KRITIK SOSIAL DAN POLITIK KARIKATUR CLEKIT PADA SURAT KABAR JAWA POS (Studi Semiotik Kritik Sosial dan Politik Karikatur Clekit Pada Surat Kabar Jawa Pos “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” Edisi Sabtu, 31 Juli 2010).

(1)

Pada Surat Kabar Jawa Pos “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” Edisi Sabtu, 31 Juli 2010)

SKRIPSI

oleh :

RIO BAGUS FEBRIANTO 0743010244

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


(2)

KRITIK SOSIAL DAN POLITIK KARIKATUR CLEKIT

PADA SURAT KABAR JAWA POS

(Studi Semiotik Kritik Sosial Dan Politik Karikatur Clekit Pada Surat Kabar Jawa Pos “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR”

Edisi Sabtu, 31 Juli 2010) Disusun Oleh :

RIO BAGUS FEBRIANTO 0743010244

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui, PEMBIMBING

Dra. Herlina Suksmawati, Msi NIP. 19641225.199309.2001

Mengetahui, DEKAN

Dra. Ec. Hj. Suparwati, Msi NIP. 19550718.1898302.2001


(3)

Oleh :

RIO BAGUS FEBRIANTO NPM. 0743010244

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 2 Desember 2010

PEMBIMBING TIM PENGUJI 1. Ketua

Dra. Herlina Suksmawati, Msi Ir. Didiek Tranggono, Msi NIP. 19641225.199309.2001 NIP. 19581225.19900.100

2. Sekretaris

Dra. Diana Amalia, Msi NIP. 19630907.199103.2001

3. Anggota

Dra. Herlina Suksmawati, Msi NIP. 19641225.199309.2001

Mengetahui

DEKAN KETUA JURUSAN

Dra. Ec. Hj. Suparwati, Msi Juwito, S.Sos, Msi NIP. 19550718.1898302.2001 NPT. 3.670.495.00361


(4)

KRITIK SOSIAL DAN POLITIK KARIKATUR CLEKIT

PADA SURAT KABAR JAWA POS

(Studi Semiotik Kritik Sosial Dan Politik Karikatur Clekit Pada Surat Kabar Jawa Pos “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR”

Edisi Sabtu, 31 Juli 2010) Disusun Oleh :

RIO BAGUS FEBRIANTO 0743010244

Telah diuji dan diseminarkan pada tanggal : 2 Desember 2010

PEMBIMBING TIM PENGUJI

1.

Dra. Herlina Suksmawati, Msi Ir. Didiek Tranggono, Msi NIP. 19641225.199309.2001 NIP. 19581225.19900.100

2. Dra. Diana Amalia, Msi

NIP. 19630907.199103.2001

3.

Dra. Herlina Suksmawati, Msi NIP. 19641225.199309.2001

Mengetahui

KETUA PROGDI

Juwito, S.Sos, Msi NPT. 3.670.495.00361


(5)

iii  

Alhamdulillah, Segala puji penulis panjatkan kepada Allah S.W.T. karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Hanya kepada Allah S.W.T rasa syukur yang penulis panjatkan atas segala keberhasilan dan kelancaran selama proses mengerjakan Skripsi ini. Sejujurnya penulis akui bahwa kesulitan selalu ada di setiap proses pembuatan Skripsi ini, tetapi faktor kesulitan itu lebih banyak datang dari diri sendiri. Kesulitan itu akan terasa lebih mudah apabila kita yakin terhadap kemampuan yang kita miliki dan percaya bahwa Allah S.W.T selalu menyertai hingga terselesaikannya Skripsi ini. Semua proses kemudahan dan kelancaran pada saat pembuatan Skripsi ini tidak lepas dari segala bantuan dari berbagai pihak yang sengaja maupun yang tidak sengaja telah memberikan perhatian dan sumbangsihnya. Maka penulis “wajib” mengucapkan banyak terima kasih kepada beliau yang disebut sebagai berikut :

1. Ibu Dra. Hj. Suparwati M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S.Sos, M.Si, selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi.

3. Ibu Dra. Herlina Suksmawati, Msi, Dosen Pembimbing yang telah

meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan, saran dan petunjuk sampai terselesainya penelitian Skripsi ini.

4. Bapak dan ibu dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang


(6)

iv  

5. Seluruh keluargaku tersayang. Especially : Mom (u’re everything ^.T), Dad

(bigg bozzz, Hha), dan Adikku Ria Dian Ervilina Terima kasih atas cinta, kesabaran, do’a, dan dukungannya selama ini.

6. My special person, girl friend, my dear Listya Anjali Hardelina thx 4 all ^^.

7. Semua teman-temanku angkatan 2007, sahabat-sahabat lain, yang penulis

tak bisa sebutkan satu persatu disini, penulis mengucapkan terima kasih, tanpa kalian aku tak akan berada di posisi ini dan aku bukanlah apa-apa.

Akhirnya penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan segala saran serta kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kebaikan laporan ini.

Surabaya, November 2010


(7)

iv  

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI ... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

ABSTRAKSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 12

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Kegunaan Penelitian ... 12

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 12


(8)

v  

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 13

2.1 Landasan Teori ... 13

2.1.1 Media Massa ... 13

2.1.1.1 Surat Kabar ... 14

2.1.2 Komunikasi Non Verbal ... 16

2.1.3 Gedung... 19

2.1.4 Kartun dan Karikatur ... 19

2.1.5 Karikatur Dalam Media Massa ... 20

2.1.6 Kritik Sosial ... 22

2.1.7 Politik... 26

2.1.6 Pendekatan Semiotika ... 27

2.1.7 Semiotika Charles Sanders Pierce ... 30

2.1.8 Konsep Makna ... 33

2.2 Kerangka Berpikir ... 36

BAB III METODE PENELITIAN ... 38

3.1 Jenis Penelitian ... 38


(9)

vi  

3.3.2 Indeks ... 41

3.3.3 Simbol ... 42

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 42

3.5 Teknik Analisis Data ... 43

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian ... 46

4.1.1 Gambaran Umum Harian Jawa Pos ... 46

4.1.2 Sejarah Harian Jawa Pos ... 49

4.2 Penyajian Data ... 52

4.2.1 Karikatur Clekit “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR”... 53

4.2.2 Karikatur Clekit “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” Dalam Kategori Tanda Pierce ... 55

4.3 Analisis Pemaknaan ... 58

4.3.1 Ikon ... 59


(10)

vii  

4.3.3 Simbol ... 65

4.4 Makna Keseluruhan ... 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

5.1 Kesimpulan ... 72

5.2 Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(11)

ABSTRAKSI

RIO BAGUS FEBRIANTO, KRITIK SOSIAL DAN POLITIK

KARIKATUR CLEKIT PADA SURAT KABAR JAWA POS

(Studi Semiotik Kritik Sosial dan Politik Karikatur Clekit Pada Surat Kabar Jawa Pos “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” Edisi Sabtu, 31 Juli 2010)

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana makna yang dikomunikasikan karikatur Clekit pada Surat Kabar Jawa Pos edisi Sabtu, 31 Juli 2010.

Teori yang digunakan adalah semiotika Charles Sanders Peirce yang mengemukakan membagi antara tanda dan acuannya tersebut menjadi kategori yaitu : ikon, indeks, simbol adalah tanda yang hubungan antara penanda dan penandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada Frame of Reference (berdasarkan pengetahuan) serta Field of Experience (latar belakang pengalaman).

Metode semiotik dalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu sebuah metode yang lebih mudah menyesuaikan bila dalam penelitian ini kenyataannya ganda, menyajikan secara langsung hubungan antara peneliti dengan objek peneliti, lebih peka serta dapat menyesuaikan diri dengan banyak pengaruh terhadap pola - pola nilai yang dihadapi. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu data yang dikumpulkan berupa kata - kata dan gambar. Hasil yang didapat dari interpretasi karikatur adalah adanya sebuah sikap pemerintah dalam masalah pencoretan gedung DPR yang dilakukan Pong Harjatmo dan diteruskan karikaturis dalam sebuah karikatur.

Kesimpulan yang didapat adalah dalam karikatur tersebut tidak menginginkan adanya sistem pemerintahan atau politik yang kotor, jauh dari kata-kata jujur, adil dan tegas, tetapi karikatur tersebut mengusung dan menginginkan suasana baru, suasana yg lebih baik dan lebih maju, yaitu sistem politik atau pemerintahan yg bersih.


(12)

1  

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator pada khalayak. Masyarakat haus akan informasi, sehingga media massa sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Media massa terdiri dari media massa cetak, dan media massa elektronik. Media massa cetak terdiri dari majalah, surat kabar, dan buku. Sedangkan media massa elektronik terdiri dari televisi, radio, film, internet, dan lain - lain. Media cetak seperti, majalah, buku, surat kabar justru mampu memberikan pemahaman yang tinggi kepada pembacanya, karena ia sarat dengan analisa yang mendalam dibanding media lainnya. (Cangara, 2005:128)

Saat ini media massa lebih menyentuh persoalan - persoalan yang terjadi di masyarakat secara aktual, seperti harus lebih spesifik dan proporsional dalam melihat sebuah persoalan sehingga mampu menjadi media edukasi dan informasi sebagaimana diharapkan oleh masyarakat. Sebagai lembaga edukasi, media massa harus dapat memilah kepentingan pencerahan dengan kepentingan media massa sebagai lembaga produksi sehingga kasus - kasus pengaburan berita tidak harus terjadi dan merugikan masyarakat.


(13)

Selama ini kita tahu bahwa surat kabar tidak hanya saja sebagai pencarian informasi yang utama dalam fungsi - fungsinya, tetapi bisa juga mempunyai suatu karakteristik yang menarik yang perlu diperhatikan untuk memberikan analisis yang sangat kritis yang akan menumbuhkan motivasi, mendorong serta mengembangkan pola pikir bagi masyarakat untuk semakin kirits dan selektif dalam menyikapi berita - berita yang ada di dalam media, khususnya surat kabar. (Sumadria, 2005:86)

Surat kabar saat ini, seiring dengan perkembangan zaman,

perubahan - perubahan dalam isi atau content yang ditampilkan oleh koran

sangat bervariasi, mulai dari informasi berita (baik dalam maupun luar), hiburan, gaya hidup, informasi lowongan pekerjaan, iklan dan tips - tips

kesehatan. Koran (dari Bahasa Belanda : Krant, dari Bahasa Perancis :

Courant) atau surat kabar adalah suatu penerbitan yang ringan dan mudah

dibuang, biasanya dicetak pada kertas berbiaya rendah yang disebut kertas koran, yang berisi berita - berita terkini dalam berbagai topik. Topiknya bisa berupa even politik, kriminalitas, olahraga, tajuk rencana, cuaca. Surat kabar juga berisi komik, TTS dan hiburan lainnya. Ada juga surat kabar yang dikembangkan untuk bidang - bidang tertentu, misalnya berita untuk industri tertentu, penggemar olahraga tertentu, penggemar seni atau partisipasi kegiatan tertentu. Jenis surat kabar libur biasanya diterbitkan setiap hari, kecuali pada hari - hari libur. Selain itu, juga terdepat surat kabar mingguan yang biasanya lebih kecil dan kurang prestisius dengan surat kabar harian dan isinya biasanya lebih bersifat hiburan. Kebanyakan negara mempunyai


(14)

3  

setidaknya satu surat kabar nasional yang terbit di seluruh bagian negara. Di Indonesia contohnya adalah Jawa Pos. Pemilik surat kabar atau penanggung jawab adalah Penerbit, orang yang bertanggung jawab terhadap isi surat kabar disebut Editor.

Dalam buku Desain Komunikasi Visual, Kusmiati (1999:36), mengatakan bahwa Visualisasi adalah cara atau sarana untuk membuat sesuatu yang abstrak menjadi lebih jelas secara visual yang mampu menarik emosi pembaca, dapat menolong seseorang untuk menganalisa, merencanakan dan memutuskan suatu problema dengan mengkhayalkannya pada kejadian yang sebenarnya. Media verbal gambar merupakan media yang paling cepat untuk menanamkan pemahaman. Informasi bergambar lebih disukai dibandingkan dengan informasi tertulis karena menatap gambar jauh lebih mudah dan sederhana. Gambar berdiri sendiri, memiliki subjek yang mudah dipahami dan merupakan “simbol” yang jelas dan mudah dikenal.

Karikatur sebagai wahana penyampai kritik sosial seringkali kita temui didalam berbagai media massa baik media cetak maupun media elektronik. Didalam media ini, karikatur menjadi pelengkap artikel dan opini. Keberadaannya biasanya disajikan sebagai selingan atau dapat dikatakan sebagai penyejuk setelah para pembaca menikmati artikel - artikel yang lebih serius dengan sederetan huruf yang cukup melelahkan mata dan pikiran. Meskipun sebenarnya pesan - pesan yang disampaikan dalam sebuah karikatur sama seriusnya dengan pesan - pesan yang disampaikan


(15)

lewat berita dan artikel, namun pesan - pesan dalam karikatur lebih mudah dicerna karena sifatnya yang menghibur. Seringkali gambar itu terkesan lucu dan menggelikan sehingga membuat kritikan yang disampaikan oleh karikatur tidak begitu dirasakan melecehkan atau mempermalukan. (Indarto, 1999: 5).

Kesengajaan dalam membentuk sebuah pesan menggunakan bahasa simbol atau non verbal ini juga bukanlah tanpa maksud, penggunaan bentuk non verbal dalam karikatur lebih diarahkan kepada pengembangan interpretasi oleh pembaca secara kreatif, sebagai respon terhadap apa yang yang diungkapkan melalui karikatur tersebut. Dengan kata lain, meskipun dalam suatu karya karikatur terdapat ide dan pandangan - pandangan seorang karikaturis, namun melalui suatu proses interpretasi muatan makna yang terkandung didalamnya akan dapat berkembang secara dinamis, sehingga dapat menjadi lebih kaya serta lebih dalam pemaknaannya.

Memahami makna karikatur sama rumitnya dengan membongkar makna sosial dibalik tindakan manusia, atau menginterpretasikan maksud dari karikatur sama dengan menafsirkan tindakan sosial. Menurut Heru Nugroho, bahwa dibalik tindakan manusia ada makna yang harus ditangkap dan dipahami, sebab manusia melakukan interaksi sosial melalui saling memahami makna dari masing-masing tindakan (Indarto, 1999: 1).

Dalam sebuah karikatur yang baik, kita menemukan perpaduan dari unsur - unsur kecerdasan, ketajaman, dan ketepatan berpikir secara kritis


(16)

5  

serta ekspresif melauli seni lukis dalam menanggapi fenomena permasalahan yang muncul dalam kehidupan masyarakat luas, yang secara keseluruhan dikemas secara humoris, dengan demikian memahami karikatur juga perlu memiliki referensi - referensi sosial agar mampu menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh karikaturisnya. Tokoh, isi, maupun metode pengungkapan kritik yang dilukiskan secara karikatural sangat

bergantung pada isu besar yang berkembang yang dijadikan headline.

Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa karikatur merupakan salah

satu wujud lambang (symbol) atau bahasa visual yang keberadaannya

dikelompokkan dalam kategori komunikasi non verbal dan dibedakan dengan bahasa verbal yang berwujud tulisan atau ucapan. Karikatur merupakan ungkapan ide atau pesan dari karikaturis kepada publik yang dituju melalui simbol yang berwujud gambar, tulisan dan lainnya.

Gagasan menampilkan tokoh atau simbol yang realistis diharapkan membentuk suasana emosional, karena gambar lebih mudah dimengerti dibandingkan tulisan. Sebagai sarana komunikasi, gambar merupakan pesan nonverbal yang dapat menjelaskan dan memberikan penekanan tertentu pada isi pesan. Gambar dalam karikatur sangat berpengaruh, karena gambar lebih mudah diingat daripada kata - kata, paling cepat pemahamannya dan mudah dimengerti, karena terkait dengan maksud pesan yang terkandung dalam isi dan menampilkan tokoh yang sudah dikenal. Gambar mempunyai kekuatan berupa fleksibilitas yang tinggi untuk menghadirkan bentuk atau


(17)

perwujudan gambar menurut kebutuhan informasi visual yang diperlukan. Simbol atau tanda pada sebuah karikatur mempunyai makna yang dapat digali kandungan faktualnya. Dengan kata lain, bahasa simbolis menciptakan situasi yang simbolis pula. Dimana didalamnya terkandung makna, maksud dan arti yang harus diungkap.

Simbol pada gambar merupakan simbol yang disertai maksud (signal). Sobur (2003: 163) menyatakan bahwa pada dasarnya simbol adalah sesuatu yang berdiri atau ada sesuatu yang lain, kebanyakan diantaranya tersembunyi atau tidak jelas. Sebuah simbol dapat berdiri untuk institusi, ide, cara berpikir, harapan, dan banyak hal lain. Dapat disimpulkan bahwa simbol atau tanda pada sebuah gambar memiliki makna yang dapat digali, dengan kata lain, bahasa simbolis menciptakan situasi yang simbolis pula atau memiliki sesuatu yang mesti diungkap maksud dan artinya.

Kartun sendiri merupakan produk keahlian seorang kartunis, baik dari segi pengetahuan, intelektual, teknik menulis, psikologis, cara melobi, referensi, bacaan, maupun bagaimana tanggapan atau opini secara subjektif terhadap suatu kejadian, tokoh, suatu soal, pemikiran, atau pesan tertentu, karena itu kita bisa mendeteksi tingkat intelektual sang kartunis dari sudut ini. Juga cara dia mengkritik yang secara langsung membuat orang yang dikritik justru tersenyum (Sobur, 2003: 140).

Kartun merupakan symbolic speech (komunikasi tidak langsung),


(18)

7  

dilakukan secara langsung tetapi dengan menggunakan bahasa simbol. Dengan kata lain, makna yang terkandung dalam gambar kartun tersebut merupakan makna yang terselubung. Simbol - simbol pada gambar kartun

tersebut merupakan simbol yang disertai signal (maksud) yang digunakan

dengan sadar oleh orang yang mengirimnya dan mereka yang menerimanya.

Sedangkan menurut (Pramoedjo dalam Marliani, 2004: 6) karikatur adalah bagian kartun yang diberi muatan pesan yang bernuansa kritik atau usulan terhadap seseorang atau sesuatu masalah. Meski didalamnya terdapat unsur humor, namun karikatur merupakan kartun satire yang terkadang malahan tidak menghibur, bahkan dapat membuat seseorang tidak tersenyum.

Karikatur (latin : caricature) sebenarnya memiliki arti sebagai

gambar yang didistorsikan, diplesetkan atau dipelototkan secara karakteristik tanpa bermaksud melecehkan si pemilik wajah. Seni memelototkan wajah ini sudah berkembang sejak abad ke - 17 di Eropa, Inggris dan sampai ke Amerika bersamaan dengan perkembangan media cetak pada saat itu (Pramoedjo, 2008 : 13). Karikatur adalah bagian kartun yang diberi muatan pesan yang bernuansa kritik atau usulan terhadap seseorang atau suatu masalah. Meski dibumbui dengan humor, namun karikatur merupakan kartun satire yang terkadang tidak menghibur, bahkan dapat membuat orang tesenyum kecut. (Pramoedjo, 2008 : 13)


(19)

Karikatur membangun masyarakat melalui pesan - pesan sosial yang dikemas secara kreatif dengan pendekatan simbolis. Jika dilihat dari wujudnya, karikatur mengandung tanda - tanda komunikatif. Lewat bentuk - bentuk komunikasi itulah pesan tersebut menjadi bermakna. Disamping itu, gabungan antara tanda dan pesan yang ada pada karikatur diharapkan mampu mempersuasi khalayak yang dituju. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji tanda verbal (terkait dengan judul, subjudul, dan teks) dan tanda visual (terkait dengan ilustrasi, logo, tipografi dan tata visual) karikatur dengan pendekatan semiotika. Dengan demikian, analisis semiotika diharapkan menjadi salah satu pendekatan untuk memperoleh makna yang terkandung dibalik tanda verbal dan tanda visual dalam iklan layanan masyarakat.

Sementara itu, pesan yang dikemukakan dalam pesan karikatur, disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui tanda. Secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal akan didekati dari ragam bahasanya, tema dan pengertian yang didapatkan, sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya apakah secara ikon, indeks, maupun simbols.

Clekit merupakan opini redaksi media Jawa Pos yang dituangkan dalam bentuk gambar karikatur yang menggambarkan berbagai permasalahan bangsa ini. Baik masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, bahkan musibah yang sedang dialami masyarakat. Isi pesan dari gambar


(20)

9  

tersebut biasanya ditujukan untuk mengkritik kebijakan atau langkah pemerintah atau lembaga dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang berkaiatan dengan kepentingan masyarakat luas. Tentu saja kritik yang diopinikan media tersebut adalah kritik yang membangun, kritik yang ditujukan kearah perbaikan untuk semua pihak yang bersangkutan.

Peneliti memilih Jawa Pos karena merupakan salah satu media yang memberikan porsi pada idealisme yang termasuk pula pada visinya “Selalu ada yang baru” yang sekaligus menjadi merek dagang Jawa Pos yang membidik pasar kelas menengah. Media Jawa Pos merupakan salah satu saluran komunikasi politik di Indonesia sela era reformasi, realitas media dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Di samping menggunakan bahasa tulis sebagai media utama penyampaian informasi, juga dapat menggunakan dengan memaknai gambar kartun. Sebagai Koran Nasional peredaran Jawa Pos meliputi hampir seluruh kota di Indonesia dan selalu menjadi market leader.

Dalam hal ini peneliti tertarik untuk mengambil objek penelitian gambar karikatur editorial Clekit yang bertema “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” pasca terjadinya kejadian pencoretan yang dilakukan oleh artis senior Indonesia, Pong Harjatmo. Seperti yang diketahui Pong Harjatmo pada jum’at 30 Juli 2010 melakukan aksi tersebut dengan nekat menaiki atap gedung kura-kura (gedung nusantara). Di atap gedung tersebut Pong menulis kata-kata “Jujur, adil, dan tegas”. Insiden tersebut memicu


(21)

perhatian seluruh Bangsa Indonesia. Pendapat ini jelas dipicu karena faktor kinerja DPR yang kebanyakan masih tidak atau jauh dari kata jujur, adil dan tegas.

Dalam gambar editorial Clekit, ditampilkan diantaranya dengan visualisasi gambar seorang rakyat yang mengkomentari pencoretan gedung DPR, yakni yang dilakukan oleh Pong Harjatmo seorang artis senior Indonesia. Seorang tersebut berkata “KALAU ANGGOTA DEWAN TETAP NGGAK BERUBAH KELAKUANNYA, LAIN KALI CORAT-CORETNYA LANGSUNG DI JIDAT MEREKA SAJA!”.

Dari beberapa uraian di atas, pemilihan gambar karikatur Clekit yang bertema “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” sebagai objek penelitian karena gambar karikaturnya yang unik. Dapat dikatakan unik karena gambar tersebut jelas merupakan suatu sindiran kepada wakil rakyat. Aksi Pong Harjatmo yang kemudian diteruskan oleh kartunis melalui karikaturnya merupakan bentuk kritik sekaligus koreksi dari rakyat terhadap wakilnya, ini mengindikasikan sebuah otokritik bagi anggota dewan. Juga karena apa yang disajikan dalam gambar karikatur editorial tersebut seakan - akan menggambarkan tanggapan permasalahan yang terjadi dalam sudut pandang masyarakat Indonesia. Ini adalah suatu bentuk spontanitas dan kejujuran dari seorang rakyat baik melalui aksi tersebut ataupun juga karikatur yang diwakili. Sebuah kontrol politik yang bisa dianggap tulus dan tidak ditumpangi kepentingan apapun. Dalam mengungkapkan makna pesan


(22)

11  

gambar karikatur tersebut, peneliti menggunakan pendekatan Semiotik, yaitu studi mengenai tanda dan segala yang berhubungan dengan acuannya.

Semiotik untuk studi media massa tidak hanya terbatas sebagai kerangka teori, namun sekaligus juga sebagai metode analisis (Sobur, 2004: 83). Menurut Peirce salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sesuatu yang digunakan agar tanda dapat

berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Sementara itu, pesan yang

dikemukakan dalam pesan karikatur, disosialisaikan kepada khalayak sasaran melalui tanda. Secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal akan didekati dengan ragam bahasanya, tema, dan pengertian yang didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkan, apakah secara ikonis, indeksikal, atau simbolis, dan bagaimana cara mengungkapkan idiom estetiknya dimana hal tersebut terangkum dalam teori Charles Sanders Pierce. Tanda - tanda yang telah dilihat dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan dan dicari hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. (Sobur, 2004: 86)


(23)

1.2 Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : “Bagaimana makna kritik sosial dan politik karikatur “Clekit” pada Surat Kabar Jawa Pos Edisi Sabtu, 31 Juli 2010.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana makna kritik sosial dan politik yang dikomunikasikan karikatur “Clekit” pada Surat Kabar Kompas Edisi Sabtu, 31 Juli 2010 dengan menggunakan pendekatan semiotika.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran pada Ilmu Komunikasi mengenai makna karikatur Clekit pada Surat Kabar Jawa Pos “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” edisi Sabtu, 31 Juli 2010 yang berkaitan dengan krtik sosial dan politik.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan dan dapat menjadi pertimbangan atau masukan untuk mengetahui penerapan tanda dalam studi semiotik sehingga dapat memberi makna bagi para pembaca Surat Kabar Jawa Pos mengenai makna dari karikatur khususnya tentang kritik sosial dan politik yang terjadi di dalam karikatur.


(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

 

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Media Massa

Media massa merupakan “kependekan” dari komunikasi massa. Media massa lahir untuk menjembatani komunikasi antar massa. Massa adalah masyarakat luas yang heterogen, tetapi saling bergantung satu sama lain. Ketergantungan antar massa menjadi penyebab lahirnya media yang mampu menyalurkan hasrat, gagasan dan kepentingan masing - masing agar diketahui dan dipahami oleh yang lain. Penyaluran hasrat, gagasan dan

kepentingan tersebut dinamai pesan (message). Dengan demikian, pada

hakikatnya media massa adalah saling - silang pesan antar massa. Oleh karena itu, kita patut memahami posisi (kedudukan) media massa dan saling - silang pesan. (Pareno: 2005,7). Media massa yang kita kenal saat ini adalah :

1. Media cetak, terdiri dari surat kabar, tabloid, majalah.

2. Media elektronik, terdiri dari radio siaran, televise siaran

(Abdullah: 2001, 9)

16  


(25)

Menurut Pareno (2005:7) dalam berbagai wacana tentang fungsi media massa, disebutkan empat fungsi media massa yaitu : penyalur informasi, fungsi mendidik, fungsi menghibur, dan fungsi mempengaruhi. Keempat fungsi tersebut melekat dalam media massa secara utuh, dalam arti luas harus dilaksanakan secara bersama - sama, tidak boleh mengutamakan satu atau dua fungsi tapi mengabaikan fungsi - fungsi lainnya.

Media juga mengubah bentuk kontrol sosial. Paul Lazarsfeld dan Robert K. Merton (Rivers dan Peterson, 2003:39) juga melihat media dapat menghaluskan paksaan sehingga tampak sebagai bujukan. Mereka mengatakan bahwa kelompok - kelompok kuat kian mengandalkan teknik manipulasi melalui media untuk mencapai apa yang diinginkannya, termasuk agar mereka bisa mengontrol secara lebih halus.

Sebagai suatu sistem, media massa berinteraksi dengan system - system sosial, politik, dan ekonomi. Sistem media massa dengan sistem tersebut saling mempengaruhi dan saling bergantung. Artinya, sistem media massa tidak dapat berjalan apabila system - system lainnya itu juga tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Demikian juga sebaliknya, sistem sosial ataupun sistem politik atau juga system ekonomi tidak berfungsi manakala sistem media massa juga tidak berfungsi. (Pareno: 2005, 69)

2.1.1.1 Surat Kabar

Salah satu komunikasi massa dalam bentuk media cetak adalah surat kabar. Dengan sendirinya surat kabar juga mempunyai fungsi - fungsi

   


(26)

18  

komunikasi massa. Hal ini dapat diketahui batasan ataupun kriteria standard surat kabar.

Menurut Assegaf (1991: 140) surat kabar adalah penerbitan yang berupa lembaran yang berisi berita - berita, karangan - karangan dan iklan yang dicetak dan terbit secara tetap dan periodik dan dijual untuk umum. Selain itu surat kabar juga mempunyai beberapa karakteristik. Menurut Pareno (2005 : 24) karakteristik surat kabar adalah sebagai berikut :

1) Berita merupakan unsur utama yang dominan.

2) Memiliki ruang yang relatif lebih leluasa.

3) Memiliki waktu untuk “dibaca ulang” lebih lama.

4) Umpan balik relatif lebih lamban.

5) Kesegaran (immediately) relatif lebih lamban.

6) Dalam hal kenyataan relatif kurang kredibel.

7) Ditentukan oleh jalur distribusi.

Ada beberapa alasan orang membaca surat kabar. Seseorang ingin

tahu sesuatu karena berbagai alasan : untuk meraih prestise, menghilangkan

kebosanan, agar merasa lebih dekat dengan lingkungannya, atau untuk menyesuaikan perannya di masyarakat. Bagi sebagian orang, koran merupakan sumber informasi dan gagasan tentang berbagai masalah publik yang seruis. Bagi sebagian yang lain, koran bukan untuk mencari informasi,

   


(27)

melainkan untuk mengisi rutinitas. Sebagian pembaca juga menjadikan koran sebagai alat kontak sosial. Ada pula yang menjadikan koran untuk membuang kejenuhan dari kehidupan sehari - hari. (Rivers dan Peterson, 2003: 313)

2.1.2 Komunikasi Non Verbal

Istilah non verbal biasanya digunakan untuk melakukan semua peristiwa komunikasi diluar kata - kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku non verbal ini ditafsirkan melalui simbol - simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku non verbal itu tidak sungguh - sungguh bersifat non verbal (Mulyana, 2001: 312).

Jurgen Ruesch mengklasifikasikan isyarat non verbal menjadi beberapa bagian, antara lain:

1) Isyarat Tangan

Isyarat tangan atau “berbicara dengan tangan” termasuk apa yang disebut emblem, yang dipelajari yang punya makna suatu budaya atau subkultur. Meskipun isyarat tangan yang digunakan sama, maknanya boleh jadi berbeda, atau isyarat fisiknya berbeda namun maksudnya sama.

   


(28)

20  

2) Postur Tubuh

Postur tubuh sering bersifat simbolik. Postur tubuh memang mempengaruhi citra diri. Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara fisik dan karakter atau temperamen. Klasifikasi bentuk tubuh yang dilakukan William misalnya menunjukkan hubungan antara bentuk tubuh dan temperamen.

3) Ekspresi Wajah dan Tatapan Mata

Secara umum dapat dikatakan bahwa makna ekspresi wajah dan padangan mata tidaklah universal, melainkan sangat dipengaruhi oleh budaya.

Mata adalah organ penglihatan yang mendeteksi cahaya. Yang dilakukan mata yang paling sederhana tak lain hanya mengetahui apakah lingkungan sekitarnya adalah terang atau gelap. Mata yang lebih kompleks dipergunakan untuk memberikan pengertian visual. Bagian - bagian pada organ mata bekerjasama mengantarkan cahaya dari sumbernya menuju ke otak untuk dapat dicerna oleh sistem saraf manusia. Bagian - bagian tersebut adalah:

1) Kornea

Merupakan bagian terluar dari bola mata yang menerima cahaya dari sumber cahaya.

   


(29)

2) Pupil dan Iris / Selaput Pelangi

Dari kornea, cahaya akan diteruskan ke pupil. Pupil menentukan kuantitas cahaya yang masuk ke bagian mata yang lebih dalam. Pupil mata akan melebar jika kondisi ruangan yang gelap, dan akan menyempit jika kondisi ruangan terang. Lebar pupil dipengaruhi oleh iris di sekelilingnya. Iris berfungsi sebagai diafragma. Iris inilah terlihat sebagai bagian yang berwarna pada mata.

3) Lensa mata

Lensa mata menerima cahaya dari pupil dan meneruskannya pada retina. Fungsi lensa mata adalah mengatur fokus cahaya, sehingga cahaya jatuh tepat pada bintik kuning retina. Untuk melihat objek yang jauh (cahaya datang dari jauh), lensa mata akan menipis. Sedangkan untuk melihat objek yang dekat (cahaya datang dari dekat), lensa mata akan menebal.

4) Retina / Selaput Jala

Retina adalah bagian mata yang paling peka terhadap cahaya, khususnya bagian retina yang disebut bintik kuning. Setelah retina, cahaya diteruskan ke saraf optik.

   


(30)

22  

5) Saraf optik

Saraf yang memasuki sel tali dan kerucut dalam retina, untuk menuju ke otak.

Sedangkan definisi mata terbelalak adalah melihat sesuatu dengan membelalakkan mata karena penegasan.

Tangan adalah bagian tubuh di ujung suatu lengan. Sebagian besar manusia memiliki dua tangan, biasanya dengan empat jari dan satu ibu jari. Bagian dalam tangan adalah telapak tangan. Jika jari - jari ditekuk erat, tangan akan membentuk suatu kepalan. Selain manusia, banyak jenis hewan lain yang memiliki tangan, terutama dari kelompok primata.

2.1.3 Gedung

Definisi gedung adalah bangunan tembok dan sebagainya yang

berukuran besar sebagai tempat kegiatan seperti perkantoran, pertemuan, perniagaan, pertunjukan, olahraga, dan sebagainya. Ataupun juga rumah tembok yang berukuran besar. Gedung DPR terdiri dari Gedung Utama (Nusantara) yang berbentuk kubah.

2.1.4 Kartun dan Karikatur

Secara singkat dapat dijelaskan, bahwa karikatur seperti halnya

kartun strip, kartun gags (kartun kata), kartun komik dan kartun animasi

adalah bagian dari apa yang dinamakan kartun.

   


(31)

Karikatur adalah produk suatu keahlian seorang karikaturis, baik dari segi pengetahuan, intelektual, teknik melukis, psikologis, cara melobi, referensi bacaan, maupun bagaimana dia memilih topik isu yang tepat. Karena itu, kita bisa mendeteksi intelektual seorang karikaturis dari sudut ini. Juga, cara dia mengkritik yang secara langsung membuat orang yang dikritik justru tersenyum (Sobur, 2006: 140)

Karikatur adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam bentuk gambar-gambar khusus. Semula, karikatur ini hanya merupakan selingan atau ilustrasi belaka. Namun, pada perkembangan selanjutnya, karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat. Dikatakan kritik yang sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar-gambar lucu dan menarik (Sobur, 2006: 40).

Kritik ditulis dengan huruf besar semua. Menggunakan huruf besar telah dianggap sama dengan berteriak. Huruf besar mungkin merupakan sebuah cara untuk menarik perhatian seseorang, tetapi huruf besar tidak mempertahankan perhatian, terutama kalau dipakai terus-menerus.

2.1.5 Karikatur Dalam Media Massa

Komunikasi massa secara umum diartikan sebagai komunikasi yang dilakukan melalui media massa seperti majalah, surat kabar, radio, televisi dan lain sebagainya. Komunikasi massa merupakan komunikasi dimana penyampaian pesan kepada sejumlah orang dilakukan melalui media massa. Baik kartun maupun karikatur di Indonesia belakangan ini sudah bisa

   


(32)

24  

menjadi karya seni yang menyimpan gema panjang, sarat oleh pesan dan estetika, disamping kadar humornya. Karikatur penuh dengan perlambangan-perlambangan yang kaya akan makna, oleh karena itu karikatur merupakan ekspresi dari situasi yang menonjol di dalam masyarakat. Setajam atau sekeras apapun kritik yang diampaikan sebuah gambar karikatur, tidak akan menyebabkan terjadinya evolusi. Dengan kata lain, karikatur dapat mengetengahkan suatu permasalahan yang sedang hangat di permukaan.

Menurut Anderson, dalam memahami studi komunikasi politik di Indonesia akan lebih mudah dianalisa mengenai konsep politik Indonesia

dengan membedakan dalam dua konsep, yaitu dengan Direct Speech

(komunikasi langsung) dan Symbolic Speech (komunikasi tidak langsung).

Komunikasi langsung merupakan konsepsi politik yang analisanya dipahami sejauh penelitian tersebut ditinjau dari komunikasi yang bersifat langsung, seperti humor, gossip, diskusi, argumen, intrik, dan lain - lain. Sedangkan komunikasi tidak langsung, tidak dapat secara langsung dipahami maupun diteliti seperti patung, monument dan simbol - simbol lainnya (Bintoro dalam Marliani, 2004: 49).

Peran karikatur yang tertulis seperti yang telah diuraikan di atas, merupakan alasan utama dijadikannya karikatur sebagai objek studi ini. Selain karena karikatur merupakan suatu penyampaian pesan lewat kritik yang sehat dan juga suatu keahlian karikaturis adalah bagaimana dia memilih topik - topik isu yang tepat dan masih hangat.

   


(33)

2.1.6 Kritik Sosial

Indonesia terbangun ketika budaya tulis sudah menyebar luas, ketika segala tatanan kehidupan dirumuskan secara tertulis dan tidak tertulis baik dalam bentuk buku, majalah, surat kabar, radio, televisi, dan internet. Semakin luas melalui pendidikan modern dan yang tak kalah pentingnya, ketika segala bentuk tulisan sebagian besar menyampaikan berbagai informasi melalui bahasa Indonesia dijadikan media resmi pendidikan nasional dan sebagai alat komunikasi dalam birokrasi (Masoed, 1999: 42).

Dengan demikian melestarikan atau mempertahankan kritik terselubung dalam konteks budaya yang tidak lagi menopangnya, sama saja dengan membunuh eksistensi kritik sehingga sebuah institusi sosial yang lahir dari kebutuhan pengembangan hidup bersama manusia. Dalam konteks budaya tulis, budaya modern materialistis yang berpenopang pada budaya tulis di atas pembangunan, pengembangan, dan penyebaran kritik sama statusnya dengan pembangunan dan pengembangan, dan penyebaran kritik itu sendiri.

Dalam beberapa pengertian kritik sosial mengandung konotasi negatif seperti “celaan”, namun kata “kecaman” mengandung kemungkinan kata positif yaitu dukungan, usulan, atau saran, penyelidikan yang cermat. (Masoed, 1999: 36). Definisi “kritik” menurut kamus Oxford adalah “one who appreises literaryor artistic work” atau suatu hal yang membentuk dan memberikan penilaian untuk menemukan kesalahan terhadap sesuatu. Kritik

   


(34)

26  

awalnya dari bahasa Yunani (Kritike = pemisahan, Krinoo = memutuskan)

dan berkembang dalam bahasa Inggris “critism” yang berarti evaluasi atau penilaian tentang sesuatu. Sementara sosial adalah suatu kajian yang menyangkut kehidupan dalam bermasyarakat menciptakan suatu kondisi sosial yang tertib dan stabil (Susanto, 1986: 7).

Dalam kritik sosial, pers dan politik Indonesia kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai sumber kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau proses bermasyarakat. Dalam konteks inilah kritik sosial merupakan salah satu unsur penting dalam memelihara sistem sosial. Dengan kata lain, kriti sosial dalam hal ini berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan reproduksi sebuah sistem sosial atau masyarakat (Abar dalam Masoed, 1999: 47).

Kritik sosial juga dapat berarti sebuah inovasi sosial dalam arti bahwa kritik sosial menjadi sarana komunikasi gagasan baru, sembari menilai gagasan lama, untuk suatu perubahan sosial. Kritik sosial konservatif, status quo dalam masyarakat untuk perubahan sosial, kritik sosial dalam pengertian ini sering muncul ketika masyarakat atau sejumlah orang atau kelompok sosial dalam masyarakat yang menginginkan suasana baru, suasana yang lebih bai dan lebih maju, atau secara kritik sosial yang demikian yang lebih banyak dianut kaum oleh kritis dan strutualis. Mereka melihat kritik sosial adalah wahana komunikatif untuk suatu tujuan perubahan sosial. Suatu kritik sosial selalu menginginkan perbaikan, ini

   


(35)

berarti bahwa suatu kritik sosial yang murni kurang didasarkan pada peneropongan kepentingan diri saja, melainkan justru menitikberatkan dan mengajak masyarakat atau khalayak untuk memperhatikan kebutuhan - kebutuhan nyata dalam masyarakat. Suatu kritik sosial kiranya didasarkan pada rasa tanggung jawab atas perkembangan lingkungan sosialnya, sehingga diharapkan dapat menuju ke arah perbaikan dalam masyarakat untuk mewujudkan suatu ketertiban sosial. (Susanto, 1986: 105).

Kritik sosial dapat disampaikan melalui berbagai wahana, mulai dari cara yang paling tradisional, seperti berjemur diri, ungkapan - ungkapan sindiran melalui komunikasi antar personal dan komunikasi sosial melalui berbagai pertunjukan sosial dan kesenian dalam komunikasi publik, seni sastra, dan melalui media massa. Kritik dari masyarakat ini hendaknya ditanggapi dengan serius oleh pemerintah. Memang dalam menanggapi kritik dari masyarakat, belum menjamin persoalan akan selesai, tetapi itu menunjukkan adanya perhatian dari pemerintah. Perhatian inilah yang secara akumulatif membentuk kesan, pemerintah mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap rakyatnya. Apabila masyarakat sudah diperhatikan aspirasinya, masyarakat tidak akan lupa budi, sehingga apabila pemerintah mempunyai program kerja maka partispasi masyarakat akan muncul dengan sendirinya (Panuju, 1999: 49).

Kritik sosial itu sebenarnya merupakan sesuatu yang positif karena ia mendorong sesuatu yang terjadi didalam masyarakat untuk kembali ke kriteria yang dianggap wajar dan telah disepakati bersama. Menurut Aris

   


(36)

28  

Susanto dalam bidang politik istilah kritik sosial seringkali memperoleh konotasi negatif karena diartikan mencari kelemahan - kelemahan pihak lain dalam pertarungan politik sehingga arti yang substansial dari kritik sosial itu menjadi kabur (Masoed, 1999: 71).

Kesan oposisi sejauh mungkin harus dapat dihindarkan, masyarakat awam menganggap kritik sama dengan oposisi, yang artinya

“pihak sana” (out group) sehingga kritik tertuju kebijaksanaan atau oknum

aparat pemerintah, diidentifikasi sebagai penentang atau melawan pemerintah. Padahal, kritik bukanlah seperti itu. Kritik tidak selamanya berarti melawan. Kritik itu mengandung muatan - muatan saling memberi arti. Setidaknya menjadi masukan yang dapat dipertimbangkan dalam merumuskan kebijaksanaan dan tindak lanjutnya. (Ali, 1999: 84).

Kritik - kritik terbaik, sesuai dengan setting sosial, politik, dan

budaya kita adalah kritik yang membuat saran kritik menangis, tapi dalam mimik mukanya yang tetap tertawa, artinya jika kita melaksanakan kritik kepada sasaran tertentu, kritik tersebut tidak boleh membuat malu sasaran kritik dihadapan publik, apalagi secara meluas.

Sesuai dengan ciri makhluk rasional, maka keterbukaan dan kritik harus mengandung beberapa unsur utama. Diantaranya adalah peningkatan supremasi individu, kompetisi dan membuka peluang pengarahan bagi tindakan manusia untuk meraih sukses dan keuntungan di planet bumi ini. (Ali, 1999: 194).

   


(37)

Dengan demikian, melestarikan atau mempertahankan kritik terselubung dalam konteks budaya yang tidak lagi menopangnya sama saja membunuh eksistensi kritik sebagai sebuah institusi sosial yang lahir dari kebutuhan pengembangan hidup kebersamaan manusia. Dalam konteks budaya tulis, budaya modern materialistis yang berpenopang pada budaya tulis diatas, pembangunan, pengembangan, penyebaran kritik sama statusnya dengan pembangunan, pengembangan, dan penyebaran kritik itu sendiri.

2.1.7 Politik

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan

dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara

konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain :

 politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan

kebaikan bersama

 politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan

dan negara

   


(38)

30  

 politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan

mempertahankan kekuasaan di masyarakat

 politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan

kebijakan publik.

Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik. (teori klasik Aristoteles)

2.1.8 Pendekatan Semiotika

Kata “semiotika” berasal dari bahasa Yunani, Semeion yang berarti

tanda, atau Seme yang berarti penafsir tanda. Semiotika sendiri berakar dari

studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, poetika. Semiotika adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang tanda. Tanda terdapat dimana - mana “kata” adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan (arsitektur) atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Segala sesuatu dapat menjadi tanda, tanda - tanda tersebut menyampaikan suatu informasi atau pesan baik secara verbal maupun non verbal sehingga bersifat komunikatif. Hal tersebut memunculkan suatu proses pemaknaan oleh penerima tanda akan makna informasi atau pesan dari pengirim pesan. Semiotika merupakan cabang ilmu yang semula berkembang dalam bidang bahasa. Dalam perkembangannya kemudian

   


(39)

semiotika bahkan masuk pada semua segi kehidupan manusia, sehingga Derrida (dalam kurniawan, 2008: 34), mengikrarkan bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini sepenting bahasa. “there is nothing outside languange”. Bahasa dalam hal ini dibaca sebagai “teks” atau “tanda”. Dalam konteks ini tanda memegang peranan penting dalam kehidupan umat manusia sehingga : “manusia yang tak mampu mengenal tanda, tak akan bertahan hidup” (Widagdo dalam Kurniawan, 2008). Charles Sanders Peirce merupakan ahli filsafat dan tokoh terkemuka dalam semiotika modern Amerika menegaskan bahwa, manusia hanya dapat berfikir dengan sarana tanda dan manusia hanya dapat berkomunikasi dengan tanda. Tanda yang dapat dimanfaatan dalam seni rupa berupa tanda visual yang bersifat non verbal, terdiri dari unsur dasar berupa seperti grafis, warna, bentuk, tekstur, komposisi, dan sebagainya. Tanda - tanda yang bersifat verbal adalah objek yang dilukiskan, seperti objek, manusia, binatang, alam, imajinasi atau hal hal lainnya yang abstrak. Apapun alasan (senirupawan, designer) untuk berkarya, karyanya adalah sesuatu yang kasat mata, karena itu secara umum bahasa digunakan untuk merangkul segala yang kasat mata dan merupakan media atara perupa dengan pemerhati atau penonton. Seniman dan designer

membatasi bahasa rupa pada segitiga, estetis - simbolis - bercerita (story

telling). Bahasa merupakan imaji dan tata ungkapan. Imaji mencakup makna

yang luas, baik imaji yang kasat mata maupun imaji yang ada khayalnya.

   


(40)

32  

Menurut John Fiske pada intinya semua model yang membahas mengenai makna dalam studi semiotik memiliki bentuk yang sama, yaitu membahas tiga elemen antara lain:

1) Sign atau tanda itu sendiri

Pada wilayah ini akan dipelajari tentang macam - macam tanda. Cara seseorang dalam memproduksi tanda, macam - macam makna yang terkandung di dalamnya dan juga bagaimana mereka saling berhubung dengan orang - orang yang menggunakannya. Dalam hal ini tanda dipahami sebagai komunikasi makna dan hanya bisa dimaknai oleh orang - orang yang telah mempersiapkannya.

2) Codesi atau kode

Sebuah sistem yang terdiri dari berbagai macam tanda yang terorganisasikan dalam usaha memenuhi kebutuhan masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi media komunikasi yang sesuai dengan transmisi pesan mereka.

3) Budaya

Lingkungan dimana tanda atau kode itu berada. Kode dan lambang tersebut segala sesuatunya tidak dapat lepas dari latar belakang budaya dimana tanda dan lambang itu digunakan.

Dalam semiotik model yang digunakan dapat berasal dari berbagai ahli, seperti Saussure, Peirce, dan sebagainya. Pada penelitian ini yang akan

   


(41)

digunakan adalah model semiotik milik Peirce karena adanya kelebihan yang dimiliki yaitu tidak mengkhususkan analisisnya pada studi linguistik.

2.1.9 Semiotika Charles Sanders Peirce

Semiotik untuk studi media massa tidak hanya terbatas sebagai kerangka teori, namun sekaligus juga sebagai metode analisis (Sobur, 2004: 83). Bagi Peirce tanda “is something which stand to somebody for something in some respect or capacity”. Kita misalnya dapat menjadikan

teori Segitiga Makna (Triangel Meaning), menurut Peirce salah satu bentuk

tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sesuatu yang digunakan agar tanda dapat berfungsi, oleh Peirce disebut

ground. Konsekuensinya, tanda (Sign atau Represetamen) selalu terdapat

dalam sebuah triadik, yakni ground, object dan interpretant (Sobur, 2004:

41).

Sementara itu interpretant adalah suatu tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Makna adalah persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi (Barthes dalam Kurniawan, 2008: 37).

Charles Sanders Peirce membagi antara tanda dan acuannya tersebut menjadi kategori yaitu : ikon, indeks, simbol adalah tanda yang

   


(42)

34  

hubungan antara penanda dan penandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain ikon adalah hubungan antara tanda objek atau acuan yang bersifat kemiripan, misalnya potret dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjuk adanya hubungan alamiah antara tanda dan penanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas ialah asap sebagai tanda adanya api. Tanda dapat pula mengacu pada denotatum melalui konvensi. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi, simbol tanda yang menunjuk hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi atau perjanjian masyarakat (Sobur, 2004: 42). Hubungan segitiga makna Peirce lazimnya ditampilkan dalam gambar berikut.

(Fiske dalam Sobur, 2001: 85)

Sign

Interpretant Object

Gambar 2.1 : Hubungan Tanda, Objek, dan Interpretant Peirce

   


(43)

Menurut Pierce sebuah tanda itu mengacu pada sebuah acuan, dan representasi adalah fungsi utamanya. Hal ini sesuai dengan definisi dari tanda itu sendiri yaitu sebagai sesuatu yang memiliki bentuk fisik, dan harus merujuk pada sesuatu yang lain dari tanda tersebut. Pierce ingin mengidentifikasikan partikel dasar dari tanda dan mengembangkannya kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Dalam pendekatan semiotik model Charles S. Pierce, diperlukan adanya 3 unsur utama yang bisa digunakan sebagai model analisis, yaitu tanda, objek, dan interpretant.

Charles S. Peirce membagi antara tanda dan acuannya tersebut menjadi tiga kategori, yaitu : ikon, indeks, simbol. Ketiga kategori tersebut digambarkan dalam sebuah model segitiga sebagai berikut :

Icon

Index Simbol

Gambar 2.2 : Model Kategori Tanda Oleh Peirce

   


(44)

36  

2.1.10 Konsep Makna

Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan

kata dan istilah yang membingungkan. Dalam bukunya The Meaning of

Meaning, (Odgen dan Richards dalam buku Kurniawan, 2008: 27) telah

mengumpulkan tidak kurang dari 22 batasan mengenai makna.

Makna sebagaimana dikemukakan oleh Fisher (dalam Sobur, 2004: 248), merupakan konsep yang abstrak yang telah menarik perhatian para ahli filsafat dan para teoritis ilmu sosial selama 2000 tahun silam. Semenjak Plato mengkonseptualisasikan makna manusia sebagai salinan “ultrarealitas”, para pemikir besar telah sering mempergunakan konsep itu dengan penafsiran yang sangat luas yang merentang sejak pengungkapan mental dari Locke sampai ke respon yang dikeluarkan dari Skinner. “Tetapi”, (kata Jerold Katz dalam Kurniawan, 2008: 47), “setiap usaha untuk memberikan jawaban yang langsung telah gagal. Beberapa seperti misalnya Plato, telah terbukti terlalu samar dan pekulatif. Yang lainnya memberikan jawaban salah.”

Menurut Devito, makna bukan terletak pada kata - kata melainkan pada manusia. “Kita”, lanjut Devito, menggunakan kata - kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi kata - kata ini secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian pula makna yang didapat pendengar dari pesan - pesan akan sangat berbeda dengan makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi

   


(45)

adalah proses yang kita gunakan untuk memproduksi dibenak pendengar dan apa yang ada dalam benak kita.

Ada tiga hal yang dijelaskan para filusuf dan linguis sehubungan dengan usaha menjelaskan istilah makna. Ketiga hal tersebut adalah (1) menjelaskan makna secara alamiah, (2) mendeskripsikan secara alamiah, (3) menjelaskan makna dalam proses komunikasi (Kempson dalam Sobur, 2004: 258).

Ada beberapa pandangan yang menjelaskan teori atau konsep makna. Model konsep makna (Johnson dalam Devito 1997: 123 - 125) sebagai berikut :

1) Makna dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata - kata

melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata - kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan, tetapi kata - kata tersebut tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang ingin kita gunakan untuk memproduksi dibenak pendengar apa yang ada dalam benak kita dan proses ini adalah proses yang bisa salah.

2) Makna berubah. Kata - kata relatif statis, banyak dari kata - kata

yang kita gunakan 200 atau 300 tahun yang lalu. Tetapi makna dari kata - kata ini dan berubah khusus yang terjadi pada dimensi emosional makna.

   


(46)

38  

3) Makna membutuhkan acuan, walaupun tidak semua komunikasi

mengacu pada dunia nyata. Komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal.

4) Penyingkiran berlebihan akun mengubah makna. Berkaitan erat

dengan gagasan bahwa acuan tersebut kita butuhkan bilamana terjadi masalah komunikasi yang akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkan acuan yang diamati. Bila kita berbicara tentang cerita, persahabatan, kebahagiaan, kejahatan dan konsep - konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara.

5) Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah

kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu kebanyakan kita mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila ada sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi.

Makna yang dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian bersifat multi aspek dan sangat kompleks. Tetapi hanya sebagian saja dari makna - makna ini yang benar - benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna tersebut yang tetap tinggal dalam benak kita, karenanya pemaknaan yang sebenarnya mungkin juga merupakan tujuan yang ingin kita capai tetap tidak pernah tercapai (Sobur, 2003: 285 - 289).

   


(47)

2.2 Kerangka Berpikir

Setiap individu mempunyai latar belakang pendidikan yang berbeda - beda dalam memahami suatu peristiwa atau obyek. Hal ini

dikarenakan latar belakang pengalaman (field of experience) dan

pengetahuan (frame of reference) yang berbeda - beda dari setiap individu

tersebut. Begitu juga penelitian yang memahami lambang dan tanda yang ada, dalam obyek yang berdasarkan pengalaman dan pengetahuan peneliti.

Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan, maka peneliti dalam memaknai kartun editorial Clekit melakukan pemaknaan terhadap tanda dan lambang berbentuk gambar dengan menggunakan teori segitiga makna Pierce (triangle meaning) yang meliputi tanda, obyek, dan interpretan sehingga diperoleh hasil intrepetasi data mengenai kartun editorial Clekit tersebut.

Tanda yang dimaksud disini adalah gambar dalam media cetak yang kemudian tanda tersebut dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu : ikon, indeks, dan symbol. Obyek disini adalah karikatur Clekit pada surat kabar Jawa Pos yang bertema “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” pada edisi Sabtu, 31 Juli 2010. Setelah menganalisis kategori tanda tersebut, maka peneliti akan mengetahui makna gambar kartun editorial Clekit tersebut.

   


(48)

40  

   

Sistematika tersebut digambarkan sebagai berikut :

Pemaknaan dengan Pendekatan Semiotika Charles Sanders Pierce

Karikatur

Clekit Hasil

Interpretan 1. Ikon

“Kontroversi Pencoretan

Gedung DPR”  Gambar kartun laki - laki yang

memakai topi.  Gambar gedung DPR. 2. Indeks

 Tulisan “KALAU ANGGOTA

DEWAN TETAP NGGAK BERUBAH KELAKUANNYA, LAIN KALI CORAT-CORETNYA LANGSUNG DI JIDAT MEREKA SAJA!”.

 Tulisan “Jujur, adil, tegas”.  Tanda garis-garis di atas tulisan

“Jujur, adil, tegas 3. Simbol

 Gambar gedung DPR.


(49)

40  

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan semiotik. Alasan digunakannya metode deskriptif kualitatif terdapat beberapa faktor pertimbangan, yaitu pertama metode deskriptif kualitatif akan lebih mudah menyesuaikan bila dalam penelitian ini kenyataannya ganda, kedua metode deskriptif kualitatif menyajikan secara langsung hubungan antara peneliti dengan objek peneliti, ketiga metode deskriptif kualitatif lebih peka serta dapat menyesuaikan diri dengan banyak pengaruh terhadap pola - pola nilai yang dihadapi (Moeloeng, 2002: 33).

Selain itu pada dasarnya semiotik bersifat kualitatif interpretatif, yaitu suatu metode yang memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajian, serta bagaimana menafsirkan dan memahami kode dibalik tanda dan teks tersebut (Christomy dan Yuwono dalam Marliani, 2004: 48).

Oleh karena itulah peneliti harus memperhatikan beberapa hal dalam penelitian ini, pertama adalah konteks atau situasi sosial di seputar dokumen atau teks yang diteliti. Disini peneliti diharapkan dapat memahami makna dari teks yang diteliti. Kedua adalah proses atau bagaimana suatu


(50)

41  

produksi media atau isi pesannya dikemas secara actual dan diorganisasikan secara bersama. Ketiga adalah pembentukan secara bertahap dari makna sebuah pesan melalui pemahaman dan interpretasi.

Dalam penelitian ini, menggunakan metode semiotik. Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2004: 15). Dengan menggunakan metode semiotik, peneliti berusaha menggali realitas yang didapatkan melalui interpretasi symbol - simbol dan tanda - tanda yang ditampilkan sepanjang gambar dalam cover karikatur. Pendekatan semiotik termasuk dalam metode kualitatif. Tipe penelitian ini adalah deskriptif , dimana peneliti berusaha untuk mengetahui pemaknaan karikatur Clekit “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” pada Surat Kabar Kompas edisi Sabtu, 31 Juli 2010.

3.2. Definisi Konseptual

Berdasarkan model semiotik dari Charles Sanders Peirce, yaitu sistem Tanda (sign) dalam karikatur yang dijadikan Korpus (sample) dalam penelitian, dikategorikan kedalam tanda dengan acuannya yang dibuat oleh Charles Sanders Peirce terbagi dalam tiga kategori yaitu ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol).

Korpus sebagai kumpulan bahan yang terbatas yang ditentukan perkembangannya oleh analisa dengan semacam kesemenaan. Korpus haruslah cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsur - unsurnya akan memelihara sebuah sistem kemiripan dan perbedaan yang


(51)

lengkap. Korpus itu juga bersifat sehomogen mungkin, baik homogen pada taraf substansi maupun homogen pada taraf waktu (sinkroni). (Kurniawan, 2001: 70).

Tetapi sebagai analisis, korpus itu bersifat terbuka pada konteks yang beraneka ragam, sehingga memungkinkan untuk memahami banyak aspek dari sebuah pesan yang tidak ditangkap atas dasar suatu analisis yang bertolak dari unsur tertentu. (Arkoun: Setianingsih, 2003: 40).

Sedangkan Korpus pada penelitian ini adalah gambar karikatur Clekit “Kontrovesi Pencoretan gedung DPR” pada Surat Jawa Pos edisi Sabtu, 31 Juli 2010.

3.3 Unit Analisis

Untuk mempermudah interpretasi dari digunakan tiga hubungan dalam menyelami semiotik karikatur pada gambar karikatur Clekit “Kontrovesi Pencoretan gedung DPR” pada Surat Jawa Pos edisi Sabtu, 31 Juli 2010, dalam gambar editorial Clekit, ditampilkan diantaranya dengan visualisasi gambar seorang rakyat yang mengkomentari pencoretan gedung DPR, yakni yang dilakukan oleh Pong Harjatmo seorang artis senior Indonesia. Seorang tersebut berkata “KALAU ANGGOTA DEWAN TETAP NGGAK BERUBAH KELAKUANNYA, LAIN KALI CORAT-CORETNYA LANGSUNG DI JIDAT MEREKA SAJA!”


(52)

43  

Dimana kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan ikon (icon), indeks (index), simbol (symbol).

3.3.1 Ikon

Ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. (Sobur, 2001: 41). Dengan kata lain tanda memiliki ciri - ciri sama dengan apa yang dimaksudkan.

Ikon di karikatur Clekit “Kontrovesi Pencoretan gedung DPR” ditunjukkan dengan :

1) Gambar kartun laki - laki yang memakai topi.

2) Gambar gedung DPR.

3.3.2 Indeks

Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat (Sobur, 2004: 42), atau disebut juga dengan tanda sebagai bukti.

Indeks di karikatur Clekit “Kontrovesi Pencoretan gedung DPR” dengan tulisan, seperti :

1) “KALAU ANGGOTA DEWAN TETAP NGGAK BERUBAH

KELAKUANNYA, LAIN KALI CORAT-CORETNYA LANGSUNG DI JIDAT MEREKA SAJA!”.


(53)

3) Tanda garis-garis di atas tulisan “Jujur, adil, tegas”.

3.3.3 Simbol

Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara tanda penanda dengan petandanya, bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian masyarakat) (Sobur, 2004: 42).

Simbol di karikatur Clekit “Kontrovesi Pencoretan gedung DPR” ditunjukkan dengan :

1) Gambar gedung DPR.

Sehingga penempatan tanda - tanda karikatur Clekit “Kontrovesi Pencoretan gedung DPR” di atas, yang mana sebagai ikon, mana sebagai indeks, dan mana sebagai simbol tersebut hanya sebatas subjektifitas peneliti, bukan menjadi sesuatu yang mutlak, karena hal ini kembali lagi kepada sudut pandang khalayak yang memaknai karikatur Clekit “Kontrovesi Pencoretan gedung DPR” kepada para pembaca Surat Kabar Jawa Pos sesuai dengan kebutuhan masing - masing.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini melakukan pengamatan secara langsung pada gambar karikatur Clekit “Kontrovesi Pencoretan gedung DPR” pada Surat Jawa Pos edisi Sabtu, 31 Juli 2010. Pengumpulan data dalam penelitian ini, melalui bahan studi kepustakaan, bahan - bahan yang dapat dijadikan referensi serta penggunaan internet. Selanjutnya data -


(54)

45  

data akan dianalisis berdasarkan landasan teori semiotik Peirce dan data dari penelitian ini kemudian akan digunakan untuk mengetahui penafsiran makna gambar karikatur Clekit “Kontrovesi Pencoretan gedung DPR” pada Surat Jawa Pos edisi Sabtu, 31 Juli 2010.

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Data yang dikumpulkan berupa kata - kata dan gambar. Hal ini disebabkan adanya penerapan metode kualitatif, selain itu semua yang dikumpulkan kemungkinan menjadi jawaban terhadap objek yang diteliti. Analisis data dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan model semiotik dari Charles Sanders Peirce, yaitu sistem Tanda (sign) dalam karikatur yang dijadikan Korpus (sample) dalam penelitian, dikategorikan kedalam tanda dengan acuannya yang dibuat oleh Charles Sanders Peirce terbagi dalam tiga kategori yaitu ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol).

Dengan studi semiotik penelitian dapat memaknai gambar dan pesan yang terdapat dalam gambar karikatur Clekit “Kontrovesi Pencoretan gedung DPR” serta membentuk berbagai pemaknaan terhadap karikatur ini. gambar karikatur Clekit “Kontrovesi Pencoretan gedung DPR” ini akan diinterpretasikan dengan cara mengindentifikasi tanda - tanda yang terdapat dalam setiap penggambaran karikatur, untuk mengetahui makna yang ada dalam karikatur tersebut.


(55)

Untuk mengetahui hubungan antara tanda, penggunaan tanda dan realitas eksternal dapat dilakukan dengan menggunakan model semiotik dari Charles Sanders Peirce. Sistem tanda (gambar, warna, perilaku non verbal dan atribut pendukung) yang digunakan sebagai indikator pengamatan dalam penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif gambar karikatur Clekit “Kontrovesi Pencoretan gedung DPR” pada Surat Jawa Pos edisi Sabtu, 31 Juli 2010.

Yang dikupas oleh teori segitiga makna adalah persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan oleh

seseorang ketika akan berkomunikasi. Konsekuensinya, tanda (sign /

representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadic, yakni ground,

object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Pierce mengadakan

klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi

Qualisign, Sinsign, dan Legsign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada

tanda, misalnya kata - kata kasar, keras, lemah, lembut, dan merdu. Sinsign

adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda, misalnya

kata kabur atau keruhada pada urutan kata air sungai keruh yang

menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Legsign adalah norma yang

dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh manusia. Berdasarkan

pada Interpretant, tanda (sign / representamen) dibagi atas rheme, dicent

sign atau dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan


(56)

47  

matanya dapat saja menandakan bahwa orang tersebut mengalami iritasi, atau menderita penyakit mata, bahkan dapat disebut juga orang tersebut

sedang menangis. Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuai dengan

kenyataan. Misalnya, apabila di suatu jalan sering terjadi kecelakaan, maka di tepi jalan harus dipasang rambu - rambu yang menunjukkan di area

tersebut sering terjadi kecelakaan. Argument adalah tanda yang langsug

memberi alasan tertentu.

                                 


(57)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum Harian Jawa Pos

Jawa Pos adalah surat kabar harian yang berpusat di Surabaya, Jawa

Timur. Jawa Pos merupakan harian terbesar di Jawa Timur, dan merupakan salah

satu harian dengan oplah terbesar di Indonesia. Sirkulasi Jawa Pos menyebar di seluruh Jawa Timur, Bali, dan sebagian Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Jawa Pos mengklaim sebagai "Harian Nasional yang Terbit dari Surabaya".

Jawa Pos didirikan oleh The Chung Shen pada 1 Juli 1949 dengan nama

Djawa Post. Saat itu The Chung Shen hanyalah seorang pegawai bagian iklan

sebuah bioskop di Surabaya. Karena setiap hari dia harus memasang iklan bioskop di surat kabar, lama-lama ia tertarik untuk membuat surat kabar sendiri. Setelah sukses dengan Jawa Pos-nya, The Chung Shen mendirikan pula koran berbahasa Mandarin dan Belanda. Bisnis The Chung Shen di bidang surat kabar tidak selamanya mulus. Pada akhir tahun 1970-an, omzet Jawa Pos mengalami kemerosotan yang tajam. Tahun 1982, oplahnya hanya tinggal 6.800 eksemplar saja. Koran-korannya yang lain sudah lebih dulu pensiun. Ketika usianya menginjak 80 tahun, The Chung Shen akhirnya memutuskan untuk menjual Jawa


(58)

49  

Pos. Dia merasa tidak mampu lagi mengurus perusahaannya, sementara tiga orang anaknya lebih memilih tinggal di London, Inggris.

Pada tahun 1982, Eric FH Samola, waktu itu adalah Direktur Utama PT

Grafiti Pers (penerbit majalah Tempo) mengambil alih Jawa Pos. Dengan manajemen baru, Eric mengangkat Dahlan Iskan, yang sebelumnya adalah Kepala Biro Tempo di Surabaya untuk memimpin Jawa Pos. Eric Samola kemudian meninggal dunia pada tahun 2000. Dahlan Iskan adalah sosok yang menjadikan Jawa Pos yang waktu itu hampir mati dengan oplah 6.000 eksemplar, dalam waktu 5 tahun menjadi surat kabar dengan oplah 300.000 eksemplar.

Lima tahun kemudian terbentuklah Jawa Pos News Network (JPNN), salah

satu jaringan surat kabar terbesar di Indonesia, dimana memiliki lebih dari 80 surat kabar, tabloid, dan majalah, serta 40 jaringan percetakan di Indonesia. Pada tahun 1997, Jawa Pos pindah ke gedung yang baru berlantai 21, Graha Pena, salah satu gedung pencakar langit di Surabaya. Tahun 2002 dibangun Graha Pena di Jakarta. Dan, saati ini bermunculan gedung-gedung Graha Pena di hampir semua wilayah di Indonesia.

Tahun 2002, Jawa Pos Group membangun pabrik kertas koran yang kedua dengan kapasitas dua kali lebih besar dari pabrik yang pertama. Kini pabrik itu, PT Adiprima Sura Perinta, mampu memproduksi kertas koran 450 ton/hari. Lokasi pabrik ini di Kabupaten Gresik, hanya 45 menit bermobil dari Surabaya.


(59)

Jawa Pos edisi Surabaya beredar di daerah Kota Surabaya dan sekitarnya (Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik), terbit dengan tiga seksi utama:

Jawa Pos (utama), berisi berita-berita utama, politik, ekonomi/bisnis, Jawa

Timur, nasional, internasional, dan rubrik-rubrik tematik lainnya.

Metropolis, berisi berita Kota Surabaya dan sekitarnya (Sidoarjo dan

Gresik), Deteksi (halaman untuk remaja, salah satunya berisi polling harian), hiburan, kesehatan, teknologi, dan rubrik-rubrik "ringan" lainnya serta rubrik mingguan

Olahraga, berisi berita-berita olahraga, terutama ulasan mengenai sepak

bola dan balap (Formula 1, MotoGP). Seksi ini juga berisi iklan baris.

DetEksi berisi berita tentang kehidupan remaja, mulai dari otomotif, style,

techno, hingga anime. terdiri dari 3 halaman yang disisipkan pada bagian Metropolis. Hingga kini detEksi Jawa Pos aktif mengadakan event seperti DetEksi Basketball League, Dan MAding Championship. Halaman ini kini telah menjadi bacaan wajib bagi remaja di Surabaya. Seksi ini semua crew-nya masih berstatus mahasiswa, mulai dari reporter, editor, hingga fotografer.


(60)

51  

4.1.2 Sejarah Harian Jawa Pos

Mencoba menelusuri sejarah harian ini memang mengasyikkan. Yang kali pertama diterbitkan pada 1 Juli 1949. Memang, dilihat dari hari lahirnya, Jawa Pos termasuk salah satu surat kabar tertua di Indonesia. Waktu itu namanya Java Post. Lalu pernah juga menjadi DJAWA POST, DJAWA POS, JAWA POS dan

kemudian Jawa Pos seperti sekarang.

Riwayat pendiriannya pun sederhana saja. Waktu itu, The Chung Sen, seorang WNI kelahiran Bangka, bekerja di kantor film di Surabaya. Dialah yang bertugas untuk selalu menghubungi surat kabar agar pemuatan iklan filmnya lancar. Dari sini pula The Chung Sen mengetahui bahwa memiliki surat kabar ternyata mengguntungkan. Maka didirikanlah Java Post.

Saat itu, harian ini tentunya juga dikenal sebagai harian Melayu-Tionghoa. Sebab pengelolanya, modalnya dari kalangan itu. Harian ini tentunya bukan satu-satunya harian Melayu-Tionghoa di Surabaya. Yang terbesar saat itu adalah Pewarta Soerabaia Trompet Masyarakat dan Perdamaian.

The Chung Sen tentunya melirik keuntungan yang berhasil diraih oleh harian Pewarta Soerabaia yang sudah berhasil memantapkan diri sebagai koran dagang di Surabaya. Tapi cita-cita dan impiannya itu rasanya tak pernah tercapai. Dalam perjalanan sebagai koran Melayu-Tionghoa yang berhaluan republikein, harian ini tak pernah kondang di kalangan pembacanya, keturunan Tionghoa.


(61)

Mereka misalnya lebih suka memilih Pewarta Soerabaia yang kiblatnya masih ke arah tanah leluhur mereka. Juga harian Melayu-Tionghoa yang terbit di Jakarta kebanyakan berhaluan yang sama dengan Pewarta Soerabaia. Jadi harian ini kemudian mempunyai ciri yang khas sebagai harian Melayu Tionghoa.

Masalah ini tentunya bukan satu masalah yang kecil. Karena waktu itu, masalah orang Tionghoa atau keturunan Tionghoa belum diatur oleh undang-undang. Masalah mereka baru diatur sekitar tahun enampuluhan. Sehingga memihak kepada Republik dalam situasi masih jauh dari konferensi Meja Bundar tentunya satu gagasan yang menarik buat dikaji. Ini tentunya tak lepas dari wawasan The Chung Sen yang jauh ke depan. Jika hanya untuk memperoleh uang, ia tentunya bisa memerintahkan pemimpin redaksinya untuk juga

berorientasi ke tanah leluhur. Tapi itu tak pernah dilakukan. Pemimpin redaksi pertamanya adalah Goh Tjing Hok. Yang kedua yang memangku jabatan itu sejak tahun 1953 adalah Thio Oen Sik. Keduanya memang dikenal sebagai orang-orang republikein yang tak pernah goyah pendiriannya.

Dalam perkembangan selanjutnya The Chung Sen bisa disebut "raja" surat kabar dari Surabaya. Dialah yang di tahun 1950-an memiliki tiga surat kabar sekaligus. Satu berbahasa Indonesia, satu berbahasa Tionghoa dan satu berbahasa Belanda. Yang berbahasa Belanda itu kemudian diubahnya menjadi Indonesian Daily News yang berbahasa Inggris. Sebab ketika Bung Karno gencar-gencarnya anti Belanda, hal-hal yang berbau Belanda diminta diubah. Termasuk koran milik


(62)

53  

The Chung Sen, Vrije Pers. Sedangkan korannya yang berbahasa Tionghoa mengalami nasib yang sama. Bahkan tidak bisa terbit sama sekali. Maka tinggallah JAWA POS.. Bahkan yang satu inipun kian hari kian redup. Apalagi The Chung Sen harus berpacu dengan usia, dan tiga orang putranya tidak satupun yang tinggal di Indonesia.

Perkembangan teknologi cetak juga kian sulit diikuti. Maka oplah JAWA POS pun terus menurun. Sehingga di tahun 1982 lalu tinggal 6.700 eksemplar setiap hari. Pelanggannya di dalam kota Surabaya tinggal 2000 orang.

Peredarannya di Malang tinggal 350 lembar. Saking sedikitnya sampai-sampai kantor pusatnya mengurusi loper sendiri yang jumlahnya cuma 40 orang.

Maka dalam keadaan fisiknya yang kian uzur dan didorong keinginannya untuk bisa dekat dengan anak-anaknya, The Chung Sen memutuskan untuk

menyerahkan pengelolaan JAWA POS kepada pengelola majalah mingguan berita TEMPO. Ini terjadi pada 1 April 1982. Saat itu Dahlan Iskan yang kini menjadi direktur, masih bekerja sebagai Kepala Biro TEMPO di Surabaya.

"Pak The (begitu panggilan untuk The Chung Sen) menyatakan tidak mungkin lagi bisa mengembangkan JAWA POS. Tapi Pak The tidak ingin surat kabar yang didirikannya mati begitu saja. Itulah sebabnya JAWA POS diserahkan kepada penggelola yang baru," ujar Dirut PT Grafiti Pers, penerbit TEMPO, Eric Samola, SH yang kini juga jadi Direktur Utama PT Jawa Pos.


(63)

Pak The sendiri memilih TEMPO dengan pertimbangan khusus. " TEMPO kan belum punya surat kabar. Kalau saya serahkan kepada rekan yang sudah punya surat kabar, tentu surat kabar saya ini akan dinomorduakan", begitu kata Pak The saat itu. Dengan pertimbangan seperti itu Pak The ingin perkembangan JAWA POS tidak terhambat.

Pak The sendiri dalam usianya yang sudah 89 tahun akhirnya memang berangkat ke Inggris bersama istrinya, Megah Endah, yang berusia 71 tahun. Dia berpesan agar JAWA POS bisa dikembangkan sebagaimana di masa mudanya. Maka pada suatu malam sebelum keberangkatannya ke Inggris sebuah pesta kecil diadakan di halaman rumahnya di Jalan Pregolan. Di situlah diadakan kebulatan tekad. "Kami bertekad merebut kembali sejarah yang pernah dibuat Pak The," begitu kata-kata akhir sambutan Dahlan Iskan yang saat itu ditunjuk untuk memimpin Jawa Pos.

4.2 Penyajian Data

Dari hasil pengamatan peneliti yang dilakukan pada gambar karikatur Clekit pada Surat Kabar Jawa Pos maka akan disajikan data - data yang didapat dari gambar karikatur edisi Sabtu, 31 Juli 2010. Data - data yang dianalisis terdiri dari sekumpulan tanda - tanda yang secara spesifik akan dipilah - pilah yang disesuaikan dengan materi data yang tersedia.

Tanda - tanda tersebut berupa tanda yang digunakan sebagai indikator pengamatan dalam penelitian. Pengkategorian tanda pada karikatur


(64)

55  

ini berdasarkan landasan teori Semiotika Charles Sanders Peirce untuk mengetahui makna yang terkandung dalam karikatur Clekit pada Surat Kabar Jawa Pos edisi 31 Juli 2010.

Peirce membagi tanda menjadi tiga kategori yaitu : ikon, indeks, simbol. Untuk mengungkap makna serta pesan yang disampaikan dalam karikatur tersebut, sistem tanda dibagi berdasarkan pembagian fungsi tanda Peirce. Dalam pendekatan semiotik Peirce terdapat tiga komponen, yaitu :

Tanda (sign), Objek (object), dan Interpretan (interpretant).

4.2.1 Karikatur Clekit Pada Surat Kabar Jawa Pos “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” Edisi Sabtu, 31 Juli 2010

Gambar Karikatur Clekit “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” ditampilkan di sebuah surat kabar yaitu Jawa Pos, merupakan surat kabar yang sasarannya umum untuk khalayak yang luas dan heterogen serta sangat menarik perhatian. Pada dasarnya karikatur tersebut menggunakan sistem tanda bahasa dan sistem tanda visual atau gambar.

Dalam hal ini peneliti memaknai kritik sosial dan politik dalam gambar karikatur editorial Clekit yang bertema “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” pasca terjadinya kejadian pencoretan yang dilakukan oleh artis senior Indonesia, Pong Harjatmo. Seperti yang diketahui Pong Harjatmo pada jum’at 30 Juli 2010 melakukan aksi tersebut dengan nekat menaiki atap gedung kura-kura (gedung nusantara). Di atap gedung tersebut Pong menulis kata-kata “Jujur, adil, dan tegas”. Insiden tersebut memicu


(65)

perhatian seluruh Bangsa Indonesia. Ini jelas dipicu karena faktor kinerja DPR yang kebanyakan masih tidak atau jauh dari kata jujur, adil dan tegas.

Dalam gambar editorial Clekit, ditampilkan diantaranya dengan visualisasi gambar seorang rakyat yang mengkomentari pencoretan gedung DPR, yakni yang dilakukan oleh Pong Harjatmo seorang artis senior Indonesia. Seorang tersebut berkata “KALAU ANGGOTA DEWAN TETAP NGGAK BERUBAH KELAKUANNYA, LAIN KALI CORAT-CORETNYA LANGSUNG DI JIDAT MEREKA SAJA!”.

Gambar karikatur tersebut jelas merupakan suatu sindiran kepada wakil rakyat. Aksi Pong Harjatmo yang kemudian diteruskan oleh kartunis melalui karikaturnya merupakan bentuk kritik sekaligus koreksi dari rakyat terhadap wakilnya, ini mengindikasikan sebuah otokritik bagi anggota dewan. Dalam gambar karikatur editorial tersebut seakan - akan menggambarkan tanggapan permasalahan yang terjadi dalam sudut pandang masyarakat Indonesia. Ini adalah suatu bentuk spontanitas dan kejujuran dari seorang rakyat baik melalui aksi tersebut ataupun juga karikuatur yang diwakili. Sebuah kontrol politik yang bisa dianggap tulus dan tidak ditumpangi kepentingan apapun.

Dengan adanya karikatur Clekit “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” ini, akan menjadi sebuah daya tarik bagi khalayak yang membaca Surat Kabar Jawa Pos. Hal ini merupakan salah satu bentuk kritik sosial terhadap pemerintah yang diwakili oleh karikaturis. Dapat dikatakan bahwa


(66)

57  

dengan memberi stimulus pada khalayak akan sebuah karikatur yang menjadi daya tarik dapat diingat selamanya oleh khalayak yang membaca Surat kabar Jawa Pos, bahwa dengan memberi umpan kepada khalayak yang membaca Surat Kabar Jawa Pos maka tergantung bagaimana respons yang diterima khalayak yang membaca Surat Kabar Jawa Pos dan dapat memberi efek sebesar apa terhadap sebuah iklan yang disajikan karikaturis tersebut.

4.2.2 Karikatur Clekit Pada Surat Kabar Jawa Pos “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” Edisi Sabtu, 31 Juli 2010 Dalam Kategori Tanda Pierce

Menurut Pierce sebuah tanda itu mengacu pada sebuah acuan, dan representasi adalah fungsi utamanya. Hal ini sesuai dengan definisi dari tanda itu sendiri yaitu sebagai sesuatu yang memiliki bentuk fisik dan harus merujuk pada sesuatu yang lain dari tanda tersebut. Pierce ingin mengidentifikasikan partikel dasar dari tanda dan mengembangkannya kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Dalam pendekatan semiotik model Charles S. Pierce, diperlukan adanya 3 unsur utama yang bisa digunakan sebagai model analisis, yaitu objek, tanda, dan interpretant. Menurut pierce salah satu bentuk tanda adalah kata, sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretant adalah tanda yang ada dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut.

Dalam pendekatan semiotik Peirce terdapat tiga komponen, yaitu :


(67)

interpretan, peneliti menganalisa karikatur Clekit pada surat kabar Jawa Pos dalam pencarian gambar, yang dijadikan korpus (sample terbatas) dengan menggunakan hubungan antara tanda dengan acuan tanda dalam model Semiotik Peirce yang membagi tanda atas tiga bagian kategori yaitu : ikon, indeks, simbol, sehingga akan diperoleh interpretasi dari karikatur melalui kategori tanda tersebut.

Ikon di karikatur Clekit “Kontrovesi Pencoretan gedung DPR” ditunjukkan dengan :

1) Gambar kartun laki-laki yang memakai topi.

2) Gambar gedung DPR.

Indeks di karikatur Clekit “Kontrovesi Pencoretan gedung DPR” dengan tulisan, seperti :

1) “KALAU ANGGOTA DEWAN TETAP NGGAK BERUBAH KELAKUANNYA, LAIN KALI CORAT-CORETNYA LANGSUNG DI JIDAT MEREKA SAJA!”.

2) “Jujur, adil, tegas”.

3) Tanda garis-garis di atas tulisan “Jujur, adil, tegas”.

Simbol di karikatur Clekit “Kontrovesi Pencoretan gedung DPR” ditunjukkan dengan :


(1)

Disamping itu, pemilihan gambar gedung DPR yang dimuat sendiri merupakan perwakilan dari pemerintahan di Indonesia. Gedung DPR diidentikkan dengan wakil rakyat atau disebut juga sebagai pemerintah. Kemudian karikaturnis ingin membandingkan pemuatan gambar gedung DPR tersebut dengan realitas yang terjadi saat ini yang kebanyakan pemerintah masih jauh dari kata-kata jujur, adil dan tegas. Kritik dalam karikatur tersebut ingin membawa Indonesia ke sistem pemerintahan yang jujur, adil dan tegas untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.

Oleh karena itu, kritik sosial dan politik yang disampaikan dalam karikatur tersebut menginginkan suasana baru, suasana yang lebih baik dan lebih maju, seperti halnya, lembaga pemerintahan yang jujur, adil dan tegas. Kritik yang dilakukan oleh karikaturis dalam sebuah karikatur tidak selamanya berarti melawan, tetapi mengandung muatan saling memberi arti, setidaknya masukan yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil interpretasi dan penjelasan peneliti dalam pemaknaan kritik sosial dan politik secara keseluruhan dalam karikatur Clekit pada Surat Kabar Jawa Pos “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” Edisi Sabtu, 31 Juli 2010, maka kesimpulan yang dapat digambarkan oleh penulis adalah, karikatur tersebut tidak menginginkan adanya sistem pemerintahan atau politik yang kotor, seperti halnya jauh dari kata-kata jujur, adil dan tegas yang masih dilakukan oleh sebagian besar pemerintah atau anggota DPR. Yang berarti memiliki makna menginginkan suasana baru, suasana yang lebih baik dan lebih maju, yaitu sistem politik atau pemerintahan yang bersih, transparan, serta melayani dengan adil dan sepenuh hati yang sesuai dengan kata-kata jujur, adil dan tegas. Penulis berusaha memaknai kritik sosial dan politik dalam karikatur sebagai perwujudan aksi protes tersebut. Kritik yang diwujudkan dalam sebuah karikatur, tujuannya bukan memberikan nilai yang negatif untuk para anggota DPR, namun tujuannya adalah memberikan sebuah kritik yang bersifat membangun, yang harus dipelajari serta dipertimbangkan oleh pemerintah atau anggota DPR.


(3)

5.2 Saran

Konsep pemaknaan kritik sosial dan politik karikatur Clekit Pada Surat Kabar Jawa Pos “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” Edisi Sabtu, 31 Juli 2010 ini cukup menarik. Namun dalam bab ini peneliti akan memberikan saran bagi penelitian yang akan datang agar karikatur yang ada di surat kabar Jawa Pos dapat dimaknakan dengan baik.

yaitu dengan :

1) Hendaknya memiliki makna yang jelas.

2) Tidak ambigu kata atau bermakna ganda.

3) Judul harus dibuat dengan kata yang singkat, jelas dan mewakili pesan yang disampaikan, agar orang merasa tidak bingung atau bahkan kecewa karena setiap orang memiliki

Field of Experience dan Frame of Reference yang

berbeda-beda.

Sehingga dengan maksud dan tujuan tersebut diharapkan suatu permasalahan yang diangkat melalui karikatur harus dapat mampu memahami khalayak mengenai isu-isu yang masih hangat. Dengan menggunakan tanda-tanda non verbal, berupa adanya ekspresi wajah dan isyarat tangan, kemudian penganalisisan pada pemaknaan ikon, indeks, dan simbol terhadap penampilan gambar, maka makna dan pesan dari karikatur dapat mengena sesuai dengan konsep yang ditampilkan.


(4)

Penelitian pemaknaan kritik sosial dan politik karikatur Clekit Pada Surat Kabar Jawa Pos “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” Edisi Sabtu, 31 Juli 2010 menjadi pertimbangan tersendiri bagi pihak peneliti, Oleh karena itulah peneliti menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna, maka diharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun demi sempurnanya pemaknaan kritik sosial dan politik karikatur Clekit ini.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Aceng. 2001. Press Relations, Kiat Berhubungan dengan Media Massa. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Ali, Novel. 1999. Peradaban Komunikasi Politik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Assegaff, H. Dja’far. 1991. Jurnalistik Masa Kini. Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia.

Cangara, Hafid. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo. Indarto, Kuss. 1999. Sketsa di Tanah Merdeka, Kumpulan Karikatur. Yogyakarta : Tiara Kencana.

Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthez. Yogyakarta : Yayasan Indonesia. Kusmiati, R. Artini. 1999. Desain Komunikasi Visual. Jakarta : PT. Remaja Rosdakaya.

Lexi, Moleong, 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Masoed, Mochtar. 1999. Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta : UII Press.

Mulyana, Deddy. 1999. Nuansa - Nuansa Komunikasi Meneropong Politik

Budaya Indonesia. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Panuju, Redi, 2005. Nalar Jurnalistik (Dasar - Dasarnya Jurnalistik). Malang : Bayu Media Publishing.

Pareno, Sam Abede. 2005. Manajemen Berita Antara Realitas dan Mimpi. Surabaya : Penerbit Papyrus.

Pramono, Promoedjo. 2008. Kiat Mudah Membuat Karikatur. Jakarta : Penerbit Creativ Media.

Rivers, William L dan Peterson, Jay W. Jensen Theodore. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta : Kencana Prenada Media.


(6)

Sumadria, Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.

Susanto, Astrid. 1986. Makna dan Fungsi Sosial dalam Masyarakat Negara dalam Demokrasi dan Proses Politik. Jakarta : LP3ES.

Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.


Dokumen yang terkait

KRITIK POLITIK DAN KRITIK SOSIAL PADA KARIKATUR DI JAWA POS(Analisis isi Surat Kabar Harian Jawa Pos Edisi Bulan 01 Agustus- 30 September 2005 )

0 3 2

PEMAKNAAN KARIKATUR CLEKIT PADA KOLOM OPINI JAWA POS (Studi Semiotik tentang Pemaknaan Karikatur Clekit pada Kolom Opini di Jawa Pos Edisi 3 April 2012).

0 0 81

PEMAKNAAN KARIKATUR CLEKIT (Studi Semiotik Pemaknaan Karikatur Editorial Clekit Pada Media Jawa Pos Edisi 17 Agustus 2010).

0 0 81

KRITIK SOSIAL KARIKATUR CLEKIT KEBOHONGAN PEMERINTAH (Studi Semiotik Kritik Sosial Karikatur Clekit Pada Surat Kabar Jawa Pos “Kebohongan Pemerintah” Edisi Sabtu, 15 Januari 2011).

0 1 110

PEMAKNAAN KARIKATUR CLEKIT PADA SURAT KABAR HARIAN PAGI JAWA POS (Studi Semiotik Tentang Pemaknaan Karikatur “Clekit” Kualitas Kabinet Indonesia Bersatu II pada Harian Pagi Jawa Pos Edisi 24 September 2011 ).

0 1 74

KRITIK SOSIAL DAN POLITIK KARIKATUR CLEKIT PADA SURAT KABAR JAWA POS (Studi Semiotik Kritik Sosial dan Politik Karikatur Clekit Pada Surat Kabar Jawa Pos “Kontroversi Pencoretan Gedung DPR” Edisi Sabtu, 31 Juli 2010)

1 1 23

PEMAKNAAN KARIKATUR CLEKIT (Studi Semiotik Pemaknaan Karikatur Editorial Clekit Pada Media Jawa Pos Edisi 17 Agustus 2010)

0 0 18

PEMAKNAAN KARIKATUR CLEKIT PADA SURAT KABAR HARIAN PAGI JAWA POS (Studi Semiotik Tentang Pemaknaan Karikatur “Clekit” Kualitas Kabinet Indonesia Bersatu II pada Harian Pagi Jawa Pos Edisi 24 September 2011 )

0 0 18

MAKNA KRITIK SOSIAL DALAM KARIKATUR EDITORIAL "OOM PASIKOM DAN CLEKTT" PADA SURAT KABAR KOMPAS DAN SURAT KABAR JAWA POS

0 1 17

Hasil Pengecekan Plagiasi dengan judul Makna Kritik Sosial Dalam Karikatur Editorial "Oom Pasikom dan Clekit" Pada Surat Kabar Jawa Pos

0 0 17