T1 312009023 BAB III

(1)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Hasil Penelitian

Dalam pembahasan dipaparkan tentang kasus posisi yang berkaitan dengan penetapan ahli waris pengganti dalam penetapan Pengadilan Agama Wonosobo Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb dan mengenai pelaksanaan pembagian warisan yang dilakukan oleh keluarga Hj.Ponijem.

1. Kasus Posisi Penetapan Ahli Waris Pengganti Dalam Penetapan Pengadilan Agama Wonosobo Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb Pernikahan antara H. Hadi Pranoto dengan Hj. Ponijem dicatat oleh PPN Kantor Urusan Agama Pandak Kabupaten Bantul dengan kutipan Akta Nikah Nomor 279/59 tanggal 03 Juli 1959. Dalam pernikahan tersebut mereka tidak dikarunia keturunan anak.

Hj.Ponijem telah meninggal dunia pada hari Sabtu pahing tanggal 19 April 2008. Almarhumah ketika meninggal dunia meninggalkan dua orang ahli waris hubungan darah dan seorang ahli waris hubungan pernikahan. Dua orang ahli waris hubungan darah yaitu: (1) Daliyem (telah meninggal dunia) meninggalkan seorang anak laki-laki yang bernama Endardiyono, (2) Tikno Harjono yang merupakan saudara seibu. Seorang ahli waris hubungan pernikahan yaitu H. Hadi Pranoto. Almarhumah meninggalkan warisan berupa sawah, rumah dan kios pasar.


(2)

Dalam pembahasan ini hanya akan difokuskan pada ahli waris hubungan darah dengan Hj. Ponijem karena dalam penulisan ini fokus pada pembagiaan yang dilakukan oleh keluarga Hj. Ponijem. Pihak dari keluarga Hj. Ponijem yang mengajukan permohonan penetapan ahli waris ke Pengadilan Agama adalah Tikno Harjono. Tikno Harjono meminta kepada Pengadilan Agama Wonosobo untuk menetapkan Tikno Harjono dan Daliyem sebagai ahli waris dari Hj. Ponijem. Daliyem merupakan saudara perempuam seibu Hj. Ponijem telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris dan meninggalkan seorang anak laki-laki bernama Endardiyono. Tujuan Tikno Harjono mengajukan permohonan penetapan ahli waris dari Hj. Ponijem ke Pengadilan Agama Wonosobo untuk mendapatkan penetapan ahli waris secara hukum yang nantinya digunakan untuk pembagian secara kekeluargaan.

Pertimbangan hakim untuk menetapkan ahli waris dari Hj. Ponijem adalah:

a. Terdapat hubungan kekerabatan dari jalur almarhumah Hj Ponijem.

b. Pertimbangan berdasarkan pada Pasal 171 huruf (b) dan (c) KHI yang

menyatakan bahwa Pasal 171 (b): “Pewaris adalah orang yang pada

saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Pasal 171 (c): Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum menjadi ahli waris”.

c. Hakim mendasarkan pada bukti fotocopy akta nikah H. Hadi Pranoto


(3)

Hadi Pranoto menikah dengan Hj. Ponijem pada 03 Juli 1959 dan selama menikah tidak dikaruniai keturunan.

d. Hakim dalam pertimbangannya juga mendasarkan pada bukti Surat

Kematian Hj. Ponijem yang menyatakan bahwa telah meninggal dunia pada 14 Juli 2008 karena sakit dan dalam keadaan beragama Islam.

e. Pertimbangan hakim menetapkan berdasarkan silsilah keluarga dan surat

keterangan dari Kepala Desa Gilangharjo yang membuktikan bahwa almarhumah Hj. Ponijem meninggal dunia meninggalkan ahli waris seorang saudara seibu yang bernama Tikno Harjono, dan semuanya beragama Islam. Selain itu Hj. Ponijem juga mempunyai saudara perempuan seibu yang bernama Daliyem yang telah meninggal terlebih dahulu dari Pewaris berdasarkan bukti surat kematian dan memiliki satu-satunya ahli waris seorang anak laki-laki bernama Endardiyono, beragama Islam, berdasarkan pertimbangan Pasal 185 KHI untuk menetapkan Endardiyono sebagai ahli waris pengganti.

Dalam penetapan Pengadilan Agama Wonosobo Nomor 43/Pdt.P/2011/ PA.Wsb. menetapkan Tikno Harjono sebagai ahli waris Hj. Ponijem dan Endardiyono sebagai ahli waris pengganti menggantikan kedudukan ibunya Daliyem yang telah lebih dahulu meninggal dunia dari pewaris. Pertimbangan hakim dalam menetapkan Endardiyono sebagai ahli waris pengganti berdasar

pada ketentuan Pasal 185 KHI, yang menyebutkan: “Ahli waris yang meninggal

lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173”. Dalam ayat (2) nya


(4)

disebutkan: “Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti”.

2. Pembagian Warisan Yang Dilakukan Oleh Keluarga Hj. Ponijem Pembagian warisan untuk ahli waris Hj. Ponijem dilakukan secara kekeluargaan, sesuai dengan penetapan Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb. Dari harta warisan yang ada harta tersebut dibagi dua, ½ bagian untuk ahli waris hubungan darah dan ½ bagian untuk ahli waris hubungan pernikahan yaitu suami. Dalam penulisan ini hanya akan dijelaskan tentang pembagian yang dilakukan oleh ahli waris hubungan darah dari Hj. Ponijem, karena penulisan ini hanya mefokuskan pada pembahasan tersebut.

Ahli waris Hj. Ponijem untuk hubungan darah terdiri dari dua, yaitu Endardiyono dan Tikno Harjono. Endardiyono merupakan ahli waris pengganti sebagaimana ditetapkan dalam penetapan Pengadilan Agama Wonosobo Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb, menggantikan kedudukan ibunya yaitu Daliyem (Saudara perempuan Hj. Ponijem) yang telah meninggal terlebih dahulu. Tikno Harjono memiliki enam orang anak yaitu Triyanti, Trianingsih, Tri Indayani, Tanti Cristina, Liston Setiawan dan Lin Sundarwan. Untuk melaksankan pembagian secara kekeluargaan yang sesuai dengan penetapan telah dilakukan musyawarah pada tanggal 11 September 2011, pihak keluarga Hj. Ponijem yaitu Tikno Harjono dan Endardiyono melakukan musyawarah pembagian waris. Mengingat saat itu Tikno Harjono kurang sehat, dalam proses musyawarah Tikno Harjono diwakilkan keenam anaknya. Dalam proses musyawarah tersebut, putri Tikno Harjono yang bernama Trianingsih mengatakan bahwa tidak ada nama ahli waris


(5)

pengganti dan mengatakan bahwa Endardiyono mendapat bagian warisnya karena

dianggap anak oleh Tikno1, sehingga bagian dari Endardiyono adalah sama

dengan bagian dari anak-anak Tikno Harjono.

Kemudian dalam proses musyawarah tersebut anak-anak dari Tikno Harjono membagi warisan tersebut menjadi tujuh bagian, yaitu enam anak Tikno Harjono dan Endardiyono dianggap setara dengan anak-anak Tikno Harjono. Endardiyono melihat dan merasakan proses musyawarah yang tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan Pengadilan Agama menolak hasil musyawarah sehingga terjadi perdebatan, yang akhirnya Endardiyono mendapatkan bagian 1/6 sedangkan sisanya untuk anak-anak dari Tikno Harjono. Tidak nampak alasan yang jelas mengapa bagian yang didapat Endardiyono mendapat 1/6 bagian, tidak ada penjelasan dari anak-anak Tikno Harjono tentang bagian yang didapat oleh

Endardiyono2.

Pembagian warisan yang sudah dilakukan adalah kios dijual senilai 375 juta pada tanggal 22 Desember 2011 dibagi untuk keluarga H. Hadi Pranoto dan keluarga Hj. Ponijem, sehingga masing-masing keluarga mendapatkan Rp 187.500.000,-. Endardiyono sebagaimana hasil musyawarah mendapatkan 1/6 dari Rp. 187.500.000, sehingga diperoleh bagian Rp. 31.250.000. Untuk sawah dijual pada tanggal 12 Agustus 2012 seharga Rp. 163.000.000, namun bagian dari Endardiyono sampai saat ini belum diberikan oleh keluarga Tikno Harjono.

1 Wawancara dengan Endardiyono, Wonosobo, 13 September 2011. 2 Ibid..


(6)

Sedangkan rumah sampai saat ini belum laku dijual, sehingga belum ada

pembagiannya3.

2. Pendapat Tokoh Masyarakat Tentang Ahli Waris Pengganti

Beberapa pendapat tokoh masyarakat sekitar tentang ahli waris pengganti, salah seorang tokoh bernama Widodo Ali Partono yang menyatakan bahwa ahli waris pengganti pada umumnya diberi makna, orang yang tampil sebagai ahli waris karena menggantikan kedudukan orang tuanya yang meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris, tanpa membedakan apakah orang yang meninggal itu laki-laki atau perempuan. Setiap anak yang meninggal dunia lebih dahulu digantikan oleh anak-anaknya, demikian pula jika di antara pengganti-penggantinya itu ada yang meninggal lebih dahulu lagi, maka ia digantikan oleh anak-anaknya, begitu seterusnya, dengan ketentuan bahwa semua keturunan dari satu orang yang meninggal lebih dahulu tersebut harus dipandang sebagai suatu cabang

dan bersama-sama memperoleh bagiannya orang yang mereka gantikan4.

Pendapat tokoh masyarakat mengenai ahli waris dikemukakan oleh Ngadino yang menyatakan bahwa pembagian waris yang berlaku dalam masyarakat Kertek, Wonosobo, apalagi untuk keluarga yang sudah menunaikan ibadah haji, lebih banyak mendasarkan pembagian waris menurut Hukum Islam dan hukum yang ditetapkan pemerintah. Ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam menurutnya bertujuan untuk mencari rasa keadilan bagi ahli waris. Ahli waris pengganti pada dasarnya adalah ahli waris karena penggantian yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena orang tuanya yang berhak mendapat warisan meninggal lebih dahulu dari pewaris, sehingga dia tampil

3 Wawancara dengan Endardiyono, Salatiga, 16 Oktober 2013.

4


(7)

menggantikannya (ngijoli). Jadi bagian ahli waris pengganti sebesar bagian ahli

waris yang digantikannya5. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa ahli waris

pengganti itu dikenal tetapi dengan istilah “ngijoli”.

B. Analisis

Dalam penulisan ini akan dipaparkan tentang analisis yang dilakukan penulis terhadap asas dan kaidah apa yang diterapkan dalam Penetapan Pengadilan Agama Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb serta asas dan kaidah yang digunakan dalam pembagian waris yang dilakukan oleh keluarga Hj. Ponijem.

1. Asas Dan Kaidah Yang Diterapkan Dalam Penetapan Pengadilan Agama Wonosobo Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb Tentang Penetapan Ahli Waris

Dalam hukum kewarisan Islam dikenal ada 5 asas, asas-asas tersebut antara lain: asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, asas semata akibat kematian. Asas tersebut yang biasa digunakan hakim Pengadilan Agama untuk mempertimbangkan permasalahan pewarisan yang diajukan di Pengadilan Agama. Sehingga dalam mengeluarkan Penetapan Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb hakim PA Wonosobo juga menggunakan asas tersebut untuk jadi pertimbangan hakim.

Asas yang menjadi pertimbangan hakim dalam penetapan perkara tersebut meliputi beberapa asas, yaitu:

a. Asas Individual

Asas ini pada prinsipnya bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk

5


(8)

dimiliki secara perorangan. Hal ini terlihat dengan ditetapkannya ahli waris secara perseorangan, nama ahli waris disebutkan satu persatu didalam penetapannya. Karena didalam penetapan sudah dianut asas tersebut brearti setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa tergantung dan terikat dengan ahli waris lainnya. Tak terkecuali ahli waris pengganti, dengan asas ini dapat dimengerti bahwa bagian yang seharusnya didapat oleh ahli waris yang digantikan menjadi milik ahli waris pengganti itu sendiri.

Dalam penetapan Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb tidak dijelaskan secara eksplisit kaidah apa yang digunakan untuk mempertegas asas individual ini, hanya didalam penetapan tersebut telah disebutkan nama-nama ahli waris secara perseorangan seperti yang telah dikemukakan diatas. Akan tetapi jika melihat kaidah hukum yang ada, dalam hal ini KHI memang tidak disebutkan secara eksplisit, hanya saja dalam Pasal 176 KHI yang berbunyi:

“anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian,

bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding

satu dengan anak perempuan”,

dari bunyi Pasal tersebut yang menerangkan tentang besar bagian terdapat kata “seorang” dalam rumusan Pasal tersebut, sehingga dapat dimengerti bahwa ada bagian untuk perseorangan. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa makna asas individual tersampaikan lewat kata “seorang”.


(9)

Asas yang digunakan dalam penetapan ahli waris pengganti ini adalah asas bilateral. Asas bilateral mengandung arti bahwa harta warisan beralih melalui 2 arah, maksudnya adalah setiap orang menerima hak kewarisan dari ke dua belah pihak yaitu pihak garis keturunan laki-laki dan pihak garis keturunan perempuan. Dapat dilihat dalam Firman Allah SWT surah an-Nisaa ayat 7 yang berbunyi:

“bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah

ditetapkan” dan dalam surah an-Nisaa ayat 12 yang berbunyi:

“…. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Akan tetapi jika saudara -saudara seibu itu lebih dari

seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, ….”

Dari ayat tersebut terlihat jelas bahwa kewarisan itu beralih kebawah (anak-anak), ke atas (ayah dan ibu), dan ke samping (saudara-saudara) dari kedua belah pihak garis keluarga yaitu laki-laki dan perempuan dan menerima warisan dari dua garis keluarga yaitu garis laki-laki dan garis perempuan. Sepeninggal Hj. Ponijem dan H. Hadi Pranoto maka ahli waris sebagaimana yang terdapat dalam penetapan adalah dari garis keturunan laki-laki dan perempuan.

Penetapan Pengadilan Agama Wonosobo dalam penetapan Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb mengenai kedudukan ahli waris pengganti ini adalah

dengan memberlakukan penggantian ahli waris secara imperatif yakni setiap


(10)

oleh anak-anaknya. Sebagaimana diketahui bahwa sistem kewarisan KHI berbentuk bilateral, maka sebagai konsekuensinya tidak ada pembedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan sampai garis keturunan manapun. Oleh karena i t u jangkauan penggantian ahli waris ini harus meliputi seluruh garis keturunan.

Mengenai jangkauan keberlakuan penggantian ahli waris ini, sebenarnya telah terakomodir dalam bunyi Pasal 185 ayat (1) yang

menyatakan: “Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si

pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya”. Apabila

dicermati bunyi Pasal tersebut, polemik tentang hal ini tidak perlu terjadi karena secara harfiah sudah memberikan makna bahwa jangkauan penggantian ahli waris itu meliputi seluruh garis hukum baik ke bawah

maupun menyamping6. Pemahaman demikian, dapat diperoleh dengan

menyimak dua kata kunci yang ada pada pasal tersebut yaitu kata “ahli

waris” dan kata “anaknya”. Dari segi bahasa kata ahli waris merupakan

lafal “nakirah“ yang mencakup seluruh ahli waris tidak terbatas kepada

ahli waris tertentu. Dengan demikian, maka kata anaknya memberi pengertian anak dari semua ahli waris baik dari garis ke bawah maupun menyamping.

Apabila dalam suatu ketentuan hukum tidak ditemukan adanya pembatasan atas keumumannya, maka keumuman itu yang diberlakukan. Dengan berpedoman kepada keumuman lafal tersebut, maka cucu, maupun sepupu meskipun sampai jauh mereka dapat menjadi ahli waris pengganti.

6 Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama,


(11)

Kesimpulan ini didukung oleh tidak dikenalnya zawil arham dalam KHI.

Dengan tidak dikenalnya zawil arham memberi petunjuk bahwa semua

kerabat pewaris dapat tampil sebagai ahli waris melalui penggantian ahli waris sepanjang tidak terhijab oleh ahli waris yang lebih utama. Oleh karena itu anak-anak saudara laki-laki maupun anak-anak saudara perempuan baik laki atau perempuan serta anak-anak paman baik

laki-laki maupun perempuan dapat menjadi ahli waris pengganti7.

Dalam penetapan tersebut hakim tidak memberikan kaidah hukum yang menyatakan bahwa penetapan yang dikeluarkan menganut asas bilateral. Akan tetapi dalam KHI sudah di jelaskan dalam Pasal 174 KHI dengan di kenalnya golongan laki laki dan golongan perempuan sehingga dalam penetapan tersebut dapat jelas di sebutkan siapa saja ahli waris tanpa membedakan jenis kelaminnya. Kebijakan hakim dalam penggunaan asas ini terlihat dalam pertimbangannya dan akhirnya memutuskan adanya ahli waris pengganti terutama dalam menetapkan Endardiyono sebagai ahli waris pengganti menggantikan kedudukan ibunya yang merupakan saudara perempuan pewaris. Penggantian kedudukan tersebut ditetapkan tanpa membedakan jenis kelamin antara laki-laki maupun perempuan.

c. Asas Personalitas Ke-Islaman

Dalam asas personalitas ke-Islaman memberikan pemahaman yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan Peradilan Agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas ini nampak karena kewenangan Pengadilan Agama, berdasar Pasal 2, Pasal 49 ayat (1),

7 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab


(12)

dan Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga UU Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan Pengadilan Agama mempunyai kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah bagi orang yang beragama Islam.

Dari kaidah diatas dapat dipahami bahwa setiap pihak yang mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama selalu menganut asas personalitas ke-Islaman tanpa haru disebutkan secara eksplisit. Sama dengan penetapan Pengadilan Agama Wonosbo Nomor 43/Pdt.P/2012/PA.Wsb. tentang penetapan ahli waris menganut asas personalitas ke-Islaman karena kewenangan Pengadilan Agama hanya untuk pihak yang berpekara perdata tertentu yang beragama Islam.

Apabila mendasarkan kepada kaidah umum bahwa setiap penggantian mempunyai konsekuensi menggantikan segala sesuatu yang ada pada orang yang digantikan baik kedudukan, hak maupun kewajibannya. D iadakannya aturan ahli waris pengganti adalah untuk memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan di mana seorang tidak wajar dihukum untuk tidak mendapatkan warisan dari kakeknya hanya karena orang tuanya telah

meninggal lebih dahulu8.

Dilihat dari kasus posisi diatas dalam hakim mengeluarkan penetapan Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb tentang ahli waris dirasa sudah sesuai dengan asas dan kaidah hukum yang berlaku. Dalam penetapannya pembagian warisan dilakukan secara kekeluargaan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 183 KHI.


(13)

Pasal tersebut merupakan penjelmaan dari kaidah fikih dalam hukum Islam itu sendiri. Kaidah fikih tersebut menjelaskan bahwa apabila sesuatau perbuatan hukum menghasilkan kemaslahatan, disanalah hukum Allah. Hakekat maslahat adalah segala sesuatu yang mendatangkan keuntungan dan menjauhkan dari bencana. Dalam pandangan ahli ushul maslahat adalah memberikan hukum

syara’ kepada sesuatu yang tidak terdapat dalam nash dan ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan Kemaslahatan yang dihasilkan dari pembagian harta warisan secara damai adalah:

a. Persengketaan antara ahli waris bisa berakhir. Berakhirnya

persengketaan ahli waris, berarti merajut dan terjalin hubungan silaturrahim antara ahli waris.

b. Menghindari konflik keluarga yang berkelanjutan. Apabila sengketa

warisan berlanjut, sepanjang itu pula konflik akan mewarnai kehidupan para ahli waris yang sedang bersengketa, bahkan konplik keluarga dapat berlanjut kepada keturunan masing-masing, karena bibit permusuhan akan menurun kepada keturunan masing-masing. Harta warisan segera terbagi dan dapat dinikmati oleh semua ahli waris dengan segera, dapat dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga dan memberi kebahagian bagi kehidupan keluarga karena untuk mewujukkan rumah tangga yang bahagia, salah satu harus ditopang oleh harta yang cara perolehannya dengan jalan yang halal, dan hal itu pula menjadi tujuan pewaris yang berjuang dalam kehidupannya memperoleh harta untuk dinikmati anak keturunannya, bukan untuk dipertentangkan dan melahirkan silang sengketa.


(14)

Hal tersebut merupakan bentuk dari pelaksanaan kebijakan pertimbangan hakim juga sudah sesuai. Dalam menangani perkara waris ini, peran h akim di Pengadilan Agama Wonosobo adalah pasif berdasarkan asas hakim bersikap

menunggu (iudex ne procedat ex officio) dan asas hakim bersikap pasif.

Praktik pembagian harta warisan secara kekeluargaan pada Pengadilan Agama yang menjadi obyek penelitian penulis ditemukan perbedaan-perbedaan

dengan teori takharruj, sehingga ada beberapa hal yang perlu disebutkan pada

Pasal-pasal perdamaian pembagian harta warisan yang tentunya atas petunjuk dan arahan mediatar maupun majelis hakim yang menanganai perkara yang bersangkutan.

Sejak berlakunya KHI dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, bagi orang-orang yang beragama Islam, dalam hal kewarisan, wasiat dan hibah, apabila ada sengketa dapat diselesaikan di Pengadilan Agama. Pengadilan Agama merupakan peradilan khusus di Indonesia dimana Pengadilan Agama memerikasa dan mengadili perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, yakni perkara-perkara perdata tertentu dan hanya untuk orang-orang Islam. Bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam, dalam hal masalah kewarisan masih terdapat kebingungan dalam hal penyelesaiannya yakni melalui Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Dampaknya adalah bahwa banyak kasus kewarisan yang masuk di Pengadilan Negeri dan sekaligus masuk pula di Pengadilan Agama dimana putusannya sering pula berbeda oleh karena dasar hukum yang digunakan juga berbeda.


(15)

Dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat, Pengadilan Agama mendasarkan keputusannya pada ketentuan yang ada dalam KHI. Meskipun baru berupa Instruksi Presiden, namun ketentuan-ketentuan yang ada dalam KHI sudah digunakan layaknya undang-undang. Sebagaimana lembaga peradilan umum, tuntutan hak yang dapat diajukan di Pengadilan Agama dapat berupa permohonan dan dapat pula berupa gugatan. Pada kasus ini, tuntutan hak yang diajukan adalah hak mewaris dari ahli waris yang berupa permohonan penetapan ahli waris.

Pertimbangan putusan terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu pertimbangan tentang fakta hukum dan pertimbangan hukumnya itu sendiri. Pertimbangan tentang fakta diperoleh dengan cara memeriksa alat bukti secara empiris dalam persidangan. Fakta-fakta yang terungkap di persidangan selanjutnya diuji menggunakan teori kebenaran koresponden untuk memperoleh fakta hukum dan petunjuk. Sedangkan pertimbangan hukum merupakan bagian pertimbangan yang memuat uji verifikasi antara fakta hukum dengan berbagai teori dan peraturan perundang-undangan. Terbukti tidaknya suatu perkara di pengadilan sangat tergantung pada pertimbangan hukumnya.

Sejauh ini dapat diamati bahwa di antara sekian banyak perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, perangkat hukum Islam yang masih belum populer di masyarakat, khususnya mengenai hukum waris Islam. Hal ini dipengaruhi oleh budaya Indonesia itu sendiri yang memiliki pemahaman bahwa hukum Islam bersandar pada ketentuan dalam Al


(16)

dengan peraturan perundang-undangan sebagai turunan dari Al Qur’an dan Al Hadis.

Salah satu kendala yang dihadapi oleh para praktisi hukum, dalam hal ini hakim, dalam upaya penerapan ketentuan hukum waris Islam adalah peraturan hukumnya belum sempurna. Pedoman hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara-perkara hukum waris Islam hanya berdasar pada KHI dan

Yurisprudensi di luar Al Qur’an dan Al Hadis. Sejauh ini, belum ada produk

hukum baru yang mengatur secara eksplisit tentang hukum waris Islam. Di dalam dunia pengadilan, sebenarnya hanya ada satu hal pokok yang

dicari para justiabalance (pencari keadilan) yaitu Putusan Hakim. Untuk

lahirnya sebuah putusan diperlukan beberapa prosedur tententu, dan ada berbagai jenis putusan yang akan dilahirkan dari dunia peradilan. Adapun yang dimaksud dengan penetapan adalah keputusan pengadilan atas perkara

permohonan (volunter), misalnya penetapan dalam perkara dispensasi nikah,

izin nikah, wali adhal, poligami, perwalian, itsbat nikah, dan sebagainya.

Penetapan merupakan jurisdiction valuntaria (bukan peradilan yang

sesungguhnya). Karena pada penetapan hanya ada permohon tidak ada lawan

hukum. Dalam penetapan hakim tidak menggunakan kata “mengadili”, namun

cukup dengan menggunakan kata ”menetapkan”.

Penyebutan kedudukan dan besarnya porsi bagian masing-masing ahli waris dalam akta perdamaian merupakan salah satu bentuk sosialisasi tentang hukum kewarisan Islam, sekaligus realisasi pelaksanaan perintah untuk memepelajari dan mengajarkan hukum kewarisan Islam. Putusan hakim khususnya perkara warisan


(17)

paling tidak dibaca oleh pihak yang bersengketa, sehingga yang membacanya dapat memahami kedudukan dan bagianya dalam hukum kewarisan Islam.

2. Asas dan kaidah yang diterapkan dalam Pembagian Waris

Secara substansi, pembagian harta warisan sebagaimana yang ditetapkan PA Wonosobo dalam Penetapan Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb dilaksanakan secara kekeluargaan hal ini dikarenakan agar pembagian harta warisan bisa secara adil dan berakhir damai berdasarkan prinsip musyawarah. Para ahli waris bermusyawarah dan bersepakat tentang bagian masing-masing ahli waris. Pembagian harta warisan dalam bentuk ini berdasarkan keinginan para ahli waris yang telah disepakati secara bersama-sama.

Meskipun ahli waris merasa tidak berkeberatan atas model pembagian warisan secara kekeluargaan, bukan berarti hal itu menggugurkan kewajiban untuk menerapkan hukum waris Islam. Maka dari itu untuk menegakkan hukum waris Islam, akan lebih baik pembagiannya dilakukan sesuai syariat Islam dan hukum waris Islam. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 183 KHI. Hal ini juga untuk menanggulangi jika suatu saat menimbulkan akibat rasa kurang puas diantara

keluarga lainnya9.

Pembagian waris dengan prinsip kekeluargaan sesungguhnya didasarkan pada keyakinan para ulama fiqh bahwa masalah waris adalah hak individu di mana yang mempunyai hak boleh menggunakan atau tidak menggunakan

9

Departemen Agama RI, Analisa Hukum Islam Bidang Waris, Jakarta, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1999, h. 4.


(18)

haknya, atau menggunakan haknya dengan cara tertentu selama tidak merugikan

pihak lain sesuai aturan standar yang berlaku dalam situasi biasa10.

Asas dan kaidah yang digunakan dalam pembagian waris, antara lain:

a. Asas Personalitas Ke-Islaman

Asas personalitas ke-Islaman tidak secara eksplisit diterangkan akan tetapi dalam hal pembagian yang dilaksanakan asas ini ada karena semua yang ditetapkan sebagai ahli waris beragama Islam.

Hal ini terlihat dalam hasil penelitian dimana hakim PA Wonosobo menetapkan ahli waris Hj. Ponijem adalah:

1) H. Hadi Pranoto (suami) beragama Islam.

2) Tikno Harjono (Saudara laki-laki seibu) beragama Islam.

3) Endardiyono (menggantikan kedudukan Daliyem, Saudara

perempuan seibu) beragama Islam.

Dalam penetapan sudah disebutkan sebagai ahli waris, berarti semua yang disebutkan beragama Islam, jika tidak beragam Islam tidak bisa menjadi ahli waris karena terhalang menjadi ahli waris, hal ini sesuai dengan syarat menjadi ahli waris dalam KHI. Pasal 171 huruf c KHI menerangkan bahwa syarat menjadi ahli waris adalah beragama Islam.

Kaidah yang mendasari adalah kebiasaan yang ada di lingkungan sekitar, karena dilingkungan sekitar menurut Hj. Kusmartini salah satu tokoh masyarakat menyatakan bahwa pembagian di Kertek, Wonosobo jika

berbeda agama tidak dapat mewaris11.

b. Asas Musyawarah

10

H Zainuddin Ali, op.it., h. 4.


(19)

Pembagian yang dilakukan oleh keluarga secara musyawarah, hal ini dikarenakan dalam penetapan disebutkan bahwa pembagian dilaksanakan secara kekeluargaan. Sehingga keluarga berfikir cara yang paling tepat melalui musyawarah, musyawarah dilaksanakan pada tanggal 11 September 2011 antara Endardiyono dengan Triyanti, Trianingsih, Tri Indayani, Tanti Cristina, Liston Setiawan dan Lin Sundarwan yang merupakan anak-anak Tikno Harjono. Selama musyawarah hanya dibahas mengenai bagian yang diperoleh, dari anak-anak Tikno Harjono telah mengatakan bagian yang didapat Endardiyono 1/7 (dianggap anak oleh Tikno Harjono sehingga kedudukan Endardiyo disetarakan anak-anak Tikno Harjono), akan tetapi Endardiyono menolak dan akhirnya dari pihak anak-anak Tikno Harjono bagian Endardiyono dinaikan menjadi 1/6, pembagian tersebut tidak sesuai dan dari cara pembagiaan seperti diatas merugikan Endardiyono dan yang paling penting musyawarah itu tidak sesuai dengan tujuan musyawarah yang bijak selain tidak sesuai dengan tujuan musyawarah. Musyawarah yang dilakukan antara anak-anak Tikno Harjono dengan Endardiyono menurut penulis tidak tercapai hal ini nampak pada jumlah pihak yang bermusyawarah seharusnya pihak yang bermusyawarah seimbang, menurut pendapat Ibu Dyah Hapsari Prananingrum dalam ujian skripsi tanggal 15 Januari 2014 menyatakan bahwa dalam musyawarah yang dilakukan pihaknya tidak seimbang sehingga musyawarah tersebut menghasilkan putusan musyawarah yang semu.

Musyawarah sendiri memiliki tujuan agar tidak menimbulkan perselisihan diantara anggota keluarga akan tetapi apabila musyawarah


(20)

hanya menimbulkan perselisihan diantara keluarga maka makna musyawarah menjadi hilang, sehingga lebih baik jika pembagian dilakukan menurut hukum waris Islam selain mengurangi perselisihan hal ini juga untuk menegakkan hukum waris Islam.

Kaidah dari asas musyawarah ini adalah kebiasaan yang ada dimasyarakat sekitar, dimana ada hal yang perlu diselesaikan atau dibicarakan hal tersebut dilakukan dengan musyawarah.

c. Asas Individual

Pembagian yang diterapkan ketika musyawarah dihitung dengan banyaknya berapa individu yang akan memperoleh. Bagian yang diperoleh dari musyawarah berdasar dari jumlah anak-anak Tikno Harjono dengan Endardiyono karena anak-anak Tikno Harjono berjumlah 6 orang ditambah dengan Endardiyono 1 orang sehingga harta warisan tersebut dibagi 7 orang, agar masing-masing bisa mendapat bagiannya secara individual. Akan tetapi hal ini sangatlah keliru karena anak-anak Tikno Harjono hanya menggantikan Tikno Harjono ketika bermusyawarah dengan Endardiyono, bukan menggantikan kedudukan Tikno Harjono sebagai ahli waris.

Hasil pembagian yang dilakukan oleh anak-anak Tikno Harjono bersama Endardiyono dengan hasil bagian yang didapat Endardiyono 1/6 bagian dan 5/6 bagian untuk anak-anak Tikno Harjono itu sangat keliru menurut penulis. Hal ini berdasar pada kenyataan bahwa anak-anak Tikno Harjono bukan ahli waris dari Hj. Ponijem. Anak-anak Tikno Harjono hanya mewakili Tikno Harjono pada saat musyawarah pembagian dengan


(21)

Endardiyono, yang menjadi ahli waris dari Hj. Ponijem adalah Tikno Harjono dan Endardiyono.

Untuk menerapkan asas individual yang benar, seharusnya pembagian yang dilakukan adalah pembagian untuk Tikno Harjono dengan Endardiyono. Pembagian yang sesuai menurut asas keadilan berimbang dan asas bilateral, hitungannya adalah 2:1 dengan ketentuan 2/3 bagian untuk Tikno Harjono karena Tikno Harjono merupakan saudara laki-laki pewaris dan 1/3 bagian untuk Endardiyono karena Endardiyono menggantikan kedudukan ibunya yang merupakan saudara perempuan pewaris. Dasar hukum untuk pembagian seperti diatas adalah asas bilateral dan asas keadilan berimbang yang menyatakan bahwa keseimbangan terjadi antara laki-laki dan perempuan disesuaikan dengan hak dan kewajibannya, karena laki-laki mempunyai kewajiban lebih besar daripada perempuan maka bagian yang didapat adalah 2:1. Dalam Pasal 182 KHI yang berbunyi: “.... maka bagian

saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan”

sehingga bagian diatas sesuai dengan KHI.

Pelaksanaan pembagian harta warisan yang dilakukan oleh anak-anak Tikno Harjono bersama Endardiyono diatas menciderai beberapa asas dan beberapa kaidah, diantaranya kaidah Pasal 185 KHI. Terdapat beberapa poin, pertama Endardiyono yang ditetapkan sebagai ahli waris pengganti menggantikan kedudukan ibunya tidak diterapkan dalam pelaksanaan pembagian waris. Endardiyono didalam pembagian kedudukannya disamakan dengan anak-anak Tikno Harjono. Kedua pada saat musyawarah dilakukan, penghitungan pembagiannya bukan antara Tikno Harjono dengan


(22)

Endardiyono melainkan antara anak-anak Tikno Harjono dengan Endardiyono. Hal ini seolah-olah memberikan kesan kedudukan Tikno Harjono digantikan oleh anak-anak Tikno Harjono. Padahal sampai saat ini Tikno Harjono masih hidup. Dua poin diatas adalah penjelasan tentang kaidah hukum Pasal 185 KHI yang diciderai dalam palaksanaannya.

Dalam pelaksanaan pembagian waris kedudukan Endardiyono sebagai ahli waris pengganti tidak diakui oleh anak-anak Tikno Harjono sehingga selain menciderai Pasal 185 KHI hal tersebut menciderai aturan lingkungan

sekitar. Seperti yang telah diketahui pendapat dari tokoh masyarakat12 sekitar

mengatakan terdapat ahli waris pengganti walaupun tidak dikenal dengan nama tersebut akan tetapi dari hasil wawancara yang telah dilakukan terdapat

sebuah aturan waris yang memiliki maksud sama yaitu “ngijoli” sehingga

pelaksanaan pembagian waris diatas tidak sesuai dengan konsep aturan yang ada dilingkungan sekitar tempat pembagian itu dilaksanakan.

Dalam kasus sebagaimana yang dialami Endardiyono maka seyogyanya ketentuan pasal 185 KHI diberlakukan secara total, karena memang dasar tersebut yang digunakan dalam menentukan ahli waris pengganti.

Sebagaimana dikutip Prof. Satria, Abu Zahrah, seorang ulama usul fiqh kenamaan menegaskan kemungkinan pembagian warisan secara kekeluargaan ini. Namun demikian, persyaratan paling utama yang harus

dipenuhi adalah adanya kesepakatan dan kerelaan dari para ahli waris13.

12

Tokoh masyarakat disini adalah Widodo Ali Partono dan Ngadino yang telah dipaparkan di hasil penelitian .

13

Satria Effendi Sein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta, Kencana, 2004, h. 217.


(23)

Lebih jauh, ahli waris tersebut juga dapat menggugurkan haknya untuk tidak mendapatkan hak waris dan memberikannya kepada ahli waris yang lain. Sebaliknya, bila para ahli waris, atau di antara ahli waris tidak setuju atau tidak rela harta warisan tersebut dibagi secara kekeluargaan, maka sistem pembagiannya dilakukan sesuai aturan faraid yang telah

dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, atau dalam konteks Indonesia,

sesuai peraturan perundang-undangan yang telah menjelaskan hal itu. Hal tersebut menunjukkan bahwa prinsip kekeluargaan yang pada intinya adalah untuk kemaslahatan hubungan kekeluargaan tidak dapat tercipta, sehingga pembagian warisan dapat menggunakan aturan sesuai dengan Hukum Islam maupun Hukum Barat.

Dalam hal ahli waris pengganti tidak dapat menerima putusan pembagian waris yang dilakukan keluarga, maka dapat dilakukan melalui dua upaya hukum, yaitu melalui Pengadilan Agama untuk menetapkan besaran bagian warisan.

Penggunaan asas dan kaidah yang digunakan hakim dalam penetapan nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb tentang ahli waris dengan penggunaan asas dan kaidah yang digunakan dalam pembagian secara keseluruhan hampir sama hanya terdapat perbedaan di dalam penggunaan asas dan kaidah di pembagian. Didalam penetapan tidak ada asas musyawarah karena didalam penetapan tidak disebutkan tentang pembagian hanya penetapan tentang ahli waris saja.


(1)

haknya, atau menggunakan haknya dengan cara tertentu selama tidak merugikan pihak lain sesuai aturan standar yang berlaku dalam situasi biasa10.

Asas dan kaidah yang digunakan dalam pembagian waris, antara lain: a. Asas Personalitas Ke-Islaman

Asas personalitas ke-Islaman tidak secara eksplisit diterangkan akan tetapi dalam hal pembagian yang dilaksanakan asas ini ada karena semua yang ditetapkan sebagai ahli waris beragama Islam.

Hal ini terlihat dalam hasil penelitian dimana hakim PA Wonosobo menetapkan ahli waris Hj. Ponijem adalah:

1) H. Hadi Pranoto (suami) beragama Islam.

2) Tikno Harjono (Saudara laki-laki seibu) beragama Islam.

3) Endardiyono (menggantikan kedudukan Daliyem, Saudara perempuan seibu) beragama Islam.

Dalam penetapan sudah disebutkan sebagai ahli waris, berarti semua yang disebutkan beragama Islam, jika tidak beragam Islam tidak bisa menjadi ahli waris karena terhalang menjadi ahli waris, hal ini sesuai dengan syarat menjadi ahli waris dalam KHI. Pasal 171 huruf c KHI menerangkan bahwa syarat menjadi ahli waris adalah beragama Islam.

Kaidah yang mendasari adalah kebiasaan yang ada di lingkungan sekitar, karena dilingkungan sekitar menurut Hj. Kusmartini salah satu tokoh masyarakat menyatakan bahwa pembagian di Kertek, Wonosobo jika berbeda agama tidak dapat mewaris11.

b. Asas Musyawarah

10

H Zainuddin Ali, op.it., h. 4.


(2)

Pembagian yang dilakukan oleh keluarga secara musyawarah, hal ini dikarenakan dalam penetapan disebutkan bahwa pembagian dilaksanakan secara kekeluargaan. Sehingga keluarga berfikir cara yang paling tepat melalui musyawarah, musyawarah dilaksanakan pada tanggal 11 September 2011 antara Endardiyono dengan Triyanti, Trianingsih, Tri Indayani, Tanti Cristina, Liston Setiawan dan Lin Sundarwan yang merupakan anak-anak Tikno Harjono. Selama musyawarah hanya dibahas mengenai bagian yang diperoleh, dari anak-anak Tikno Harjono telah mengatakan bagian yang didapat Endardiyono 1/7 (dianggap anak oleh Tikno Harjono sehingga kedudukan Endardiyo disetarakan anak-anak Tikno Harjono), akan tetapi Endardiyono menolak dan akhirnya dari pihak anak-anak Tikno Harjono bagian Endardiyono dinaikan menjadi 1/6, pembagian tersebut tidak sesuai dan dari cara pembagiaan seperti diatas merugikan Endardiyono dan yang paling penting musyawarah itu tidak sesuai dengan tujuan musyawarah yang bijak selain tidak sesuai dengan tujuan musyawarah. Musyawarah yang dilakukan antara anak-anak Tikno Harjono dengan Endardiyono menurut penulis tidak tercapai hal ini nampak pada jumlah pihak yang bermusyawarah seharusnya pihak yang bermusyawarah seimbang, menurut pendapat Ibu Dyah Hapsari Prananingrum dalam ujian skripsi tanggal 15 Januari 2014 menyatakan bahwa dalam musyawarah yang dilakukan pihaknya tidak seimbang sehingga musyawarah tersebut menghasilkan putusan musyawarah yang semu.

Musyawarah sendiri memiliki tujuan agar tidak menimbulkan perselisihan diantara anggota keluarga akan tetapi apabila musyawarah


(3)

hanya menimbulkan perselisihan diantara keluarga maka makna musyawarah menjadi hilang, sehingga lebih baik jika pembagian dilakukan menurut hukum waris Islam selain mengurangi perselisihan hal ini juga untuk menegakkan hukum waris Islam.

Kaidah dari asas musyawarah ini adalah kebiasaan yang ada dimasyarakat sekitar, dimana ada hal yang perlu diselesaikan atau dibicarakan hal tersebut dilakukan dengan musyawarah.

c. Asas Individual

Pembagian yang diterapkan ketika musyawarah dihitung dengan banyaknya berapa individu yang akan memperoleh. Bagian yang diperoleh dari musyawarah berdasar dari jumlah anak-anak Tikno Harjono dengan Endardiyono karena anak-anak Tikno Harjono berjumlah 6 orang ditambah dengan Endardiyono 1 orang sehingga harta warisan tersebut dibagi 7 orang, agar masing-masing bisa mendapat bagiannya secara individual. Akan tetapi hal ini sangatlah keliru karena anak-anak Tikno Harjono hanya menggantikan Tikno Harjono ketika bermusyawarah dengan Endardiyono, bukan menggantikan kedudukan Tikno Harjono sebagai ahli waris.

Hasil pembagian yang dilakukan oleh anak-anak Tikno Harjono bersama Endardiyono dengan hasil bagian yang didapat Endardiyono 1/6 bagian dan 5/6 bagian untuk anak-anak Tikno Harjono itu sangat keliru menurut penulis. Hal ini berdasar pada kenyataan bahwa anak-anak Tikno Harjono bukan ahli waris dari Hj. Ponijem. Anak-anak Tikno Harjono hanya mewakili Tikno Harjono pada saat musyawarah pembagian dengan


(4)

Endardiyono, yang menjadi ahli waris dari Hj. Ponijem adalah Tikno Harjono dan Endardiyono.

Untuk menerapkan asas individual yang benar, seharusnya pembagian yang dilakukan adalah pembagian untuk Tikno Harjono dengan Endardiyono. Pembagian yang sesuai menurut asas keadilan berimbang dan asas bilateral, hitungannya adalah 2:1 dengan ketentuan 2/3 bagian untuk Tikno Harjono karena Tikno Harjono merupakan saudara laki-laki pewaris dan 1/3 bagian untuk Endardiyono karena Endardiyono menggantikan kedudukan ibunya yang merupakan saudara perempuan pewaris. Dasar hukum untuk pembagian seperti diatas adalah asas bilateral dan asas keadilan berimbang yang menyatakan bahwa keseimbangan terjadi antara laki-laki dan perempuan disesuaikan dengan hak dan kewajibannya, karena laki-laki mempunyai kewajiban lebih besar daripada perempuan maka bagian yang

didapat adalah 2:1. Dalam Pasal 182 KHI yang berbunyi: “.... maka bagian

saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan” sehingga bagian diatas sesuai dengan KHI.

Pelaksanaan pembagian harta warisan yang dilakukan oleh anak-anak Tikno Harjono bersama Endardiyono diatas menciderai beberapa asas dan beberapa kaidah, diantaranya kaidah Pasal 185 KHI. Terdapat beberapa poin, pertama Endardiyono yang ditetapkan sebagai ahli waris pengganti menggantikan kedudukan ibunya tidak diterapkan dalam pelaksanaan pembagian waris. Endardiyono didalam pembagian kedudukannya disamakan dengan anak-anak Tikno Harjono. Kedua pada saat musyawarah dilakukan, penghitungan pembagiannya bukan antara Tikno Harjono dengan


(5)

Endardiyono melainkan antara anak-anak Tikno Harjono dengan Endardiyono. Hal ini seolah-olah memberikan kesan kedudukan Tikno Harjono digantikan oleh anak-anak Tikno Harjono. Padahal sampai saat ini Tikno Harjono masih hidup. Dua poin diatas adalah penjelasan tentang kaidah hukum Pasal 185 KHI yang diciderai dalam palaksanaannya.

Dalam pelaksanaan pembagian waris kedudukan Endardiyono sebagai ahli waris pengganti tidak diakui oleh anak-anak Tikno Harjono sehingga selain menciderai Pasal 185 KHI hal tersebut menciderai aturan lingkungan sekitar. Seperti yang telah diketahui pendapat dari tokoh masyarakat12 sekitar mengatakan terdapat ahli waris pengganti walaupun tidak dikenal dengan nama tersebut akan tetapi dari hasil wawancara yang telah dilakukan terdapat sebuah aturan waris yang memiliki maksud sama yaitu “ngijoli” sehingga pelaksanaan pembagian waris diatas tidak sesuai dengan konsep aturan yang ada dilingkungan sekitar tempat pembagian itu dilaksanakan.

Dalam kasus sebagaimana yang dialami Endardiyono maka seyogyanya ketentuan pasal 185 KHI diberlakukan secara total, karena memang dasar tersebut yang digunakan dalam menentukan ahli waris pengganti.

Sebagaimana dikutip Prof. Satria, Abu Zahrah, seorang ulama usul fiqh kenamaan menegaskan kemungkinan pembagian warisan secara kekeluargaan ini. Namun demikian, persyaratan paling utama yang harus dipenuhi adalah adanya kesepakatan dan kerelaan dari para ahli waris13.

12

Tokoh masyarakat disini adalah Widodo Ali Partono dan Ngadino yang telah dipaparkan di hasil penelitian .

13

Satria Effendi Sein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta, Kencana, 2004, h. 217.


(6)

Lebih jauh, ahli waris tersebut juga dapat menggugurkan haknya untuk tidak mendapatkan hak waris dan memberikannya kepada ahli waris yang lain. Sebaliknya, bila para ahli waris, atau di antara ahli waris tidak setuju atau tidak rela harta warisan tersebut dibagi secara kekeluargaan, maka sistem pembagiannya dilakukan sesuai aturan faraid yang telah dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, atau dalam konteks Indonesia, sesuai peraturan perundang-undangan yang telah menjelaskan hal itu. Hal tersebut menunjukkan bahwa prinsip kekeluargaan yang pada intinya adalah untuk kemaslahatan hubungan kekeluargaan tidak dapat tercipta, sehingga pembagian warisan dapat menggunakan aturan sesuai dengan Hukum Islam maupun Hukum Barat.

Dalam hal ahli waris pengganti tidak dapat menerima putusan pembagian waris yang dilakukan keluarga, maka dapat dilakukan melalui dua upaya hukum, yaitu melalui Pengadilan Agama untuk menetapkan besaran bagian warisan.

Penggunaan asas dan kaidah yang digunakan hakim dalam penetapan nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb tentang ahli waris dengan penggunaan asas dan kaidah yang digunakan dalam pembagian secara keseluruhan hampir sama hanya terdapat perbedaan di dalam penggunaan asas dan kaidah di pembagian. Didalam penetapan tidak ada asas musyawarah karena didalam penetapan tidak disebutkan tentang pembagian hanya penetapan tentang ahli waris saja.