Analisa Kajian Banjir Dengan Sumur Resapan Dan Lubang Biopori Pada Kawasan Perumahan Griya Insan Mulia, Kecamatan Medan Sunggal

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi

Siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfer melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Pemanasan air laut oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara terus menerus. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan batu, hujan es dan salju (sleet), hujan gerimis atau kabut.

Gambar 2.1. Siklus Hidrologi (www.google.com)

Untuk menjaga siklus hidrologi agar komponen utamanya dapat bekerja sebagaimana mestinya, maka perlu dipertahankan kesetimbangan melalui proses pengisian air hujan dengan meresapkannya ke dalam pori-pori/rongga tanah, batuan atau yang disebut dengan upaya konservasi air.


(2)

Prinsip dasar konservasi air adalah mencegah atau meminimalkan air yang hilang sebagai aliran permukaan dan menyimpannya semaksimal mungkin ke dalam tubuh bumi.

Pada perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas atau langsung jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda:

a) Evaporasi/ transpirasi - Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman, dsb. kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan. Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es.

b) Infiltrasi/ Perkolasi ke dalam tanah - Air bergerak ke dalam tanah melalui celah-celah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.

c) Air Permukaan - Air bergerak di atas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan danau; makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai utama yang membawa seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju laut.Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan sebagian air bawah permukaan


(3)

akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-komponen siklus hidrologi yang membentuk sistem Daerah Aliran Sungai (DAS). Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud dan tempatnya.

Gambar 2.2. Posisi Sumur Resapan dalam Siklus Hidrologi (www.google.com)

2.2 Konsep Laju Infiltrasi

Infiltrasi dimaksudkan sebagai proses masuknya air ke permukaan tanah. Ini merupakan bagian yang sangat penting dalam daur hidrologi maupun dalam proses pengalihragaman hujan menjadi aliran sungai. Pada saat air hujan jatuh kepermukaan tanah, sebagian air tersebut tertahan di cekungan-cekungan, sebagian air mengalir sebagai aliran permukaan (surface run off) dan sebagian lainnya meresap kedalam tanah.

Saat hujan mencapai permukaan lahan maka akan terdapat bagian hujan yang mengisi ruang kosong (void) dalam tanah yang terisi udara sampai mencapai kapasitas lapang (field capacity) dan berikutnya bergerak ke bawah secara


(4)

gravitasi akibat berat sendiri dan bergerak terus ke bawah (perlocation) ke dalamdaerah jenuh (saturated zone) yang terdapat di bawah permukaan air tanah (Rusli, 2008).

2.2.1 Pengertian Infiltrasi

Secara umum peresapan air merupakan proses masuknya air hujan ke dalam tanah sebagai akibat adanya gaya kapiler dan gaya gravitasi dengan cara infiltrasi maupun perkolasi ke lapisan tanah yang lebih dalam. Infiltrasi merupakan cara air bergerak ke dalam tanah melalui celah-celah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan. Dengan pengaruh gaya gravitasi air hujan akan masuk ke dalam tanah melalui pori-pori tanah dan gaya kapiler akan mengalirkan air tersebut ke atas ke bawah dan ke arah horizontal.

Sedangkan laju peresapan air adalah kecepatan masuknya air hujan ke dalam tanah selama hujan berlangsung karena faktor alam maupun berkat adanya campur tangan manusia. Laju peresapan air dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : tekstur tanah, bahan organik tanah, kepadatan tanah, jenis dan jumlah.

Pengertian infiltrasi (infiltration) sering dicampurkan-adukkan untuk kepentingan praktis dengan pengertian perkolasi (percolation). Yang terakhir ini merupakan proses aliran air dalam tanah secara vertical akibat gaya berat. Memang keduanya saling berpengaruh akan tetapi hendaknya secara teoretik pengertian keduanya dibedakan.


(5)

Dalam kaitan ini terdapat dua pengertian tentang kuantitas infiltrasi, yaitu kapasitas infiltrasi, dan laju infiltrasi.

a) Kapasitas infiltrasi adalah laju infiltrasi maksimum untuk suatu jenis tanah tertentu, Kapasitas infiltrasi terjadi ketika intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam menyerap kelembaban tanah. Sebaliknya apabila intensitas hujan lebih kecil dari pada kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan.

b) Laju infiltrasi adalah laju infiltrasi nyata suatu jenis tanah tertentu. Laju infiltrasi umumnya dinyatakan dalam satuan yang sama dengan satuan intensitascurah hujan, yaitu millimeter per jam (mm/jam). Air infiltrasi yang tidak kembali lagi ke atmosfer melalui proses evapotranspirasi akan menjadi air tanah untuk seterusnya mengalir ke sungai disekitar.

(a) (b)

Gambar 2. 3 Skema Infiltrasi dan Perlokasi pada Dua Lapis Tanah (www.google.com)

a) Infiltrasi Besar dengan Perlokasi Kecil. b) Infiltrasi Kecil dengan Perlokasi Besar.

Secara fisik terdapat faktor yang berpengaruh, yaitu: jenis tanah, kepadatan tanah, kelembaban tanah, tutup tumbuhan (vegetation cover), kemiringan suatu daerah, penambahan zat kimia pada tanah dan menutup areal permukaan tanah (top soil). Setiap jenis tanah mempunyai laju infiltrasi


(6)

karakteristik yang berbeda, yang bervariasi dari yang sangat tinggi sampai yang sangat rendah. Jenis tanah berpasir umumnya cenderung mempunyai laju infiltrasi yang tinggi, akan tetapi tanah liat sebaliknya, cenderung mempunyai laju infiltrasi yang rendah. Untuk satu jenis tanah yang sama dengan kepadatan yang berbeda mempunyai laju infiltrasi yang berbeda pula. Makin padat suatu kondisi tanah, maka makin kecil pula laju infiltrasinya, begitu juga sebaliknya, makin renggang suatu kondisi butir-butir tanah, maka laju infiltrasinya akan semakin besar pula.

Kelembaban tanah yang selalu berubah-ubah setiap saat juga berpengaruh terhadap laju infiltrasi. Makin tinggi kadar air dalam tanah, maka laju infiltrasi tanah tersebut makin kecil. Pengaruh tanaman diatas permukaan tanah terdapat dua pengaruh, yaitu berfungsi sebagai penghambat aliran di permukaan tanah sehingga kesempatan untuk berinfiltrasi akan semakin besar, sedangkan yang kedua adalah, sistem akar-akaran yang dapat lebih menggemburkan struktur tanahnya sehingga laju infiltrasi dapat menjadi cepat. Maka makin baik tutup tanaman yang ada, laju infiltrasi cenderung lebih tinggi. Kemiringan lahan memberikan pengaruh yang kecil terhadap infiltrasi, walaupun begitu, terdapat perbedaan infiltrasi antara lahan datar dengan lahan miring. Infiltrasi pada lahan datar akan lebih besar daripada lahan miring.

Penambahan bahan kimia dalam tanah ada dua jenis. Yang pertama dimaksudkan untuk memperkuat formasi agregate tanah, sehingga struktur tanah menjadi diperbaiki. Akibatnya bukan saja infiltrasi yang meningkat, tetapi juga pergerakan air di dalam tanah (perkolasi). Apabila permukaan tanah tertutup oleh suatu bahan seperti beton, batako, dan sebagainya, maka areal tanah tersebut tidak bisa berinfiltrasi sama sekali.


(7)

2.2.2 Proses Infiltrasi

Salah satu proses yang berkaitan dengan distribusi air hujan yang jatuh ke permukaan bumi adalah infiltrasi. Infiltrasi merupakan proses masuk atau meresapnya air dari atas permukaan tanah ke dalam bumi. Jika air hujan meresap ke dalam tanah maka kadar lengas tanah meningkat hingga mencapai kapasitas lapang. Pada kondisi kapasitas lapang air yang masuk menjadi perkolasi dan mengisi daerah yang lebih rendah energi potensialnya sehingga mendorong terjadinya aliran antara (interflow) dan aliran bawah permukaan lainnya (base flow). Air yang berada pada lapisan air tanah jenuh dapat pula bergerak ke segala arah (ke samping dan ke atas) dengan gaya kapiler atau dengan bantuan penyerapan oleh tanaman melalui tudung akar.

Proses infiltrasi sangat ditentukan oleh waktu. Jumlah air yang masuk kedalam tanah dalam suatu periode waktu disebut laju infiltrasi. Laju infiltrasi pada suatu tempat akan semakin kecil seiring kejenuhan tanah oleh air. Pada saat tertentu laju infiltrasi menjadi tetap. Nilai laju inilah yang kemudian disebut laju perkolasi.

Ketika air hujan jatuh di atas permukaan tanah, tergantung pada kondisi biofisik permukaan tanah, sebagian atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir masuk ke dalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah. Proses mengalirnya air hujan ke dalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Di bawah pengaruh gaya gravitasi air hujan mengalir vertikal kedalam tanah, sedangkan pada gaya kapiler bersifat mengalirkan air tersebut tegak lurus keatas, ke bawah, dan kearah horizontal (lateral). Gaya kapiler bekerja nyata pada tanah dengan pori-pori yang relativ kecil.


(8)

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Infiltrasi

Perpindahan air dari atas ke dalam permukaan tanah baik secara vertikal maupun secara horizontal disebut infiltrasi. Banyaknya air yang terinfiltrasi dalam satuan waktu disebut laju infiltrasi. Besarnya laju infiltrasi (f ) dinyatakan dalam mm/jam atau mm/hari. Laju infiltrasi akan sama dengan intensitas hujan (I), bila laju infiltrasi tersebut lebih kecil dari daya infiltrasinya. Jadi f ≤ fp dan f ≤ I (Seyhan, 1990).

Infiltrasi berubah-ubah sesuai dengan intensitas curah hujan. Akan tetapi setelah mencapai limitnya, banyaknya infiltrasi akan berlangsung terus sesuai dengan kecepatan absorbsi setiap tanah. Pada tanah yang sama kapasitas infiltrasinya berbeda-beda, tergantung dari kondisi permukaan tanah, struktur tanah, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain. Di samping intensitas curah hujan, infiltrasi berubah-ubah karena dipengaruhi oleh kelembaban tanah dan udara yang terdapat dalam tanah.

Beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi laju infiltrasi adalah sebagai berikut:

1. Tinggi genangan air di atas permukaan tanah dan tebal lapisan tanah yang jenuh.

2. Kadar air atau lengas tanah.

3. Pemadatan tanah oleh curah hujan.

4. Penyumbatan pori tanah mikro oleh partikel tanah halus seperti bahan endapan dari partikel liat.

5. Pemadatan tanah oleh manusia dan hewan akibat traffic line oleh alat olah. 6. Struktur tanah.


(9)

7. Kondisi perakaran tumbuhan baik akar aktif maupun akar mati (bahan organik). 8. Proporsi udara yang terdapat dalam tanah.

9. Topografi atau kemiringan lahan Intensitas hujan. 10. Kekasaran permukaan tanah.

11. Kualitas air yang akan terinfiltrasi. 12. Suhu udara tanah dan udara sekitar

Apabila semua faktor-faktor di atas dikelompokkan, maka dapat dikategorikan menjadi dua faktor utama yaitu:

1. Faktor yang mempengaruhi air untuk tinggal di suatu tempat sehingga air mendapat kesempatan untuk terinfiltrasi (oppurtunity time).

2. Faktor yang mempengaruhi proses masuknya air ke dalam tanah.

Oleh karena itu, infiltrasi juga biasanya disebut sebagai aliran air yang masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler dan gravitasi. Laju air infiltrasi yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi dibatasi oleh besarnya diameter pori-pori tanah. Tanah dengan pori-pori jenuh air mempunyai kapasitas lebih kecil dibandingkan dengan tanah dalam keadaan kering (Asdak, 2007).

Dengan demikian, mekanisme infiltrasi melibatkan tiga proses yang tidak saling mempengaruhi (Asdak, 2007):

1. Proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah. 2. Tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah.

3. Proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain (bawah, samping dan atas). Pengukuran laju infiltrasi dapat dilakukan pada permukaan tanah, pada kedalam tertentu, pada lahan kosong atau pada lahan bervegetasi. Walaupun satuan infiltrasi serupa dengan konduktivitas hidraulik, terdapat perbedaan antara


(10)

keduanya. Laju infiltrasi memiliki kegunaan seperti studi pembuangan limbah cair, evaluasi potensi lahan tanki septik, efisiensi pencucian dan drainase, kebutuhan irigasi, penyebaran air dan imbuhan air tanah, dan kebocoran saluran atau bendungan dan kegunaan lainnya.

2.2.4 Pengaruh Tekstur/Bentuk Tanah Terhadap Laju Infiltrasi

Jumlah dan ukuran pori yang menentukan adalah jumlah pori-pori yang berukuran besar. Makin banyak pori-pori besar maka kapasitas infiltrasi makin besar pula. Atas dasar ukuran pori tersebut, liat kaya akan pori halus dan miskin akan pori besar. Sebaliknya fraksi pasir banyak mengandung pori besar dan sedikit pori halus. Dengan demikian kapasitas infiltrasi pada tanah-tanah pasir jauh lebih besar daripada tanah liat.

Tanah-tanah yang bertekstur kasar menciptakan struktur tanah yang ringan. Sebaliknya tanah-tanah yang terbentuk atau tersusun dari tekstur tanah yang halus menyebabkan terbentuknya tanah-tanah yang bertekstur berat. Tanah dengan struktur tanah yang berat mempunyai jumlah pori halus yang banyak dan miskin akan pori besar. Sebaliknya tanah yang ringan mengandung banyak pori besar dan sedikit pori halus.

Dengan demikian kapasitas infiltrasi dari kedua jenis tanah tanah tersebut akan berbeda pula, yaitu tanah yang berstruktur ringan kapasitas infiltrasinya akan lebih besar dibandingkan dengan tanah-tanah yang berstruktur berat. Menurut Kusnaedi (2002), laju infiltrasi berbeda menurut jenis tanahnya seperti pada Tabel berikut ini.


(11)

Tabel 2. 1 Tekstur Tanah dengan Kecepatan Infiltrasi Kecepatan

Infiltrasi (cm/jam)

Kriteria

25.00 – 50.00 Sangat Cepat 12.50 – 25.00 Cepat

7.50 – 15.00 Sedang 0.50 – 2.50 Lambat

< 0.50 Sangat Lambat Sumber : Kusnaedi, 2011

2.2.5 Arti Penting dari Infiltrasi.

Infiltrasi mempunyai arti penting terhadap beberapa hal berikut : a) Proses limpasan (run off)

Daya infiltrasi menentukan banyaknya air hujan yang dapat diserap kedalam tanah. Makin besar daya infiltrasi, perbedaan antara intensitas hujan dengan daya infiltrasi menjadi makin kecil. Akibatnya limpasan permukaannya makin kecil, sehingga debit puncaknya juga akan lebih kecil.

b) Pengisian lengas tanah (soil moisture) dan air tanah

Pengisian lengas tanah dan air tanah penting untuk tujuan pertanian. Akar tanaman menembus zone tidak jenuh dan menyerap air yang diperlukan untuk evapotranspirasi dari zona tidak jenuh. Pengisian kembali lengas tanah sama dengan selisih antara infiltrasi dan perkolasi (jika ada). Pada permukaan air tanah yang dangkal dalam lapisan tanah yang berbutir tidak begitu besar, pengisian kembali lengas tanah ini dapat pula diperoleh dari kenaikan kapiler air tanah.


(12)

2.2.6 Pengukuran Infiltrasi di Lapangan

Pada penelitian ini dijelaskan cara mengukur laju infiltrasi di lapangan dengan menggunakan alat single ring infiltrometer.

Single ring infiltrometer dalam bentuk yang paling sederhana terdiri atas tabung baja yang ditekankan ke dalam tanah. Permukaan tanah di dalam tabung diisi air. Tinggi air dalam tabung akan menurun, karena proses infiltrasi. Kemudian banyaknya air yang ditambahkan untuk mempertahankan tinggi air dalam tabung tersebut harus diukur.Makin kecil diameter tabung makin besar gangguan akibat aliran ke samping di bawah tabung. Dengan cara ini infiltrasinya dapat dihitung dari banyaknya air yang ditambahkan kedalam tabung sebelah dalam per satuan waktu.

Gambar 2.4 Single Ring Infitrometer (www.google.com)

Selain menggunakan alat single ring infiltrometer, pengukuran laju infiltrasi di lapangan dapat juga diukur dengan cara berikut:


(13)

A. Testplot

Pengukuran infiltrasi dengan infiltrometer hanya dapat dilakukan terhadap luasan yang kecil saja, sehingga sukar untuk mengambil kesimpulan terhadap besarnya infiltrasi bagi daerah yang lebih luas. Untuk mengatasi hal ini dipilih tanah datar yang dikelilingi tanggul dan digenangi air. Daya infiltrasinya didapat dari banyaknya air yang ditambahkan agar permukaannya konstan. Jadi testplot sebenarnya adalah infiltrometer yang berskala besar.

B. Lysimeter

Lysimeter merupakan alat pengukur berupa tangki beton yang ditanam dalam tanah diisi tanah dan tanaman yang sama dengan sekelilingnya, dilengkapi dengan fasilitas drainage dan pemberian air.

Setelah data-data pengukuran infiltrasi di lapangan menggunakan alat single ring infiltrometer telah didapatkan, selanjutnya pengolahan data dilakukan dengan menggunakan rumus metode Horton.

2.2.7 Metode Horton

Metode Horton adalah salah satu model infiltrasi yang terkenal dalam hidrologi. Horton mengakui bahwa kapasitas infiltrasi berkurang seiring dengan bertambahnya waktu hingga mendekati nilai yang konstan. Ia menyatakan pandangannya bahwa penurunan kapasitas infiltrasi lebih dikontrol oleh faktor yang beroperasi di permukaan tanah dibanding dengan proses aliran di dalam tanah. Faktor yang berperan untuk pengurangan laju infiltrasi seperti penutupan retakan tanah oleh koloid tanah dan pembentukan kerak tanah, penghancuran struktur permukaan lahan dan pengangkutan partikel halus dipermukaan tanah


(14)

oleh tetesan air hujan. Metode Horton dapat dinyatakan secara matematis mengikuti persamaan berikut:

f(t) = fc + (fo fc ) e-kt di mana: f(t) = Laju infiltrasi nyata (cm/jam),

fc = Laju infiltrasi tetap (cm/jam), fo = Laju infiltrasi awal (cm/jam), k = Konstanta geofisik,

t = Waktu (jam).

Model ini sangat simpel dan lebih cocok untuk data percobaan. Parameter fo, fc dan k didapat dari pengukuran di lapangan dengan menggunakan single ring infitrometer. Rumus Horton di atas ditransposisikan sebagai berikut:

f(t) - fc = (fo - fc) e-kt Kemudian persamaan tersebut di log kan menjadi:

Log ( f(t) - fc ) = log (fo - fc) kt log e atau

Log (f(t) - fc ) - log (fo - fc) = kt log e

log (f(t) fc log(fo fc) Atau

log (f(t) fc -

log (f(t) fc)

Persamaan diatas sama dengan :

Y = t m = -


(15)

x = Log ( f(t) f(c) C = Log

( f(t) f(c)

Dengan demikian persamaan ini dapat diwakilkan dalam sebuah garis lurus yang mempunyai nilai m =

.

2.3 Klasifikasi Tanah

Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengaturan beberapa jenis tanah yang berbeda tetapi mempunyai sifat yang serupa ke dalam kelompok-kelompok dan subkelompok-kelompok berdasarkan pemakaiannya. Sistem klasifikasi memberikan suatu bahasan yang mudah untuk menjelaskan secara singkat sifat-sifat umum tanah yang sangat bervariasi tanpa penjelasan yang terperinci.

Sebagian besar sistem klasifikasi tanah yang telah dikembangkan untuk tujuan rekayasa didasarkan pada sifat-sifat indeks tanah yang sederhana seperti distribusi ukuran butiran dan plastisitas. Walaupun saat ini terdapat berbagai sistem klasifikasi tanah, tetapi tidak ada satupun dari sistem-sistem tersebut yang benar benar memberikan penjelasan yang tegas segala kemungkinan pemakaiannya. Hal ini disebabkan karena sifat-sifat tanah yang sangat bervariasi.

2.3.1 Klasifikasi Tanah Berdasarkan Tekstur/Bentuk

Dalam arti umum, yang dimaksud dengan tekstur tanah adalah keadaan permukaan tanah yang bersangkutan. Tekstur tanah dipengaruhi oleh ukuran tiap-tiap butir yang yang ada di dalam tanah. Tanah dibagi dalam beberapa kelompok antara lain; kerikil (gravel), pasir (sand), lanau (silt), dan lempung (clay), atas dasar ukuran butir-butirnya.


(16)

Pada umumnya tanah asli merupakan campuran dari butir-butir yang merupakan ukuran yang berbeda-beda. Dalam sistem klasifikasi tanah berdasarkan tekstur, tanah diberi nama atas dasar komponen utama yang dikandungnya, misalnya lempung berpasir (sand clay), lempung berlanau (silt clay) dan seterusnya. Beberapa sistem klasifikasi berdasarkan tekstur tanah telah dikembangkan sejak dulu oleh berbagai organisasi guna memenuhi kebutuhan mereka sendiri, beberapa dari sistem-sistem tersebut masih dipakai hingga saat ini, sistem klasifikasi berdasar tekstur tanah yang dikembangkan oleh departemen pertanian amerika (USDA). Sistem ini didasarkan pada ukuran batas dari butiran tanah seperti diterangkan oleh sistem USDA, yaitu:

Pasir : butiran dengan diameter 2,0 - 0,05 mm.

Lanau : butiran dengan diameter 0,05 - 0,002 mm.

Lempung : butiran dengan diameter lebih kecil dari 0,002 mm.

2.4 Koefisien Permeabilitas

Permeabilitas adalah tanah yang dapat menunjukkan kemampuan tanah meloloskan air. Tanah dengan permeabilitas tinggi dapat menaikkan laju infiltrasi sehingga menurunkan laju air larian. Pada ilmu tanah, permeabilitas didefenisikan secara kualitatif sebagai pengurangan gas-gas, cairan-cairan atau penetrasi akar tanaman atau lewat.

Proses pengisian air pada sumur resapan untuk mengalami peresapan merupakan imbuhan buatan (artificial recharge). Oleh karena dalam proses itu semata-mata karena pengaruh gravitasi bumi, maka sifat tanah sebagai media peresap akan memiliki arti yang sangat penting. Sifat fisik tanah untuk


(17)

mengalirkan air dalam bentuk rembesan itu ditunjukan dengan koefisien permeabilitas. Koefesien permeabilitas (coefficient of permeability) mempunyai satuan yang sama seperti kecepatan. Isilah koefesien permebilitas sebagian besar digunakan oleh para ahli teknik tanah (geoteknik). Koefisien permeabilitas tanah tergantung pada beberapa faktor, yaitu kekentalan cairan, distribusi ukuran pori-pori, distribusi ukuran butir, angka pori-pori, kekasaran permukaan butiran tanah dan derajat kejenuhan tanah. Pada tanah lempung, struktur tanah memegang peranan penting dalam menentukan koefisien permeabilitas. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi sifat rembesan tanah lempung adalah konsentrasi ion dan ketebalan lapisan air yang menempel pada butiran lempung. Harga koefisien permeabilitas (K) untuk tiap-tiap tanah adalah berbeda beda.

Tabel 2. 2 Harga Koefisien Permeabilitas pada Umumnya

Jenis tanah K

(cm/detik) (ft/menit)

Kerikil bersih 1.00 – 100 2.00 - 200

Pasir kasar 1.00 – 0.01 2.00 - 0.02

Pasir halus 0.01 – 0.001 0.02 – 0.002 Lanau 0.001 – 0.00001 0.002 – 0.00002 Lempung Kurang dari 0.000001 Kurang dari 0.000002 Sumber: Buku Mekanika Tanahh Jilid I (Das, 1985)

Penentuan harga koefisien permeabilitas (k) suatu tanah bisa didapat dari pengujian laboratorium ataupun pengujian di lapangan. Untuk menentukan koefisien permeabilitas di laboratorium dapat dilakukan dengan:

a) Pengujian tinggi energy tetap (constant head permeability test). b) Pengujian tinggi energy jatuh (falling head permeability test).

Sedangkan untuk menentukan koefisien permeabilitas di lapangan dapat dilakukan dengan:


(18)

a) Uji pemompaan (pumping test) b) Uji perlokasi (auger hoole test)

Uji koefisien permeabilitas tanah dapat dilaksanakan di laboratorium Mekanika Tanah, yaitu:

2.4.1 Constant Head Permeability Test

Percobaan ini dilakukan dengan pemberian tegangan tetap. Sampel tanah yang di pakai adalah tanah yang memiliki daya rembes besar, misalnya pasir. Untuk menentukan nilai k, kita langsung mengukur banyaknya air yang masuk dan keluar dari tanah tersebut dalam jangka waktu tertentu.

Setelah data-data hasil percobaan dicatat , kemudian koefisien rembesan dihitung dengan turunan rumus:

Qmasuk = Qkeluar

Qmasuk = A.V.k A(ki).t Qkluar = * T

Maka : K =

di mana: Q = Volume air yang dikumpulkan (cm3 ), As = Luas penampang sampel tanah (cm2 ), t = waktu (detik),


(19)

2.4.2 F alling Head Permeability Test

Untuk percobaan ini, tegangan yang diberikan terhadap contoh tanah tidak tetap. Sampel yang dipakai adalah tanah yang daya rembesnya kecil, misalnya lempung. Pada cara ini, air yang masuk ke sampel tanah melalui pipa berdiameter kecil. Untuk menentukan nilai (k) dilakukan dengan mengukur penurunan ketinggian air pada pipa tersebut sehingga tegangan air tidak tetap

Gambar 2. 5 Skema Proses Alat F alling Head Permeability Test (www.google.com)

Jumlah air yang mengali melalui contoh tanah pada waktu (T) yaitu: Q =


(20)

Debit masuk (Qi) = Debit keluar (Qo)

= -a

(tinggi air berkurang )

dt =

(-

dt =

t =

(

ln (h1 –h2)

t =

t = 2,303

K

=

2,303

di mana : K = Koefisien permeabilitas tanah (cm/detik), a = Luas penampang pipa (cm2 ),

L = Panjang sampel tanah (cm2),

A = Luas penampang sampel tanah(cm ), t = Interval penurunan ℎ1 ke ℎ2 (detik),

ℎ1 = Ketinggian mula-mula air pada interval waktu tertentu (cm), dan ℎ2= Ketinggian akhir air pada interval waktu tertentu (cm)

2.5 Analisis Hidrologi

Hidrologi merupakan bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari kejadiankejadian serta penyebaran/distribusi air secara alami di bumi. Unsur hidrologi yang dominan disuatu wilayah adalah curah hujan, oleh sebab itu data


(21)

curah hujan suatu daerah merupakan data utama dalam menentukan besarnya debit banjir rencana maupun debit andalan yang terjadi pada daerah tersebut. 2.5.1 Perhitungan Parameter Statistik

Adapun parameter statistik yang digunakan untuk menentukan jenis distribusi data ialah sebagai berikut:

a. Harga Rata-rata (X) Rumus:

X =

di mana X= Curah hujan rata–rata (mm),

Xi= Curah hujan di stasiun hujan ke-i (mm) n = Jumlah data.

b. Standar Deviasi ( Sd) Rumus:

di mana Sd= Standar deviasi,

X = Curah hujan rata – rata (mm),

Xi = Curahhujan di stasiun hujan ke i (mm), dan n = Jumlah data.

c. Koefisien Skewness (Cs )

Kemencengan (Skewness) adalah suatu nilai yang menunjukan derajat ketidaksimetrisan dari suatu bentuk distribusi.


(22)

Rumus:

Cs =

di mana = :Cs = Koefisien Skewness, Sd = Standar deviasi,

X= Curah hujan rata-rata (mm),

Xi= Curah hujan di stasiun hujan ke i (mm), n = Jumlah data.

d. Koefisien Kurtosis (Ck)

Pengukuran kurtosis dimaksud untuk mengukur keruncingan dari bentuk kurva distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi normal.

Rumus:

di mana : Ck= Koefisien Kurtosis, Sd = Standar deviasi,

X = Curah hujan rata–rata (mm),

Xi = Curah hujan di stasiun hujan ke i (mm), n = Jumlah data.

e. Koefisien Variasi (Cv)

Koefisien variasi adalah nilai perbandingan antara deviasi standar dengan nilai rata-rata hitung suatu distribusi.

Rumus:


(23)

di mana : Cv= Koefisien variasi, Sd = Standar deviasi,

X = Curah hujan ratarata(mm). 2.5.2 Penentuan Jenis Distribusi Data

Untuk menentukan jenis distribusi data, digunakan beberapa pendekatan yang bertujuan agar jenis distribusi data yang dipilih sesuai dengan keadaan data yang ada. Adapun beberapa pendekatan yang dilakukan, yaitu:

1. Berdasarkan hasil perhitungan parameter statistik.

Hasil perhitungan parameter statistik ditunjukan oleh Tabel 2. 3 berikut ini: Tabel 2.3 Berdasarkan Hasil Perhitungan Parameter Statistik

NO Jenis Distribusi Syarat

1 Normal Cs 0 dan Ck 3

2 Log Normal Cs 3Cv + Cv³ dan

Ck Cv8 + 6Cv6 + 15Cv4 + 16Cv2 + 3 3 Gumbel Tipe I Cs = 1,1396 dan Ck = 5,4002 4 Log Person Tipe III Selain dari nilai di atas Sumber: Buku Hidrologi Terapan (Triatmodjo, 2008).

2. Berdasarkan plotting terhadap kertas probabilitas.

Jenis distribusi data dapat diamati dari garis yang terbentuk oleh titik-titik hasil plotting data pada kertas probabilitas. Apabila plotting titik-titik pada kertas probabilitas tersebut mendekati garis lurus, berarti pemilihan distribusinya semakin mendekati benar.

2.5.3 Curah Hujan Rencana

Perhitungan curah hujan rencana digunakan untuk memperkirakan besarnya hujan dengan periode ulang tertentu. Berdasarkan curah hujan rencana tersebut kemudian dicari intensitas hujan yang digunakan untuk mencari debit banjir rencana. Untuk memperkirakan curah hujan rencana dilakukan dengan


(24)

analisis frekuensi data hujan. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam menghitung analisis frekuensi data hujan, yaitu:

a. Metode Normal (Cara Analitis)

Adapun persamaan-persamaan yang digunakan pada perhitungan dengan Metode Normal atau disebut pula distribusi Gauss ialah sebagai berikut:

XT =X + (K.Sd )

di mana: XT = Curah hujan dengan periode ulang T tahun (mm),

X = Harga ratarata curah hujan (mm), Sd = Standar deviasi (simpangan baku),

k = Nilai variabel reduksi Gauss periode ulang T tahun. Tabel 2. 4 Nilai Variabel Reduksi Gauss (K) Periode

Ulang T (Tahun)

Peluang K

Periode Ulang T (Tahun)

Peluang k

1,001 0,999 -3,05 2,5 0,400 0,25

1,005 0,995 -2,58 3,3 0,300 0,52

1,010 0,990 -2,33 4 0,250 0,67

1,050 0,950 -1,64 5 0,200 0,84

1,110 0,900 -1,28 10 0,100 1,28

1,250 0,800 -0,84 20 0,050 1,64

1,330 0,750 -0,67 50 0,020 2,05

1,430 0,700 -0,52 100 0,010 2,33

1,670 0,600 -0,25 200 0,005 2,58

2 0,500 0 500 0,002 2,88

1000 0,001 3,09

Sumber: Buku Hidrologi Terapan (Harto, 1981)

b. Metode Gumbel Tipe I

Untuk menghitung curah hujan rencana dengan metode distribusi Gumble Tipe I digunakan persamaan distribusi frekuensi empiris sebagai berikut (Soewarno, 1995):


(25)

XT = X +

di mana XT = Curah hujan dengan periode ulang T tahun (mm),

X = Harga ratarata curah hujan (mm). Sd = Standar deviasi (simpangan baku).

XT = Nilai reduksi variasi dari variabel yang diharapkan terjadi pada periode

ulang tertentu, hubungan antara periode ulang T dengan Y dapat dilihat pada Tabel 2.8 . (untuk T ≥ 20, maka = ln T)

= Nilai rata-rata dari reduksi variasi (mean of reduce variate) nilainya tergantung dari jumlah data (n), seperti yang ditunjukan pada Tabel 2. 6 Sn = Standar deviasi dari reduksi cariasi (mean of reduced) nilainya tergantung

dari jumlah data (n), seperti yang ditunjukan pada Tabel 2. 7. Tabel 2.5 Nilai Rata-rata dari Reduksi (Yn)

N 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 0,4952 0,4996 0,5070 0,5070 0,5157 0,5128 0,5180 0,5202 0,5220 20 0,5236 0,5252 0,5283 0,5283 0,5300 0,5820 0,5882 0,5343 0,5353 30 0,5363 0,5371 0,5388 0,5388 0,5400 0,5410 0,5418 0,5424 0,5430 40 0,5463 0,5442 0,5453 0,5458 0,5468 0,5468 0,5473 0,5477 0,5481 50 0,5485 0,5489 0,5497 0,5501 0,5504 0,5508 0,5511 0,5515 0,5518 60 0,5521 0,5524 0,5530 0,5533 0,5535 0,5538 0,5540 0,5543 0,5545 70 0,5548 0,5550 0,5555 0,5557 0,5559 0,5561 0,5563 0,5565 0,5567 80 0,5569 0,5570 0,5574 0,5576 0,5578 0,5580 0,5581 0,5583 0,5587 90 0,5586 0,5587 0,5591 0,5592 0,5593 0,5595 0,5596 0,5596 0,5599 100 0,5600

Sumber: Soemarto, 1999

Tabel 2. 6 Standar Deviasi dari Reduksi Variasi (Sn)

N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 0,9496 0,9676 0,9633 0,9971 1,0097 1,0206 1,0316 1,0411 1,0493 1,0565

20 1,0626 1,0696 1,0754 1,0811 1,0864 1,0315 1,0961 1,1004 1,1047 1,1080

30 1,1124 1,1159 1,1193 1,1226 1,1255 1,1285 1,1313 1,1339 1,1363 1,1388

40 1,1413 1,1436 1,1458 1,1480 1,1499 1,1597 1,1538 1,1557 1,1574 1,1590

50 1,1607 1,1923 1,1638 1,1658 1,1667 1,1687 1,1696 1,1708 1,1721 1,1734


(26)

Tabel 2. 7 Nilai Reduksi Variasi (Yt) Periode Ulang (Tahun) Reduced Variated

2 0,3665

5 1,4999

10 2,2502

20 2,9606

25 3,1985

50 3,9019

100 4,6001

200 5,2960

500 6,2140

1000 6,9190

5000 8,5390

10000 9,9210

Sumber: Soemarto, 1999

c. Metode Log Pearson Tipe III

Metode Log Pearson Tipe III apabila digambarkan pada kertas peluang logaritmik akan merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model matematik dangan persamaan sebagai berikut (Soewarno, 1995).

Log XT = Log X + K * Sd

di mana: Log XT = Nilai logaritma curah hujan dengan periode ulang tertentu,

Log X = Nilai logaritma rata-rata curah hujan Sd = Standar deviasi dan

K =Karakteristik distribusi peluang Log Pearson Tipe III

Langkah-langkah perhitungan kurva distribusi Log Pearson Tipe III adalah: a) Tentukan logaritma dari semua nilai X


(27)

c) Hitung nilai deviasi standarnya dari log X

d) Hitung nilai koefisien kemencengan (CS):

e) Sehingga persamaanya dapat ditulis:

f) Tentukan anti log dari log XT, untuk mendapatkan nilai X yang diharapkan

terjadi pada tingkat peluang atau periode ulang tertentu sesuai dengan nilai koefisien kemencengan (Cs).

d. Metode Log Normal.

Metode Log Normal apabila digambarkan pada kertas peluang logaritmik akan merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model matematik dengan persamaan sebagai berikut (Soewarno, 1995):

XT = X+ K.Sd

di mana: XT = Besarnya curah hujan yang diharapkan terjadi pada periode ulang

X = Harga rata-rata curah hujan (mm), Sd = Standar deviasi (simpangan baku).

K = Karakteristik distribusi peluang log-normal 3 parameter yang merupakan fungsi dari koefisien kemencengan (Cs).


(28)

2.5.4 Analisis Intensitas Curah Hujan.

Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu. Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya cenderung makin tinggi dan makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin tinggi pula intensitasnya.

Langkah pertama dalam perencanaan sumur resapan yaitu menentukan debit yang harus diperhitungkan. Besarnya debit (banjir) perencanaan ditentukan oleh intensitas hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu di mana air tersebut berkonsentrasi. Analisis intensitas curah hujan ini dapat diproses dari data curah hujan yang telah terjadi pada masa lampau.

Intensitas curah hujan yang dinyatakan dengan (I) menyatakan besarnya curah hujan dalam jangka pendek yang memberikan gambaran derasnya hujan per jam. Untuk mengubah curah hujan menjadi intensitas curah hujan dapat digunakan 2 metode sebagai berikut :

1. Metode Van Breen.

Metode ini beranggapan bahwa besarnya atau lama durasi hujan harian adalah berpusat selama 4 jam dengan hujan efektif sebesar 90% dari hujan selama 24 jam

(Kamiana, 2011). Rumus:

I =

di mana I= Intensitas hujan (mm/jam)


(29)

Berdasarkan rumus di atas, maka dapat dibuat suatu kurva durasi intensitas hujan. Dimana Van Breen mengambil bentuk kurva kota Jakarta sebagai kurva basis. Kurva basis tersebut dapat memberikan kecendrungan bentuk kurva untuk daerah-daerah lain di Indonesia pada umumnya. Berdasarkan pada kurva pola Van Breen kota Jakarta, besarnya intensitas hujan dapat didekati dengan persamaan:

di mana IT= Intensitas hujan (mm/jam) pada PUH,

t = Durasi waktu hujan (menit), dan

RT = Curah hujan harian maksimum PUH T (mm/24jam). 2. Metode Hasfer Der Weduwen.

Metode ini merupakan hasil penyelidikan di Indonesia yang dilakukan oleh Hasfer dan Weduwen. Penurunan rumus diproleh berdasarkan kecenderungan curah hujan harian yang dikelompokkan atas dasar anggapan bahwa hujan mempunyai distribusi yang simetris dengan durasi hujan (t) lebih kecil dari 1 jam dan durasi hujan sampai 24 jam (Kamiana, 2011).

Persamaan yang digunakan adalah:

Setelah mendapatkan nilai dari persamaan diatas kemudian hitung intensitas curah hujan dengan persamaan berikut ini:


(30)

di mana :I = Intensitas hujan (mm/jam) dan R = Curah hujan (mm).

2.5.5 Analisis Penentuan Metode Perhitungan Intensitas Curah Hujan Setelah kedua metode tersebut dilakukan maka selanjutnya dilakukan perhitungan penentuan/pendekatan intensitas hujan. Curah ini dimaksudkan untuk menentukan persamaan intensitas yang paling mendekati untuk daerah perencanaan. Metode yang digunakan adalah metode perhitungan dengan cara kuadrat terkecil. Menurut Suripin (2004), ada 3 metode yang dapat digunakan, yaitu:

2.5.5.1Metode Sherman (1905), menjelaskan bahwa intensitas curah hujan (I) sebagai berikut:

di mana: I = Intensitas curah hujan (mm/jam), t = Lamanya curah hujan (menit),

a,b = Konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi di daerah aliran, dan

n = Banyaknya pasangan data i dan t.

2.5.5.2Metode Ishiguro (1953), menentukan intensitas curah hujan (I) sebagai berikut:


(31)

di mana : I = Intensitas curah hujan (mm/jam), T = Lamanya curah hujan (menit)

a,b = Konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi di daerah aliran

n = Banyaknya pasangan data i dan t. 2.5.5.3Metode Talbot (1881)

rumus ini banyak digunakan karena mudah diterapkan dimana tetapan tetapan a dan b ditentukan dengan harga-harga yang di ukur. Untuk menentukan intensitas curah hujan (I) dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

di mana :I = Intensitas curah hujan (mm/jam), t = Lamanya curah hujan (menit),

a,b = Konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi di daerah aliran, dan

n = Banyaknya pasangan data i dan t.

Untuk pemilihan rumus intensitas hujan dari ketiga rumus diatas, maka harus dicari selisih terkecil antara I asal dan I teoritis bedasarkan rumus di atas. Persamaan intensitas dengan selisih terkecil itulah yang dipakai untuk perhitungan debit. Kemudian dilakukan penggambaran kurva IDF yang dimaksud untuk menggambarkan persamaan-persamaan intensitas hujan yang dapat digunakan.


(32)

2.6 Sumur Resapan 2.6.1 Pengertian

Sumur resapan merupakan sumur atau lubang pada permukaan tanah yang dibuat untuk menampung air hujan agar dapat meresap ke dalam tanah. Sumur resapan ini kebalikan dari sumur air minum. Sumur resapan merupakan lubang untuk memasukkan air ke dalam tanah, sedangkan sumur air minum berfungsi untuk menaikkan air tanah ke permukaan. Dengan demikian, konstruksi dan kedalamannya berbeda. Sumur resapan digali dengan kedalaman di atas muka air tanah, sedangkan sumur air minum digali lebih dalam lagi atau di bawah muka air tanah.

Gambar 2. 6 Sketsa Sumur Resapan (www.google.com) 2.6.2 Fungsi Sumur Resapan

Penerapan sumur resapan sangat dianjurkan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa fungsi sumur resapan bagi kehidupan manusia adalah sebagai


(33)

pengendali banjir, melindungi dan memperbaiki (konservasi) air tanah, serta menekan laju erosi.

1. Pengendali banjir

Banjir sering kali menggenangi kawasan pemukiman ketika musim hujan tiba. Terjadinya banjir pada kawasan pemukiman dapat disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya:

a) Pengembangan rumah yang melewati batas garis sempadan bangunan (GSB). b) Sistem drainase yang tidak terencana dengan baik.

c) Masih kurangnya kesadaran para penghuni kawasan permukiman terhadap pengelolaan sampah.

Pada dasarnya pengembangan rumah merupakan suatu kebutuhan dari setiap penghuni kawasan pemukiman sejalan dengan penambahan jumlah anggota keluarga atau untuk kebutuhan lain. Proses pengembangan rumah-rumah pada suatu kawasan pemukiman biasanya berkisar 5-15 tahun atau dapat lebih cepat, tergantung dari lokasi perumahan serta fasilitas umum dan fasilitas sosial yang dimiliki perumahan tersebut.

Pengembangan rumah atau penambahan jumlah ruangan terjadi hampir pada semua lokasi pemukiman. Rumah-rumah cenderung dikembangkan ke arah horisontal dengan pertimbangan biaya konstruksi akan lebih murah jika dibandingkan dengan pengembangan ke arah vertikal. Namun, hal tersebut justru sering mengakibatkan pengembangan rumah yang melewati batas garis sempadan bangunan (antara 3-4 m dari tepi jalan).

Dengan demikian pada musim hujan, volume aliran air permukaan menjadi besar dan volume air yang meresap ke dalam tanah sangat sedikit


(34)

sehingga mengakibatkan genangan banjir. Banjir yang sering melanda beberapa kawasan perumahan telah berlangsung cukup lama, bahkan telah dianggap sebagai rutinitas yang terjadi setiap tahun. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan membangun sumur resapan air pada setiap rumah dalam suatu kawasan perumahan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sumur resapan mampu memperkecil aliran permukaan sehingga dapat menghindari terjadinya genangan aliran permukaan secara berlebihan yang menyebabkan banjir. Banyaknya aliran permukaan yang dapat dikurangi melalui sumur resapan tergantung pada volume dan jumlah sumur resapan. Misalnya, sebuah kawasan yang jumlah rumahnya 5.000 buah, jika masing-masing membuat sumur resapan dengan volume 2 berarti dapat mengurangi aliran permukaan sebesar 10.000 air.

2. Konservasi air tanah

Fungsi lain dari sumur resapan ini adalah memperbaiki kondisi air tanah atau mendangkalkan permukaan air sumur. Di sini diharapkan air hujan lebih banyak yang diresapkan ke dalam tanah menjadi air cadangan dalam tanah. Air yang tersimpan dalam tanah tersebut akan dapat dimanfaatkan melalui sumur-sumur atau mata air.

Peresapan air melalui sumur resapan ke dalam tanah sangat penting mengingat adanya perubahan tata guna tanah di permukaan bumi sebagai konsekuensi dari perkembangan penduduk dan perekonomian masyarakat. Dengan adanya perubahan tata guna tanah tersebut akan menurunkan kemampuan tanah untuk meresapkan air. Hal ini mengingat semakin banyaknya tanah yang tertutupi tembok, beton, aspal, dan bangunan lainnya yang tidak meresapkan air.


(35)

Penurunan daya resap tanah terhadap air dapat juga terjadi karena hilangnya vegetasi penutup permukaan tanah. Penutupan permukaan tanah oleh pemukiman dan fasilitas umum berdampak besar terhadap kondisi air tanah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sumur resapan mampu memperkecil aliran permukaan sehingga dapat menghindari terjadinya genangan aliran permukaan secara berlebihan yang menyebabkan banjir.

3. Menekan laju erosi

Dengan adanya penurunan aliran permukaan maka laju erosi pun akan menurun. Bila aliran permukaan menurun, tanah-tanah yang tergerus dan terhanyut pun akan berkurang. Dampaknya, aliran permukaan air hujan kecil dan erosi pun akan kecil. Dengan demikian, adanya sumur resapan yang mampu menekan besarnya aliran permukaan berarti dapat menekan laju erosi.

2.6.3 Prinsip dan Teori Kerja Sumur Resapan.

Prinsip kerja sumur resapan adalah menyalurkan dan menampung air hujan ke dalam lubang atau sumur agar air dapat memiliki waktu tinggal di permukaan tanah lebih lama sehingga sedikit demi sedikit air dapat meresap ke dalam tanah. Tujuan utama dari sumur resapan adalah memperbesar masuknya air ke dalam akuifer tanah sebagai air resapan (infiltrasi). Dengan demikian, air akan lebih banyak masuk ke dalam tanah dan sedikit yang mengalir sebagai aliran permukaan (run off). Di bawah tanah, air yang meresap ini akan merembes masuk ke dalam lapisan tanah yang disebut lapisan tidak jenuh di mana pada berbagai jenis tanah, lapisan ini masih bisa menyerap air. Dari lapisan tersebut, air akan


(36)

menembus kedalam permukaan tanah (water table) di mana dibawahnya ada air tanah (groundwater) yang terperangkap dalam lapisan akuifer.

Dengan demikian, masuknya air hujan ke dalam tanah akan membuat imbuhan air tanah akan menambah jumlah air tanah dalam lapisan akuifer. Sebagai media yang secara langsung berhubungan dengan lapisan tanah, dalam pengoperasiannya sumur resapan sesungguhnya mengandalkan kemampuan tanah dalam meresapkan air.

Oleh karena itu, perencanaan dimensi sumur resapan berangkat dari sifat fisik tanah khususnya harus bertitik tolak pada keadaan daya rembes tanahnya. Dengan prinsip kerja dari sumur resapan tersebut, maka jika kita ingin membuat sumur resapan pada area halaman rumah kita, kita akan menyalurkan air hujan yang turun di area rumah kita menuju sumur resapan, termasuk air hujan yang turun pada genting atap rumah yang nantinya mengalir menuju talang air. Dari talang, air kita salurkan ke sumur resapan dengan menggunakan pipa (biasanya menggunakan pipa paralon). Sedangkan air hujan yang turun selain di area genteng atap rumah, dapat kita salurkan menuju sumur resapan dengan cara membuat semacam selokan atau got kecil di area rumah kita, yang dibuat dengan kemiringan tertentu, sehingga nantinya air yang masuk ke dalam selokan atau got tersebut dapat mengalir menuju sumur resapan. Untuk membuang kelebihan air yang masuk kedalam sumur resapan, kita bisa membuat pipa pembuangan, yang nantinya berfungsi mengalirkan kelebihan air di dalam sumur resapan menuju saluran drainase/saluran pembuangan didekat rumah kita.


(37)

Gambar 2. 7 Prinsip Kerja Sumur Resapan Penampungan Air Hujan (www.google.com)

Semakin banyak air yang mengalir ke dalam tanah berarti akan banyak tersimpan air tanah di bawah permukaan bumi. Air tersebut dapat dimanfaatkan kembali melalui sumur-sumur atau mata air yang dapat dieksplorasi setiap saat. Jumlah aliran permukaan akan menurun karena adanya sumur resapan. Pengaruh positifnya bahaya banjir dapat dihindari karena terkumpulnya air permukaan yang berlebihan di suatu tempat dapat dihindarkan. Menurunnya aliran permukaan ini juga akan menurunkan tingkat erosi tanah. Berikut ini disajikan rumus metode rasional untuk menghitung debit banjir pada suatu kawasan tertentu akibat limpasan air hujan dengan metode rasional (Suripin, 2004), yaitu:

Q = k . C. I. A. di mana : Q = Debit banjir (cfs atau m³/detik),

C = Koefisien pengaliran permukaan, yang besarnya < 1, I = Intensitas hujan (in./hr atau mm/jam),

A = Luas bidang tangkapan hujan (ac atau ha)

k = faktor konversi ( = 0,00278 faktor konversi ha-mm/jam ke m³/detik).

Luasan bidang tangkapan hujan untuk bangunan tempat tinggal adalah berupa luas atap yang diukur secara horizontal. Untuk koefisien pengaliran (C),


(38)

apabila tidak diukur langsung pada medan pengaliran yang dimaksud, maka dapat digunakan perkiraan nilai koefisien (C) secara empiris berdasarkan hasil penelitian yang dilampirkan.

Tabel 2. 8 Nilai Koefisien Aliran Permukaan (C) untuk Berbagai Permukaan NO Jenis Permukaan Koef. Aliran Permukaan

1. Bussines

Daerah kota 0.70 - 0.95

Daerah pinggiran 0.50 - 0.70

2. Perumahan

Daerah Single Family 0.30 - 0.50 Multiunit terpisah-pisah 0.40 - 0.60 Multiunit tertutup 0.60 - 0.75

Sub Urban 0.25 – 0.40

Daerah rumah-rumah

Apartemen 0.50 - 0.70

3. Kawasan Industri

Daerah industri ringan 0.50 - 0.80 Daerah industri berat 0.60 - 0.90

4. Atap 0.75 - 0.95

5. Pertamanan; kuburan 0.10 - 0.25

6. Jalan 0.70 – 0.95

7. Aspal 0.75 - 0.95

8. Beton 0.80 - 0.95

9. Batu 0.70 - 0.85

Sumber: Suripin, Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan, 2004

2.6.4 Perencanaan Dimensi Sumur Resapan

Dimensi sumur resapan ditentukan oleh beberapa faktor yaitu tinggi muka air tanah, intensitas hujan, lama hujan, luas penampang tampungan dan koefisien permeabilitas tanah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada pembahasan di bawah ini:


(39)

a) Tinggi muka air tanah

Dasar bangunan sumur resapan akan efektif apabila terletak di atas muka air tanah. Oleh karena itu diperlukan peta sebaran muka preatik daerah penelitian yang menggambarkan distribusi tinggi muka air tanah.

b) Intensitas hujan

Intensitas hujan sangat diperlukan untuk menghitung besarnya kapasitas sumur resapan untuk menampung air hujan yang jatuh pada penutupan lahan dengan luasan tertentu. Volume air tampungan adalah hasil kali intensitas hujan, luas daerah tampungan dan lama hujan.

c) Durasi hujan

Lama hujan adalah waktu terlama hujan itu terjadi setiap kejadian hujan. Lama hujan (durasi) sangat diperhitungkan dalam memprediksi daya tampung sumur serapan.

d) Luas penampung tampungan

Luas penampung tampungan ini merupakan jumlah total dari atap bangunan atau bidang pekerasan yang airnya dialirkan pada sumur resapan. Semakin besar luas tampungan maka semakin besar luas tampungan maka semakin besar volume tampungan.

e) Koefisien permeabilitas tanah.

Koefisien permeabilitas adalah kemampuan tanah dalam melewatkan air sebagai fungsi dari waktu. Kemampuan tanah dalam meresapkan air hujan yang di tampung ditentukan oleh koefisien permeabilitas ini.


(40)

Secara teoritis, volume dan efisiensi sumur resapan dapat dihitung berdasarkan keseimbangan air yang masuk ke dalam sumur dan air yang meresap ke dalam tanah dan dapat dituliskan sebagai berikut:

2.6.4.1Sumur Kosong Tampang Lingkaran

Untuk konstruksi sumur resapan biasanya dengan dinding samping dan ruang tetap kosong maka dimensinya dihitung dengan:

H =

2.6.4.2Sumur Kosong Tampang Rectangular

Untuk konstruksi sumur resapan biasanya dengan dinding samping dan ruang tetap kosong maka dimensinya dihitung dengan:

H =

di mana :H = Tinggi muka air dalam sumur (m), F = Faktor Geometrik (m),

f = faktor geometrik tampang rectangular (m), Q = Debit air masuk (m³/dtk),

T = Waktu pengaliran (detik),

K = Koefisien permeabilitas tanah (m/dtk), R =Jari-jari sumur (m).

2.6.5 Metode PU

Pusat penelitian dan pengembangan pemukiman Departemen Pekerjaan Umum (2002) telah menyusun standar tata cara perencanaan teknik umur resapan air hujan untuk pekarangan yang dituangkan dalam SNI 03-2453-2002.


(41)

Metode PU menyatakan bahwa dimensi atau jumlah sumur resapan air hujan yang diperlukan pada suatu lahan pekarangan ditentukan oleh curah hujan maksimum. Permeabilitas tanah dan luas bidang tanah, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

a) Volume andil banjir digunakan rumus:

= 0,855

dimana: = Volume andil banjir yang akan di tamping sumur resapan ( )

= Koefisien limpasan dari bidang tadah (tanpa satuan) = Luas bidang tadah ( )

= Tinggi hujan harian rata-rata (L/ hari ) b) Volume air hujan yang meresap digunakan rumus:

=

dimana: = Volume air hujan yang meresap ( )

= durasi hujan efektif (jam) =0.9. ./60 (jam)

= Luas dinding sumur + luas alas sumur ( )

= Koefisiensi permebilitas tanah (m/hari). c) Volume penampungan (storasi) air hujan:

-

d) Penentuan jumlah sumur resapan (n):

= n =

dimana: n = jumlah sumur resapan air hujan (buah)

= kedalaman total sumur resapan air hujan (m)


(42)

2.6.6 Persyaratan Umum dan Teknis Sumur Resapan

Pada SNI No.03-2459-2002 dijelaskan tentang persyaratan umum dan teknis sumur resapan, standar ini merupakan hasil revisi dari SNI No.03-2459-1991.

Persyaratan umum yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut: a) Sumur resapan air hujan di tempatkan pada lahan yang relatif datar. b) Air yang masuk kedalam sumur resapan adalah air hujan tidak tercemar.

c) Penetapan sumur resapan air hujan harus mempertimbangkan keamanan bangunan sekitarnya.

d) Harus memperhatikan peraturan daerah setempat.

e) Hal-hal yang tidak memenuhi ketentuan ini harus disetujui instansi yang berwenang.

Persyaratan teknis yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut: a) Kedalaman air tanah minimum 1.50 m pada musim hujan.

b) Struktur tanah yang dapat digunakan harus mempunyai nilai permeabilitas

tanah ≥ 2.0 cm/jam.

c) Jarak penempatan sumur resapan air hujan terhadap bangunan, dapat dilihat pada Tabel 2. 10 di bawah ini.

Tabel 2. 9 Jarak Minimum Sumur Resapan Air Hujan Terhadap Bangunan

No Jenis Bangunan Jarak minimum dari sumur

resapan air hujan (m) 1 Sumur resapan air hujan/

sumur air bersih 3

2 Pondasi bangunan 1

3 Bidang resapan/ sumur resapan

tangki septik 5


(43)

2.6.7 Konstruksi Sumur Resapan

Jenis sumur resapan yang dibuat harus memenuhi syarat-syarat agar daya kerjanya dapat dipertanggung jawabkan serta tidak menimbulkan dampak baru terhadap lingkungan. Bagi kita yang tinggal di daerah perkotaan, berkurangnya daerah resapan air karena makin banyak permukaan tanah yang tertutup bangunan dan jalan berdampak pada berkurangnya daya serap tanah terhadap air. Pembuatan sumur resapan di lingkungan tempat tinggal menjadi salah satu solusi memperbaiki kualitas air tanah.

Beberapa ketentuan umum untuk pembangunan konstruksi sumur resapan: a. Sumur resapan sebaiknya berada di atas elevasi/kawasan sumur-sumur gali

biasa.

b. Untuk menjaga pencemaran air di lapisan aquifer, kedalaman sumur resapan harus diatas kedalaman muka air tanah tidak tertekan (unconfined aquifer) yang ditandai oleh adanya mata air tanah.

c. Pada daerah berkapur/karst perbukitan kapur dengan kedalaman/solum tanah yang dangkal, kedalaman air tanah pada umumnya sangatlah dalam sehingga pembuatan sumur resapan sangatlah tidak direkomendasikan. Demikian pula sebaliknya di lahan pertanian pasang surut yang berair tanah sangat dangkal. d. Untuk mendapatkan jumlah air yang memadai, sumur resapan harus memiliki

tangkapan air hujan berupa suatu bentang lahan baik berupa lahan pertanian atau atap rumah.

e. Sebelum air hujan yang berupa aliran permukaan masuk kedalam sumur melalui saluran air, sebaiknya dilakukan penyaringan air di bak kontrol terlebih dahulu.


(44)

f. Bak kontrol terdiri-dari beberapa lapisan berturut-turut adalah lapisan gravel (kerikil), pasir kasar, pasir dan ijuk.

g. Penyaringan ini dimaksudkan agar partikel-partikel debu hasil erosi dari daerah tangkapan air tidak terbawa masuk ke sumur sehingga tidak menyumbat pori-pori lapisan aquifer yang ada.

h. Untuk menahan tenaga kinetis air yang masuk melalui pipa pemasukan, dasar sumur yang berada di lapisan kedap air dapat diisi dengan batu belah atau ijuk. i. Pada dinding sumur tepat di depan pipa pemasukan, dipasang pipa pengeluaran

yang letaknya lebih rendah dari pada pipa pemasukan untuk antisipasi manakala terjadi overflow/luapan air di dalam sumur. Bila tidak dilengkapi dengan pipa pengeluaran, air yang masuk ke sumur harus dapat diatur misalnya dengan seka balok dll.

j. Diameter sumur bervariasi tergantung pada besarnya curah hujan, luas tangkapan air, konduktifitas hidrolika lapisan aquifer, tebal lapisan aquifer dan daya tampung lapisan aquifer. Biasanya berdiameter berkisar antara 1– 1,5 m k. Tergantung pada tingkat kelabilan/kondisi lapisan tanah dan ketersediaan dana

yang ada, dinding sumur dapat dilapis pasangan batu bata atau buis beton. Akan lebih baik bila dinding sumur dibuat lubang-lubang air dapat meresap juga secara horizontal.

l. Untuk menghindari terjadinya gangguan atau kecelakaan maka bibir sumur dapat dipertinggi dengan pasangan bata dan atau ditutup dengan papan/plesteran.

Komponen dan bahan-bahan yang diperlukan untuk konstruksi sumur resapan, meliputi:


(45)

a. Saluran air

Sebagai jalan air yang akan dimasukkan ke dalam sumur resapan, baik menggunakan saluran terbuka atau tertutup dan juga dapat terbuat dari pipa pemasukan serta pengeluaran yang berfungsi sebagai saluran pembuangan jika air dalam sumur resapan sudah penuh. Saluran tersebut dapat menggunakan pipa besi, pipa paralon, buis beton, pipa tanah liat atau dari pasangan batu. Ukuran tergantung jumlah aliran permukaan yang akan masuk.

b. Bak kontrol

Bak control berfungsi untuk menyaring air sebelum masuk sumur resapan agar air yang masuk tidak tercemar dan menyaring benda-benda yang membuat proses peresapan air hujan terganggu.

2.7 Lubang Resapan Biopori 2.7.1 Pengertian

Lubang Resapan Biopori (LRB) adalah lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter 10 – 30 cm dan kedalaman sekitar 100 cm atau dalam kasus tanah dengan permukaan air tanah dangkal, tidak sampai melebihi kedalaman muka air tanah. Lubang diisi dengan sampah organik. Sampah berfungsi menghidupkan mikroorganisme tanah, seperti cacing tanah. Cacing ini nantinya bertugas membentuk pori-pori atau terowongan dalam tanah (biopori). Biopori secara harfiah merupakan lubang-lubang (pori-pori makro) di dalam tanah yang dibuat oleh jasad biologi tanah. Lubang cacing tanah, lubang tikus, lubang marmut, lubang anjing prairi, lubang semut, rayap, dan lain-lain, termasuk lubang bekas akar yang mati dan membusuk, merupakan contoh-contoh


(46)

dari biopori di dalam tanah. Biopori dalam tanah ini sangat optimal keberadaannya di daerah yang tidak terganggu seperti pada lahan hutan dan kebun campuran. Pada lahan pertanian intensif dan di kawasan pemukiman, biopori sangat sedikit dijumpai, karena kehidupan jasad biologi tanah tersebut terganggu oleh berbagai aktivitas manusia, juga oleh pengaruh limbah dan aplikasi pestisida, sehingga tanah menjadi sangat padat. Keberadaan biopori yang banyak, akan mempertinggi daya serap tanah terhadap air, karena air akan lebih mudah masuk ke dalam tubuh (profil) tanah.

Lubang biopori yang dibuat sedalam 1 meter dengan diameter lubang sekitar 0,10 meter maka dapat menampung air sebanyak 0,03 m3 (30 liter). Bila jarak antar biopori tersebut 2 x 2 meter maka akan terdapat sebanyak 2.500 lubang biopori per hektar yang berarti dapat menampung tambahan air sebanyak 75 m3 atau setara dengan 75.000 liter air per hektar. Serasah organik yang dapat ditampung oleh lubang biopori sedalam 1 meter dengan diameter 0,10 meter tersebut sebanyak 2,0 – 3,2 kg bahan segar. Dalam waktu sekitar 21 hari, bahan organik segar dalam lubang biopori ini dapat menjadi kompos.

2.7.2 Fungsi Lubang Resapan Biopori

Lubang biopori merupakan teknologi tepat guna yang berfungsi untuk mengurangi genangan air dan sampah organik. Khususnya di kawasan pemukiman, antara lain untuk mengurangi tingkat genangan air di pekarangan. Dan jika dibuat secara massal pada taman lingkungan, maka lubang ini juga dapat mengurangi genangan air di kawasan perumahan, antara lain :


(47)

a) Mengatasi banjir karena meningkatkan daya resapan air. Air hujan tidak harus dari talang atau saluran air yang masih bersih, akan tetapi air yang bercampur tanahpun dapat di masukkan.

b) Mengatasi sampah karena dapat mengubah sampah organik menjadi kompos. Sampah rumah tangga (yang organik) dapat dimasukkan ke dalam lubang biopori, sehingga mengurangi penumpukan sampah rumah tangga.

c) Mengurangi emisi dari kegiatan mengkompos sampah organik. Sampah organik yang telah dimasukkan ke dalam lubang resapan ini, dapat diambil setelah 1 – 2 bulan, dapat dijadikan pupuk hijau (kompos). Kemudian kompos yang telah diambil, lubang dapat digunakan lagi untuk membuang sampah organik.

d) Menyuburkan tanah . Sampah dedaunan, dari pada dibakar, akan lebih bagus dimasukkan dalam lubang ini, sehingga sampah daun akan busuk dan dapat menyuburkan tanah. Lubang akan lebih baik lagi bila dibuat di sekitar pohon buah, pohon peneduh, akan membantu menyuburkan tanaman.

e) Mengatasi masalah timbulnya genangan air penyebab demam berdarah dan malaria. Biasanya di tanah lapang, seperti halaman rumah, lapangan bola atau fasilitas olahraga yang masih belum di semen, ada bebarapa tempat yang air sulit meresap.

f) Terhindar berbagai jenis penyakit. Tumpukan sampah yang dibuang terbuka dan telah membusuk, akan mengundang berbagai penyakit dan penyebarnya seperti lalat. Bila sampah rumah tangga seperti sisa makan, sayuran atau dedaunan lain dimasukkan ke dalam lubang yang tertutup, akan mengurangi atau mencegah penyakit.


(48)

2.7.3 Mekanisme Lubang Biopori

Teknologi ini bisa diaplikasikan di kawasan perumahan yang 100 persen kedap air atau sama sekali tidak ada tanah terbuka maupun di areal persawahan yang berlokasi di kawasan perbukitan. Prinsip dari teknologi ini adalah menghindari air hujan mengalir ke daerah yang lebih rendah dan membiarkannya terserap ke dalam tanah melalui lubang resapan tersebut. Menurut Ir. Kamir R. Brata MS., yang menjadi salah satu faktor penyebab banjir adalah air hujan yang mengguyur wilayah hulu tidak bisa diserap dengan baik karena berkurangnya pepohonan dan banyaknya bangunan, sehingga wilayah hilir kebanjiran.

Dinamakan teknologi biopori atau mulsa vertikal karena teknologi ini mengandalkan jasa hewan-hewan tanah seperti cacing dan rayap untuk membentuk pori-pori alami dalam tanah, dengan bantuan sampah organik, sehingga air bisa terserap dan struktur tanah diperbaiki. Di kawasan perumahan yang 100 persen kedap air, teknologi lubang serapan biopori ini diterapkan dengan membuat lubang di saluran air ataupun di areal yang sudah terlanjur diperkeras dengan semen dengan alat bor. Kemudian ke dalam lubang berdiameter 10 cm dengan kedalaman 80 cm atau maksimal satu meter tersebut, dimasukkan sampah organik yang bisa berupa daun atau ranting kering serta sampah rumah tangga. Keberadaan sampah organik ini berfungsi untuk membantu menghidupkan cacing tanah dan rayap yang nantinya akan membuat biopori.

Cara membuat lubang biopori adalah :

1. Buat lubang silindris ke dalam tanah dengan diameter sepuluh sentimeter, kedalaman sekitar seratus sentimeter atau tidak melampaui kedalaman air tanah pada dasar saluran atau alur yang telah dibuat. Jarak antarlubang 50–100 cm.


(49)

2. Mulut lubang dapat diperkuat dengan adukan semen selebar dua sampai dengan tiga sentimeter, setebal dua sentimeter di sekeliling mulut lubang.

3. Segera isi lubang LRB dengan sampah organik yang berasal dari sisa tanaman yang dihasilkan dari dedaunan pohon, pangkasan rumput dari halaman atau sampah dapur.

4. Sampah organik perlu selalu ditambahkan ke dalam lubang yang isinya sudah berkurang menyusut karena proses pelapukan.

5. Kompos yang terbentuk dalam lubang dapat diambil pada setiap akhir musim kemarau bersamaan dengan pemeliharaan lubang.

2.7.4 Prinsip Pembuatan Lubang Resapan Biopori (LRB)

Lubang Resapan Biopori (LRB) merupakan teknologi yang berpotensi meningkatkan daya dukung lingkungan. Menurut Brata dan Nelistya (2008), lubang resapan biopori merupakan lubang berbentuk silindris berdiameter sekitar 10 cm yang digali di dalam tanah. Kedalamannya tidak melebihi muka air tanah, yaitu sekitar 100 cm dari permukaan air tanah. LRB dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam meresapkan air. Air tersebut meresap melalui biopori yang menembus permukaan dinding LRB ke dalam tanah di sekitar lubang. Dengan demikian, akan menambah cadangan air dalam tanah serta menghindari terjadinya aliran air di permukaan tanah.


(50)

Gambar 2.8. Prinsip Pembuatan Lubang Resapan Biopori (LRB) (www.google.com)

Pembuatan LRB pada setiap jenis penggunaan tanah dapat mempermudah pemanfaatan sampah organik dengan memasukkannya ke dalam tanah. Dengan demikian, setiap pengguna lahan dapat memfungsikan tanahnya masing-masing sebagai penyimpan karbon (carbon sink) untuk mengurangi emisi karbon ke atmosfir. Karbon yang tersimpan di dalam tanah berbentuk humus dan biomassa dalam tubuh aneka ragam biota tanah, selain tidak diemisikan juga sangat penting untuk memelihara kesuburan tanah yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman sebagai pengguna/penyerap karbon di atmosfir.

Setiap 100 m2 lahan idealnya Lubang Resapan Biopori (LRB) dibuat sebanyak 30 titik dengan jarak antara 0,5 – 1,0 meter. Dengan kedalaman 1 meter dan diameter 0,10 meter setiap lubang bisa menampung 7,8 liter sampah. Sampah dapur dapat menjadi kompos dalam jangka waktu 15 – 30 hari, sementara sampah kebun berupa daun dan ranting bisa menjadi kompos dalam waktu 2 – 3 bulan. Namun, secara spesifik jumlah Lubang Resapan Biopori yang sesuai pada suatu wilayah tertentu dengan luasan tertentu dan intensitas hujan tertentu pula, dihitung dengan persamaan :


(51)

Dimana : n = Jumlah Lubang Resapan Biopori

I = Intensitas hujan terbesar dalam 10 tahun (mm/detik) L = Luas bidang kedap air (m2)

v = Laju rembesan air rata-rata per lubang (m3/detik)

2.7.5 Aplikasi Lubang Resapan Biopori

Pembuatan lubang resapan biopori akan meningkatkan kemampuan lingkungan dalam menopang kehidupan di atasnya, teknologi lubang resapan biopori (LRB), dikembangkan berdasarkan prinsip menjaga kesehatan ekosistem tanah untuk mendukung adanya keanekaragaman hayati dalam tanah oleh tersedianya cukup air, udara, dan sumber makanan (bahan organik).

Sistem peresapan berbasis biopori adalah teknologi tepat guna dan ramah lingkungan yang dapat memberikan banyak manfaat, antara lain :

(1) meningkatkan laju peresapan air dan cadangan air tanah, (2) memudahkan pemanfaatan sampah organik menjadi kompos,

(3) meningkatkan peranan aktivitas biodiversitas tanah dan akar tanaman,

(4) mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh genangan air seperti penyakit demam berdarah dan malaria.


(52)

Gambar 2.9. Penampang Lubang Resapan Biopori (www.google.com)

Adapun manfaat utama dari LRB adalah kemampuannya meningkatkan peresapan air hujan ke dalam tanah. Kemampuan LRB dalam meresapkan air dipengaruhi oleh diameter lubang yang dibuat.

Tabel 2.10 Hubungan Diameter Lubang dengan Beban Resapan dan Pertambahan Luas Permukaan Resapan

Diameter Lubang

(cm)

Mulut Lubang

(cm2)

Luas Dinding

(m2)

Penambahan luas (kali) Volume (liter) Beban Resapan (Liter/m2)

10 79 0,3143 40 7.857 25

40 1257 1,2571 11 125.714 100

60 2829 1,8857 7 282.857 150

80 5029 2,5143 5 502.857 200

100 7857 3,1429 4 785.714 250

Sumber : Brata dan Nelistya, 2008.

Selain mampu meresapkan air LRB juga dapat mengomposkan sampah organik. Jumlah sampah organik yang dibutuhkan untuk mengisi LRB dengan kedalaman 100 cm dan diameter 10 cm adalah 7,2– 7,9 kg selama kurun waktu 8 minggu. Artinya dalam sehari setiap LRB mampu menampung 0,13 kg sampah. Dengan asumsi produksi sampah per kapita sebesar 0,8 kg dan 60 % nya adalah sampah organik setiap individu akan menghasilkan 0,48 kg dan LRB yang dibutuhkan adalah 3,7 LRB.


(53)

Agar LRB dapat berfungsi secara optimum diperlukan jumlah yang ideal, jumlah LRB ideal ditentukan dengan mengalikan luas bidang kedap dengan intensitas hujan dan dibagi laju peresapan air per lubang. Bidang kedap dengan luas 100 m2 dengan intensitas hujan 50 mm/jam dan laju peresapan air per lubang 3 liter/menit membutuhkan 28 LRB. Dengan asumsi bahwa bidang kedap tersebut adalah rumah dan ditempati 10 orang dan dibuat LRB sesuai dengan jumlah ideal, tentu 75,67 % sampah organik dapat tertampung kedalam LRB.


(1)

2.7.3 Mekanisme Lubang Biopori

Teknologi ini bisa diaplikasikan di kawasan perumahan yang 100 persen kedap air atau sama sekali tidak ada tanah terbuka maupun di areal persawahan yang berlokasi di kawasan perbukitan. Prinsip dari teknologi ini adalah menghindari air hujan mengalir ke daerah yang lebih rendah dan membiarkannya terserap ke dalam tanah melalui lubang resapan tersebut. Menurut Ir. Kamir R. Brata MS., yang menjadi salah satu faktor penyebab banjir adalah air hujan yang mengguyur wilayah hulu tidak bisa diserap dengan baik karena berkurangnya pepohonan dan banyaknya bangunan, sehingga wilayah hilir kebanjiran.

Dinamakan teknologi biopori atau mulsa vertikal karena teknologi ini mengandalkan jasa hewan-hewan tanah seperti cacing dan rayap untuk membentuk pori-pori alami dalam tanah, dengan bantuan sampah organik, sehingga air bisa terserap dan struktur tanah diperbaiki. Di kawasan perumahan yang 100 persen kedap air, teknologi lubang serapan biopori ini diterapkan dengan membuat lubang di saluran air ataupun di areal yang sudah terlanjur diperkeras dengan semen dengan alat bor. Kemudian ke dalam lubang berdiameter 10 cm dengan kedalaman 80 cm atau maksimal satu meter tersebut, dimasukkan sampah organik yang bisa berupa daun atau ranting kering serta sampah rumah tangga. Keberadaan sampah organik ini berfungsi untuk membantu menghidupkan cacing tanah dan rayap yang nantinya akan membuat biopori.


(2)

2. Mulut lubang dapat diperkuat dengan adukan semen selebar dua sampai dengan tiga sentimeter, setebal dua sentimeter di sekeliling mulut lubang.

3. Segera isi lubang LRB dengan sampah organik yang berasal dari sisa tanaman yang dihasilkan dari dedaunan pohon, pangkasan rumput dari halaman atau sampah dapur.

4. Sampah organik perlu selalu ditambahkan ke dalam lubang yang isinya sudah berkurang menyusut karena proses pelapukan.

5. Kompos yang terbentuk dalam lubang dapat diambil pada setiap akhir musim kemarau bersamaan dengan pemeliharaan lubang.

2.7.4 Prinsip Pembuatan Lubang Resapan Biopori (LRB)

Lubang Resapan Biopori (LRB) merupakan teknologi yang berpotensi meningkatkan daya dukung lingkungan. Menurut Brata dan Nelistya (2008), lubang resapan biopori merupakan lubang berbentuk silindris berdiameter sekitar 10 cm yang digali di dalam tanah. Kedalamannya tidak melebihi muka air tanah, yaitu sekitar 100 cm dari permukaan air tanah. LRB dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam meresapkan air. Air tersebut meresap melalui biopori yang menembus permukaan dinding LRB ke dalam tanah di sekitar lubang. Dengan demikian, akan menambah cadangan air dalam tanah serta menghindari terjadinya aliran air di permukaan tanah.


(3)

Gambar 2.8. Prinsip Pembuatan Lubang Resapan Biopori (LRB) (www.google.com)

Pembuatan LRB pada setiap jenis penggunaan tanah dapat mempermudah pemanfaatan sampah organik dengan memasukkannya ke dalam tanah. Dengan demikian, setiap pengguna lahan dapat memfungsikan tanahnya masing-masing sebagai penyimpan karbon (carbon sink) untuk mengurangi emisi karbon ke atmosfir. Karbon yang tersimpan di dalam tanah berbentuk humus dan biomassa dalam tubuh aneka ragam biota tanah, selain tidak diemisikan juga sangat penting untuk memelihara kesuburan tanah yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman sebagai pengguna/penyerap karbon di atmosfir.

Setiap 100 m2 lahan idealnya Lubang Resapan Biopori (LRB) dibuat sebanyak 30 titik dengan jarak antara 0,5 – 1,0 meter. Dengan kedalaman 1 meter dan diameter 0,10 meter setiap lubang bisa menampung 7,8 liter sampah. Sampah


(4)

Dimana : n = Jumlah Lubang Resapan Biopori

I = Intensitas hujan terbesar dalam 10 tahun (mm/detik) L = Luas bidang kedap air (m2)

v = Laju rembesan air rata-rata per lubang (m3/detik)

2.7.5 Aplikasi Lubang Resapan Biopori

Pembuatan lubang resapan biopori akan meningkatkan kemampuan lingkungan dalam menopang kehidupan di atasnya, teknologi lubang resapan biopori (LRB), dikembangkan berdasarkan prinsip menjaga kesehatan ekosistem tanah untuk mendukung adanya keanekaragaman hayati dalam tanah oleh tersedianya cukup air, udara, dan sumber makanan (bahan organik).

Sistem peresapan berbasis biopori adalah teknologi tepat guna dan ramah lingkungan yang dapat memberikan banyak manfaat, antara lain :

(1) meningkatkan laju peresapan air dan cadangan air tanah, (2) memudahkan pemanfaatan sampah organik menjadi kompos,

(3) meningkatkan peranan aktivitas biodiversitas tanah dan akar tanaman,

(4) mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh genangan air seperti penyakit demam berdarah dan malaria.


(5)

Gambar 2.9. Penampang Lubang Resapan Biopori (www.google.com)

Adapun manfaat utama dari LRB adalah kemampuannya meningkatkan peresapan air hujan ke dalam tanah. Kemampuan LRB dalam meresapkan air dipengaruhi oleh diameter lubang yang dibuat.

Tabel 2.10 Hubungan Diameter Lubang dengan Beban Resapan dan Pertambahan Luas Permukaan Resapan

Diameter Lubang

(cm)

Mulut Lubang

(cm2)

Luas Dinding

(m2)

Penambahan luas (kali) Volume (liter) Beban Resapan (Liter/m2)

10 79 0,3143 40 7.857 25

40 1257 1,2571 11 125.714 100

60 2829 1,8857 7 282.857 150

80 5029 2,5143 5 502.857 200

100 7857 3,1429 4 785.714 250

Sumber : Brata dan Nelistya, 2008.

Selain mampu meresapkan air LRB juga dapat mengomposkan sampah organik. Jumlah sampah organik yang dibutuhkan untuk mengisi LRB dengan


(6)

Agar LRB dapat berfungsi secara optimum diperlukan jumlah yang ideal, jumlah LRB ideal ditentukan dengan mengalikan luas bidang kedap dengan intensitas hujan dan dibagi laju peresapan air per lubang. Bidang kedap dengan luas 100 m2 dengan intensitas hujan 50 mm/jam dan laju peresapan air per lubang 3 liter/menit membutuhkan 28 LRB. Dengan asumsi bahwa bidang kedap tersebut adalah rumah dan ditempati 10 orang dan dibuat LRB sesuai dengan jumlah ideal, tentu 75,67 % sampah organik dapat tertampung kedalam LRB.