REPRESENTASI KELAMBATAN KERJA (Studi Semiotik Representasi Kelambatan Kerja Dalam Karikatur ”100 Hari Pemerintahan SBY-Budiono” Di Surat Kabar Jawa Pos).

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur

OLEH: KAUSAR HALIM NPM. 05 43010 419

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2010 


(2)

KAUSAR HALIM NPM. 05 43010 419

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh tim penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 09 Juni 2010

PEMBIMBING TIM PENGUJI :

1. KETUA

Drs. Kusnarto, MSi Juwito, S.Sos, MSi NPT. 3 6704 95 0036 1 NIP. 19580801 198402 1001

2. SEKRETARIS

Drs. Kusnarto, MSi

NIP. 19580801 198402 1001

3. ANGGOTA

Dr. Catur Suratnoaji, MSi NPT. 3 6804 94 0028 1

Mengetahui, DEKAN

Dra. Ec, Hj. Suparwati, MSi NIP. 19550718 198302 2001


(3)

karuniaNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Representasi Kelambatan Kerja (Studi Semiotik Representasi Kelambatan Kerja Dalam Karikatur ”100 Hari Pemerintahan SBY-Budiono” Di Surat Kabar Jawa Pos)” dapat terselesaikan dengan baik.

Maka pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Drs. Kusnarto. MSi. sebagai Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, nasehat serta motivasi kepada penulis. Dan penulis juga banyak menerima bantuan dari berbagai pihak, baik itu berupa moril, spiritual maupun materiil. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dra. Ec, Hj. Suparwati, MSi Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S.Sos, M.Si Ketua Progdi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial

Dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Dosen-dosen Jurusan Ilmu Komunikasi yang telah banyak memberikan ilmu dan

dorongan dalam menyelesaikan proposal skripsi ini.

4. Ayah, ibu, dan kakakku tercinta dan kakak ipar yang telah memberikan segala

dorongan berupa do’a dan semangat. Hanya Allah saja yang bisa membalasnya.

5. All communication ’05 with or not my friend atas segala bantuan dan

keceriaannya.


(4)

ii

maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah dibutuhkan guna memperbaiki kekurangan yang ada untuk melanjutkan tahap penelitian selanjutnya. Akhir kata semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca, khususnya untuk teman-teman di Jurusan Ilmu Komunikasi.

Surabaya, Mei 2010

Penulis


(5)

KATA PENGANTAR ……….. i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ……….... v

ABSTRAKSI ………... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Kegunaan Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori ... 9

2.1.1. Kelambatan Kerja ………. .. 9

2.1.2. Media Cetak ... 9

2.1.3. Kartun Dan Karikatur ... 10

2.1.4. Karikatur Dalam Surat Kabar ... 11

2.1.5. Kritik Sosial ... 16

2.1.6. Etika Komunikasi ... 19


(6)

2.1.10. Konsep Makna ... 30

2.1.11. Kura-Kura ... 32

2.1.12. Cermin ... 33

2.1.13. Bendera ... 33

2.1.14. Bukit ... 33

2.1.15. 100 Hari ... 33

2.1.16. Pemerintahan SBY-Budiono ... 34

2.1.17. Respon Psikologi Warna ……….. 35

2.2. Kerangka Berpikir ... 37

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian ... 38

3.2. Korpus ... 39

3.3. Unit Analisis Data ... 39

3.3.1. Ikon (Icon) ... 39

3.3.2. Indeks (Index) ... 40

3.3.3. Simbol (Symbol) ... 40

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 41

3.5. Teknik Analisis Data ... 41


(7)

4.2. Surat Kabar Jawa Pos ……….. 48

4.3. Penyajian Data ………. 50

4.3.1. Ikon, Indeks, dan Simbol Dalam Karikatur ”100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono” Di surat Kabar Jawa Pos ... 51

4.3.2. Tanda dan Acuan Tanda ……….. 53

4.3.3. Penggambaran Karikatur 100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono Di Surat Kabar Jawa Pos ... .... 53

4.3.4. Karikatur 100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono Di Surat Kabar Jawa Pos Dalam Kategori Tanda Pierce ... 54

4.4. Analisis Karikatur ”100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono” Di Surat Kabar Jawa Pos Dalam Tiga Kategori Tanda Model Semiotik Pierce ... 57

4.4.1. Ikon ... 58

4.4.2. Indeks ... 60

4.4.3. Simbol ... 61 4.5. Makna Keseluruhan Karikatur 100 Hari

Pemerintahan SBY-Boediono pada surat


(8)

vi

5.2. Saran ………. 69

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana “Representasi Kelambatan Kerja” dalam karikatur gambar clekit Jawa Pos tentang “100 Hari Pemerintahan SBY-Budiono” yang masih belum terlihat dampaknya secara signifikan kepada rakyatnya edisi Kamis, 28 Januari 2010 di surat kabar Jawa Pos

Landasan teori yang digunakan pada penelitian ini antara lain : teori segitiga makna Charles Sanders Pierce, Kritik Sosial, Kartun dan Karikatur, Karikatur dalam Surat Kabar, Konsep Makna, Respon Psikologi Warna, Representasi, Semiotika. Sumber atau teori tersebut digunakan sebagai dasar atau acuan dalam pembahasan penelitian.

Korpus dalam penelitian ini adalah karikatur gambara clekit edisi Kamis, 28 Januari 2010. Tentang kinerja 100 hari Pemeintahan SBY-Boediono yang terkesan lambat dan belum terlihat dampaknya secara signifikan kepada rakyatnya. Analisis semiotik ini menggunakan penedekatan semiotika model C.S. Pierce. Dengan menggunakan model semiotik dari Pierce. Sistem tanda (gambar,warna,perilaku non verbal dan atribut pendukung) yang digunakan sebagai indikator pengamatan dalam penelitian kualitatif dengan menggunakan deskriptif karikatur, yang mengkategorikan tanda tersebut menjadi ikon, indeks, simbol.

Dari hasil interpretasi, maka Karikatur Editorial Clekit edisi 28 Januari 2010 membentuk makna semiotik representasi yaitu Kura-kura tersebut adalah Presiden SBY yang dilambangkan menjadi kura-kura yang layaknya seorang perempuan yang gemar bersolek di depan cermin. Penggambaran yang demikian itu memperlihatkan bahwa presiden yang ingin menjaga penampilannya agar citra dan profesinya tidak terlihat buruk. Adanya hubungan sebab akibat diantara seluruh obyek dalam karikatur, hubungan ini membentuk suatu sifat kurang baik yang berupa betapa peliknya masa 100 hari pemerintahan SBY-Boediono saat ini sehingga rakyat kurang puas terhadap kinerja Presiden SBY dalam menjalankan konsekuensinya sebagai presiden terpilih.

Kata kunci : Analisis Semiotik, karikatur, 100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono, Surat Kabar Jawa Pos.

vii  


(10)

1.1. Latar Belakang Masalah

Pemerintahan SBY-Budiono dan kabinet bersatu jilid 2 berbeda dengan situasi lima tahun lalu ketika SBY berduet dengan Jusuf Kalla, seratus hari pemerintahan SBY-Budiono kali ini secara internal diterpa banyak masalah : kriminalisasi KPK, Bank Century, dan kepemimpinan kepolisian. Umpama perguruan silat, tidak banyak jurus jitu yang dikeluarkan. Sebab internal padepokannya diterpa banyak masalah. Secara teotiris dalam ilmu pemerintahan, ada asumsi deduktif bahwa masalah-masalah pemerintahan tidak akan mudah diselesaikan dan hampir mustahil diselesaikan dalam hitungan bulan, apalagi dalam hitungan hari. Apalagi, kasus Indonesia banyak problem internal pemerintahan.

Presiden Barrack Obama, Kevin Rudd, ataupun Margareth Thatcher, dan puluhan pimpinan negara maju lain tidak berani mengklaim bahwa banyak masalah akan selesai dalam seratus hari. Bahkan Amerika dan sekutunya saja gagal menemukan seseorang “pejalan kaki berjenggot” bernama Usamah bin Laden selama bertahun-tahun. Apalagi menyelesaikan masalah dalam negeri mereka yang lebih kompleks.


(11)

Begitu juga program 100 hari pemerintahan SBY-Budiono kali ini. Ia adalah rencana yang kompleks dan tidak bisa disimplifikasi, misalnya pemberantasan korupsi, kebangkitan ekonomi, perbaikan nasib petani, peningkatan kualitas dan akses pendidikan bagi orang miskin, serta pesoalan mendasar lain.

“Talk Less Do More” kutipan salah satu iklan rokok tersebut telah akrab ditelinga. Namun, slogan itu jarang diresapi dan dilakukan. Tahun 2010 tidak akan lebih mudah daripada 2009, sehingga mau tidak mau harus berusaha lebih keras menghadapi tantangan di depan. Berusaha lebih keras harus diwujudkan dalam tindakan nyata bukan sekadar kata-kata di mulut.

Berlaku untuk pemerintah, misalnya, hendaknya tidak hanya berkomentar di media mengenai urusan politik. Rakyat benar-benar menanti pekerjaan pemerintah demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Rakyat sudah lelah dengan berbagai skandal dan konflik antar politikus. Percuma saja bila berkomentar sana-sini tentang urusan politik sementara pekerjaan yang seharusnya dikerjakan menjadi terlantar, alangkah baiknya jika energi yang dimiliki dipergunakan untuk hal-hal yang berguna.

Tradisi program kerja 100 hari presiden terpilih Indonesia baru dikenal semenjak masa Reformasi. Seratus hari atau tiga bulan adalah waktu yang cukup singkat. Tradisi ini memang banyak dinanti oleh masyarakat. Banyak pihak yang ingin mengetahui apa saja langkah yang akan dilakukan presiden terpilih dalam jangka waktu tiga bulan tersebut.


(12)

Media cetak seperti surat kabar tidak hanya berperan sebagai pencarian informasi yang utama dalam fungsinya, tetapi juga mempunyai suatu karakteristik yang menarik. Dari keseluruhan fungsi pers yaitu memberikan informasi, hiburan, dan kontrol sosial. Fungsi pers sebagai kontrol sosial adalah yang terpenting. Karena pada hakekatnya dianggap sebagai kekuatan keempat yakni dalam menjalankan kontrol masyarakat terhadap pemerintah, baik berupa dukungan maupun kritikan.

Kontrol sosial dapat dilakukan dengan beberapa cara baik eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit kontrol sosial ini dapat terlihat dari penulisan tajuk rencana surat kabar dalam menanggapi permasalahan-permasalahan yang terjadi dan berkembang yang merupakan berita utama dari surat kabar tersebut ataupun berita yang menjadi wacana publik saat itu.

Secara implisit kontrol sosial dapat dilakukan salah satunya adalah dengan tampilan karikatur. Keberadaan karikatur pada surat kabar, bukan berarti hanya melengkapi surat kabar dan memberikan hiburan selain berita-berita utama yang disajikan. Tetapi juga dapat memberikan informasi dan tambahan pengetahuan terhadap masyarakat.

Menurut Nimmo (2000:46) dalam penyajiannya di media cetak, karikatur merupakan salah satu unsur penting, bahkan tak terpisahkan disamping tajuk rencana, opini, dan artikel pilihan lainnya. Bagi pembaca atau setidak-tidaknya para pembaca awam, karikatur membawa arti komunikasi yang cukup penting. Ketika pesan tak lagi bisa tersampaikan


(13)

dalam bentuk tulisan, maka karikatur seringkali justru bermakna penting karena bisa diinterpretasikan menurut pengalaman personal. Fakta-fakta yang kadang merupakan peristiwa pahit bisa dikemukakan tanpa menyinggung perasaan.

Gambar karikatur adalah karya pribadi, produk suatu keahlian seorang kartunis, baik dari segi pengetahuan, intelektual, teknik melukis, psikologi, maupun bagaimana dia memilih tema atau isu yang tepat. Karikatur merupakan tanggapan atau opini secara subyektif terhadap suatu kejadian, tokoh, suatu soal, pemikiran atau pesan tertentu. Gambar karikatur

merupakan simbolic speech (komunikasi tidak langsung) artinya bahwa

penyampaian pesan yang terdapat dalam gambar karikatur tidak dilakukan secara langsung tetapi dengan menggunakan bahasa simbol. Dengan kata lain makna yang terkandung dalam karikatur adalah makna yang terselubung. Simbol-simbol pada gambar karikatur tersebut merupakan simbol yang disertai maksud (signal) yang digunakan dengan sadar oleh orang yang mengirimnya (si pengirim) dan mereka yang menerimanya (si penerima).

Karikatur clekit merupakan pemaknaan dari peristiwa yang terjadi di masyarakat yang meliputi peristiawa politik, sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya yang terjadi. Karikatur clekit dalam satu minggu di muat hanya tiga kali, penyampaian pesan secara implisit dalam artian karikatur sebagai

komunikasi tidak langsung (symbolic speech) dimaksudkan untuk

mengeembangkan kreatifitas, imajinasi pembaca dalam menginterpretasikan makna yang terkandung dalam pesan dan gambar karikatur tersebut. Hasil


(14)

dari makna tersebut yang diharapkan mampu memberikan solusi, pemecahan atau koreksi diri bagi kalangan masyarakat, pemerintah ataupun individu-individu tentang suatu permasalahan.

Berdasarkan latar belakang di atas pemilihan gambar karikatur clekit yang berurutan tentang permasalahan atau kasus yang terjadi terhadap Pemerintahan SBY-Budiono melalui program 100 hari, penulis hendak menjabarkan makna yang terkandung dalam karikatur secara semiotik berdasarkan ikon, indek dan simbol. Penulis akan mengartikan karikatur seorang pejabat atau petinggi negara yang diubah bentuknya menjadi seekor kura-kura yang bercermin ke belakang ketika sedang mendaki perbukitan yang terjal, karikatur editorial merupakan karikatur yang memiliki sifat mengkritik atau memiliki makna sosial. Alasan yang mendasari pemilihan

gambar karikatur clekit adalah adanya deformasi jasmani terhadap

pihak-pihak yang menjadi sasaran, pembuatan karikatur dalam gambar karikatur clekit yang menyebabkan keimplisitan pesan, yaitu di dalam gambar karikatur terdapat perubahan gambar tokoh yang tidak sesuai lagi dengan gambar atau bentuk asli karena adanya tambahan efek-efek gambar dari kartunis sehingga karikatur tersebut memiliki makna dan pesan yang menimbulkan imajinasi bagi pembaca dalam menyikapi gambar karikatur clekit, dan karikaturis menciptakan sensasi melalui gambar tentang suatu peristiwa yang memiliki makna tersembunyi yang menggelitik bagi pembaca. Disamping itu penulis tertarik meneliti gambar karikatur tersebut karena dalam hal ini mengubah bentuk tokoh menjadi hewan merupakan hal yang melanggar etika


(15)

komunikasi khususnya dalam deontologi jurnalisme, karena menyangkut hak akan reputasi dan nama baik dimana dalam gambar karikatur clekit edisi Kamis, 28 Januari 2010 adalah sebagai kepala negara yang sepatutnya mendapatkan kehormatan sebagai orang nomor satu di dalam sebuah negara.

Istilah semiotika yang dimunculkan pada akhir abad ke-19 oleh filusuf aliran pragmatic Amerika, Charles Sanders Pierce merujuk pada “Doktrin formal tentang tanda-tanda”. Yang menjadi dasar semiotika adalah konsep tentang tanda, tidak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun sejauh terkait dengan pikiran manusia seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena jika tidak begitu manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realistis. Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda non verbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya dapat di pandang sebagai jenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi (Sobur, 2003:13). Jadi semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda dan lambang. Akhirnya peneliti menemukan ide untuk melakukan penelitian dengan

mengambil judul “Representasi Kelambatan Kerja (Studi Semiotik

Representasi Kelambatan Kerja Dalam Karikatur ”100 Hari Pemerintahan SBY-Budiono” Di Surat Kabar Jawa Pos)”


(16)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana “Representasi Kelambatan Kerja” dalam karikatur clekit “100 Hari Pemerintahan SBY-Budiono” edisi Kamis, 28 Januari 2010 di surat kabar Jawa Pos?

1.3. Tujuan Penelitian

Dari uraian tentang latar belakang masalah dari perumusan masalah yang telah diajukan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui “Representasi Kelambatan Kerja” dalam karikatur gambar clekit Jawa Pos tentang “100 Hari Pemerintahan SBY-Budiono” yang masih belum terlihat dampaknya secara signifikan kepada rakyatnya edisi Kamis, 28 Januari 2010 di surat kabar Jawa Pos?

1.4. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan praktis

Memberikan landasan pada pengelola media massa, dalam hal ini bahwa informasi atau berita tidak hanya bisa dijabarkan melalui tulisan maupun siaran, namun dapat pula berbentuk gambar kartun berupa karikatur yang


(17)

menarik, memiliki nilai humor didalamnya, mengandung kritikan dan memiliki nilai tersendiri.

2. Kegunaan teoritis

Sebagai bahan acuan serta menambah referensi perpustakaan khususnya ilmu komunikasi kepada para peneliti yang lain mengenai studi analisis isi dengan pendekatan semiotik.


(18)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Kelambatan Kerja

Definisi kelambatan berasal dari kata lambat yaitu perlahan-lahan (geraknya, jalannya, dsb), tidak tepat pada waktunya, tidak optimal dalam melakukan sesuatu. http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php

Sedangkan definisi kerja adalah sesuatu yang dikeluarkan oleh seseorang sebagai profesi, sengaja dilakukan untuk mendapatkan penghasilan.

Pengeluaran energi untuk kegiatan yang dibutuhkan oleh seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Budaya Kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja. (Sumber : Drs. Gering Supriyadi,MM dan Drs. Tri Guno, LLM ). http://definisi.net/story.php?title=kerja

2.1.2. Media Cetak


(19)

Secara garis besar media massa dapat dibedakan menjadi dua, yakni media massa cetak dan media massa elektronik. Media massa cetak maupun elektronik merupakan media massa yang banyak digunakan oleh masyarakat di berbagai lapisan sosial, terutama di masyarakat kota. Keberadaan media massa seperti halnya pers, radio, televisi, film, dan lain-lain, tidak terlepas kaitannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Media massa dapat menjadi jembatan yang menghubungkan komunikator dengan komunikan yang melintasi jarak, waktu, bahkan lapisan sosial dalam masyarakat.

Media cetak dalam hal ini adalah suatu bentuk media yang statis yang mengutamakan pesan-pesan visual. Media ini terdiri dari lembaran dengan sejumlah kata, gambar atau foto dalam tata warna dan halaman hitam putih (Kasali, 1992:99).

2.1.3. Kartun dan Karikatur

Secara singkat dapat dijelaskan, bahwa karikatur, seperti halnya

kartun strip, kartun gags (kartun kata), kartun komik, dan kartun animasi

adalah bagian dari apa yang dinamakan kartun.

Karikatur (latin: carricare) sebenarnya memiliki arti sebagai gambar

wajah yang didistorsikan, diplesetkan, atau dipelototkan secara karakteristik tanpa bermaksud melecehkan si pemilik wajah. Seni memletotkan wajah ini sudah berkembang sejak abad ke-17 di Eropa, Inggris dan sampai ke Amerika bersamaan dengan perkembangan media cetak pada masa itu.


(20)

Di Indonesia, konon karikatur mulai berkembang sejak negeri ini dibawah penjajahan Belanda. Yaitu pengaruh dari gambar karikatur yang secara berkala dimuat di surat kabar berbahasa Belanda, misalnya “de locomotif” yang beredar di Indonesia pada saat itu.

Karikaktur adalah produk suatu keahlian seorang karikaturis, baik dari segi pengetahuan, intelektual, cara melukis, psikologis, cara melobi, referensi, bacaan, maupun bagaimana dia memilih topik isu yang tepat. Karena itu, kita bisa mendeteksi intelektual dari sudut ini. Juga, cara dia mengkritik yang secara langsung membuat orang yang dikritik justru tersenyum. (Sobur, 2006:140).

Karikatur adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam bentuk gambar-gambar khusus. Semula, karikatur ini hanya merupakan selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada perkembangan selanjutnya, karikatur dijadikan sarana untuk kritik yang sehat. Dikatakan kritik sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar-gambar lucu dan menarik. (Sobur, 2006:140)

2.1.4. Karikatur dalam Surat kabar

Proses komunikasi pada hakekatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain, komunikator kepada komunikan, pada dasarnya pikiran bisa serupa gagasan atau ide, opini, informasi dan lain sebagainya, dimana gagasan, opini dan informasi tersebut muncul dari pemikiran seseorang itu sendiri, perasaan bisa berupa keyakinan,


(21)

kepastian, kekhawatiran, kemarahan, kepuasan, keberanian dimana hal-hal tersebut bisa muncul dari perasaan masing-masing. Banyak pengertian yang memberi penjelasan tentang komunikasi massa secara umum, komunikasi massa diartikan penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan media massa adalah komunikasi yang pesannya

ditujukan oleh sejumlah besar orang anonym, heterogen dan tersebar luas

melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak serta tidak mengenal batas geografis kultural. Dengan kata lain komunikasi massa adalah penyaluran pesan-pesan kepada sejumlah orang melalui melaui media massa. Media dalam disipilin bahasa komunikasi adalah sebuah alat untuk menyampaikan pesan untuk berkomunikasi. Dalam konteks masyarakat modern, ia merupakan dengan apa berbagai bentuk komunikasi dilangsungkan (Budiman, 2002: 57).

Dalam masyarakat dari yang primitif hingga terkomplek komunikasi massa memiliki beberapa fungsi. Menurut Laswell fungsi komunikasi ada tiga, yaitu:

1. The surveillance of the environment

Fungsi ini biasa disebut pengamatan lingkungan, yaitu pengamatan yang dilakukan untuk mengetahui kejadian-kejadian apa yang sedang terjadi.


(22)

Fungsi ini adalah fungsi korelasi, fungsi yang menghubungkan bagian-bagian yang ada dalam masyarakat yang menanggapi lingkungan, yakni dengan menghasilkan atau memiliki alternatif-alternatif solusi dalam menangani permasalahan sosial.

3. The transmission of the social heritage from one generation to the

next

Fungsi ini biasa disebut sosialisasi dan pendidikan yaitu fungsi transmisi nilai dan norma sosial dari satu generasi ke generasi berikutnyan (Winarso, 2005: 21)

Media berfungsi sebagai jembatan pengetahuan, pengalaman dan pandangan bagi masyarakat yang dapat membuat kita mengetahui apa yang terjadi di sekitar kita tanpa adanya sikap memihak maupun turut campurnya pihak lain. Tugas komunikator dalam media massa ada dua yaitu, mengetahui apa yang ingin disampaikan dan mengetahui bagaimana komunikator dalam menyampaikan pesan kepada komunikan. Salah satu komponen media massa adalah media cetak dalam bentuk surat kabar, dan dengan sendirinya media cetak memiliki fungsi-fungsi komunikasi massa. Media cetak berupa surat kabar mempunyai pengaruh besar terhadap pola pemikiran masyarakat dalam menyikapi berita tentang hal-hal yang terjadi di sekitar. Wilbur Schram (Rivers, 2003:34) menggunakan istilah yang lebih sederhana, yaitu sistem komunikasi sebagai penjaga, forum dan guru. Ia dan sejumlah pakar menambahkan fungsi keempat: sumber hiburan.


(23)

Karikatur merupakan salah satu dari isi surat kabar yang bersifat hiburan karena karikatur merupakan gambar lelucon yang bersifat lucu dan mengandung unsur humor dengan membawa pesan sosial. Berasal dari

bahasa Italia, caricature tempat kartun pertama muncul didunia pada abad

XVII. Perintisnya bernama Amnibale Carrici, seorang karikaturis yang mampu mengubah wajah seseorang menjadi bentuk binatang atau sayuran namun tetap mirip dengan subyeknya yang bertujuan sebagai ungkapan protes ataupun kritik sosial. Akan tetapi kariaktur pertama muncul di Inggris oleh Thomas Rowlandson (1756-1872) dan James Gillary ( 1757-1815). Dalam perkembangan selanjutnya karikatur dihubungkan dengan jurnalisme (Panuju, 2005:86)

Di Indonesia saat ini sendiri karikatur memiliki kedudukan yang cukup berperan khususnya dalam surat kabar, karena karikatur kebanyakan digunakan untuk melengkapi artikel-artikel dalam surat kabar, salah satu bentuk karikatur yang didefinisikan oleh Junaedhie “karikatur adalah gambar kartun yang menggambarkan atau memiripkan subyeknya dengan gaya satiris atau mengolok-olok” (Panuju, 2005:85). Memuat karikatur berarti kita dihadapkan pada tanda-tanda visual dan kata-kata. Untuk menguak makna karikatur pada kenyataannya bukan hal yang mudah, para pembaca di ajak untuk berpikir tentang arti dan makna karikatur dan memahami pesan-pesan yang tersirat dalam gambar tersebut.

Karya seni karikatur adalah bagian yang kini tidak dapat dipisahkan dari suatu media terutama media cetak atau surat kabar, karikatur diartikan


(24)

sebagai opini redaksi media dalam memasukkan unsur lelucon, anekdot dan humor agar siapapun yang melihatnya dapat tersenyum termasuk obyek atau yang dikarikaturkan itu sendiri (Sumandiria, 2004:3). Karikatur penuh dengan perlambangan yang kaya makna, oleh karena itu karikatur diharapkan dapat menjadi salah satu jembatan bagi informasi pembacanya karena suatu informasi yang disajikan melalui karikatur dapat berfungsi sebagai hiburan yang memiliki nilai bagi pembacanya. Selain dikaji sebagai teks dan gambar juga harus dilakukan menghubungkan karya seni tersebut dengan kejadian yang terjadi disekitar masyarakat yang sedang menonjol atau saat berita tersebut sedang hangat diperbincangkan dan diperdebatkan oleh masyarakat.

Setajam atau sekeras apapun kritik yang disampaikan sebuah karikatur tidak akan menyebabkan revolusi. Karikatur tidak akan menjadi pendobrak, melainkan hanya menyampaikan misi perbaikan untuk suatu keadaan.

Dengan karikatur kita dapat mengangkat suatu permasalahan yang sedang hangat ke permukaan dengan kemasan yang sangat menarik dan memiliki unsur humor, seorang karikaturis diharapkan berperan sebagai nurani yang bisa diajak berwawancara dengan diri sendiri dan menjadi semacam medium untuk mengungkap suatu permasalahan.

Karikatur merupakan salah satu media yang dapat mengetengahkan suatu masalah yang sedang bergejolak ke permukaan, dapat mengangkat suatu permasalahan yang sedang terjadi, baik masalah tersebut melibatkan seseorang maupun melibatkan beberapa pihak atau sebuah badan, karikatur


(25)

diharapkan bisa dijadikan sarana penyampaian kritik sosial yang sehat dan tetap tidak melepaskan budaya pers yang bebas namun bertanggung jawab,

begitu banyak berita atau “news” yang dapat diketahui dari berbagai literatur,

satu sama lain berbeda disebabkan pandangannya dari sudut yang berbeda.

Beberapa tahun lalu, para ahli mendefinisikan berita dengan pandangan dari sudut surat kabar saja. Dan kenyataan menunjukkan bahwa penyiaran radio oleh stasiun radio dan televisi sangat berpengaruh terhadap jurnalistik surat kabar, antara lain dengan kecepatan sampainya berita kepada khalayak. Kalau suatu peristiwa baru dapat diberitakan surat kabar keesokan harinya, lain dengan radio dan televisi hanya dalam hitungan jam saja, bahkan suatu peristiwa nasional dapat disiarkan pada saat kejadian itu sendiri berlangsung, akan tetapi karena ketiga media massa yakni, surat kabar, radio dan televisi masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, maka pada akhirnya masing-masing memiliki upaya saling mengisi.

Dari puluhan bahkan ratusan definisi berita yang dapat dibaca dalam berbagai buku berkala, ada satu definisi yang dikemukakan oleh Prof. Mitchel V. Charnley dalam bukunya “Reporting”, yang berbunyi: “News is the timely report of facts or opinion of either interest or importance, or both, to a considerable number of people” (Berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau opini yang mengandung hal yang menarik minat atau penting, atau kedua-duanya, bagi sejumlah besar penduduk) (1965:34).


(26)

Kritik berasal dari Yunani (kritike = pemisahan, krinoo = memutuskan) dan berkembang dalam bahasa Inggris “critism” yang berarti evaluasi atau penilaian tentang sesuatu. Sementara sosial adalah suatu kajian yang menyangkut kehidupan manusia dalam bermasyarakat seperti interaksi sosial, gaya hidup masyarakat, perubahan sosial yang terkait dengan kehidupan sosial masyarakat. Sehingga kritik sosial dapat diartikan sebagai evaluasi atau penilaian yang menyangkut kehidupan bermasyarakat menciptakan suatu kondisi sosial yang tertib dan stabil. Dalam kritik sosial, pers dan politik Indonesia, kritik sosisal adalah suatu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai sumber kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau proses bermasyarakat.

Dalam konteks inilah kritik sosial merupakan unsur penting dalam memelihara sistem sosial. Dengan kata lain, kritik sosial dalam hal ini berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan reproduksi sebuah sistem sosial atau masyarakat (Masoed, 1999:47). Kritik sosisal juga dapat berarti inovasi sosial, dalam arti bahwa kritik sosial dapat juga membangun gagasan baru yang didapat dari kritik sosial tersebut, perspektif kritik sosial yang demikian lebih banyak dianut oleh kaum kritis dan strukturalis. Mereka melihat kritik sosial adalah wahana komunikatif untuk suatu tujuan perubahan sosial (Masoed, 1999:49).

Kritik sosial yang murni kurang didasarkan pada peneropongan kepentingan diri saja, melainkan justru menitikberatkan dan mengajak masyarakat atau khalayak untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan nyata


(27)

dalam masyarakat. Kritik merupakan bagian essensial dari masyarakat, meskipun teori sosiologi cenderung mengabaikannya. Yang membedakan antara masyarakat satu dengan yang lain hanya cara pernyataannya. Karena dominasi budaya jawa yang sangat kuat, masyarakat Indonesia cenderung menggunakan cara kritik yang tersirat, yang disampaikan secara tidak langsung, misalnya melalui simbol dan sebagainya. Akan tetapi, penyerapan cara kritik jawa itu tidak dapat dilakukan begitu saja, tanpa mempertimbangkan tatanan masyarakat secara keseluruhan.

Kritik memiliki fungsi taktis dan peranan strategis dalam menumbuhkan berbagai kepentingan dan kebutuhan masyarakat dan pemerintahnya. Tidak tertutup mata atas kenyataan bahwa kritik adalah modus sebuah proses input, sehingga otomatis tidak mungkin dihindari. Kritik akan mengingatkan agar masyarakat selalu bertindak sedemikian rupa, sehingga pemikiran, program dan tindakan yang dirancangkan untuk dapat mencapai pemecahan terhadap masalah kehidupan dalam masyarakat atau lingkunganya, dilaksanakan dengan akibat yang semanusiawi mungkin.

Kontrol sosial merupakan dua sisi dari mata uang yang sama, yang selalu ada di dalam masyarakat manapun. Dengan demikian, apabila kontrol sosial cenderung dipahami sebagai aktifitas pengendalian, di dalam percakapan sehari-hari sistem pengendalian sosial sering kali diartikan sebagai pengawasan oleh masyarakat terhadap jalannya pemerintah (Soekanto, 2002:205). Kritik sosial dapat disampaikan mulai dengan ungkapan-ungkapan sindiran melalui komunikasi antar personal dan


(28)

komunikasi sosial, melalui berbagai pertunjukan sosial dan kesenian dalam komunikasi publik, seni sastra dan melalui media massa seperti karikatur.

Wahana kritik sosial sering kali ditemui di dalam media cetak, seperti surat kabar, majalah dan tabloid. Di dalam media ini karikatur biasanya disajikan selingan setelah pembaca menikmati rubrik-rubrik atau artikel-artikel yang lebih serius. Meskipun pesan-pesan di dalam beberapa karikatur sama seriusnya dengan pesan-pesan yang disampaikan lewat berita dan artikel tetapi lebih mudah dicerna atau dipahami sehubungan dengan sifatnya yang menghibur. Kritikan-kritikan yang jenaka disampaikan secara jenaka tidak begitu dirasakan melecehkan atau mempermalukan (Wijana, 2004: 04).

2.1.6. Etika Komunikasi

Etika berasal dari bahasa Yunani Ethos adalah Ilmu yang membahas

perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Tujuan mempelajari etika, untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu tertentu. Pengertian baik Sesuatu hal dikatakan baik bila ia mendatangkan rahmat, dan memberikan perasaan senang, atau bahagia (Sesuatu dikatakan baik bila ia dihargai secara positif), sedangkan pengertian buruk segala yang tercela. Perbuatan buruk berarti perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku.

Hak untuk berkomunikasi di ruang publik merupakan hak yang paling mendasar. Bila hak itu tidak dijamin akan mengebiri pikiran atau kebebasan


(29)

berpikir sehingga tidak ada lagi otonomi manusia. Hak untuk berkomunikasi di ruang publik ini tidak bisa dilepaskan dari otonomi demokrasi yang didasarkan pada kebebasan nurani dan kebebasan untuk berekspresi (B. Libois, 2002:19). Jadi, untuk menjamin otonomi demokrasi ini hanya mungkin apabila hak untuk berkomunikasi di publik dihormati. Etika komunikasi merupakan bagian dari upaya untuk menjamin otonomi demokrasi tersebut.

Perilaku aktor komunikasi hanya menjadi salah satu dimensi etika komunikasi, yaitu bagian dari aksi komunikasi (politik). Aspek etisnya ditunjukkan pada kehendak baik untuk bertangung jawab. Kehendak baik ini diungkapkan dalam etika profesi dengan maksud agar ada norma intern yang mengatur profesi. Aturan semacam ini terumus dalam deontologi jurnalisme. Tiga prinsip utama deontologi jurnalisme (B. Libois, 1994:6-7) :

1. Hormat dan perlindungan atas hak warga negara akan informasi dan

sarana-sarana yang perlu untuk mendapatkannya. Masuk dalam kategori ini adalah perlindungan atas sumber berita; pemberitaan informasi yang benar dan tepat, jujur dan lengkap; pembedaan antara fakta dan komentar, informasi dan opini; sedangkan metode untuk mendapatkan informasi harus jujur dan pantas (harus ditolak jika ternyata hasil curian, menyembunyikan, menyalahgunakan kepercayaan, dengan menyamar, pelanggaran terhadap rahasia profesi atau instruksi yang harus dirahasiakan)


(30)

2. Hormat dan perlindungan atas hak individual lain dari warga negara. Termasuk dalam hak ini ialah hak akan martabat dan kehormatan; hak atas kesehatan fisik dan mental; hak konsumen dan hak untuk berekspresi dalam media; serta hak jawab. Selain itu harus mendapat jaminan juga

ialah hak akan privacy, praduga tak bersalah, hak akan reputasi, hak akan

citra yang baik, hak bersuara dan hak akan rahasia berkomunikasi. Jadi, hak akan informasitidak bisa memberi pembenaran pada upaya yang akan merugikan pribadi seseorang. Setiap orang mempunyai hak untuk menerima atau menolak penyebaran identitasnya melalui media

3. Ajakan untuk menjaga harmoni masyarakat. Unsur ketiga deontologi

jurnalisme ini melarang semua bentuk provokasi atau dorongan yang akan membangkitkan kebencian atau ajakan pada pembangkangan sipil.

Deontologi jurnalisme ini membantu dalam mempertajam makna tanggung jawab. Ia bisa menjadi faktor stabilisasi tindakan yang berasal dari dalam diri aktor komunikasi. (Haryatmoko, 2007 : 45-46)

2.1.7. Semiotika

Kata “semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti

“tanda “ atau seme yang berarti “penafsir tanda”. Semiotika atau dalam istilah

Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana

kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify)

dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to


(31)

berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179; Kurniawan, 2001:53) dalam Sobur (2001:15).

Semiotik sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut sebagai “tanda”. Dengan demikian semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. (Sobur, 2006:87)

Tokoh semiotika Charles Sanders Pierce adalah seorang filsuf

Amerika. Sedangkan Ferdinand De Saussure adalah pendiri linguistic

modern, sarjana dan tokoh besar asal Swiss yang terkenal dengan teorinya tentang tanda. (Sobur, 2006:43)

Membuat kajian komik-kartun-karikaur berarti berhadapan dengan tanda-tanda visual dan kata-kata. Maka itu, pembahasan ini menggunakan kajian kritis yang bertujuan untuk mengungkapan makna tanda-tanda atau simbol-simbol yang ada.

Setiawan mengakui bahwa untuk menguak makna kartun pada kenyataannya bukan pekerjaan mudah, mengingat berbagai persoalannya menyangkut permasalahannya yang berkembang dalam masyarakat, khususnya mengenai masalah sosial dan politik. Selain itu, elemen pembentuk kartun-komik pun cukup kompleks, yakni terdiri atas unsur-unsur berbagai disiplin. (Sobur, 2006:132)

Bagaimana persisnya bisa menganalisis kartun, dalam hal ini ada contoh menarik yang dikemukakan Tomy dengan catatan bahwa kartun yang


(32)

dibuat pada tahun 2001 ini ini harus diletakkan dalam konteks ketika Abdurrahman Wahid masih menjabat presiden RI, dan Megawati sebagai wakil presiden RI, Amien Rais ketua MPR dan Akbar Tanjung ketua DPR. (Sobur, 2006:133)

Langkah pertama, menurut Tomy, kita mesti dapat mendeskripsikan jalinan tanda di kartun tersebut. Upamanya, kita bisa menandai berdasarkan

pola : gesture, komposisi ruang dan hubungan diantara objek. Berdasarkan

pengamatan sekilas kita menemukan suatu ruangan dibagi secara diagonal dan disetiap ujung diletakkan empat gambar tokoh politik, keempat tokoh tersebut secara diametral menatap ke arah yang berbeda dengan mata mereka tidak saling memandang. (Sobur, 2006:134)

Lanjut Tomy, mungkin bisa mengatakan bahwa gambar kartun tersebut tampil sebagai “tanda” karena ada kedekatan antara gambar dengan objeknya. Ada hubungan ikonis antara gambar itu. Dengan demikian

menurutnya, kartun itu memiliki pola: proposition indexical type

(legysign). Suatu pernyataan (proposisi) yang mengacu pada objeknya secara indeksikal dan menjadi “tanda” karena hukum / tradisi / kesepakatan. (Sobur, 2006:134)

Berikutnya, kita bisa mengamati aspek bahasa yang tercantum di bawah ilustrasi tersebut, kemudian mendeskripsikannya dengan


(33)

Apabila dicermati wacana yang terdapat dalam kartun terkait melalui frase “tokoh”. Acuan dari proposisi tersebut dapat ditemukan di dalam kartun. Dengan demikian proposisi sudah mendapatkan acuan dari teks kartun sendiri.

Sudut interpretan, kalimat tersebut, dalam penilaian Tomy, adalah sebuah proposisi. Artinya, suatu teks yang terbuka dan siap untuk dikonfrontasikan dengan realitas atau tanda lainnya. Teks bahasa diperhadapkan dengan ilustrasi kartun.

Demikian, kata Tomy, secara formal kita bisa mengatakan bahwa proses semiosis yang dominan dalam kartun tersebut gabungan atau proposisi

(visual dan verbal) yang dibentuk oleh kombinasi tanda argumen indexical

legisign.

Dalam menganalisa kartun atau komik-kartun, kita seyogyanya menempatkan diri sebagai kritikus, agar bisa secara leluasa melakukan penilaian dan memberi tafsiran terhadap komik-kartun tersebut. Melihat

entitas tanda-tanda visual dalam komik, dapat dianggap sebagai “teks”

tersebut. Akan tetapi guna mempertajam interpretasi makna serta menjaga validitas kajian, diperlukan data yang berfungsi sebagai penguat tafsiran.

Hal lain yang cukup berperan adalah adanya narasi penyerta gambar. Narasi-narasi tersebut kadang berupa rangkaian kata-kata, kadang juga berupa


(34)

sebagainya. Berkaitan dengan teks narasi tentu akan menyentuh bidang kesusastraan. (Sobur, 2006:136)

Pada dasarnya, kartun mengungkapkan masalah sesaat secara ringkas namun tajam dan humoritis sehingga tidak jarang mebuat pembaca tersenyum sendirian. Karena itu, pada umumnya satu “kisah” kartun hanya terbit satu kali di dalam surat kabar atau majalah meskipun beberapa kartun yang telah dimuat media massa dapat juga kemudian dihimpun dan diterbitkan kembali. (Sobur, 2006:140)

2.1.8. Analisis Semiotik Charles Sanders Pierce

Menurut Pierce, semiotik adalah suatu tindakan, pengaruh atau kerja

sama antara tiga subjek yang terdiri dari tanda (sign), objek (object) dan

interpretant (Sobur, 2001:109)

Tanda merupakan pencitraan indrawi yang menampilkan pengertian dari objek yang dimaksudkan. Sedangkan objek adalah produk yang merupakan fokus peran. Interpretant merupakan pengertian yang diturunkan. Model semiotk menurut Pierce dapat digambarkan dalam bentuk segitiga makna, seperti berikut:

Sign


(35)

Gambar 2.1 : Model Semiotik Pierce

Dengan mengacu pada segitiga elemen makna Pirece, maka dapat diketahui mengenai persoalan bagaimana makna yang muncul dari sebuah

tanda (sign) ketika tanda itu digunakan orang pada waktu orang itu

berkomunikasi (Sobur, 2003:115).

Pierce mengelompokkan tanda (sign) menjadi tiga komponen, antara

lain : ikon (icon), indeks (index), simbol (symbol). Ketiga kategori tanda tersebut, digambarkan dalam sebuah model segitiga berikut :

Icon

Index  Symbol 

Gambar 2.2 :

Model Kategori Tanda Pierce

Ikon (ikon) adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang

menyerupai apa yang dipresentasikan dan ditandai dengan kemiripan. Misal : Patung Sukarno adalah ikon Sukarno.

Indeks (index) adalah suatu tanda yang secara alamiah

mempresentasikan objek lainnya. Indeks muncul berdasarkan hubungan sebab akibat yang mempunyai hubungan eksistensi. Misal : awan gelap adalah indeks hujan yang akan turun.

Simbol (symbol) adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukkan


(36)

meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal dan objek yang maknanya disepakati bersama. Misal : Bendera (Mulyana, 2000: 84)

2.1.9. Representasi

Representasi adalah berhubungan dengan stereotype, tetapi tidak sekedar menyangkut hal ini. Lebih penting lagi penggambaran ini tidak hanya

berkenaan dengan tampilan fisik (appearance) dan deskripsi, melainkan juga

terkait dengan makna (nilai) dibalik tampilan fisik (Burton, 2000:41). Representasi merupakan cara media menampilkan seseorang, kelompok atau gagasan atau pendapat tertentu.

Eriyanto menyatakan bahwa ada dua hal yang berkaitan dengan representasi, yakni : (1) apakah seseorang atau kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya, apa adanya ataukah diburukkan. Penggambaran yang tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu. Hanya citra buruk saja yang ditampilkan sementara citra atau sisi yang baik luput dari penampilan. (2) bagaimana representasi tersebut ditampilkan, dengan kata, kalimat, eksentuasi, dan bantuan foto macam apa seseorang atau kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan dalam program. Eriyanto lebih lanjut menambahkan bahwa persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana realitas atau obyek ditampilkan.

Dengan mengutip pernyataan John Fiske, Eriyanto menyebut bahwa saat obyek, peristiwa, kelompok, gagasan, atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi media, level pertama, peristiwa yang ditandakan


(37)

(encode) sebagai realitas. Bagaimana peristiwa tersebut dikonstruksikan sebagai realitas oleh media, dalam bahasa gambar terutama televisi umumnya berhubungan dengan aspek pakaian, lingkungan, ucapan, dan ekspresi. Realitas disini selalu siap ditandakan, ketika kita menganggap, mengkonstruksi peristiwa tersebut sebagai sebuah realitas.

Pada level kedua ketika kita memandang sesuatu sebagai sebuah realitas, yang kemudian memunculkan pertanyaan bagaimana realitas tersebut digambarkan. Di sini digunakan perangkat secara teknis, dalam bahasa tulis alat teknis tersebut adalah kata, kalimat atau proposisi, grafik dan sebagainya. Dalam bahasa gambar (televisi) alat itu berupa kamera, pencahayaan, editing, atau musik.

Pemakaian kata – kata, kalimat atau proposisi tertentu misalnya membawa makna tertentu ketika diterima khalayak. Pada level ketiga bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi – konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode – kode representasi dihubungkan dan diorganisir kedalam koherensi sosial seperti kelas sosial, kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat (patriarki, materialism, kapitalisme, dan sebagainya). Kemungkinan menggunakan ideologi tersebut, misalnya dalam peristiwa pemerkosaan bagaimana peristiwa tersebut digambarkan?

Dalam ideologi yang dipenuhi ideologi patriarki, kode representasi yang muncul misalnya digambarkan dengan tanda posisi kaki laki – laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Dalam representasi seringkali terjadi mis-representasi, yakni ketidak benaran penggambaran, kesalahan


(38)

penggambaran. Mis-representasi merupakan penggambaran seseorang, kelompok atau pendapat, gagasan secara buruk, tidak sebagaimana mestinya.

Penggambaran seperti ini sering dilakukan media pada kelompok yang dianggap tidak memiliki peran atau tidak penting misalnya kelompok perempuan. Dalam mis-representasi terjadi juga proses marjinalisasi pada kelompok tertentu, misalnya perempuan digambarkan sebagai pihak yang tidak berani, kurang inisiatif, tidak rasional, dan emosional. Di sini perempuan tidak digambarkan sebagaimana mestinya. Dalam marjinalisasi ini beberapa praktik bahasa sebagai strategi wacana yakni,

Pertama, penghalusan (eufisme) penggunaan kata atau kalimat untuk memperhalus suatu makna pada obyek misalnya penyebutan alat kelamin

dengan istilah yang dianggap lebih santun, namun eufisme digunakan juga

untuk memarjinalkan misalnya perempuan dianggap sebagai makhluk yang indah, menawan, wajahnya bagai bulan purnama padahal penyebutan ini sebagai bentuk penempatan perempuan sebagai obyek.

Kedua, pemakaian bahasa kasar (disfemisme), merupakan kebalikan

dari eufemisme, yakni realitas menjadi kasar. Jika eufisme digunakan untuk

masyarakat atas maka defimisme digunakan untuk masyarakat bawah. Dalam marjinalisasi pada kelompok perempuan maka penggunakan istilah perempuan nakal, penggoda, perusak rumah tangga, perempuan murahan, sebagai bentuk memarjinalkan perempuan sebagai sumber petaka.

Ketiga, labelisasi, dalam bentuk ini maka perangkat bahasa digunakan


(39)

adalah penggunaan kata – kata yang ofensif kepada individu, kelompok, atau kegiatan. Istilah perusak rumah tangga, penggoda, perempuan nakal digunakan untuk memberikan stigma pada perempuan yang dianggap tidak bermoral, pelabelan ini bukan hanya membuat kelompok ini menjadi buruk tetapi juga memberi kesempatan kepada mereka yang memproduksinya untuk melakukan tindakan tertentu.

Keempat, stereotype adalah penyamaan sebuah kata yang

menunjukkan sifat – sifat negatif atau positif (tetapi umumnya negatif) dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan. Stereotype merupakan praktik representasi yang menggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi negative dan bersifat subyektif. Stereotype yang menempatkan suatu kelompok lebih baik dan kelompok lain lebih buruk, menjadikan representasi yang memihak hal ini terjadi karena faktor – faktor dominan yang masih melekat pada para pengelola media yakni latar belakang pendidikan, budaya dan agama yang mempengaruhi pola pikiran mereka dalam memproduksi pesan. Latar belakang ini menghasilkan pola pikir yang memihak dan dengan sendirinya produk pesan yang subyektif (Eriyanto, 2002:113).

2.1.10. Konsep Makna

Makna dari makna (meaning) merupakan gabungan semiotik dari sisi

teoritis maupun terminologis. Akan tetapi banyak ahli semiotikan

mendefinisikan istilah makna (meaning) dalam pengertian yang sempit yang


(40)

Ogden dan Richard membedakan tidak kurang dari dua puluh tiga

makna tentang makna. Pemahaman tentang makna-makna itu dan makna lain

dari makna memerlukan penjelasan termonologis. Pedoman yang diambil

dalam menentukan istilah-istilah itu yang merupakan marke orientasi adalah

tiga istilah yakni makna, arti dan acuan.

Makna (meaning) telah diadopsi sebagai istilah umum yang mencakup

arti (sense) dan acuan (reference) dalam linguistik dan dalam filsafat bahasa.

Menurut Greimas & Courtes, makna “bisa ditetapkan”, dan “ muncul lebih dahulu dibandingkan pemroduksian semiotik”: ”Tidak ada sesuatu pun yang bisa dikatakan tentang makna, kecuali diperkenalkannya pra anggapan metaforis yang penuh implikasi”. Bersinggungan dengan makna, dan efek ini merupakan realitas tunggal yang bisa dipahami, namun tidak bisa dilihat secara langsung. Argumen-argumen mengenai sulit dimengertinya makna itu jelas dinyatakan dalam tradisi perdebatan filsafat tentang kesulitan pemahaman atas acuan.

Makna, merupakan konsep abstrak yang telah menarik perhatian para ahli filsafat dari para teoritis ilmu sosial selama 2000 tahun silam. Semenjak Plato mengkonseptualisasikan makna manusia sebagai salinan “ultrarealitas”, para pemkir besar telah sering mempergunakan konsep itu dengan penafsiran yang sangat luas merentang sejak pengungkapan mental dari Locke sampai respons yang dikeluarkan dari Skinner. “Tetapi, kata Jerold Katz (dalam Fisher) setiap usaha untuk meberikan jawaban yang


(41)

langsung telah gagal”. Beberapa, seperti misalnya jawaban Plato, telah terbukti terlalu samar dan spekulatif yang lainnya memberikan jawaban yang salah.

2.1.11. Kura-kura

Kura-kura adalah binatang melata berkaki empat, punggungnya berkulit keras, hidupnya di darat dan di laut. Kepala, ekor dan keempat kakinya dapat ditarik masuk ke dalam tempurungnya. Kura-kura merupakan binatang pra sejarah yang telah berevolusi hingga menjadi bentuk yang sekarang ini. Bentuk kura-kura pada jaman dahulu tidak mempunyai tempurung.

Sebuah fosil yang baru teridentifikasi ternyata dapat menjelaskan salah satu misteri evolusi terbesar, yaitu asal mula kura-kura memperoleh tempurungnya. Potongan tulang reptil darat berusia 210 juta tahun dari New Mexico itu menunjukkan bahwa kura-kura purba bisa dibilang sama sekali tidak memiliki tempurung.

Selama beberapa juta tahun, barisan plat pelindung yang awalnya lebih mirip duri-duri keras secara bertahap mulai menyatu, bahkan bergabung dengan tulang rangka reptil. Proses itu akhirnya menghasilkan sebuah tempurung yang utuh. “Kura-kura berasal dari sesuatu yang mirip dengan seekor armadillo,” kata peneliti utama Walter Joyce, ahli palaeontologi di


(42)

Peabody Museum of Natural History di New Heaven, Connecticut, Amerika Serikat. (http://www.indonesiaindonesia.com/f/37066-pecinta-kura-kura/index10.html)

2.1.12. Cermin

Kaca bening yang salah satu mukanya dicat dengan air raksa sehingga dapat memperlihatkan bayangan benda yang ditaruh di depannya, biasanya untuk melihat wajah ketika bersolek.

2.1.13. Bendera

Sepotong kain atau kertas segi empat atau segitiga (diikatkan pd ujung tongkat, tiang, dan sebagainya) dipergunakan sebagai lambang negara, perkumpulan, badan, dan sebagainya atau sebagai tanda.

2.1.14. Bukit

Bukit adalah suatu wilayah bentang alam yang memiliki permukaan tanah yang lebih tinggi dari permukaan tanah di sekelilingnya namun dengan ketinggian relatif rendah dibandingkan dengan gunung. (http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php)

2.1.15. 100 Hari

Hitungan waktu yang jika dibulankan menjadi 3 bulanan, Ada sebuah


(43)

pemimpin Negara. Misalnya saja pada masyarakat Amerika, biasanya pemimpin yang baru terpilih diberikan waktu interval 100 hari untuk bulan

madu (honey moon). Tujuannya, memberi waktu (setting time) agar

pemimpin negara bisa melakukan konsolidasi dan rekonsiliasi politik dengan berbagai kekuatan politik lain agar tidak terburu-buru atau merasa terdesak

dalam menjalankan tugasnya.

(http://politikana.com/baca/2010/01/26/berakhirnya-bulan-madu-100-hari-pemerintahan-sby-budiono.html).

Tradisi program kerja 100 hari presiden terpilih Indonesia baru dikenal semenjak masa Reformasi. Seratus hari atau tiga bulan adalah waktu yang cukup singkat. Tradisi ini memang banyak dinanti oleh masyarakat. Banyak pihak yang ingin mengetahui apa saja langkah yang akan dilakukan presiden terpilih dalam jangka waktu tiga bulan tersebut dan bagaimana hasilnya setelah 100 hari tersebut.

2.1.16. Pemerintahan SBY-Budiono

Tanggal 28 Januari 2010 tepat 100 hari Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono – Budiono dan selama itu apa saja yang telah didapat oleh rakyat Indonesia dari pemerintahan yang baru dibawah kepemimpinan SBY bersama Budiono itu? Tentunya dengan waktu yang hanya 100 hari itu menurut saya belum banyak yang bisa dirasakan oleh kita semua bahkan selama 100 hari itu dinegara kita selalu diwarnai dengan kasus kasus yang seakan-akan sulit untuk diselesaikan seperti kasus Bank Century yang sampai saat ini masih


(44)

dibahas dalam pansus DPR dan kayaknya ada nuansa politik dalam penuntasan kasus tersebut sehingga ada dua kepentingan yang bermain disana walaupun pansus ini diselenggarakan secara terbuka dan telah banyak orang-orang yang dipanggil untuk memberikan kesaksian dan mudah-mudahan anggota pansus bisa memberikan kesimpulan yang terbaik untuk bangsa dan Negara ini.

Tapi menurut orang-orang yang berseberangan dengan pemerintahan SBY seperti para Aktivis, Mahasiswa, LSM dan pihak yang selalu kritis dengan pemerintah menilai Pemerintahan SBY gagal dalam mengemban amanah rakyat dalam rangka untuk mensejahterahkan rakyat Indonesia karena mereka menilai tidak hanya 100 hari tetapi sudah 5 Tahun 100 hari dan nyatanya pemerintahan SBY masih banyak persoalan-persoalan bangsa ini yang belum terselesaikan.

Pada tanggal 28 Januari memang banyak aksi Demonstrasi yang dilakukan mahasiswa yang tersebar di wilayah Indonesia walaupun tidak sebesar aksi yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat pas peringatan Hari Anti Korupsi yang lalu dan mereka menilai kinerja pemerintahan dibawah kepemimpinan SBY kurang memuaskan bagi mayoritas rakyat Indonesia dan ada kesan Mosi Tidak Percaya pada pemerintahan SBY sedangkan menurut survey yang dilakukan berbagai pihak ada penurunan tingkat kepuasan oleh publik atas kinerja pemerintahan SBY-Budiono.


(45)

Warna merupakan aspek visual dari tanda, seperti masalah corak dan kejernihannya. Dalam beberapa masalah kejernihan warna mungkin lebih penting dari pada warna itu sendiri dalam menyampaikan pesan. (Berger Arthur Asa, 2005 : 39). Warna merupakan simbol yang menjadi penandaan dalam suatu hal. Warna juga boleh dianggap sebagai suatu fenomena psokologis, warna juga sering digunakan untuk menunjukan suasana emosional, cita rasa, afiliasi politik dan bahkan keyakinan. Berikut respon psikologi dari masing – masing warna :

1. Merah : Power, energi, kehangatan, cinta, nafsu, agresi,

bahaya, menggairahkan, merangsang

2. Biru : Kepercayaan, konservatif, keamanan, tekhnologi,

kebersihan, keteraturan, kenyamanan

3. Hijau : Alami, sehat, keberuntungan, pembaharuan,

kalem, kedamaian, ketentraman

4. Kuning : Optimis, harapan, filosofi, ketidak jujuran,

pengecut, penghianatan, riang, kegembiraan

5. Ungu : Spiritual, misteri, kebangsawanan, transformasi,

kekasaran, keangkuhan, kewibawaan, keagungan

6. Orange : Energy, keseimbangan, kehangatan

7. Coklat : Tanah atau bumi, reliability, daya tahan

8. Abu - abu : Intelek, masa depan, kesederhanaan, kesedihan


(46)

10. Hitam : power, seksualitas, kecanggihan, kematian, misteri, ketakutan, kesedihan, keanggunan, patah hati.

(http://.toekangweb.or.id/07-tips-bentukwarna1.html).

2.2. Kerangka Berpikir

Manusia adalah homo semioticus di mana masing-masing individu

mempunyai latar belakang pemikiran yang berbeda, dalam memaknai suatu objek atau peristiwa. Manusia dapat memproklamasikan sesuatu, apa saja, sebagai tanda karena hal itu dapat dilakukan oleh semua manusia. Makna yang akan diidentifikasi pertama adalah makna denotatif yaitu, mencatat semua tanda visual yang ada atau makna mengambang dan bias dibaca di permukaan. Selanjutnya akan diidentifikasi makna-makna yang tersembunyi yaitu makna konotatif atau kita membaca yang tersirat yang memungkinkan terbacanya nilai-nilai yang digunakan sebagai referensi untuk mengkonstruksikan makna karikatur.

Peneliti tertarik untuk meneliti Karikatur ”100 Hari Pemerintahan SBY-Budiono” Di Surat Kabar Jawa Pos. Karena menurut analisis peneliti terdapat beberapa unsur kelambatan dalam karikatur tersebut.

Dalam Karikatur ”100 Hari Pemerintahan SBY-Budiono”, terdapat beberapa gambar yang memperlihatkan unsur kelambatan yang ditunjukkan


(47)

dengan gambar kura-kura yang sedang menoleh ke belakang, bercermin pula, sehingga menunjukkan sisi ketidak seriusan dalam menjalankan tugasnya.

Penelitian representasi kelambatan dalam Karikatur ”100 Hari Pemerintahan SBY-Budiono”, menggunakan kategori tersebut yang ditentukan oleh penulis berdasarkan isi kelambatan dalam Karikatur ”100 Hari Pemerintahan SBY-Budiono”.


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Metode semiotika yang digunakan dalam penelitian ini bersifat

kualitatif interpretative (interpretation) yaitu sebuah metode yang

memfokuskan dirinya pada “tanda dan teks” sebagai objek serta bagaimana

memahami dan menafsirkan kode (decoding) di balik tanda dan teks tersebut,

karikatur dalam penelitian ini merupakan kartun editorial, kartun jenis ini merupakan kartun yang memiliki makna kritikan. Seuai dengan pandangan “paradigma” kritis, analisis semiotik bersifat kualitatif. Jenis penelitian ini memberikan peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi-interpretasi alternatif. Dalam hal ini akan diinterpretasikan untuk mengetahiu makna pesan yang disampaikan oleh karikaturis mengenai kritik tentang program 100 hari pemerintahan SBY-Boediono. Interpretasi yang didapat diperkuat oleh data-data yang berguna untuk memperkuat tafsiran tersebut.

Alasan digunakannya metode kualitatif ini dikarenakan menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda

(multipretable). Selain itu metode ini lebih peka dan lebih dapat

menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 2002:5).


(49)

3.2. Korpus

Dalam penelitian kualitatif perlu adanya pembahasan masalah yang disebut dengan korpus. Korpus adalah suatu himpunan terbatas atau berbatas dari unsur yang memiliki sifat bersama, tertentu atau tunduk pada aturan yang sama dan karena itu dapat dianalisa secara keseluruhan. Korpus dalam penelitian ini adalah karikatur gambara clekit edisi Kamis, 28 Januari 2010. Tentang kinerja 100 hari Pemeintahan SBY-Boediono yang terkesan lambat dan belum terlihat dampaknya secara signifikan kepada rakyatnya.

Sebagai analisis, korpus itu bersifat terbuka pada konteks yang beraneka ragam, sehingga memungkinkan untuk memahami banyak aspek dari sebuah pesan yang tidak ditangkap atas dasar suatu analisis yang bertolak dari unsur tertentu.

3.3. Unit Analisis Data

Unit analisis data pada penelitian ini adalah tanda-tanda yang ada dalam karikatur gambar clekit di Jawa Pos, edisi Kamis, 28 Januari 2010 yang dimaknai dengan menggunakan ikon, indeks, simbol pada karikatur gambar clekit. Pada karikatur gambar clekit tersebut dalam kaitannya menggunakan metode Charles Sanders Pierce.

3.3.1. Ikon (Icon)

Ikon (ikon) adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang


(50)

karikatur “100 HARI PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO” ditunjukkan dengan :

Seekor kura-kura, bukit terjal berwarna hitam, cermin.

3.3.2. Indeks (Index)

Indeks (index) adalah suatu tanda yang secara alamiah

mempresentasikan objek lainnya. Indeks muncul berdasarkan hubungan sebab akibat yang mempunyai hubungan eksistensi. Pada karikatur “100 HARI PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO” ditunjukkan dengan :

Garis gerak gerik, bendera batas garis akhir (finish) bertuliskan 100 Hari,

dan bendera bertuliskan Pemerintahan SBY-Boediono.

3.3.3. Simbol (Symbol)

Simbol (symbol) adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukkan

sesuatu yang lainnya berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Simbol meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal dan objek yang maknanya disepakati bersama. Pada karikatur “100 HARI PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO” ditunjukkan dengan :

Kura-kura yang berbulu mata lentik sedang menoleh ke belakang dengan

membawa cermin, bukit terjal berwarna hitam, background warna putih,


(51)

Penempatan sebuah tanda menjadi ikon, indeks, dan simbol

tergantung dari kebutuhan sudut pandang khalayak (point of interest) yang

memaknainya. Sehingga penempatan-penempatan tanda-tanda dalam karikatur “100 HARI PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO” di atas, yang mana sebagai ikon, mana indeks dan mana sebagai simbol tersebut hanya sebatas subjektifitas peneliti, bukan menjadi sesuatu yang mutlak, karena hal ini kembali lagi kepada sudut pandang khalayak yang menginterpretasikan karikatur clekit “100 HARI PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO” pada surat kabar Jawa Pos edisi Kamis, 28 Januari 2010 sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung karikatur clekit “100 HARI PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO” pada surat kabar Jawa Pos edisi Kamis, 28 Januari 2010. Pengumpulan data dalam penelitian ini, melalui penggunaan bahan dokumenter seperti surat kabar, studi kepustakaan, bahan-bahan yang dapat dijadikan referensi serta penggunaan internet. Selanjutnya data-data akan dianalisis berdasarkan landasan teori semiotik Pierce dan data dari penelitian ini kemudian akan digunakan untuk mengetahui penafsiran gambar karikatur clekit “100 HARI PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO” pada surat kabar Jawa Pos edisi Kamis, 28 Januari 2010.


(52)

3.5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan gambar. Hal ini disebabkan adanya penerapan metode kualitatif, selain itu semua yang dikumpulkan kemungkinan menjadi jawaban terhadap objek yang diteliti. Analisis data dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan model semiotik dari

Charles Sanders Pierce, yaitu sistem tanda (sign) dalam karikatur yang

dijadikan korpus (sample) dalam penelitian, dikategorikan kedalam tanda

dengan acuannya yang dibuat oleh Charles Sanders Pierce terbagi kedalam

tiga kategori yaitu ikon (icon), indeks (index) dan simbol (symbol).

Dengan studi semiotik peneliti dapat memakai gambar dan pesan yang terkandung dalam karikatur “100 HARI PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO” serta membentuk berbagai interpretasi terhadap karikatur ini. Karikatur clekit “100 HARI PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO” akan di interpretasikan dengan cara mengidentifikasi tanda-tanda yang terdapat dalam setiap penggambaran karikatur.

Untuk mengetahui antara tanda, penggunaan tanda dan realitas eksternal dapat dilakukan dengan menggunakan model semiotik dari Pierce. Sistem tanda (gambar,warna,perilaku non verbal dan atribut pendukung) yang digunakan sebagai indikator pengamatan dalam penelitian kualitatif dengan menggunakan deskriptif karikatur “100 HARI PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO” pada surat kabar Jawa Pos edisi Kamis, 28 Januari 2010.


(53)

Terkait dalam penelitian ini, untuk mengetahui isi pesan dalam

karikatur clekit, peneliti mengamati signs atau sistem tanda yang tampak

dalam gambar, kemudian menginterpretasikan dengan menggunakan metode semiotik Pierce, yang terdiri dari :

1. Object

Adalah Gambar karikatur itu sendiri. Obyek dalam penelitian ini adalah karikatur clekit “100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono” di surat kabar Jawa Pos edisi kamis, 28 Januari 2010.

2. Sign

Adalah Segala sesuatu yang ada dalam karikatur tersebut. Sign dalam karikatur ini adalah seekor kura-kura yang menoleh ke belakang dan sedang bercermin dengan membawa bendera ketika sedang mendaki perbukitan yang

terjal untuk mencapai hariyang ke-100 nya.

3. interpretant

Adalah pemberian kesan tanda makna denotatif dan makna konotatif berdasarkan pengalaman dan pengetahuan peneliti.

Berdasarkan obyeknya Pierce membagi tanda atas ikon (icon), indeks

(index), dan simbol (symbol). Ketiga kategori tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :


(54)

Ikon (ikon) adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang dipresentasikan dan ditandai dengan kemiripan. Ikon dalam karikatur clekit yang dimuat surat kabar Jawa Pos adalah seekor kura-kura, bukit terjal berwarna hitam, dan cermin.

2. Indeks (Index)

Indeks (index) adalah suatu tanda yang secara alamiah

mempresentasikan objek lainnya. Indeks muncul berdasarkan hubungan sebab akibat yang mempunyai hubungan eksistensi. Indeks dalam karikatur clekit yang dimuat surat kabar Jawa Pos adalah garis gerak gerik, bendera

batas garis akhir (finish) bertuliskan 100 Hari, dan bendera bertuliskan

Pemerintahan SBY-Boediono.

3. Simbol (Symbol)

Simbol (symbol) adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukkan

sesuatu yang lainnya berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Simbol meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal dan objek yang maknanya disepakati bersama. Simbol dalam karikatur clekit yang dimuat surat kabar Jawa Pos adalah kura-kura yang berbulu mata lentik sedang menoleh ke belakang dengan membawa cermin, bukit terjal berwarna hitam, background warna putih, dan cermin yang terdapat bayangan kura-kura.


(55)

4.1. Karikatur Clekit

PADA HARIAN Jawa Pos dalam memuat karikatur tidak dilakukan secara periodik atau bertahap dan karikatur dalam muatannya di Jawa Pos tidak memiliki nama yang khusus, seiring berjalannya pemuatan karikatur di Jawa Pos pada bulan Oktober 1994 karikatur dimuat secara rutin yaitu dalam satu minggu sekali karikatur dimuat di Jawa Pos dan terletak di halaman empat dengan nama clekit. Beberapa bulan kemudian atsberbagai pertimbangan, salah satunya para pembaca Jawa Pos sangat antusias dalam menerima karikatur clekit, maka dengan kesepakatan redaksi karikatur clekit di Jawa Pos ditambah pemuatannya, yaitu dari pemuatan satu minggu sekali menjadi dua kali satu minggu setiap hari rabu dan sabtu. Januari 1997 pemuatan karikatur clekit di Jawa Pos ditambah menjadi tiga kali dalam satu minggu tiap hari selasa, kamis, dan sabtu.

Karikatur clekit adalah nama yang diberikan seorang karikaturis yang bernama Leak Koestiya, Leak Koestiya ini juga adalah sang karikaturis yang menciptakan gambar karikatur Clekit, Leak menciptakan karikatur di Jawa Pos dan diberi nama clekit dengan maksud dia ingin menyapa teman-temannya sesama karikaturis dan memberitahukan kepada mereka bahwa Leak masih aktif sebagai karikaturis, karikatur ciptaan Leak “Clekit” ini


(56)

diwakili oleh tokoh sentral anak kecil bercelana pendek menggunakan kaos oblong dengan menggunakan topi terbalik berwarna merah. Leak Koestiya dulu adalah mahasiswa di IKIP PGRI di Semarang, dan selama Leak kuliah dia juga mengerjakan rubrik yang bernama clekit di majalah “FOKAL” majalah mahasiswa IKIP PGRI Semarang. Leak Koestiya menggambar karikatur sampai Desember 2002 dan setelah itu Leak menjabat sebagai redaktur pelaksana Jawa Pos dan jabatan itu masih disandangnya sampai sekarang.

Wahyu kokkang adalah ilustrator dan karikaturis Radar Surabaya (Jawa Pos Group) sejak 1998, dan di tahun 2003 Wahyu Kokkang dipercaya untuk mengerjakan karikatur clekit. Clekit yang digambar Wahyu Kokkang menggunakan tokoh sentral seorang pemuda berambut gondrong mengenakan kaos lengan panjang yang dilipat sebatas siku lengan dengan menggunakan topi sebagai penutup rambutnya yang gondrong dan menggunakan celana jeans. Nama clekit diambil dari bahasa daerah yaitu bahasa Jawa yang berarti rasa sakit dikarenakan gogotan serangga, cubitan yang kecil, badan yang kotor karena keringat, tidak mandi dan lain sebagainya. Clekit pada Jawa Pos tidak dimaksudkan untuk menyakiti hati orang lain atau pihak tertentu, karikatur clekit ini hanya ditujukan sebagai media yang mengingatkan kepada masyarakat bahwa di negara kita atau di masyarakat kita telah terjadi sesuatu, namun dalam penyampaiannya diharapkan tidak membuat orang mengernyitkan kening.


(57)

Karikatur clekit memiliki misi yaitu ingin menyampaikan kepada masyarakat luas tentang hal apa yang telah dan sedang terjadi di sekitar kita, namun clekit ingin menyajkan berita melalui sesuatu yang berbeda yaitu berupa gambar karikatur, jadi masyarakat yang membacanya tidak hanya mendapatkan berita namun juga mendapatkan sajian humor segar yang dapat membuat orang yang membacanya tersenyum, topik yang diangkat clekit merupakan cerminan dari masalah yang sedang terjadi baik itu masalah politik, pemerintahan, sosial, budaya, ekonomi, moral masyarakat, kejahatan, kesejahteraan masyarakat, pendidikan, seni, olah raga, dan human interest. Clekit dalam fungsinya hanya ingin mengingatkan seluruh pihak agar tidak lupa terhadap tugas dan kewajibannya, misalnya : Presiden, Menteri, Lembaga serta publik figur lain. Clekit bertindak sebagai penyalur keinginan politis dari surat kabar, keinginan politis suatu peristiwa dapat berupa kritikan atau komentar suatu kejadian dan isu yang sedang terjadi di masyarakat, sehingga dapat dikatan karikatur clekit merupakan tajuk rencana suatu surat kabar yang dituangkan dalam bentuk gambar kartun yang bersifat humor dan memiliki bobot kritik yang membangun.

Pada dasarnya karikatur clekit mewakili suara rakyat kecil dan masyarakat bawah tentang kejadian-kejadian yang berkembang ditengah masyarakat untuk diangkat ke permukaan. Dengan begitu, penelitian terhadap karikatur ini juga harus dipahami sebagai sebuah studi komunikasi melalui media massa. Artinya isi komunikasi yang disampaikan Wahyu Kokkang


(58)

selaku karikaturis dalam karikatur clekit sendiri sebenarnya sangat dipengaruhi oleh media dimana sang karikaturis berada.

4.2. Surat Kabar Jawa Pos

Jawa Pos didirikan oleh The Chung Shen pada 1 Juli 1949. Seorang WNI kelahiran Bagka yang hanyalah pegawai bagian iklan sebuah gedung bioskop di Surabaya. Karena stiap hari harus memasang iklan bioskop di surat kabar agar pemuatan iklan filmnya lancar, dari sinilah kemudian muncul pemikiran bahwa surat kabar sangat menguntungkan, maka didirikannya Jawa Pos sebagai surat kabar harian yang terbit pagi hari dengan berita-berita umum sebagai ciri utama. Harian ini tentu pada awal mulanya sebagai harian melayu-tionghoa pada saat itu karena sebelumnya sudah ada Pewarta Soerabaia, Trompet Masyarakat dan Perdamaian.

Dalam perkembangan selanjutnya The Chung Shen bisa disebut sebagai raja surat kabar di Surabaya. Dialah yang di tahun 1950-an memiliki tiga perusahaan surat kabar berbahsa Indonesia, berbahasa Tionghoa, bebahasa Belanda. Yang terkhir ini kemudian diubah menjadi Indonesian Daily News yang berbahasa Inggris. Hal-hal yang berbau Belanda diminta untuk diubah termasuk The Chung Shen, Vrije Pers. Sedangkan korannya yang berbahasa Tionghoa malah tidak terbit sama sekali, jadi tinggalah Java Post. Terbitan pertama Java Post sendiri dicetak di percetakan Agil Jl. Kyai Mas Mansyur di Surabaya dengan oplah 1.000 eksemplar sejak 1 April 1954, Java Post berganti ejaan menjadi Djava Post, kemudian sejak tahun 1956


(59)

nama Djava Post disempurnakan menjadi Jawa Pos. Pada saat itu perkembangan Jawa Pos semakin membaik dengan oplah mencapai 20.000 eksemplar tahun 1965-1970. Seperti air laut, bisnis The Chung Shen di bidang surat kabar mengalami pasan surut. Jawa Pos sempat mengalami penurunan oplah pada tahun 1971-1981 menjadi 10.000 eksemplar, jalur distribusinya di Surabaya hanya sampai 2.000 eksemplar, sedangkan di beberapa kota di Jawa Timur pada saat itu Malang hanya beredar 350 eksemplar saja. Koran-korannya yang lain sudah lebih dulu mati.

Penurunan jumlah oplah ini diakibatkan sistem manajemen yang ditetapkan semakin kacau, selain itu juga semakin tertinggalnya teknologi cetak yang dimiliki Jawa Pos. Rendahnya oplah ini mengakibatkan kecilnya pendapatan sehingga ketika usianya menginjak 80 tahun The Chung Shen memutuskan untuk menjual Jawa Pos. Dia merasa tidak mampu lagi untuk mengurus perusahaannya, sementara tiga anaknya memilih tinggal di London, Inggris. Maka di tahun 1982, Eric FH. Samola yang ketika itu menjabat Direktur Utama PT. Grafitti Pers (penerbit majalah TEMPO) mengambil alih Jawa Pos. Untuk menjalankan ide-idenya, Eric memilih Dahlan Iskan yang ketika itu merupakan Kepala Biri TEMPO di Surabaya.

Ditangan Dahlan Iskan Hawa Pos yang hampir mati dengan oplah yang tinggal 6000 eksemplar, dalam waktu hanya lima tahun berkembang menjadi koran dengan oplah lebih dari 30.000 eksemplar, sejak saat itu perkembangan harian Jawa Pos semakin membaik. Lima tahun berikutnya, terbentuklah Jawa Pos News Network (JPNN) jaringan surat kabar terluas di


(60)

Indonesia. Kini JPNN memiliki lebih dari 80 korab dan majalah serta 40 jaringan percetakan. Lima tahun setelah itu telah berdiri pabrik kertas dan dua gedung yang menjulang tinggi di Surabaya dan Jakarta. Dan pada tahun 2002, Jawa Pos memasuki bisnis penyiaran televisi : JTV di Surabaya, Batam TV di Batam dan Riau TV di Pekanbaru. Dahlan Iskan memulai karier sebagai reporter kecil di kota Samarinda (Kalimantan Timur) pada tahun 1957. Setahun kemudian, dia menjadi wartawan majalah terkemuka di Indonesia “TEMPO” sebelum ditunjuk untuk memimpin Jawa Pos pada tahun 1982.

4.3. Penyajian Data

Dari hasil peneliti yang telah dilakukan pada gambar karikatur Clekit surat kabar Jawa Pos yang terbit tiga kali dalam satu minggu pada hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Dari hasil pengamatan peneliti akan disajikan gambar karikatur clekit yang dilatari dengan situasi yang sedang dialami Pemerintahan SBY-Boediono selama 100 Hari pertamanya. Dalam penelitian ini, kartun editorial atau karikatur ”100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono” akan diinterpretasikan dengan cara mengidentifikasi tanda-tanda yang terdapat dalam setiap bentuk penggambaran karikatur secara keseluruhan. Hal tersebut dilakukan untuk dapat mengetahui makna-makna yang direkontruksi dalam karikatur tersebut. Hal ini memungkinkan terbacanya nilai-nilai atau

belief sistem yang digunakan sebagai referensi untuk mengkonstruksikan

makna sebuah karikatur. Karikatur tersebut akan dianalisis dengan model semiotik Charles Sanders Pierce. Pierce membagi tanda bedasarkan obyek,

yaitu ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol).


(61)

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada gambar karikatur ”100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono”, maka berikut ini akan disajikan hasil analisis terhadap keseluruhan tanda dan lambang yang terdapat dalam karikatur ”100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono”. Selanjutnya gambar karikatur ”100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono” tersebut diinterpretasikan berdasarkan landasan teori dari Charles Sanders Pierce untuk mengetahui makna dari keseluruhan tanda dan lambang yang terdapat di dalam gambar karikatur tersebut.

4.3.1. Ikon, Indeks, dan Simbol Dalam Karikatur ”100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono” Di surat Kabar Jawa Pos

Dalam pendekatan semiotik Charles Sanders Pierce terdapat tiga

komponen atau teori segitiga makna (Triangle Meaning) Pierce yang terdiri

atas tanda (sign), obyek (object), dan interpretan (interpretant). Yang dikupas

dalam teori segitiga makna adalah persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi.

Sebagai interpretan, peneliti menganalisa gambar karikatur ”100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono” di surat kabar Jawa Pos yang dijadikan sebagai Corpus (sampel terbatas) dengan menggunakan hubungan antara tanda dengan acuan tanda model Charles Sanders Pierce yang membagi tanda

ke dalam tiga kategori yaitu, ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol)

sehingga akan diperoleh interpretasi dari karikatur melalui kategori tanda tersebut.


(62)

Berdasarkan obyeknya, Pierce membagi tanda sebagai berikut:

1. Ikon

Ikon (ikon) adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang

menyerupai apa yang dipresentasikan dan ditandai dengan kemiripan. Pada karikatur “100 HARI PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO” ditunjukkan dengan :

Seekor kura-kura, bukit terjal berwarna hitam, dan cermin. 2. Indeks

Indeks (index) adalah suatu tanda yang secara alamiah

mempresentasikan objek lainnya. Indeks muncul berdasarkan hubungan sebab akibat yang mempunyai hubungan eksistensi. Pada karikatur “100 HARI PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO” ditunjukkan dengan :

Garis gerak gerik, bendera batas garis akhir (finish) bertuliskan 100 Hari,

dan bendera bertuliskan Pemerintahan SBY-Boediono.

3. Simbol

Simbol (symbol) adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukkan

sesuatu yang lainnya berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Simbol meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal dan objek yang maknanya disepakati bersama. Pada karikatur “100 HARI PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO” ditunjukkan dengan :


(63)

Kura-kura yang berbulu mata lentik sedang menoleh ke belakang dengan

membawa cermin, bukit terjal Berwarna hitam, background warna putih,

dan cermin yang terdapat bayangan kura-kura.

4.3.2. Tanda dan Acuan Tanda

Dalam menganalisa hubungan antara tanda dan acuannya, karikatur 100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono dianalisa berdasarkan model Charles

Sanders Pierce yang membagi tanda menjadi ikon (icon), indeks (index), dan

simbol (symbol), maka peneliti akan mengkaji tanda yang berupa gambar

karikatur tersebut.

4.3.3. Penggambaran Karikatur 100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono Di Surat Kabar Jawa Pos

Tampilan pada karikatur 100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono di Surat Kabar Jawa Pos dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Gambar Obyek

Pada karikatur 100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono, kartunis yang membuat karikatur tersebut menampilkan sosok kura-kura yang berbulu mata lentik sedang menoleh kebelakang dengan membawa cermin dan bendera yang bertuliskan Pemerintahan SBY-Boediono, kemudian bendera 100 Hari sebagai tanda batas akhir, dan bukit dengan permukaan yang terjal sebagai obyek di dalamnya.


(64)

b. Warna

Warna yang ada pada karikatur 100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono tersebut dominan hitam dan putih dengan warna dasar putih sebagai latar belakang karikatur tersebut.

c. Tulisan

Pada karikatur 100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono terdapat tulisan ”PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO”, tulisan ”100 HARI”.

4.3.4. Karikatur 100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono Di Surat Kabar Jawa Pos Dalam Kategori Tanda Pierce

Dalam pendekatan semiotik model Charles Sanders Pierce diperlukan adanya tiga unsur utama yang bisa digunakan sebagai metode analisis yaitu obyek, tanda, dan interpretan. Salah satu bentuk tanda adalah kata, sedangkan obyek adalah sesuatu yang dirujuk oleh tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila ketiga elemen itu berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncul makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut.

Karikatur 100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono yang terdapat pada surat kabar Jawa Pos ini akan menjadi korpus penelitian terlebih dahulu akan dibagi menjadi unsur-unsur (komponen) berdasarkan unit analisis dalam penelitian ini, yaitu :


(1)

dalam menunjang kredibilitas seorang presiden yang telah sukses memperoleh gelar ”presiden anti korupsi”, hal tersebut dilakukan dengan cara menangkis keterlibatannya terhadap isu politik aliran dana Bank Century dan pelemahan KPK yang dapat menjatuhkan citra politik dan investasi politik untuk masa depan partai politiknya.

Pada periode pertama 2004-2009 dengan wakil yang masih berpasangan dengan Jusuf Kalla sebelumnya, sosok SBY membawa pemerintahan dengan latar belakang yang bersih dan memberikan dampak yang positif bagi negara, sehingga mampu mempertahankan suara untuk politiknya dalam pemilihan presiden pada periode yang ke dua ini. Di masa periode ke dua ini, SBY membawa nama Pemerintahan yang sedang diusung hingga tahun 2014 nanti, namun tidak banyak hasil yang timbul sesuai dengan harapan masyarakat dalam fondasi awal program 100 hari sehingga cenderung bersifat santai dan bebas tidak begitu berpengaruh dari sebelumnya, sebab, perjalanan karir 100 hari Pemerintahan SBY-Boediono tidak semulus yang diharapkan SBY, karena banyak permasalahan-permasalahan yang sifatnya menghambat seperti : Kasus kriminalisasi pimpinan KPK, Kasus Anggodo, Kasus Mega Korupsi Bank Century, menjadi bagian catatan buram dan kusam 100 hari pemerintahan SBY-Boediono, dapat diartikan bahwa perjalanan pemerintahan SBY-Boediono sangat lambat untuk kepentingan rakyatnya, penuh pelik dan masih diterpa banyak kasus-kasus yang harus dituntaskan.


(2)

67   

 

Maka dapat ditarik kesimpulan dari makna keseluruhan atau triangle meaning C.S. Pierce representai kelambatan kerja dalam karikatur clekit ”100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono” di surat kabar Jawa Pos edisi 28 Januari 2010 bahwa Presiden SBY yang sedang menjalankan program 100 hari sedang dilanda masalah-masalah yang bersifat menghambat, seperti Kasus kriminalisasi pimpinan KPK, Kasus Anggodo, Kasus Mega Korupsi Bank Century, namun kebijaksanaan SBY dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala negara, karena pada masa periode sebelumnya SBY telah sukses membawa pemerintahan yang bersih maka dalam masa pmerintahan periode kedua ini SBY lebih mementingkan citra politiknya tanpa memperdulikan apa yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat khususnya rakyat kecil yang sedang menunggu janji-janji politiknya, hal tersebut ditunjukkan dengan menstabilkan anggapan-anggapan miring yang mengganggu kredibilitasnya dengan cara menangkis keterlibatannya terhadap isu politik aliran dana Bank Century dan pelemahan KPK dengan maksud membersihkan nama partai politiknya dari hal-hal tak terduga yang sifatnya negatif demi mendapatkan suara untuk Demokrat atau investasi politik dan mengakhiri kariernya secara khusnul-khatimah (akhir yang baik). Sehingga dikarenakan terlalu banyaknya masalah-masalah yang sifatnya membuat batu sandungan maka terjadi kelambatan kerja dalam program 100 harinya.


(3)

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi dari gambar karikatur 100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono di surat kabar Jawa Pos diperoleh kesimpulan bahwa Presiden SBY yang sedang menjalankan program 100 hari sedang dilanda masalah-masalah yang bersifat menghambat, seperti Kasus kriminalisasi pimpinan KPK, Kasus Anggodo, Kasus Mega Korupsi Bank Century, namun kebijaksanaan SBY dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala negara, karena pada masa periode sebelumnya SBY telah sukses membawa pemerintahan yang bersih maka dalam masa pmerintahan periode kedua ini SBY lebih mementingkan citra politiknya tanpa memperdulikan apa yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat khususnya rakyat kecil yang sedang menunggu janji-janji politiknya, hal tersebut ditunjukkan dengan menstabilkan anggapan-anggapan miring yang mengganggu kredibilitasnya dengan cara menangkis keterlibatannya terhadap isu politik aliran dana Bank Century dan pelemahan KPK dengan maksud membersihkan nama partai politiknya dari hal-hal tak terduga yang sifatnya negatif demi mendapatkan suara untuk Demokrat atau investasi politik dan mengakhiri kariernya secara khusnul-khatimah (akhir yang baik). Sehingga dikarenakan terlalu banyaknya


(4)

69   

masalah-masalah yang sifatnya membuat batu sandungan maka terjadi kelambatan kerja dalam program 100 harinya.

5.2. Saran

Munculnya gambar karikatur yang dibentuk dengan konsep-konsep yang dapat memercikkan suatu ultimasi pada sasaran yang dituju oleh tampilan gambar karikatur tersebut khususnya gambar karikatur “100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono” di surat kabar Jawa Pos dapat menjadi penggerak hati pemerintah agar lebih dewasa dalam menghadapi isu-isu politik dan mendahulukan problem orang banyak seperti kesejahteraan masyarakat yang seharusnya lebih penting daripada mementingkan isi perutnya sendiri.

Diharapkan Presiden dan wakilnya beserta seluruh sistem struktur organisasinya dapat memberikan solusi terbaik baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain demi terciptanya negara yang bersih dari kejahatan korupsi, masyarakat yang adil dan sejahtera.


(5)

Haryatmoko, 2007, Etika Komunikasi, Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Kasali, Renald, 1992, Manajemen Periklanan Konsep Dan Aplikasinya Di Indonesia, Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti.

Libois, Boris, 1994, Ethique De I’information, Bruxelles : ED. De L’universite de Bruxelles.

Libois, Boris, 2002, La Communication Publique, Paris : L’Harmattan.

Masoed, Mohtar, 1999, Kritik Sosial Dalam Wacana Pembangunan, Yogyakarta : UII Press.

Moleong, Lexy. J, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy, 2000, Pengantar Ilmu Komunikasi, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Nimmo, Dan, 2000, Komunikasi Politik, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Panuju, Redi, 2005, Nalar Jurnalisme : Dasarnya Dasar jurnalistik, Malang : Banyu Media Publishing.

Rivers, William. C, 2003, Media Massa Dan Masyarakat Modern, Jakarta : Prenada Media.

Sobur, Alex, 2001, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Semiotik Dan Framing, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. __________, 2003, Semiotika komunikasi, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

__________, 2006, Analisis Teks Media, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Soekanto, Soerjono, 2002, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Sumandiria, Haris. AS, 2004, Menulis Artikel Dan Tajuk Rencana : Panduan Praktis Penulis Jurnalistik Profesional, Bandung : Simbiosa Rekatama Media.


(6)

Wijana, I Dewa Putu, 2004, Kartun : Studi Tentang Permainan Bahasa, Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Winarso, Heru, 2005, Sosiologi Komunikasi Massa, Jakarta : Prestasi Pustaka.

Non Buku

Yunita, Heny. F, 2007, Pemaknaan Karikatur Clekit “ Tewasnya Siswa IPDN ditangan Para Seniornya” di Surat Kabar Jawa Pos Edisi 10 April 2007, Surabaya : Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Firmansyah, 2009, Pemaknaan Karikatur “Politik BBM Yudhoyono” Pada Majalah Tempo Edisi 19-25 Januari 2009, Surabaya : Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Internet

http://www.indonesiaindonesia.com/f/37066-pecinta-kura-kura/index10.html  (Diakses tanggal 19 Maret, jam 22:50)

http://politikana.com/baca/2010/01/26/berakhirnya-bulan-madu-100-hari-pemerintahan-sby-budiono.html (Diakses tanggal 19 Maret, jam 23:56)

http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php (Diakses tanggal 20 Maret 2010, jam 01:43)

 http://definisi.net/story.php?title=kerja (Diakses tanggal 8 Mei, jam 20:35)

http://.toekangweb.or.id/07-tips-bentukwarna1.html (Diakses tanggal 8 Mei, jam 22:30)


Dokumen yang terkait

Penerapan Kode Etik Jurnalistik dalam Surat Kabar (Studi Analisis Isi Penerapan Pasal 4 dan Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik di Rubrik Siantar Raya dalam Surat Kabar Siantar 24 Jam Edisi Januari 2013)

15 131 91

Etika Pers Dan Kerja Jurnalistik Dalam Surat Kabar (Studi Etnometodologi Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau Jawa Pos)

11 70 201

100 Hari Pemerintahan SBY.

0 0 1

Opini masyarakat tentang pemberitaan demo 100 hari pemerintahan SBY - Boediono di Surat Kabar Jawa Pos Edisi 27-29 januari 2010.

0 0 23

Pembingkaian Berita Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono (Studi Analisis Framing Berita Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas).

2 5 117

KRITIK SOSIAL DAN POLITIK KARIKATUR CLEKIT PADA SURAT KABAR JAWA POS (Studi Semiotik Kritik Sosial dan Politik Karikatur Clekit Pada Surat Kabar Jawa Pos “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” Edisi Sabtu, 31 Juli 2010).

0 4 87

KRITIK SOSIAL DAN POLITIK KARIKATUR CLEKIT PADA SURAT KABAR JAWA POS (Studi Semiotik Kritik Sosial dan Politik Karikatur Clekit Pada Surat Kabar Jawa Pos “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” Edisi Sabtu, 31 Juli 2010)

1 1 23

PEMAKNAAN KARIKATUR “OOM PASIKOM” PADA SURAT KABAR KOMPAS EDISI, 2 OKTOBAR 2010. (Studi Semiotik Terhadap Pemaknaan Karikatur “Oom Pasikom” Pada Surat Kabar Kompas Edisi, 2 Oktober 2010)

0 0 27

REPRESENTASI KELAMBATAN KERJA (Studi Semiotik Representasi Kelambatan Kerja Dalam Karikatur ”100 Hari Pemerintahan SBY-Budiono” Di Surat Kabar Jawa Pos)

0 0 17

PERBEDAAN PERGERAKAN IHSG 100 HARI SEBELUM PEMERINTAHAN PRESIDEN SBY DAN PADA PERIODE 100 HARI PEMERINTAHAN PRESIDEN SBY

0 0 92