MATA PELAJARAN AGAMA DALAM KURIKULUM SEK (1)

MATA PELAJARAN AGAMA DALAM KURIKULUM SEKOLAH
DASAR
Oleh:
Agus Ruswandi1
ABSTRAK
Pendidikan Agama Islam di dalam GBPP PAI adalah upaya sadar dan terencana
dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga
mengimani ajaran agama Islam dengan disertai dengan tuntutan untuk
menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar
umat beragama hingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa. Pendidikan
Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya
menyempurnakan iman, taqwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan
keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang
bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi
tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat
baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global. Mata Pelajaran
Agama Islam (PAI) perlu perhatian khusus dari berbagai pihak termasuk para
pemangku kebijakan pemerintah. Tujuannya adalah untuk menunjukkan eksistensi
urgensinya mata pelajaran agama bagi peserta didik. Untuk mempertegas peran
PAI tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, mata pelajaran
PAI bukanlah mata pelajaran suplemen, kedua PAI harus lebih berorientasi

kepada pengamalan dari pada pengetahuan dan pemahaman. Ketiga, PAI
diharapkan mampu bekerja sama dengan seluruh komponen sekolah, baik dengan
unsur pimpinan maupun dengan sesama guru bidang studi lain, keempat PAI
harus mampu mewarnai mata pelajaran lain. Kemampuan PAI dalam mewarnai
mata pelajaran lain diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berbasiskan
agama, tentu dilakukan oleh guru yang beragama Islam. Dan kelima partisipasi
perguruan tinggi umum (PTU) dalam mempersiapkan guru berwawasan agama
sesuai dengan spesifikasi keilmuan yang dimilikinya. Selama ini, PAI di PTU
hanya dalam bentuk Mata Kuliah Umum (MKU) dengan materi-materi dasar
keislaman.
Kata Kunci :
Mata Pelajaran Agama Islam, Penambahan, Kurikulum
A. Pendahuluan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah adalah upaya sadar dan terencana
dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga
mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama
Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Quran dan Hadits, melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman.
1


Penulis merupakan Dosen Tetap pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Uninus
Bandung

1

Hal yang menarik mengenai ungkapan seorang ilmuwan fisika terkenal,
yaitu Albert Einstein yang mengemukakan bahwa: ”science without religion is
blind, religion without science is lame”, yang artinya kurang lebih “ilmu tanpa
agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh”. Einstein sendiri menyadari bahwa antara
ilmu dan agama memiliki kaitan yang kuat dan sangat dibutuhkan dalam
kehidupan manusia. Jauh lamanya sebelum Albert Einstein menyebutkan hal itu,
agama Islam juga memandang penting antara ilmu dan agama. Bahkan wahyu
pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW justru mengandung perintah untuk
menguasai ilmu dengan landasan iman melalui proses membaca sebagaimana
dalam surat al-'Alaq ayat 1 sampai 5.
Perihal urgensi agama bagi peserta didik terlihat dalam dalam Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal 3 UU Sisdiknas tahun 2003
ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah:
"...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab".
Dari kutipan di atas, kriteria pertama dan utama dalam rumusan tujuan
tersebut adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada TYME serta
berakhlak mulia. Rumusan ini menunjukkan sistem pendidikan kita justru
meletakkan agama lebih dahulu dari pada ilmu pengetahuan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, nampaknya secara kosntitusional di
negara Indonesia bahwasannya agama memiliki porsi khusus yang harusnya
diprioritaskan. Namun kenyataan di sekolah umum ternyata jumlah jam mata
pelajaran Agama Islam jumlahnya hanya 2 (dua) jam saja ( 2x 45 menit). Hal ini
justru bertolak belakang dengan harapan agama sebagai fondasi pengetahuan yang
dimiliki manusia sebagaimana yang diungkapkan Enstein di atas. Jadi justru hal
ini sangat ironi. Satu sisi manusia ingin dibangun dengan IMTAQ (Iman dan
Taqwa) dan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) yang berimbang, tetapi
dalam implementasinya justru Agama seolah mendapat porsi yang kurang
diperhatikan. Hal ini terbukti dengan jumlah jam pelajaran yang hanya 2 jam saja.
Munculnya berbagai kasus tindakan amoral yang tidak mencerminkan
kepribadian yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia masih kerap
ditemukan di beberapa sekolah bahkan perguruan tinggi yang punya nama
sekalipun. Bahkan prilaku tersebut tidak hanya dilakukan oleh kalangan awam

yang berpendidikan rendah, akan tetapi kalangan elit dan berpendidikan tinggi
pun tidak luput darinya. Sebut saja seperti tindakan korupsi, kolusi, nepotisme,
dan berbagai bentuk manipulasi lainnya yang merugikan orang banyak masih
menjadi kasus yang memprihatinkan. Lain lagi dengan kasus tindak kriminal
seperti pembunuhan serta perdagangan perempuan dan bayi juga menjadi catatan
serius yang belum tertuntaskan. Lebih ironis lagi, banyak pula ditemukan perilaku
amoral yang justru dilakukan oleh generasi muda yang masih berstatus sebagai
pelajar atau mahasiswa, seperti kekerasan, seks bebas ( free sex), aborsi, dan
penyalahgunaan narkoba. Banyak kasus korupsi, gratifikasi, dan lain-lain justru
dilakukan oleh orang yang memiliki pendidikan cukup tinggi. Maka timbulah
pertanyaan, bagaimana peran pendidikan yang diperoleh seseorang tetapi ia masih

2

melakukan tindak pidana korupsi, gratifikasi dan lain-lain? Maka disinilah
perlunya peran agama sebagai tameng dari pendidikan yang lainnya.
Munculnya fenomena di atas sering kali melahirkan pandangan negatif
terhadap pendidikan agama. Pendidikan agama, termasuk PAI, dinilai gagal
mewujudkan kepribadian peserta didik yang religius dengan karakter iman, ilmu,
dan amal secara integral. Terutama di sekolah, dengan tatap muka yang relatif

terbatas, PAI dianggap kurang berperan mewujudkan tujuan pendidikan yang
religius. Padahal, minat masyarakat terhadap sekolah umum jauh lebih besar,
karena dianggap lebih menjanjikan peluang kerja dan kesuksesan di masa
mendatang.
Berdasarkan pengalaman penulis, ketika ada kejadian-kejadian yang tidak
dikehendaki (misalnya: asusila) yang terjadi pada siswa di sekolah biasanya yang
jadi sasaran adalah guru agama dan guru PPKn. Hal ini muncul karena masih
punya anggapan „peran agama‟ sangat mendukung dan berpengaruh terhadap
perilaku siswa. Hal ini tentu menjadi dilematis bagi guru karena tugas guru
tersebut hanya 2 jam per minggu untuk mengajarkan agama kepada para siswa.
Jadi, suatu hal yang wajar jika „secara sepihak‟ penulis memaklumi
ketidakberhasilan guru mendidik agama bagi para peserta didik karena kondisi
yang seperti itu. Penulis tidak tahu secara pasti kenapa mata pelajaran agama jam
pelajarannya hanya 2 jam. Dari beberapa perubahan kurikulum yang telah
dilakukan ternyata tidak memberikan dampak yang signifikan. Kemudian saat ini
telah diberlakukan lagi kurikulum yang baru atau disebut “kurikulum 2013”. Lagu
bagaimana mata pelajaran agama Islam dalam konsep kurikulum 2013? Pada
artikel ini penulis akan mengkaji dan menganalisis mengenai mata pelajaran
Agama dalam Kurikulum 2013.
B. Pembahasan

1. Agama dan Urgensinya bagi Manusia
Banyak ahli menyebutkan agama berasal dari bahasa Sansakerta, yaitu “a”
yang berarti “tidak “dan “gama” yang berarti “kacau”. Maka agama berarti tidak
kacau (teratur). Dengan demikian agama itu adalah peraturan, yaitu peraturan
yang mengatur keadaan manusia, maupun mengenai sesuatu yang gaib, mengenai
budi pekerti dan pergaulan hidup bersama (Ismail, 1997: 28).
Ada beberapa istilah lain dari agama, antara lain religi, religion (Inggris),
religie (Belanda) religio/relegare (Latin) dan dien (Arab). Kata religion (bahasa
Inggris) dan religie (bahasa Belanda) adalah berasal dari bahasa induk dari kedua
bahasa tersebut, yaitu bahasa Latin “religio” dari akar kata “relegare”yang berarti
mengikat (D. Kahmad, 2002: 13).
Dalam bahasa Arab, agama dikenal dengan kata al-din dan almillah. Kata
al-din sendiri mengandung berbagai arti. Ia bisa berarti al-mulk (kerajaan), alkhidmat (pelayanan), al-izz (kejayaan), al-dzull (kehinaan), alikrah (pemaksaan),
al-ihsan (kebajikan), al-adat (kebiasaan), al-ibadat (pengabdian), al-qahr wa alsulthan (kekuasaan dan pemerintahan), altadzallul wa al-khudu (tunduk dan
patuh), al-tha’at (taat), al-islam al-tauhid (penyerahan dan mengesakan Tuhan)
(D. Kahmad, 2002: 13).

3

Keagamaan merupakan bentuk respon manusia terhadap hal-hal yang

sakral dan keanekaan agama yang bisa dilacak pada setiap zaman, tempat, budaya
dan peradaban menunjukkan bahwa manusia memiliki kecenderungan alamiah
untuk percaya pada Tuhan. Dalam Al-Qur`an, kecenderungan alamiah itu disebut
fitrah. Karena fitrah inilah, manusia pada dasarnya memiliki kebutuhan instrinsik
untuk beragama. Dalam Al Qur`an surat Al-Rum ayat 30 Allah SWT berfirman:

Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,2

Fitrah Allah, maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah
mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid kalau ada manusia tidak
beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar, mereka tidak beragama tauhid itu
hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.
Di dalam Al-Qur`an ada dua terminologi agama, yaitu Al-din, dan millah.
Kata al-din terulang sebanyak 96 kali yang tersebar pada 44 surat, sedangkan kata
millah sebanyak 15 kali yang tersebar pada 11 surat kata al-din mempunyai
banyak arti, antara lain ketundukan, ketaatan, perhitungan, balasan, agama juga
berarti bahwa seseorang bersikap tunduk dan taat serta akan diperhitungkan

seluruh amalnya yang atas dasar itu ia memperoleh balasan dan ganjaran. (Al
Baqi, 1999: 329-330) Kata beragama menurut Quraish Shihab adalah sebagai
upaya manusia untuk mencontoh sifat - sifat yang suci (Q. Shihab, 1999: 210).
Mengenai fungsi agama bagi manusia, Jalaluddin menyebutkan delapan
fungsi agama bagi manusia yaitu:
a. Berfungsi edukatif
Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut
memberikan ajaran-ajaran yang harus patuhi. Agama secara yuridis berfungsi
menyuruh dan melarang, keduanya memiliki latar belakang mengarahkan
bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang
baik menurut ajaran agama masing-masing.
b. Berfungsi penyelamat
Manusia menginginkan kesalamatan. Keselamatan meliputi bidang yang luas
adalah keselamatan yang diajarkan agama. Keselamatan yang diberikan agama
adalah keselamatan yang meliputi dua alam, yakni dunia dan akhirat. Dalam
mencapai keselamatan itu agama mengajarkan para penganutnya melalui
penegenalan kepada masalah sakral, berupa keimanan kepada Tuhan.
c. Berfungsi sebagai Pendamaian
Melalui agama seseorang yang berdosa dapat mencapai kedamaian batin
melalui tuntunan agama. Rasa berdosa dan rasa bersalah akan segera menjadi


2

Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri
beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah
wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.

4

b.

c.

d.

e.

f.

hilang dari batinnya jika seorang pelanggar telah menebus dosanya melaui

tobat, pensucian atau penebusan dosa.
Berfungsi sebagai kontrol sosial
Para penganut agama sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya terikat
batin kepada tuntunan ajaran tersebut, baik secara individu maupun secara
kelompok. Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagi norma, sehingga
dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawas sosial secara individu
maupun kelompok.
Berfungsi sebagai pemupuk solidaritas
Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki
kesamaan dalam satu kesatuan iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan
membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahkan
kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh.
Berfungsi transformatif
Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau
kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang
dianutnya. Kehidupan baru yang diterimannya kadangkala mampu mengubah
kesetiaan kepada adat atau norma kehidupan yang dianutnya sebelum itu.
Berfungsi kreatif
Agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif
bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga demi kepentingan

orang lain. Penganut agama tidak hanya disuruh bekerja secara rutin, akan
tetapi juga dituntut melakukan inovasi dan penemuan baru.
Berfungsi sublimatif
Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat
duniawi namun juga yang bersifat ukhrawi. Segala usaha tersebut selama tidak
bertentangan dengan norma-norma agama, dilakukan secara tulus ihlas karena
dan untuk Allah adalah ibadah.

2. Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar
Pendidikan Agama Islam di dalam GBPP PAI adalah upaya sadar dan
terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami,
menghayati hingga mengimani ajaran agama Islam dengan disertai dengan
tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan
kerukunan antar umat beragama hingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa
(Muhaimin, 2008: 76)
Berdasarkan pernyataan tersebut, Pendidikan Agama Islam merupakan
usaha sadar yang dilakukan pendidik dalam rangka mempersiapkan peserta didik
untuk meyakini, memahami dan mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran atas pelatihan yang telah ditentukan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Dalam Q.S Al-Mujadilah:11 Allah berfirman:
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapanglapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi

5

kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dari pengertian tersebut dapat ditemukan beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu sebagai berikut:
a. Pendidikan Agama Islam sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan
bimbingan, pengajaran dan latihan yang dilakukan secara berencana dan sadar
atas tujuan yang hendak dicapai.
b. Peserta didik yang hendak disiapkan untuk mencapai tujuan, dalam arti ada
yang dibimbing, diajari dan dilatih dalam peningkatan keyakinan,
pemahaman, penghayatan dan pengmalan terhadap ajaran agama Islam.
c. Pendidik pendidikan agama Islam (PAI) yang melakukan kegiatan bimbingan,
pengajaran dan latihan secara sadar terhadap peserta didiknya untuk mencapai
tujuan pendidikan agama Islam.
d. Pembelajaran pendidikan agama Islam diarahkan untuk meningkatkan
keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran agama Islam
dari peserta didik, yang disamping untuk membentuk kesalehan atau kualitas
pribadi, juga sekaligus untuk membentuk kesalehan sosial. Dalam arti
kesalehan pribadi itu diharapkan mampu memancarkan ke luar dalam
hubungan keseharian dengan manusia lain baik seagama ataupun yang tidak
seagama, serta dalam berbangsa dan bernegara sehingga dapat mewujudkan
persatuan dan kesatuan nasional dan bahkan ukhuwah Islamiah (Muhaimin,
2008: 76)
Tujuan pendidikan agama Islam dalam arti sederhana adalah
merealisasikan manusia muslim yang beriman dan bertaqwa serta berilmu
pengetahuan yang mampu mengabadikan diri kepada Allah dan selalu
mengerjakan perintah Nya dan menjauhi larangan Nya.
Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu
berupaya menyempurnakan iman, taqwa, dan akhlak, serta aktif membangun
peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban
bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam
menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan
masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global.
Maka dalam hal ini Pendidikan Agama Islam di SD bertujuan untuk:
a. Menumbuhkembangkan Akhlak melalui pemberian, pemupukan, dan
pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta
pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia
muslim yang terus berkembang keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah
SWT.
b. Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia
yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur,
adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara

6

personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas
sekolah (BSNP, 2008: 44-45).
3. Mata Pelajaran Agama dan Kurikulum Pendidikan
Pada tulisan ini, penulis lebih mengarah kepada hal yang berhubungan
dengan bobot mata pelajaran Agama di sekolah dasar. Agar lebih mudah
memahami secara detail mengenai bobot secara kuantitatif, penulis sajikan
perbandingan struktur kurikulum dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2013.
Sebagai contoh penulis tampilkan untuk tingkat sekolah dasar saja.
Tabe1 1 Perbandingan Bobot Mata Pelajaran di Tingkat Sekolah Dasar
1994
KBK
Komponen Mata
No
Pelajaran
I
II III IV V VI I
II III IV V
1
Pend. Agama
2
2
2
2 2 2
3 3 3
2

2

2

2

2

-

-

-

-

10
10

10
10

8
8

8
8

8
8

5
5

5
5

5
5

5
5

IPA
IPS
Ker. Tangan & 2
Kesenian
8
Pend. Jasmani & 2
Kes.
9
Muatan Lokal
2
10 Pengembangan
Diri
Jumlah
30

2

3
3
2

6
5
2

6
5
2

6
5
2

4
4
4

4
4
4

4
4
4

4
4
4

2

2

2

2

2

4

4

4

4

2
-

4
-

5
-

7
-

7
-

2

2

2

2

30

38

40 42 42 27 27 31 31 31 31

3
4
5
6
7

3
4
5

Komponen Mata
Pelajaran
I
Pend. Agama
Pend. Pancasila
dan
Kewarganegaraan
Bahasa Indonesia
Matematika
IPA

6
7

IPS
Ker. Tangan &

No
1
2

2006/ KTSP
II III IV V
3 3
2 2

Tematik

Pend.
Pancasila 2
dan
Kewarganegaraan
Bahasa Indonesia
10
Matematika
10

TEMATIK

2

VI
3

VI I
3 4
2 5

II
4
6

2013
III IV V
4 4 4
6 6 6

VI
4
6

5
5
4

5
5
4

5
5
4

8
5
-

8
6
-

10 10 10 10
6 6 6 6
-

3
4

3
4

3
4

4

4

4

7

6

6

6

Kesenian
8
Pend. Jasmani &
4 4 4 4 4 4 4 4 4
Kes.
9
Muatan Lokal
2 2 2
10 Pengembangan
2 2 2
Diri
Jumlah
26 27 28 32 32 32 30 32 34 36 36 36
Sumber: kemdikbud 2012 (Dalam seminar pembekalan calon Asesor PLPG
bersama Prof. Dr. Syawal Goeltom, M.Pd. di Unpas Bandung)
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa perubahan bobot mata
pelajaran agama tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pada kurikulum
tahun 1999, mata pelajaran agama di Sekolah Dasar hanya 2 jam pelajaran per
minggu untuk kelas I sampai kelas VI. Kemudian sedikit mengalami perubahan
pada kurikulum KBK yaitu pada kelas I dan II diplot secara tematik sedangkan
untuk kelas III, IV, V dan VI menjadi 3 jam pelajaran per minggu. Pada
kurikulum tahun 2006 atau KTSP kelas I, II dan III diplot secara tematik,
sementara untuk kelas IV, V dan VI masih tetap sama yaitu 3 jam pelajaran per
minggu. Pada kurikulum 2013 jumlah mata pelajaran agama meningkat menjadi 4
jam pelajaran per minggu untuk semua kelas. Hal ini harus disambut baik oleh
semua pihak termasuk guru mata pelajaran Agama, karena dengan porsi mata
pelajaran Agama yang lebih banyak diharapkan bisa memberikan kontribusi
positif bagi perilaku anak didik di sekolah. Namun demikian, penulis sendiri
berpendapat bahwa jumlah 4 jam pelajaran itu untuk sekolah umum dianggap
masih sedikit apabila dibandingkan dengan urgensi mata pelajaran agama itu
sendiri.
Agar lebih mudah memahami perbandingan jumlah jam pelajaran agama
dengan mata pelajaran lainnya, penulis formulasikana pada grafik di bawah ini.

60

Agama

56

5454

PPKn

50

B. Indo

40

40

MTK

35 35

IPA

27

30

24
21

1212

1212

IPS

2020

18

20

24

16161616

1515

12

12

KTK

12 1212

9

10

6
0

Penjas

6
00

0

0
1994

2004

2006

8

2013

0

Mulok
Peng Diri

Grafik 1
Perbandingan Bobot Jam Pelajaran Agama dengan Mata Pelajaran Lainnya dalam
empat kali perubahan kurikulum
Pada prinsipnya mata pelajaran agama mengalami peningkatan walaupun
dianggap tidak siginifikan, namun demikian peningkatan itu apabila
dibandingkan dengan bobot jam pelajaran mata pelajaran lainnya (misalnya
bahasa Indonesia) tentu masih terlalu jauh perbandingannya. Salah satu
perbandingan misalnya pada kurikulum 2013, mata pelajaran agama totalnya 24
jam pelajaran untuk semua kelas sedangkan untuk bahasa Indonesia 56 jam dan
MTK dan PPKn 35 jam pelajaran. Hal ini pun tidak sebandingan dengan
kebutuhan agama bagi peserta didik sebagaimana yang dijelaskan pada
pendahuluan di atas.
Mata Pelajaran Agama Islam (PAI) perlu perhatian khusus dari berbagai
pihak termasuk para pemangku kebijakan pemerintah. Tujuannya adalah untuk
menunjukkan eksistensi urgensinya mata pelajaran agama bagi peserta didik.
Untuk mempertegas peran PAI tersebut, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan.
Pertama, PAI bukanlah mata pelajaran tambahan (suplement), akan tetapi
sebagai mata pelajaran inti. Selama ini ada kesan bahwa PAI hanyalah mata
pelajaran tambahan, apalagi ketika PAI tidak masuk dalam Ujian Nasional (UN).
Akibatnya, peserta didik kurang termotivasi untuk mengikuti pembelaran PAI
dengan baik. Padahal PAI merupakan mata pelajaran inti. Sebagai mata pelajaran
inti, pihak sekolah diharapkan memberi perhatian lebih terhadap PAI. Perhatian
itu dapat diwujudkan dengan merumuskan dan menetapkan bebarapa aturan
(regulasi) yang mendukung penerapan PAI, sehingga sekolah tersebut bernuansa
agamis, bukan saja dalam bentuk formal, akan tetapi terjadinya proses penanaman
nilai-nilai keberagamaan dalam perilaku dan kepribadian peserta didik. Selain itu,
sekolah juga diharapkan menjadikan pendidikan agama sebagai bagian dari visi
misi sekolah sehingga berbagai kegiatan yang dilakukan tidak terlepas dari nilainilai agama.
Kedua, PAI harus lebih berorientasi kepada pengamalan dari pada
pengetahuan dan pemahaman. Selama ini, pembelajaran PAI lebih berorientasi
kepada aspek kognitif sehingga peserta didik mengetahui tentang benar dan salah,
perintah dan larangan, akan tetapi tidak dapat menerapkannya dalam tindakan
yang nyata. Untuk itu pembelajaran PAI harus berorientasi kepada pengamalan
dan tindakan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, diperlukan
pembiasaan, keteladanan, dan perubahan mindset peserta didik tentang pentingnya
agama dalam kehidupan ini. Karenanya guru PAI mesti berupaya seoptimal
mungkin untuk menjadi teladan (figur-central) bagi peserta didiknya dalam
bersikap dan menerapkan agama di setiap tindakannya. Selain itu, guru dituntut
pula mengembangkan pendekatan dan metodologi pembelajaran yang dapat
merubah mindset peserta didik. Inovasi dan kreatifitas guru PAI tentu sangat
diperlukan.

9

Ketiga, PAI diharapkan mampu bekerja sama dengan seluruh komponen
sekolah, baik dengan unsur pimpinan maupun dengan sesama guru bidang studi
lain. Kerja sama ini penting dilakukan, khususnya dalam upaya penerapan sikap
keberagamaan yang baik. Bentuk kerja sama itu dapat diwujudkan dengan
kepedulian dan keikutsertaan guru lain untuk menerapkan ajaran agama di
sekolah, seperti pelaksanaan shalat zhuhur berjamaah di sekolah, menegakkan
disiplin, membudayakan senyum, sapa dan salam, membudayakan kebersihan,
dan sebagainya. Artinya, setiap guru dan komponen sekolah harus berupaya
menjadi teladan bagi peserta didik dalam hal pengamalan ajaran agama. Selain itu,
kerja sama juga diperlukan dalam menerapkan regulasi/aturan-aturan yang telah
dibuat sebagaimana yang telah disinggung di atas.
Dengan demikian, mengamalkan ajaran agama sejatinya tidak hanya tugas
dan tanggung jawab guru agama, akan tetapi tanggung jawab bersama guru-guru,
pegawai serta komponen lainnya yang terlibat langsung di sekolah, khususnya
yang beragama Islam dalam menerapkan ajaran Islam.
Keempat, PAI harus mampu mewarnai mata pelajaran lain. Kemampuan
PAI dalam mewarnai mata pelajaran lain diwujudkan dalam bentuk pembelajaran
yang berbasiskan agama, tentu dilakukan oleh guru yang beragama Islam. Artinya
setiap guru yang beragama Islam, meskipun mengasuh mata pelajaran selain PAI,
seperti Matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, dan sebagainya diharapkan mampu
mengajarkannya dengan pendekatan agama. Hal ini bisa dilakukan, mengingat
seluruh mata pelajaran yang diajarkan di sekolah pada dasarnya termasuk dalam
kategori pendidikan Islam. Bahkan al-Qur'an sebagai sumber ajaran Islam,
mengandung isyarat-isyarat ilmiah serta beragam ilmu pengetahuan, termasuk
berbagai ilmu yang berkembang dewasa ini. Karenanya, guru mata pelajaran
selain PAI tersebut diharapkan mampu menggali isyarat-isyarat al-Qur'an tersebut
lalu mengintegrasikannya dalam pembelajaran materi yang dibimbingnya.
Kemudian guru-guru yang beragama Islam itu pun pada dasarnya telah
mengetahui konsep-konsep ajaran Islam, meskipun dalam bentuk ilmu dasar.
Kelima, partisipasi perguruan tinggi umum (PTU) dalam mempersiapkan
guru berwawasan agama sesuai dengan spesifikasi keilmuan yang dimilikinya.
Selama ini, PAI di PTU hanya dalam bentuk Mata Kuliah Umum (MKU) dengan
materi-materi dasar keislaman. Sebaiknya, di samping PAI sebagai MKU, materi
PAI yang berkenaan dengan spesifikasi keilmuan masing-masing fakultas/jurusan
juga patut diberikan. Khususnya fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, masingmasing jurusan diberikan pula mata kuliah PAI yang sesuai dengan materi
jurusannya masing-masing. Dengan begitu, diharapkan mereka memiliki wawasan
ilmu keislaman sesuai dengan spesifikasi keilmuan yang dimilikinya sehingga
kelak menjadi bekal baginya sebagai guru mata pelajaran di sekolah untuk
menerapkan pembelajaran berbasis agama. Partisipasi PTU seperti ini sangat
diharapkan untuk memenuhi upaya keempat di atas.
Dengan upaya seperti ini, peran PAI di sekolah umum di harapkan
semakin jelas dan tegas dalam mewujudkan peserta didik yang mampu
menerapkan ajaran agama dengan baik serta memiliki ilmu pengetahuan. Agama
tidak hanya dipahami sebagai ajaran yang menentramkan dimensi spiritualitas
manusia, akan tetapi agama (Islam) sejatinya menyentuh seluruh aspek kehidupan

10

manusia secara komprehensif, holistik, dan universal, termasuk dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Ketika ilmu dimiliki dan dikembangkan
berlandaskan kepada ajaran agama Islam, niscaya ilmu itu akan mendatangkan
manfaat dan terhindar dari mudharat. Akhirnya bangsa ini pun dapat tampil lebih
terhormat dan bermartabat serta mampu tampil terdepan, paling tidak sejajar
dengan negera-negara maju lainnya.
C. Daftar Pustaka
BSNP, (2008) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Depdiknas.
Dadang Kahmad, (2002) Sosiologi Agama , Bandung: Remaja Rosdakarya.
Faisal Ismail, (1997) Paradigma Kebudayaan Islam:Studi Kritis dan Refleksi
Historis, Jogyakarta: Titian Ilahi Press.
Kemdikbud, (2013) Impelementasi Kurikulum 2013, dalam pelatihan Asesor dan
Calon Asesor PLPG Rayon 134 Unpas bersama Prof. Dr. H. Syawal
Goeltoem, M.Pd.
Muhaimin, dkk, (2008) Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muhammad Fuad `Abd Al Baqi, (1999) Al Mu`jam Al-Mufahras li Al-Fadz Al
Qur`an Al Karim, Al Qahirah: Daar Al Hadits.
Quraish Shihab, (1999) Membumikan Al Quran, Bandung: Mizan.

11