Kemudian perjanjian
bilateral (kartel) yang kerincian aturannya berbeda-beda, lambat-laun mulai diberlakukan. Pihak-pihak yang bertikai kadangkala
meratifikasinya setelah permusuhan berakhir. Ada pula peraturan yang dikeluarkan oleh negara kepada pasukannya (lihat ?Kode
Lieber?). Hukum yang saat itu ada terbatas pada waktu dan tempat, karena hanya berlaku pada satu pertempuran atau sengketa
tertentu saja. Aturannya juga bervariasi, tergantung pada masa, tempat, moral dan keberadaban.
Dari sejak permulaan perang sampai pada munculnya hukum perikemanusiaan yang kontemporer, lebih dari 500 kartel, aturan
bertindak (code of conduct), perjanjian dan tulisan-tulisan lain yang dirancang untuk mengatur tentang pertikaian telah dicatat.
Termasuk di dalamnya Lieber Code, yang mulai berlaku pada bulan April 1863 dan memiliki nilai penting karena menandakan
percobaan pertama untuk mengkodifikasi hukum dan kebiasaan perang yang ada. Namun, tidak seperti Kovensi Jenewa yang
dibentuk setahun setelah itu, Lieber Code ini tidak memiliki status perjanjian sebagaimana yang dimaksudkannya karena hanya
diberlakukan kepada tentara Union yang berperang pada waktu Perang Saudara di Amerika.
Ada dua pria memegang peran penting dalam pembentukan HPI selanjutnya, yaitu Henry Dunant dan Guillaume-Henri Dufour.
Dunant memformulasikan gagasan tersebut dalam Kenangan dari Solferino (A Memory of Solferino), diterbitkan tahun 1862.
Berdasarkan pengalamannya dalam perang, General Dufour tanpa membuang-buang waktu menyumbangkan dukungan moralnya,
salah satunya dengan memimpin Konferensi Diplomatik tahun 1864.
Terhadap usulan dari kelima anggota pendiri ICRC, Pemerintah Swiss mengadakan Konferensi Diplomatik tahun 1864, yang
dihadiri oleh 16 negara yang mengadopsi Konvensi Jenewa untuk perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan bersenjata
di medan pertempuran darat.
Definisi
Hukum Perikemanusiaan Internasional membentuk sebagian besar dari Hukum Internasional Publik dan terdiri dari peraturan yang
melindungi orang yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam persengketaan dan membatasi alat dan cara berperang di masa sengketa
bersenjata.
Lebih tepatnya, yang dimaksud ICRC dengan hukum perikemanusiaan yang berlaku di masa sengketa bersenjata adalah semua
ketentuan yang terdiri dari perjanjian dan kebiasaan internasional yang bermaksud untuk mengatasi segala masalah kemanusiaan
yang timbul pada waktu pertikaian bersenjata internasional maupun non-internasional; hukum tersebut membatasi atas dasar
kemanusiaan, hak-hak dari pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk memilih cara-cara dan alat peperangan, serta memberikan
perlindungan kepada orang yang menjadi korban maupun harta benda yang terkena dampak pertikaian bersenjata.
Kombatan hanya boleh menyerang target militer, wajib menghormati non-kombatan dan objek sipil dan menghindari penggunaan
kekerasan yang berlebihan. Istilah hukum perikemanusiaan internasional, hukum humaniter, hukum sengketa bersenjata dan hukum
perang dapat dikatakan sama pengertiannya. Organisasi internasional, perguruan tinggi dan bahkan Negara cenderung menggunakan
istilah hukum perikemanusiaan internasional (atau hukum humaniter), sedangkan istilah hukum sengketa bersenjata dan hukum
perang biasa digunakan oleh angkatan bersenjata. Palang Merah Indonesia sendiri menggunakan istilah Hukum Perikemanusiaan
Internasional.
Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag
Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) ? dikenal juga dengan nama hukum sengketa bersenjata atau hukum perang ? memiliki
dua cabang yang terpisah:
> Hukum Jenewa, atau hukum humaniter, yaitu hukum yang dibentuk untuk melindungi personil militer yang tidak lagi terlibat
dalam peperangan dan mereka yang tidak terlibat secara aktif dalam pertikaian, terutama penduduk sipil;
> Hukum Den Haag, atau hukum perang, adalah hukum yang menentukan hak dan kewajiban pihak yang bertikai dalam
melaksanakan operasi militer dan membatasi cara penyerangan.
Kedua cabang HPI ini tidaklah benar-benar terpisah, karena efek beberapa aturan dalam hukum Den Haag adalah melindungi korban
Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com
| Page 1/3 |
This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 4:39:39 2017 / +0000 GMT
sengketa, sementara efek dari beberapa aturan hukum Jenewa adalah membatasi tindakan yang diambil oleh pihak yang bertikai di
masa perperangan. Dengan mengadopsi Protokol Tambahan 1977 yang mengkombinasikan kedua cabang HPI, pembedaan di atas
kini tinggal memiliki nilai sejarah dan pendidikan.
Prinsip
Hukum perikemanusiaan didasarkan pada prinsip pembedaan antara kombatan dan non-kombatan serta antara objek sipil dan objek
militer. Prinsip necessity atau kepentingan kemanusiaan dan militer, perlunya menjaga keseimbangan antara kepentingan
kemanusiaan di satu pihak dengan kebutuhan militer dan keamanan di pihak lain. Prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu
(unecessary suffering), yaitu hak pihak yang bertikai untuk memilih cara dan alat untuk berperang tidaklah tak terbatas, dan para
pihak tidak diperbolehkan mengakibatkan penderitaan dan kehancuran secara melampaui batas serta tidak seimbang dengan tujuan
yang hendak dicapai, yaitu melemahkan atau menghancurkan potensi militer lawan. Prinsip proporsionalitas, mencoba untuk
menjaga keseimbangan antara dua kepentingan yang berbeda, kepentingan yang berdasarkan pertimbangan atas kebutuhan militer,
dan yang lainnya berdasarkan tuntutan kemanusiaan, apabila hak atau larangannya tidak mutlak.
Aturan Dasar
ICRC telah memformulasikan tujuh aturan yang mencakup inti dari hukum perikemanusian internasional. Aturan-aturan ini tidak
memiliki kekuatan hukum seperti sebuah perangkat hukum internasional dan tidak dimaksudkan untuk menggantikan
perjanjian-perjanjian yang berlaku.
1. Orang yang tidak atau tidak dapat lagi mengambil bagian dalam pertikaian patut memperoleh penghormatan atas hidupnya, atas
keutuhan harga diri dan fisiknya. Dalam setiap kondisi, mereka harus dilidungi dan diperlakukan secara manusiawi, tanpa
pembedaan berdasarkan apa pun.
2. Dilarang untuk membunuh atau melukai lawan yang menyerah atau yang tidak dapat lagi ikut serta dalam pertempuran.
3. Mereka yang terluka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat oleh pihak bertikai yang menguasai mereka. Personil medis,
sarana medis, transportasi medis dan peralatan medis harus dilindungi. Lambang palang merah atau bulan sabit merah di atas dasar
putih adalah tanda perlindungan atas personil dan objek tersebut di atas, dan harus dihormati.
4. Kombatan dan penduduk sipil yang berada di bawah penguasaan pihak lawan berhak untuk memperoleh penghormatan atas
hidup, harga diri, hak pribadi, keyakinan politik, agama dan keyakinan lainnya. Mereka harus dilindungi dari segala bentuk
kekerasan ataupun balas dendam. Mereka berhak berkomunikasi dengan keluarganya serta berhak menerima bantuan.
5. Setiap orang berhak atas jaminan peradilan dan tak seorangpun dapat dituntut untuk bertanggungjawab atas suatu tindakan yang
tidak dilakukannya. Tidak seorangpun dapat dijadikan sasaran penyiksaan fisik maupun mental atau hukuman badan yang kejam
yang merendahkan martabat ataupun perlakuan lainnya.
6. Tidak satu pun pihak bertikai maupun anggota angkatan bersenjatanya mempunyai hak tak terbatas untuk memilih cara dan alat
berperang. Dilarang untuk menggunakan alat dan cara berperang yang berpotensi mengakibatkan penderitaan dan kerugian yang tak
perlu.
7. Pihak bertikai harus selalu membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dalam rangka melindungi penduduk sipil dan hak
milik mereka. Penduduk sipil, baik secara keseluruhan maupun perseorangan tidak boleh diserang. Penyerangan hanya boleh
dilakukan semata-mata kepada objek militer.
Konvensi Jenewa
Konvensi Jenewa 1864 meletakkan dasar-dasar bagi hukum perikemanusiaan modern. Karakter utamanya adalah:
> aturan tertulis yang memiliki jangkauan internasional untuk melindungi korban sengketa;
> sifatnya multilateral, terbuka untuk semua negara;
> adanya kewajiban untuk melakukan perawatan tanpa diskriminasi kepada personil militer yang terluka dan sakit;
> penghormatan dan pemberian tanda kepada personil medis, transportasi dan perlengkapannya menggunakan sebuah lambang
(palang merah di atas dasar putih).
Diawali dengan Konvensi Jenewa pertama tahun 1864, hukum perikemanusiaan modern berkembang dalam berbagai tahap,
seringkali setelah sebuah kejadian di mana konvensi tersebut dibutuhkan, untuk memenuhi kebutuhan akan bantuan kemanusiaan
yang terus berkembang sebagai akibat dari perkembangan dalam persenjataan serta jenis-jenis sengketa.
Perang Dunia I (1914-1918) menyaksikan penggunaan cara perang yang, (kalau tidak dapat dikatakan baru) dilakukan dalam skala
yang tidak dikenal sebelumnya. Termasuk di dalamnya gas beracun, pemboman dari udara, dan penangkapan ratusan tawanan
perang. Perjanjian di tahun 1925 dan 1929 merupakan tanggapan dari perkembangan ini.
Perang Dunia II (1939-1945) menyaksikan penduduk sipil dan personil militer tewas dalam jumlah yang seimbang, berbeda dengan
saat Perang Dunia I, di mana perbandingannya adalah 1:10. Tahun 1949 masyarakat internasional bereaksi terhadap angka yang
Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com
| Page 2/3 |
This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 4:39:39 2017 / +0000 GMT
tragis tersebut, terlebih lagi terhadap efek buruk yang menimpa penduduk sipil, dengan merevisi Konvensi yang saat itu sedang
berlaku dan mengadopsi perangkat hukum lain: Konvensi Jenewa ke-4 tentang perlindungan terhadap penduduk sipil. Belakangan di
tahun 1977, Protokol Tambahan merupakan tanggapan atas efek kemanusiaan dalam perang kemerdekaan nasional, yang hanya
diatur sebagian di dalam Konvensi 1949.
Keempat Konvensi Jenewa menegaskan penghormatan yang harus diberikan kepada setiap pribadi pada masa sengketa bersenjata.
Keempat Konvensi tersebut adalah:
I Perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan bersenjata di medan pertempuran darat
II Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata di laut yang luka, sakit dan korban karam
III Perlakuan tawanan perang
IV Perlindungan penduduk sipil di waktu perang
Protokol Tambahan 1977
Protokol Tambahan merupakan tanggapan atas efek kemanusiaan dalam perang kemerdekaan nasional, yang hanya diatur sebagian
di dalam Konvensi 1949. Dua protokol tambahan diadopsi, yang menguatkan perlindungan terhadap korban sengketa internasional
(protokol I) dan sengketa non-internasional (protokol II). Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 terdiri hampir 600
pasal dan merupakan perangkat utama hukum perikemanusiaan internasional. Hanya sebuah negara yang dapat menjadi peserta
perjanjian internasional, begitu pula untuk menjadi peserta Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya. Di tahun 2002 hampir
semua negara di dunia ? 190 tepatnya ? menjadi peserta Konvensi Jenewa. Fakta bahwa perjanjian ini merupakan salah satu yang
diterima di sejumlah besar negara membuktikan kesemestaannya. Sedangkan mengenai Protokol Tambahannya, 157 negara menjadi
peserta Protokol I dan 150 peserta Protokol II.
HPI dan HAM
Hukum perikemanusiaan internasional dan hukum hak asasi manusia internasional (selanjutnya disebut hukum HAM) saling
melengkapi. Keduanya bermaksud untuk melindungi individu, walaupun dilaksanakan dalam situasi dan cara yang berbeda. HPI
berlaku dalam situasi sengketa bersenjata, sedangkan hukum HAM atau setidaknya sebagian daripadanya, melindungi individu di
setiap saat, dalam masa perang maupun damai. Tujuan dari HPI adalah melindungi korban dengan berusaha membatasi penderitaan
yang diakibatkan oleh perang, hukum HAM bertujuan untuk melindungi individu dan menjamin perkembangannya.
Kepedulian utama HPI adalah mengenai perlakuan terhadap individu yang jatuh ke tangan pihak lawan dan mengenai metode
peperangan, sedangkan hukum HAM pada intinya mencegah perlakuan semena-mena dengan membatasi kekuasaan negara atas
individu. Hukum HAM tidak bertujuan untuk mengatur bagaimana suatu operasi militer dilaksanakan. Untuk memastikan
penghormatannya, HPI membentuk suatu mekanisme yang mengadakan sebuah bentuk pengawasan terus-menerus atas
pelaksanaannya; mekanisme itu memberi penekanan pada kerjasama antara para pihak yang bersengketa dengan penengah yang
netral, dengan tujuan untuk mencegah pelanggaran. Sebagai konsekwensinya, pendekatan ICRC yang perannya menjamin
penghormatan terhadap HPI memberikan prioritas pada persuasi.
Mekanisme untuk memonitor hukum HAM sangat bevariasi. Dalam banyak kasus, lembaga yang berwenang dituntut untuk
menentukan apakan sebuah negara telah menghormati hukum. Contohnya, Mahkamah HAM Eropa, setelah penyelesaian
pendahuluan oleh seseorang, dapat menyatakan bahwa Konvensi HAM Eropa telah dilanggar oleh penguasa negara. Penguasa ini
selanjutnya wajib untuk mengambil langkah yang perlu untuk memastikan bahwa situasi internal itu sesuai dengan persyaratan yang
diminta oleh Konvensi. Mekanisme pelaksanaan HAM pada intinya bermaksud untuk meluruskan segala kerusakan yang terjadi.
Referensi
1. Direktorat Jenderal Hukum Perundang-undangan Departemen Kehakiman, 1999, Terjemahan Konvensi Jenewa tahun 1949,
Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Jakarta.
2. International Committee of the Red Cross, 1994, Handbook of the International Red Cross and Red Crescent Movement, ICRC &
Federation, Geneva.
3. International Committee of the Red Cross,1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta.
4. International Committee of the Red Cross, 2002, International Humanitarian Law, Answer to Your Question, ICRC, Geneva.
5. ICRC, Film ?Fighting by the Rules' , ICRC, Geneva
Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com
| Page 3/3 |
Export date: Sun Sep 3 4:39:39 2017 / +0000 GMT
Hukum Perikemanusiaan Internasional
LINK DOWNLOAD [58.00 KB]
Hukum Perikemanusiaan Internasional
A. Sejarah HPI
Salah apabila kita mengatakan bahwa pendirian Palang Merah di tahun 1863 ataupun pengadopsian Konvensi Jenewa pertama tahun
1864 menandakan kelahiran hukum perikemanusiaan sebagaimana yang kita kenal saat ini. Sebagaimana tidak ada satu masyarakat
yang tidak memiliki seperangkat aturan, begitu pula tidak pernah ada perang yang tidak memiliki aturan jelas maupun samar-samar
yang mengatur tentang mulai dan berakhirnya suatu permusuhan, serta bagaimana perang itu dilaksanakan.
Pada awalnya ada aturan tidak tertulis berdasarkan kebiasaan yang mengatur tentang sengketa bersenjata. Kemudian perjanjian
bilateral (kartel) yang kerincian aturannya berbeda-beda, lambat-laun mulai diberlakukan. Pihak-pihak yang bertikai kadangkala
meratifikasinya setelah permusuhan berakhir. Ada pula peraturan yang dikeluarkan oleh negara kepada pasukannya (lihat ?Kode
Lieber?). Hukum yang saat itu ada terbatas pada waktu dan tempat, karena hanya berlaku pada satu pertempuran atau sengketa
tertentu saja. Aturannya juga bervariasi, tergantung pada masa, tempat, moral dan keberadaban.
Dari sejak permulaan perang sampai pada munculnya hukum perikemanusiaan yang kontemporer, lebih dari 500 kartel, aturan
bertindak (code of conduct), perjanjian dan tulisan-tulisan lain yang dirancang untuk mengatur tentang pertikaian telah dicatat.
Termasuk di dalamnya Lieber Code, yang mulai berlaku pada bulan April 1863 dan memiliki nilai penting karena menandakan
percobaan pertama untuk mengkodifikasi hukum dan kebiasaan perang yang ada. Namun, tidak seperti Kovensi Jenewa yang
dibentuk setahun setelah itu, Lieber Code ini tidak memiliki status perjanjian sebagaimana yang dimaksudkannya karena hanya
diberlakukan kepada tentara Union yang berperang pada waktu Perang Saudara di Amerika.
Ada dua pria memegang peran penting dalam pembentukan HPI selanjutnya, yaitu Henry Dunant dan Guillaume-Henri Dufour.
Dunant memformulasikan gagasan tersebut dalam Kenangan dari Solferino (A Memory of Solferino), diterbitkan tahun 1862.
Berdasarkan pengalamannya dalam perang, General Dufour tanpa membuang-buang waktu menyumbangkan dukungan moralnya,
salah satunya dengan memimpin Konferensi Diplomatik tahun 1864.
Terhadap usulan dari kelima anggota pendiri ICRC, Pemerintah Swiss mengadakan Konferensi Diplomatik tahun 1864, yang
dihadiri oleh 16 negara yang mengadopsi Konvensi Jenewa untuk perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan bersenjata
di medan pertempuran darat.
Definisi
Hukum Perikemanusiaan Internasional membentuk sebagian besar dari Hukum Internasional Publik dan terdiri dari peraturan yang
melindungi orang yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam persengketaan dan membatasi alat dan cara berperang di masa sengketa
bersenjata.
Lebih tepatnya, yang dimaksud ICRC dengan hukum perikemanusiaan yang berlaku di masa sengketa bersenjata adalah semua
ketentuan yang terdiri dari perjanjian dan kebiasaan internasional yang bermaksud untuk mengatasi segala masalah kemanusiaan
yang timbul pada waktu pertikaian bersenjata internasional maupun non-internasional; hukum tersebut membatasi atas dasar
kemanusiaan, hak-hak dari pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk memilih cara-cara dan alat peperangan, serta memberikan
perlindungan kepada orang yang menjadi korban maupun harta benda yang terkena dampak pertikaian bersenjata.
Kombatan hanya boleh menyerang target militer, wajib menghormati non-kombatan dan objek sipil dan menghindari penggunaan
kekerasan yang berlebihan. Istilah hukum perikemanusiaan internasional, hukum humaniter, hukum sengketa bersenjata dan hukum
perang dapat dikatakan sama pengertiannya. Organisasi internasional, perguruan tinggi dan bahkan Negara cenderung menggunakan
istilah hukum perikemanusiaan internasional (atau hukum humaniter), sedangkan istilah hukum sengketa bersenjata dan hukum
perang biasa digunakan oleh angkatan bersenjata. Palang Merah Indonesia sendiri menggunakan istilah Hukum Perikemanusiaan
Internasional.
Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag
Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) ? dikenal juga dengan nama hukum sengketa bersenjata atau hukum perang ? memiliki
dua cabang yang terpisah:
> Hukum Jenewa, atau hukum humaniter, yaitu hukum yang dibentuk untuk melindungi personil militer yang tidak lagi terlibat
dalam peperangan dan mereka yang tidak terlibat secara aktif dalam pertikaian, terutama penduduk sipil;
> Hukum Den Haag, atau hukum perang, adalah hukum yang menentukan hak dan kewajiban pihak yang bertikai dalam
melaksanakan operasi militer dan membatasi cara penyerangan.
Kedua cabang HPI ini tidaklah benar-benar terpisah, karena efek beberapa aturan dalam hukum Den Haag adalah melindungi korban
Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com
| Page 1/3 |
This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 4:39:39 2017 / +0000 GMT
sengketa, sementara efek dari beberapa aturan hukum Jenewa adalah membatasi tindakan yang diambil oleh pihak yang bertikai di
masa perperangan. Dengan mengadopsi Protokol Tambahan 1977 yang mengkombinasikan kedua cabang HPI, pembedaan di atas
kini tinggal memiliki nilai sejarah dan pendidikan.
Prinsip
Hukum perikemanusiaan didasarkan pada prinsip pembedaan antara kombatan dan non-kombatan serta antara objek sipil dan objek
militer. Prinsip necessity atau kepentingan kemanusiaan dan militer, perlunya menjaga keseimbangan antara kepentingan
kemanusiaan di satu pihak dengan kebutuhan militer dan keamanan di pihak lain. Prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu
(unecessary suffering), yaitu hak pihak yang bertikai untuk memilih cara dan alat untuk berperang tidaklah tak terbatas, dan para
pihak tidak diperbolehkan mengakibatkan penderitaan dan kehancuran secara melampaui batas serta tidak seimbang dengan tujuan
yang hendak dicapai, yaitu melemahkan atau menghancurkan potensi militer lawan. Prinsip proporsionalitas, mencoba untuk
menjaga keseimbangan antara dua kepentingan yang berbeda, kepentingan yang berdasarkan pertimbangan atas kebutuhan militer,
dan yang lainnya berdasarkan tuntutan kemanusiaan, apabila hak atau larangannya tidak mutlak.
Aturan Dasar
ICRC telah memformulasikan tujuh aturan yang mencakup inti dari hukum perikemanusian internasional. Aturan-aturan ini tidak
memiliki kekuatan hukum seperti sebuah perangkat hukum internasional dan tidak dimaksudkan untuk menggantikan
perjanjian-perjanjian yang berlaku.
1. Orang yang tidak atau tidak dapat lagi mengambil bagian dalam pertikaian patut memperoleh penghormatan atas hidupnya, atas
keutuhan harga diri dan fisiknya. Dalam setiap kondisi, mereka harus dilidungi dan diperlakukan secara manusiawi, tanpa
pembedaan berdasarkan apa pun.
2. Dilarang untuk membunuh atau melukai lawan yang menyerah atau yang tidak dapat lagi ikut serta dalam pertempuran.
3. Mereka yang terluka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat oleh pihak bertikai yang menguasai mereka. Personil medis,
sarana medis, transportasi medis dan peralatan medis harus dilindungi. Lambang palang merah atau bulan sabit merah di atas dasar
putih adalah tanda perlindungan atas personil dan objek tersebut di atas, dan harus dihormati.
4. Kombatan dan penduduk sipil yang berada di bawah penguasaan pihak lawan berhak untuk memperoleh penghormatan atas
hidup, harga diri, hak pribadi, keyakinan politik, agama dan keyakinan lainnya. Mereka harus dilindungi dari segala bentuk
kekerasan ataupun balas dendam. Mereka berhak berkomunikasi dengan keluarganya serta berhak menerima bantuan.
5. Setiap orang berhak atas jaminan peradilan dan tak seorangpun dapat dituntut untuk bertanggungjawab atas suatu tindakan yang
tidak dilakukannya. Tidak seorangpun dapat dijadikan sasaran penyiksaan fisik maupun mental atau hukuman badan yang kejam
yang merendahkan martabat ataupun perlakuan lainnya.
6. Tidak satu pun pihak bertikai maupun anggota angkatan bersenjatanya mempunyai hak tak terbatas untuk memilih cara dan alat
berperang. Dilarang untuk menggunakan alat dan cara berperang yang berpotensi mengakibatkan penderitaan dan kerugian yang tak
perlu.
7. Pihak bertikai harus selalu membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dalam rangka melindungi penduduk sipil dan hak
milik mereka. Penduduk sipil, baik secara keseluruhan maupun perseorangan tidak boleh diserang. Penyerangan hanya boleh
dilakukan semata-mata kepada objek militer.
Konvensi Jenewa
Konvensi Jenewa 1864 meletakkan dasar-dasar bagi hukum perikemanusiaan modern. Karakter utamanya adalah:
> aturan tertulis yang memiliki jangkauan internasional untuk melindungi korban sengketa;
> sifatnya multilateral, terbuka untuk semua negara;
> adanya kewajiban untuk melakukan perawatan tanpa diskriminasi kepada personil militer yang terluka dan sakit;
> penghormatan dan pemberian tanda kepada personil medis, transportasi dan perlengkapannya menggunakan sebuah lambang
(palang merah di atas dasar putih).
Diawali dengan Konvensi Jenewa pertama tahun 1864, hukum perikemanusiaan modern berkembang dalam berbagai tahap,
seringkali setelah sebuah kejadian di mana konvensi tersebut dibutuhkan, untuk memenuhi kebutuhan akan bantuan kemanusiaan
yang terus berkembang sebagai akibat dari perkembangan dalam persenjataan serta jenis-jenis sengketa.
Perang Dunia I (1914-1918) menyaksikan penggunaan cara perang yang, (kalau tidak dapat dikatakan baru) dilakukan dalam skala
yang tidak dikenal sebelumnya. Termasuk di dalamnya gas beracun, pemboman dari udara, dan penangkapan ratusan tawanan
perang. Perjanjian di tahun 1925 dan 1929 merupakan tanggapan dari perkembangan ini.
Perang Dunia II (1939-1945) menyaksikan penduduk sipil dan personil militer tewas dalam jumlah yang seimbang, berbeda dengan
saat Perang Dunia I, di mana perbandingannya adalah 1:10. Tahun 1949 masyarakat internasional bereaksi terhadap angka yang
Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com
| Page 2/3 |
This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 4:39:39 2017 / +0000 GMT
tragis tersebut, terlebih lagi terhadap efek buruk yang menimpa penduduk sipil, dengan merevisi Konvensi yang saat itu sedang
berlaku dan mengadopsi perangkat hukum lain: Konvensi Jenewa ke-4 tentang perlindungan terhadap penduduk sipil. Belakangan di
tahun 1977, Protokol Tambahan merupakan tanggapan atas efek kemanusiaan dalam perang kemerdekaan nasional, yang hanya
diatur sebagian di dalam Konvensi 1949.
Keempat Konvensi Jenewa menegaskan penghormatan yang harus diberikan kepada setiap pribadi pada masa sengketa bersenjata.
Keempat Konvensi tersebut adalah:
I Perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan bersenjata di medan pertempuran darat
II Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata di laut yang luka, sakit dan korban karam
III Perlakuan tawanan perang
IV Perlindungan penduduk sipil di waktu perang
Protokol Tambahan 1977
Protokol Tambahan merupakan tanggapan atas efek kemanusiaan dalam perang kemerdekaan nasional, yang hanya diatur sebagian
di dalam Konvensi 1949. Dua protokol tambahan diadopsi, yang menguatkan perlindungan terhadap korban sengketa internasional
(protokol I) dan sengketa non-internasional (protokol II). Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 terdiri hampir 600
pasal dan merupakan perangkat utama hukum perikemanusiaan internasional. Hanya sebuah negara yang dapat menjadi peserta
perjanjian internasional, begitu pula untuk menjadi peserta Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya. Di tahun 2002 hampir
semua negara di dunia ? 190 tepatnya ? menjadi peserta Konvensi Jenewa. Fakta bahwa perjanjian ini merupakan salah satu yang
diterima di sejumlah besar negara membuktikan kesemestaannya. Sedangkan mengenai Protokol Tambahannya, 157 negara menjadi
peserta Protokol I dan 150 peserta Protokol II.
HPI dan HAM
Hukum perikemanusiaan internasional dan hukum hak asasi manusia internasional (selanjutnya disebut hukum HAM) saling
melengkapi. Keduanya bermaksud untuk melindungi individu, walaupun dilaksanakan dalam situasi dan cara yang berbeda. HPI
berlaku dalam situasi sengketa bersenjata, sedangkan hukum HAM atau setidaknya sebagian daripadanya, melindungi individu di
setiap saat, dalam masa perang maupun damai. Tujuan dari HPI adalah melindungi korban dengan berusaha membatasi penderitaan
yang diakibatkan oleh perang, hukum HAM bertujuan untuk melindungi individu dan menjamin perkembangannya.
Kepedulian utama HPI adalah mengenai perlakuan terhadap individu yang jatuh ke tangan pihak lawan dan mengenai metode
peperangan, sedangkan hukum HAM pada intinya mencegah perlakuan semena-mena dengan membatasi kekuasaan negara atas
individu. Hukum HAM tidak bertujuan untuk mengatur bagaimana suatu operasi militer dilaksanakan. Untuk memastikan
penghormatannya, HPI membentuk suatu mekanisme yang mengadakan sebuah bentuk pengawasan terus-menerus atas
pelaksanaannya; mekanisme itu memberi penekanan pada kerjasama antara para pihak yang bersengketa dengan penengah yang
netral, dengan tujuan untuk mencegah pelanggaran. Sebagai konsekwensinya, pendekatan ICRC yang perannya menjamin
penghormatan terhadap HPI memberikan prioritas pada persuasi.
Mekanisme untuk memonitor hukum HAM sangat bevariasi. Dalam banyak kasus, lembaga yang berwenang dituntut untuk
menentukan apakan sebuah negara telah menghormati hukum. Contohnya, Mahkamah HAM Eropa, setelah penyelesaian
pendahuluan oleh seseorang, dapat menyatakan bahwa Konvensi HAM Eropa telah dilanggar oleh penguasa negara. Penguasa ini
selanjutnya wajib untuk mengambil langkah yang perlu untuk memastikan bahwa situasi internal itu sesuai dengan persyaratan yang
diminta oleh Konvensi. Mekanisme pelaksanaan HAM pada intinya bermaksud untuk meluruskan segala kerusakan yang terjadi.
Referensi
1. Direktorat Jenderal Hukum Perundang-undangan Departemen Kehakiman, 1999, Terjemahan Konvensi Jenewa tahun 1949,
Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Jakarta.
2. International Committee of the Red Cross, 1994, Handbook of the International Red Cross and Red Crescent Movement, ICRC &
Federation, Geneva.
3. International Committee of the Red Cross,1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta.
4. International Committee of the Red Cross, 2002, International Humanitarian Law, Answer to Your Question, ICRC, Geneva.
5. ICRC, Film ?Fighting by the Rules' , ICRC, Geneva
Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com
| Page 3/3 |