Pembingkaian Berita Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono (Studi Analisis Framing Berita Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas).

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Pada Fisip UPN “Veteran” Jawa Timur

Oleh :

IKE PRATIWI

NPM. 0643010104

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA

2010


(2)

SBY-Boediono Di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas)

Disusun Oleh :

IKE PRATIWI

NPM. 0643010104

Telah Disetujui Untuk Mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Zainal Abidin Achmad, M. Si, M. Ed

NPT. 3 7305 99 0170 1

Mengetahui,

DEKAN

Dra. Ec. Hj. Suparwati, M. Si

NIP. 19550718 198302 2 00 1


(3)

IKE PRATIWI

0643010104

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur

Pada tanggal 11 Juni 2010

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Tim Penguji

Ketua :

1.

Zainal Abidin Achmad, M. Si, M. Ed Ir. Didiek Tranggono, M. Si

NPT. 3 7305 99 0170 1

NIP. 19 581225 199001 1001

Sekretaris :

2.

Zainal Abidin Achmad, M. Si, M. Ed

NPT. 3 7305 99 0170 1

Anggota :

3.

Dra. Diana Amelia, M. Si

NIP. 19630907 199103 2001

Mengetahui,

DEKAN

Dra. Ec. Hj. Suparwati, M. Si

NIP. 19550718 198302 2 00 1


(4)

yang Maha Pengasih dan Penyayang sehingga peneliti dapat menyelesaikan

skripsi dengan judul “Pembingkaian Berita Seratus Hari Kinerja

SBY-Boediono” (Studi

Analisis Framing Berita Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas).

Penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih sebanyak-banyaknya kepada

Bpk. Zainal Abidin Achmad, M. Si, M. Ed selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan serta dorongan kepada peneliti,

sehingga peneliti bias menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Serta peneliti

juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1.

Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, Msi selaku Dekan FISIP UPN “Veteran” Jawa

Timur

2.

Bpk Juwito, S.Sos, Msi Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UPN

“Veteran” Jatim

3.

Kedua Orang Tua peneliti, yaitu Bpk. Imam Machmud dan Ibu Pranti yang

telah membantu baik secara materiil dan doa, adik peneliti yaitu Inggit Pradita

yang memberikan support.

4.

Teman sekaligus sahabat-sahabat saya, yaitu : Niken Rizki Oktasyah, Citra

Eka Pravitrian, Fadilla Dwi Anggia, dan Bagus Dwi Irawan (Skripsi ini gk

bakal selese tanpa bantuan kalian, thx a lot friends)


(5)

6.

Buat semua yang gak bisa di sebut satu persatu, trima kasih.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh

karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi

kesempurnaan skripsi ini.

Surabaya, 26 Mei 2010


(6)

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

ABSTRAKSI

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ...

1

1.2. Rumusan Masalah ...

13

1.3.

Tujuan

Penelitian ...

13

1.4. Kegunaan Penelitian ...

13

1.4.1. Kegunaan Teoritis ...

13

1.4.2. Kegunaan Praktis ...

14

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 15

2.1. Landasan Teori ...

15

2.1.1. Media Massa dan Konstruksi Realitas ...

15

2.1.2. Berita Sebagai Hasil Konstruksi Realitas ...

17

2.1.3. Wartawan Sebagai Agen Konstruksi Realitas...

18


(7)

2.2. Kerangka Berfikir ...

30

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

3.1.

Metode

Penelitian ...

32

3.1.1 Definisi Operasional...

32

3.2. Subyek dan Obyek Penelitian...

36

3.3. Unit Analisis ...

36

3.4.

Korpus ...

36

3.5. Teknik Pengumpulan Data ...

37

3.6. Teknik Analisis Data ...

38

3.7. Langkah-langkah Framing...

39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian ...

40

4.1.1. Profil Jawa Pos ...

40

4.1.2. Kebijakan Redaksional ...

47

4.2. Gambaran Umum Kompas ...

53

4.2.1. Profil Kompas ...

53

4.2.2. Kebijakan Redaksional ...

56


(8)

4.3.1.3. Berita 29 Januari 2010 ...

74

4.3.2.

Kompas

...

80

4.3.2.1. Berita 27 Januari 2010 ...

81

4.3.2.2. Berita 28 Januari 2010 ...

87

4.3.2.3. Berita 29 Januari 2010 ...

92

4.3.3. Bingkai Umum ...

99

4.3.3.1. Frame Umum Perbandingan Jawa Pos dan Kompas ...

99

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

5.1

Kesimpulan

...

103

5.2.

Saran

...

104

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(9)

4.1. Tabel 4.1 ...

50

4.2. Tabel 4.2 ...

51

4.3. Tabel 4.3 ...

52

4.4. Tabel 4.4 ...

59

4.1. Frame Berita Jawa Pos 27 Januari 2010 ...

66

4.2. Frame Berita Jawa Pos 28 Januari 2010 ...

73

4.3. Frame Berita Jawa Pos 29 Januari 2010 ...

79

4.4. Frame Berita Kompas 27 Januari 2010 ...

86

4.5. Frame Berita Kompas 28 Januari 2010 ...

92

4.6. Frame Berita Kompas 29 Januari 2010 ...

98


(10)

3. Program 100 Hari Hanya Sekadar Pencitraan ... 109

4. Program 100 Hari Kabinet Dikritik ... 110

5. Masyarakat Jangan Dirugikan ... 111


(11)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembingkaian berita Seratus Hari

Kinerja Presiden SBY-Boediono di surat kabar Jawa Pos dan Kompas.

Teori-teori yang digunakan peneliti dalam penelitian ini yaitu : Media Massa dan

Konstruksi Realitas, Berita Sebagai Hasil Konstruksi Realitas, Wartawan Sebagai Agen

Konstruksi Realitas, dan Analisis Framing Termasuk Paradigma Konstruktivis.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif,

yang menggunakan analisis framing dari Gamson dan Modigliani. Korpus dari

pemberitaan tersebut yaitu : berita-berita yang membahas tentang Seratus Hari Kinerja

Presiden SBY-Boediono pada surat kabar Jawa Pos dan Kompas, 27-29 Januari 2010.

Hasil penelitian dari Jawa Pos yaitu pemerintahan 100 hari SBY-Boediono dinilai

belum berhasil memberikan terobosan dan fondasi yang kuat untuk melangkah lima

tahun ke depan. Sedangkan pada Kompas diperoleh hasil penelitian yaitu sejumlah

aktivis lembaga swadaya masyarakat mengkritik program 100 hari Kabinet Indonesia

Bersatu II.

Kata Kunci : Pembingkaian Berita Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono, Jawa

Pos, Kompas.

ABSTRACT

Ike Pratiwi. News Framing Hundred-Day Performance SBY-Boediono President

(News Framing Analysis Studies Performance One Hundred Days of SBY-Boediono

President Newspapers Java Post and Kompas). Thesis.

This study aims to identify news framing Hundred-Day Performance SBY-

Boediono president in the newspaper Jawa Pos and Kompas.

The theories used by researchers in this study are: Mass Media and the

Construction of Reality, News For The Construction of Reality, Reality Construction

Agent For Journalists and Framing Analysis Including Constructivist Paradigm.

The methods used in this research study is a qualitative research method, which

uses a framing analysis of Gamson and Modigliani. The corpus of such news is: the news

that discusses the Hundred-Day Performance SBY-Boediono president in a daily

newspaper Jawa Pos and Kompas January, 27 until 29, 2010.

The results obtained from Jawa Pos, the Goverment 100-days SBY -Boediono

assessed yet succeeded in giving a breakthrough and a strong foundation to move forward

five years. While in the Kompass of the research project the following non-governmental

organization activists criticized the 100-days program of United Indonesia Cabinet II.

Key word : News Framing Analysis Studies Performance One Hundred Days of SBY-


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara menganut azas demokrasi, artinya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Bentuk pemerintahan ini adalah bentuk pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, gagasan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan dalam suatu pemerintahan.

Negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi ini tentunya tidak lepas dari banyak kendala dan permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah, salah satunya adalah permasalahan dalam politik. Permasalahan politik dalam pemerintahan ini bukan hal yang istimewa tetapi sudah menjadi hal yang biasa, apalagi dampak yang ditimbulkan oleh permasalahan politik ini langsung kepada rakyat. Permasalahan politik yang sering muncul dalam pemerintahan dan kancah politik misalnya : pertikaian antar partai politik, adanya kubu-kubu yang memprovokasi atau memicu adanya permasalahan politik, dan lain-lain.

Indonesia adalah negara demokrasi yang pemerintahannya dipimpin oleh presiden, dan tiap-tiap presiden pasti memiliki cara yang berbeda dalam menjalankan sistem pemerintahannya. Sampai pada akhirnya Indonesia menuju massa reformasi, ini terjadi pada pemerintahan Presiden SBY. Selama 5 tahun pertama masa jabatan SBY banyak perubahan yang terjadi, sehingga pada jabatan ini bisa dibilang SBY sukses menjalankan pemerintahan. Setelah 5 tahun masa


(13)

jabatan SBY berakhir, sampailah rakyat Indonesia pada PEMILU tahun 2009. pada periode I pemerintahan SBY, rakyat Indonesia merasa puas sehingga pada PEMILU tahun 2009, SBY terpilih lagi menjadi presiden dengan wakilnya yang baru yaitu Boediono.

Terpilihnya SBY pada periode ke II ini, rakyat menaruh harapan yang besar agar Indonesia menjadi negara yang lebih baik lagi dari segi apapun. Pada periode I pemerintahan SBY, hampir semua masalah dalam kancah politik mampu diselesaikan. Misalnya adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengungkap secara gamblang adanya pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam pemerintahan. Beberapa kasus yang berhsil diungkap oleh KPK adalah kasus Al Amin Nasution terkait kasus korupsi di Kalimantan, Artalyta Suryani terkait kasus penyuapan Jaksa Urip, Anggodo dengan kasus korupsi, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan negara Indonesia yang menganut sistem reformasi pada pemerintahan, reformasi memiliki ciri-ciri bebas KKN, bebas penindasan terhadap rakyat kecil, bebas korupsi, dan lain-lain.

Tetapi pada pemerintahan SBY periode II ini sepertinya tidak berjalan mulus, hal ini dapat terlihat dari 100 hari kinerja SBY. Sebelumnya belum ada program seperti ini, program ini dibuat karma untuk menilai kinerja pemerintahan selama 100 hari ke depan setelah pelantikan presiden. Rupanya kali ini SBY mengalami kendala, karena kinerjanya selama ini dinilai kurang baik oleh masyarakat. Menjelang 100 hari pemerintahan yang dipimpin Presiden SBY, banyak sekali terjadi perkembangan politik di negeri ini, ada yang menilai positif dan ada juga yang menilai negatif. Yang paling menonjol adalah perkembangan


(14)

politik di gedung DPR, dimana pansus Century dengan gigihnya telah memeriksa tokoh besar negeri ini Wapres Boediono dan Menku Sri Mulyani. Kemudian yang menarik, mantan wapres Jusuf Kalla juga dimintai keterangan. Selanjutnya beberapa mantan pejabat BI, juga diperiksa, termasuk besan presiden, Aulia Pohan. Tidak ketinggalan Mantan Kepala Bagian Reserse dan Kriminal POLRI Komisaris Jendral Susno Duadji juga dimintai keterangan.

Berita-berita mengenai kinerja Presiden yang ke seratus hari akhir-akhir ini mewarnai media massa. Berita ini paling banyak dibahas dan muncul di media massa. Bahkan beberapa hari menjelang peringatan kinerja Presiden yang ke seratus hari diwarnai ricuh demo dari masyarakat. Banyak pro dan kontra yang mewarnai kinerja Presiden yang ke seratus hari. Dalam hal ini permasalahan yang ramai dibicarakan adalah kasus Bank Century yang beberapa bulan lalu meyeruak di media massa. Disebut-sebut Presiden SBY terlibat dalam kasus ini dengan menerima kucuran dana setiap bulannya. Apalagi dalam kasus ini Boediono dan menteri keuangan Sri Mulyani dituding terlibat dalam masalah ini. Kedua petinggi itu bertanggung jawab atas keputusan bail out Bank century sebesar Rp. 6,7 triliun yang kini dalam perdebatan antara benar dan salah. (Jawa pos, 28 Januari 2010 : 4).

Dengan adanya pemberitaan seperti ini otomatis citra SBY yang selama ini dikenal masyarakat sebagai sosok pepimpin yang karismatik, berwibawa dan peduli terhadap rakyat kecil menjadi buruk. Demo menjelang ke seratus hari momentum peringatan kinerja Presiden ramai oleh berbagai kalangan masyarakat, seperti buruh, rakyat kecil, guru, mahasiswa dan para demonstran lainnya. Demo


(15)

ini tidak hanya terjadi di Ibu kota saja, melainkan terjadi di kota lain seperti Surabaya.

Dalam peringatan ke seratus hari kinerja Presiden, SBY memaparkan bahwa ia legowo dengan semua kritik yang ditujukan kepadanya. Sejatinya, waktu seratus hari terlalu singkat untuk memberikan penilaian terhadap kinerja Presiden dan wakil presiden, apalagi sampai memberikan vonis gagal. Masih banyak persoalan yang mendasar yang belum bisa dipakai sebagai pijakan. Misalnya dalam hal hukum, HAM, belum lagi soal pro dan kontra unas (ujian nasional), terlebih lagi kasus Century yang menyita perhatian publik. Dalam permasalahan ini tentunya tidak luput dari pandangan media, apalagi berita tentang momentum seratus hari kinerja presiden.

Berita-berita yang muncul di media pada dasarnya dibentuk melalui proses aktif dari pembuat berita. Peristiwa yang kompleks dan tidak beraturan, disederhanakan dan dibuat bermakna oleh pembuat berita. Tahap awal dari produksi sebuah berita adalah bagaimana wartawan mempersepsikan peristiwa atau fakta yang akan diliput. Para jurnalis selalu mengatakan bahwa dirinya telah bertindak secara objektif, seimbang dan tidak berpihak kepada kepentingan apapun kecuali solidaritas atas hak khalayak untuk mengetahui kebenaran. Meskipun para jurnalis berpatokan dengan sikap tersebut tetapi terkadang praktik yang dilakukan lapangan berbeda. Ada media yang menonjolkan aspek tertentu, dipihak lain ada media yang menutupi aspek tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dibalik independensi dan objektifitas, seorang jurnalis menyimpan paradoks, tragedi, bahkan ironi. (Eriyanto, 2004 : iv).


(16)

Sikap netral yang harusnya ditunjukkan oleh media massa kini menjadi pudar karena adanya prasangka atau kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan membandingkan beberapa pemberitaan di media, sangat mungkin akan menemukan kesimpulan yang setara bahwa tidak mungkin media apapun dan manapun dapat lepas dari bias-bias yang berkaitan dengan politik, ekonomi, ideologi, sosial dan budaya sekalipun.

Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa setiap pemberitaan tidak luput dari pandangan media, artinya media berperan aktif dalam setiap berita atau peristiwa yang terjadi di negara Indonesia. Media massa adalah salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia akan informasi. Media massa terbagi menjadi dua bagian, yaitu media cetak, media elektronik. Informasi yang disajikan oleh media massa merupakan suatu kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia, sehingga antara manusia dan media massa keduanya saling membutuhkan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Manusia membutuhkan media massa untuk memenuhi kebutuhan akan informasi, sedangkan media massa membutuhkan manusia untuk mendapatkan informasi dan mengkonsumsi berita-berita yang disajikan oleh media massa tersebut.

Media massa adalah sebuah institusi yang berperan sebagai agent of change, yaitu sebagai institusi pelopor perubahan. Ini adalah paradigma utama media massa. Dalam menjalankan paradigmanya, media massa memiliki peran :

“Pertama, sebagai institusi pencerahan masyarakat, yaitu perannya sebagai media edukasi. Media massa menjadi media yang setiap saat mendidik masyarakat supaya cerdas, terbuka pikirannya dan menjadi masyarakat yang maju. Kedua, media massa yang akan menjadi media informasi, yaitu media yang setiap saat dapat menyampaikan informasi kepada masyarakat. Dengan


(17)

informasi yang terbuka, jujur, dan benar yang disampaikan oleh media massa kepada masyarakat, maka masyarakat akan menjadi masyarakat yang kaya dengan informasi dan terbuka dengan informasi. Ketiga, media massa sebagai media hiburan. Sebagai agen perubahan, media massa juga menjadi institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong kebudayaan dan memfilter adanya budaya-budaya yang tidak sesuai dengan masyarakat”. (Bungin, 2007 : 85-86).

Media massa tidak hanya menyajikan informasi, tetapi dengan informasi itu media bias mempengaruhi khalayak. Media massa menjadi hal penting untuk menentukan suatu bangsa dalam waktu ke depan, karena media juga bukan sekedar institusi bisnis tempat orang mencari pekerjaan dan keuntungan, tetapi media massa juga merupakan institusi sosial sekaligus politik yang menyentuh pikiran masyarakat luas, yang prosesnya potensial mempengaruhi apa yang terjadi masyarakat di masa yang akan datang, baik dalam proses politik, sosial dan ekonomi.

Media massa memiliki segmentasi khalayak masing-masing dan berlomba-lomba menyajikan informasi yang aktual kepada khalayaknya. Dalam menyajikan berita yang akan disampaikan kepada khalayak tentunya ada kebijakan-kebijakan yang sudah ditentukan oleh keredaksian yang dapat membatasi wartawan dalam menulis berita. Kebijakan redaksional menjadi sebuah pedoman serta ukuran dalam menentukan kejadian apa yang oleh surat kabar itu patut diangkat dan dipilih untuk menjadi berita maupun bahan komentar. Visi pokok yang dijabarkan menjadi kebijakan redaksional tersebut menjadi kerangka acuan serta kriteria dalam menyeleksi dan mengolah menjadi berita. (Oetama, 2001 : 146).


(18)

Media bukan saluran bebas, media juga berlaku sebagai subjek yang mengkonstruksi realitas lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Sehingga ada penonjolan aspek-aspek tertentu dari peristiwa yang sama akan tetapi berbeda. Analisis framing merupakan pisau bedah analisis yang paling sesuai untuk fenomena tersebut.

Framing berkaitan dengan opini publik, mengapa? Karena isu tertentu ketika dikemas dengan bingkai tertentu bias mengakibatkan pemahaman khalayak yang berbeda atas suatu isu. Framing atas isu umumnya banyak dipakai dalam literatur gerakan sosial. Dalam suatu gerakan sosial, ada strategi bagaimana agar khalayak memiliki pandangan yang sama atas suatu isu. Itu seringkali ditandai dengan menciptakan masalah bersama, musuh bersama, dan pahlawan bersama. Hanya dengan itu khalayak bias digerakkan, semua itu membutuhkan frame-frame : bagaimana berita itu dikemas, bagaimana peristiwa itu dipahami dan bagaimana pula kejadian didefinisikan dan dimaknai. (Eriyanto, 2005 : 142-143).

Dalam penelitian ini peneliti telah menetapkan surat kabar Jawa Pos dan Kompas sebagai media untuk meneliti pemberitaan ini. Seperti halnya pada surat kabar Jawa Pos dan Kompas, kedua harian tersebut mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menyeleksi suatu peristiwa atau isu dan menulis mengenai Seratus Hari Kinerja Presiden. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan cara pandang masing-masing wartawan pada masing-masing media. Antara Jawa Pos dan Kompas dalam mempersepsikan kasus tersebut yang kemudian membingkainya ke dalam bentuk susunan berita. Selain itu perbedaan cara pandang kedua harian tersebut dalam mengemas dan menyajikan berita dapat juga


(19)

disebabkan adanya perbedaan suatu kebijakan redaksi serta perbedaan visi dan misi dari masing-masing media.

Pada surat kabar harian Jawa Pos 28 Januari 2010, ditulis berita mengenai Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono di halaman 2 dengan judul “Pupularitas SBY Turun, Demokrat Cemas”. Pada edisi ini harian Jawa Pos memberitakan tentang turunnya populatitas SBY dapat menyebabkan dampak yang signifikan terhadap Partai Demokrat.

Surat kabar harian Jawa Pos juga mengutip beberapa pendapat dari beberapa nara sumber yang terkait, antara lain : Direktur Eksekutif LSI Dodi Ambardi dan Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Partai Demokrat Haryono Isman. Sedangkan pada surat kabar harian Kompas, 28 Januari 2010, ditulis pada head line halaman 3 yaitu “Kepuasan Atas Kinerja Pemerintahan Turun (Kelompok Menengah yang Paling Tidak Puas)”. Pada lead tertulis :

“Kepuasan masyarakat atas kinerja pemerintahan SBY turun dibandingkan saat pemilu lalu hingga kisaran 70%. Penurunan kepuasan masyarakat itu terlihat dari survey yang dilakukan Litbang Kompas, Lembaga Survei Indonesia, dan Indobarometer”. Beberapa nara sumber yang memberi pendapat tentang berita ini antara lain : Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Kuskridho Ambardi, Juru Bicara Kepresidenan julian Aldrin Pasha, Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat Haryono Isman, dan Fungsionaris Partai Golkar Jeffrie Geovanie.

Kontroversi mengenai kinerja Presiden yang ke seratus akan terus bergulir, hal ini membuat media massa baik media cetak maupun media elektronika berlomba-lomba menyajikan berita, isu maupun informasi yang aktual


(20)

terhadap pemberitaan ini. Oleh karena itu wacana yang dimunculkan cenderung kontroversional dan kontradiktif. Setiap media ingin memberikan informasi dengan penyajian yang betul-betul dapat memuaskan khalayaknya.

Hal ini berkaitan erat dengan cara wartawan dalam mencari berita dan menyajikan setiap peristiwa yang akan dijadikan berita. Setiap wartawan mempunyai perspektif berbeda dalam memaknai sebuah isu dan perspektif ini dapat mempengaruhi wartawan dalam melakukan konstruksi terhadap sebuah realitas.

Dari pemaparan tersebut di atas dapat kita lihat bagaimana media menyikapi dan memiliki tujuan dalam melihat suatu peristiwa, tentunya penglihatan itu tidak lepas dari perspektif yang dibangun dalam membuat berita. Begitu pula dalam pemberitaan tentang Momentum Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono yang menimbulkan banyak polemik di masyarakat. Dampak dari polemik tersebut adalah penilaian masyarakat dalam seratus hari kinerja pemerintahan tersebut. Kejadian ini dimaknai oleh media massa, termasuk surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas.

Surat kabar harian Jawa Pos dipilih oleh penulis dalam penelitian, hal ini dikarenakan Jawa Pos merupakan koran nasional di Indonesia. Selain itu Jawa Pos juga merupakan salah satu kompetetor surat kabar harian Kompas. Surat kabar Jawa Pos ini terbit perdana pada 1 Juli 1949 dengan nama Djawa Post. Djawa Post ini didirikan oleh The Chung Shen, pada saat itu ia hanyalah seorang pegawai bagian ilan sebuah bioskop di Surabaya. Karena setiap hari ia harus memasang iklan bioskop di surat kabar, lama-lama ia tertarik untuk membuat


(21)

surat kabar sendiri. Setelah sukses dengan Jawa Pos-nya, The Chung Shen mendirikan pula koran berbahasa Mandarin dan Belanda. Bisnis The Chung Shen di bidang surat kabar tidak selamanya mulus, pada akhir tahun 1970-an omzet Jawa Pos mengalami kemerosotan yang tajam. Tahun 1982, oplahnya hanya tinggal 6.800 eksemplar saja. Koran-korannya yang lain sudah lebih dulu pensiun. Ketika usianya menginjak 80 tahun, The Chung Shen akhirnya memutuskan untuk menjual Jawa Pos, ia merasa tidak mampu lagi mengurus bisnisnya. Sedangkan ketiga anak The Chung Shen lebih memilih tinggal di London, Inggris. (www.jawapos.com, Minggu, 31 Januari 2010).

Kini Jawa Pos telah berkembang menjadi surat kabar dengan oplah lebih dari 300.000 eksemplar. Sekarang dengan nama Jawa Pos News Network (JPPNN), Jawa Pos menjelma menjadi jaringan surat kabar terluas di Indonesia. JPNN kini memiliki lebih dari 80 surat kabar dan majalah serta 40 jaringan percetakan di seluruh Indonesia. Pengertiannya surat kabar yang memiliki slogan “Selalu Ada Yang Baru” ini adalah dalam hal pemberitaannya, Jawa Pos selalu berusaha untuk dekat dengan semua kalangan dan berita yang disajikan selalu aktual. Pluralitas itulah yang coba ditonjolkan Jawa Pos, menjangkau pembacanya yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.

Selain menggunakan surat kabar Jawa Pos, penulis juga memilih surat kabar harian Kompas dalam penelitian ini. Surat kabar harian Kompas merupakan representasi dari suara Khatolik. (Sudibyo, 2001 : 8). Kompas juga memiliki kerajaan bisnis yang terdiri dari 38 perusahaan yang dikenal sebagai kompas Gramedia Group. Melalui berbagai buku, majalah, surat kabar, Kompas Gramedia


(22)

Group mendominasi industri penerbitan. (Send dan Hill, 2001 : 68-69). Harian Kompas memiliki visi manusia dan kemanusiaan, sehingga harian ini berusaha untuk senantiasa peka akan nasib manusia dan berpegang pada ungkapan klasik dalam jurnalistik, yaitu menghibur yang papan dan mengingatkan yang mapan. (Oetama, 2001 : 147).

Pada penelitian ini penulis membingkai pemberitaan dari dua media cetak, yaitu Jawa Pos dan Kompas. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-infornasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain. Framing juga menekankan pada penonjolan teks komunikasi, sehingga membuat informasi yang disajikan menjadi lebih menarik dan mudah diingat oleh masyarakat. Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, atau lebih diingat oleh khalayak. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. (Eriyanto, 2005 : 186-187).

Untuk melihat perbedaan media dalam mengungkap suatu peristiwa (realitas), peneliti memilih analisis framing sebagai metode penelitiannya. Alasannya adalah karena dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik dan lebih diingat untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai dengan perspektifnya. (Nugroho, Eriyanto, Surdariyasis, dalam Sobur, 2006 : 162).


(23)

Prinsip analisis framing menyatakan bahwa terjadi proses seleksi terhadap dimensi-dimensi tertentu dari fakta yang diberikan oleh media. Fakta ditampilkan apa adanya, namun diberi bingkai (frame) sehingga menghasilkan konstruksi makna yang spesifik. Dalam hal ini biasanya media menyeleksisumber berita, memanipulasi pernyataannya dan mengedepankan perspektif tertentu, sehingga suatu interpretasi menjadi lebih mencolok (noticeable) dari pada interpretasi yang lain. (Entman, 1993 : 32-53).

Selain itu analisis framing juga merupakan analisis untuk mengkaji pembingkaian realitas (peristiwa, individu, kelompok, dan lain-lain) yang dilakukan oleh media. Pembingkaian tersebut merupakan konstruksi yang artinya realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan makna dan cara tertentu. Framing digunakan untuk menonjolkan atau memberi penekanan aspek tertentu sesuai dengan kepentingan media. Akibatnya, hanya bagian tertentu saja yang lebih bermakna, lebih diperhatikan, dianggap penting, dan lebih mengena dalam pikiran khalayak. (Kriyantono, 2006 : 252).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis William A. Gamson. Dalam hal ini Gamson dibantu oleh Modigliani, dalam formulasi yang mereka buat, frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gugusan ide-ide yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. (Eriyanto, 2002 :223).


(24)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang akan menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

“Bagaimana surat kabar Jawa Pos dan Kompas dalam membingkai berita tentang Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono?”

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan “Untuk mengetahui pembingkaian berita Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono di surat kabar Jawa Pos dan Kompas”.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

Untuk menambah kajian dalam bidang ilmu komunikasi terutama yang menggunakan metode kualitatif pada umumnya, dan analisis framing pada khususnya. Dengan melakukan penelitian ini diharapkan dapat memperoleh pengetahuan tentang strategi yang digunakan media dalam membingkai suatu realitas.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Sebagai bahan evaluasi bagi pihak media dalam menyajikan berita dan sebagai referensi bagi pihak-pihak yang tertarik dalam kajian masalah yang sama.


(25)

2. Memberikan edukasi bagi masyarakat bahwa sesungguhnya berita tidaklah subjektif seperti pandangan umum. Diperlukan pandangan yang komprehensif untuk bias menelaah isi berita dengan benar agar tidak terjadi kesalahpahaman di masyarakat yang bisa menyebabkan konflik.


(26)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Media Massa dan Konstruksi Realitas

Istilah interaksi merujuk pada bagaimana gagasan dan pendapat tertentu dari seseorang atau sekelompok orang ditampilkan dalam pemberitaan. Sehingga realitas yang terjadi tidak digambarkan sebagaimana mestinya, tetapi digambarkan secara lain. Bisa lebih baik atau bahkan lebih buruk, cenderung memarjinkan seseorang atau sekelompok tertentu.

Hal ini terkait dengan visi, misi, serta ideologi yang dipakai oleh masing-masing media, sehingga kadang kala dari hasil pembingkaian tersebut dapat diketahui bahwa media lebih berpihak pada siapa (jika yang diberitakan adalah seseorang, kelompok atau golongan dalam masyarakat, dalam banyak hal tergantung pada etika, moral dan nilai-nilai tertentu), tidak mungkin dihilangkan dalam pemberitaan. Hal ini merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi suatu realitas. Media menjadi tempat pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.

Media dalam memakai realitas dalam melakukan dua proses. Pertama, pemilihan fakta berdasarkan pada asumsi bahwa jurnalis tidak mungkin tidak memandang secara perspektif. Kedua, bagaimana suatu fakta terpilih tersebut disajikan kepada khalayak. Hal ini tentunya tidak dapat dilepaskan sebagaimana


(27)

fakta dapat diinterpretasikan dan dipahami oleh media. (Eriyanto, 2001 : 113, 116).

Pendapat Sobur dalam bukunya “Analisis Teks Media”, bahwa hakekatnya pekerjaan media adalah mengkonstruksi realitas. Isi media merupakan hasil para pekerja media dalam mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya untuk dijadikan sebuah berita, diantaranya realitas politik dan human interest. Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka dapat dikatakan bahwa seluruh isi media adalah realitas yang dikonstruksi (construct reality). Pembuatan berita di media pada dasarnya tidak lebih dari penyusunan realitas-realitas, sehingga membentuk sebuah “cerita”. Berita adalah realitas yang dikonstruksikan. (Sobur, 2002 : 88).

Gambaran tentang realitas yang “dibentuk” oleh isi media yang nantinya mendasari respon dan sikap khalyak terhadap berbagai objek sosial. Informasi yang salah dari media massa, akan memunculkan sikap yang salah juga terhadap objek sosial itu. Karenanya media massa dituntut menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas. Kualitas informasi ini yang merupakan tuntutan etnis dan moral penyajian isi media. Menurut istilah Peter Berger, isi media massa merupakan konsumsi otak bagi khalayak. Sehingga apa yang ada di media massa akan mempengaruhi realitas subjektif pelaku interaksi sosial. (Jurnal ISKI, 2001 : 11).

Media massa mempunyai peranan sebagai agen sosialis pesan tentang norma dan nilai. Surat kabar dan tabloid merupakan salah satu bentuk media massa yang memiliki fungsi untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat


(28)

umum. Sebagai seorang agen, wartawan telah menjalin transaksi dan hubungan dengan objek yang diliputnya, sehingga berita merupakan produk dari transaksi antara wartawan dengan fakta yang dia liput. (Eriyanto, 2002 : 31).

Media cetak merupakan salah satu arena sosial, tempat berbagai kelompok social masing-masing dengan polotik bahasa yang mereka kembangkan sendiri berusaha menampilkan definisi situasi atau realitas berdsarkan versi mereka yang dianggap sahih. (Hidayat dalam Siahaan, 2001 : 88). Berita untuk media massa cetak surat kabar harus berfungsi mengarahkan, menumbuhkan atau membangkitkan semangat dan memberikan penerangan. Artinya, berita yang kita buat harus mampu mengarahkan perhatian pembaca, sehingga mengikuti alur pemikiran yang tertulis dalam berita tersebut. (Djuroto, 2002 : 49).

Apa yang tersaji dalam berita yang kita baca setiap hari adalah produk dari pembentukan realitas oleh media. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak.

2.1.2 Berita Sebagai Hasil Konstruksi Realitas

Berita dalam pandangan Fishman bukanlah refleksi atau distorsi dari realitas yang seakan berada di luar sana. Berita adalah apa yang pemberita buat, jika berita merefleksikan sesuatu maka refleksi itu adalah praktik pekerja dalam organisasi yang memproduksi berita. Berita adalah hasil akhir dari proses kompleks dengan memilah-milah dan menentukan peristiwa dan tema-tema tertentu dalam satu kategori tertentu. Berita adalah produksi dari institusi social dan melekat dalam hubungannya dengan institusi lainnya. Berita adalah dari


(29)

profesionalisme yang menentukan bagaimana peristiwa setiap hari dibentuk dan dikonstruksi.

Dalam pandangan Tuchman, berita adalah hasil transaksi antara wartawan dengan sumber, realitas yang terbentuk dalam pemberitaan bukanlah apa yang terjadi dalam dunia nyata, melainkan realsi antara wartawan dengan sumber dan lingkungan sosial yang mebentuknya. Berita tidak mungkin merupakan cerminan dan refleksi dari realitas karena berita yang terbentuk merupakan konstruksi atas realitas. Menurut kaum konstruksionis, berita adalah hasil dari konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan atau media.

Jadi berita yang kita baca setiap hari pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah baku jurnalistik. Berita bukanlah representasi dari realitas melainkan konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas sebuah realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain yang tentunya akan menghasilkan realitas yang berbeda pula. (Eriyanto, 2002 : 21).

2.1.3 Wartawan Sebagai Agen Konstruksi Realitas

Wartawan adalah profesi yang dituntut untuk mengungkap kebenaran dan menginformasikan ke khalayak seluas mungkin tentang temuan dari fakta-fakta yang berhasil digalinya, apa adanya, tanpa rekayasa, dan tanpa tujuan subjektif tertentu, semata-mata dari pembangunan kehidupan dan peradaban manusia yang lebih baik. Sedangkan Walter Lippman, menganggap bahwa kerja jurnalistik


(30)

hanyalah mengumpulkan fakta yang tampak dipermukaan yang konkret. Sebagai seorang agen, wartawan telah menjalin transaksi dan hubungan dengan objek yang diliputnya, sehingga merupakan produk dari transaksi antara wartawan dengan fakta yang diliputnya. (Eriyanto, 2002 : 31). Menurut filsafat Common Sense Realism, adanya suatu objek tidak tergantung pada diri kita dan menempati posisi tetentu dalam ruang. Suatu objek mencirikan sebagaimana orang mempersepsikannya. Sebenarnya, relasi atau realitas empiris dengan fakta yang dibangun oleh seorang jurnalis sangat tergantung pada kemampuan mengorganisasikan elemen-elemen realitas menjadi sederetan makna. Dengan demikian, fakta dalam jurnalis menjadi sangat dinamis, tergantung pada persepsi yang dimiliki dan perspektif yang dihadirkan dan tergantung pada pencarian atau penemuan fakta. (Panuju, 2005 : 27).

Setelah proses penyeleksian tersebut, maka peristiwa itu akan dibingkai sedemikian rupa oleh wartawan. Pembingkaian akan dilakukan oleh wartawan tentunya melalui proses konstruksi. Proses konstruksi atas realitas ini dapat berupa penonjolan dan penekanan pada aspek tertentu dan pada bagian tersebut dapat juga dihilangkan, luput atau bahkan disembunyikan dalam pemberitaan. (Eriyanto, 2002 : iv). Kata penonjlan didefinisikan sebagai alat untuk membuat informasi agar lebih diperhatikan, bermakna dan berkesan. (Siahaan, Purnomo, Imawan, Jacky, 2001 : 78).

Wartawan sebagai individual, memiliki cara berpikir (frame of thinking) yang khas atau spesifik dan sangat dipengaruhi oleh acuan yang dipakai dan pengalaman yang dimiliki. Selain itu juga sangat dipengaruhi oleh kebiasaan


(31)

menggunakan sudut pandang. Setiap individual juga memiliki konteks dalam “membingkai” sesuatu sehingga menghasilkan makna yang unik. Konteks yang dimaksud, misalnya senang atau tidak senang, menganggap bagian tertentu lebih penting dari pada bagian lain, dapat juga konteks sesuai bidang (sosial, politik, ekonomi, keamanan, agama, dan lain-lain), juga konteks masa lalu dan masa depan dan seterusnya. (Panuju, 2005 : 3).

Jadi meskipun mempunyai ukuran tentang “nilai sebuah berita” (news value), tetapi wartawan juga memiliki keterbatasan visi, kepentingan ideologis, sudut pandang yang berbeda, bahkan latar belakang budaya dan etnis. Peristiwa itu baru disebut mempunyai nilai berita, dan karenanya layak diteliti kalau peristiwa tersebut berhubungan dengan elite atau orang yang terkenal, mempunyai nilai dramatis, terdapat unsur humor, human interest, dapat memancing kesedihan, keharuan dan sebagainya. Secara sederhana, semakin besar peristiwa maka semakin besar pula dampak yang ditimbulkannya, lebih memungkinkan dihitung sebagai berita. (Eriyanto, 2005 : 104).

Dengan semakin meningkatnya kebutuhan manusia akan informasi, maka meningkat pula tingkat harga berita. Hipotesis inilah yang melahirkan paradigma 5W + 1H (what, who, when, where, why, how), bahwa berita tidak sekedar apa, siapa, kapan, melainkan juga mengapa dan bagaimana. “Mengapa” adalah latar belakang dari suatu peristiwa, sedangkan “bagaimana” adalah deskripsi tentang jalannya peristiwa. Jadi semakin mendalam penjelasan tentang “why dan how”, maka semakin tinggi nilai berita, dan tentu saja semakin mahal harga berita tersebut. (Pareno, 2005 : 3).


(32)

Oleh karena itu, untuk mengetahui mengapa suatu berita cenderung seperti itu atau mengapa peristiwa tertentu dimaknai dan dipahami dalam pengertian tertentu, dibutuhkan analisis kognisi sosial untuk menemukan struktur mental wartawan ketika memaknai suatu peristiwa. Menurut Van Djik, analisis kognisi sosial yang memusatkan pada struktur mental dan proses produksi berita. Analisis kognisi sosial menekankan bagaimana peristiwa dipahami, didefinisikan, ditafsirkan dan ditampilkan dalam suatu model dalam memori.

Menurut Berger dan Luckman, realitas sosial adalah pengetahuan bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat, seperti : konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Realitas sosial direkonstruksikan melalui proses eksternalisasi. Menurut Berger dan Luckman, konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun syarat dengan kepentingan-kepentingan.

Realitas yang dimaksud Berger dan Luckman ini terdiri dari realitas objektif, realitas simbolik dan realitas subjektif. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individual dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individual melalui proses internalisasi. (Bungin, 2001 : 13).

Wartawan menggunakan model atau skema pemahaman atas suatu peristiwa. Pertama, model ini menentukan bagaimana peristiwa tersebut dilihat.


(33)

Model ini dalam taraf tertentu menggambarkan posisi wartawan. Wartawan yang berada dalam posisi mahasiswa mempunyai pemahaman dan pandangan yang berbeda dengan wartawan yang telah mempunyai pengalaman. Kedua, model ini secara spesifik mempunyai opini personal dan emosi yang dibawa tentang mahasiswa, polisi atau objek lain. Hasil dari penafsiran dan persepsi ini kemudian dipakai oleh wartawan ketika melihat suatu peristiwa. Tentu saja wartawan berbeda dalam hal fokus, titik perhatian, dan kemenarikan dibandingkan dengan wartawan lain yang ditentukan diantaranya untuk perbedaan model yang dimilikinya. Disinilah model atau prinsip yang dapat digunakan sebagai dasar dalam memproduksi berita. (Eriyanto, 2002 : 268).

2.1.4 Analisis Framing Termasuk Paradigma Konstruktivis

Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruktivis, dimana paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkan. Paradigma ini juga memandang bahwa realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, melainkan hasil dari konstriksi. Sehingga konsentrasi analisisnya adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dengan cara apa dikonstruksi atau dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma ini sering disebut sebagai paradigma produksi dan penukaran makna.

Konsep framing daripada konstruksionis dalam literatur sosiologi memperkuat asumsi mengenai proses kognitif individual, perstrukturan kognitif dan teori proses pengendalian informasi dalam psikologi. Framing dalam konsep psikologi dilihat sebagai penempatan informasi dalam konteks yang unik, sehingga elemen-elemen


(34)

tertentu suatu isu memperoleh alokasi sumber kognitif individu yang lebih besar.

Konsekuaensinya, elemen-elemen yang terseleksi menjadi penting dalam

mempengaruhi penilaian individu atau penarikan kesimpulan. (Siahaan, Purnomo, Imawan, Jacky, 2001 : 77).

Yang menjadi titik perhatian dalam paradigma konstruktivis adalah bagaimana masing-masing pihak dalam lalu lintas komunikasi saling memproduksi dan mempertukarkan makna. Pesan dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial dimana mereka berada. Intinya adalah bagaimana pesan itu dubuat atau diciptakan oleh komunikator dan bagaimana pesan itu secara aktif, ditafsirkan oleh individu sebagai penerima pesan. (Eriyanto, 2002 : 40).

2.1.5 Analisis Framing

Analisis framing merupakan suatu analisis yang dipakai untuk

mengungkapkan bagaimana seorang wartawan dari semua media tertentu membingkai atau mengkonstruksi suatu realitas atas kasus tertentu. Analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya.

Selain itu analisis framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi


(35)

realitas itu hasil akhirnya adalah bagian tertentu dari realitas yang menonjol dan lebih dikenal. (Eriyanto, 2002 : 66).

Gagasan mengenai framing pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955. mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana serta menyediakan kategori standar untuk mengapresiasikan realita. Lalu dikembangkan lagi oleh Goffman pada tahun 1974, ia mengandaikan frame sebagai kepentingan perilaku yang membimbing individu dalam membaca realitas.

Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh para wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhinya menentukan fakta yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut. Karenanya berita menjadi manipulatif dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai suatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar atau tidak terelakkan.

Asumsi dasar dari framing adalah pengalaman sosial dan kecenderungan psikologis ketika menafsirkan pesan yang dating kepadanya. Individu tidak dibayangkan sebagai subjek yang pasif tetapi dipandang aktif dan otonom. (Sobur, 2002 : 162-165).

Dalam framing ada empat teori, salah satunya adalah teori William A. Gamson. Gamson memiliki pandangan bahwa isu atau peristiwa publik adalah bagian dari konstruksi realitas. Kemasan (package) menentukan bagaimana suatu isu atau peristiwa dijelaskan dan dibentuk oleh khalayak. Gamson adalah seorang sosiolog,


(36)

jadi titik perhatian Gamson adalah tentang gerakan sosial (social movement), gerakan sosial Gamson tidak mau menyinggung studi media, elemen penting dari gerakan sosial. Hal inilah yang menimbulkan framing, frame merujuk pada skema pemahaman individu sehingga seseorang dapat menempatkan, mempersepsi, mengidentifikasi dan memberi label peristiwa dalam pemahaman tertentu.

Kekuatan media mempengaruhi situasi konflik, sebab kekuatan media melalui proses pembingkaian (framing), teknik pengemasan fakta, penggambaran fakta, pemilihan sudut pandang (angle), penembahan atau pengurangan foto dan data, media punya potensi untuk menjadi peredam atau pendorong konflik. Media bias memperjelas sekaligus mempertajam konflik atau sebaliknya mengaburkan dan mengeliminir sebuah peristiwa. (Sobur, 2001 : 171).

2.1.6 Konsep Framing Gamson dan Modigliani

Dalam buku Analisis Framing (Eriyanto, 2002 : 217-219) menjelaskan bahwa William A. Gamson adalah salah satu ahli yang paling banyak menulis tentang framing. Dalam pandanagan Gamson, wacana media adalah elemen penting untuk memahami dan mengerti pendapat umum yang berkembang atas suatu isu atau peristiwa. Pendapat umum tidak cukup kalau hanya didasarkan pada data survei khalayak, tetapi perlu dihubungkan dan dibandingkan dengan bagaimana media mengemas dan menyajikan suatu isu. Sebab, bagaimana media menyajikan suatu isu menentukan bagaimana khalayak memahami dan mengerti suatu isu.

Gamson adalah seorang sosiolog, jadi titik perhatian Gamson adalah tentang gerakan sosial (social movement), gerakan sosial Gamson tidak mau menyinggung


(37)

studi media, elemen penting dari gerakan sosial. Hal inilah yang menimbulkan framing, frame merujuk pada skema pemahaman individu sehingga seseorang dapat menempatkan, mempersepsi, mengidentifikasi dan memberi label peristiwa dalam pemahaman tertentu.

Dalam suatu peristiwa, frame berperan dalam mengorganisasi pengalaman dan petunjuk tindakan, baik secara individu maupun kolektif. Dalam pemahaman ini, frame tentu saja berperan dan menjadi aspek yang menentukan dalam partisipasi gerakan sosial. Elit membingkai peristiwa sedemikian rupa sehingga khalayak mempunyai perasaan yang sama. Keberhasilan gerakan atau protes sosial diantaranya ditentukan oleh sejauh mana khalayak mempunyai pandangan yang sama atas suatu isu, musuh bersama dan tujuan bersama.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis William A. Gamson. Dalam hal ini Gamson dibantu oleh Modigliani, dalam formulasi yang mereka buat, frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gugusan ide-ide yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Gamson dan Modigliani menyebut cara pandang itu sebagai kemasan (package). Menurut mereka, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Kemasan (package) adalah rangkaian ide-ide yang menunjukkan isu apa dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan. Package adalah semacam skema atau struktur


(38)

pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.

2.1.7 Perangkat Framing Gamson dan Modigliani

Dalam pandangan Gamson, framing dipahami sebagai seperangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media memahami dan memaknai suatu isu. Ide sentral ini akan didukung oleh perangkat wacana lain sehingga antara satu bagian wacana dengan bagian lain saling kohesif.

Ada dua perangkat bagaimana ide sentral ini diterjemahkan dalam teks berita. Pertama, perangkat framing (framing device). Perangkat ini berhubungan dan berkaitan langsung dengan ide sentral atau bingkai yang ditekankan dalam teks berita. Perangkat framing ini ditandai dengan pemakaian kata, kalimat, grafik/gambar dan metafora. Kedua, perangkat penalaran (reasoning device). Perangkat penalaran berhubungan dengan kohesi dan koherensi dari teks tersebut yang merujuk pada gagasan tertentu. (Eriyanto, 2002 : 226-227).

Framing devices terdiri dari :

1. Methapors (perumpamaan atau pengandaian), secara literal dipahami sebagai cara memindahkan makna sesuatu dengan merelasikan dua fakta memakai analogi, sering berupa kiasan menggunakan “seperti” atau “bak/bagai”.

2. Catchphrases (frase yang menarik, kontras, menonjol dalam suatu wacana, umumnya berupa jargon atau slogan), merupakan istilah, bentukan kata atau frase khas cerminan fakta yang mrujuk pada pemikiran atau semangat sosial tetentu


(39)

guna mendukung politik kekuasaan. Jargon adalah kata atau istilah khas yang digunakan sebuah kelompok masyarakat tertentu, yang kemudian diadopsi dalam konteks ideologi kekuasaan dan masyarakat luas. Slogan yaitu kalimat pendek yang maknanya mudah diingat dan memberi semangat dan membawa efek menggerakkan dukungan. (Siahaan, 2001 : 85, 93).

3. Exemplaar (mengaitkan bingkai dengan contoh, uraian teori, perbandingan yang memperjelas bingkai). Exemplar adalah menguraikan atau mengemas fakta tertentu secara mendalam agar memiliki bobot makna lebih pada satu sisi untuk dijadikan rujukan. Posisinya sebagai pelengkap dalam kesatuan wacana. Tujuannya memperoleh pembenaran beroperasinya kukuasaan.

4. Depiction (penggambaran isu yang bersifat konotatif, umumnya berupa kosakata, lesikon untuk melabeli sesuatu). Depiction sendiri adalah penggambaran fakta memakai kata, istilah, kalimat bermakna konotatif dan bertendensi khusus agar pemahaman khalayak terarah ke citra tertentu.

5. Visual Images (gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan, berupa foto, kartun atau grafik untuk menekankan dan mendukung pesan yang ingin disampaikan. Visual images gunanya untuk mengekspresikan kesan, seperti perhatian atau penolakan dengan menggunakan huruf yang dibesarkan/dikecilkan, ditebalkan/dimiringkan atau digaris bawahi serta pemakaian bermacam warna.


(40)

Sedangkan reasoning devices terdiri dari :

1. Roots (analisis kausal atau sebab akibat), mengedepankan hubungan yang melibatkan suatu objek atau lebih yang dianggap sebagai sebab terjadinya hal yang lain.

2. Appeals to Principle (premis dasar, klaim-klaim moral) adalah upaya memberikan alasan pembenaran dengan memakai logika dan prinsip moral untuk mengklaim sebuah kebenaran saat membangun wacana.

3. Consequences adalah efek atau konsekuensi yang didapat dari bingkai.

Perangkat Framing William A. Gamson dan Modigliani

Gambar. Perangkat William A. Gamson dan Modigliani Frame

Central organizing idea for making senses of relevants events, suggesting, what is at issues

Framing Devices Reasoning Devices

(perangkat framing) : (perangkat penalaran) :

1. Methapors 1. Roots

2. Catchphrases 2. Appeals to Principle

3. Exemplaar 3. Concequences

4. Depiction 5. Visual Images


(41)

2.2 Kerangka Berpikir

Berita tentang Momentum Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono pada 28 Januari 2010 memang penuh dengan pro dan kontra. Peristiwa ini mampu menarik perhatian dan mempengaruhi tingkat kepuasan khalayak terhadap kinerja Presiden. Berita ini dimuat di berbagai media massa, baik sebelum menjelang momentum seratus hari maupun setelah momentum seratus hari.

Peristiwa ini tentunya dimuat berbeda oleh media massa, khususnya media cetak harian Jawa Pos dan Kompas. Kedua media tersebut digunakan peneliti sebagai subyek penelitian karena kedua harian tersebut merupakan surat kabar nasional, memiliki reputasi dan kedalaman analisis disertai gaya penulisan yang rapi.

Berita tentang Momentum Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono ini dibingkai secara berbeda oleh surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas. Pembingkaian berita ini menggunakan teori analisis framing Gamson dan Modigliani, yang membagi dua bagian yaitu pertama, framing devices meliputi : methapors, catchphrases, exemplars, depiction dan visual images, serta yang kedua reasoning devices meliputi : roots, appeals to principle dan consequences.


(42)

Di bawah ini adalah kerangka berpikir dalam penelitian ini : Berita Momentum Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono Pembingkaian di surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas Analisis framing William A. Gamson dan Modigliani Hasil pembingkaian Frame

Central organizing idea for making senses of relevants events, suggesting what is at issues (gugusan ide yang terorganisir dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana)

Framing Devices Reasoning Devices

(perangkat framing) : (perangkat penalaran) :

1. Methapors 1. Roots

(perumpamaan atau pengandaian) (analisis kausal atau sebab akibat)

2. Catchphrases 2. Appeals to Principle

(frase yang menarik, kontras, menonjol (premis dasar, klaim-klaim moral) dalam suatu wacana. Ini umumnya

berupa jargon atau slogan)

3. Exemplaar 3. Concequences

(mengaitkan dengan contoh, (efek atau konsekuensi yang didapat

uraian : bisa teori, perbandingan yang dari bingkai) memperjelas bingkai)

4. Depiction

(penggambaran atau pelukisan suatu isu yang bersifat konotatif. Umumnya berupa kosakata, leksikon untuk melabeli sesuatu)

5. Visual Images

(gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Bisa berupa foto, kartun, atau grafik untuk menekan- kan dan mendukung pesan yang ingin disampaikan)


(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan teknis analisis framing. Analisis ini mencoba melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas, bagaimana realitas atau peristiwa itu dikonstruksi oleh media, bagaimanan media membingkai peristiwa tertentu.

Pada penelitian ini akan dijelaskan bagaimana cara media membingkai atau mengkonstruksi berita-berita mengenai Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono di surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas yang meliputi penyeleksian isu dan penulisan berita. Penulisan berita ini terdiri dari bagaimana cara wartawan dalam menyusun fakta dan menekankan fakta.

Dengan menekankan pendekatan kualitatif, penelitian ini akan menganalisis kalimat demi kalimat, kata demi kata yang ada dalam pemberitaan mengenai m Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono di surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas.

3.1.1 Definisi Operasional

“Pemberitaan mengenai Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono”. Yang dimaksud dengan Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono adalah sebuah momen atau peristiwa dalam rangka memberikan penilaian terhadap seratus hari kinerja Presiden pasca pelantikan.


(44)

Sedangkan yang dimaksud dengan berita-berita di surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas adalah suatu peristiwa atau kejadian yang ditulis sedemikian rupa oleh wartawan dari kedua harian tersebut untuk dimuat dan disajikan kepada khalayak. Dalam penelitian ini adalah mengenai berita yang dimuat oleh surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas tentang Momentum Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono.

Jadi, pemberitaan tentang Momentum Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono adalah berita-berita yang dimuat oleh surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas mengenai penilaian terhadap seratus hari kinerja Presiden pasca pelantikan. Pada momentum ini ada pro kontra di kalangan elite dan masyarakat umum, hal ini ditunjukkan dengan adanya demo menyambut momentum ini. Pembingkaian mengenai Momentum Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono di surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas ini akan dianalisis berdasarkan perangkat framing model Gamson dan Modigliani.

Secara operasional didefinisikan sebagai berikut : Pertama, melihat gagasan utama dari Jawa Pos dan Kompas, bagaimana kedua media tersebut mengangkat berita-berita tentang Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono kemudian membingkainya ke dalam frame tertentu. Kedua, menggunakan analisis teks media, frame utama yang mengandung smbol-simbol dalam pesannya, kemudian diuraikan dengan menggunakan perangkat framing (methapors, catchprases, exemplars, depictions dan visual images) dan perangkat penalaran (roots, appeals to principle dan consequences).


(45)

Methapors, yaitu melihat makna dari berita Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono di surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas, dengan merelasikan fakta yang berupa kiasan. Atau bisa juga mentransfer kata yang memiliki simbol yang bisa mewakili keseluruhan. Misalnya, “Pengamat politik Sukardi Rinakit menambahkan, dalam 100 hari kepemimpinan SBY-Boediono ini, muncul gejala politik bocah-bocah nakal, baik di civil society maupun di parlemen”. (Jawa Pos, 27 Januari 2010).

Catchprases, yaitu melihat frase atau bentukan kata yang menarik, menonjol dalam berita Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono dalam Jawa Pos dan Kompas, yang merujuk pada semangat sosial tertentu guna mendukung praktik kekuasaan. Umumnya berupa jargon atau slogan, misalnya pada headline Jawa Pos 28 Januari 2010, yaitu “Popularitas SBY Turun, Demokrat Cemas”.

Exemplars, yaitu teori yang memperjelas bingkai, dikaitkan dengan contoh, perbandingan. Posisinya sebagai rujukan, pelengkap pembenaran. Seperti misalnya dalam pemberitaan Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono di Jawa Pos dan Kompas, sama-sama menunjukkan adanya prosentase penurunan terhadap kinerja Presiden, ada pihak yang pro dan kontra menanggapi Seratus Hari Kinerja Presiden, dan ada pula yang beramai-ramai melaukan demo.

Depictions, yaitu penggambaran fakta yang bersifat konotatif, bertendensi khusus agar pemahaman khalayak terarah ke citra tertentu, memunculkan harapan atau bahkan ketakutan. Misalnya terlihat pada kalimat “Dengan demikian, menteri bersangkutan bisa menerobos kebekuan birokrasi dan membuat program yang langsung dirasakan masyarakat”. (Jawa Pos, 27 januari 2010).


(46)

Visual images, yaitu dengan menampilkan foto, grafik prosentase penurunan kinerja pemerintahan, headline yang ditunjukkan oleh Jawa Pos dan Kompas ikut mempengaruhi dan mendukung berita yang diangkat.

Perangkat framing di atas turut didukung oleh perangkat penalaran (reasoning devices), digunakan untuk memberikan alasan pembenaran. Hal ini bisa dilihat dari roots yang ditampilkan berupa analisis sebab akibat dengan melibatkan suatu objek yang dianggap sebagai penyebab terjadinya peristiwa. Misalnya pada kalimat “Saat ini, kasus Bank Century justru membuat tingkat kepercayaan masyarakat merosot”. (Kompas, 27 Januari 2010).

Appeals to principle adalah upaya memberikan alasan pembenar dengan memakai logika dan prinsip moral untuk mengklaim sebuah kebenaran. Seperti kalimat “Demo seperti itu wajar. Bagian dari ekspresi dan dinamika politik yang berkembang. Asalkan tertib, tidak anarki dan menjaga kesantunan”. (Kompas, 28 januari 2010).

Consequences adalah efek yang didapat dari bingkai berita Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono yang dilakukan oleh surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas. Tentang bagaimana khalayak menerima kebenaran dari apa yang telah diuraikan oleh kedua media tersebut.


(47)

3.2 Subjek dan Objek Penelitian

Yang merupakan subjek dalam penelitian ini adalah surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas. Sedangkan yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah berita-berita mengenai Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono pada 27-29 Januari 2010.

3.3 Unit Analisis

Pada penelitian ini, unit analisis yang digunakan adalah unit analisis reference, yaitu unit yang digunakan untuk menganalisis kalimat atau kata yang dimuat dalam teks berita mengenai Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono di surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas.

Analisis teks media dengan melihat hubungan antar kalimat, foto, grafik penulisan nara sumber, penulisan latar, penggunaan gaya bahasa untuk mengungkapkan pemaknaan pada perspektif yang digunakan oleh media cetak, yakni harian Jawa Pos dan Kompas dalam melihat suatu peristiwa, yaitu berita tentang Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono.

3.4 Korpus

Korpus adalah sekumpulan bahan yang terbatas, yang ditentukan pada perkembangan oleh analisis dengan semacam kesemenaan, bersifat sehomogen mungkin. (Kurniawan, 2001 :70). Sifat yang homogen itu diperlukan untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsur-unsurnya dapat dianalisis secara keseluruhan.


(48)

Adapun korpus dalam penelitian ini adalah berita-berita yang membahas tentang Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono dalam surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas tanggal 27-29 Januari 2010. Pada surat kabar Jawa Pos ada 3 (tiga) berita yang membahas tentang Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono, antara lain :

1. Kabinet Lanjutkan, tapi Mirip Pemula (Jawa Pos, 27 Januari 2010) 2. Popularitas SBY Turun, Demokrat Cemas (Jawa Pos, 28 Januari 2010) 3. Program 100 Hari Hanya Sekadar Pencitraan (Jawa Pos, 29 Januari 2010)

Sedangkan korpus yang ada pada surat kabar Kompas ada 3 (tiga) berita yang membahas tentang Momentum Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono, antara lain :

1. Program 100 Hari Kabinet Dikritik (Kompas, 27 Januari 2010) 2. Masyarakat Jangan Dirugikan (Kompas, 28 Januari 2010) 3. Pengunjuk Rasa Tidak Puas (Kompas, 29 Januari 2010)

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Data-data dalam penelitian ini diperoleh dari pengumpulan secara langsung dari medianya dengan mengidentifikasi wacana berita yang berpedoman pada model analisis framing dari Gamson dan Modigliani. Data hasil identifikasi tersebut selanjutnya dianalisis guna mengetahui bagaimana harian Jawa Pos dan Kompas mengemas atau mengkonstruksi suatu fakta, yaitu tentang Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono menjadi sebuah berita.


(49)

Sedangkan data-data pada penelitian ini adalah berita-berita mengenai Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono. Selain itu penelitian ini juga menggunakan data-data sekunder yang diperoleh dari informasi-informasi yang relevan dari buku, internet yang digunakan untuk menambah perspektif kajian analisis peneliti dalam upaya menjawab permasalahan penelitian.

3.6 Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis framing. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat untuk mrnggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan institusi sosial, dalam hal ini media (khususnya wartawan sebagai anggota atau bagian dari institusi media), ketika melakukan praktik penyeleksian isu dan menulis berita. Fakta mana yang akan ditonjolkan atau dihilangkan, serta hendak dibawa ke arah mana berita tersebut. Karenanya berita menjadi manipulatif dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai suatu legitimate, objektif, alamiah, wajar atau tidak terelakkan. (Sobur, 2002 : 162).

Metode analisis framing yang dipakai pada penelitian ini adalah model framing Gamson dan Modigliani, yaitu melihat bagaimana cara suatu media bercerita (story line) yang berkesinambungan saat mengkonstruksi dan memaknai suatu isu, yang digambarkan oleh media sebagai suatu frame dari sebuah ide atau gagasan utama (core frame).


(50)

Berita-berita mengenai Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono yang dimuat oleh surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas pada tanggal 27-29 Januari 2010 sebagai gagasan utama, kemudian dianalisis berdasarkan perangkat framing dari Gamson dan Modigliani dengan melalui langkah-langkah analisis framing.

3.7 Langkah-langkah Analisis Framing

Dengan menggunakan perangkat framing pada model Gamson dan Modigliani, peneliti hendak menguraikan langkah-langkah yang digunakan untuk penelitian ini. Berita-berita dalam surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas yang memuat berita Seratus Hari Kinerja SBY-Boediono ini akan dianalisis dengan mengikuti langkah-langkah dari perangkat framing Gamson dan Modigliani yang diuraikan sebagai berikut :

Pertama, menentukan frame dari gagasan utama (core frame), isu yang diajukan sebagai sentral penelitian, yaitu berita yang memaparkan tentang Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono dari masing-masing media yang diteliti, yaitu surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas.

Kedua, yaitu dengan melihat simbol-simbol yang ditampilkan oleh kedua media, mengenai ide sentral yang terbentuk. Kemudian simbol-simbol tersebut diidentifikasikan menggunakan perangkat framing dari Gamson dan Modigliani, yang terdiri dari : (framing devices) yaitu dengan melihat methapors, catchprases, exemplars, depictions dan visual images, juga diperkuat dengan perangkat penalaran (reasoning devices) yang meliputi roots, appeals to principle dan consequences.


(51)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian

4.1.1 Profil Jawa Pos

Surat kabar Jawa Pos pertama kali diterbitkan pada 1 juli 1949 oleh suatu perusahaan yang bernama PT Jawa Pos Ltd yang bertempat di jalan Kembang Jepun 166-169. Perusahaan ini didirikan oleh WNI keturunan kelahiran Bangka yang bernama The Cung Sen alias Soesno Tedjo pada tanggal 1 juli 1949. Soesno Tedjo merupakan perintis berdirinya Jawa Pos ini. Pada awalnya Soesno Tedjo ini bekerja di kantor film Surabaya. Pada mulanya dia bertugas menghubungi surat kabar agar pemuatan iklan filmnya lancar. Awal inilah soesono Tedjo mengetahui banyak tentang seluk beluk surat kabar. Dari pengalaman inilah ia kemudian mendirikan surat kabar bernama Java Post pada tanggal 1 juli 1949. Harian Java Post saat itu dikenal sebagai harian melayu tionghoa, perusahaan penerbitnya waktu itu PT. Java Post Concern Ltd yang bertempat di jalan Kembang Jepun. Pemimpin redaksinya adalah Thio Oen Sik. Keduanya dikenal sebagai orang-orang republik yang tak pernah goyah.

Pada saat The Cung Sen dikenal sebagai Raja Koran karena memiliki tiga buah surat kabar yang diterbitkan dalam tiga bahasa yang berbeda. Surat kabar yang pertama berbahasa indonesia bernama Java Post, yang kedua berbahasa Tiong hoa bernama Huang Chiau Wan, sedangkan yang ketiga berbahasa Belanda adalah De Vrije Pers.


(52)

Surat kabar De Vrije Pers yang berbahasa Belanda tersebut awalnya dimiliki oleh Vit Geres Matschapij de vrije Pers yang berlokasi di jalan Kaliasin 52 Surabaya tetapi selanjutnya dibeli oleh Java Post Concern Ltd pada bulan april 1954. Pada bulan dan tahun yang sama Java Post mulai dicetak di percetakan Agil di jalan K.H Mansyur Surabaya.

Pada tahun 1962 harian De Vrije Pers dilarang terbit oleh pemerintah Republik Indonesia sehubungan dengan peristiwa Trikora untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda. Sebagai gantinya diterbitkan surat kabar harian berbahasa Inggris dengan nama Indonesia Daily News, meskipun pada akhirnya harian ini dihentikan penerbitya karena minimnya pemasangan iklan pada tahun 1981. Sedangkan munculnya kemelut yang disebabkan oleh G30S/PKI ternyata tidak saja menimpa harian kompas tetapi juga harian Huo Chau Shin Wan, sehingga pada tahun itu harian ini dilarang terbit meskipun dengan kondisi yang memprihatinkan karena oplahnya yang sangat kecil yakni 10.000 eksemplar.

Pada awalnya terbitnya,java post memiliki ciri utama yaitu terbit dipagi hari dengan menampilkan berit-berita umum. Terbitan java post dicetak di percetakan Agil, di jalan Kiai Mas Mansur Surabaya dengan oplah 10.000 eksemplar. Sejak 1 april 1954, java post dicetak di percetakan De vrije pers, jalan Kaliasin 52 surabaya. Dari tahun ke tahun jumlah oplah Java Post mengalami peningkatan tercatat pada tahun 1964-1957 oplah 4.000 eksemplar.

Pada tahun 1958, Java Post lebih disempurnakan ejaannya dangan nama Jawa Pos. Pada saat itu perkembangan jawa pos semakin membaik dengan oplah pada tahun 1971-1981 menjadi 10.000 eksmplar dan lebih parah lagi pada tahun


(53)

1982 oplah jawa pos tinggal 6.700 eksemplar. Pendistribusiannya di Surabaya hanya 2000 eksmplar, sedangkan lainnya di beberapa kota jatim dan di malang yang beredar hanya 350 eksemplar. Penurunana jumlah oplah ini dikarenakan sistem manajemen yang diterapkan semakin kacau. Ketiga anak the cung sen yang diharapkan dapat meneruskan usaha penerbitan ini, tidak satupun tinggal di idonesia. Terlebih lagi tekhnologi cetak juga kian sulit diikuti kemajuaannya. Rendahnya oplah yang diperoleh penerbit yang berakibat pada kecilnya pendapatan menyebabkan The Chung Sen sebagai pemilik perusahaan kepada PT.Grafiti pers (yang menerbitkan tempo) pada tanggal 1 april 1982 pak Tha (panggilan untuk The Chung Sen) menyatakan tidak mungkin bisa mengembangkan Jawa Pos tapi tidak ingin surat kabar yang didirikannya mati begitu saja. Itulah mengapa sebabnya Jawa Pos diserahkan kepada pengelola yang baru.

Pak The sendiri memiliki Tempo dengan pertimbangan khusus karena Tempo belum punya surat kabar. Kalau saya serahkan kepada rekan yang sudah punya surat kabar. Kalau saya serahkan kepada rekan yang sudah punya surat kabar, tentu surat kabar saya ini di nomer duakan, begitu kata pak The saat itu. Dengan pertimbangan seperti itu pak The ingin perkembangkan Jawa Pos tidak terhambat. Pak The sendiri dalam usianya yang sudah 89 tahun,akhirnya memang berangkat ke inggris bersam istrinya mega indah yang berusia 71 thun.

Melihat keadaan yang terjadi pada PT Java Post Concern Ltd. tersebut maka direktur utama Grafiti pers, bapak eric samola, SH menugaskan Bapak Dahlan Iskan untuk membenahi kondisi PT. Java Post concern Ltd. dengan


(54)

melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan. pada tanggal 1 april 1982 pengelola Jawa Pos diserahkan kepada dahlan iskan yang saat itu menjabat sebagai pemimpin umum dan pimpinana redaksi Jawa Pos. sebelum pak tha berangkat ke Inggris beliau berpesan agar Jawa Pos bisa dikembangkan

sebagaimana dimasa mudanya. maka pada suatu malam sebelum

keberangkatannya ke Inggris sebuah pesta kecil diadakan kebulatan tekad, kami bertekad merebut kembali sejarah yang pernah dibuat pak The, begitu kata-kata akhir sambutan dahlan iskan yang saat itu ditunjuk untuk memimpin jawa pos. kata-kata itu akhirnya dibuktikan oleh dahlan iskan yang sekarang menjabat sebagai direktur utama CEO. hanya dalam waktu dua tahun oplah Jawa Pos sudah 250.000 eksemplar padahal, ketika ahli manajemen dilakukan untuk meraih oplah 10.000 saja rasanya mimpi.

Sejak itulah perkembangan harian Jawa Pos semakin menakjubkan dan menjadi surat kabar terbesar yang terbit di Surabaya. berkat adanya perbaikan tersebut, maka pada tahun 1999, oplahnya menjadi 320.000 eksemplar.

Pada tanggal 29 mei 1985, berdasarkan akte notaris Liem Hwa, SH, no.8 pasal 4 menyatakan bahawa nama PT. Jawa Pos concern Ltd diganti menjadi PT. Jawa Pos. perubahan lain yang dilakukan oleh manajemen PT. Jawa Pos adalah hal permodalan. pada awalnya PT Jawa Pos dimiliki secara tunggal, namun sehubungan dengan surat menteri penerangan No.1/per/menpen/84 tentang surat ijin usaha percetakan dan penerbitan (SIUPP), khususnya tentang pemilikan saham. maka 20% dari saham perusahaan tersebut harus dimiliki oleh para karyawan dan wartawan untuk menciptakan rasa ingin memiliki.


(55)

Meskipun telah terjadi perubahan kepemilikan, Jawa Pos tidak mengubah secara esensial isi pemberitaan. Surat kabar Jawa Pos tetap berkembang sebagai surat kabar yang menyajikan berita-berita umum. berita-berita umum ini meliputi peristiwa ekonomi, politik, hukum, sosial budaya pemerintahan, olahraga dan sebagainya. selain itu juga berita-berita lain berdasarkan peristiwa di daerah Jawa Timur dan Indonesia Timur.

Melejitnya oplah Jawa Pos ini tak lepas dari perjuangan dan kepeloporan Jawa Pos mengubah budaya masyarakat surabaya pada khususnya Jawa Timur pada umunya. Waktu itu budaya membaca koran adalah sore. koran terbesar yang terbit di Surabaya adalah koran sore yaitu Surabaya Pos. Koran-koran Jakarta pun datangnya ke Surabaya Pos. Ketika Jawa Pos mempelopori terbit pagi, banyak warga menertawai koran kok pagi dan banyak diantaranya yang menolak. banyak agen dan loper koran tak mau menjual Jawa Pos, bahkan dititipi saja agen dan loper menolak. manajemen Jawa Pos lantas memutar otak kalau tak ada loper dan agen lewat apa koran ini dipasarkan? akhirnya ditemukan cara lain istri-istri atau keluarga wartawan diminta menjadi agen dan loper koran, termasuk istri dahlan iskan sendiri. Cara ini ditempuh dengan banak tujuan. pertama demi perkembangan koran ini sendiri, sebab kendala utama adalah di pemasaran. Kedua menambah in come keluarga wartawan. waktu itu gaji wartawan masih kecil. dengan cara ini, keluarga jawa pos ada tambahan pendapatan dan yang ke tiga memberikan kebanggan keluarga karyawan atas jerih payah suaminya dan kelak kemudian hari, beberapa diantara istri/keluarga wartawan ini menjadi agen-agen besar koran jawa pos. perjuangan dan kepeloporan ini ternyata membuahkan hasil.


(56)

termasuk perubahan mendasar di keredaksian. warga surabaya utamanya mulai memilih jawa pos. dan pada tahun 1982 oplah jawa pos sudah tembus 250.000 eksemplar per hari.

Jawa Pos sanggup mengalahkan tiras pemberitaan lain yang berada di surabaya sejak lama dan bahakan mendominasi pasar surabaya seperti surabaya post. banyak strategi yang dilakukan jawa pos untuk mencapai kondisi seperti ini diantaranya dengan ingin menjadi surat kabar yang melakukan hal-hal baru untuk pertama kalinya di indonesia seperti terbit 24 halaman per hari. menjadi surat kabar pertama yang terbit di hari libur nasional dan muncul dengan ukuran kecil tanpa mengurangi isi berita pada saat krisis moneter terjadi di indonesia.

Salah satu hal yang benar-benar membuat kelompok jawa pos menjadi sebuah kelompok media yang sangat besar yaitu dengan adanya JPNN (jawa pos news networking). JPNN ini dibentuk sebagai salah satu sarana untuk menampung berita dari semua daerah di indonesia dan untuk keperluan sumber berita sebagai media cetak yang berada dalam naungan kelompok jawa pos. hal ini menyebabkan berita di satu daerah diluar surabaya tidak perlu dikerjakanlay outnya di surabaya juga. berita tersebut dikerjakan di kota bersangkutan dan hasilnya dikirim ke JPNN untuk diambil oleh redaksi yang ada di surabaya. saat ini masanya media online sedang berkembang, jawa pos juga tidak mau ketinggalan untuk ikut berpartisipasi dengan memberikan fasilitas jawa pos uang bisa diakses melalui internet dengan alamat situs : www.jawapos.co.id.

Ketika dalam waktu singkat, jawa pos mamapu menembus oplah diatas 100.000 yang semula dianggap mimpi akhirnya jawa pos bermimpi lagi yakni


(1)

beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu II ketika berangkat menuju ke Cirebon dengan kereta Luar Biasa kemarin. 2. Tabel perbandingan survei Indo Barometer dan Lembaga Survei Indonesia.

2. Foto elemen

masyarakat yang

memenuhi kawasan Istana Merdeka, Jakarta, untuk berunjuk rasa bertepatan dengan 100 hari kepemimpinan Presiden SBY, Kamis (28/1).

Roots Bila linier dengan waktu, yakni kepuasan terhadap kinerja SBY terus menurun, pemerintahan jadi semakin tidak kredibel di mata rakyat.

Pemimpin nasional juga sering berperilaku berbeda dengan apa yang diucapkannya. Kondisi itu yang membuat masyarakat semakin tidak percaya kepada pemerintah.

Appeals to principle Fraksi berlogo banteng moncong putih itu bersikap, satu-satunya program yang layak mendapat pujian adalah kebijakan citizen service yang direncanakan berlangsung di sembilan Negara.

Salah satu anggota Kabinet Indonesia Bersatu II, menteri Pembangunan daerah Tertinggal Helmy Faishal Zaini, mengklaim program 100 hari kementriannya sudah mencapai 100 %. Program 100 hari yang dilakukannya antara lain koordinasi, sinkronisasi dan operasionalisasi kebijakan dengan sektor terkait.

Consequences Menjelang program seratus hari pemerintahan SBY-Boediono belum terlihat adanya terobosan yang luar biasa. Malah tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan menurun menjadi 70 % selama bulan ini, penurunan tersebut signifikan sehingga perlu

Sejumlah elemen

masyarakat melakukan unjuk rasa untuk mengkritik program seratus hari kinerja pemerintahan

SBY-Boediono. Namun

sayang, bertepatan dengan program seratus hari, presiden SBY justru tidak berada di Jakarta, beliau pergi ke Banten


(2)

102

dicermati. Selain itu program seratus hari hanya dinilai sebagai pencitraan semata.

untuk meresmikan PLTU Banten I. Sedangkan

wapres Boediono

menolak menemui pers, tampaknya dalam hal ini presiden dan wapres

kompak untuk

menghindari unjuk rasa tersebut.

Dari pembahasan di atas dapat kita lihat bahwa bagaimana suatu berita yang sama dapat dimaknai secara berbeda. Pembahasan tersebut dapat ditarik ke dimensi yang lebih luas, yaitu penyeleksian isu, penonjolan aspek-aspek tertentu, maka terlihat bahwa masing-masing media memiliki frame sendiri dalam menyeleksi isu tertentu dan menonjolkannya sehingga lebih diperhatikan dan dimaknai. Frame Jawa Pos lebih menekankan pada pemerintahan 100 hari SBY-Boediono yang dinilai belum berhasil memberikan terobosan dan fondasi yang kuat untuk melangkah lima tahun ke depan. Jawa Pos melihat adanya program-program yang belum berhasil dijalankan dan belum bisa dinikmati masyarakat secara langsung. Banyak program yang dirancang tetapi belum terealisasi dengan jelas dan program-program tersebut adalah kelanjutan dari program yang lama.

Sedangkan dari frame Kompas dapat diperoleh kesimpulan bahwa pemberitaan pada surat kabar Kompas lebih menekankan kepada pemberitaan tentang sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat mengkritik program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II. Pemberitaan yang ada di Kompas cenderung mengkritik kabinet yang dinilai semakin menurun kinerjanya. Program seratus hari tidak terlihat perkembangannya, yang terlihat justru kasus Bank Century yang ramai dibicarakan masyarakat.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari analisis data-data yang telah ditampilkan pada bab 4, yaitu hasil dan pembahasan, maka kemudian dapat ditarik kesimpulan dalam penelitian ini yaitu dari berita-berita yang ditulis oleh Jawa Pos mengesankan bahwa program seratus hari dinilai belum berhasil, belum ada terobosan baru, dan belum bisa dijadikan fondasi yang kuat untuk melangkah lima tahun ke depan. Program-program yang direncanakan hanya berupa produk kertas semata dan merupakan kelanjutan dari program-program lama.

Sedangkan dari pemberitaan yang ditulis oleh Kompas, maka didapat kesimpulan yaitu Kompas lebih menekankan berita tentang pengkritikan kabinet yang dinilai tidak kredibel, sehingga muncul adanya isu reshuffle kabinet dari FPDIP. Program yang dijalankan hanya dijadikan asesori semata, program pemberantasan korupsi juga tidak ada perkembangannya sekarang, yang terlihat justru kasus Bank Century.


(4)

104

5.2 Saran

Dari kesimpulan yang diperoleh, dapat dilihat bahwa masing-masing media yaitu Jawa Pos dan Kompas memiliki perspektif penyimpulan yang berbeda dalam menggambarkan peristiwa seratus hari kinerja presiden SBY-Boediono dengan latar belakang yang berbeda. Saran dari peneliti adalah sebagai berikut :

1. Walaupun masing-masing media massa Jawa Pos dan Kompas memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menggambarkan sebuah peristiwa, hendaknya menghindari kesan pihak yang berlebihan yang dapat menimbulkan salah persepsi. Berita yang diturunkan oleh kedua media tersebut harus bisa seimbang, ada pro dan kontra.

2. Sebaiknya media menggunakan pilihan kata yang menarik dan merujuk pada kesan yang bijaksana. Sebab perspektif media bisa mengarahkan opini masyarakat atau bisa menggerakkan masyarakat.

3. Untuk penelitian berikutnya, disarankan untuk peneliti agar memilih perangkat framing yang tepat dalam membingkai suatu berita. Seperti penelitian ini, karena berita-berita yang ada setelah dianalisis dapat masuk ke perangkat framing Gamson dan Modigliani.


(5)

Teknologi Komunikasi di Masyarakat. 2007. Jakarta : Kencana Prenada

Media Group.

Djuroto, Totok. Manajemen Penerbitan Pers. 2002. Bandung : PT. Remaja

Rosdakarya.

Eriyanto. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. 2003. Yogyakarta :

LKIS.

______. Analisis Framing : Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. 2005.

Yogyakarta : LKIS.

Kurniawan. Semiologi Roland Barthes. 2001. Magelang : Yayasan Indonesia.

Kriyantono, Rahnad. Teknis Praktis Riset Komunikasi. 2006. Jakarta : Kencana.

Oetama, Jakob. Pers Indonesia. 2001. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.

Panuju, Redi. Nalar Jurnalistik : Dasarnya Dasar-dasar Jurnalistik. 2005.

Malang : Bayumedia.

Pareno, Sam Ambede. Media Massa antara Realitas dan Mimpi. 2005. Surabaya

: Papyrus.

Siahaan, Hotman M, dkk. Pers Yang Gamang : Studi Pemberitaan Jajak

Pendapat Timor Timur. 2001. Surabaya : Lembaga Studi Perubahan

Sosial.

Sobur, Alex. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,

Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. 2006. Bandung : PT. Remaja

Rosdakarya.

Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana. 2006. Yogyakarta :

LKIS.


(6)

Non Buku :

www.jawapos.com/profile/index.php (Minggu, 31 Januari 2010, pukul 20:04)

www.jawapos.com/halaman/index.php (Minggu, 31 Januari 2010, pukul 20:15)

www.kompas.com/newsindex (Kamis, 28 Januari 2010, pukul 17:23)