KORUPSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM (1)

Abstrak
PERSPEKTIF ISLAM TENTANG
GHULUL DAN RISYWAH TERKAIT KORUPSI
By Wahyono Saputro, M. Pd. I.
Makalah ini ditulis sebagai sebuah usaha penulis dalam menelusuri nash baik
yang berupa ayat Al-Qur’an maupun Hadits Nabi Muhammad Saw juga pendapat
para ulama muslim tentang ghulul dan risywah terkait korupsi. Temuan yang
didapati dalam penelusuran ini pada akhirnya diharapkan dapat memberi
kontribusi positif berupa informasi tentang ghulul dan risywah untuk
disosialisaikan kepada ummat Islam Indonesia khususnya, saran dan rekomendasi
serta memberikan dukungan terhadap upaya aparat pemberantas korupsi di
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan kajian literatur, baik
literatur umum maupun khusus terkait dengan korupsi. Kajian literatur umum
meliputi perundangan dan peraturan pemerintah Indonesia terkait dengan korupsi.
Kajian literatur umum dimaksudkan untuk memberikan wawasan umum
mengenai korupsi. Adapaun kajian literatur khusus, yaitu yang meliputi ayat AlQur’an, hadits Nabi Muhammad Saw dan pendapat para ulama muslim tentang
ghulul dan riswah terkait korupsi dan bagian inilah yang akan mendapatkan porsi
lebih pada penulisan makalah ini.
Pada bagian pembahasan dalam makalah ini, penulis mendeskripsikan
ghulul dan risywah secara bahasa, dilanjutkan pendeskripsian ayat Al-Qur’an,

hadits Nabi Muhammad Saw juga pendapat para ulama muslim tentang ghulul
dan risywah. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap ayat Al-Qur’an berdasar teks
hadits Nabi Muhammad Saw dan juga pendapat para ulama muslim agar
diperoleh gambaran yang jelas tentang ghulul dan risywah.
Pada bagian kesimpulan dalam makalah ini, penulis menyimpulkan hasil
analisa pada bagian pembahasan. Kesimpulan itu berupa pernyataan hukum
tentang dengan ghulul dan risywah, saran sosialisasi untuk ummat Islam terkait
ghulul dan risywah dan bahan pertimbangan bagi para aparat pemberantas korupsi
di Indonesia dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Kata kunci: Korupsi, ghulul dan riswah.

1

Abstract
ISLAMIC PERSPECTIVE ABOUT GHULUL AND RISYWAH
CORNCERNED WITH CORRUPTION
By Wahyono Saputro, M. Pd. I.
The paper wrote as the writer efforted in searched on the nash (Al-Qur’an text),
hadits (traditional collection of stories relating words or deeds of Muhammad the
chief source of guidance for understanding religious question), and muslim

scholars perception of ghulul (betrayal) and risywah (bribe) concerned with
corruption.
Results of the research, finally, can give the positive contribution as the sharing
information hopefully to Indonesian muslim people, specially to suggest and
recommendation and giving support for Indonesian goverment agencies
concerned with against corruption doing their obligation and duty.
In this paper, writer using the specific and general literatur concerned with
collecting corruption data. The genaral literatur covered the rule and law of
Indonesian goverment concerned with corruption. And the specific literatur are
the nash (Al-Qur’an text), hadits (traditional collection of stories relating words
or deeds of Muhammad the chief source of guidance for understanding religious
question), and muslim scholars perception concerned with ghulul (betrayal) and
risywah (bribe), so this part is given more portion in this paper
On the core of paper, writer described ghulul (betrayal) and risywah (bribe)
on etimology perspective then described the nash (Al-Qur’an text), hadits
(traditional collection of stories relating words or deeds of Muhammad the chief
source of guidance for understanding religious question), and muslim scholars
perception concerned with ghulul (betrayal) and risywah (bribe). So that, founded
clear description about ghulul (betrayal) and risywah (bribe).
Finally, on the conclusion part of paper, writer concluded results of analitics.

The conclusion were law statement, suggest of sharing to muslim people
concerned with ghulul (betrayal) and risywah (bribe) and recommendation for
Indonesian corruption agencies doing their obligation and duty.
Keywords: Corruption, ghulul dan riswah.

2

PENDAHULUAN
Strategi nasional (Stranas) Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK)
memiliki visi jangka panjang dan menengah. Visi periode jangka panjang (20122025) adalah ‘terwujudnya kehidupan bangsa yang bersih dari korupsi dengan
didukung nilai budaya yang berintegritas’. Adapun visi jangka menengahnya
(2012-2014) yaitu ‘terwujudnya tata kepemerintahan yang bersih dari korupsi
dengan didukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta nilai budaya yang
berintegritas’.1 Kedua visi baik menengah dan jangka panjang diusahakan
pencapaiannya melalui serangkaian misi strategi nasional PPK. Salah satu dari
kelima

misi

strategi


nasional

PPK

tersebut

ialah

membangun

dan

menginternalisasi budaya anti korupsi pada tata kepemerintahan dan
masyarakat. Untuk mewujudkannya, maka pada tahap implementasi strategi,
rumusan yang sejalan dengan strategi nasional tersebut, yaitu meningkatkan
upaya pendidikan dan budaya anti korupsi. Strategi implementasi meningkatkan
upaya pendidikan dan budaya anti korupsi ini merupakan usaha dalam menjawab
satu dari tiga tantangan, yaitu absennya strategi komunikasi dalam pendidikan
budaya anti korupsi yang ditunjukkan dengan kurang efektifnya materi maupun

penyampaian pendidikan dan kampanye anti korupsi pada masyarakat. 2 Untuk
1 Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi; Jangka Panjang (2012-2025)
dan Jangka Menengah (2012-2014), 2012, Jakarta, hlm. 12.
2 Dua tantangan lain terkait dengan pendidikan dan budaya anti korupsi yaitu masih adanya
sikap permisif di masyarakat terhadap pelaku tipikor; sanksi sosial bagi pelaku tipikor perlu
diperkuat untuk menghasilkan efek deteren. Sikap permisif tersebut juga seringkali ditunjukkan
dengan pasifnya individu dalam menghadapi adanya tindakan koruptif dari individu lain di dalam
lingkungannya, dan belum terintergrasinya pendidikan anti korupsi ke dalam kurikulum sekolah
maupun perguruan tinggi. Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi; Jangka
Panjang (2012-2025) dan Jangka Menengah (2012-2014), 2012, Jakarta, hlm. 40.

3

merealisasikan hal tersebut secara efisien, fokus jangka menengah (2012-2014)
strategi nasional PPK terkait dengan strategi pendidikan dan budaya antikorupsi
yaitu memperluas ruang partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan
korupsi dengan melaksanakan diseminasi antikorupsi oleh masyarakat. Fokus
jangka menengah (2012-2014) ini merupakan penjabaran dari strategi pendidikan
dan budaya antikorupsi fokus jangka panjang (2012-2025) .
Ummat Islam merupakan bagian dari masyarakat Indonesia secara

keseluruhan, juga memiliki hak untuk berpartisipasi dalam upaya pemberantasan
korupsi dengan melaksankan diseminasi antikorupsi seperti dijabarkan pada fokus
jangka panjang (2012-2025) dan jangka menengah (2012-2014) di atas. Hak
berpartisipasi ini bisa dimengerti karena ummat Islam memiliki nilai-nilai
universal yang dianut terkait persoalan substansial korupsi dimana Al-Qur’an dan
Hadits merupakan sumber nilai-nilai universal tersebut dan sumber hukum juga
tentunya.

Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas, rumusan masalah yang diajukan pada tulisan ini
adalah bagaimana perspektif Islam tentang ghulul dan risywah terkait dengan
korupsi?
Tujuan Penulisan
Tujuan utama dari penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan perspektif
Islam tentang ghulul dan riswah terkait dengan korupsi.

4

Kegunaan Penulisan
Melalui penelusuran nash baik yang berupa ayat Al-Qur’an maupun Hadits Nabi

Muhammad Saw juga pendapat para ulama muslim tentang ghulul dan risywah
terkait korupsi, diharapkan adanya gambaran yang jelas tentang ghulul dan riswah
terkait dengan korupsi. Kegunaan tulisan ini dapat dirinci sebagai berikut:
Pertama, hasil yang diperoleh dari penulisan makalah ini akan dapat
berguna bagi penulis untuk memperkaya wawasan pengetahuan perspektif Islam
tentang ghulul dan risywah terkait korupsi,
Kedua, secara teoritis penulisan makalah ini dapat memberikan masukan
dan memperkaya referensi para pembaca pada kajian perspektif Islam tentang
ghulul dan risywah terkait korupsi

PEMBAHASAN
Pengertian Korupsi
Secara bahasa pengertian korupsi dapat ditemukan disejumlah literatur, seperti
tertulis dalam Webster’s integrated dictionary an Thesaurus. Dalam kamus ini
korupsi memiliki beberapa arti antara lain decomposition (kebusukan), immunity
(kekebalan), bribery (suapan, sogok), perversion (perbuatan tidak wajar),
contamination (pencemaran, pengotoran), degeneration (kemerosotan), distortion
(penyimpangan dari kenyataan, pemutar-balikan), dishonesty (ketidakjujuran),
depravity (kerusakan, bejad moral) , deterioration (kemunduran) and infection


5

(infeksi, menular).3 Transparency International mendefinisikan korupsi dengan
the abuse of entrusted power for private gain (penyalahgunaan kekuasaan untuk
kepentingan pribadi).
Korupsi merupakan perbuatan yang dikategorikan Malum in se
(jamaknya mala in se) yang merupakan istilah latin yang artinya salah atau jahat
yang bersumber dalam dirinya sendiri. Frasa malum in se digunakan untuk
mengacu pada tingkah laku yang dinilai sebagai sebuah dosa atau kesalahan tak
terpisahkan pada dasarnya. Ini dibedakan dari malum prohibitum, yang mana
sebuah kesalahan hanya dikarenakan ia dilarang (Malum in se is a Latin
phrase meaning wrong or evil in itself. The phrase is used to refer to conduct
assessed as sinful or inherently wrong by nature, independent of regulations
governing the conduct4 It is distinguished from malum prohibitum, which is wrong
only because it is prohibited). Contohnya seperti pembunuhan dan pencurian.
Secara umum masyarakat di Indonesia memahami korupsi sebagai sesuatu
yang merugikan keuangan negara. Namun berdasarkan deskripsi yang terdapat
pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dijumpai 30 jenis
tindak pidana korupsi. Secara garis besar ketiga puluh jenis tindak pidana korupsi

tersebut intinya dikelompokkan menjadi tujuh yaitu; 1) kerugian keuangan negara,
3 Abdulmajeed Hassan Bello, Corruption and Democratic Governance in Nigeria: An
Islamic Perspective on Solution, International Journal of Advanced Research in Management and
Social Sciences, , Department of Religious Cultural Study, University of UYO AKWA IBOM,
State Nigeria, 2013, Vol. 2, No. 1, hlm. 305.
4 John A. Yogis, Canadian
http://en.wikipwedia.org/wiki/Mallum in se

Law

6

Dictionary,

Barrons,

2003

dalam


2) suap-menyuap, 3) penggelapan dalam jabatan, 4) pemerasan, 5) perbuatan
curang, 6) benturan kepentingan dalam jabatan, dan 7) gratifikasi.5 Untuk jenis
yang ketujuh yaitu gratifikasi diatur dalam pasal 12B Ayat 1 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yang
dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Garatifikasi tersebut baik yang diterima di
dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan
sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Deskripsi mengenai gratifikasi
tersebut bila dicermati masih umum dan mutlak, ada yang netral (boleh) dan yang
terlarang. Dan supaya jelas kapan sebuah gratifikasi itu dianggap menjadi
kejahatan korupsi, perlu dilihat rumusan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya6
Deskripsi mengenai ketujuh jenis korupsi dan tambahan mengenai
pengertian gratifikasi sebagaimana di atas diharapkan akan membantu memahami
bagaimana konsep korupsi terkait dengan pembahasan lebih lanjut tentang ghulul

dan risywah.
5 Doni Muhardiansyah, et.al., Buku Saku Memahami Gratifikasi, Komisi Pemberantasan
Korupsi Republik Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. iii.
6 Ibid, hlm. 10

7

Istilah atau term korupsi secara eksplisit tidak terdapat dalam Islam (AlQur’an-Hadits atau Syar’i). Namun demikian, Islam mengemukakan istilah dan
konsep lain yang mirip dan identik dengan istilah korupsi. Terdapat dua istilah
yang sering diangkat terkait dengan istilah korupsi, yaitu istilah ghulul dan
risywah. Pada uraian selanjutnya akan dideskripsikan mengenai kedua istilah
tersebut.

Ghulul
Secara bahasa ghulul berasal dari bahasa Arab yakni, ghalla- yaghullu- ghuluulan
yang salah satu maknanya berarti khianat.7
Lawan dari sifat ghulul (khianat) adalah amanah.8 Dan salah satu bentuk
amanah adalah tidak menyalahgunakan kekuasaan. Menurut Ilyas, jabatan
merupakan amanah yang wajib dijaga. Segala bentuk penyalahgunaan jabatan
untuk kepentingan pribadi, keluarga, famili, atau kelompoknya termasuk
perbuatan tercela yang melanggar amanah. Ia mencontohkan seperti hadiah dan
komisi.9
Terkait tentang ghulul, sejumlah pakar memberikan pendapatnya. Menurut
As-Sa’dy, ghulul adalah al-kitmaan minal ghaniimah (penyembunyian ghanimah).
7 ‫ ـلغغلﱠـغـيلغغغغلـغــغغغﱠغغَـ ـل‬Karim Al-Bustaani, Al- Munjid fii al-Lughah wa al- A’laam, Maktabah
Syarqiyyah, Beirut, Libanon, 1987, hlm. 556. Lihat juga Ibnu Jazierah dalam Hukum Korupsi,
Riswah dan Ghulul, majalah Al-Muslimun, tahun 1997, No. 330, hlm. 28.
8 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI),
Yogyakarta, 2002, hlm. 89.
9 Ibid, hlm. 93.

8

Selain berkaitan dengan ghanimah (harta rampasan perang), ghulul juga dapat
bermakna khianat dalam segala hal yang dikelola oleh manusia (al-khiyaanatu fii
kulli maa yatawallahu al- insaan).10 Menurut Ibnu Jazierah mendefinisikan ghulul
yaitu mengambil dari milik bersama atau orang lain dengan cara yang tidak sah
dan meminta atau menerima pemberian atas suatu pekerjaan yang untuk pekerjaan
itu sudah mendapatkan bayaran atau gaji.11
Dalam Al-Qur’an penunjukkan istilah ghulul secara eksplisit pada surah
Ali ‘Imran (3) ayat 161:

‫ةوةما ةكا ةن لنةب ٍي أة قن يةَغم َل ةوةم قن يةَغقلم قل يةأقت ب ةما غة َل يةَ قوةم الققية ةامة ثم َم‬
‫ت ةو مه قم ةل يمظقلة ممو ةن‬
‫سبة ق‬
‫تمَ ةوفَى مك ُل نةَ قفس ةما ةك ة‬
Artinya: tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta
rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan
perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan
tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang
mereka tidak dianiaya. Q.S. Ali ‘Imran (3): 161.
Dalam sebuah asbabun nuzuul, Ayat ke- 161 dari QS. Ali ‘Imran tersebut
diduga berkaitan dengan hilangnya permadani berwarna merah pada perang
Badar. Hal ini disampaikan oleh Ibnu Abbas ra. “Ayat ini turun berkenaan dengan
hilangnya permadani merah pada perang Badar. Kata sebagian orang, “Mungkin
Rasulullah saw. telah mengambilnya.” Oleh karena itu turunlah ayat ini (Hadits
10 Al-Qur’an beserta tafsir, Tafsir As-Sa’dy
www.islamspirit.com

(Versi off line, edisi. 4. 1.)

11 Ibnu Jazierah, Hukum Korupsi, Riswah dan Ghulul, majalah Al-Muslimun, tahun 1997,
No. 330, hlm. 28.

9

hasan lighairih, riwayat Abu Daud, Tirmidzi dan Thabrani). 12 Pendapat Ibnu
Abbas ra. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abu ‘Ubaid, bahwa
ungkapan ghulul pada ayat tersebut di atas secara khusus tertuju pada harta
rampasan perang. Terungkapnya peristiwa ghulul pada ayat ke 161 surah Ali
‘Imran menyiratkan dugaan adanya konflik kepentingan.13 Dugaan adanya konflik
kepentingan tersebut diidentifikasi dari peristiwa hilangnya permadani merah
pada perang Badar sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi dan
Thabrani yang bersumber pada Ibnu Abbas r.a. di atas. Para pakar tafsir seperti
Ibnu Katsir, Qurthubi dan Shihab sepakat bahwa ayat ke 161 surah Ali ‘Imran
tersebut berbicara tentang ghulul (khianat). Ungkapan ghulul pada ayat tersebut
disebut tiga kali. Pertama dengan ungkapan an yaghulla pada kalimat maa kaana
linabiyyin an yaghulla. Bila ungkapan an yaghulla diartikan berkhianat berarti
merujuk kepada makna fiil mudlari (kata kerja bentuk sekarang). Bila ungkapan
an yaghulla diartikan khianat berarti merujuk kepada makna masdar (kata

12 Ahmad Hatta et. al., The Great Quran, Referensi Terlengkap Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,
Maghfirah Pustaka, Jakarta, 2013, Jilid. 1, hlm. 296. Riwayat yang bersumber dari shahabat Ibnu
Abbas terkait dengan asbabun nuzul QS. Ali Imran (3): 161 tersebut juga terdapat dalam tafsir
Ibnu Katsir (Al-Qur’an beserta tafsir, tafsir Ibnu Katsir (Versi off line, edisi. 4. 1.)
www.islamspirit.com) sebagai berikut:

‫ ادثنا محمد بن عبد الملك بن أبي الشوارب ادثنا عبد الوااد بن زيادز ادثنا ا يبز ادثنا مقسمز ادثني ابن‬:‫وقال ابن جرير‬
‫ ل ل ر}ول اا أاعهاز فأكهروا‬:‫عباي أن هعه الة ية }وما كان لنبي أن يغل{ نزلت في قطيفة امراء فقدت يوم بدرز فقال ب ا الناي‬
‫يغل ومن يغلل يأت بما غل يوم القيامة{ وكعا رواه أبو داود واللرمعق جمي اأ عن قليبةز عن عبد‬
‫في ذلكز فأنزل اا }وما كان لنبي أن ع‬

‫ اسن غريه‬:‫الوااد بن زياد بهع وقال اللرمعق‬

13Dari sudut pandang organisasi, konflik yang timbul terkait asbabun nuzul Q.S. Ali
‘Imran (3): 161 merupakan jenis konflik dalam diri individu, di mana setiap individu mempunyai
keinginan, cita-cita dan harapan, namun tidak semua keinginan dan cita-cita dapat dipenuhi
sehingga menimbulkan kesenjangan antara harapan dengan kenyataan (Prof, Dr. Khomsahrial
Romli, M. SI., Komunikasi Organisasi, PT. Grasindo, Jakarta, thn. 2011, hlm.121).

10

benda/sifat).14 Kata benda atau kata sifat ini bila disandang oleh pelakunya
mengindikasikan bahwa pelakunya memiliki potensi sifat atau bahkan menjadi
karakteristik bagi pelakunya. Namun kedua kemungkinan tersebut yaitu arti
berkhianat dan khianat ini digugurkan oleh kalimat maa15 kaana linabiyyin (tidak
mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang). Dengan
demikian penggalan ayat “tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan
harta rampasan perang” menghilangkan dugaan dan anggapan bahwa Nabi
Muhammad Saw akan melakukan tindakan berkhianat apalagi memiliki sifat
khianat. Kedua dengan ungkapan yaghlul pada kalimat wa man yaghlul
(Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu). Kata man
(huruf syarat) yang mendahului yaghlul berarti bila perbuatan yaghlul yang
diiyaratkan itu benar-benar terjadi (ketika itu) dan akan terjadi lagi setelahnya,
maka konsekwensi yang timbul adalah akibat yang akan ditanggung oleh sipelaku
khianat sebagaimana yang dijelaskan pada ungkapan ketiga, yakni ghalla (fi’il
14 Huruf an/ ‫ ٲن‬yang mendahului fiil (kata kerja) yaghulla disebut huruf masdariyah,
nashab dan istiqbal/mendatang. Disebut huruf masdariyah karena an/ ‫ ٲن‬menjadikan fiil (kata
kerja) sesudahnya dalam pengertian masdar. Disebut huruf nashab karena menashabkan
(memfathahkan) fiil mudhari (kata kerja bentuk sekarang), dan disebut huruf istiqbal/mendatang
dikarenakan an/ ‫ ٲن‬tersebut menjadikan fiil mudhari’ menerima makna mendatang (Musthafa AlGhalayayni, Jamii’u Ad-Duruus Al-‘Arabiyyah, Maktabah Ashriyyah, Beirut, 1987, hlm. 168).
15 Lafadz maa/ ‫ مغا‬menafikan (meniadakan) sesuatu pada masa lampau secara umum.
Contoh penggunaan lafadz maa/ ‫ مغا‬antara lain terdapat pada QS. Maryam (19): 28:

‫ت أمُمك بةغيًا‬
‫ةما ةكا ةن أةبموك قام ةرأة ة} قوء ةوةما ةكانة ق‬

...ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang
pezina", Potongan ayat di atas merupakan ungkapan keheranan dengan kelahriran putrra Maryam
(Isa As). Mereka, yakni anggota masyarakat Maryam tersebut, menggunakan kata maa/ ‫ مغا‬, karena
mereka tidak dapat menjangkau keadaan ibu Maryam secara rinci sejak awal hingga pengucapan
kalimat mereka itu. Mereka hanya dapat menafikan secara umum atau tidak terperinci. Demikian
menurut Prof, Dr. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut
Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Qur’an, Lentera Hati, Tangerang, 2013, hlm. 89-90.

11

maadli/kata kerja lampau) pada kalimat ya’ti bimaa ghalla yaumal qiyaamah
(Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu).

Hukum Tindakan atau Perbuatan Ghulul
Nabi Muhammad Saw menjatuhkan sanksi atau hukuman moral kepada pelaku
tindakan atau perbuatan ghulul setelah benar-benar didapati bukti bahwa pelaku
telah melakukannya. Hukuman moral yang diberikan Nabi Muhammad Saw yaitu
berupa tidak ikut sertanya Nabi Muhammad Saw untuk menyolati pelaku tindakan
atau perbuatan ghulul. Hukuman moral yang diberikan Nabi Muhammad Saw
terhadap pelaku tindakan atau perbuatan ghulul tersebut terekam dalam sebuah
riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Ahmad yang bersumber pada
sahabat Zaid bin Khalid Al-Juhani sebagai berikut:
Artinya: Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani bahwa seorang laki-laki dari
kaum muslimin mati di Khaibar. Mereka (sahabat) memberitahu hal itu
kepada Rasulullah Saw, lalu ia bersabda: Shalatlah kalian untuk
temanmu! Karena itu berubahlah wajah-wajah para shahabat. Ketika ia
(Rasulullah Saw) melihat apa yang ada pada mereka, ia (Rasulullah Saw)
bersabda: Sesungguhnya temanmu ini telah ghulul (khianat) di jalan
Allah. Maka kami (Shahabat) periksa barang-barangnya, lalu kami dapati
mutiara milik orang Yahudi senilai dua dirham (HR. Abu Daud, Ibnu
Majah, Tirmidzi dan Ahmad).
Sayyid Sabiq dalam fiqh as-Sunnah, mengharamkan perbuatan atau
tindakan ghulul yang benar-benar terbukti secara meyakinkan. Pendapat tentang
haramnya tindakan ghulul tersebut didasarkan pada penunjukan QS. Ali ‘Imran
(3) ayat 161 tepatnya pada penggalan ayat tidak mungkin seorang Nabi
berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat

12

dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang
membawa apa yang dikhianatkannya itu.16
Selain ghulul pada harta rampasan perang, terdapat bentuk lain dari ghulul
yaitu menerima hadiah bagi orang yang telah diangkat pegawai ketika
menjalankan tugasnya. Ghulul jenis ini terekam dalam sebuah riwayat Abu Daud
dalam Musnadnya dan Muslim dalam shahihnya yang bersumber dari shahabat
Abu Hamid As-Saa-‘idy:

‫روى أبو داود في }ننه ومسلم في صحيحه عن أبي اميد الساعدق أن النبي صلى اا عليه‬
‫ فجاء‬،‫و}لم ا}ل مل رجل من الزد يقال له ابن الللبية قال ابن السرح ابن التبية على ال دقة‬
‫ هعا لكم وهعا أهدق ليع فقام النبي صلى اا عليه و}لم على المنبر فحمد اا وأثنى‬:‫فقال‬
‫ )ما بال ال امل نب هه فيجيء فيقول هعا لكم وهعا أهدق لي أل جلس في بيت أمه‬:‫عليه وقال‬
‫أو أبيه فينظر أيهدى إليه أم ل‬،
Artinya: Dari Abu Hamid As-Saa-‘idy, bahwa Nabi Muhammad Saw
mempekerjakan seseorang yang berasal dari Azad yang dikenal dengan
Ibnu Al-Lutbiyyah (Ibnu Al-Atbiyyah menurut pendapat Ibnu As-Sarh)
atas tugas memungut shadaqah (Zakat), kemudian ia kembali dari
tugasnya lalu berkata: “Ini (zakat) untukmu (Muhammad Saw) dan
hadiah ini untukku.” Maka Nabi Muhammad Saw berdiri di atas mimbar,
lalu memuji dan menyanjung Allah Swt dan bersabda:”Apa kehendak
seorang pegawai, kami mengutusnya lalu ia (pegawai) kembali seraya
melapor:”Ini (zakat) untukmu (Nabi Muhammad Saw) dan ini hadiah
yang diberikan untukku. Tidakkah ia duduk-duduk di rumah ayah atau
ibunya, lalu lihatlah apakah ia mendapat hadiah atau tidak.” (HR.
Muslim dan Abu Daud).17
Riwayat Muslim dan Abu Daud yang bersumber dari Abu Hamid AsSaa-‘idy di atas memberikan arahan bagi seseorang yang telah diangkat menjadi
16 Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah; As-Silmu wa al-Harbu- Mu’amalaat, Darul al-Fikr,
Beirut, 1983, jilid ke- 3, hlm. 83
17Al-Qur’an beserta
www.islamspirit.com

tafsir,

Tafsir

Qurthuby

13

(Versi

off

line,

edisi.

4.

1.)

pegawai melaksanakan tugas yang diembannya dengan cara sebaik-baiknya dan
berakhlak. Hal ini secara implisit difahami dari pujian dan sanjungan kepada
Allah: Maka Nabi Muhammad Saw berdiri di atas mimbar, lalu memuji dan
menyanjung Allah Swt, ketika hendak memberikan penjelasannya. Karena bila
tugas yang telah diembankan pada pegawai tersebut tidak dilakukannya secara
baik dan berakhlak, maka tentunya akan mencemarkan dan memalukan pegawai
itu sendiri atau bahkan atasannya langsung. Oleh karenanya ghulul kategori ini
juga disebut al-fadliihah oleh Qurthuby dalam tafsirnya ketika mengawali
komentarnya terkait penjelasan dari QS. Ali ‘Imran (3) ayat 161. Demikian pula
menurut Prof. Dr. Quraish Shihab bahwa ghulul ini dinamai al-Faadlihah, yakni
sesuatu yang mencemarkan dan memalukan.18 Hal ini dapat difahami karena orang
atau oknum yang telah melakukan ghulul kategori ini telah membuat cemar dan
membuat malu nama baik dan wibawa dirinya sebagai pegawai maupun
atasannya. Riwayat di atas juga menegaskan kecaman Nabi Muhammad Saw
terhadap seseorang yang telah dipekerjakan atau dijadikan pegawai yang dalam
melaksanakan tugas yang diembannya ia menerima hadiah. Kecaman tersebut
merupakan sebuah bentuk hukuman moral terhadap pegawai yang telah terbukti
menerima hadiah berdasarkan laporannya sendiri. Hadiah yang diterima oleh
seorang pegawai ketika menjalankan tugasnya dikategorikan sebagai ghulul.
Pengertian ghulul jenis ini sejalan dengan apa yang dideskripsikan oleh Nabi
Muhammad Saw dalam sebuah riwayat berikut:

18 Prof, Dr. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, Lentera Hati, Tangerang, 2010, Vol. 2, hlm. 321

14

‫غنـاسـغغتلغعـغ لم ـ‬
‫غل‬
‫ـرسغغَـ لَسـ ل‬
‫قغلا لل ل‬
َ ‫اـعﱠلـعلغمغ ل‬
‫ل‬
‫لـعغلغﱠغغلغيغـ سهـ لوسغلغﱠغُغلغ لمـ׃ـ لم س‬١‫ـغﱠ ُل‬
‫غغﱠغنغ ل‬
‫كــغﱠغَـ ٌل‬
‫لغغاـر ـزقغغلاــفغلمغلغاـأل لخغغ لذـبلغعغـدلـ لذ سلغ ل‬
‫فل ل‬
‫غر لزقغـغن س‬
‫لر لواهـالبغغَدلاود‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa kami angkat sebagai
pegawai atas suatu pekerjaan dan telah kami tentukan gajinya, maka apa
yang ia ambil (terima) selain dari gaji itu adalah Ghullul (HR. Abu
Daud).
Deskripsi yang dipaparkan pada riwayat di atas secara jelas menyebutkan
dan menguatkan riwayat Muslim dan Abu Daud yang bersumber dari Abu Hamid
As-Saa’idy bahwa apa saja yang diambil (terima) selain gaji oleh seorang setelah
diangkat pengawai, maka ia telah melakukan tindakan atau perbuatan ghulul.
Selain sanksi di dunia berupa tidak dishalati secara langsung oleh Nabi
Saw terhadap jenazah pelaku tindakan atau perbuatan ghulul dalam konteks
ghanimah (harta rampasan perang) seperti riwayat Abu Daud, Ibnu Majah,
Tirmidzi dan Ahmad dari Zaid bin Khalid Al-Juhani dan kecaman terhadap pelaku
tindakan atau perbuatan ghulul seperti riwayat Riwayat Muslim dan Abu Daud
yang bersumber dari Abu Hamid As-Saa-‘idy di atas, terdapat sanksi hukuman
akhirat juga atas pelaku tindakan atau perbuatan ghulul seperti deskripsi riwayat
berikut:

ُ ُ‫ع ـلنـعغبغلادلةـب سـنـاـل‬
‫ـوسغلغﱠغُغلغ لمـ׃‬
‫تـقغلغا للـ׃ــقغلا للـ لرسغغَـ لَ ل‬
ُ ‫ســ‬
‫صغلاـ سم س‬
‫لـعغلغﱠغغلغيغـ سه ل‬١‫غﱠل‬
‫لــتغلغغغغﱠغَـ اـفلغٳس ﱠ‬
‫غغرة‬
‫اـو ـال سخ ل‬
‫لغﱠلـٲــ غ لحغا سبغ سهـفسيـالغدـنغـغيل ل‬
‫ـنـالغـغغغﱠغَـ للـنغلارٌـ لوـعلغا ٌرـع ل‬

15

Artinya: Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit, ia berkata: Rasulullah saw
bersabda: Janganlah kalian ghulul; karena ghulul itu (perbuatan yang
membawa ke) neraka dan (perbuatan) tercela di dunia dan akhirat atas
pelakunya (HR. Ahmad dan Nasa’i).
Pada riwayat di atas secara jelas dideskripsikan pelarangan ghulul yang
diikuti penyebutan hukuman neraka atas pelakunya dan tercelanya pelaku baik di
dunia maupun di akhirat. Secara implisit (tersirat) pendahuluan penyebutan
hukuman atau sanksi akhirat ini mengindikasikan bahwa ghulul merupakan
persoalan serius dan ancaman sanksi atau hukuman atas pelakunya sangat berat.

Risywah
Rusywah, rasywah atau risywah, artinya (uang) suap, sogok. Risywah adalah apaapa yang diberikan untuk membatalkan atau menggugurkan (yang hak) atau
berusaha untuk memiliki (sesuatu) dengan cara yang batil, tidak benar. 19
Pengertian umum risywah ialah pemberian atau penerimaan guna memperoleh
atau memberi sesuatu yang tidak sah.20 Prof. Dr. M. Quraish Shihab mengomentari
pengertian umum risywah tersebut dengan mengajukan sebuah pertanyaan
Apakah memberi guna memperoleh hak yang sah tidak dinamai sogok, dan
dengan dengan demikian dapat dibenarkan? Pada pengertian risywah secara
umum tersebut Shihab menyamakan pengertian risywah dengan sogok-menyogok.
Ia juga memperluas batas pengertian riswah atau sogok-menyogok tidak hanya
19 Karim Al-Bustaani, Al- Munjid fii al-Lughah wa al- A’laam, Maktabah Syarqiyyah,
Beirut, Libanon, 1987, hlm. 262.
20 Prof, Dr. M. Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an; Kisah dan Hikmah Kehidupan Lentera
Hati, Tangerang, 2008, hlm. 242.

16

pemberian atau penerimaan guna memperoleh atau memberi sesuatu yang tidak
sah saja tetapi pemberian atau penerimaan guna memperolah hak yang sah juga
termasuk risywah atau sogok menyogok. Penegertian ini bisa diperoleh dengan
memahami pertanyaan bernada keberatan yang dikemukakannya “Apakah
memberi guna memperoleh hak yang sah tidak dinamai sogok, dan dengan
dengan

demikian

dapat

dibenarkan?

Pengertian

lain

tentang

risywah

dikemukakan oleh Syamsuddin Adz-Dzahabi yang menyamakan pengertian
riswah dengan suap dalam deskripsinya tentang riswah yaitu memberikan sesuatu,
baik berupa uang maupun yang lain, kepada penegak hukum agar ia dalam
menyelesaikan masalah hukum mendapat keistimewaan dan dapat terlepas dari
ancaman hukuman.21 Pengertian yang dikemukakan tersebut Adz-Dzahabi lebih
khusus dan hanya menekankan nilai pemberian dan tidak menyertakan kata-kata
menerima, tepatnya pemberian uang atau barang lain kepada penegak hukum
dengan tujuan mendapat keistimewaan atau terbebas dari ancaman hukuman.
Pengertian lain tentang risywah dikemukakan oleh Ibnu Jazierah yaitu suatu
tindakan, baik memberi maupun menerima uang atau lainnya dengan tujuan
mengubah hukum atau undang-undang, yang haram menjadi halal atau yang benar
disalahkan.22 Pengertian yang dikemukakan oleh Ibnu Jazierah ini lebih terfokus
pada mengubah hukum dari semula halal menjadi haram atau sebaliknya

21 Syamsuddin Adz-Dzahabi, Al-Kabair/75 Dosa Besar (terj. Oleh M. Ladzi Safrony),
Media Idaman Press, Surabaya, thn. 1992, hlm. 196.
22 Ibnu Jazierah, Hukum Korupsi, Riswah dan Ghulul, majalah Al-Muslimun, tahun 1997,
No. 330, hlm. 27.

17

meskipun juga menyebutkan pemberian atau penerimaan uang atau lainnya
tersebut dimaksudkan untuk mengubah hukum atau undang-undang secara umum.
Berdasarkan sejumlah pengertian tentang risywah yang telah dikemukan
para pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa risywah atau suap adalah menerima
(bagi penegak hukum) atau memberi (oleh penyuap/tersangka/terdakwa) sesuatu
baik berupa uang, barang ataupun lainnya kepada penegak hukum dengan maksud
atau tujuan yaitu pertama mengubah hukum atau undang-undang, yang haram
menjadi halal atau yang benar disalahkan, dan kedua agar ia (penyuap) dalam
menyelesaikan masalah hukum mendapat keistimewaan dan dapat terlepas dari
ancaman hukuman.

Hukum Tindakan atau Perbuatan Risywah atau Suap
Sejumlah pakar seperti Syamsuddin Adz-Dzahabi menyatakan bahwa tindakan
atau perbuatan risywah atau suap adalah terlarang dan pelakunya telah melakukan
salah satu perbuatan dosa besar. Ia mendasarkan pendapatnya tersebut pada nash
Al-Qur’an berikut:

‫قح َكام‬
‫ةوةل تةأق مكلموا أ قةم ةوالة مك قم بةَ قيَنة مك قم بالقبةاطل ةوتم قدلموا ب ةها إلةى ال م‬
‫للةأق مكلموا فةري أقا م قن أ قةم ةوال النَاي ب قالثقم ةوأةنقَلم قم تةَ قلة ممو ةن‬

Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui. QS. Al-Baqarah (2): 188.

18

Selain berdasar pada Ayat 188 surah Al-Baqarah si atas, Adz-Dzahabi 23 juga
berdalil dengan hadits riwayat berikut:

‫ـغﱠُللَعغلغﱠغلغ ـي سهـ لو لسغﱠغغُغلغم‬
‫ـغنـعلغغ ـم َروـقاـ لل׃ـقا للـ لرسغ ـَلـَسـ ل‬
‫عغغ ل ـنـعغلغبـغغ سدـَسـاب س‬
‫ سشغيـوالمغـرتغغلغشغسي‬١ ‫لﱠر‬١‫لغلغعـغغغنلغغغةـَسـعلغﱠغللـ‬
‫حمد‬١ ‫بنـماجهـو‬١ ‫لترمذيـو‬١ ‫ودـو‬١ ‫رواهـابَـد‬٠
Artinya: dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
Laknat Allah terhadap orang yang menyuap dan orang yang menerima
suap. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Pendapat lain mengenai hukum terlarangnya risywah atau suap
dikemukakan oleh Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani (dalam Subul Al-Salam)
dan Al-Syaukani (dalam Nail al-Authar) seperti dikutip oleh Prof. Dr. M. Quraish
Shihab. Namun keduanya membolehkan pemberian dalam rangka memperoleh
hak yang sah. Sementara pendapat Shihab sendiri terkait risywah sejalan dengan
Al-Kahlani dan Al-Syaukani yaitu tidak memperkenankan pemberian sesuatu
untuk mengambil hak orang lain dengan melakukan dosa dan dalam mengetahui
bahwa pelakunya sebenarnya tidak berhak.24 Berbeda dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Al-Kahlani dan Al-Syaukani yang membolehkan pemberian
dalam rangka memperoleh hak yang sah, Shihab menolak pendapat Al-Kahlani
dan Al-Syaukani dalam pernyataanya “Bukankah dengan memberi-walau dengan
dalih meraih hak yang sah- seseorang telah membantu sipenerima melakukan
23 Syamsuddin Adz-Dzahabi, Al-Kabair/75 Dosa Besar (terj. Oleh M. Ladzi Safrony),
Media Idaman Press, Surabaya, thn. 1992, hlm. 196-198.
24 Prof, Dr. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, Lentera Hati, Tangerang, 2010, Vol. 1, hlm. 499

19

sesuatu yang haram dan terkutuk dan dengan demikian ia memperoleh pulasedikit atau banyak-sanksi keharaman dan kutukan itu?”25

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dan analisa atas penelusuran pada nash baik yang
berupa ayat Al-Qur’an, hadits Nabi Muhammad Saw dan pendapat para ulama
pakar muslim tentang ghulul dan risywah terkait korupsi dapat disimpulkan
sebagai berikut:
Ghulul
Pertama, ghulul ialah mengambil dari milik bersama atau orang lain dengan cara
yang tidak shah dan meminta atau menerima pemberian atas suatu pekerjaan yang
untuk pekerjaan itu sudah mendapat pembayaran atau gaji.
Kedua, secara fiqih (hukum), ghulul merupakan tindak/perbuatan buruk
yang dilarang oleh Islam apabila benar-benar terbukti secara shah dan
meyakinkan. Terlarangnya tindakan atau perbuatan ghulul ini didasarkan pada
zahir QS. Ali ‘Imran (3) ayat 161 dan beberapa hadits Nabi Muhammad Saw yang
tersebut pada sub bahasan ghulul.
Ketiga, terdapat dua jenis tindakan ghulul. Yakni ghulul dalam hal harta
rampasan perang (ghanuimah) dan ghulul menerima hadiah bagi orang yang telah
diangkat pegawai ketika menjalankan tugasnya. Kedua-duanya terlarang dan
dikenakan sanksi bbagi para pelakunya.

25 Prof, Dr. M. Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an; Kisah dan Hikmah Kehidupan Lentera
Hati, Tangerang, 2008, hlm. 243.

20

Risywah
Pertama, risywah atau suap adalah menerima (bagi penegak hukum) atau
memberi (oleh penyuap/tersangka/terdakwa) sesuatu baik berupa uang, barang
ataupun lainnya kepada penegak hukum dengan maksud atau tujuan yaitu pertama
mengubah hukum atau undang-undang, yang haram menjadi halal atau yang benar
disalahkan, dan kedua agar ia (penyuap) dalam menyelesaikan masalah hukum
mendapat keistimewaan dan dapat terlepas dari ancaman hukuman.
Kedua, Syamsuddin Adz-Dzahabi menyatakan bahwa tindakan atau
perbuatan risywah atau suap adalah terlarang dan pelakunya telah melakukan
salah satu perbuatan dosa besar. Ia mendasarkan pendapatnya berdasarkan
pengertian zahir dari QS. Al-Baqarah (2) ayat 188. Pendapat lain mengenai
hukum terlarangnya risywah atau suap dikemukakan oleh Muhammad bin Isma’il
Al-Kahlani (dalam Subul Al-Salam) dan Al-Syaukani (dalam Nail al-Authar)
seperti dikutip oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Namun keduanya membolehkan
pemberian dalam rangka memperoleh hak yang sah. Sementara pendapat Shihab
sendiri terkait risywah sejalan dengan Al-Kahlani dan Al-Syaukani yaitu tidak
memperkenankan pemberian sesuatu untuk mengambil hak orang lain dengan
melakukan dosa dan dalam mengetahui bahwa pelakunya sebenarnya tidak
berhak.

SARAN
Berdasarkan kesimpulan mengenai ghulul dan risywah, maka disarankan:

21

Pertama, kepada stake holder (pemilik kepentingan) yaitu Pemerintah (KPK,
BPK, Kejaksaan, POLRI, Kehakiman) melibatkan ummat Islam dalam
merumuskan setiap perundangan, peraturan maupun kebijakan terkait dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi agar terdapat kesamaan persepsi dan visi.
Kedua, kepada pihak penyelenggara seminar agar mensosialisasikan hasil dari
penelitian ini kepada masyarakat luas.

22

DAFTAR PUSTAKA
A. Rifai, Rusdy, 2004. Manajemen, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), Palembang.
Abu Zahrah, Muhammad, 1994. Ushul Fiqih, terj. Oleh Saefullah Ma’shum,
PT. Pustaka Firdaus, Jakarta.
Al-Dzahabi, Syamsuddin, 1992. Al-Kabair/75 Dosa Besar, (terj. Oleh M. Ladzi
Safrony), Media Idaman Press, Surabaya.
Al- Ghalayayni, Musthafa, 1987. Jamii’u Ad-Duruus Al-‘Arabiyyah, Maktabah
Ashriyyah, Beirut.
Al- Qardhawi, Yusuf, 2003. Masyarakat Berbasis Syariat Islam (II), Era
Intermedia, Solo.
Alfitra, 2012. Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi
di Indonesia, Penerbit Raih Asa Sukses, Depok.
Hatta, Ahmad, et. al., 2013. The Great Quran, Referensi Terlengkap Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an, Maghfirah Pustaka, Jakarta.
Ilyas, Yunahar, 2002. Kuliah Akhlaq, Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam
(LPPI), Yogyakarta.
Isma’il bin Umar bin Katsir, Abu Al-Fida’, Tafsir Ibnu Katsir, (Versi off line, edisi.
4. 1.) www.islamspirit.com
Mukantardjo, Rudy Satriyo, 2010. Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi dan
Sejarah Perkembangannya, Materi Pelatihan Hakim dalam Perkara Korupsi,
Pusat Pendidikan dan Pelatihan (PUSDIKLAT) MA- RI, Bogor.
Romli, Khomsahrial, 2011. Komunikasi Organisasi, PT. Grasindo, Jakarta.
Rosadisastra, Andi, 2012. Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial, Amzah,
Jakarta.
Sabiq, Sayyid, 1983. Fiqh As-Sunnah; As-Silmu wa al-Harbu- Mu’amalaat, Darul
al-Fikr, Beirut.
Shihab, M. Quraish, 2013. Kaidah Tafsir, Syarat, Ketentuan dan Aturan yang
Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Qur’an, Lentera Hati,
Tangerang.

23

--------------------------, 2010. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, Vol. 1 dan 2, Lentera Hati, Jakarta.
--------------------------, 2008. Lentera Al-Qur’an, Kisah dan Hikmah Kehidupan,
Penerbit Mizan, Bandung.
--------------------------, 2007. Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung.
-------------------------, 2006. Menyingkap Tabir Ilahi; Al-Asmaa’ Al-Husnaa dalam
Perspektif Al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta Selatan.
Syafe’i, Rachmat, 2007. Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung.
Majalah Al-Muslimun. Siklus Korupsi, Kikis Habis! Bangil, Edisi September
1997, No. 330.
Majalah SAKSI. Menakar Ancaman. Jakarta, Edisi April 2002, No. 15, tahun IV.
Sumber Internet
Al-Qur’an beserta tafsir (Versi off line, edisi. 4. 1.) www.islamspirit.com
Abuarqub, Mamoun, 2009. Islamic Imperatives to Curb Corruption and Promote
Sustainable Development, Islamic Relief Worldwide, Birmingham, United
Kingdom. www.islamic-relief.com
Arafa, Mohamed A, 2012. Corruption and Bribery in Islamic Law; Are Islamic
Ideals being Met in Practice, Annual Survey of Int’l and Comp. Law, Vol. XVIII.
http://ssm.com/abstract=2148127.
Hassan Bello, Abdulmajeed, 2013. Corruption and Democratic Governance in
Nigeria: An Islamic Perspective on Solution, International Journal of Advanced
Research in Management and Social Sciences, Vol. 2, No. 1, Department of
Religious Cultural Study, University of UYO AKWA IBOM, State Nigeria.
Muhardiansyah, Doni, et. al., 2010. Buku Saku Memahami Gratifikasi, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia, Jakarta.
Klitgaard, Robert, 1998. International Cooperation Against Corruption, Jurnal
Finance and Development.
Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi; Jangka Panjang
(2012-2025) dan Jangka Menengah (2012-2014), 2012, Jakarta.

24