PENGEMBANGAN MODEL INTEGRASI NILAI-NILAI CINTA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA UNTUK MEMBENTUK SIKAP KEBERSAMAAN.

(1)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ……….. i

ABSTRAK ………. ii

ABSTRACT ……… iii

KATA PENGANTAR ………. iv

PENGHARGAAN DAN UCAPAN TERIMA KASIH ……….. vi

DAFTAR ISI ………. ix

DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM ………...……….. xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….. 1

B. Rumusan Masalah ……….. 16

C. Tujuan Penelitian ……… 17

D. Asumsi Penelitian ……….. 18

E. Metode Penelitian ……….. 19

F. Lokasi Penelitian ………..……… 19

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakekat Nilai dan Pendidikan Nilai ... 21

1. Pengertian Nilai ……… 21

2. Pendidikan Nilai ……… 23

B. Hakekat Kebersamaan ... 29

1. Pengertian ………. 29

2. Aspek Sikap Kebersamaan ……….... 31

3. Tujuan Sikap Kebersamaan ………. 34

C. Hakekat Nilai Cinta pada Pembelajaran Bahasa ……… 36

1. Nilai-Nilai Kemanusiaan (Human Values) ……….. 36

2. Nilai-nilai Cinta (Love Values) ……… 41

3. Pembelajaran Bahasa ……… 48

a. Hakekat Pembelajaran ……….. 48

b. Peranan Teacher Talk dalam Pembelajaran ………. 57

c. Hakekat Bahasa dan Pembelajaran Bahasa Inggris ……… 62


(2)

2.Teori Pemerolehan Bahasa Kedua ………. 65

3.Fungsi, Tujuan dan Ruang Lingkup Pembelajaran Bahasa Inggris di SMA ……… 66

4.Pendekatan Pembelajaran Bahasa Inggris ……….. 69

a. Pembelajaran Kontekstual ……….. 69

b.Pengertian Pembelajaran Kontekstual ……….. 70

D. Nilai-Nilai Cinta Dengan Pendidikan Umum/Nilai ... 72

1. Pengertian dan Tunjuan Pendidikan Umum ………. 72

2. Ruang Lingkup Pendidikan Umum ………. 75

3. Sasaran Pendidikan Umum ……….. 77

4. Kaitan Nilai-nilai Cinta dalam Pendidikan Umum/Nilai………….. 78

E. Penelitian yang Relevan ……… 80

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain, Lokasi dan Subyek Penelitian ……….. 82

B. Definisi Operasional ……… 91

C. Tempat, Waktu dan Subyek Penelitian ……… 92

D. Instrumen Penelitian ……… 94

E. Teknik Analisis Data ……….. 98

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ……… 104

1. Program Sekolah dalam Pengembangan Integrasi Nilai-nilai Cinta dan Pembelajaran Bahasa Inggris……… 104

a. Gambaran umum SMAN 2 Pontianak………. 104

b. Program-program Pendidikan dan Pengembangan Nilai-nilai Cinta ………..……… 111

c. Proses Pembelajaran Bahasa Inggris……… 115

2. Proses Integrasi Nilai-nilai Cinta dan Pembentukan Sikap Kebersamaan ……… 120

a. Pendidikan Nilai-nilai Cinta ………. 120

b. Sikap Kebersamaan ………. 127

c. Bahasa Guru (Teacher Talk) ……….……….. 132 3. Upaya Sekolah Mendorong Pembelajaran Bahasa Inggris Berbasis


(3)

Nilai-nilai Cinta dalam Pembentukan Sikap Kebersamaan……… 136

a. Visi dan Misi SMAN 2 Pontianak ……….. 136

b. Kebijakan Kepala Sekolah ……….. 142

4. Pengembangan Model Integrasi Nilai-nilai Cinta dan Upaya Pembentukan Sikap Kebersamaan ……….…… 145

a. Model Awal ……….... 145

b. Model Validasi……… 151

c. Model Pengembangan (Akhir)……… 153

d. Hasil Uji-coba ……….………. 159

B. PEMBAHASAN ………. 164

1. Program Pendidikan Nilai ……….. 164

2. Proses Integrasi Nilai-nilai Cinta pada Pembelajaran Bahasa …….. 171

3. Pengembangan Model Integrasi Nilai-nilai Cinta pada Pembelajaran Bahasa ………. 186

4. Sikap Kebersamaan ……….. 201

BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ………. 214

B. Rekomendasi ……….……….. 219

C. Implikasi Hasil Penelitian ……….. 220

DAFTAR PUSTAKA ……….. 228

LAMPIRAN : 1. Silabus Model Integrasi Nilai-nilai Cinta pada Pembelajaran Bahasa Inggris ……… 229

2. Model RPP SMAN 2 Sebelum Terintegrasikan dengan Nilai-nilai Cinta … 241 3. Model RPP SMAN 2 Pada Model Integrasi Nilai-nilai Cinta ……….. 244

4. Pedoman Umum Interview ………. 247

5. Angket Pemahaman Siswa tentang Nilai-nilai Cinta dan Sikap Kebersamaan ………. 248

6. Hasil Angket Pemahaman Siswa tentang Nilai-nilai Cinta dan Sikap Kebersamaan ……….. 251

7. Hasil Pemahaman Siswa tentang Nilai-nilai Cinta dan Sikap Kebersamaan ………. 252


(4)

8. Gambar Lokasi Penelitian dan Kegiatan Siswa SMAN 2 Pontianak ……… 254


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Indikator Nilai-Nilai Kemanusiaan (Human Values)..………… 14

Tabel 2.1 Aspek-aspek Sikap Kebersamaan ………. 33

Tabel 2.2 Nilai-nilai Kemanusiaan dan Contoh Aspeknya ………….. 40

Tabel 2.3 Jenis Hubungan Cinta ……….. 46

Tabel 2.4 Butir-Butir Nilai-Nilai Cinta ……….. 47

Tabel 2.5 Kategori Bahasa Guru (Teacher Talk) …………. 61

Diagram 3.1 Alur Pikir Penelitian ………. 85

Diagram 3.2 Langkah-langkah Penelitian ……… 89

Diagram 3.3 Komponen Analisis Data Model Interaktif ……… 98

Diagram 4.1 Model Awal “Model Integrasi Nilai-Nilai Cinta dalam

Pembelajaran Bahasa Inggris” ………. 151

Diagram 4.2 Model Hasil Validasi Ahli ……… . 152

Diagram 4.3 Model Akhir “Model Integrasi Nilai-Nilai Cinta pada

Pembelajaran Bahasa Inggris” ……… 154

Tabel 4.4 Hasil Ujicoba Pemahaman Siswa Tentang Nilai-nilai Cinta …… 159


(6)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dunia pendidikan dihadapkan pada berbagai tuntutan yang semakin berat, terutama dalam mempersiapkan sumber daya manusia agar mampu menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat, dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Perubahan-perubahan tersebut tidak hanya menyentuh perubahan fisik sebagai akibat implementasi dari kemajuan iptek, akan tetapi juga menyentuh perubahan dan pergeseran aspek nilai dan moral dalam kehidupan masyarakat.

Djahiri (1999:2) mengemukakan bahwa “besarnya dampak globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang tidak disertai pembinaan nilai-nilai moral dapat menjurus kepada terjadinya dehumanisasi”. Pembinaan nilai-nilai moral merupakan esensi dari usaha pendidikan, seperti yang tercantum pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional selanjutnya disingkat UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Republik Indonesia menggariskan bahwa:

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.


(7)

2

Sementara itu, fungsi dan tujuan pendidikan nasional seperti yang termaktub dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 berbunyi seperti berikut:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” .

Fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut sangat jelas bahwa sasaran utamanya adalah pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan dan berkembangnya potensi peserta didik yang memiliki kualitas prima dalam menghadapi persaingan global dengan semangat sportifitas, beretika dan berbudi luhur serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Konsep yang sempurna dengan menyatukan kehidupan jasmani dan rohani serta menjunjung tinggi nilai-nilai integritas dan kebebasan individu. Konsep tersebut perlu menjadi fokus dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan di kelas agar peserta didik memiliki kompetensi yang diamanatkan oleh Uudang-Undang pendidikan tersesbut.

Berkaitan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional di atas, UNESCO mengemukakan empat pilar pendidikan, yakni: (1) Learning to

know (belajar untuk mengetahui); (2) Learning to do (belajar untuk

melakukan/berbuat); (3) Learning to be (belajar untuk menjadi), dan (4)


(8)

pilar tersebut,aspek learning to live together sejalan dengan nilai-nilai kebersamaan, fungsi dan tujuan pendidikan nasional.

Istilah “learning to live together” yang dalam penelitian ini disepadankan dengan makna sikap kebersamaan karena tujuan utamanya adalah membangun sikap saling memahami, menghargai, menghormati dan toleransi terhadap orang lain, seperti memahami dan menghargai perbedaan keyakinan, budaya dan nilai-nilai tradisi orang lain. Konsep ini diharapkan mampu menghindari konflik dan tindakan kekerasan pada umat manusia, dan selanjutnya dapat menciptakan perdamaian.

Pemahaman yang lebih mendalam tentang pilar ini bahwa perbedaan (differences) dan keragaman (diversity) lebih sebagai peluang (opportunities) daripada ancaman (threat). Sebagaimana yang tercantum pada The United Nations Convention on the Rights of the Child (CRC) dikemukakan:

“Learning to live together is an intercultural and interfaith programme for ethics education, designed to contribute to the realization of the right of the child to full and healthy physical, mental, spiritual, moral and social development, and to education”. (http://www.ethiceducationforchildren.org.)

Nilai-nilai sikap kebersamaan, antara lain: respek (respect), empati (empathy), keadilan (justice), dan kebaikan hati (kindness). Nilai-nilai sikap kebersamaan ini semestinya tertanam pada para peserta didik sehingga tercipta hubungan mesra dan harmonis baik antara warga sekolah maupun warga sekolah dengan masyarakat serta lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, sikap kebersamaan ini dibutuhkan agar setelah dewasa, mereka membangun


(9)

4

hubungan yang harmonis dengan orang lain, termasuk dengan orang lain yang berbeda dengan dirinya baik atas dasar etnis, budaya, maupun agama/keyakinan.

Suatu kenyataan yang sulit dibantah adalah bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini sering terjadi konflik baik atas dasar etnis maupun agama. Konflik etnis terjadi antara lain di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Batam. Sementara konflik yang melibatkan agama terjadi di Poso dan Ambon. Konflik tersebut terjadi dapat disebabkan minimnya pemahaman, penghormatan dan toleransi antar kelompok yang berbeda secara keyakinan dan etnis.

Dari sudut pandang pendidikan umum, banyaknya konflik yang terjadi di berbagai belahan bumi Indonesia menunjukkan kegagalan pendidikan. Menurut Tu Wei-Ming (dalam Harison & Huntington, 2000:263) pendidikan seyogianya menjadi:

“… the civil religion of society. The primary purpose of education is

character building. Intent on the cultivation of full person, school should teach the art of accumulating “social capital” through communication. In addition to the acquisition of knowledge and skills, schooling must be congenial to the development of cultural competence and the appreciation of spiritual values”.

Jadi, pendidikan menjadi “roh”nya masyarakat dan tujuan utama pendidikan adalah membangun manusia berpribadi utuh. Pendidikan dalam kaitan ini harus mampu membangun modal sosial (social capitals) seperti kejujuran,


(10)

kepercayaan, kesediaan dan kemampuan bekerjasama, kemampuan berkoordinasi, toleransi, kebiasaan berkontribusi pada sesama, dan bersahabat, melalui proses pembelajaran yang dilakukan guru di sekolah, di samping menyiapkan peserta didik menguasai pengetahuan dan ketrampilan. Pernyataan Tu Wei-Ming di atas sekaligus juga mengokohkan arti penting pendidikan umum sebagai pendidikan yang tujuannya, “menjadikan individu manusia yang manusiawi, bernalar intelektual, emosional, sosial, spiritual seutuhnya (Sumaatmadja, 2002:115)”, memupuk, menyirami, menyiangi, menumbuh -kembangkan kebajikan-kebajikan intelektual di dalam pribadi seseorang (Hutchins, 2003:133). Dengan kata lain, dalam perspektif pendidikan umum, pendidikan semestinya menjadikan manusia yang manusiawi (humanizing), berdaya (empowering), dan beradab (civilizing).

Tindakan antisipatif terhadap terjadinya konflik ke depan dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan di sekolah. Misalnya kegiatan proses pembelajaran di kelas dimana guru berperan untuk membina perilaku peserta didik. Pembinaan yang terus menerus dilaksanakan akan menyadarkan bahwa sikap kebersamaan adalah perilaku yang sangat penting dalam menuju kehidupan yang damai dan harmonis.

Sikap kebersamaan mengajarkan kita untuk saling menghargai, menghormati, bertanggung jawab dan bersikap toleransi. Bangsa Indonesia yang majemuk/pluralis sangat rentan akan terjadinya konflik horizontal sangat


(11)

6

membutuhkan sikap saling menghargai, menghormati dan toleransi. Oleh karenanya, pemahaman bangsa akan sikap kebersamaan tersebut bukan hanya pada tataran wacana saja melainkan sudah pada tataran pengimplementasian pada perlakuan sehari-hari. Dengan kata lain, sikap kebersamaan tersebut sudah nampak pada aspek kehidupan dan perilaku seseorang.

Sifat toleransi pada aspek sikap kebersamaan pada kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia yang plural perlu dikembangkan dan ditumbuhkan secara maksimal. Hal ini penting agar masyarakat yang majemuk ini tidak saling menyerang karena adanya perbedaan budaya dan keyakinan. Sebagai contoh, kasus tawuran antar pelajar yang disebabkan adanya salah pengertian yang berkaitan dengan persoalan sederhana, seperti percintaan antara seorang pelajar pria dan seorang pelajar putri. Sifat cemburu atau karena ceweknya diganggu oleh pria lain maka sifat cemburu muncul, dan ini dapat berakibat pertengkaran dan berujung pada perkelahian masal antar pelajar. Sifat solidaritas yang ditunjukkan kelompok secara berlebihan akan memunculkan sikap kebersamaan yang destruktif karena pemahaman yang selalu memenangkan kelompok sendiri meskipun mereka adalah pihak yang bersalah. Kasus tawuran seperti itu semestinya tidak terjadi apabila para pelajar tersebut memahami nilai-nilai persahabatan, saling menghargai dan toleransi terhadap perbedaan pendapat, pandangan dan sosial budaya.

Contoh lain pada kasus yang sering kali terjadi adalah perselisihan antara sesama pelajar pada satu sekolah karena persoalan yang sangat sepele,


(12)

misalnya saling ejek yang berlebihan sehingga membuat salah seorang siswa marah atau saling ejek ketika pertandingan antar kelas sehingga yang kalah merasa “terhina” (menurut catatan guru BK di SMAN 2). Sesungguhnya kasus ini tidak sepatutnya terjadi apabila ada sikap toleransi dan permasalahan tersebut dapat diselesaikan secara masyawarah dan bersahabat. Persoalan tersebut mungkin sangat sederhana namun itu dapat menjadi cerminan rendahnya kualitas sikap kebersamaan. Rendahnya kualitas sikap kebersamaan pada peserta didik dapat disebabkan kurangnya mereka mendapatkan pencerahan tentang hidup bersama dengan saling menghormati dan menghargai serta bersikap toleran terhadap sesama.

Dalam kontek yang lebih kecil adalah lingkungan sekolah. Sekolah merupakan representasi dari kelompok kecil masyarakat karena para peserta didik adalah manusia yang memiliki perbedaan secara sosial budaya, agama/keyakinan, etnis dan keinginan. Perbedaan yang ada tersebut dapat menjadi sumber konflik antar peserta didik apabila tidak dikelola dengan baik. Dalam hal ini kehadiran sikap toleransi pada masing-masing peserta didik dapat menjadi solusi untuk menciptakan suasana sekolah yang harmonis dan damai.

Sikap toleransi, saling menghargai dan saling menghormati sangat dibutuhkan pada proses pembelajaran di kelas. Proses pembelajaran yang menghendaki adanya proses pembelajaran yang kreatif, perdebatan dan munculnya ide-ide yang baru dari peserta didik harus menjadi perhatian para


(13)

8

guru di sekolah. Dalam perdebatan dan ide-ide tersebut akan muncul perbedaan, namun perbedaan tersebut bukan menjadi ancaman bagi proses pembelajaran melainkan memperkaya dan memperluas wawasan peserta didik akan suatu konsep dan makna pendidikan tersebut. Dengan demikian, sikap toleransi, saling menghargai dan menghormati perlu ditumbuhkembangkan agar para peserta didik memiliki perilaku yang sesuai dengan tujuan pendidikan dan norma yang berlaku di masyarakat.

Toleransi dalam konteks ini dapat diartikan sebagai sikap, perilaku atau perbuatan yang menerima, mengakui dan/atau mengenal segala perbedaan yang eksis dalam berbagai kelompok yang majemuk/plural (Walzer, 1999). Dengan demikian sikap toleransi haruslah mampu diciptakan dan diaktualisasikan dalam segala dimensi kehidupan, yaitu dalam kehidupan berpolitik, sosial, budaya, agama dan ekonomi. Dalam lingkup yang lebih khas, yaitu sekolah, toleransi perlu disosialisasikan dan ditanamkan serta diaktualisasikan secara kontinu terhadap peserta didik agar kelak mereka hidup dalam lingkungan masyarakat akan mampu mengimplementasikannya. Sikap toleransi harus mengakar atau membumi (down to earth) di lingkungan sekolah secara khusus.

Secara umum, dunia fana ini terus berkonflik yang mengatasnamakan perbedaan pandangan, agama/keyakinan dan sosial budaya. Sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian yang terdahulu bahwa perbedaan tersebut timbul karena belum timbulnya perasaan saling menghornati, menghargai dan


(14)

toleransi. Pertanyaan kita akan mengarah kepada cara untuk mengatasi atau setidak-tidaknya mengeliminir sikap negatif seseorang. Dalam konteks ini solusi yang menjadi alternatif penyelesaian sikap negatif tersebut adalah hadirnya nilai-nilai cinta pada setiap umat manusia. Umat manusia harus memiliki nilai-nilai cinta, seperti kasih sayang, peduli, persahabatan dan empati.

Dalam konteks pembelajaran, nilai-nilai kebersamaan belum menjadi perhatian utama guru ketika berinteraksi dengan peserta didik pada proses pembelajaran di kelas. Guru lebih memfokuskan pembelajaran pada pokok bahasan atau materi ajar yang tercantum pada buku teks. Hasil studi pendahuluan, peneliti menemukan bahwa guru lebih mengutamakan penyelesaian materi ajar daripada melakukan pengembangan atau inovasi proses pembelajaran yang membahas nilai-nilai kebersamaan tersebut. Bahkan guru merasakan jam pelajaran yang tersedia masih kurang untuk menyelesaikan seluruh pokok bahasan yang semestinya diajarkan kepada peserta didik.

Pendidikan nilai moral, termasuk di dalamnya nilai-nilai sikap kebersamaan, di sekolah masih dikotomi karena pendidikan nilai moral masih dianggap tanggung jawab guru agama dan PKN. Sedangkan pembinaan perilaku peserta didik merupakan tanggung jawab guru bimbingan dan konseling (BK). Kondisi seperti ini telah menyebabkan pendidikan nilai moral belum membumi (down to earth). Oleh karenanya, sifat toleransi,


(15)

10

persahabatan, peduli dan empati belum nampak sepenuhnya dalam perilaku peserta didik.

Kenyataan lain yang menyebabkan belum berkembangnya sikap kebersamaan secara maksimal pada peserta didik di lingkungan sekolah karena peserta didik masih bersikap individualistis dan kelompok yaitu masih mementingkan tugas individu dan kelompoknya. Dengan kata lain, seorang peserta didik lebih fokus pada dirinya dan kelompoknya (temannya) daripada pesrta didik lainnya. Misalnya, ketika waktu istirahat peserta didik berkumpul atau makan bersama kelompoknya atau dengan teman sekelas.

Kondisi kehidupan di sekolah yang cukup kondusif dan tenang karena tidak terjadi tindakan destruktif, seperti perkelahian masal antar siswa, menyebabkan guru kurang memperhatikan pendidikan nilai. Hubungan yang harmonis antara peserta didik di sekolah juga menjadi indikator bahwa sikap kerbersamaan sudah terbina dengan baik. Namun hubungan yang harmonis tersebut masih terjadi terbatas pada kelompok siswa, seperti teman sekelas, teman olah raga dan teman belajar. Sebagai akibat model hubungan tersebut, peristiwa pertengkaran yang menjurus pada perkelahian siswa masih terjadi. Menurut guru bimbingan dan konseling (BK), peristiwa-peristiwa yang terjadi antara peserta didik hanya terbatas pada peristiwa kecil saja, misalnya pertengkaran antar peserta didik karena masalah cewek, saling mengolok, bergurau dan pertandingan olahraga antar kelas yang kemudian menimbulkan emosi. Oleh karenanya, hubungan harmonis yang ditampilkan para peserta


(16)

didik masih bersifat semu dan perlunya diciptakan hubungan harmonis yang menyeluruh. Dengan demikian, guru harus mensosialisasikan sikap kebersamaan secara terus menerus.

Demikian pula pada pembelajaran Bahasa Inggris, guru belum secara maksimal menanamkan nilai-nilai sikap kebersamaan pada peserta didik. Hal ini disebabkan model pembelajaran yang diterapkan guru belum berbasiskan nilai-nilai. Guru lebih terfokus pada materi pelajaran (content based) dan textbook sehingga kurang menyentuh nilai-nilai kebersamaan. Misalnya guru menggunakan metode ceramah, tanya jawa dan latihan secara individu lebih dominan sehingga tidak menimbulkan interaksi sosial antar siswa. Di samping itu guru mengeluhkan waktu tidak cukup untuk mengajarkan seluruh materi pelajaran berakibat guru kurang kreatif dan inovatif dalam mengembangkan instruksionalnya. Akibat pemahaman tersebut, pembelajaran dan pengembangan instruksional yang mengandung nilai-nilai kebersamaan masih sangat minim.

Krisis nilai-nilai kebersamaan pada peserta didik pada hakekatnya bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak sekolah tetapi juga harus menjadi tanggung jawab pihak keluarga, masyarakat dan pemerintah. Semua pihak harus berupaya mencari akar permasalahan daripada sifat ketidak harmonisan tersebut, tidak adanya sifat toleransi, saling menghargai dan menghormati pada peserta didik. Sebab krisis nilai kebersamaan dapat memunculkan krisis yang lainnya.


(17)

12

Sesungguhnya nilai-nilai kebersamaan telah menjadi esensi tujuan pendidikan pada SMA Negeri 2 Pontianak karena visi dan misi sekolah telah mengemukakannya secara jelas dan konkrit mengenai pembentukan akhlak yang mulia, disiplin, dan berwawasan teknologi dan informasi yang berlandaskan iman dan taqwa. Demikian pula, pada setiap kesempatan berkomunikasi dengan peserta didik, guru selalu mengingatkan para peserta didik untuk selalu menciptakan kondisi yang rukun, harmonis dan saling menghargai. Melalui proses berkomunikasi tersebut, kebersamaan antar peserta didik akan lebih terwujud dalam perilaku atau tindakan mereka.

Suatu kenyataan bahwa sikap kebersamaan yang hadir di lingkungan sekolah masih belum membumi (down to earth) karena kehidupan di sekolah belum pada kondisi yang mengkhawatirkan. Peserta didik lebih disibukkan dengan kegiatan akademiknya sehingga peristiwa yang kontra-produktif atau melawan aturan sekolah sangat jarang terjadi. Kondisi sekolah yang tenang, aman dan damai tersebut membuat guru kurang memperhatikan tentang nilai-nilai hidup bersama. Perhatian guru hanya terfokus pada kehidupan di sekolah saja kurang tepat karena peserta didik adalah bagian dari masyarakat secara umum, dan akan hidup dilingkungan masyarakat. Oleh karenanya pembinaan sikap kebersamaan tersebut harus mengacu terhadap pembinaan perilaku untuk bekal hidup di masyarakat.

Upaya ke arah pembentukan sikap kebersamaan melalui proses pembelajaran, study tour, ekstra kurikuler dan kegiatan keagamaan. Proses


(18)

pembelajaran melalui diskusi kelompok memungkinkan peserta didik untuk belajar menghargai dan menghormati pendapat orang lain. Demikian pula, kegiatan seperti study tour, ekstra kurikuler dan keagamaan akan membentuk sifat toleransi, gotong royong, saling menghormati dan menghargai antar individu (peserta didik) yang berbeda latar belakang status sosial, suku, agama dan budaya. Pada konteks sekolah, kegiatan perayaan keagamaan seringkali dirayakan dengan melibatkan seluruh warga sekolah ke dalam kepanitiaan. Misalnya kegiatan idulfitri (lebaran) dan natalan di laksanakan di sekolah yang melibatkan seluruh peserta didik. Peserta didik dilibatkan untuk menjadi panitia yang bertugas mengurus makanan/snack sementara pemeluk agama melakukan ibadah atau ritual keagamaan tersebut.

Untuk membangun sikap kebersamaan sebagaimana dikemukakan di atas, guru perlu menanamkan nilai cinta pada peserta didik. Sifat toleransi, peduli, belas kasih dan empati merupakan elemen-elemen nilai cinta yang mampu menciptakan sikap kebersamaan dan sebaliknya elemen-elemen tersebut harus mampu diwujudkan dalam perilaku seseorang. Dengan kata lain, sikap kebersamaan harus mencerminkan kehadiran nilai-nilai cinta pada perilaku seseorang. Menurut Tillman (2004:134) bahwa cinta adalah belas kasih murni yang memotivasi pelayanan tanpa pamrih demi kebaikan bagi orang lain, dan selanjutnya dikatakan cinta bukan sekedar perasaan emosi atau nafsu saja, melainkan sesuatu yang lebih mendalam dan lebih mendasar dari hakekat manusia”.


(19)

14

Kekuatan cinta dalam menyatukan perasaan dan emosi seseorang dengan orang lain merupakan bentuk penerimaan seseorang terhadap orang lain tanpa ada keinginan atau maksud tertentu. Sebagaimana yang diungkapkan Lewis (2000:52) bahwa “Love is the emotion of strong affection and personal attachment” (cinta adalah emosi dari kasih sayang dan atribut seseorang yang kuat) atau dalam kontek filsafat “Love is a virtue representing all of human kindness, compassion and affection” (cinta adalah kebajikan yang mewakili seluruh kebaikan, belas kasih dan kasih sayang manusia). Dengan demikian, cinta sebagai emosi dan kebajikan memiliki kekuatan yang mampu menjadikan seseorang untuk dapat menerima perbedaan yang ada.

Chibber (2006) dan Jumsai (2003) mengemukakan nilai kemanusiaan (human values) terdiri dari 5 (lima) kelompok, yakni: (1) kebenaran (truth), (2) cinta (love), (3) perdamaian (peace), (4) perilaku yang benar (right

conduct), dan (5) tanpa kekerasan (non-violence). Komponen-komponen nilai

dari masing-masing kelompok nilai kemanusiaan seperti pada tabel berikut ini:

Tabel 1.1: Beberapa Indikator Nilai-Nilai Kemanusiaan (Human Valves)

Truth (kebenraran) Love (Cinta kasih)

Peace (kedamaian)

Right Conduct (prilaku yang benar)

Non-Violence (tanpa kekerasan) Accuracy (akurasi) Curiosity (keingintahuan) Fairness (Keadilan) Fearlessness (keberanian) Honesty (kejujuran) Humility (kerendahan hati) Acceptance (Penerimaan) Affection (Kasih sayang) Care (Peduli) Compassion (Belas kasih) Attention (Perhatian) Calm (Ketenangan) Concentration (Konsentrasi) Contentment (Kepuasan) Dignity

Care of self (Peduli diri sendiri) Diet (Diet) Hygiene (Kebersihan) Modesty (Kesederhanaan) Self-reliance Benevolence (Kebajikan) Co-operation (Kerjasama) Forbearance (Kesabaran) Forgiveness (Maaf) Good manners


(20)

Integrity (integritas) Justice (keadilan) Optimism (optimis) Confessing (penyerahan diri) Dedication (Dedikasi) Devotion (Pengabdian) Empathy (Empati) Forbearance (Kesabaran) Forgiveness (Maaf) Friendship (Persahabatan) (Kemuliaan) Discipline (Disiplin) Equality (Kesamaan) Gratitude (Kesyukuran) Happiness (Kebahagiaan) Harmony (Harmoni) (Kemandirian) Care of Possessions

(Peduli milik sendiri) Good behavior (Perilaku baik) Politeness Kesopanan Courage (Keberanian) (Prilaku baik) Loyality (Loyalitas) Morality (Moralitas) Brotherhood (Persaudaraan) Sisterhood (Persaudaraan) Citizenship (Kewarga-negaraan) Source: Sri Sathya Values Education (Chibber,2006, http://jhv.sagepub.com)

Dalam penelitian ini, nilai-nilai cinta yang akan menjadi fokus dan rujukan pada pembahasan selanjutnya. Butir-butir nilai cinta yang terdapat pada tabel 1.1 antara lain: acceptance, affection, care, compassion, empathy dan friendship akan menjadi acuan untuk membentuk sikap kebersamaan. Menjadi acuan berarti butir-butir tersebut akan dimasukkan atau dijelaskan oleh guru dalam proses pembelajaran. Misalnya, peserta didik mampu menunjukkan perilaku yang dapat menerima pendapat yang berbeda (toleransi), mau membantu orang lain (peduli), berbagi kesenangan (kasih sayang), dan memahami keresahan orang lain (empati). Perilaku yang menunjukkan nilai-nilai cinta akan mengarahkan peserta didik untuk memiliki sifat sikap kebersamaan. Integrasi nilai cinta pada pembelajaran bahasa Inggris adalah upaya menyisipkan (insert) nilai-nilai cinta pada proses pembelajaran di kelas. Proses integrasi tersebut membutuhkan kemampuan guru dalam menyampaikan materi sehingga nilai-nilai cinta tersebut sungguh-sungguh hadir. Kemampuan guru tersebut, antara lain, menyangkut


(21)

16

kemampuan berkomunikasi yang menarik dan santun. Guru sebagai model dan contoh akan ditiru dan diteladani oleh peserta didik (muridnya).

Pada proses pembelajaran bahasa, khususnya pembelajaran Bahasa Inggris, nilai cinta harus menjadi unsur yang diintegrasikan agar peserta didik memiliki pemahaman akan makna yang lebih mendalam. Nilai cinta bukan hanya sekedar „penghias” dalam proses pembelajaran melainkan menjadi inti dari pembelajaran itu sendiri. Untuk mencapai pemahaman nilai cinta dalam proses pembelajaran maka nilai-nilai cinta harus dirancang pada program pengajaran guru. Dengan kata lain, program pengajaran yang dilakukan oleh guru harus memuat nilai-nilai cinta dengan mengintegrasikannya pada komponen pembelajaran, termasuk diintegrasikan pada silabus dan RPP. Pengintegrasian nilai-nilai cinta pada pembelajaran bahasa akan menjadi fondasi bagi pembentukan sikap kebersamaan pada peserta didik.

B. Rumusan Masalah

Dari permasalahan umum di atas, peneliti merumuskan masalah-masalah yang lebih spesifik dengan pertanyaan yang lebih operasional sebagai berikut:

1. Bagaimanakah program sekolah dalam mengintegrasikan nilai-nilai cinta pada pembelajaran bahasa sebagai upaya pembentukan sikap kebersamaan pada SMAN 2 Pontianak?


(22)

2. Bagaimanakah proses mengintegrasikan Nilai-nilai Cinta pada pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan sikap kebersamaan di SMA Negeri 2 Pontianak?

3. Bagaimanakah Pengembangan Model Integrasi Nilai-nilai Cinta pada pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan Sikap Kebersamaan di SMA Negeri 2 Pontianak?

4. Bagaimanakah efektivitas Pengembangan Model Integrasi Nilai-nilai Cinta pada pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan Sikap Kebersamaan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melahirkan Pengembangan Model Integrasi Nilai-nilai Cinta (Love Values) pada Pembelajaran Bahasa sebagai upaya Pembentukan Sikap Kebersamaan (To

Live Together). Secara spesifik, tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui gambaran program sekolah dalam pembinaan integrasi Nilai-nilai Cinta pada pembelajaran bahasa;

2) Untuk mengetahui gambaran proses integrasi Nilai-nilai Cinta pada pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan sikap kebersamaan; 3) Untuk mengetahui pengembangan model integrasi Nilai-nilai Cinta pada


(23)

18

4) Untuk mengetahui efektivitas pengembangan model integrasi nilai-nilai cinta pada pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan sikap kebersamaan.

D. Asumsi Penelitian

Pendidikan nilai telah dilaksanakan pada SMA Negeri 2 Pontianak. Asumsi tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa sekolah memasang stiker-stiker yang memuat kata-kata bijak atau pesan-pesan nilai moral pada tiang-tiang sekolah. Dengan pengembangan model integrasi nilai-nilai cinta dalam pembelajaran bahasa, sikap kebersamaan dapat ditanamkan ke dalam pribadi siswa sebagai pendidikan akhlak. Asumsi ini merujuk pada pernyataan McConnell (1952:12) yaitu “bahwa pendidikan umum menekankan kepada kebiasaan belajar” dan pernyataan Phoenix (1964:276) sebagai berikut: “a major goal of general education in school should be to establish habits of study that will lead one to continue general learning regularly, after completing his formal education”.

Pendidikan umum memiliki potensi untuk mengembangkan nilai-nlai cinta pada siswa. Pengembangan sikap tersebut dapat dicapai karena pendidikan umum merupakan pendidikan untuk semua peserta didik dan mengembangkan seluruh kemampuan individu. Asumsi ini didasarkan pada pernyataan Saylor (1963:229) sebagai berikut:


(24)

“General education represents learning which all pupils must acquire. General education is that aspect of the school program that educate all pupils for the duties of citizenship, the obligation of family life, the maintenance of good health, the enjoyment of beauty, the establishment of good human relationships and the fulfillment of ethical values”.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian dan pengembangan (Research and Development). Menurut Borg and Gall (1979:781-782) bahwa research & development is a powerful strategy for improving practice. It is a process used to develop and validate educational products” (penelitian dan

pengembangan adalah suatu strategi yang kuat/ampuh untuk meningkatkan praktek dan merupakan proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi hasil pendidikan). Mengingat karakteristik masalah yang berkaitan dengan berbagai aspek dan memerlukan pendalaman serta kajian yang mendalam dan terfokus, maka paradigma yang digunakan adalah naturalistik dengan pendekatan kualitatif dan multi metode (Dahlan, 2002:8).

Tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan peneliti disesuaikan dengan rancangan research and development (R & D), yaitu: (1) Tahapan Study Pendahuluan, (2) Tahapan Study Pengembangan, dan (3) Tahap Study Evaluasi, dan hasilnya adalah Model Integrasi Nilai-nilai Cinta pada Pembelajaran Bahasa. Tahapan-tahapan penelitian dengan rancangan R & D dijelaskan lebih mendetil pada bab III pada penelitian ini.


(25)

20 F. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di sekolah lanjut atas (SLTA) di lingkungan Kota Pontianak yang difokuskan pada SMAN 2 Pontianak. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada beberapa faktor, yakni (1) SMAN 2 adalah SMA yang menduduki ranking ke 2 dalam hal prestasi, (2) SMAN 2 telah ditetapkan sebagai RSBI, (3) guru sebagai sampel sudah memenuhi persyaratan, yaitu guru yang mengajar sudah mencapai 15 tahun ke atas, (4) guru sudah ada yang lulus sertifikasi, dan (5) guru laki-laki dan perempuan tersedia (Hasil Studi Pendahuluan, 10 Februari 2010).


(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain, Lokasi dan Subyek Penelitian

Penelitian ini berupaya untuk menghasilkan model pembelajaran bahasa yang mengintegrasikan nilai cinta untuk membentuk sikap kebersamaan di kalangan peserta didik, yang didasarkan pada kondisi atau kebutuhan nyata di sekolah, khususnya di Sekolah Menengah Atas (SMA). Sesuai dengan maksud tersebut, maka bentuk penelitian yang relevan adalah

Research and Development (R&D).

Secara umum prosedur kerja dalam penelitian dan pengembangan ini ditempuh dengan langkah sebagai berikut (Gall, Gall, dan Borg ( 2003: 775), yaitu: (1) Research and information collecting planning. Mengkaji dan

mengumpulkan informasi, termasuk dengan membaca literatur,

mengobservasi, interviu dan menyiapkan laporan tentang kebutuhan pengembangan. (2) Planning. Merencanakan prototipe komponen yang akan

dikembangkan, termasuk di dalamnya menentukan/mendefinisikan

keterampilan yang akan dikembangkan, merumuskan tujuan, menentukan urutan kegiatan pembelajaran, menyusun skala pengukuran dan uji kemungkinan dalam skala kecil. (3) Develop preliminary form of product. menyusun/mengembangkan produk awal/prototipe awal. (4) Preliminary field


(27)

83

(termasuk melakukan pengamatan, interviu, dan angket ). Dalam tahapan ini akan dilakukan penelitian tindakan kelas (PTK). (5) Main product revision. Revisi hasil treatment dari produk model awal. (6) Main field testing. Penerapan uji coba lapangan (observasi, interview). Data kuantitatif pada awal (pre) dan akhir (post) pengajaran dikumpulkan dan dievaluasi. (7) Operational

product revision. Melakukan revisi produk, berdasarkan hasil ujicoba

lapangan. (8) Operational field testing. Melakukan ujicoba lapangan. (9) Final

product revision. Melakukan revisi akhir terhadap model dan menetapkan

produk akhir. (10) Dissemination and implementation. Melakukan diseminasi dan implementasi/distribusi ke berbagai pihak.

Langkah-langkah penelitian dan pengembangan di atas, dalam penelitian ini selanjutnya disederhanakan sesuai dengan kondisi dan kegunaan praktis di lapangan. Kesepuluh langkah yang disampaikan oleh Borg & Gall (1979; 2003) di atas, dimodifikasi ke dalam tiga tahapan yakni tahap studi pendahuluan dan pengembangan model/prototipe melalui kegiatan eksplorasi, tahap pengujian model/prototipe, dan tahap desiminasi model/prototipe. Pada tahap awal (Tahap I) kegiatan dimulai dari kajian kepustakaan yang berhubungan dengan permasalahan sikap kebersamaan serta faktor pembentuknya. Selain itu, pada tahap ini dilakukan juga kajian terhadap fakta empirik melalui hasil-hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan sikap kebersamaan dan nilai cinta. Di samping melakukan kegiatan-kegiatan


(28)

sebagaimana dijelaskan di atas, pada tahap ini juga dilakukan kajian eksplorasi mengenai praktik pembelajaran di sekolah, terutama yang terkait dengan kandungan atau muatan sikap kebersamaan dan nilai cinta. Pada akhirnya, pada tahap ini disusun model awal (prototipe) dari model integrasi nilai cinta untuk membentuk sikap kebersamaan.

Pada tahap II, atau tahap perancangan model awal, kegiatan penelitian terfokus pada ujicoba terbatas model awal yang telah dirancang. Dalam kegiatan ini dikaji bagaimana tanggapan (respons) siswa maupun guru terhadap model yang diujicoba. Selain itu, kegiatan pada tahap ini juga mencakup observasi terhadap berbagai komponen pembelajaran dari model integrasi nilai cinta untuk membangun kebersamaan yang sudah dikembangkan. Hasil akhir dari kegiatan pada tahap ini adalah merevisi model sesuai dengan tanggapan (respons) maupun hasil observasi yang dilakukan.

Pada tahap III, yakni tahap desiminasi model, kegiatan penelitian mencakup kegiatan ujicoba lebih luas yang melibatkan guru-guru Bahasa Inggris. Melalui tanggapan (respons) dan hasil observasi yang dilakukan pada saat ujicoba dilakukan, maka disusun model akhir dari penelitian ini, yakni model integrasi nilai cinta untuk mengembangkan sikap kebersamaan di kalangan peserta didik.

Kegiatan yang dilakukan mulai dari tahap pertama (perencanaan dan mengembangan model atau prototipa), tahap kedua (pengujian model) dan


(29)

85

tahap ketiga (diseminasi model) memiliki rangkaian kegiatan yang berkelanjutan. Artinya, penelitin akan diawali dengan kegiatan tahap I, kemudian Tahan II baru kegiatan Tahap III. Apabila uraian di atas disajikan dalam bentuk diagram, maka akan tampak seperti ditunjukkan pada Diagram 3.1. TAHAP I: STUDI PENDAHULUAN Kajian Kepustakaan Kajian Hasil Penelitian Relevan

Studi Eksplorasi Analisis Kebutuhan Kegiatan Pembelajaran Nilai Cinta

TAHAP II: PENGEMBANGAN MODEL TAHAP III: PENGUJIAN MODEL Ujicoba Terbatas: Perencanaan, Pelaksanaan Pembelajaran Integrasi Nilai

Cinta

Perancangan Model Awal Integrasi Nilai Cinta untuk Membentuk Sikap Kebersamaan

Tanggapan dan Observasi Pembelajaran

Ujicoba Luas: Tanggapan dan Observasi terhadap Pelaksanaan Model

Revisi Model: Integrasi Nilai Cinta untuk Membentuk Sikap Kebersamaan


(30)

Diagram 3.1

Alur Penelitian Integrasi Nilai Cinta untuk Membentuk Sikap Kebersamaan 1. Tahap I: Studi Pendahuluan

Tahap ini dilakukan baik melalui studi kepustakaan maupun penelitian lapangan (kajian empirik). Pada tahap ini dilakukan terlebih dahulu studi literatur. Kajian kepustakaan dilakukan dengan mengkaji teori, konsep dan hasil-hasil penelitian yang relevan untuk mendukung studi pendahuluan di lapangan. Literatur yang dikaji adalah yang berhubungan dengan kajian tentang esensi sikap kebersamaan dan nilai cinta, serta langkah-langkah pembelajaran yang ada dan pernah dikembangkan, pendekatan dalam pembelajaran Bahasa Inggris baik dari buku, hasil penelitian maupun jurnal ilmiah. Dengan kata lain, semua kepustakaan yang terkait dengan model pembelajaran nilai cinta yang dikembangkan.

Di antara bahan baku kerangka pikir yang digunakan dalam penyusunan desain model konseptual/hipotetik pembelajaran dalam penelitian ini mengacu pada hasil studi eksplorasi. Model konseptual tersebut berangkat dari teori dasar konstruktivistik asumsi, antara lain sebagai berikut. Dalam perspektif konstruktivisme, proses perubahan bagi pembelajaran sesungguhnya akan bermakna bilamana didasarkan dari pengalaman dan

Model Akhir: Integrasi Nilai Cinta untuk Membentuk Sikap Kebersamaan


(31)

87

kebutuhan peserta didik. Peserta didik sesungguhnya memiliki potensi dan tidak bodoh, mereka punya prakarsa, dan apabila distimulasi mereka mampu mengembangkan dirinya sendiri.

Dalam kegiatan tahap I, kajian literatur yang didapat belum cukup untuk dapat merancang/mengembangkan suatu produk model integrasi nilai cinta untuk mengembangkan sikap kebersamaan khususnya di SMA yang ada di Kalimantan Barat. Oleh sebab itu diperlukan data/informasi yang akurat, yang merefleksikan situasi yang terjadi atau yang ada di lapangan. Kegiatan penelitian di lapangan dilakukan dengan pengamatan dan wawancara. Observasi persiapan dan pelaksanaan proses pembelajaran ditujukan kepada para guru Bahasa Inggris dan peserta didik. Wawancara diarahkan kepada para guru, peserta didik dan Kepala SMA di sekolah tempat penelitian.

Beberapa data/informasi yang diperoleh sebagai dasar untuk pengembangan model ini adalah sebagai berikut:

a) Bagaimana desain dan implementasi model integrasi nilai cinta untuk mengembangkan sikap kebersamaan yang telah dilakukan selama ini? b) Bagaimana aktivitas dan motivasi belajar peserta didik selama proses

pembelajaran?

c) Bagaimana respons peserta didik terhadap model pembelajaran yang dilakukan guru khususnya dalam kaitan dengan pengembangan sikap kebersamaan?


(32)

d) Bagaimana sarana-prasarana pembelajaran yang tersedia di lingkungan SMA yang mendukung integasi nilai cinta untuk mengembangkan sikap kebersamaan?

e) Bagaimana hambatan guru dalam mengembangkan pembelajaran yang mampu membentuk sikap kebersamaan di kalangan peserta didik?

Berangkat dari kajian literatur dan kajian di lapangan tersebut maka, pada tahap ini, peneliti melakukan penyusunan/perencanaan draft model (konsep model) pembelajaran integrasi nilai cinta untuk membentuk sikap kebersamaan di kalangan peserta didik SMA. Rancangan draft model/produk pendidikan yang dikembangkan, untuk selanjutnya pada tahap kedua, pengembangan model, diujicobakan dengan sampel terbatas (kelas tertentu SMA Negeri 2 Pontianak) dan dengan sampel lebih luas (semua kelas SMA Negeri 2 Pontianak)

Sebelumnya dilakukan terlebih dahulu “uji coba di atas meja” (desk try out) atau disebut juga (desk evaluation) oleh para pembimbing untuk

melihat kelayakan draft model baik terhadap kelayakan dasar-dasar konsep atau teori yang digunakan dan juga kelayakan praktis model tersebut. Berdasarkan hasil verifikasi/rivieu tersebut dilakukan penyempurnaan draft model hipotetik beserta instrumen lainnya, seperti test dan angket evaluasi diri. Kemudian sebelum dilakukan uji coba secara terbatas, maka dilakukan terlebih dahulu diskusi intensif dengan guru Bahasa Inggris, yang dilibatkan


(33)

89

dalam kegiatan penelitian ini. Pertemuan sosialisasi draft model hipotetik ini dilakukan pada 26 Juni 2010 di SMA Negeri 2 Pontianak, kepada lima orang guru Bahasa Inggris yang ada di SMA Negeri 2 Pontianak. Hasil dari diskusi ini, dilakukan penyempurnaan draft model hipotetik, yang berikutnya siap untuk diujicobakan oleh guru Bahasa Inggris tersebut. Dalam diagram 3.2 di bawah ini, dapat dilihat proses kegiatan penelitian di tahap studi pendahuluan.

Diagram 3.2

Kegiatan Tahap Perencanaan dan Pengembangan Model Kondisi Pembelajaran

Bahasa Inggris di SMA Negeri 2 Pontianak

Sikap kebersamaan 1. Respect 2. Kindness 3. Responsibility 4. Equality 5. Harmony 6. Justice Dokumentasi Observasi Wawancara Angket

PAKAR

PRAKTISI

Konsep Pembelajaran Bahasa Inggris Konsep Sikap Kebersamaan, Konsep Nilai Cinta,

Rancangan Model Integrasi Nilai Cinta


(34)

2. Tahap Pengembangan Model

Pada tahap ini model awal diujicoba, kemudian dilakukan analisis untuk perbaikan hingga diperoleh model revisi integrasi nilai cinta untuk membentuk sikap kebersamaan di kalangan peserta didik. Metode yang digunakan adalah penelitian tindakan (action research). Penelitian tindakan ini dilakukan secara kolaboratif dengan guru Bahasa Inggris SMA Negeri 2 Pontianak. Kolaboratif dalam mencari tindakan-tindakan yang mana yang bisa memberikan perbaikan bagi tujuan pembelajaran yang diharapkan.

Pada uji coba terbatas, hanya melibatkan dua guru Bahasa Inggris yang ada di SMA Negeri 2 Pontianak yang mengajar di kelas XI dan XII RSBI. Hasil evaluasi terhadap hasil uji coba terbatas dilakukan revisi dan penyempurnaan. Setelah itu, dilakukan ujicoba secara luas pada kelas XI RSBI yang ada di SMA Negeri 2 Pontianak. Dari hasil uji coba luas ini kemudian dilakukan penyempurnaan produk/model yang siap untuk diuji validitasnya.

Pihak yang dilibatkan dalam revisi dan penyempurnaan adalah pembimbing, ahli dan guru Bahasa Inggris. Ahli atau pakar dilibatkan dalam memberikan komentar, kritik, dan saran terhadap pengembangan draft model, khususnya pada ujicoba terbatas. Hasil pengamatan yang peneliti lakukan


(35)

91

dipadukan dengan pendapat, temuan guru Bahasa Inggris sebagai pelaksana. Hasil diskusi terhadap setiap kegiatan uji coba ini adalah dasar untuk merevisi dan merancang produk final model pembelajaran integrasi nilai cinta untuk membentuk sikap kebersamaan.

3. Tahap Pengujian Model

Pada tahap ini, dilakukan pengujian terhadap keefektivan dari model yang sudah disempurnakan melalui proses pengembangan model sebagaimana dijelaskan pada uraian yang lalu. Pengujian keefektifan rancangan final model yang dikembangkan ini melibatkan peserta didik kelas RSBI yang ada di SMA Negeri 2 Pontianak. Jumlah guru yang dilibatkan adalah guru-guru Bahasa Inggris yang mengajar di kelas XI, XII RSBI yang ada di sekolah tersebut. Analisis data pada tahap ini juga dilakukan secara kualitatif, dengan mengacu pada cara kerja Huberman dan Miles, yakni: reduksi, penyajian data, verifikasi data dan penarikan kesimpulan.

B. Definisi Operasional

Fokus penelitian ini adalah pengembangan model integrasi nilai-nilai cinta pada pembelajaran bahasa di SMA Negeri 2 Pontianak dalam upaya pembentukan sikap kebersaman. Untuk menghindari kesalahpahaman pemaknaan terhadap fokus penelitian ini, berikut ini dijelaskan defines operasionalnya:


(36)

1. Pengembangan Model Integrasi Nilai Cinta

Pengertian model yang dikemukakan Joyce (2011:76) adalah “Models are developed patterns that have been submitted to research and development”. Dalam kontek penelitian ini pengembangan model adalah

mengembangkan model atau pola yang sudah ada untuk tujuan penyempurnaan sehingga model tersebut lebih baik dan sesuai (appropriate) dengan kondisi pembelajaran pada masa kini.

Pengertian integrasi menurut A Standard Dictionary adalah “to incorporate into a larger unit: bringing together into larger whole”.

Menurut Fraenkel (1977:7) ”A value is an idea - a concept about what someone thinks is important for life”. Secara umum, cinta dapat diartikan

Love is the emotion of strong affection and personal attachment”.

Merujuk pemahaman di atas, maka model integrasi nilai-nilai cinta pada penelitian ini adalah suatu model pembelajaran yang mengintegrasikan nilai-nilai cinta pada proses pembelajaran bahasa, khususnya Bahasa Inggris.

2. Sikap Kebersamaan

Sikap kebersamaan dalam penelitian ini dipadankan dengan pengertian atau makna learning to live together. Menurut UNESCO misi utama konsep tersebut adalah pembangunan sikap memahami, menghargai, menghormati dan toleransi terhadap orang lain, seperti memahami dan


(37)

93

menghargai keyakinan, nilai-nilai dan budayanya. Konsep ini diharapkan dapat menghindari konflik atau tindakan kekerasan pada umat manusia, dan selanjutnya dapat menciptakan perdamaian. Disamping itu, konsep ini akan lebih mengenal bahwa perbedaan (differences) dan keragaman (diversity) lebih sebagai peluang (opportunities) daripada bahaya (danger) dan sebagai sumber yang berharga untuk menciptakan hal-hal yang baik bagi kebrsamaan umat manusia.

C. Tempat, Waktu dan Subyek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 2 Pontianak Provinsi Kalimantan Barat. Pemilihan SMA Negeri 2 Pontianak ini didasarkan atas pertimbangan bahwa sekolah ini di Kalimantan Barat adalah sekolah yang berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Bahasa pengantar di sekolah ini untuk mata pelajaran kelompok IPA (matematika, fisika, kimia dan biologi) menggunakan bilingual (dua bahasa), yakni Indonesia dan Inggris. Pertimbangan lain memilih sekolah ini sebagai tempat penelitian adalah prestasi akademik sekolah ini menempati ranking 2 di tingkat SMA Kota Pontianak.

Berdasarkan kondisi realistik yang ada tersebut serta anjuran Gall, Gall dan Borg (2003:572) bahwa untuk tesis atau disertasi diperbolehkan untuk dilakukan dalam skala kecil, maka penelitian pengembangan ini dilakukan di SMA Negeri 2 Pontianak. Agar kemajuan penelitian dapat


(38)

diobservasi, maka pada setiap tahapan penelitian diambil subyek penelitian yang berbeda-beda jumlahnya. Subyek penelitian ini adalah guru Bahasa Inggris dan siswa SMA Negeri 2 Pontianak.

Tahap pertama penelitian dilakukan terhadap siswa kelas XI RSBI SMA Negeri 2 Pontianak. Untuk kegiatan interview, responden siswa dilakukan secara purposive random sampling diambil 10 orang siswa tiap kelas tersebut. Tahap pertama penelitian ini, observasi juga dilakukan terhadap semua siswa yang ada dan sedang mengkuti pembelajaran Bahasa Inggris sebagai responden untuk diamati. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran tentang penyelenggaraan pembelajaran Bahasa Inggris di SMA Negeri 2 Pontianak. Sasaran observasi adalah aktivitas siswa dan guru dalam kelas selama proses pembelajaran berlangsung.

Di samping observasi dan interview pada peserta didik, di tahap pertama penelitian ini dilakukan juga pengumpulan data dalam bentuk interview kepada para guru Bahasa Inggris.

Pada tahap pengujian model, saat dilakukan uji coba terbatas terhadap draft model, pemilihan sampel dilakukan secara purposive sampling di kelas XI RSBI SMA Negeri 2 Pontianak. Sampel yang dilibatkan adalah peserta didik yang ada di kelas tersebut. Pemilihan karakteristik sampel ini seperti ini didasarkan atas pertimbangan bahwa peserta didik di kelas ini diajar dengan menggunakan Bahasa Inggris. Mereka diharapkan dapat berpartisifasi


(39)

95

aktif dalam memberikan kritik serta saran yang lebih tajam dan leluasa dibanding peserta didik kelas di bawahnya. Masih pada tahap yang sama (tahap pengujian model) juga dilakukan secara luas di dua kelas berbeda XI dan XII RSBI.

Pada tahap III (diseminasi), ujicoba dilakukan dalam skala yang lebih luas yakni dengan melibatkan semua peserta didik di kelas XI dan XII RSBI SMA Negeri 2 Pontianak. Harapannya adalah agar diperoleh informasi tentang validitas model yang dikembangkan.

D. Instrumen Penelitian

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat berupa kualitatif dan kuantitatif. Untuk data yang bersifat kualitatif, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada cara pengumpulan data yang bersifat interaktif-sirkuler dan non interaktif-sirkuler (Goetz dan LaComte,1984). Metode interaktif sirkuler digunakan untuk mengumpulkan data wawancara dan observasi, sedangkan non-interaktif digunakan untuk mengumpulkan data dokumentasi. Teknik tersebut dilakukan secara berulang-ulang sesuai dengan pertanyaan peneliti yang muncul pada saat itu.

Observasi dilakukan mulai pada tahap perencanaan dan

pengembangan model, tahap pengujian model, serta pada tahap desiminasi model. Observasi ini diarahkan untuk mendapatkan data kemampuan dan performa guru, aktivitas pembelajaran siswa, pemanfaatan media, sumber


(40)

belajar yang digunakan, hingga evaluasi pembelajaran yang dilakukan. Pelaksanaan observasi ini dilakukan secara langsung oleh peneliti sendiri pada tahap perencanaan dan pengembangan model serta pada tahap pengujian dan tahap desiminasi model.

Wawancara dilakukan kepada guru dan siswa (subjek penelitian), baik sebelum (tahap penelitian pendahuluan dan tahap pengembangan model) atau sesudah pelaksanaan pembelajaran dengan model integrasi nilai cinta dalam pembentukan sikap kebersamaan. Dengan kata lain, wawancara dilakukan selama proses penelitian berlangsung seperti halnya kegiatan observasi. Kegiatan wawancara ini dilakukan agar data yang diperoleh dengan observasi dan angket menjadi lebih lengkap sehingga dapat digunakan untuk merancang final model/produk pendidikan dalam penelitian ini.

Selama kegiatan pengumpulan data yang bersifat kualitatif digunakan alat pengumpul data berupa tape recorder, kamera, dan catatan lapangan. Tape recorder digunakan untuk merekam pembicaraan selama wawancara, sedangkan kamera digunakan untuk merekam kegiatan yang diobservasi. Catatan lapangan (fieldnotes) di samping digunakan untuk mencatat hasil wawancara dan observasi digunakan juga untuk mencatat data yang terdapat dalam dokumen yang mendukung studi ini. Dokumen dimaksud terkait dengan komponen pembelajaran yang mengandung nilai cinta, termasuk di


(41)

97

dalamnya berbagai data/informasi profil dan kelengkapan administrasi guru (silabus dan RPP).

Untuk data yang bersifat kuantitatif, alat pengumpulan data yang digunakan adalah angket. Angket yang diberikan dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian. Angket pertama diberikan pada responden guru dan mahasiswa dan angket kedua (self evaluation) diberikan pada tahap pengembangan dan pengujian model. Angket yang pertama digunakan untuk mendapatkan data bagaimana proses pembelajaran yang memuat nilai cinta (sebelum dilakukan penelitian dan pengembangan model pembelajaran ini) yang terkait dengan proses dan hasil belajarnya. Jumlah sampel peserta didik yang diberikan angket adalah sejumlah responden yang terdapat dalam tahap pengembangan model dan pada tahap pengujian model. Adapun fokus dari data yang dikumpulkan melalui angket ini adalah sikap kebersamaan siswa. Selain itu, angket untuk peserta didik ini juga diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengalaman mereka dalam mengikuti pembelajaran bahasa yang mengandung nilai cinta dan hambatan yang mereka hadapi dalam upaya meningkatkan sikap kebersamaan.

Angket untuk guru digunakan untuk menjaring pengalaman mereka dalam mempersiapkan pemmbelajaran, mengembangkan materi, serta melaksanakan kegiatan pembelajaran bahasa dengan muatan nilai cinta. Di samping itu, angket untuk guru ini juga digunakan untuk menjaring


(42)

kondisi/hambatan mereka dalam mengintegrasikan nilai cinta untuk mengembangkan sikap kebersamaan.

Bentuk angket yang disusun dalam tahap ini terdiri dari pertanyaan terbuka dan tertutup. Dengan dua bentuk pertanyaan tersebut diharapkan data yang diinginkan dari responden akan lebih jelas, representatif dan terhindar

bias.

Pemberian angket tahap kedua (evaluasi diri), berbentuk rating scale yang diberikan pada siswa saja untuk mendapatkan data kondisi motivasi dan sikap kebersamaan mereka.

Panduan observasi disusun dalam upaya untuk menjaring data yang terdapat di dalam proses pembelajaran Bahasa Inggeris di kelas dan situasi nyata di sekitarnya, baik saat penelitian pendahuluan, maupun pada tahap pengembangan model. Bentuk instrumen observasi ini disusun secara terbuka dan tertutup. Lembar observasi terbuka yang peneliti maksudkan adalah kegiatan mencatat semua temuan data hasil pengamatan selama berlangsungnya proses perkuliahan berlangsung, sedangkan yang bersifat tertutup peneliti mencatat data temuan berdasarkan panduan observasi yang sudah disusun sebelumnya.

E. Teknik Analisis Data

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.


(43)

99

1. Analisis Data Tahap Perencanaan dan Pengembangan Model

Teknik analisis data yang digunakan dalam tahap ini adalah deskriptif-kualitatif. Analisis data ini dilakukan secara berulang-ulang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fokus yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

Pada prinsipnya teknik analisis data dilakukan sepanjang kegiatan penelitian dilakukan. Oleh karena itu, model analisis data yang digunakan adalah analisis interaktif yang mengacu pada Miles dan Huberman (1987:23) sebagaimana tampak pada gambar 3.3. berikut ini.

Data Collection

Data Display Data

Reduction

Conclusion: Drawing/

verification Gambar 3.3

Komponen Analisis Data Model Interaktif

Untuk membuktikan bahwa apa yang diamati oleh peneliti sesuai dengan apa yang sungguhnya ada di lapangan maka perlu diuji kredibilitas hasil. Di samping dilakukan dengan trianggulasi ke sumber data, pengecekan keabsahan data dilakukan pula dengan trainggulasi motode


(44)

dan teori, analisis kasus negatif dan pengecekan sejawat. Trianggulasi dilakukan pada siswa dan guru

Untuk menilai proses penelitian yang telah ditempuh sampai dalam bentuk laporan penelitian berupa disertasi, dilakukan dependabilitas data. Tujuannya adalah agar kekeliruan di dalam mengkonseptualisasikan kegiatan penelitian dapat ditanggulangi. Teknik yang digunakan untuk menguji dependabilitas penelitian pada tahap ini adalah dependability

audit. Auditor dependen untuk pengujian dependabilitas penelitian ini

adalah promotor, ko-promotor serta anggota Promotor disertasi ini.

Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri. Oleh karena itu, dependabilitas dan konfirmabilitas perlu diuji keakuratannya oleh berbagai pihak melalui penelusuran audit. Penelusuran audit ini tidak dapat dilakukan jika tidak dilengkapi dengan catatan pelaksanaan keseluruhan proses dan hasil penelitian yang perlu diklasifikasikan terlebih dahulu sebelum auditing. Pada penelitian ini semua catatan dan rekaman kejadian selama kegiatan penelitian disimpan baik dalam bentuk rekaman,

fieldnotes maupun compact disk (CD) dan dapat ditelusuri oleh siapa saja

yang berkepentingan dengan data tersebut.

Penulisan laporan penelitian pada tahap pertama ini, tidak saja menampilkan temuan dari observasi, angket, dokumen, tetapi juga hasil wawancara yang merupakan bentuk penguatan data dari catatan lapangan.


(45)

101

Untuk memperjelas isi ungkapan para responden yang diwawancarai, maka sejalan dengan penelitian yang bersifat etnografis dalam penelitian tindakan kelas, dilakukan penulisan kembali isi ungkapan responden (direct speech) tersebut (Cresswell, 1998).

2. Analisis Data pada Tahap Pengujian Model

Pada tahap ini, analisis data dilakukan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Seperti dikatakan oleh Dick dan Carey (dalam

Gall;Gall; Borg, 2003: 572), bahwa tahapan “formative evaluation

dilakukan secara utama dengan metode kualitatif, walaupun metode kuantitatif seperti data tes atau laporan peringkat kemampuan diri juga diperbolehkan. Analisis data secara kualitatif pada tahap ini dilakukan mengikuti kaidah-kaidah analisis data kualitatif sebagaimana dilakukan pada penelitian tindakan kelas. Kolaborasi dengan guru selaku praktisi dan siswa serta pakar pendidikan terus dilakukan selama proses pengembangan model pembelajaran ini.

Untuk analisis data yang bersifat kuantitatif, digunakan statistik deskriptif. Penggunaan analisis ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pada tahap pengembangan peneliti ingin melihat perkembangan hasil ujicoba dari ujicoba terbatas hingga ujicoba secara luas. Data yang dianalisis adalah data hasil angket yang diberikan kepada siswa.


(46)

Hasil analisis dan refleksi ini menjadi bahan untuk dilakukan revisi terhadap model pada siklus berikutnya yang dikembangkan hingga memperoleh rancangan model yang final.

3. Analisis Data pada Tahap Pengujian Model

Pada tahap pengembangan dari penelitian ini menghasilkan model yang sudah valid, namun masih harus diujicobakan lagi agar keefektifitas model tersebut dalam pembelajaran dapat diketahui secara jelas.

Data yang diperoleh dari hasil ujicoba tersebut, dianalisis dengan statistik deskriptif dan kualitatif. Penggunaan statistik deskriptif didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam ujicoba model ini peneliti ingin mengetahui dampak yang dirasakan oleh guru dan siswa setelah keseluruhan pembelajaran selesai dilaksanakan.

F. Menguji Efektivitas

Pendekatan kuantitatif dalam penelitian ini akan menerapkan metode

preexperimengtal design. Desain yang digunakan adalah Quasi-Experimental Design yaitu Nonequivalent (Pretest and Posttest) Control group Design.

Creswell (1994:132) mengemukakan ”... a popular approach to quasi-experiments, the experimental group A and the control group B are selected without random assignment. Both groups take a pretest and a posttest, and only the experimental group received the treatment.”. Group A yang sebagai


(47)

103

kelompok eksperimen akan mendapatkan perlakukan sedangkan Group B sebagai kelompok kontrol (control group) tidak mendapatkan perlakuan. Kedua kelompok akan mendapatkan tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest). Hasil tes tersebut akan dianalisis untuk melihat efek daripada perlakuan tersebut.

Model Quasi-Experimental Design

Group A 0 --- X --- 0 Group B 0 --- 0

Sumber: Creswell (1994:132) Catatan: X - treatment

Dalam penelitian kualitatif permasalahan dapat dilacak secara mendalam, data yang bersifat perasaan, norma, nilai, keyakinan, kebiasaan, budaya, sikap mental, dan komitmen yang dianut oleh seseorang maupun kelompok orang dapat diungkap dengan jelas. Untuk dapat memahami dan memberikan makna kepada data yang dikumpulkan, dilakukan dengan analisis dan interpretasi yang dilakukan secara terus menerus, yakni reduksi data, pemrosesan satuan,


(48)

kategorisasi data, triangulasi, serta penarikan kesimpulan dan verifikasi,

sehingga menghasilkan kesimpulan yang lebih “grounded“.

Penelitian ini lebih difokuskan untuk mengkaji suatu proses pengembangan model integrasi nilai, proses pembelajaran dan pembentukan sikap, maka pendekatan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. McMillan dan Schumacher (2001:398) dalam suatu pembahasan mendalam tentang pendekatan kualitatif mengemukakan bahwa

“penelitian kualitatif didasarkan pada asumsi bahwa realitas merupakan sesuatu yang bersifat ganda, saling berinteraksi, dan didalamnya terjadi pertukaran pengalaman-pengalaman sosial yang diinterpretasikan oleh setiap

individu”. Berdasarkan pembahasan tersebut, penelitian kualitatif menyakini

bahwa realitas sesungguhnya merupakan sebuah konstruksi sosial ketika individu atau kelompok menemukan atau memperoleh sejumlah makna dalam satu kesatuan yang spesifik, seperti dari beberapa peristiwa, orang, proses atau tujuan.

Cressell (1994:145) mengemukakan bahwa “pendekatan kualitatif lebih melihat sesuatu sebagaimana adanya dalam satu kesatuan yang saling terkait

dan lebih menekankan pada proses daripada dampak atau hasil”. Dengan

demikian, kegiatan penelitian lebih memfokuskan pada proses pengintegrasian nilai-nilai cinta pada pembelajaran bahasa dan upaya pembentukan sikap kebersamaan.


(49)

(50)

BAB V

KESIMPULAN, REKOMENDASI DAN IMPLIKASI

A. KESIMPULAN

Dalam masyarakat yang majemuk, pemahaman terhadap perbedaan masih bersifat semu karena seringkali terjadi tindakan kekerasan yang mengatasnamakan perbedaan tersebut. Di tingkat sekolah, perbedaan pendapat atau pandangan antar pelajar baik yang satu sekolah maupun berbeda sekolah berakibat pada peristiwa yang fatal, yaitu perkelahian masal atau tawuran. Peristiwa tersebut dapat disebabkan masih dangkalnya pemahaman pelajar atau peserta didik akan pentingnya membangun sikap kebersamaan, yaitu sifat saling menghormati, berbaik hati dan rasa keadilan. Oleh karenanya, perlu upaya ke arah pembentukan sikap kebersamaan tersebut dan salah satu solusinya adalah menanamkan nilai-nilai cinta pada setiap insan sekolah tersebut.

Secara umum, penelitian ini menghasilkan potret kondisi sekolah, model awal pembelajaran dan pengembangan model integrasi nilai-nilai cinta pada pembelajaran Bahasa Inggris. Pembelajaran Bahasa Inggris lebih menekankan pada penguasaan kognitif sehingga aspek afektif belum tersentuh oleh guru. Kondisi tersebut memungkinkan siswa memiliki pemahaman yang minim mengenai pendidikan nilai secara umum, dan khususnya nilai-nilai cinta. Akibat


(51)

215

hal tersebut, siswa tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk memahami nilai-nilai cinta.

Pengintegrasian nilai-nilai cinta pada pembelajaran bahasa Inggris merupakan salah satu upaya membangun sifat dan naluri peserta didik agar mampu hidup bersama secara harmonis, damai dan penuh cinta kasih. Oleh karenanya, nilai-nilai cinta yang menjadi esensi dalam integrasi tersebut, antara lain: toleransi (tolerance), kepedulian (care), persahabatan (friendship), empati (empathy) dan disiplin (discipline).

Pembelajaran bahasa Inggris, dalam arti, penguasaan peserta didik mengenai bahasa Inggris sudah cukup baik. Hal ini merupakan persyaratan bagi SMAN 2 Pontianak yang berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Baik guru maupun peserta didik harus memenuhi persyaratan mampu berbahasa Inggris secara fasih karena beberapa mata pelajaran disampaikan dalam bahasa Inggris. Peserta didik yang masuk dalam kelompok ini disebut kelas RSBI. Oleh karenanya, hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran nilai-nilai cinta yang diintegrasikan pada pembelajaran bahasa Inggris cukup signifikan.

Sesungguhnya, visi sekolah telah menjadi energi bagi pelaksanaan pendidikan nilai di SMAN 2 Pontianak. Dalam menwujudkan visi “prestasi optimal, disiplin, berakhlak mulia serta berwawasan teknologi informasi dan


(52)

komunikasi dengan dilandasi iman dan taqwa menuju Sekolah Bertaraf Internasional”, sekolah telah melaksanakan berbagai program. Program-program tersebut selalu diarahkan pada pencapaian visi dan misi sekolah. Berkaitan dengan pembinaan mental spiritual (aspek religius), program membaca Kitab Suci sesuai dengan agamanya masing-masing selama 15 (limabelas) menit atau mulai pukul 6:45 sampai pukul 7:00 pagi dilakukan setiap hari Senin sampai dengan Sabtu. Program tersebut merupakan perwujudan daripada misi “membentuk peserta didik yang berakhlak dan berbudi pekerti luhur”.

Era globalisasi telah menginspirasi penyelenggaraan pendidikan di SMAN 2 Pontianak. Bahwa ke depan tantangan akan menjadi lebih berat dan persaingan akan menjadi lebih ketat. Pemahaman terhadap tantangan dan persaingan global dihadapi dengan mempersiapkan sumber daya manusia (peserta didik) yang handal dan terampil. Pintu masuk untuk menjawab persoalan tersebut, salah satunya, adalah penguasaan bahasa asing, dalam kontek ini penguasaan bahasa Inggris. Melalui penguasaan bahasa Inggris yang fasih, maka penguasaan teknologi dan informasi akan lebih baik. Untuk mewujudkan impian ini, program pendidikan Bahasa Inggris lebih ditingkatkan melalui bimbingan dan kursus. Program ini berupaya untuk mewujudkan misi “meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris” untuk mencapai Sekolah bertaraf Internasional.


(53)

217

Proses pembinaan nilai moral peserta didik dilaksanakan secara berkesinambungan. Program-program akademik dan non akademik (ekstra kurikuler) dilaksanakan secara terpadu dan saling menunjang untuk menghasilkan

output (lulusan) yang cerdas otaknya, lembut hatinya dan terampil tangannya

serta sehat jasmaninya. Program-program tersebut merupakan implementasian

daripada misi “meningkatkan prestasi akademik lulusan” dan “meningkatkan prestasi ekstra kurikuler”.

Proses pendidikan yang dilakukan oleh guru, khususnya guru-guru mata pelajaran bahasa Inggris selalu berupaya menjadikan peserta didiknya sempurna. Sempurna dalam arti berprestasi secara akademik, berakhlak mulia dan berketerampilan tinggi. Untuk mewujudkan hal tersebut, upaya yang dilakukan guru adalah dengan meningkatkan kapasitas dirinya dengan mengikuti berbagai kegiatan seminar, workshop dan melanjutkan study.

Pengembangan model integrasi nilai-nilai Cinta dilakukan terhadap perancangan persiapan pembelajaran, proses pembelajaran dan penilaian terhadap hasil pembelajaran. Pengembangan yang dilakukan terhadap perancangan persiapan pembelajaran, seperti pada silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), pemilihan bahan ajar yang memuat nilai-nilai Cinta.

Proses pembelajaran dikelas yang identik dengan komunikasi antara guru dan siswa, dan siswa dengan siswa maka dibutuhkan kemampuan guru untuk


(54)

memilih diksi-diksi (kata-kata) yang memiliki makna Cinta agar terjadi proses pembelajaran yang humanistik. Gordon (1974) mengatakan bahwa kegagalan atau keberhasilan guru dalam mengajar tergantung pada kemampuannya membangun komunikasi dan relasi dengan peserta didiknya. Sedangkan komunikasi yang baik akan dibangun melalui penyampaian kata-kata yang indah dan sesuai. Oleh karenanya peranan Teacher Talk (Bahasa Guru) sangatlah penting.

Secara khusus, hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Program sekolah tentang pengintegrasian nilai-nilai Cinta pada pembelajaran

Bahasa Inggris belum maksimal atau masih rendah. Program sosialisasi nilai-nilai (termasuk nilai-nilai-nilai-nilai cinta) melalui stiker yang memuat kata-kata bijak (wise words) yang dipasang pada pintu gerbang masuk sekolah, pintu masuk ruangan kelas dan tiang-tiang sekolah serta kegiatan-kegiatan pembelajaran di kelas melalui diskusi kelompok, interaksi guru-siswa, dan siswa-siswa. 2. Proses mengintegrasikan nilai-nilai cinta pada pembelajaran Bahasa Inggris

dilakukan melalui berbagai kegiatan di kelas, misalnya diskusi kelompok, penjelasan guru tentang nilai-nilai cinta yang termuat pada bahan ajar, seperti bahan bacaan (reading texts), pertanyaan guru yang memuat nilai-nilai cinta, dan media yang digunakan guru serta bahasa tubuh (gestures) yang mengisyaratkan nilai-nilai cinta seperti senyum guru.


(55)

219

3. Pengembangan Model Integrasi Nilai-nilai Cinta pada pembelajaran Bahasa Inggris difokuskan pada silabus, RPP dan Bahan Ajar. Nilai-nilai Cinta dimuat pada silabus, RPP (indikator, tujuan pembelajaran dan penilaian) dan bahan ajar (memilih materi yang memuat Nilai-nilai Cinta).

4. Pemahaman peserta didik tentang nilai-nilai cinta meningkat dibandingkan sebelum dengan sesudah ujicoba. Peningkatan tersebut cukup signifikan.

B. REKOMENDASI

1. Bagi Guru

Pendidikan nilai, khususnya pendidikan nilai-nilai Cinta harus hadir di lembaga pendidikan baik formal maupun non formal. Guru sebagai ujung tombak dalam pembelajaran dan pengajaran perlu dibekali dengan pengetahuan tentang nilai-nilai kemanusiaan (termasuk nilai-nilai Cinta) agar mereka mampu mengajarkan nilai-nilai tersebut. Dalam menyikapi kompetensi guru, maka program-program peningkatan kompetensi dan kapasitas guru harus diprogramkan. Peningkatan kapasitas dan kompetensi guru dapat dilakukan melalui pelatihan, seminar dan workshop baik ditingkat nasional, regional maupun internasional.

Program peningkatan kualifikasi guru perlu menjadi pertimbangan. Guru-guru dari berbagai mata pelajaran boleh dididik pada lembaga


(56)

pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan nilai. Misalnya, guru-guru Bahasa Inggris dapat mengikuti program Magister dan Doktor pada Program Studi Pendidikan Umum/Nilai Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) atau ke perguruan tinggi luar negeri. Hal ini adalah upaya peningkatan dan pengembangan guru dalam pendidikan nilai di sekolah-sekolah.

2. Bagi Pengambilan Kebijakan (Dinas, Sekolah)

Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan nilai sangat tergantung daripada perangkat lunak yang menjadi acuan pelaksanaannya. Misalnya kebijakan dari instansi atau lembaga yang berwewenang untuk hal tersebut. Dalam konteks ini, kebijakan Dinas Pendidikan terhadap penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan nilai sangat dibutuhkan. Sebagai contoh, Pendidikan Karakter telah dicanangkan Bapak Presiden Republik Indonesia pada tanggal 2 Mei 2010. Kebijakan tersebut tentu harus diikuti oleh pelaksana dibawahnya, misalnya di tingkat Dinas Porvinsi, Kota/Kabupaten/ Sekolah dan Guru. Ketika semua pihak ini memiliki komitmen maka pelaksanaan kebijakan itu akan berjalan dengan baik.

3. Bagi Penelitian Lanjutan

Penelitian ini cukup strategis dalam membangun dan membina karakter bangsa. Perilaku bangsa yang sudah melupakan nilai-nilai leluhur, termasuk nilai-nilai Cinta, telah merusak sendi-sendi persatuan, kesatuan dan kerukunan


(57)

221

hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Khusus penelitian pengembangan model integrasi nilai-nilai cinta pada pembelajaran bahasa masih ada kelemahan, maka penelitian lanjutan berkaitan dengan pelaksanaannya sangat dianjurkan.

C. IMPLIKASI HASIL PENELITIAN

1. Implikasi Hasil Penelitian terhadap Pendidikan Umum/Nilai

Dalam konteks pendidikan umum/nilai, nilai-nilai cinta mutlak dibangun dan dikembangkan pada setiap peserta didik. Perilaku yang bernuansa nilai-nilai cinta selayaknya menjadi identitas peserta didik sehingga perilaku mereka dapat menjadi contoh bagi anak-anak lain yang sebaya mereka. Pengembangan nilai-nilai cinta diarahkan pada pembentukan kepribadian yang utuh (Winecoff menggunakan istilah well-rounded, sedangkan Tu Wei-Ming menggunakan istilah full person, yang dapat diartikan pribadi yang sempurna), dan warga negara yang produktif yang memiliki (a) keterampilan untuk berpikir, membaca, menulis dan berargumentasi secara efektif, kritis, kreatif, global dan bermoral; serta mampu berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi; (b) memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai kehidupan yang harmonis dalam kehidupan di alam semesta, masyarakat dan dengan diri


(58)

sendiri; bias mengahrgai budaya sendiri dan budaya orang lain, serta menghargai pengalaman kemanusiaan (Winecoff, 1988:1; Zakso, 2006:195); membantu peserta didik berpikir secara kritis, mengembangkan nilai-nilai sosial, memahami tradisi, menghargai keragaman budaya dan pendapat (Cohen, 1988:1).

Pendidikan umum/nilai yang menekankan pada penghargaan terhadap keragaman telah sejalan dengan tujuannya yaitu mengembangkan (1) kecerdasan kritis yang dapat digunakan dalam berbagai lapangan kehidupan, (2) perbaikan karakter dan kewarganegaraan, (3) kesatuan dan keutuhan intelektual, (4) kesimbangan kehidupan ekonomi dan sosial, dan (5) kesejahteraan hidup keluarga dan masyarakat yang bertanggung jawab (Sumaatmadja, 2002).

Dalam konsepsi tersebut di atas bahwa penulis berupaya agar umat manusia dapat memahami keragaman secara komprehensif (utuh) agar mampu menterjemahkan makna keragaman secara positif dari berbagai aspek. Aspek kecerdasan kritis, peserta didik memiliki kemampuan untuk melihat berbagai peluang dan kesempatan dalam kehidupan yang komplek. Kecerdasan kritis harus memiliki kemampuan untuk memperbaiki karakter dan kewrganegaraan yang baik, keseimbangan kehidupan ekonomi dan sosial sehingga dapat


(59)

223

menciptakan kesejahteraan hidup dan keharmonisan dalam keluarga dan masyarakat.

Secara konseptual, dalam perspektif pendidikan umum/nilai, tujuan di atas harus dipahami bahwa pendidikan semestinya diorientasikan pada pengembangan nilai-nilai, modal sosial serta penghargaan terhadap keragaman nilai budaya yang hidup di masyarakat agar tercipta kehidupan masyarakat yang harmonis. Konsepsi ini semestinya terjadi pada lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Di lingkungan pendidikan keluarga, orangtua seyogianya menanamkan kepada anak-anaknya betapa nilai-nilai cinta itu penting dalam membangun kehidupan bermasyarakat demi terbentuknya sikap saling menghargai antar sesama umat manusia dan terciptanya suasana yang damai dan harmonis.

Pendidikan Umum dalam arti yang lebih luas dapat diartikan sebagai pendidikan yang harus diikuti oleh semua siswa tanpa melihat jurusan atau spesialisasinya sebab pendidikan umum disini bukan mata pelajaran yang menjadi pilihan siswa. Maftuh (2009:13) mengemukakan bahwa fungsi pendidikan umum bukan difokuskan untuk peningkatan kemampuan intelektual (kemampuan akademis) ataupun keahlian (keterampilan) tertentu saja, melainkan lebih ditujukan pada pembinaan kepribadian warga Negara yang baik.


(1)

Moeloeng, L.J., (2009), Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Mudyahardjo, R. (2004), Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar, Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya

Muftah, B., (2009), Bunga Rampai Pendidikan Umum dan Pendidikan Nilai, Bandung: CV Yasindo Multi aspek

Mulyana, D., (2008), Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya

Nunan, D., (1991), Language Teaching Methodology: A Textbook for Teachers, Cambridge: Cambridge University Press

Posner, R. (2004), The Power of Personal Values (article). Internet, tersedia: http://www.globalresearch.ca/index.php?contex=viewArticle)

Ramli, A. T., dan Trisyulianti, E., (2003), Pumping Teacher, Jakarta: Penerbit Grhadhika Binangkit

Ricahrds, J.C., (1992), Longman Dictionary of Language Teaching and Applied

Linguistics, Beijing: Foreign Language Teaching and Research Press

Rudisill, K.C.A., (2007), Communication Awareness, Journal of Human Values Vol 3 No. 2/2007

Sada, C., (2002), Teacher Talk Produced by The PKG English Language Teachers in

Pontianak, Thesis, University Negeri Malang

Sadtono, E., (1997), The Development of TEFL in Indonesia, Malang: Penerbit IKIP Malang

Said, H.M., & Affan, J., (1987), Mendidik dari Zaman ke Zaman, Bandung: Penerbit Jemmars

Sauri, S., (2006), Membangun Komunikasi dalam Keluarga (Kajian Nilai Religi,


(2)

……., S., (2006), Pendidikan Berbahasa Santun, Bandung: PT. Genesindo

Saylor, J.G. (1963) Secondary Education in V.C. Morris (edt), Becoming an

Educator: An Introduction by Specialists to the Study and Practice of Education, Boston:Houghton Mufflin Company

Sugiyono, (2009), Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Bandung: Penerbit Alfabeta

Sulhan, N., (2010) Pendidikan Berbasis Karakter: Sinergi Antara Sekolah dan

Rumah Dalam Membentuk Karakter Anak, Surabaya: PT. JePe Press Media

Utama

Sunarto, H., & Hartono, B.A., (2006), Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta

Suyanto, K.K.E., (2007), English for Young Learners, Jakarta: PT. Bumi Aksara Uno, H.M., (2007), Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar

yang Kreatif dan Efektif, Jakarta: Bumi Aksara

Valentine, J.W., (1992), Principles and Practices for Effective Teacher Evaluation, Boston: Allyn and Bacon

Watts, R.J., (2003), Politeness, Cambridge: Cambridge University Press

Wragg, E.C., (1999), An Introduction to Classroom Observation, 2nd Edition,

London: Routledge Inc.

Xiao-yan, M.A., (2006), Teacher Talk and EFL in University Classroom,

Dissertation, School of Foreign Languages and Literature, Changging

Normal University & Yangtze Normal University, China

Zakso, A., (2006) Identitas Keetnisan dan Relasi Antar Etnis Siswa Daerah Rawan

Konflik (Studi Mengenai Kontribusi Lingkungan Keluarga Sekolah dan Teman Sebaya Terhadap Pembentukan Dinamika Psikologis Identitas Keetnisan dan Relasi Antar Etnis Siswa Sekolah Menengah Atas di


(3)

Kalimantan Barat), Disertasi, Program Pascasarjana, Univeristas Pendidikan

Indonesia,Bandung

……..(2008), Pendidikan di Indonesia: Masalah dan Solusi, Kementerian

Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia.

……., Didaktika, Jurnal Pendidikan Vol. 1 No. 1, November 2007, Departemen

Pendidikan Nasional, Direktorat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, 2007

……., UU dan PP RI tentang Pendidikan Tahun 2006

……., Visi, Misi dan Tujuan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Buku Pedoman

Akademik UPI, Bandung, 2008

…….., (1995) The New Testament, Bangalore: The Bible Society of India ……., General Theories of Love, tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/file …….., Philosophy of Love, http://www.iep.utm.edu/love/philosophy_of_love

..., Memahami Filsafat Cinta, http://www.andaluarbiasa.com/memahami-filsafat-cinta

..., Kekerasan di Sekolah, http://www.suarapembaruan.com/News/2009/07/21/kesra/kes01 …….., Love, http://en.wikipedia.org/wiki/Love/cite_note-newadvent.org-6

………,Teacher Input and Interaction:Native and Non-native Speaker Teacher in ESL Classroomsat the University of Hawai’i at Manoa. English Forum, Vol. II No. 3, 2001)

………, Komponen-komponen Pendidikan, Jurnal Pendidikan Penabur, No.

06/Th.V/Juni 2006

………., Komponen Dasar Cinta, tersedia Online pada The Permanente Journal/Winter 2004/Volume 8 No. 1


(4)

………., UNESCO, Learning to live together, tersedia online pada http://www.ethicseducationfor children.org

UNESCO, (2008), The Meaning of Learning to Live Together: Article, Journal of

research on Technology in Education, Fall 2008, Volume 41 Number 1, UNESCO


(5)

(6)

Gilbran. Cohen (1988) Zakso, A., n(2006) Winecoff (1988)

(Sumaatmadja, 2002).

A Multi-level Perspektif Holistik Pendidikan:

An Integrated Model Sebuah Model Terpadu Journal of Research on Technology in Education Fall 2008: Volume 41 Number 1