Hubungan Kualitas Tidur dengan Fungsi Kognitif pada Siswa SMA Wiyata Dharma Medan Tahun 2015

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Tidur

2.1.1. Definisi Tidur
Tidur didefinisikan sebagai kondisi tidak sadar dimana seseorang yang
berada dalam kondisi tersebut dapat dibangunkan dengan rangsang sensorik atau
rangsang lain. Tidur harus dibedakan dari koma, yaitu suatu kondisi tidak sadar
dimana seseorang yang berada dalam kondisi tersebut tidak dapat dibangunkan
(Guyton, 2010).

2.1.2. Elektrofisiologi Tidur
Dalam keadaan fisiologis, tidur terbagi 2 yaitu Non-Rapid Eye Movement
(NREM) dan Rapid Eye Movement (REM). Pada tidur NREM, yang terdiri atas
tahap 1 sampai 4, mayoritas fungsi fisiologis sangat berkurang dibandingkan
dengan keadaan terjaga. Tidur REM secara kualitatif berbeda, ditandai dengan
dengan tingginya aktivitas otak dan aktivitas fisiologis yang setara dengan saat

terjaga. Sekitar 90 menit setelah onset tidur, NREM berkembang menjadi episode
REM pertama. Periode latensi selama 90 menit secara konsisten ditemukan pada
orang dewasa normal; pemendekan latensi REM sering terjadi pada gangguan
seperti gangguan depresif dan narkolepsi (Sadock, 2007).
Pada orang normal, tidur NREM merupakan keadaan yang lebih tenang
dibanding saat terjaga. Denyut jantung per menit menurun hingga 5 sampai 10
denyut per menit dibawah denyut nadi saat terjaga sedang istirahat dan sangat
teratur denyutnya. Pernafasan juga terpengaruh dan tekanan darah cenderung
lebih rendah, dengan sedikit variasi dari menit ke menit. Resting potential otot
tubuh lebih rendah pada saat tidur REM daripada keadaan terjaga. Gerakan
episodik dan involunter terdapat pada tidur NREM (Sadock, 2007).
Bagian terdalam tidur NREM (tahap 3 dan 4, disebut juga slow-wave
sleep) kadang dikaitkan dengan karakteristik bangkitan yang tidak biasa. Ketika

5

seseorang bangkit 30 menit hingga 1 jam setelah onset tidur (biasanya pada slowwave sleep ), orang tersebut akan mengalami diorientasi dan pikirannya kacau.

Bangkitan singkat dari slow-wave sleep juga menyebabkan amnesia terhadap
peristiwa selama bangkitan. Masalah spesifik seperti enuresis, somnoambulisme,

dan night terror dapat ditimbulkan oleh kekacauan pikiran selama bangkitan dari
tahap 3 atau 4 (Sadock, 2007).
Ukuran poligrafik selama tidur REM menunjukkan pola yang tidak teratur,
kadang mendekati pola terjaga ketika dibangunkan. Oleh karena itu, tidur REM
disebut juga tidur paradoksal. Denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah pada
tidur REM meningkat, jauh lebih tinggi daripada selama tidur NREM dan
seringkali lebih tinggi daripada saat bangun. Perubahan fisiologis lain yang terjadi
selama tidur REM adalah paralisis otot-otot postural (Sadock, 2007).
Karakteristik tidur REM yang mungkin paling berbeda adalah adanya
mimpi. Orang yang terbangun saat tidur REM dilaporkan mengalami mimpi (60
sampai 90 persen). Mimpi selama tidur REM bersifat abstrak dan tidak nyata.
Mimpi juga dapat terjadi selama tidur NREM, tetapi biasanya jelas dan penuh arti
(Sadock, 2007).
Sifat siklik pada tidur adalah regular dan dapat dipercaya; periode REM
terjadi kira-kira setiap 90 hingga 100 menit sepanjang malam. Periode REM
pertama cenderung paling singkat dengan hanya berlangsung kurang dari 10
menit; periode REM selanjutnya berlangsung 15 hingga 40 menit tiap periodenya.
Sebagian besar periode REM terjadi pada sepertiga malam terakhir, sedangkan
sebagian tidur tahap 4 terjadi pada sepertiga malam pertama (Sadock, 2007).
Pola tidur ini berubah sepanjang kehidupan seseorang. Pada periode

neonatus, tidur REM mewakili lebih dari 50 persen total waktu tidur, dan pola
EEG bergerak langsung dari kondisi terbangun ke periode REM tanpa melalui
stadium 1 sampai 4. Neonatus tidur kira-kira 16 jam sehari dengan periode
bangun yang singkat. Pada usia 4 bulan, pola ini bergeser sehingga total
persentase tidur REM berkurang hingga 40 persen, dan diawali dengan periode
tidur NREM.

6

Pada dewasa muda, distribusi tahapan tidur adalah sebagai berikut:


NREM (75 persen)
1. Tahap 1: 5 persen
2. Tahap 2: 45 persen
3. Tahap 3: 12 persen



4. Tahap 4: 13 persen

REM (25 persen) (Sadock, 2007).

Distribusi ini relatif tetap konstan sampai usia tua, meskipun terjadi
penurunan slow-wave sleep dan tidur REM pada orang yang lebih tua (Sadock,
2007).

2.1.3. Regulasi Tidur
Sebagian peneliti berpikir bahwa sebenarnya tidak ada satu pusat
pengendali tidur sederhana, melainkan terdapat sejumlah kecil sistem atau pusat
yang terutama terletak di batang otak yang saling mengaktivasi dan menginhibisi
satu sama lain (Sadock, 2007).
Stimulasi dari beberapa area spesifik otak dapat memicu tidur dengan
karakteristik yang mendekati tidur normal. Beberapa area ini meliputi:
1. Daerah yang bila distimulasi dapat menyebabkan tidur adalah nukleus rafe
dibawah pons dan di medula. Nuklei ini meliputi lembaran tipis dari
neuron khusus. Serabut saraf dari nuklei tersebar secara lokal di formasi
retikular batang otak dan juga ke talamus, hipotalamus, sebagian besar
daerah sistem limbik, dan bahkan ke neokorteks serebrum. Serabut ini juga
menyebar ke arah sumsum tulang belakang. Banyak ujung serabut saraf
dari neuron rafe mensekresi serotonin. Ketika obat yang menghambat

pembentukan serotonin diberikan ke hewan coba, hewan tersebut tidak
bisa tidur selama beberapa hari. Oleh karena itu, diasumsikan serotonin
merupakan transmitter yang diasosiasikan dengan tidur.
2. Tidur juga dapat disebabkan oleh stimulasi pada beberapa area di nukleus
traktus solitarius. Nukleus ini berakhir di medula dan pons untuk

7

menghantarkan sinyal sensori viseral yang masuk melalui saraf vagus dan
glossofaringeal.
3. Tidur dapat dicetuskan dengan stimulasi beberapa daerah di diensefalon,
termasuk (1) bagian rostral hipotalamus, utamanya di daerah suprakiasma
dan (2) daerah di nuklei difus dari talamus (Guyton, 2010).

2.1.4. Fungsi Tidur
Tidur memiliki fungsi yang penting. Fungsi fisik, kognitif, produktifitas,
dan kesehatan seseorang dapat diturunkan oleh restriksi tidur ringan selama
beberapa hari. Peran penting tidur pada homeostasis secara jelas dapat
didemonstrasikan dengan fakta bahwa tikus yang kurang tidur selama 2 sampai 3
minggu kemungkinan mati. (Guyton, 2010)

Tidur menyebabkan dua efek fisiologis utama yaitu pada sistem saraf dan
sistem fungsional tubuh yang lain. Tidur berfungsi untuk beberapa hal seperti:
1. Maturasi saraf
2. Mempermudah belajar dan mengingat
3. Kognisi
4. Konservasi energi metabolik (Guyton, 2010)

2.1.5. Deprivasi Tidur
Deprivasi tidur adalah istilah untuk menggambarkan kondisi yang
disebabkan oleh kuantitas atau kualitas tidur yang tidak adekuat, termasuk kurang
tidur yang disadari ataupun tidak disadari serta gangguan irama sirkadian
(Betterhealth, 2014).
Gejala-gejala deprivasi tidur, antara lain:
1. Sering menguap.
2. Kecenderungan untuk tertidur ketika tidak aktif dalam waktu yang
sebentar (misalnya saat menonton televisi).
3. Merasa pusing ketika bangun pada pagi hari.

8


4. Merasa pusing dan mengantuk sepanjang hari (sleep inertia ).
5. Kurang konsentrasi serta perubahan mood atau lebih iritabel (Betterhealth,
2014).



Sebab-sebab deprivasi tidur antara lain:
Pilihan pribadi. Beberapa orang tidak menyadari

bahwa tubuh

memerlukan tidur yang cukup; mereka lebih memilih untuk tetap terjaga
pada malam hari untuk bersosialisasi, menonton televisi, atau membaca


buku.



mendengkur, tersedak, dan sering terbangun.


Kondisi sakit. Kondisi seperti pilek dan tonsilitis dapat menyebabkan

Pekerjaan. Orang-orang yang melakukan giliran kerja di luar siklus tidurbangun yang normal, memiliki lebih dari satu pekerjaan, atau memiliki
profesi yang menyita waktu dapat mengalami deprivasi tidur. Misalnya
saja seorang perawat yang harus merawat pasien hingga malam hari.
Orang-orang yang menempuh perjalanan jauh juga sering mengalami



gangguan pola tidur (jet lag).
Gangguan tidur. Masalah seperti sleep apnea , mendengkur, gerakan
ekstremitas periodik, dan restless legs syndrome dapat mengganggu tidur



seseorang sampai beberapa kali sepanjang malam.
Obat-obatan. Beberapa jenis obat yang digunakan untuk terapi pada
penyakit-penyakit seperti epilepsi atau Attention Deficit Hyperactivity




Disorder (ADHD) dapat menyebabkan insomnia.

Lingkungan tidur. Tidur juga dapat terganggu karena alasan lingkungan,
contohnya kamar tidur yang terlalu panas atau terlalu dingin, tetangga



yang berisik, atau teman tidur yang mendengkur.
Higiene tidur yang buruk. Beberapa orang memiliki kebiasaan yang

mengganggu, misalnya minum kopi atau merokok pada saat menjelang
jam tidur yang dapat menstimulasi sistem saraf dan membuat sulit tidur.
Masalah yang lain adalah berbaring di tempat tidur lalu khawatir akan
sesuatu hal, bukan merelaksasikan diri (Betterhealth, 2014).

9

2.1.6. Kebutuhan Tidur

Kebutuhan tidur setiap orang berbeda. Orang yang disebut short sleepers
normalnya membutuhkan waktu kurang dari 6 jam untuk dapat menjalankan
fungsinya dengan adekuat. Long sleepers adalah orang yang tidur lebih dari 9 jam
setiap malam untuk dapat berfungsi dengan adekuat. Long sleepers memiliki
periode REM yang lebih banyak serta lebih banyak periode REM di dalam setiap
periode (densitas REM) daripada short sleepers. Short sleepers umumnya efisien,
ambisius, beradaptasi sosial, dan menyenangkan. Long sleepers cenderung
mengalami depresi ringan, cemas, dan menarik diri secara sosial. Kebutuhan tidur
meningkat pada kerja fisik, olahraga, sakit, kehamilan, stres menyeluruh, dan
peningkatan aktivitas mental. Periode REM meningkat setelah adanya stimulus
psikologis yang kuat, misalnya kesulitan belajar, stres, dan penggunaan obatobatan (Sadock, 2007).
Kebutuhan tidur juga berbeda berdasarkan usia, antara lain:
Tabel 2.1. Kebutuhan tidur berdasarkan usia
Usia

Durasi Tidur

0-3 bulan

14-17 jam


4-11 bulan

12-15 jam

1-2 tahun

11-14 jam

3-5 tahun

10-13 jam

6-13 tahun

9-11 jam

14-17 tahun

8-10 jam

18-64 tahun

7-9 jam

>65 tahun

7-8 jam

Sumber: How Much Sleep Do We Really Need? (National Sleep
Foundation, 2011).

10

2.1.7. Irama Tidur-Bangun
Tanpa pengaruh faktor eksternal, jam tubuh alami mengikuti siklus 25
jam. Pengaruh faktor eksternal (misalnya siklus siang malam, rutinitas sehari-hari,
periode makan, dan lainnya) melatih seseorang terhadap waktu 24 jam. Tidur juga
dipengaruhi irama biologis. Orang dewasa tidur satu kali, kadang-kadang dua kali,
dalam periode 24 jam. Irama ini tidak terdapat saat lahir, tetapi berkembang
setelah 2 tahun pertama kehidupan. Pada beberapa orang wanita, pola tidur
berubah selama siklus menstruasi (Sadock, 2007).
Tidur pada waktu berbeda memiliki proporsi REM dan NREM yang
berbeda pula. Tidur pada pagi hari atau siang hari melibatkan tidur REM yang
lebih banyak, sedangkan tidur di sore hari atau awal malam memiliki tidur REM
yang lebih sedikit (Sadock, 2007).

2.1.8. Kualitas Tidur
2.1.8.1. Definisi
Kualitas tidur merupakan fenomena yang sangat kompleks yang
melibatkan berbagai aspek, antara lain, penilaian terhadap durasi tidur, gangguan
tidur, onset tidur, gangguan pada siang hari, efisiensi tidur, kualitas tidur subjektif,
dan penggunaan obat tidur. Jadi apabila salah satu dari ketujuh aspek tersebut
terganggu maka akan mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas tidur (Buysse
et al., 1989 dalam Bush et al., 2012).

2.1.8.2. Metode Pengukuran
Penilaian kualitas tidur dapat menggunakan kuesioner Pittsburgh Sleep
Quality Index (PSQI). PSQI terdiri dari 19 pertanyaan yang dijawab sendiri dan 5

pertanyaan yang dijawab oleh teman sekamar. Pertanyaan yang dijawab sendiri
yang digunakan dalam penilaian, sedangkan pertanyaan yang dijawab teman
sekamar hanya untuk informasi klinis (Buysse et al., 1989 dalam Bush et al.,
2012).

11

Penilaian terhadap 19 pertanyaan yang dijawab sendiri menghasilkan 7
nilai komponen terhadap kualitas tidur. Skor setiap komponen memiliki rentang
dari 0 sampai 3. Skor tiap komponen dijumlahkan untuk menilai skor total (antara
0-21). Nilai kualitas tidur yang baik apabila total skor ≤ 5. Sedangkan nilai
kualitas tidur yang buruk apabila total skor > 5 (Buysse et al., 1989 dalam Bush et
al., 2012).
Dalam menjawab kuesioner PSQI dibutuhkan waktu 5-10 menit. PSQI
telah divalidasi oleh University of Pittsburgh dengan sensitivitas 89,6% dan
spesifisitas 86,5%. Realibilitas kuesioner ini telah diuji dengan nilai koefisien
realibilitas (Cronbach’s α) sebesar 0,83 (Buysse et al., 1989 dalam Bush et al.,
2012).

2.2.

Fungsi Kognitif

2.2.1. Definisi Fungsi Kognitif
Kognisi didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghadapi stimulus
eksternal maupun motivasi internal; mengidentifikasi stimulus tersebut dan
membuat respon yang berarti (Purves et al., 2008).

2.2.2. Aspek Fungsi Kognitif
2.2.2.1. Memori
Memori didefinisikan sebagai kemampuan dalam menyimpan dan
mengulang kembali informasi yang diperoleh yang terdiri dari 3 tahap yaitu:
1.

Tahap pertama yaitu encoding yang merupakan fungsi menerima,
proses, dan penggabungan informasi.

2.

Tahap kedua yaitu consolidation dimana terjadi pembentukan suatu
catatan permanen dari informasi yang telah dilakukan encoding.

3.

Tahap ketiga yaitu retrieval, tahap ini merupakan suatu fungsi
memanggil kembali informasi yang telah disimpan untuk interpretasi
dari suatu aktivitas (Purves et al., 2008).

12

Memori menurut american academy of neurology membagi memori
menjadi 3 kategori yaitu:
1. Short-term memory : kemampuan seseorang dalam mengingat
informasi baru misalnya pada saat kita mengingat nomor telepon baru.
2. Working memory : kemampuan mengingat informasi di pikiran selama
beberapa detik sampai menit setelah kejadian sekarang telah lewat.
3. Long-term memory : kemampuan mengingat dalam jangka waktu yang
cukup lama, baik beberapa hari, minggu, bahkan seumur hidup (Purves
et al., 2008).

McCoy & Strecker (2011) membagi long-term memory dalam dua
kategori yaitu:
1. Memori deklaratif (atau memori eksplisit) yaitu memori yang tahap
penyimpanan dan pemanggilannya berada pada tahap sadar dan dapat
diekspresikan dengan bahasa. Memori deklaratif dapat dibagi menjadi
dua kategori yaitu:
a. Memori episodik yaitu ingatan mengenai pengalaman terkait waktu
dan tempat.
b. Memori semantik yaitu ingatan mengenai fakta dan informasi
umum yang didapat dalam pengalaman bicara (Purves et al., 2008;
Markam, 2009; Ginsberg, 2010).
2. Memori non-deklaratif (atau memori prosedural/implisit) yaitu memori
yang pada tahap tidak sadar. Memori ini melibatkan kemampuan dan
asosiasi yang berada pada tahap bawah sadar (Purves et al., 2008;
Ginsberg, 2010).

Dasar anatomi untuk memori episodik dipengaruhi oleh sistem limbik
(termasuk hipokampus, talamus dan koneksinya), sementara memori semantik
dipengaruhi oleh neokorteks temporal. Memori implisit melibatkan berbagai
struktur seperti basal ganglia, serebelum dan koneksinya dengan korteks serebri
(Ginsberg, 2010).

13

2.2.2.2. Bahasa
Berbahasa merupakan suatu instrumen dasar bagi manusia untuk
berkomunikasi antara satu orang dengan yang lainnya. Bila terdapat gangguan
dalam hal ini, akan mengakibatkan hambatan yang cukup besar bagi penderita.
Kemampuan berbahasa seseorang mencakup kemampuan untuk berbicara
spontan, pemahaman, pengulangan, membaca, dan menulis (Satyanegara et al.,
2010).
Beberapa kelainan dalam berbahasa antara lain disartria (pelo), disfonia
(serak), disprosodi (gangguan irama bicara), apraksia oral, afasia, aleksia
(kehilangan kemampuan membaca), dan agrafia (gangguan dalam penulisan)
(Satyanegara et al., 2010).
Broca (1861) menemukan pusat bicara terletak di girus frontalis inferior
hemisfer kiri, sedangkan Wernicke menemukan pusat pengertian bahasa di girus
temporalis superior hemisfer kiri di belakang pusat pendengaran primer. Dejerine
menemukan pusat baca di daerah girus angularis lobus parietalis kiri. Pusat
menulis juga berada di lobus parietalis kiri yang menyimpan ingatan gerakannya
berkerja sama dengan pusat gerakan menulis di lobus frontalis di depan pusat
motorik tangan (Markam, 2009).
Di lobus parietalis kiri pada perbatasan dengan lobus oksipitalis, terdapat
pusat ingatan benda. Di dekat pusat ingatan benda ini diperkirakan berkembang
pusat yang menyimpan nama benda bersangkutan. Pusat nama benda ini meluas
hingga perbatasan lobus oksipitalis dengan lobus temporalis kiri. Pada kerusakan
di perbatasan lobus oksipitalis dan lobus parietalis kiri terjadi anomia atau afasia
nominal, yaitu kehilangan daya mengingat nama benda yang dilihat. Pada anomia
ini, pasien dapat mengatakan nama benda yang diperlihatkan, bila dibantu dengan
memberikan suku kata pertama nama benda yang sebelumnya tidak dapat dia
sebutkan namanya. Pada kerusakan di daerah perbatasan lobus oksipitalis dengan
lobus temporalis, pasien tetap tidak dapat mengatakan nama benda yang
diperlihatkan, meskipun diberi bantuan dengan memberikan suku kata pertama

14

nama bendanya. Bila diminta menggambar dengan menyebutkan nama benda
tersebut, dia juga tidak dapat melakukannya (Markam, 2009).
Daerah yang diperkirakan homolog dengan pusat bahasa ini berada di
lobus temporalis dan lobus frontalis hemisfer kanan. Daerah ini mengatur prosodi,
yaitu irama bicara yang digunakan (Markam, 2009).

2.2.2.3. Praksis
Praksis merupakan integrasi motorik untuk melakukan gerakan kompleks
yang bertujuan. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain dengan meminta
pasien menggambar segi lima, membuat gambar secara spontan, atau dengan
membuat gambar secara spontan (Satyanegara et al., 2010).
Praksis dipengaruhi oleh lobus frontalis dan parietalis. Ingatan gerakan,
segi aferen propriosepsi dan kinestesia, dan aspek visuospasial disimpan di lobus
parietalis. Kontrol visual gerakan dilakukan oleh lobus oksipitalis bersama lobus
frontalis bagian dorsolateral. Lobus parietalis bersama area 6 lobus frontalis
memulai, menghentikan, dan menyusun urutan gerakan yang akan disampaikan
kepada neuron pelaksana di area 4 korteks motorik primer. Area Brodman 6
meliputi area motorik suplementer yang terletak di bagian atas depan korteks
motorik primer dan area premotorik di bawahnya. Pada kerusakan area motorik
suplementer, daya gerak cepat menjadi berkurang. Pada gangguan daerah
premotorik, terjadi kesulitan mengubah urutan gerakan (Markam, 2009).

2.2.2.4. Visuospasial
Visuospasial merupakan kemampuan konstruksional seperti menggambar
atau meniru berbagai macam gambar dan menyusun balok. Semua lobus berperan
dalam kemampuan konstruksi dan lobus parietal terutama hemisfer kanan
berperan paling dominan (Markam, 2009).

15

2.2.2.5. Atensi
Atensi merupakan kegiatan otak yang berupa peningkatan aktivitas
perangsangan, pemilahan dan kategorisasi rangsangan yang diterima, persiapan
fisiologis untuk bertindak atau bereaksi dan proses mempertahankan aktivitas di
dalam usaha mencapai sasaran. Atensi menjadi dasar perilaku direktif, selektif dan
terorganisasi. Atensi mempunyai tingkatan dasar, elementer dan luhur. Luria
menemukan bahwa ketika daya atensi luhur terbentuk, potensial cetusan yang
terjadi meningkat dan terjadi di korteks sensorik yang bersangkutan dan lobus
frontalis. Atensi yang baik dapat terjadi pada keadaan sadar penuh. Hal ini
menandakan formasio retikularis di daerah pons, mesensefalon dan hubungannya
berperan dalam atensi (Markam, 2009).

2.2.2.6. Orientasi
Orientasi merupakan pengertian, pemahaman mengenai relasi diri sendiri
dengan benda-benda yang tampak di sekitar tempat kita berada. Orientasi terdiri
dari 3 jenis yaitu:
1. Orientasi Tempat
Mengetahui dimana kita berada memerlukan pelihatan dan merupakan
daya visuospasial sehingga orientasi tempat diurus oleh bagian otak
yang mengurus fungsi dan ingatan visuospasial, yaitu lobus oksipitalis,
lobus parietalis, girus temporalis inferior dan daerah yang berkaitan
dengan pelihatan lobus frontalis.
2. Orientasi Orang
Pada keadaan sadar, kita dapat mengenali wajah anggota keluarga atau
teman. Pengenalan wajah (prosopognosis) dilakukan oleh lobus
oksipitalis, temporalis, dan parietalis terutama sebelah kanan.
3. Orientasi Waktu
Mengenal waktu secara tepat memerlukan jam dan kalender. Mengirangira berlangsungnya waktu juga sulit dilakukan. Perkiraan waktu
untuk mengucapkan satu-dua dengan kecepatan biasa, berlangsung

16

kurang lebih 1 detik. Jadi ada urutan pengucapan yang dapat didengar
atau dapat juga tulisan yang dapat dilihat atau diraba yang berkaitan
dengan persepsi waktu. Area korteks serebri yang terkait dengan
urutan bunyi terdapat di dalam lobus temporalis, urutan tulisan di
lobus oksipito-parietalis dan urutan gerakan di lobus frontalis. Selain
itu, nukleus supra-kiasmatis di dalam diensefalon berfungsi sebagai
jam biologis (Markam, 2009).

2.2.2.7. Kalkulasi
Kemampuan berhitung dapat dinilai dengan meminta pasien berhitung
sederhana seperti mengurangi 100 dengan 7 dan dikurangi 7 dan seterusnya.
Kemampuan berhitung umumnya tidak dimakan oleh usia. Kemampuan berhitung
dipengaruhi oleh pendidikan dan pekerjaan (Satyanegara et al., 2010).
Ukuran banyak, panjang, tinggi, dan jauh merupakan pengukuran dalam
ruangan yang terlihat. Berat ringan suatu benda dirasakan dari bobotnya ketika
diangkat. Pelihatan merupakan fungsi lobus oksipitalis. Penilaian dalam ruangan
dan bobot adalah fungsi lobus parietalis. Kedua lobus ini berperan penting dalam
kemampuan menghitung. Selain kemampuan visuospasial, pengertian auditorik
yang berkaitan dengan bahasa juga penting karena berhitung menggunakan bahasa
yang khusus. Hal ini menandakan bahwa lobus temporalis dan frontalis ikut
terlibat (Markam, 2009).

2.2.2.8. Eksekusi
Eksekusi merupakan kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan
kemampuan pemecahan masalah. Fungsi ini dimediasi oleh korteks prefrontal
dorsolateral dan struktur subkortikal yang berhubungan dengan daerah tersebut.
Fungsi eksekutif dapat terganggu bila sirkuit frontal-subkortikal terputus. Lezack
membagi fungsi eksekutif menjadi 4 komponen yaitu volition (kemauan),
planning (perencanaan), purposive action (bertujuan), dan effective performance

(pelaksanaan yang efektif) (Markam, 2009).

17

2.2.2.9. Abstraksi
Berpikir abstrak diperlukan untuk menginterpretasi suatu pepatah atau
kiasan, misalnya seseorang mampu menginterpretasi pepatah ada gula ada semut,
atau kemampuan seseorang untuk mendeskrikpsikan perbedaan antara kucing dan
anjing (Satyanegara et al., 2010).

2.2.3. Metode Pengukuran
Terdapat beberapa metode untuk mengukur fungsi kognitif, seperti Mini
Mental State Examination (MMSE) dan Montreal Cognitive Assessment (MoCA).

Menurut Tasha (2007), sensitifitas MoCA untuk mendeteksi pasien dengan Mild
Cognitive Impairment (MCI) adalah sebesar 83%, lebih tinggi dibandingkan

sensitivitas MMSE yang hanya sebesar 17%. Sensitivitas MoCA untuk
mendeteksi pasien dengan demensia adalah sebesar 94%, jauh lebih tinggi
dibandingkan sensitivitas MMSE yang hanya sebesar 25% (Smith, 2007).
Tes MoCA membutuhkan waktu setidaknya 10 menit untuk diselesaikan,
dengan total poin yang dapat dicapai sebesar 30 poin. Tes dibagi menjadi delapan
domain yaitu: fungsi visuospasial, eksekusi, penamaan, memori, atensi, bahasa,
abstraksi, dan orientasi. Kemampuan visuospasial dinilai dengan menugaskan
pasien untuk menggambar jam dan kubus tiga dimensi (4 poin). Fungsi eksekusi
dinilai dengan menggunakan tugas menghubungkan garis dari satu angka ke satu
huruf dan seterusnya dalam secara berurutan (1 poin). Penamaan dinilai dengan
menampilkan tiga gambar hewan (3 poin). Memori dan delayed recall dinilai
dengan menyebutkan 5 kata dan pasien diminta untuk mengulang kata tersebut
setelah 5 menit (5 poin). Atensi dinilai dengan mengulang serangkaian angka
dengan urutan dari depan dan belakang, tugas deteksi target dan pengurangan
berulang (6 poin). Bahasa dinilai dengan repetisi dua kalimat sintak yang
kompleks dan tes kelancaran (3 poin). Abstraksi dinilai dengan menggunakan tes
kesamaan (2 poin). Orientasi dinilai terhadap waktu dan tempat (6 poin). Semua
domain fungsi kognitif dijumlahkan untuk mendapatkan total skor fungsi kognitif.

18

Nilai fungsi kognitif normal adalah apabila skor ≥ 26. Jika skor < 26, maka fungsi
kognitif dikatakan terganggu. (Friedman, 2012).

2.3.

Hubungan Kualitas Tidur dengan Fungsi Kognitif
Penelitian yang mengaitkan antara kualitas tidur dan hubungannya dengan

fungsi kognitif cukup banyak dilakukan pada berbagai kategori umur dimulai dari
anak-anak sampai lansia (Beebe, 2011; Blackwell et al., 2014; Bub et al., 2011;
Dewald-Kaufmann et al., 2013; Miyata et al., 2013; Telzer et al., 2013). Thomas
et al. (2000) dalam Alhola & Polo-Kantola (2007) menyatakan bahwa pada studi
neuroimaging fungsional, deprivasi tidur dapat menyebabkan perubahan pada

aktivitas metabolik serebral. Hal ini dapat menyebabkan gangguan pada regio
otak yang penting untuk fungsi kognitif seperti atensi, eksekusi, dan bahasa.
Regio otak yang termasuk dalam hal ini meliputi korteks prefrontal, anterior
cingulate, thalamus, basal ganglia, dan serebelum (Alhola & Polo-Kantola, 2007;

Durmer & Dinges, 2005; Killgore, 2010).
Durmer & Dinges (2005) menyatakan bahwa pada pemeriksaan PositronEmission Tomography (PET) ditemukan ada perubahan sebagai akibat deprivasi
tidur. Studi PET menunjukkan penurunan global dalam metabolisme glukosa
diseluruh daerah kortikal dan subkortikal selama deprivasi tidur. Penurunan lebih
spesifik terhadap penyerapan glukosa terjadi di korteks prefrontal, talamus,dan
korteks posterior parietal terjadi ketika subjek terganggu pada tugas kognitif.
Kualitas tidur yang buruk ternyata berpengaruh juga terhadap bagian
hipokampus. Alkadhi et al. (2013) menyatakan bahwa tidur berperan penting
dalam homeostasis. Deprivasi tidur yang berkepanjangan merupakan stresor poten
yang menyebabkan gangguan metabolik dan kognitif pada area otak yang terlibat
dalam fungsi belajar, memori, dan emosi seperti hipokampus, amigdala, dan
korteks prefrontal.
Deprivasi tidur juga dapat menyebabkan gangguan pada proses proliferasi
sel dan neurogenesis di hipokampus sehingga dapat mengganggu proses belajar
dan memori. Neurogenesis diduga disebabkan oleh peran Brain Derived

19

Neurotrophic Factor (BDNF) pada prosesnya. Plastisitas neuronal, neurogenesis

dan kognisi diduga dimodulasi oleh BDNF. Peran stres oksidatif pada deprivasi
tidur memicu gangguan pada neurogenesis dan mempengaruhi fungsi belajar dan
memori (Alkadhi et al., 2013).
Proses pengubahan memori jangka pendek dan working memory menjadi
memori jangka panjang melalui proses yang dinamakan konsolidasi. Proses ini
dimulai dengan peningkatan sementara kalsium (Ca2+) yang melalui reseptor Nmethyl-D-aspartate

(NMDA)

dan

α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-

isoxazolepropionic acid (AMPA) serta peningkatan adenilat siklase ketika belajar.

Enzim ini bertanggung jawab untuk produksi second messenger yaitu cyclic
adenosine monophosphate (cAMP). cAMP mengaktifkan tiga target penting untuk
sintesis protein dan konsolidasi memori. Target ini mencakup protein kinase A
(PKA), pertukaran protein yang diaktivas cAMP, dan hyperpolarization-activated
cyclic nucleotide-gated channels. Aktivasi dari target ini, bersama dengan kinase

lain seperti calmodulin-dependent protein kinase (CAMKII), mitogen activated
protein kinase, dan extracellular signal-regulated kinase (ERK1/2), menyebabkan

fosforilasi faktor transkripsi. Faktor transkripsi seperti cAMP response element
binding protein (CREB), mendorong up-regulation dari ekspresi gen untuk

protein yang akan mengkonsolidasikan memori sementara menjadi memori jangka
panjang (Prince & Abel, 2013).
Alkadhi et al. (2013) mengungkapkan bahwa deprivasi tidur dapat
menyebabkan gangguan pada reseptor NMDA dan AMPA. Deprivasi tidur juga
dapat menyebabkan gangguan pada jalur sinyal intraselular seperti pada jalur
cAMP dan PKA, peningkatan kadar phosphodiesterase IV yang dapat
menyebabkan penurunan cAMP. Gangguan ini dapat mengakibatkan gangguan
pada kadar CaMKII dan CREB selama proses konsolidasi.

20

2.4.

Kerangka Teori

Thomas et al. (2000)  Studi
neuroimaging fungsional
menunjukkan kualitas tidur buruk
mengganggu aktivitas metabolik
serebral menyebabkan gangguan
fungsi kognitif pada aspek atensi,
eksekusi dan bahasa.

Durmer & Dinges (2005)  Studi
PET menunjukkan deprivasi tidur
menyebabkan penurunan global
metabolisme glukosa diseluruh
daerah kortikal dan subkortikal
sehingga mengganggu kemampuan
kognitif.

Kualitas Tidur

Fungsi Kognitif

Alkadhi et al. (2013)  kualitas tidur
buruk merupakan stresor poten yang
menyebabkan gangguan pada proses
metabolik, kognitif, proliferasi sel,
neurogenesis, dan jalur sinyal intraselular.
Gambar 2.1. Kerangka Teori