COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PERENCANA (1)

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM
PERENCANAAN PEMBANGUNAN:
Partisipasi Masyarakat dan Pemerintah dalam Agenda Kebijakan Pembangunan
Perbatasan di Kepri Tahun 2015
Oleh :
Eki Darmawan & Nazaki
Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Maritim Raja Ali Haji
Email : ekidarmawan75@yahoo.co.id
Abstract
Collaborative Governance in Development Planning or collaborative
governance in the planning of development has a close relationship with the
participation of the community and the government itself. To achieve the
success of community development regions then all program planning,
implementation and evaluation of development should involve the community,
because they know the problems and needs in order to build its territory because
they eventually will utilize and assess the success or failure of development in
the region mereka.Metode in Research the use of qualitative methods by
combining the primary and secondary data. In Kepri Border Development is
still very low participation of society that is still going on differences in the
perception of the border development and regional development. The
government also did not show that collaborative governance on the policy

agenda, so that the level of participation is very low.
Keywords : Collaborative Governance, Participation, Development
Planning
A. Pendahuluan
Semenjak bergulirnya era Reformasi di
Indonesia sampai saat ini, pemerintah Indonesia
berupaya untuk berbenah dalam membentuk sistem
politik yang demokratis.Pada masa pemerintahan
orde baru yang selama 32 tahun berkuasa berhasil
melembagakan kekuasaan otoriter sehingga rakyat
hanya menjadi obyek pembangunan.Pada masa
Pemerintah Orde Baru berkuasa di Indonesia,
perencanaan pembangunan seringkali dilaksanakan
sepenuhnya oleh pemerintah secara teknokratis.
Selain itu proses perencanaan pembangunan juga
sering dilakukan semata-mata bersandar pada
orang-orang ahli dengan kurang memperhitungkan
aspirasi masyarakat.
Masyarakat hanya tinggal menerima apapun
hasil perencanaan pembangunan yang dibuat oleh

10

pemerintah.Hampir tidak pernah terjadi diskusi
publik yang kemudian dijadikan sebagai masukan
dalam perencanaan pembangunan.Mobilasi sosial
dengan kekuatan birokrasi seringkali mendominasi
perencanaan pembangunan. Akibatnya, masyarakat selalu menjadi tertekan dan tidak mampu
menumbuhkan inisiatif secara mandiri.
Pada saat era reformasi bergulir, salah satu yang
menjadi keinginan bersama adalah kebebasan
berekspresi dalam hal ini adalah adanya keterlibatan aktif masyarakat dalam pembangunan.
Perubahan dilakukan dengan mendorong masyarakat untuk menjadi inspirator perubahan, maka
terjadilah perubahan yang mendasar dalam hal
keterlibatan masyarakat dalam proses-proses
sosial, ekonomi dan politik, dari perencanaan
pembangunan yang bertumpu pada top down
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PERBATASAN DAN KEMARITIMAN

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN


menuju bottom up. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa esensi dari perubahan politik ke
arah demokrasi yang terjadi menuntut keterlibatan
masyarakat dalam perencanaan pembangunan dan
pola-pola seperti itu sering dirumuskan sebagai
partisipasi masyarakat.
Seiring diberlakukannya otonomi daerah, maka
daerah diberikan wewenang untuk mengatur rumah
tangganya sendiri, termasuk didalamnya adalah
melakukan perencanaan pembangunannya yang
berbasis pada potensi local masing-masing daerah
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) total pulau : 17.499 pulau dan luas
wilayah perairan mencapai 5,8 juta km2, serta
panjang garis pantai yang men-capai 81.900 km.
Dua pertiga dari wilayah Indonesia adalah laut. Ada
tiga perbatasan darat dan sisanya adalah perbatasan laut. Perbatasan laut Indonesia berbatasan
dengan 10 negara diantaranya “Malaysia,

Singapura, Filipina, India, Vietnam, Republik
Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini”.
Sedangkan untuk wilayah darat, Indonesia
berbatasan langsung dengan tiga negara, yakni
Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste dengan
garis perbatasan darat secara keseluruhan adalah
2914,1 km.( Grand Dsign BNPP RI 2011).
Indonesia merupakan Negara yang banyak
berbatasan langsung dengan negara lain merupakan
suatu kenyataan yang harus disadari bahwa
Indonesia harus senantiasa waspada dalam
menjaga wilayah perbatasan. Kemungkinan
masuknya pengaruh asing negatif dan berpotensi
mengancam stabilitas nasional sehingga harus dapat
diantisipasi dan mendapatkan perhatian dari
pemerintah daerah perbatasan itu sendiri.
Dalam konteks kepentingan nasional, perlu
ditumbuhkan kesadaran untuk memperhatikan
kawasan-kawasan perbatasan yang selama ini
dianggap sebagai halaman belakang yang terlupakan dalam strategi pembangunan.Kawasan

perbatasan adalah daerah terdepan bukan sekedar
perbatasan.Perbatasan sebagai beranda terdepan
tidak sekedar bermakna sebagai batas terluar
teritorial negara, namun kawasan tersebut sekaligus
harus menjadi gambaran atas kesejahteraan
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PERBATASAN DAN KEMARITIMAN

Indonesia.Masyarakat dan kawasan beranda
terdepan haruslah memiliki derajat penghidupan
yang layak dari sisi pemenuhan kebutuhannnya.
Hal ini akan menunjukkan bahwa tingkat kemajuan
kawasan tersebut akan setara atau bahkan lebih
baik dari wilayah negara tetangga.
Sudah banyak regulasi yang dikeluarkan
pemerintah dengan maksud dan upaya untuk
pengembangan wilayah perbatasan dan pemerintahan daerah, akan tetapi masalah-masalah
perbatasan pemerintah selalu menitik beratkan
pada masalah pertahan dan keamanan saja
padahal kondisi sosial, politik, budaya, geografis,

nasionalisme dan pembangunan infrastruktur serta
pelayanan publik di daerah perbatasan dan pulaupulau terdepan sangat memprihatinkan dengan
banyaknya isu-isu yang mencuat di media dan
dengan terjadinya banyak masalah diperbatasan
seperti penyeludupan, TKI gelap, masalah
imigrasi, dan banyak lagi masalah lain yang
membuktikan bahwa daerah perbatasan perlu di
perhatikan dan ada prioritas tersendiri.
Berangkat dari tulisan ini, penulis akan
membahas masalah perbatasan terkait collaborative governance atau tata kelola pemerintahan yang kolaboratif dalam melakukan perencanaan pembangunan perbatasan. Untuk tercapainya
keberhasilan pembangunan masyarakat daerah
maka segala program perencanaan, pelaksanaan
serta evaluasi pembangunan harus melibatkan
masyarakat, karena merekalah yang mengetahui
permasalahan dan kebutuhan dalam rangka
membangun wilayahnya sebab merekalah nantinya
yang akan memanfaatkan dan menilai tentang
berhasil atau tidaknya pembangunan di wilayah
mereka.
Tjokroamidjojo (1995:8) menyimpulkan bahwa

pembangunan nasional merupakan: (1) proses
pembangunan berbagai bidang kehidupan, baik
sosial, ekonomi, politik dan lainnya; (2) Proses
perubahan sosial yang merupakan proses
perubahan masyarakat dalam berbagai kehidupannya ke arah yang lebih baik, lebih maju, dan
lebih adil; (3) Proses pembangunan dari, oleh dan
untuk masyarakat atau adanya partisipasi aktif
masyarakat. Dengan demikian, maka pembangunan itu merupakan proses yang terjadi
11

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

secara bertahap dan berkelanjutan guna mewujudkan hal yang lebih baik seiring dengan dimensi
waktu.
Proses perencanaan pembangunan daerah
dimulai dengan informasi tentang ketersediaan
sumber daya dan arah pembangunan nasional,
sehingga perencanaan bertujuan untuk menyusun
hubungan optimal antara input, proces, dan
output/outcomes atau dapat dikatakan sesuai

dengan kebutuhan, dinamika reformasi dan
pemerintahan yang lebih demokratis dan terbuka,
sehingga masyarakatlah yang paling tahu apa yang
dibutuhkannya. Jadi partisipasi masyarakat dalam
proses perencanaan pembangunan sangat penting
karena dapat menumbuhkan sikap memiliki dan
rasa tanggung jawab masyarakat terhadap
pembangunan Sejalan dengan waktu, upaya
memikirkan ulang format proses politik yang lebih
memberi ruang kepada rakyat mulai tampak, hal
ini ditandai dengan diterapkan maka hal tersebut
juga membawa dampak positif dalam system
pemerintahan di Indonesia, salah satu wujudnya
adalah dengan diterapkannya Undang-undang No.
22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerahyang
kemudian perbaharui dengan Undang-undang no
32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah serta
revisi melalui Perpu no 8 tahun 2005 serta Undangundang no 12 tahun 2008 tentang pemerintahan
daerah.
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan

pembangunan daerah merupakan salah satu
pendekatan dalam pelaksanaan Collaborative
Governance, dimana pemerintah tidak menjadi
satu-satunya pihak yang menguasai jalannya
pembangunan baik pada level nasional maupun
daerah, keikutsertaan stakeholders yang lain dalam
pembangunan merupakan bagian dari upaya untuk
mewujudkan kondisi yang lebih baik.
B. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini ialah penelitian dengan
metode kualitatif yaitu nilai yang tidak dapat
dinyatakan dalam angka-angka (statistik).Jadi,
data kualitatif adalah data yang berupa kata atau
kalimat, gambar, skema yang belum diangkakan.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis
deskriptif, yaitu suatu penelitian yang mendeskripsi12

kan apa yang terjadi pada saat melakukan
penelitian. Pada penelitian ini terdapat upaya
mendeskripsikan, mencatat, menganalisa dan

menginterpretasikan kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada. Penelitian ini tidak menguji
hipotesa, melainkan hanya mendeskripsikan
informasi apa adanya secara objektif. Oleh karena
itu penelitian deskriptif pada umumnya menggunakan kata tanya “bagaimana” dalam merumuskan
kalimat pertanyaan penelitiannya.
Lokasi penelitian ini ialah di Provinsi Kepulauan
Riau dan akan dilaksanakan di Kantor Pemerintah
Provinsi Kepulauan Riau Kota Tanjungpinang
khususnya di Lembaga dan Dinas-dinas terkait
permasalahan yang akan diteliti yakni Ketua
Komisi III DPRD Provinsi Bidang Pembangunan,
Kepala BAPPEDA Provinsi Kepri atau yang
mewakilinya, Kepala Badan Pengelolaan Perbatasan Kepri dan Aktivis LSM dan Lembaga
Penelitian serta Akademisi Pengamat Perbatasan
Provinsi Kepulauan Riau.
Jenis data dalam penelitian ini adalah dengan
mengumpulkan dan menganalisa data sebagai
berikut:
a. Data primer yang didasarkan pada interview
dan observasi pada objek yang diteliti untuk

memperoleh data-data yang dibutuhkan. Studi
lapangan yang dilakukan dengan datang
langsung ke lokasi penelitian dengan cara
melakukan wawancara terhadap subyek dalam
penelitian.
b. Data sekunder yaitu dengan mencari sumber
data dan informasi melalui buku-buku, jurnal,
internet dan lain-lain yang berkaitan dengan
penelitian ini.
Teknik yang dilakukan dalam pengumpulan
data ini dengan melakukan wawancara terhadap
informan kunci atau orang yang dianggap dapat
menjawab pertanyaan terkait masalah yang akan
diteliti,yakni dengan mekanisme pertanyaan yang
sudah disusun dan bisa keluar dari konsep jika
berkaitan dengan yang ingin diteliti atau bisa juga
disebut dengan wawancara non-terstruktur.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah mengacu
pada tiga stakeholder primer, stakeholder skunder,
dan stakeholder kunci yakni :
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PERBATASAN DAN KEMARITIMAN

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

1. Stakeholder Primer
NGO dan Akademisi
2. Stakeholder Skunder
BAPPEDA Provinsi Kepri :
Komisi III DPRD Provinsi Kepri
C. Kerangka Teoritik
1. Pemerintahan Kolaboratif (Collaborative
Governance)
Selama beberapa waktu terakhir mulai kita
dengar sebuah strategi pelaksanaan pemerintahan
dimana pemerintah dianggap akan bekerja lebih
efektif dan lebih cepat mencapai tujuan-tujuannya
jika melakukan kolaborasi, kolaborasi ini
kemudian dikenal dengan istilah “pemerintahan
kolaboratif”. Pada pemerintahan kolaboratif,
pemerintah tetap memainkan peran yang penting
untuk mengajak elemen-elemen yang lain terlibat
aktif untuk menentukan kebijakan yang dilembagakan dalam sebuah forum.
Pengertian dari Pemerintahan kolaboratif(Ansell
& Gash, 2007) merupakan sebuah susunan pemerintahan yang mana lembaga publik dan lembaga
non pemerintah secara langsung terlibat dalam proses pengambilan keputusan kolektif yang formal,
berorientasi konsensus dan deliberatif serta bertujuan untuk membuat atau menerapkan kebijakan
publik, mengelola program publik atau aset.
Dari definisi tersebut, kita dapat mengambil

PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PERBATASAN DAN KEMARITIMAN

beberapa kriteria tentang pemerintahan kolaboratif,
yaitu :
a. Forum yang diinisiasi oleh lembaga publik,
b. Peserta dalam forum termasuk aktor non
pemerintah,
c. Peserta terlibat langsung dalam pengambilan
keputusan dan tidak hanya sekedar dijadikan
tempat konsultasi,
d. Forum diselenggarakan secara formal dan
bertemu secara kolektif
e. Forum bertujuan untuk membuat keputusan
berdasarkan mufakat,
f. Fokus kolaborasi pada kebijakan publik atau
manajemen publik.
Pemerintahan kolaboratif termasuk manajemen
partisipatif, pembuatan kebijakan interaktif, tata
stakeholder, dan manajemen kolaboratif.istilah
manajemen kolaboratif mencakup berbagai aspek,
mulai dari proses perencanaan, pembuatan
kebijakan, impelemntasi sampai pada evaluasi.
Kolaboratif juga merupakan Istilah yang lebih
menunjukkan pada pendekatan musyawarah dan
berorientasi konsensus.
Pemerintahan kolaboratif dalam pelaksanaannya terdapat skala-skala atau ukuran-ukuran, mulai
dari tingkatan yang tertinggi hingga tingkatan yang
terendah sebagaimana terlihat dalam tabel dibawah
ini :

13

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Tabel 1 :Skala Kolaborasi
Tingkat kolaborasi
Tingkat tertinggi: komitmen yang tinggi
untuk kolaborasi; risiko politik / manajerial
tertinggi

Siapa yang terlibat dan Kegiatan
Jaringan i nteraksi antara aktor -aktor yang
Transformatif; keterlibatan dan
pemberdayaan su
bstantif;
tercapainya
konsensus dan kerja sama antar stakeholder
atau antar-aktor; terwujud koalisi yang kuat
antara pemerintah dengan lembaga non
pemerintah
Tingkat menengah
-tinggi: orientasi
Keterlibatan yang kuat dari para pemangku
kolaborasi; resiko politik dan manajerial
kepentingan dalam pengambilan keputusan
tinggi
atau proses kebijakan dan implementasi;
mengalihkan kapasitas pengambilan
keputusan untuk klien; inovasi yang lebih
kompleks dalam proses kebijakan
Tingkat Menengah: komitmen untuk
Komitmen
kolaborasi
formal untuk
kolaborasi; resiko politik dan manajerial
konsultasi antar lembaga;
aktor-aktor
sedang
bergabung dengan pemerintah; keterlibatan
formal dan inisiatif pendanaan bersama
Tingkat menengah
-rendah: bentuk
Bentuk co -produksi; perbaikan teknis dalam
operasional dari kolaborasi
untuk kolaborasi; Bantuan untuk mematuhi
'mendapatkan pekerjaan yang dilakukan';
kewajiban; konsultasi langsung dengan klien;
resiko politik dan manajerial agak rendah
proses yang sistematis, penggunaan data
evaluasi; melakukan pelaporan pada publik
Level terendah: penyesuaian operasional
Penyesuaian kolaborasi; menggunakan proses
kolaborasi, tingkat resiko politik dan
konsultatif; diskusi klien dan mekanisme
manajerial rendah
umpan balik; mendapatkan informasi
mengenai kebutuhan / harapan orang lain

Sumber : John Wanna
2. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi selain telah menjadi kata kunci dalam
pembangunan, juga menjadi salah satu karakteristik dari penyelenggaraan pemerintah yang
baik.Secara etimologi, partisipasi berasal dari
bahasa inggris “participation” yang berarti
mengambil bagian/keikutsertaan. Dalam kamus
lengkap Bahasa Indonesia dijelaskan “partisipasi”
berarti: hal turut berperan serta dalam suatu
kegiatan, keikutsertaan, peran serta. Secara umum
pengertian dari partisipasi masyarakat dalam
pembangunan adalah keperansertaan semua
anggota atau wakil-wakil masyarakat untuk ikut
membuat keputusan dalam proses perencanaan
dan pengelolaan pembangunan termasuk di
dalamnya memutuskan tentang rencana-rencana
kegiatan yang akan dilaksanakan, manfaat yang
14

akan diperoleh, serta bagaimana melaksanakan
dan mengevaluasi hasil pelaksanaannya.
Melihat dampak penting dan positif dari
perencanaan partisipatif, dengan adanya partisipasi
masyarakat yang optimal dalam perencanaan
diharapkan dapat membangun rasa pemilikan yang
kuat dikalangan masyarakat terhadap hasil-hasil
pembangunan yang ada.Geddesian (dalam
Soemarmo 2005:26) mengemukakan bahwa pada
dasarnya masyarakat dapat dilibatkan secara aktif
sejak tahap awal penyusunan rencana. Keterlibatan masyarakat dapat berupa: (1) pendidikan
melalui pelatihan, (2) partisipasi aktif dalam
pengumpulan informasi, (3) partisipasi dalam
memberikan alternatif rencana dan usulan kepada
pemerintah. Secara skematis struktur partisipasi
dalam perencanaan seperti berikut:
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PERBATASAN DAN KEMARITIMAN

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Sumber: Geddesian dalam Soemarmo
Gambar 1. Struktur Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan
Menurut Juliantara (2002:87) substansi dari
partisipasi adalah bekerjanya suatu sistem
pemerintahan dimana tidak ada kebijakan yang
diambil tanpa adanya persetujuan dari rakyat,
sedangkan arah dasar yang akan dikembangkan
adalah proses pemberdayaan, lebih lanjut
dikatakan bahwa tujuan pengembangan partisipasi
adalah Pertama, bahwa partisipasi akan memungkinkan rakyat secara mandiri (otonom) mengorganisasi diri, dan dengan demikian akan memudahkan masyarakat menghadapi situasi yang sulit, serta
mampu menolak berbagai kecenderungan yang
merugikan. Kedua, suatu partisipasi tidak hanya
menjadi cermin konkrit peluang ekspresi aspirasi
dan jalan memperjuangkannya, tetapi yang lebih
penting lagi bahwa partisipasi menjadi semacam
garansi bagi tidak diabaikannya kepentingan
masyarakat.Ketiga, bahwa persoalan-persoalan
dalam dinamika pembangunan akan dapat diatasi
dengan adanya partisipasi masyarakat. (Juliantara,
2002: 89-90).
Literatur klasik selalu menunjukan bahwa
partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan
masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan,
sampai evaluasi program pembangunan, tetapi
makna substantif yang terkandung dalam sekuensekuen partisipasi adalah voice, akses dan control
(Juliantara, 2002:90-91). Pengertian dari masingmasing sekuen tersebut di atas adalah:
1. Voice, maksudnya adalah hak dan tindakan
warga masyarakat dalam menyampaikan
aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan dan

PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PERBATASAN DAN KEMARITIMAN

tuntutan terhadap komunitas terdekatnya
maupun kebijakan pemerintah.
2. Akses, maksudnya adalah mempengaruhi dan
menentukan kebijakan serta terlibat aktif
mengelola barang-barang publik, termasuk
didalamnya akses warga terhadap pelayanan
publik.
3. Control, maksudnya adalah bagaimana masyarakat mau dan mampu terlibat untuk mengawasi
jalannya tugas-tugas pemerintah. Sehingga
nantinya akan terbentuk suatu pemerintahan
yang transparan, akuntabel dan responsif
terhadap berbagai kebutuhan masyarakatnya.
Alexander Abe (2002:81) mengemukakan
pengertian perencanaan partisipatif sebagai berikut:
“perencanaan partisipatif adalah perencanaan yang dalam tujuannya melibatkan
kepentingan masyarakat, dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik secara langsung
maupun tidak langsung) tujuan dan cara
harus dipandang sebagai satu kesatuan.
Suatu tujuan untuk kepentingan rakyat dan
bila dirumuskan tanpa melibatkan masyarakat, maka akan sangat sulit dipastikan
bahwa rumusan akan berpihak pada
rakyat.”
Lebih lanjut Abe mengemukakan langkahlangkah dalam perencanaan partisipatif yang
disusun dari bawah yang dapat digambarkan
sebagai tangga perencanaan sebagai berikut:

15

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Sumber: Alexander Abe (2002:100)
Gambar 2. Langkah-Langkah Perencanaan Partisipatif Yang Disusun Dari Bawah
Langkah-langkah di atas, dapat diuraikan
secara rinci sebagai berikut:
1. Penyelidikan, adalah sebuah proses untuk
mengetahui, menggali dan mengumpulkan
persoalan-persoalan bersifat local yang
berkembang di masyarakat.
2. Perumusan masalah, merupakan tahap lanjut
dari proses penyelidikan. Data atau informasi
yang telah dikumpulkan diolah sedemikian rupa
sehingga diperoleh gambaran yang lebih
lengkap, utuh dan mendalam.
3. Identifikasi daya dukung, dalam hal ini daya
dukung diartikan sebagai dana konkrit (uang)
melainkan keseluruhan aspek yang bias
memungkinkan target yang telah ditetapkan.
4. Rumusan Tujuan adalah kondisi yang hendak
dicapai, sesuatu keadaan yang diinginkan
(diharapkan), dan karena itu dilakukan sejumlah
upaya untuk mencapainya.
5. Langkah rinci Penetapan langkah-langkah
adalah proses penyusunan apa saja yang akan
dilakukan. Proses ini merupakan proses
membuat rumusan yang lebih utuh, perencanaan
dalam sebuah rencana tindak.
6. Merancang anggaran, disini bukan berarti
mengahitung uang, melainkan suatu usaha untuk
menyusun alokasi anggaran atau sumber daya
yang tersedia.
Pandangan lainnya, sebagaimana dinyatakan
oleh Mubyarto (1984:35), “partisipasi masyarakat
16

dalam pembangunan pedaerahan harus diartikan
sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya
setiap program sesuai kemampuan setiap orang
tanpa berarti mengorban kepentingan diri
sendiri”.Selanjutnya disebutkan pula bahwa dalam
keadaan yang paling ideal keikutsertaan masyarakat merupakan ukuran tingkat partisipasi
rakyat.Semakin besar kemampuan mereka untuk
menentukan nasibnya sendiri, maka semakin besar
pula kemampuan mereka dalam pembangunan.
Terkait dengan masyarakat dalam tahapan
kegiatan pembangunan, (Siagian, 1989:108)
menyatakan bahwa partisipasi dalam pengambilan
keputusan merupakan proses dalam memilih
alternatif yang diberikan semua unsur masyarakat,
lembaga formal, lembaga sosial dan lain-lain. Ini
berarti partisipasimasyarakat dalam pengambilan
keputusan sangat penting, karena masyarakat
dituntut untuk dapat menentukan apa yang ingin
dicapai, permasalahan apa yang dihadapi, alternatif
apa yang kiranya dapat mengatasi masalah itu, dan
alternatif mana yang terbaik harus dilakukan guna
mengatasi permasalahan tersebut.
Pusic (dalam Adi, 2001:206-207) menyatakan
bahwa Perencanaan pembangunan tanpa memperhatikan partisipasi masyarakat akan menjadi
perencanaan di atas kertas. Berdasarkan pandangannya, partisipasi atau keterlibatan warga
masyarakat dalam pembangunan daerah dlihat dari
2 hal, yaitu:
a. Partsipasi dalam perencanaan
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PERBATASAN DAN KEMARITIMAN

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Segi positif dari partisipasi dalam perencanaan
adalah program-program pembangunan daerah
yang telah direncanakan bersama sedangkan
segi negatifnya adalah adanya kemungkinan
tidak dapat dihindari pertentangan antar
kelompok dalam masyarakat yang dapat
menunda atau bahkan menghambat tercapainya
keputusan bersama. Disini dapat ditambahkan
bahwa partisipasi secara langsung dalam
perencanaan hanya dapat dilaksanakan dalam
masyarakat kecil, sedangkan untuk masyarakat
yang besar sukar dilakukan. Namun dapat
dilakukan dengan sistem perwakilan. Masalah
yang perlu dikaji adalah apakah yang duduk
dalam perwakilan benar-benar mewakili warga
masyarakat.
b. Partisipasi dalam pelaksanaan.
Segi positif dari Partisipasi dalam pelaksanaan
adalah bahwa bagian terbesar dari program
(penilaian kebutuhan dan perencanaan program) telah selesai dikerjakan.Tetapi segi
negatifnya adalah kecenderungan menjadikan
warga negara sebagai obyek pembangunan,
dimana warga hanya dijadikan pelaksana
pembangunan tanpa didorong untuk mengerti
dan menyadari permasalahan yang mereka
hadapi dan tanpa ditimbulkan keinginan untuk
mengatasi masalah.Sehingga warga masyarakat
tidak secara emosional terlibat dalam program,
yang berakibat kegagalan seringkali tidak dapat
dihindari.
Pandangan Pusic yang menekankan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan daerah hanya
pada tahap perencanaan dan pelaksanaan program
pembangunan nampaknya belum lengkap guna
menjamin kesinambungan pencapaian tujuan
pembangunan daerah.Hal ini sesuai dengan
pendapat Adi yang melengkapi pandangan Pusic.
Menurut Adi (2001:208), dalam perkembangan
pemikiran tentang partisipasi masyarakat dalam
upaya pengembangan suatu komunitas, belumlah
cukup hanya melihat partisipasi masyarakat hanya
pada tahapan perencanaan dan pelaksanaan
program pembangunan. Partisipasi masyarakat
hendaknya pula meliputi kegiatan-kegiatan yang
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PERBATASAN DAN KEMARITIMAN

tidak diarahkan (non direktif), sehingga partisipasi
masyarakat meliputi proses-proses:
a. Tahap Assesment
b. Tahap perencanaan alternatif program atau
kegiatan.
c. Tahap pelaksanaan (implementasi) program
atau kegiatan.
d. Tahap evaluasi (termasuk didalamnya evaluasi
input, proses dan hasil).
Berdasarkan hal di atas, maka dapat dilihat
bahwa partisipasi yang dilakukan masyarakat
bersama-sama pihak terkait lainnya dalam
berbagai tahapan pembangunan akan menghasilkan
konsensus dalam kebijakan pembangunan, dan
sekaligus melatih masyarakat menjadi lebih pandai
khususnya dalam penanganan masalah-masalah
yang muncul di masyarakat.
3. Perencanaan Pembangunan
Pengertian perencanaan pembangunan dapat
dilihat berdasarkan unsur-unsur yang membentuknya yaitu: perencanaan dan pembangunan.
Perencanaan menurut Terry (dalam Hasibuan,
1993:95) adalah memilih dan menghubungkan
fakta dan membuat serta menggunakan asumsiasumsi mengenai masa yang akan dating dengan
jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan
yang diperlukan untuk mencapai hasil yang
diinginkan.
Pengertian pembangunan menurut Siagian
adalah suatu usulan atau rangkaian usaha
pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang
dilakuakan secara sadar oleh suatu bangsa negara
dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka
pembinaan bangsa.
Perencanaan menurut Lembaga Administrasi
Negara (dalam Riyadi dan Bratakusumah, 2004:
4) berarti memilih prioritas dan cara atau alternatif
untuk mencapai tujuan, pengalokasian sumber
daya, bertujuan mencapai tujuan, berhubungan
dengan masa depan, serta kegiatan yang terus
menerus.
Pendapat ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Conyers (1981: 3) bahwa planning
atau perencanaan adalah sebagai:
“suatu proses yang terus menerus yang
17

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

melibatkan keputusan-keputusan, alternatifalternatif atau pilihan, mengenai cara-cara
alternatif penggunaan sumber-sumber daya,
dengan tujuan menghasilkan sasaran-sasaran
spesifik untuk waktu yang akan datang”.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
fungsi perencanaan adalah sebagai alat untuk
memilih, merencanakan untuk masa yang akan
datang, cara untuk mengalokasikan sumber daya
serta alat untuk mencapai sasaran, dan apabila
dikaitkan dengan pembangunan yang hasilnya
diharapkan dapat menjawab semua permasalahan,
memenuhi kebutuhan masyarakat, berdaya guna
dan berhasil guna, serta mencapai tujuan yang
diinginkan, maka perencanaan itu sangat diperlukan agar pembangunan yang dilaksanakan lebih
terarah, efektif dan efisien dalam penggunaan
sumber daya dan dana. Sedangkan pembangunan
dalam perencanaan itu sendiri merupakan suatu
proses perubahan kearah yang lebih baik melalui
apa yang dilakukan secara terencana.
Menurut Conyers (1994: 5) setiap bentuk
perencanaan pasti mempunyai implikasi atau
aspek sosial, karenanya dapatlah dianggap bahwa
perencanaan sosial harus merupakan bentuk
arahan bagi seluruh rangkaian kegiatan perencanaan itu sendiri.Perencanaan jenis ini biasanya
dipakai pemerintah atau badan lainnya guna
mengatasi masalah perubahan ekonomi dan
masalah sosial pada umumnya.Perencanaan ini
dikenal dengan perencanaan pembangunan.
Lebih lanjut Riyadi dan Bratakusumah (2004:7)
mengemukakan bahwa perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses
perumusan alternatif-alternatif atau keputusankeputusan yang didasarkan pada data-data dan
fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan
untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan/
aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik
(material) maupun nonfisik (mental dan spiritual)
dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik.
Perencanaan pembangunan merupakan pedoman/acuan/dasar bagi pelaksanaan kegiatan
pembangunan. Karena itu perencanaan pembangunan hendaknya bersifat implementatif (dapat
melaksanakan) dan aplikatif (dapat diterapkan),
18

serta perlu disusun dalam suatu perencanaan
strategis dalam arti tidak terlalu mengatur, penting
dan mampu menyentuh kehidupan masyarakat
luas, sekaligus mampu mengantisipasi tuntutan
perubahan baik internal maupun eksternal, serta
disusun berdasarkan fakta riil di lapangan.
Dalam hubungannya dengan suatu daerah
sebagai area pembangunan sehingga terbentuk
konsep perencanaan pembangunan daerah,
keduanya menyatakan bahwa perencanaan
pembangunan daerah adalah suatu konsep
perencanaan pembangunan yang dimaksudkan
untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas
masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam
daerah tertentu dengan memanfaatkan atau
mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada,
dan harus memiliki orientasi yang bersifat
menyeluruh, lengkap tetapi berpegang pada asas
prioritas.
Perencanaan pembangunan tidak mungkin
hanya dilakukan di atas kertas tanpa melihat realitas
di lapangan.Data valid di lapangan sebagai data
primer merupakan ornamen-ornamen penting yang
harus ada dan digunakan menjadi bahan dalam
kegiatan perencanaan pembangunan. Dengan
demikian perencanaan pembangunan dapat
diartikan sebagai suatu proses perumusan
alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang
didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang
akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan/aktivitas kemasyarakatan baik yang bersifat fisik (mental spiritual)
dalam rangka pencapaian tujuan yang lebih baik.
Perluasan otonomi daerah yang semakin
dititikberatkan kepada kabupaten/kota akan
membawa konsekuensi dan tantangan yang cukup
berat bagi pengelola administrasi negara di daerah,
baik dalam tahap perumusan kebijakan maupun
implementasinya program-program pembangunan.
Oleh karena itu model pembangunan daerah di
masa kini dan masa depan perlu difokuskan kepada
pengembangan masyarakat lokal. Model pembangunan itu dilakukan melalui perubahan
paradigma pembangunan top down ke pembangunan partisipatif.
Untuk mendapatkan hasil perencanaan pemPROSIDING
SEMINAR NASIONAL PERBATASAN DAN KEMARITIMAN

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

bangunan daerah yang baik, tepat waktu, tepat
sasaran, berdaya guna dan berhasil guna,
dibutuhkan keterlibatan masyarakat dalam
perencanaan pembangunan, karena masyarakat
sebagai salah satu unsur dalam pembangunan,
tentunya dapat mengetahui sekaligus memahami
apa yang ada di wilayahnya, disamping itu dengan
melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan
pembangunan, pemerintah telah memberikan
kepercayaan kepada masyarakatnya, sehingga
mereka dapat merasa ikut bertanggung jawab dan
merasa memiliki program-program pembangunan
yang jelas akan sangat menguntungkan bagi
pelaksanaannya.
D. Hasil Dan Analisis
1. Pemerintahan Kolaboratif di Indonesia
dalam Perencanaan Pembangunan
Konsep pemerintahan kolaboratif merujuk
pada keterlibatan pihak-pihak non pemerintah
untuk turut serta dalam proses perumusan
kebijakan, implementasi hingga evaluasi. Salah satu
keterlibatan tersebut adalah keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan.
Pada era otonomi daerah di Indonesia, perencanaan pembangunan telah berubah paradigma
dari yang dahulu top down menjadi bottom up,
hal ini didorong oleh sebuah kesadaran kritis bahwa
pembangunan yang efektif dan tepat sasaran hanya
dapat dicapai jika berorientasi pada kebutuhan
masyarakat, dan dengan asumsi bahwa yang paling
tahu tentang kebutuhan masyarakat adalah
masyarakat sendiri membuat partisipasi masyarakat
dalam perencanaan pembangunan menjadi amat
penting.
Secara normatif, proses perencanaan pembangunan daerah di Indonesia telah memberikan
ruang bagi partisipasi masyarakat, hal tersebut
diejawantahkan dalam sebuah mekanisme
perencanaan melalui forum musyawarah rencana
pembangunan atau yang lebih kita kenal dengan
istilah Musrenbang. Prosesnya pun dimulai dari
tahapan yang paling bawah, yaitu dari musrenbang
desa, musrenbang kecamatan, musrenbang
kabupaten, musrenbang provinsi, hingga musrenbang nasional.
Keberadaan forum musrenbang sebagai salah
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PERBATASAN DAN KEMARITIMAN

satu saluran resmi aspirasi masyarakat menjadi
sangat penting, namun demikian seringkali
pelaksanaan musrenbang dalam proses perencanaan pembangunan di daerah hanya menjadi
sebuah kegiatan formalitas belaka, sehingga
apapun aspirasi masyarakat yang disampaikan
pada saat musrenbang tak berpengaruh terhadap
perencanaan pembangunan yang nyatanya lebih
banyak dibuat oleh elit-elit tertentu.
Hal ini tergambar dalam beberapa hasil
penelitian terdahulu diantaranya adalah pertama,
penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Dyah
Widowati tahun 2007 yang membahas tentang
kajian partisipasi masyarakat dalam perencanaan
dan penganggaran pembangunan daerah di
Kabupaten Pati, penelitian tersebut berkesimpulan
bahwa kualitas partisipasi masyarakat dalam
perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Pati
hanya masuk dalam kategori sedang atau rata-rata,
kemudian komitmen para pejabat untuk melaksanakan proses perencanaan dan penganggaran yang
melibatkan masyarakat masih setengah hati.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Susanti
pada tahun 2009, membahas tentang pengaruh
partisipasi masyarakat terhadap proses musyawarah perencanaan pembangunan di kecamatan
Kapuas Kabupaten Sanggau, kesimpulan penelitian ini adalah partisipasi masyarakat khususnya
partisipasi dari para peserta musyawarah
perencanaan pembangunan di Kecamatan Kapuas
termasuk dalam kategori kurang baik, serta proses
musyawarah perencanaan pembangunan di
Kecamatan Kapuas termasuk dalam kategori
kurang baik.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Sopanah
pada tahun 2009, membahas tentang studi
fenomenologis : menguak partisipasi masyarakat
dalam proses penyusunan APBD Kota Malang,
penelitian ini berkesimpulan bahwa partisipasi
masyarakat dalam penyusunan APBD Kota
Malang masih berupa partisipasi yang semu,
diantaranya partisipasi yang didominasi oleh
kalangan elit tertentu, partisipasi yang dimobilisasi
oleh kelompok kepentingan tertentu, serta
partisipasi yang dikemas dalam acara intertaiment
tertentu.
Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Dea
19

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Deviyanti pada tahun 2013, membahas tentang
partisipasi masyarakat dalam pembangunan di
Kelurahan Karang Jati Kecamatan Balikpapan
Tengah, hasil penelitian ini adalah partisipasi
masyarakat dalam perencanaan pembangunan di
Kelurahan Karang Jati belumlah optimal karena
belum sepenuhnya melibatkan masyarakat
setempat di dalam perencanaan.
Empat hasil penelitian diatas merupakan sedikit
gambaran bahwa partisipasi masyarakat dalam
perencanaan pembangunan di daerah masih sangat
rendah, hal tersebut menjadi cermin terhadap
pelaksanaan pemerintahan kolaboratif di Indonesia
pada era otonomi daerah.
Jika kita klasifikasikan pelaksanaan pemerintahan kolaboratif di Indonesia pada era otonomi
daerah berdasarkan pada skala kolaborasi yang
dibuat oleh John Wanna sebagaimana telah
diuraikan diatas maka pelaksanaan pemerintahan
kolaboratif di Indonesia masuk dalam skala
menengah bawah, dengan indikator sudah ada
upaya untuk melibatkan masyarakat dalam proses
perencanaan pembangunan, namun pelaksanaannya masih sangat rendah atau dapat kita katakana
bahwa hanya sekedar “berkonsultasi” dengan
masyarakat, perencanaan pembangunan daerah
masih banyak dikuasai oleh elit-elit tertentu saja.
Salah satu aspek penting dalam proses
perumusan kebijakan adalah partisipasi masyarakat, tuntutan akan hak masyarakat untuk
berpartisipasi lebih luas semakin menguat. Hal ini
dilakukan karena semakin tingginya kesadaran
masyarakat akan kebutuhan dan kepentingan
terhadap permasalahan menyangkut kehidupan
bermasyarakat maupun bernegara.
Pentingnya keterlibatan masyarakat di dalam
penyusunan perencanaan pembangunan sangat
ditekankan dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Pendekatan partisipatif
masyarakat terdapat pada 4 (empat) pasal
Undang-Undang ini yaitu pada Pasal 2, Pasal 5,
Pasal 6 dan Pasal 7. Sistem perencanaan yang
diatur dalam UU 25/2004 dan aturan pelaksanaannya menerapkan kombinasi pendekatan
antara top-down ( atas-bawah) dan bottom-up
(bawah-atas), yang lebih menekankan cara-cara
20

aspiratif dan partisipatif.
Perencanaan pembangunan yang ditujukan
untuk kepentingan masyarakat tidak akan berhasil
tanpa peran serta masyarakat didalam pembuatan
perencanaan tersebut Menyadari akan pentingnya
peran serta masyarakarakat, pemerintah mengharuskan didalam pembuatan perencanaan pembangunan baik pusat maupun daerah dilakukan
musyawarah secara berjenjang dari tingkat bawah
(bottom up). Proses tersebut diawali dengan
Musrenbang desa, Musrenbang kecamatan,
Musrenbang Kabupaten dan Musrenbang Provinsi
hingga Musrenbang Nasional.
Didalam penentuan kebijakan pembangunan
daerah, aspirasi masyarakat dapat dilakukan
melalui tiga jalur yaitu :
1. Jalur Musrenbang dimana masyarakat dapat
menayulurkan aspirasinya secara langsung
sesuai dengan tingkatannnya.
2. Jalur Politik atau melalui partai politik yang
dilakukan oleh anggota dewan dalam masa
reses.
3. Jalur birokrasi yang dapat langsung disampaikan melalui SKPD maupun kepala daerah.
Jalur musrenbang dapat dikatakan sebagai jalur
utama didalam menyalurkan aspirasi dan peran
serta masyarakat didalam penentuan perencanaan
pembangunan. Melalui jalur inilah mayoritas
aspirasi masyarakat disalurkan sebagai masukkan
bagi proses perencanaan pembangunan selanjutnya.
Walaupun dikatakan sebagai jalur utama
aspirasi masyarakat, aspirasi yang disampaikan
dijalur ini juga dapat dikatakan sebagai jalur yang
paling lemah pada proses perumusan agenda dan
usulan kegiatan. Masyarakat tidak banyak tahu
seberapa besar peluang usulannya yang ditampung
dan ditindaklanjuti dalam proses pembangunan
atau seberapa besar persentase kegiatan-kegiatan
yang tertuang didalam dokumen perencanaan yang
berasal dari aspirasi musrenbang. Inilah problem
utama partisipasi masyarakat yang dihadapi dalam
proses kebijakan penentuan perencanaan pembangunan daerah di Indonesia.
Jika dilihat lebih lanjut maka penyebab
lemahnya aspirasi masyarakat tersebut dapat
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PERBATASAN DAN KEMARITIMAN

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

digolongkan menjadi dua kelompok yaitu :
1. Internal, yang dimaksud adalah kondisi didalam
sistem birokrasi pemerintah.
2. Eksternal, yang dimaksud adalah kondisi diluar
sistem birokrasi pemerintah yaitu masyarakat
umum.
Faktor internal pemerintah yang menyebabkan
partisipasi masyarakat belum efektif di dalam
sistem perencanaan pembangunan yaitu :
Pertama, Sistem Perencanaan Pembangunan
yang disusun dengan jadual yang ketat mengakibatkan masyarakat tidak mempunyai cukup waktu
untuk menyampaikan seluruh aspirasinya.Sebagai
contoh musrenbang provinsi yang menghadirkan
pemangku kepentingan yang berjumlah ratusan
orang hanya dilaksanakan dalam satu hari.Kondisi
tersebut tidak memberikan waktu yang cukup bagi
masyarakat untuk menyampaikan seluruh aspirasinya.
Kedua, pola pikir aparat birokrasi yang masih
beranggapan bahwa mereka yang paling tahu dan
paling bisa membuat perencanaan pembangunan.
Perubahan paradigma pembangunan dari top
down ke bottom up masih belum sepenuhnya
dapat diimplementasikan, masih terdapat anggapan
birokrat bahwa mereka adalah pihak yang
memahami perencanaan pembangunan, hal
tersebut kemudian menyebabkan pelaksanaan
perencanaan pembangunan dengan paradigma
bottom up “setengah hati”.
Selanjutnya adalah masih terdapat aparatur
pemerintah di tingkat yang paling bawah seperti
desa/kelurahan bahkan kecamatan tidak memperoleh informasi yang cukup tentang programprogram kabupaten/ kota. Ada dua kemungkinan
penyebab hal tersebut terjadi yaitu karena mereka
tidak memperoleh informasi yang cukup dari
kabupaten /kota atau mereka sendiri tidak ingin
tahu perencanaan pembangunan daerah yang
tertuang didalam dokumen-dokumen perancanaan
pembangunan. Hal tersebut dapat dilihat dengan
minimnya kecamatan atau kelurahan yang
mempunyai buku atau dokumen RPJP daerah atau
RPJM daerah.
Ketiga, masih besarnya dominasi programprogram pemerintah kabupaten, provinsi atau
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PERBATASAN DAN KEMARITIMAN

pemerintah pusat (Top down) didalam menentukan
kebijakan, program dan kegiatan didalam
perencanaan pembangunan.Besarnya dominasi
tersebut menyebabkan aspirasi-aspirasi masyarakat (Bottom up) mentah pada tahapan penentuan
agenda dan usulan kebjakan.
Keempat, terpisahnya jalur perencanaan
kegiatan dan keuangan menyebabkan akses
masyarakat untuk menentukan anggaran menjadi
sangat terbatas.Masyarakat selama ini hanya
mempunyai peran didalam perencanaan kegiatan
melalui jalur musrenbang namun tidak mempunyai
akses yang cukup dalam perencanaan keuangan
melalui jalur KUA dan PPAS.
Kelima, belum ada sistem tentang pemantauan
aspirasi masyarakat untuk sampai pada usulan
rencana penganggaran.Selama ini tidak pernah ada
prosentase yang jelas tentang jumlah program atau
kegiatan yang berasal dari aspirasi masyarakat,
program pemerintah maupun aspirasi melalui
dewan.
Selain faktor internal, terdapat faktor eksternal
yang turut menyebabkan lemahnya partisipasi
masyarakat dalam perencanaan pembangunan
daerah, yaitu :
Pertama, masih rendahnya kapasitas dan
kapabilitas masyarakat untuk mengikuti proses
perencanaan pembangunan daerah. Pada berbagai
kesempatan musrenbang di berbagai tingkatan yang
dilaksanakan,seringkali kita menemukan bahwa
usulan-usalan mereka terlalu mikro dan lebih
banyak pada pembangunan fisik saja misal dalam
musrenbang tingkat kabupaten masyarakat masih
mengusulkan perbaikan selokan desa, tembok
makam rehab balai desa dan lain sebagainya.
Kedua, hambatan kultur. Selama masa pemerintahan orde lama dan orde baru, masyarakat kita
dalam konteks pembangunan begitu tergantung
dengan pemerintah, masyarakat hanya diposisikan
sebagai objek pembangunan, masyarakat hanya
bisa menerima apapun yang direncanakan oleh
pemerintah.
Ketiga, rendahnya kualitas dan kuantitas LSM,
Civil Society dan lembaga non pemerintah
lainnya.Peran sebagai fasilitator bagi masyarakat
membuat posisi LSM, civil society dan lembaga
non pemerintah menjadi instrumen penting dalam
21

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

partisipasi masyarakat, namun dalam realitasnya
peran lembaga-lembaga tersebut belum berjalan
secara efektif.
Proses perencanaannya secara normatif telah
tersistem dengan suatu mekanisme yang melibatkan partisipasi publik secara luas. Kebijakan
perumusan anggaran dimulai dari usulan/aspirasi
masyarakat yang dihimpun atau dirangkum dalam
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) diharapkan melahirkan kebijakan
anggaran yang pro-rakyat.
Usulan tersebut disampaikan melalui perangkat
pemerintah yang dihimpun dari masyarakat secara
berjenjang mulai dari kelurahan, kecamatan,
kabupaten kota sampai Provinsi. Forum Musrenbang ini biasanya dimulai dari Maret hingga April,
mulai dari kabupaten- kota ke Provinsi dan
Nasional. Masyarakat diundang untuk menghadiri
forum Musrenbang dari berbagai kalangan dan
kelompok, seperti akademisi (dosen/mahasiswa),
LSM, organisasi kepemudaan, organisasi massa,
paguyuban, forum RT/RW dan tokoh masyarakat.
Forum Musrenbang merupakan wahana
partisipasi publik secara nyata atas apa yang akan
direncanakan pemerintah daerah atau kepala
daerah dalam setiap tahun anggaran. Partisipasi
publik dalam musrenbang diatur dalam UU Nomor
25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan
pembangunan nasional.Dalam perspektif perencanaan pembangunan nasional, perencanaan
anggaran dalam APBD haruslah dilihat dalam satu
kesatuan secara komprehensif dari mulai Rencana
Kerja Pemerintah (RKP) dengan Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD). Dibutuhkan
sinkronisasi antara RKPD dan Kebijakan Umum
Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran
Sementara (PPAS) dan antara KUA – PPAS dan
RAPBD menjadi satu kesatuan atau kristalisasi dari
seluruh RKA-SKPD.
Sistem perencanaan pembangunan nasional
menegaskan kebijakan politik anggaran di daerah
harus berada dalam bingkai negara kesatuan
republik indonesia. Tujuannya adalah agar terjadi
sinkronisasi dan harmonisasi pembangunan yang
saling mendukung dari pusat hingga daerah
otonom.Artinya, kebijakan politik anggaran daerah
tidak boleh bertentangan atau bertabrakan dengan
22

kepentingan nasional. Dalam pembahasan
selanjutnya akan dijelaskan faktanya partisipasi
masyarakat dan pemerintah dalam agenda
perencanaan pembangunan masih sangat lemah.
Untuk lebih lanjut akan dibahas pada sub babsub bab berikut.
2. Partisipasi Masyarakat dan Pemerintah
dalam Agenda Kebijakan Pembangunan
Perbatasan Kepri
a. Partisipasi Kehadiran Kelompok Kepentingan, NGO, danLSM
Salah satu aspek penting dalam proses
perumusan kebijakan adalah partisipasi masyarakat, tuntutan akan hak masyarakat untuk
berpartisipasi lebih luas semakin menguat. Hal ini
dilakukan karena semakin tingginya kesadaran
masyarakat akan kebutuhan dan kepentingan
terhadap permasalahan menyangkut kehidupan
bermasyarakat maupun bernegara.
Didalam kaitannya dengan proses pembangunan nasional untuk perencanaan pembangunan yang dituangkan didalam tahapan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM), Rencana kerja Pembangunan (RKP) dan
APBN/D merupakan bagian dari sebuah kebijakan
publik yang dikuatkan dengan Undang-Undang
atau Perda. Produk-produk dokumen perencanaan tersebut merupakan bagian dari kebijakan
publik sebab implikasi dari produk-produk
perencanaan tersebut adalah masyarakat karena
pada hakekatnya pembangunan dilaksanakan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Hal tersebut sesuai dengan intisari dari kebijakan
publik yang telah disebutkan diatas, bahwa
Dokumen-dokumen perencanaan pembangunan
menetapkan tindakan-tindakan pemerintah dimasa
datang, mempunyai visi, misi dan tujuan yang jelas
serta senantiasa ditujukan untuk kepentingan
seluruh anggota masyarakat.
Kemudian melihat mirisnya partisipasi stakeholder dalam membangun daerah perbatasan,
seperti pernyataan dari M.Iqbal Kasubag Umum
dari BAPPEDA Provinsi Kepri :
“Partisipasi masyarakat dan stakeholders
lain dalam perencanaan pembangunan masih
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PERBATASAN DAN KEMARITIMAN

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

sangat lemah sehingga kadang terjadi
kesalahan sasaran dalam hal pembangunan,
ditambah kurangnya koordinasi antar
lembaga pemerintah dan antara pemerintah
Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota dengan
Provinsi. Ada 3 anggota DPR RI daerah
pemilihan Kepri, tidak satupun yang hadir.
Sedangkan anggota DPD RI, hanya Haripinto Tanuwijaya yang terlihat hadir, dan Ria
Saptarika yang datang terlambat. Sementara
dari 45 anggota DPRD Kepri, yang hadir
sesuai absen, hanya 22 orang, 23 orang
lainnya tidak hadir. Sedangkan dari 7Kepala
daerah Kabupaten/Kota di Kepri hanya 5
kepala daerah yang hadir, sementara Bupati
Natuna dan Anambas tidak tampak hadir.”
( 29 Mei 2015 di Kantor BAPPEDA
Provinsi Kepri).
Bagaimana isu-isu terkait masalah perbatasan
akan naik ke agenda pemerintahan kalau koordinsi
internal pemerintah saja masih lemah ditambah
dengan lemahnya partisipasi masyarakat akan hal
tersebut.

Penulis menarik kesimpulan dari hasil wawancara dengan beberapa LSM, NGO serta akademisi di Provinsi Kepri dalam perhatiannya terhadap
pembangunan perbatasan juga masih sangat
rendah, mereka mengatakan tidak ikut hadir dalam
agenda-agenda kebijakan pemerintah karena
sering tidak tahu dan mendadak dilaksakan.
Seperti yang di Ungkapkan Fajjar Bayu Putra
Pungkasan selaku Ketua NGO Komunitas
Mahasiswa Perbatasan Kepri yang mengatakan :
“Kami selalu antusias terhadap membangun perbatasan, akan tetapi setiap
agenda kebijakan pembangunan kami selalu
terbentur dengan perkuliahan dan agenda
kegiatan lain, undangan yang disampaikan
juga sering terkesan mendadak sehingga
kami sulit untuk mengatur waktu agar bisa
ikut berpartisipasi”(01 April 2015 di
Sekretariat KMP-Kepri)
Kemudian kurangnya partisipasi dalam perencanaan pembangunan seperti musrembang terkait
perencanaan pembangunan dapat ditarik persentase dari daftar hadir pada gambar berikut :

Sumber : Hasil Wawancara dan Absensi Undangan Musrembang Tahun 2014
Gambar 3 : Persentase partisipasi masyarakat dan stakeholder lain dalam perencanaan
Pembanguan.
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PERBATASAN DAN KEMARITIMAN

23

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Bukan hanya itu, selain partisipasi masyarakat
yang rendah NGO, LSM dan Akademisi di Provinsi Kepri juga tidak terlalu berperan aktif dalam
partisipasi agenda kebijakan pembangunan
perbatasan, seperti yang di ungkapkan Wahyu Dwi
Hidayat selaku Sekretaris Umum NGO Komunitas Mahasiswa Perbatasan Kepri yang mengatakan:
“Partisipasi NGO, LSM dan Akademisi
memang sangat lemah dalam agenda
kebijakan pemerintah dalam hal membangun
daerah perbatasan, bukan itu saja masalahnya jumlah NGO dan LSM yang bergerak dibidang perbatasan juga tidak terlalu
banyak, sehingga nampak jelas perhatian
untuk daerah perbatasan sangat rendah.”(01
April 2015 di Sekretariat KMP-Kepri)
Faktor eksternal yang turut menyebabkan
lemahnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah, yaitu rendahnya
kualitas dan kuantitas LSM, Civil Society dan
lembaga non pemerintah lainnya. Peran sebagai
fasilitator bagi masyarakat membuat posisi LSM,
civil society dan lembaga non pemerintah menjadi
instrumen penting dalam partisipasi masyarakat,
namun dalam realitasnya peran lembaga-lembaga
tersebut belum berjalan secara efektif.
b. Partisipasi Kehadiran Anggota DPRD
Komisi Pembangunandalam Agenda
Kebijakan Pembangunan Perbatasan
Kepri.
Bukan hanya partisipasi dari kelompok
kepentingan dan masyarakat, untuk DPRD Komisi
III bagian Pembangunan juga sangat berperan
penting. Dalam hal ini partisipasi anggota DPRD
Komisi III bidang pembangunan sudah cukup
baik, dalam agenda musrembang Provinsi kepri
tahun 2015 dari 45 anggota DPRD Kepri, yang
hadir sesuai absen, hanya 22 orang, 23 orang
lainnya tidak hadir. Kinerja da