PENALARAN DAN KONTEKSTUALISASI IBADAH SHALAT DALAM MEMBINA KEPRIBADIAN SISWA DI SMA : Studi Analisis Deskriptif pada SMA Pesantren Unggul Al Bayan Sukabumi.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...
i
KATA PENGANTAR ... ...
ii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... ... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian ...
1
B. Perumusan Masalah ... 17
C. Tujuan Penelitian ...
18
D. Manfaat Penelitian ... 19
BAB II KONSEP KEPRIBADIAN DAN IBADAH SHALAT
A. Beberapa Penelitian Terdahulu Tentang Pembinaan Kepribadian
Melalui Ibadah Shalat ... 20
1.
Peran Orang Tua dalam Membina Perilaku Ibadah Ritual Shalat
dan Do’a Anak ...
20
2.
Pengamalan Fadhailu A’mal dalam Membina Sikap Istiqamah
Santri Sondok Pesantren ...
22
B. Kajian Tentang Konsep Kepribadian ... 24
1. Pengertian kepribadian ... 24
a. Arti kepribadian secara istilah ... 24
b. Arti kepribadian secara bahasa ... 25
c. Pengertian kepribadian menurut psikologi ……... 26
d. Pengertian kepribadian menurut ahli filsafat ... 29
e. Pengertian kepribadian dalam Islam ... 30
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian ... 32
3. Aspek-aspek dan tahap-tahap perkembangan kepribadian …... 38
4. Pembinaan kepribadian ... 41
a. Metode pembiasaan ... 50
(2)
C. Kajian Tentang Ibadah Shalat ……... 55
1. Pengertian ibadah shalat ... 55
2. Kronologi ibadah shalat ...
59
3. Ibadah shalat berjama’ah ...
64
4. Tingkatan shalat ...
67
5. Hikmah shalat ...
70
6. Nilai-nilai edukatif dalam ibadah shalat ...
74
7. Pengaruh ibadah shalat dalam pembentukan kepribadian ...
86
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Kualitatif ...
91
B. Sumber Data dan Lokasi Penelitian ... 94
C. Teknik Pengumpulan Data ...
95
D. Langkah-Langkah Pengumpulan Data ...
97
E. Instrumen Penelitian ...
99
F. Pelaksanaan Penelitian ... 100
G. Asumsi Penelitian ...
102
H. Definisi Operasional ...
104
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
A. Deskripsi Hasil Penelitian ... 116
1. Gambaran umum SMA PU Al Bayan ...
116
a. Profil SMA PU Al Bayan ...
116
b. Sejarah berdirinya SMA PU Al Bayan ... 119
c. Visi, misi, dan strategi ... 121
d. Sistem pendidikan ... 122
e. Kegiatan di SMA PU Al Bayan ... 137
f. Data lulusan SMA PU Al Bayan ... 146
2. Pembiasaan ibadah shalat di SMA PU Al Bayan ... 148
a. Makna ibadah shalat ... 148
b. Makna berjamaah ... 151
c. Internalisasi Shalat dalam Proses Belajar Mengajar ... 154
(3)
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 165
1. Pembinaan Kepribadian di SMA PU Al Bayan ... 165
2.
Penalaran dan Kontekstualisasi Ibadah Shalat ……... 171
a.
Tujuan pembinaan perilaku yang hendak dicapai melalui
ibadah shalat pada siswa ... 171
b.
Nilai-nilai dan sikap yang ditanamkan oleh sekolah dan
guru-guru kepada siswa melalui shalat ... 173
c.
Metode yang digunakan dalam pembinaan kepribadian dan
sikap siswa melalui shalat di SMA ... 180
d.
Proses pembinaan kepribadian dan akhlak siswa yang
berlangsung dalam shalat di SMA PU Al Bayan ... 185
e.
Penciptaan iklim lingkungan belajar yang mendukung
keber-langsungan penalaran dan kontekstualisasi ibadah shalat ... 208
C. Temuan Dalam Penelitian
1. Temuan Keunggulan ... 226
2. Temuan Masalah ... 229
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A.Simpulan ... 232 B. Saran ... 236
DAFTAR PUSTAKA ... 238
LAMPIRAN-LAMPIRAN
(4)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Satu dimensi yang perlu diperhatikan berkaitan dengan ibadah shalat dalam
ajaran Islam adalah fungsi shalat sebagai pembinaan yang mencakup seluruh aspek
diri manusia termasuk kepribadian orang yang menyembah Tuhannya (Mushalli).
Dengan wudlu atau kegiatan thaharah lainnya sehari-hari sebelum pelaksanaan ibadah
shalat, melengkapi syarat-syaratnya, menyempurnakan rukun-rukun hingga upaya
mencapai kekhusyuan di dalam pelaksanaan ibadah shalat, kemudian dilengkapi
dengan pengulangan-pengulangan seluruh kegiatan ibadah shalat ini, sesungguhnya
menunjukkan bahwa ibadah shalat ini bukan sekedar penyucian dan pelatihan yang
bersifat fisik, melainkan juga pembinaan jiwa akan membekas pada cara pandang dan
perilaku seseorang yang berujung pada terbentuknya kepribadian islami yang
puncaknya disebut perangai mulia (al-akhlaq al-karimah). Keterangan dalam
Al-Quran tentang ibadah shalat sebagai pembinaan bagi jiwa yang sedang dihimpit
perasaan sedih dan cemas, kemudian agar seseorang dapat tercegah dari perbuatan keji
(fakhsya) dan penyimpangan (munkar) kiranya cukup menjelaskan bahwa ibadah yang
satu ini benar-benar merupakan sarana pembinaan bagi terbentuknya kepribadian
Islami bermental stabil dan tangguh serta berperilaku wajar, normal sesuai dengan
ketentuan agama atau dengan lata lain dia tidak melakukan kejahatan ataupun hal-hal
yang menimpang dari norma-norma yang diajarkan Islam.
(5)
Berkaitan dengan fungsi shalat tersebut, Adz-Dzakiey (2005:300)
mengemukakan bahwa ibadah shalat merupakan media pelatihan dan proses evaluasi
menuju kepada pengislaman hakikat diri secara praktis, empiris, dan ruhaniyah.
Dimensi pendidikan dalam ibadah shalat ini, menurut Rusli Amin (2004:175)
merupakan tujuan pragmatis bagi umat Islam yang telah ditegaskan dalam al-Quran.
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa ‘inilah fakta bahwa Allah SWT mensyariatkan
shalat tidak hanya untuk memperluas ruang mencari pahala, melainkan juga sebagai
pendidikan pragmatis bagi umat Islam agar sukses dalam menghadapi hidup dan
kehidupan di dunia. Dengan demikian kepribadian sebagai salah satu penunjang
kesuksesan hidup seseorang di dunia dapat dibina melalui ibadah shalat yang ia
laksanakan secara baik dan benar.
Bagi seorang muslim yang beriman, ibadah shalat yang berulangkali
dilakukan merupakan kewajiban keseharian yang tidak bisa ditinggalkan.
Sebagaimana firman Allah, “Maka dirikanlah shalat; sesungguhnya shalat itu adalah
kewajiban yang telah ditentukan waktu-waktunya bagi orang yang beriman.” (QS.
An-Nisa’ 4:103). Selama hayat masih dikandung badan, setiap muslim baik yang sehat
maupun yang sakit seluruhnya wajib melaksanakan shalat, termasuk mereka yang
karena sakitnya tidak mampu melaksanakannya dengan berdiri, bahkan yang tidak
mampu dengan duduk, atau bahkan yang lumpuh sekalipun. Kewajiban shalat bagi
seorang muslim ini berdasar pada hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim dari Umar bahwa, “(Agama) Islam itu dibangun dengan lima perkara;
syahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,
(6)
1990:166). Begitu pentingnya ibadah shalat dalam ajaran Islam sehingga ia menjadi
ciri utama yang membedakan seorang muslim dari mereka yang kafir sebagaimana
sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Muslim, “perbedaan antara seorang laki-laki
(mukmin) dengan seorang kafir adalah meninggalkan shalat. (Zaini, 1990:v).
Demikianlah diwajibkannya ibadah shalat bagi seseorang yang telah mengikrarkan
bahwa dirinya muslim yang mukmin.
Sebagai ibadah, shalat merupakan upacara lahir-batin yang mesti bagi setiap
makhluk manusia sebagaimana firman Allah yang dinyatakan dalam Al-Quran kitab
suci umat Islam (QS. Adz-Dzariyat 51:56), “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah (mengabdi) kepada-Ku
..”. Firman ini
mengandung pemahaman bahwa ritus shalat kepada Allah sesungguhnya merupakan
sebuah sarana pengokoh individu dalam menjalankan misi besar hidup di alam dunia
dan merupakan konsekuensi bagi manusia yang telah diciptakan dan dihidupkan. Oleh
karena ibadah ini merupakan maksud dan tujuan utama manusia diciptakan, maka
ibadah atau pengabdian ini akan Allah SWT pertanyakan atau dimintai
pertanggungjawaban dari manusia pada saat kembali pada-Nya, yaitu pada hari
qiyamat. Namun secara khusus shalat yang dilakukan berulangkali itu memiliki
keistimewaan tersendiri dibandingkan ibadah-ibadah yang lain di hadapan Allah SWT.
Shalat merupakan ritus ibadah yang pertama dan utama diperhitungkan, secara khusus
ia menjadi penentu bagi penilaian akhir atas seluruh amalan atau perbuatan-perbuatan
manusia yang lainnya melebihi sikap dan pengetahuan sebagaimana sabda Nabi saw
yang diriwayatkan oleh Thabrani, “Sesungguhnya (amalan) yang pertama kali dihisab
dari seorang hamba pada hari qiyamat ialah shalatnya. Maka, jika shalatnya diterima,
(7)
akan diterimalah darinya semua amalnya. Tetapi jika shalatnya ditolak, akan
ditolaklah darinya semua amalnya.” (Zaini, 1990:vi). Jelaslah bahwa ibadah itu
diwajibkan karena seseorang itu hidup sehingga dapat dibedakan di antara
manusia-manusia yang hidup ini mana yang beriman dan tetap dalam misi Tuhan Penciptanya
serta mana diantara mereka yang ingkar kepada Allah Penciptanya dalam hidupnya.
Selain apa yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, ibadah juga
telah Allah SWT tetapkan bagi manusia berkaitan dengan fungsi dan eksistensi
manusia itu sendiri sebagai khalifah fil ardh (pemimpin di atas bumi), sebuah peran
besar yang tidak disanggupi oleh semua makhluk di alam ini. Peran sebagai khalifah
fil ardh sangatlah berat karena tugas-tugas yang diemban bukanlah urusan yang
sepele, yaitu mewujudkan kemakmuran di bumi ini dan mewujudkan kebahagiaan
hidup. (Zaini, 1993:34). Sungguh bagi manusia tugas hidup ini adalah urusan besar
dan sangatlah berat. Sementara dalam kenyataannya manusia adalah makhluk yang
lemah (QS.An-Nisa 4:27), dilahirkan dalam keadaan tidak tahu apa-apa (QS. An-Nahl
16:78), manusia juga memiliki banyak musuh yang akan menggagalkannya dalam
menjalankan tugas-tugas sebagai khalifah fil ardh dan tersebut baik berupa dorongan
dalam dirinya yang disebut nafsu, syethan, ataupun golongan kafir, yaitu sesama
manusia namun mengingkari keberadaan Penciptanya sendiri. Oleh karena itu,
manusia memerlukan suatu mekanisme agar ia tetap menghayati misi besar dalam
hidupnya beribadah (mengabdi) kepada Allah SWT yang telah menciptakan seluruh
jagat beserta isinya termasuk dirinya, yaitu salah satunya berupa shalat. Artinya,
dengan beribadah kepada Allah, manusia terpelihara untuk senantiasa berada dalam
lingkaran hakikatnya yang utuh sebagaimana pertama kali ia diciptakan dengan
(8)
potensi-potensi bio-fisik dan spiritual-psikis, dan perangainya yang menunjang peran
hidupnya sebagai khalifah. Dengan kata lain, manusia yang diciptakan secara utuh itu,
dengan ia beribadah kepada Allah SWT maka sifat, jiwa, dan perangainya pun
senantiasa terpelihara sehingga tetap mencerminkan kepribadian manusia yang utuh.
Dengan shalat yang dilakukan secara berulang-ulang ini, Islam mengajarkan
umatnya agar senantiasa menjalankan misi dan peran hidup ini agar diri dan hidupnya
senantiasa terbimbing sebagai ‘ibady atau manusia-manusia yang setia dalam
menjalankan misi ibadah kepada Allah Penciptanya serta kembali kepada-Nya dalam
keadaan puas, lapang, dan bahagia (radhiyatan) yang sesungguhnya itulah peringkat
yang memuaskan (mardhiyah) karena ia mendapatkan surga. Manusia-manusia yang
diri dan hidupnya senantiasa konsisten dan setia dalam ibadah kepada Allah SWT
tersebut di atas mereka digelari sebagai pribadi muthmainnah, manusia-manusia yang
memiliki kepribadian tenang, tentram, dan mendapatkan kedamaian. Sesungguhnya
selain pribadi muthmainnah ini, ada dua kepribadian lain : pertama, yang disebut
pribadi lawwamah, yaitu manusia-manusia yang dirinya masih dilanda kegelisahan
karena sikap dan perilaku mereka yang tidak/belum terbimbing sebagai ‘ibady; kedua,
pribadi yang sikap dan perbuatannya (masih) dikendalikan oleh nafsu (ammarah
bissu’i). Kedua kepribadian terakhir masih diwarnai oleh perasaan-perasaan tidak
nyaman dan ketersiksaan dalam hidupnya, tentu kepribadian seperti ini bukanlah citra
pribadi yang diharapkan, akan tetapi sudah pasti pribadi muthamainnah-lah yang sikap
dan perilakunya mencerminkan kepribadian yang ideal. Demikianlah shalat
merupakan ibadah istimewa dalam Islam yang akan senantiasa memelihara dan
membimbing diri seseorang, sifat, sikap, karakter, perilaku, dan kepribadiannya di
(9)
hadapan Allah SWT yang tentunya berimplikasi pada citra kepribadiannya dalam
pandangan sesama manusia.
Pendidikan, secara umum, sebagai kegiatan mengubah perilaku individu anak
dan remaja kearah kedewasaan dan kematangan memiliki tujuan agar individu tersebut
menjadi insan kamil, atau manusia sempurna. Kesempurnaan manusia yang dimaksud
adalah keberadaannya yang sejak lahir merupakan satu kesatuan tak terpisahkan antara
aspek jasmani dan rohani, lahir dan batin, atau jiwa dan raga. Mengenai
kesempurnaan manusia ini, Al-Attas dalam Wan Daud (2003: 94) menjelaskan bahwa
manusia bukanlah makhluk ruh murni dan bukan pula jasad murni, melainkan
makhluk yang secara misterius terdiri dari kedua elemen ini, dan yang disebut entitas
ketiga, yaitu jati dirinya sendiri. Kemudian Nursid Sumaatmadja (1998:18)
menjelaskan bahwa keberadaan manusia yang individe itu, secara biologis lahir
dengan kelengkapan fisik yang tidak ada bedanya dengan makhluk hewani, akan tetapi
secara psikologis ia sangat berbeda dengan makhluk hewani manapun, bahwa manusia
dilengkapi dengan potensi-potensi psikologis yang berkembang dan dapat
dikembangkan. Pengembangan potensi-potensi inilah yang kemudian dinyatakan
sebagai
pendidikan.
Dengan
pengembangan
potensi-potensi
bio-fisik-psikis
diharapkan individu akan menjadi manusia yang tumbuh secara sempurna. Dalam hal
ini ibadah shalat memiliki fungsi yang sama yang dapat mengarahkan seseorang agar
berkembang tetap sebagai insan kamil.
Manusia dari keberadaannya sebagai individu berkembang menjadi seorang
pribadi. Sebagai seorang pribadi, manusia memiliki suatu gambaran atau kesan
tersendiri tentang dirinya di dalam pandangan orang lain yang sering disebut
(10)
kepribadian. Kepribadian ini merupakan keseluruhan perilaku individu yang
merupakan hasil interaksi antara potensi-potensi bio-psiko-fisikal yang terbawa sejak
lahir dengan rangkaian situasi lingkungan, yang terungkap pada tindakan dan
perbuatan serta reaksi mental-psikologisnya, jika mendapat rangsangan dari
lingkungan. (Nursid, 1998:22). Sebagai makhluk yang berwujud kesatuan antara
jasmani dan ruhani tentu perkembangan kepribadiannya terbentuk melalui dua aspek
pokok jasmani dan ruhani.
Ibadah shalat yang diwajibkan oleh Allah SWT bagi umat Islam sebagaimana
dicontohkan oleh Rasulullah saw merupakan pembinaan pada hakikatnya Allah
sendirilah yang bertindak sebagai Pembinanya. Terbentuknya kepribadian akan
tercapai berdasarkan kesiapan dan kematangan masing-masing individu yang
menjalaninya dengan baik hingga membuahkan kebahagiaan hidup di dunia dan lebih
jauhnya mendapatkan kebahagiaan hakiki di akhirat kelak, yaitu surga. Mengenai
kebahagiaan hakiki ini, Rasulullah saw bersabda, “…. Siapa saja yang telah
mengerjakan shalat dan tidak mengabaikannya sedikitpun karena menganggap enteng
terhadap hak shalat itu, niscaya Allah berjanji akan memasukkannya ke dalam surga.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibn Majah). Mengenai hal ini, Bakran
Adz-Dzakiey (2005:301) mengemukakan bahwa ibadah shalat itu merupakan pintu bagi
setiap hamba yang mendambakan perjumpaan dengan Allah SWT dan merupakan
aktivitas ketuhanan yang sangat dalam makna dan hakikatnya, jika dilihat dari
perspektif batiniyah. Lebih lanjut ia menjelaskan makna dan hakikat ibadah shalat itu
secara totalitas adalah proses pelepasan diri dari unsur-unsur kehewanan, keinsanan,
dan kealaman sehingga esensi ketauhidan benar-benar terwujud dalam diri scara
(11)
lahiriah dan batiniyah, bukan ketauhidan yang hanya pada lisan, retorika, dan diskusi.
Proses pelepasan diri dari unsur-unsur kehewanan dan kealaman, kemudian pelepasan
dari unsur keinsanan untuk mencapai ketauhidan yang terwujud utuh dalam lahir dan
batin inilah yang menunjukkan bahwa ibadah shalat merupakan sarana bagi
pembinaan kepribadian utuh. Ibadah shalat yang merupakan rukun yang kedua dari
lima rukun Islam, suatu perintah Allah yang penuh dengan keistimewaan bagi manusia
yang akan mendatangkan ketenangan dalam hati, sesuai dengan firman Allah: “...
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram.” (QS. Ar-Ra’du 13:28). Keistimewaan ibadah shalat dapat menumbuhkan
kekuatan ruh dan jiwa bagi seorang mukmin, dengan memberi pertolongan untuk
menghadapi kesulitan-kesulitan dan musibah-musibah dalam kehidupan di dunia ini,
untuk itu Allah SWT. berfirman: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.
Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyu, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya,
dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah 2:45-46). Mengenai
keistimewaan shalat ini, Amin (2004:1-9) mengemukakan keistimewaan yang lain
bagi seseorang yang menunaikannya, diantaranya adalah: 1) sebagai penghapus
dosa-dosa, 2) sebagai sarana meraih pertolongan Allah, 3) sebagai sarana keselamatan dari
siksa (adzab) Allah, 4) sebagai sarana dimohonkan ampunan dan rahmat oleh para
Malaikat, 5) dijaga oleh para Malaikat, dan 6) menjadi pewaris surga Firdaus.
Sementara Al-Qaradhawi (2005:283) mengemukakan nilai-nilai atau keistimewaan
dalam ibadah shalat, di antaranya: 1) mengajarkan hidup bersih, indah dan sehat,
(12)
2) Mengajarkan pendidikan kemiliteran dan kedisiplinan, 3) membina kekuatan ruh
dan jiwa, 4) membina kekuatan akhlak, dan 5) sejalan dengan olah raga fisik. Dari
beberapa keistimewaan ibadah shalat yang dikemukakan oleh Amin dan Qaradhawi di
atas menunjukkan bahwa ibadah shalat bukanlah sekedar amalan ibadah yang
mendatangkan pahala dan barokah dari Allah SWT, melainkan juga ada hikmah
kebaikan yang akan diraih oleh seorang beriman yang melaksanakannya secara baik
dan benar berupa pembinaan. Pembinaan yang sejalan dengan pembinaan kepribadian.
Pembinaan yang menanamkan nilai-nilai dan sekaligus mengembangkan potensi
manusia dalam berbagai aspek perkembangan sehingga memungkinkan menjadi
sarana bagi terbentuknya kepribadian sempurna. Memahami hakikat ibadah shalat
sebagaimana telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa ibadah yang satu ini
merupakan amalan ibadah yang sangat penting sebagai hubungan seorang manusia
dengan Tuhan Penciptanya, sekaligus sebagai sarana pembinaan bagi pengembangan
kepribadiannya.
Betapa pentingnya ibadah shalat sebagai pintu perjumpaan dengan Allah
yang dapat melahirkan eksistensi diri dan kepribadian dibuktikan dengan hukum Allah
yang sangat keras diberikan terhadap siapa saja yang meninggalkan ibadah shalat
(fardlu), yaitu sebagai seorang kafir yang telah ingkar dan berpaling dari Allah SWT.
Karena meninggalkan ibadah shalat secara syariat, atau tidak melaksanakan aktivitas
shalat secara lahir dengan syarat dan rukunnya, ia dihukumi sebagai seorang yang
kufur syariat terhadap Allah SWT. Akan tetapi dalam kenyataannya, tidak banyak
orang yang menyadari akan gejala meninggalkan shalat secara hakikat, atau
mengerjakan aktivitas shalat sebatas secara syariat tetapi ia tidak memahami makna
(13)
dan hakikat batiniah dari shalat itu sendiri sehingga ia tidak memperoleh kenikmatan
dalam perjumapaan dengan Rabb-nya, serta tidak mengalami perubahan dalam
eksistensi diri maupun kepribadiannya. Inilah gambaran shalat yang sia-sia, yaitu
shalatnya orang-orang yang lalai (sahun), shalatnya orang-orang yang riya (ingin
dipandang), dan shalat yang tidak mendorong untuk peduli dan berbuat baik kepada
sesama. (QS. Al-Ma’un, 107:4-7). Sikap dan sifat lalai, ketidaksesuaian antara lisan,
perbuatan, dan hati pada saat seseorang bersikap riya, kemudian ketiadaan rasa peduli
tersebut di atas sudah jelas merupakan contoh-contoh sikap yang tidak mencerminkan
kepribadian. Berdasarkan pada keterangan di atas dapatlah dikatakan bahwa ibadah
shalat dapat berfungsi sebagai pembinaan kepribadian manusia utuh manakala ibadah
shalat yang dilakukan secara totalitas, mencakup syariat sekaligus hakikatnya.
Kenyataan bahwa sebagian umat Islam masih melaksanakan ibadah shalat
sebatas rutinitas atau formalistik sesungguhnya merupakan tahap awal dari
pelaksanaan ibada shalat yang diharapkan dalam agama yang sesungguhnya masih
perlu ditingkatkan agar ibadah shalat bisa bernilai lebih dari sekedar formalitas yang
cenderung sia-sia atau tidak bernilai. Berkaitan dengan keadaan dan upaya umat Islam
dalam memelihara dan melaksanakan ibadah shalatnya, Ibnu Qayyim dalam Khalid
(2005:86-87) telah menjelaskan adanya lima tingkatan shalat dan seseorang tidak akan
memahami dan menyadari akan nilai dari tingkatan-tingkatan ini kecuali orang yang
berjalan naik atau berusaha untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi. Oleh Karena
itu, perlu adanya upaya pembinaan agar umat Islam dapat melaksanakan ibadah
shalatnya dengan baik sebagai kewajibannya sekaligus membina eksistensi diri dan
kepribadiannya melalui nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah shalat.
(14)
Shalat adalah kewajiban bagi setiap muslim, kewajiban pertama yang mesti
dilaksanakan oleh orang yang telah menyatakan dan berjanji (syahadah) Islam sebagai
din, jalan hidupnya. Ia adalah amalan pertama yang akan dihisab oleh Allah Swt. di
hari akhir. Shalat adalah kewajiban setiap muslim laki-laki maupun perempuan baik
yang masih muda maupun sudah lanjut usia. Begitu seseorang sudah mencapai aqil
dan baligh maka ia telah dikenakan kewajiban untuk melaksanakan ibadah shalat.
Remaja yang telah memasuki pendidikan tingkat menengah pada umumnya telah
dapat dikategorikan aqil dan baligh. Oleh karena itu, mereka telah dibebani kewajiban
shalat dan mereka dituntut untuk mampu melaksanakan ibadah shalat wajib lima
waktu. Agar mereka memiliki kemampuan melaksanakan shalat sejak kecil, orang tua
memiliki kewajiban mendidik dan membina secara benar, baik mengajarkannya secara
langsung maupun dengan cara memasukkan ke lembaga pendidikan tertentu yang
dapat mengajarkan putra-putrinya melaksanakan ibadah shalat dengan baik.
Usia remaja pada umur 12 atau 13 sampai sekitar 20 tahun sering disebut
masa pubertas (puberty) atau masa remaja (Sumadi, 1982:18). Secara umum usia
murid SMA berkisar antara 15 sampai 18 tahun dipandang dari segi perkembangan
dan kejiwaan termasuk rentang waktu usia remaja, mereka menghadapi suatu rentang
yang cukup panjang dan selama itu mereka memerlukan pendamping yang senantiasa
memberi bimbingan atau pembinaan dan menerima ajaran-ajaran yang memperkokoh
keyakinan dan jiwa mereka. Pendamping ini secara fitrah adalah orang tua karena
mereka dapat memahami keadaan dan kebutuhan anak remajanya. Bila proses
bimbingan berjalan mulus diharapkan jati diri yang muncul dari seorang anak remaja
adalah jati yang yang mantap dan benar. Menurut Hassan (1993:1228) tentang hal
(15)
yang sama dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
bahwasanya Rasulullah saw. mengingatkan kaum muslimin, “Tidak satupun anak lahir
kecuali dalam keadaan fitrah (suci dari kemusyrikan), kedua ibu bapanyalah yang
menjadikan dia Yahudi, Nashrani atau Majusi.” Proses pendampingan yang diperlukan
oleh remaja adalah pendampingan yang penuh dengan perhatian, kasih sayang, dan
motivasi.
Untuk melancarkan bimbingan/pembinaan anak remaja ini sebagaimana
dijelaskan oleh Vurniah (2002:6) maka Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai
lembaga pendidikan, memiliki tujuan untuk: Pertama, menyiapkan peserta didik
menjadi manusia yang berkepribadian utuh yang berakhlak mulia, memiliki integritas
yang tinggi taat beribadah, bersifat terbuka, tanggap terhadap perubahan dan kemajuan
ilmu, serta menerapkan, mengembangkan dan melestarikannya. Kedua, menanamkan
nilai-nilai kemanusiaan dan kepedulian sosial terhadap lingkungan yang sudah
dibiasakan secara ajaran agama Islam, dan dapat mengembangkan serta
menyebarluaskan ilmu agama Islam dalam kegiatan apapun dalam masyarakat sebagai
pengabdi diri kepada masyarakat yang betul-betul diterima oleh mereka (masyarakat).
Berkaitan dengan pembinaan kepribadian manusia utuh melalui ibadah shalat yang di
laksanakan di sekolah tentunya diperlukan strategi yang efektif, yaitu pembinaan yang
benar-benar disertai proses pendampingan dari guru sebagai pengganti orang tua. Pada
saat siswa berada di sekolah tentu amanah pembinaan dari orang tua juga menjadi
bagian dari amanah yang diemban oleh guru walaupun tidak menutup kemungkinan
pengaruh lingkungan selain di sekolah dapat memberikan warna tersendiri pada
kepribadian siswa. Maka proses pendampingan itu akan sangat maksimal pada saat
(16)
siswa berada di sebuah sekolah dengan sistem keasramaan yang selama 24 jam dalam
sehari siswa terus dapat didampingi oleh guru. Dan proses pembinaan yang dapat
dilakukan di sekolah tersebut tidak hanya pembinaan yang bersifat formal melainkan
juga, pembinaan yang bersifat informal.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan dapat diselenggarakan
melalui tiga jalur, pertama, pendidikan formal yang diselenggarakan di sekolah;
kedua, pendidikan non-formal yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tertentu, dan
ketiga, pendidikan informal yang dijalankan sehari-hari dalam keluarga dan
masyarakat. Dengan demikian maka pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah
(kelas), melainkan juga berlangsung dalam keluarga dan masyarakat. Keberhasilan
pendidikan individu dalam membentuk kepribadian dan kedewasaannya sangat
ditunjang oleh keharmonisan antara ketiga jalur pendidikan tersebut. Demikian juga
pembinaan individu agar berkepribadian secara utuh mesti diupayakan secara
sungguh-sungguh melalui ketiga jalur tersebut.
Pendidikan umum (terutama pada jalur sekolah) merupakan jenis pendidikan
yang mengutamakan perluasan pengetahuan. Karakter ini merupakan gambaran yang
menekankan pendidikan umum sebagai sistem yang mengintegrasikan berbagai ilmu
(integrated knowledge sistem ). Sebagaimana kenyataan bahwa lahirnya Pendidikan
Umum diantaranya adalah sebagai jawaban atas masalah kehidupan modern
(individualistic, materialistik, pragmatik dan hedonis) yang semakin mengabaikan
nilai-nilai transendental, moral dan kemausiaan serta sebagai reaksi atas fenomena
pendidikan yang mengkotak-kotakan ilmu (overspesialisasi) yang bertujuan
(17)
memenuhi tuntutan logis dari kemajuan industri dan teknologi sehingga menyebabkan
sikap arogansi disipliner dan dikotomi keilmuan tadi melahirkan lulusan-lulusan yang
berkepribadian lemah (split personality), tidak utuh. Dengan demikian Pendidikan
Umum memiliki peran dan posisi yang sangat strategis dalam pembinaan manusia
Indonesia seutuhnya.
Pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia manusiawi tentu
memerlukan nilai-nilai agama bukan hanya sebagai suatu alternatif untuk tujuan
membangun manusia seutuhnya, melainkan sebagai landasan yang mutlak. Pendidikan
Umum di alam Pancasila memandang agama tidak hanya sebagai bagian dari
nilai-nilai yang esensial bagi kehidupan manusia melainkan juga mencakup segala
pengetahuan tentang manusia secara mendasar dan keberadaannya yang sesuai dengan
hakikat dan fitrah manusia itu sendiri sehingga ia akan membimbing ke dalam
kehidupan mulia. Agama mengajarkan manusia untuk mengembangkan jati diri
kemanusiaannya, menyadarkan, menolong, mendukung dan menuntun manusia dalam
mengenali dan memusatkan perhatian kepada nilai moral tertinggi; agama
mengingatkan manusia untuk terus mencapai derajat kedekatan kepada Tuhan yang
telah menciptakannya. Secara ringkas, pada kata pengantar pemikiran Muhammad
Iqbal dalam Iqbal Khan (2002:15) bahwa media agama merupakan hal yang sangat
penting dalam kehidupan karena hanya agamalah yang dapat menyelesaikan
sepenuhnya permasalahan yang kompleks yang berkembang dengan manusia. Dengan
demikian Pendidikan umum sebagai pendidikan yang menekankan pada pembinaan
keutuhan pribadi, dalam prosesnya, harus sampai pada pembangkitkan, pendalaman,
(18)
penghayatan komitmen dan penyusunan nilai-nilai agama sebagai jalan esensial
kepada karakter dan ahlak mulia.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan agama sangat mendapat dukungan dari
berbagai sendi pendidikan nasional, yakni: akar budaya bangsa Indonesia, Pancasila,
dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu ciri masyarakat Indonesia adalah religius,
yang berarti bahwa kehidupannya disemangati oleh nilai-nilai agama. Di samping itu,
dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menuntut segala
aktivitas bangsanya, termasuk pendidikan, senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula berkaitan dengan ciri manusia Indonesia
seutuhnya yang menjadi tujuan pendidikan nasional, adalah manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sendi-sendi tersebut menuntut seluruh
bentuk pendidikan di Indoensia harus berlandaskan pada nilai-nilai agama.
Dalam pandangan keislaman Abul Qosim (2003:1), agama itu sejalan dengan
pembinaan manusia manusiawi sebagaimana dalam definisinya: “Agama (al-Din)
adalah seluruh jenis sikap dan perbuatan dalam rangka keimanan dan tanggungjawab
kepada Allah bagi pembentukan pola pikir dan keyakinan, demi menghidupkan
prinsip-prinsip luhur moralitas atau akhlak kemanusiaan yang pada gilirannya
berperan dalam melestarikan hubungan yang baik dan harmonis di antara individu
manusia, sekaligus mengenyahkan setiap bentuk diskriminasi yang tidak semestinya.”
Maka, dengan inti ajaran tauhid (pengesaan Tuhan), pembinaan Islam
sesungguhnya meliputi berbagai sendi kehidupan manusia secara fundamental dan
integral dengan membekali umat dengan ilmu yang tidak terdikotomi sehingga akan
melahirkan insan-insan yang tangguh, mandiri, mampu hidup dan menghidupi
(19)
dunianya. Suatu upaya pembinaan yang sangat relevan bagi pembentukan insan kamil,
manusia seutuhnya. Oleh karenanya bagi umat Islam, ibadah shalat sebagai sarana
komunikasi antara makhluk dengan khaliknya akan diliputi oleh barakah, rahmat dan
ampunan. Mereka memanfaatkan kesempatan yang satu ini untuk mendekatkan diri
(taqarrub) kepada Allah SWT. dengan cara melaksanakan ibadah shalat yang telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. melalui muqarrabah dan yang senantiasa
sampai akhir hayat inilah umat Islam mendapatkan pembinaan menjadi insan kamil,
manusia sempurna.
Tidak banyak Sekolah Menengah Atas (SMA) di Indosesia yang
melaksanakan proses pembinaan kepribadian siswa-siswanya melalui implementasi
ibadah shalat. SMA Pesantren Unggul Al Bayan Sukabumi yang biasa disebut SMA
PU Al Bayan merupakan sekolah yang mengintegrasikan sains dan agama. Sistem
pengajaran SMA PU Al Bayan menekankan pada bidang sains matematika, fisika,
kimia, biologi, dan bahasa Inggris (MAFIKIBB) yang dengan sistem pengajaran
tersebut telah meluluskan alumninya 100% dan memasukkan rata-rata lebih dari 90%
alumninya ke perguruan tinggi negeri favorit namun dalam pembinaan siswa-siswanya
sangat menekankan praktik ibadah termasuk yang sunnah. Sekolah yang baru berdiri
sejak tahun 1999 tetapi sudah meraih prestasi yang cukup gemilang itu merupakan
salah satu sekolah yang memiliki sistem pembinaan dengan penerapan ibadah shalat
yang dievaluasi secara formatif dan intensif. Oleh karena itu penulis tertarik dan
berminat untuk meneliti tentang masalah yang terjadi di SMA PU Al Bayan yang ada
hubungannya dengan pembinaan kepribadian siswa SMA PU Al Bayan sejak Januari
2008.
(20)
Berdasarkan pada uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis memandang
implementasi perintah shalat dalam membina kepribadian siswa di SMA PU Al Bayan
merupakan suatu hal yang perlu dikaji dalam rangka mengembangkan pendidikan
keagamaan dalam pendidikan umum, terutama bila dikaitkan dengan jati diri
pendidikan umum itu sendiri sebagai pendidikan kepribadian, pendidikan
memanusiakan manusia, yang menekankan pada pembinaan kepribadian.
B. Perumusan Masalah
Untuk memperjelas masalah penelitian ini, diperlukan suatu fokus kajian
yang lebih terarah dan pembatasan masalah yang jelas, sehingga diharapkan penelitian
ini dapat menghasilkan suatu kajian yang mendalam, bukan hanya melihat fenomena
yang tampak saja namun ingin melihat lebih jauh dari itu. Untuk itu, penelitian ini
akan difokuskan pada upaya-upaya yang dilakukan oleh kepala sekolah dan guru-guru
dalam membina kepribadian siswa di SMA PU Al Bayan.
Oleh karena pembahasan masalah upaya pembinaan kepribadian masih sangat
luas, maka penelitian ini dibatasi pada aspek pembinaan kepribadian yang diupayakan
melalui implementasi ibadah shalat. Untuk mencapai batasan ini maka penelitian
difokuskan pada penalaran dan kontekstualisasi ibadah shalat yang dilaksanakan di
SMA PU Al Bayan.
Sebagai bahan acuan dalam penelitian ini, fokus dan pembatasan masalah
dipandu oleh pertanyaan pokok penelitian, “Bagaimanakah penalaran dan
(21)
kontekstualisasi ibadah shalat dalam membina kepribadian siswa di SMA PU Al
Bayan?”.
Pertanyaan pokok penelitian di atas dijabarkan ke dalam
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pembinaan kepribadian melalui implementasi
ibadah shalat yang diselenggarakan di SMA PU Al Bayan.
1.
Apa tujuan pembinaan perilaku yang hendak dicapai melalui ibadah shalat pada
siswa SMA ?
2.
Nilai-nilai dan sikap apa yang ditanamkan oleh sekolah dan guru-guru kepada
siswa di SMA melalui shalat ?
3.
Metode apakah yang digunakan dalam pembinaan kepribadian dan sikap siswa
melalui shalat di SMA ?
4.
Bagaimana proses pembinaan kepribadian dan akhlak siswa yang berlangsung
dalam shalat di SMA PU Al Bayan?
5.
Bagaimana
penciptaan
iklim
lingkungan
belajar
yang
mendukung
keberlangsungan penalaran dan kontekstualisasi ibadah shalat di SMA ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan masalah penelitian yang telah diuraikan di
atas secara umum bertujuan mendeskripsikan penalarandan kontekstuaisasi ibadah
shalat dalam membina kepribadian siswa di SMA PU Al Bayan Sukabumi.
Tujuan yang hendak dicapai secara rinci dalam penelitian ini adalah untuk:
1.
Mengetahui tujuan pembinaan perilaku yang hendak dicapai melalui ibadah shalat
(22)
2.
Mengidentifikasi nilai-nilai dan sikap yang ditanamkan oleh sekolah dan
guru-guru kepada siswa di SMA melalui shalat.
3.
Mengetahui metode yang digunakan dalam pembinaan kepribadian dan sikap
siswa melalui shalat di SMA.
4.
Mengetahui proses pembinaan kepribadian dan akhlak siswa yang berlangsung
dalam shalat di SMA PU Al Bayan.
5.
Mengetahui
penciptaan
iklim
lingkungan
belajar
yang
mendukung
keberlangsungan penalaran dan kontekstualisasi ibadah shalat di SMA.
D. Manfaat Penelitian
Apabila tujuan-tujuan di atas tercapai, diharapkan hasil penelitian ini dapat
diambil beberapa manfaat antara lain: Manfaat teoritis dan manfaat praktis. Adapun
manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian ini terutama bagi pengembangan
pendidikan Umum adalah sebagai berikut: 1) dikembangkannya konsep pembinaan
kepribadian yang berlandaskan nilai-nilai religi. 2) ditemukan gagasan-gagasan untuk
pengembangan pendidikan umum khususnya pada bidang pendidikan keagamaan. 3)
ditemukan gagasan-gagasan agama yang memperkuat konsep-konsep pendidikan
umum.
Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian
ini adalah manfaat bagi pendidikan agama, di antaranya: 1) mengoptimalkan
pelaksanaan pembinaan kepribadian. 2) digunakan untuk rekomendasi atau
pertimbangan bagi pendidikan di sekolah menengah atas. 3) sebagai rujukan bagi
program pengembangan pendidikan umum.
(23)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Kualitatif
Dalam suatu penelitian, metode yang digunakan merupakan hal penting yang
menentukan berhasil atau tidaknya penelitian tersebut. Oleh karena itu, metodologi
penelitian perlu ditetapkan berdasarkan sifat masalah, kegunaan dan hasil yang hendak
dicapai. Berdasarkan permasalahan yang akan diteliti, maka penelitian ini
menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan naturalistik.
Dalam bidang pendidikan, penelitian kualitatif sering disebut incuiri
naturalistik, karena peneliti mengamati, mencatat, mewawancarai secara bebas
berdasarkan keperluan di tempat kejadian di mana peneliti tertarik pada suatu kejadian
atau objek tertentu secara alami (wajar).
Data yang menjadi bahan dalam penelitian ini adalah: 1) hasil pengamatan
langsung peneliti terhadap peristiwa yang terjadi; 2) hasil wawancara dengan
orang-orang yang dimintai keterangannya dalam suasana wajar; dan 3) dokumen-dokumen
tertulis yang dikumpulkan oleh peneliti.
Pengumpulan data tersebut dilakukan secara alami (wajar) seperti dalam
percakapan sehari-hari, mengunjungi, makan-makan, dan melihat serta mengamati
perilaku seadanya tidak dibuat-buat dari objek yang diteliti.
Secara lebih rinci Nasution (1988:911) menjabarkan ciri-ciri pendekatan
penelitian naturalistik sebagai berikut : (1) sumber data ialah situasi yang wajar atau
natural setting; (2) peneliti sebagai instumen penelitian; (3) sangat deskriptif;
(4) mementingkan proses maupun produk, artinya memperhatikan bagaimana
(24)
perkembangan terjadinya sesuatu; (5) mencari makna di belakang kelakuan atau
perbuatan, sehingga dapat memahami masalah atau situasi; (6) mengutamakan data
langsung atau “First hand”; (7) triangulasi: data atau informasi dari satu pihak haruis
diteliti kebenarannya dengan cara memperoleh data itu dari sumber lain;
(8) menonjolkan rincian kontekstual; (9) subyek yang diteliti dipandang berkedudukan
sama dengan peneliti; (10) mengutamakan perspektif emic, artinya mementingkan
pandangan responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dari
segi pendiriannya; (11) verifikasi, antara lain melalui kasus yang bertentangan atau
negatif; (12) samping yang purposif, artinya sampelnya cukup sedikit dan dipilih
menurut tujuan penelitian; (13) mengutamakan “audit trail” (mengikuti jejak atau
melacak) untuk mengetahui apakah laporan penelitian sesuai dengan yang
dikumpulkan; (14) partisipasi tanpa mengganggu, untuk memproleh situasi yang
“natural” atau wajar; (15) mengadakan analisis sejak awal penelitian.
Berdasarkan permasalahan yang akan diteliti, serta merujuk pada pandangan
Nasution, tentang penelitian kualitatif dan ciri-cirinya tersebut di atas, maka penelitian
ini menggunakan suatu strategi kualitatif dengan pendekatan naturalistik, pendekatan
ini menuntut pemahaman yang lebih mendalam terhadap subyek yang diteliti, tidak
sekedar mencari jawaban atas pertanyaan “apa” dan “bagaimana”, tetapi juga mencari
jawaban atas pertanyaan “mengapa”. Oleh karena itu, penelitian ini tidak hanya
mendeskripsikan data, akan tetapi peneliti mencoba mengangkat makna-makna dan
prinsip-prinsip mendasar yang terdapat pada data-data penelitian.
Dalam penelitian kualitatif, analisis dan interpretasi penelitian sudah
dilakukan sejak mengumpulkan data di lapangan yang ditempuh melalui
(25)
langkah-langkah sebagai berikut: (1) penegasan pada fokus dan tujuan penelitian;
(2) mengamati dan mencatat peristiwa-peristiwa yang terkait dengan data-data yang
diperlukan seperti dalam peristiwa serah terima orang tua siswa dengan kepala
sekolah, proses belajar mengajar di kelas, evaluasi ubudiyah ba’da maghrib di masjid,
kegiatan pembinaan di asrama, dan lain sebagainya; (3) mengumpulkan
dokumen-dokumen tertulis seperti laporan hasil Raker, jadwal evaluasi ubudiyah, kurikulum
pengajaran dan kepesantrenan, peraturan-peraturan sekolah, tata tertib di asrama yang
tertulis, dan pemotretan beberapa kegiatan atau peristiwa atau lokasi-lokasi yang
dianggap menunjang; (4) memasukkan data-data yang telah diperoleh ke dalam
bagian-bagian tertentu sesuai dengan sub permasalahan; (5) mengembangkan
pertanyaan penelitian untuk mempertajam analisis dan penafsiran data; (6) membuat
penafsiran secara umum terhadap data yang diperoleh sesuai dengan gagasannya;
(7) hasil analisis dan penafsiran, kemudian dibuat suatu simpulan sebagai temuan dari
penelitian ini.
Fokus masalah dalam penelitian ini adalah masalah pembinaan kepribadian
manusia utuh melalui implementasi ibadah shalat di SMA Pesantren Unggul Al Bayan
Sukabumi. Sesuai dengan fokus penelitian ini, maka data-data objektif yang telah
dideskripsikan itu selanjutnya dianalisis dengan cara mengangkat makna-makna
esensial dari gejala-gejala yang bersifat alami (wajar).
Dengan cara di atas berarti pengolahan data itu tidak berhenti sampai
pendeskripsian data saja, akan tetapi dilakukan penelusuran makna terhadap fenomena
yang nampak secara wajar untuk diangkat maknanya dengan mempertimbangkan
berbagai aspek yang melatarbelakangi munculnya data tersebut.
(26)
Demikian halnya dengan penelitian ini, dalam mengambil nilai-nilai esensial,
peneliti melakukan penelusuran makna-makna yang terkandung pada gelaja-gejala
alami (wajar) dengan mempertimbangkan aspek budaya, historis, geografis, dan
nilai-nilai yang berlaku serta diyakini oleh objek penelitian.
B. Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu:
Pertama, sumber data primer (utama) adalah sebagai berikut: (1) situasi alami
(wajar) yang terjadi di lingkungan sekolah itu sendiri baik situasi fisik maupun
nonfisik; (2) kepala sekolah dan guru sebagai nara sumber di SMA PU Al bayan;
(3) para guru terutama yang dilibatkan dalam pembinaan siswa sehari-hari. Data–data
yang diperoleh dari mereka berupa hasil pengamatan peneliti terhadap
peristiwa-peristiwa pendidikan yang terjadi saat itu, hasil wawancara dengan berbagai pihak
dalam situasi dan kondisi.
Kedua. sumber data sekunder (penunjang), yaitu segala sesuatu yang
dianggap menunjang data-data primer di atas, antara lain: (1) dokumen-dokumen
resmi secara tertulis tentang sekolah Al Bayan seperti AD ART, kebijakan, hasil rapat
kerja secara tertulis; (2) dokumen-dokumen tidak resmi, seperti peraturan-peraturan
sekolah yang tertulis dan dipampangkan untuk dibaca dan diketahui oleh semua siswa,
maupun yang tidak dipampangkan namun para santri harus mengetahuinya;
(3) wawancara dengan masyarakat setempat yang tidak secara langsung terlibat dalam
(27)
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1.
Pengamatan langsung, yang dimaksud pengamatan langsung adalah peneliti
memperhatikan secara seksama atau merekam secara langsung peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada saat itu di tempat tertentu, kemudian peneliti mencatat peristiwa
itu secara utuh. Peristiwa-peristiwa yang dicatat itu adalah peristiwa yang
berkaitan dengan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini seperti
mengamati peristiwa serah terima siswa dari orang tua kepada pihak sekolah
dalam hal ini adalah guru dan kepala sekolah, proses atau kegiatan-kegiatan
ubudiyah shalat, dan lain sebagainya.
2.
Wawancara; wawancara ini ditujukan pada perorangan. Ciri khas wawancara ini
adalah penekanannya pada hubungan perorangan yang kuat antara pewawancara
dan yang diwawancarai, sehingga hal-hal yang sifatnya pribadi sekalipun dapat
terungkap (Winarno Surakhmad, 1983:63).
Dalam wawancara diusahakan mengungkap data yang objektif dan menghindarkan
diri dari bias. Dalam penelitian ini pihak yang diwawancarai dengan bantuan dua
mitra di asrama dan seorang mitra di masjid meliputi: kepala sekolah, guru-guru,
dan para alumni, serta siswa-siswa itu sendiri. Sebagaimana dianjurkan oleh J.
Allen William Jr. (dalam Ikhsan Bunyamin, 1983:79), bahwa:
“Sumber bias ini dapat dikurangi bila pewawancara tidak membiarkan
responden werasakan seperti ia melihat pendapatnya sendiri ke arah materi
pokok. Hal ini tidak mencegah responden untuk menduga pendapat
pewawancara, tetapi setidaknya ia tidak akan memberikan isyarat atau
tanda-tanda pada responden disebut objektif. Dengan menampilkan dua
ciri tampilan peran ini secara bersama-sama, proposisi umumnya adalah
(28)
bahwa seorang pewawancara yang baik harus mampu untuk menciptakan
rapport yang baik dan juga mempertahankan objektivitas”.
3.
Observasi partisipasi, artinya peneliti, mengikuti kegiatan-kegiatan tertentu yang
dianggap menunjang pada data yang ingin diungkap, seperti pada acara pengajian
umum di masjid atau evaluasi ubudiyah bada maghrib, dan kegiatan mentoring hari
jumat untuk melihat langsung bagaimana proses pembinaan kepribadian di sekolah.
4.
Studi literatur dan dokumentasi, studi ini dilaksanakan untuk memperoleh data
teoritis sekaligus memperoleh data kongkrit berupa dokument-dokumen tertulis,
foto-foto dan hasil rekaman.
Adapun perlengkapan yang dibutuhkan dalam pengumpulan data ini di
antaranya adalah: (1) pedoman wawancara untuk semua responden, meliputi kepala
sekolah, para guru, dan siswa serta alumni, dan lain-lain; (2) pedoman observasi atau
lembar pengamatan. Lembar pengamatan yang diberi nama catatan untuk data kasar,
dan catatan lapangan untuk data yang sudah disusun, gunanya untuk menuliskan
situasi dan kondisi lingkungan yang terjadi pada saat peristiwa berlangsung;
(3) kamera.
Untuk objektivitas data yang dikumpulkan, di samping mewawancarai
beberapa responden pilihan (informasi) juga peneliti harus mengikuti beberapa
kegiatan tertentu secara langsung seperti mengikuti rapat-rapat unit kegiatan (UK)
yang membahas program-porgram yaang berhubungan dengan pembinan kepribadian,
mengikuti evaluasi ubudiyah, mengikuti kegiatan mentoring, mengamati kegiatan
pembinaan di asrama, dan lain-lain, gunanya untuk mengetahui bagaimana pembinaan
kepribadian siswa dan penerapan ibadah shalat yang berlangsung.
(29)
D. Langkah-langkah Pengumpulan Data
Secara garis besarnya langkah-langkah pengumpulan data dalam penelitian
kualitatif yang akan dapat diperoleh melalui tahapan-tahapan berikut ini :
1. Orientasi
Kegiatan-kegiatan yang tergolong dalam tahap orientasi ini adalah:
Pertama, mencari informasi tentang sekolah SMA PU Al Bayan yang sifatnya masih
umum, caranya membaca literatur tentang sekolah, membaca rekomendasi dari hasil
penelitian terdahulu, mengamati suasana sekolah, dan mewawancarai beberapa guru
dengan maksud untuk memperoleh fokus penelitian.
Kedua, mengadakan pra survey ke beberapa sekolah menengah atas berasrama untuk
menentukan masalah dan lokasi penelitian.
2. Eksplorasi
Dalam penelitian ini yang termasuk tahap eksplorasi adalah: a) mencari data
yang sesuai dengan fokus penelitian; b) memilih sumber data yang terandalkan;
c) menyusun pedoman umum (tentatif) cara memperoleh data; d) memperoleh data
sesuai dengan fokus; e) mendokumentasikan data yang diperoleh dalam bentuk:
(1) catatan, yaitu catatan yang dibuat secara singkat dan padat waktu berada di
lapangan, catatan ini untuk membantu ingatan peneliti pada waktu menulis laporan
lapangan, disamping buku catatan, peneliti menggunakan alat bantu seperti handicam
dan camera digital; (2) catatan lapangan, yaitu suatu tulisan lengkap sebagai hasil
wawancara, observasi, dan studi dokumentas, laporan ini dibuat segera setelah pulang
dari lapangan, dan inilah yang dijadikan data pokok penelitian.
(30)
3. Mengadakan triangulasi
Tahap ini merupakan tahap pemeriksaan keabsahan data yang telah diperoleh
dengan memanfaatkan sesuatu yang lain untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data itu (Lexi Meleong, 1995:195). Triangulasi yang dilakukan
dalam studi ini melalui teknik sebagai berikut: a) membandingkan hasil wawancara
dengan hasil observasi/pengamatan dan dokumentasi yang terkait; b) membandingkan
hasil wawancara pada waktu diwawacara tatkala dengan orang lain dengan hasil dari
hasil wawancara pada waktu sendirian (pembicaraan empat mata); c) membandingkan
keabsahan data yang diperoleh dari hasil wawancara pengamatan langsung dengan
pendapat dan pandangan orang-orang lain di luar sekolah seperti pendapat tokoh
masyarakat, dan pemerintah setempat, d) membandingkan data-data yang diperoleh
dari sumber yang sama dan pendekatan yang sama dalam rentang waktu yang cukup
lama.
4. Audit trail
Tahap ini sengaja dipersiapkan untuk membuktikan kebenaran data yang
disajikan dalam laporan penelitian ini. Setiap data yang ditampilkan disertakan
sumbernya, hal ini dilakukan untuk memudahkan penelusuran kebenaran data tersebut.
Untuk menjaga etika penelitian dan untuk menjaga hal-hal yang dapat
merugikan lembaga ataupun indvidu tertentu maka data-data yang sifatnya penunjang
dari pihak lembaga kebenaran untuk mengungkapkannya, maka peneliti tidak
menelusuri data tersebut, seperti masalah keuangan.
(31)
E. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif instumen penelitian yang utama adalah peneliti itu
sendiri. (Nasution, 1988:34). Artinya peranan dan keterlibatan langsung peneliti di
lapangan sangat menentukan hasil penelitian, karena dalam penelitian kualitatif
data-data yang sifatnya primer harus langsung didapatkan oleh peneliti sendiri tidak boleh
diwakilkan kepada orang lain. Hal ini sangat penting artinya, karena hal-hal yang
berkenaan dengan pengamatan situas dan suasana yang terjadi di lapangan akan sulit
untuk dianalisis secara mendalam oleh peneliti bila data-data pokok penelitiannya
diperoleh dari tangan ke dua atau ke tiga, karena dalam analisis data diperlukan
penghayatan langsung dari pihak peneliti. Akan tetapi bila penelitian berlangsung
selama waktu tertentu, dan telah diperoleh fokus yang lebih jelas maka pengumpulan
data-data yang sifatnya penunjang yang dijaring melalui angket atau mencari
dokumen-dokumen tertulis, dan wawancara yang lebih terstruktur, untuk mempercepat
perolehan data bisa saja peneliti meminta bantuan pada pihak lain.
Dalam menjaring data, peneliti harus berpedoman pada prinsip-prinsip dasar
sebagai berikut: (1) peneliti berusaha menyesuaikan diri terhadap semua situasi;
(2) peneliti memperhatikan setiap situasi secara totalitas, respons yang spontan dari
objek peneliti dapat mempertinggi tingkat kredibilitas penelitian; (3) peneliti harus
peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan; dan (4) peneliti
berusaha memahami dan menyelami objek penelitian. Dalam penelitian kualitatif,
analisis dan interpretasi peneliti sudah dilakukan sejak pengumpulan data awal dari
lapangan. Tahap akhir dari analisis data ini ialah mengadakan pemeriksaan keabsahan
(32)
data. Setelah selesai tahap ini, mulailah tahap penafsiran data, hasil sementara menjadi
teori substantif dengan menggunakan metode tertentu.
F. Pelaksanaan Penelitian
Secara garis besar penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu sebagai
berikut:
1. Orientasi
Tahap ini meliputi: (a) orientasi pendahuluan, yakni sebelum disain penelitian
disusun, peneliti mengumpulkan informasi tentang sekolah melalui studi literatur;
(b) penjajagan ke beberapa sekolah menengah atas (SMA) boarding school atau
pesantren untuk belanja masalah; (c) menyelesaikan persyarakat administratif meliputi
penyelesaian surat izin kepada pihak-pihak terkait.
2. Mengumpulkan data di lapangan
(a) Setelah perizinan (terlampir) keluar, secara maraton selama dua bulan, dari
tanggal 1 Agustus sampai 26 September 2008 peneliti berada di lapangan. Dua
minggu pertama peneliti tinggal di dalam komplek sekolah bersama-sama siswa.
(b) Setelah peneliti mengenal dari dekat kehidupan di SMA PU Al Bayan,
maka pada minggu ke tiga sampai minggu ke delapan, peneliti tinggal di luar komplek
sekolah yang jaraknya sangat berdekatan dengan komplek pesantren. Hal ini dilakukan
dengan alasan untuk menghindari bias dan ketenangan dalam menyusun kembali
data-data yang telah dikumpulkan, karena bila peneliti terus berada di dalam komplek dan
bergaul dengan para siswa dikhawatirkan peneliti terpengaruh oleh situasi dan kondisi
lingkungan sekolah dan data-data yang telah terkumpul hilang atau tercecer. Selama
(33)
dua bulan peneliti berada di lapangan, data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini
berhasil dikumpulkan.
3. Pengolahan data penelitian
Pengolahan data penelitian meliputi langkah-langkah berikut ini: (a) display
data (b) mendeskripsikan data; (c) menganalisis data; (d) menafsirkan data;
(e) menarik kesimpulan; (f) penyusunan laporan akhir penelitian, sistematika
penyusunan hasil penelitian dan pengolahan data tersebut disesuaikan dengan
langkah-langkah penyusunan laporan dalam penelitian kualitatif.
Table 1: Jadwal penelitian
Kegiatan 2008 2009
7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 10 11 12
Orientasi
Perizinan
Pengumpulan
data
Pengolahan
data
Menyusun
laporan akhir
Pengajuan
ujian thp.I
Ujian thp.I
Pengajuan
ujian thp.II
Ujian thp.II
Keterangan :
: Rencana
: Pelaksanaan
(34)
G.
Asumsi Penelitian
Penelitian ini didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut:
Pertama, setiap orang memiliki potensi dan kecenderungan untuk beragama;
ikrar manusia dihadapan Tuhannya menunjukkan bahwa setiap orang yang dilahirkan
berada dalam keadaan fitrah. Fitrah sebagai pembawaan sejak lahir antara lain berupa
potensi religius seperti yang difirmankan Allah SWT. Dalam surat Al-Araf:172 yang
artinya:”Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu keturunan anak-anak Adam sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka seraya berfirman:”Bukankah Aku ini
Tuhanmu? Mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan kami); kami bersaksi”. Ikrar
pengetahuan tersebut membuktikan bahwa tidak ada manusia yang memiliki
kecenderungan untuk tidak mengakui Allah SWT. sebagai Tuhannya. Semua ada
kecenderungan untuk mengakui Allah SWT. sebagai Tuhannya Yang Esa. Siswa SMA
Pesantren Unggul Al-Bayan Sukabumi adalah bagian dari mahluk-Nya yang terikat
oleh ikrar tersebut.
Kedua, sekolah merupakan bagian dari lingkungan kehidupan yang sangat
penting dalam kehidupan individu. Tidak hanya kerangka intelektual yang dapat
dikembangkan melalui lingkungan sekolah, tetapi mengembangkan keseluruhan
kepribadian siswa selain membina/membimbing dan meningkatkan jati diri siswa serta
memperkaya nilai-nilai moral.
Ketiga, penelitian ini dilakukan di SMU PU Al Bayan dengan asumsi bahwa
fase yang dialami mereka adalah fase menjelang akhir pubertas (adolesen). Fase ini
dipandang sangat penting dalam kehidupan individu karena mulai memasuki saat
harus mengambil keputusan bagi masa depannya. Menurut Kenny dan Kenny
(35)
(1991:310) fase umur 16 sampai 18 tahun merupakan masa untuk mencari jatidiri,
kesadaran moral makin diperluas, bahkan mungkin mereka sampai pada keempat
kesadaran moral (Kohlberg) yakni kesadaran moral dari sebagian orang dewasa.
Karena itu transformasi nilai religius dilingkungan SMA PU Al Bayan akan sangat
penting bagi perkembangannya pada tahap selanjutnya.
Keempat, ibadah shalat yang diterapkan di berbagai sekolah terutama di SLTA
selain merupakan ajaran universal yang tertuang dalam nilai-nilai dasar, kewajiban
bagi individu muslim, bisa diasumsikan sebagai proses dan tahap pembinaan
kepribadian siswa yang sangat menentukan untuk masa depannya sejalan dengan
pendapat Djahiri (1985:58) bahwa setiap kreativitas / kegiatan semuanya mempunyai
nilai. Pelaksanaan ibadah shalat dalam konteks pendidikan merupakan sarana
pembinaan sikap, perilaku, dan kepribadian individu yang melaksanakannya.
Kelima, dengan acuan nilai-nilai Islam universal dan kewajiban beragama akan
dapat memperkuat kontekstualisasi ibadah shalat yang berpengaruh terhadap
pembinaan kepribadian manusia utuh. Semuanya jelas sesuai dengan ajaran Islam,
sehingga perilaku seseorang itu dilandasi niat yang ikhlas ditaati sebagai ibadah
kepada Allah SWT.
Kajian tentang pembinaan kepribadian dalam perspektif Islam telah banyak
dimunculkan kembali di berbagai khazanah, sehingga diharapkan mampu menjawab
tantangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang semakin modern dan humanis
terutama dalam bidang pendidikan. Islam memiliki makna lebih dari sekedar sebagai
“agama untuk akhirat” dalam pemahaman sempit melainkan juga sebagai satu-satunya
jalan hidup lurus yang diridlai Allah SWT. Islam mengajarkan sikap hidup total yang
(36)
mendatangkan barakah atau memiliki implikasi positif bagi setiap mukmin yang taat
beribadah dalam menjalani hidup dan kehidupan di dunia, sehingga orang-orang yang
tidak mengikuti ajaran ini kelak tergolong dalam orang-orang yang merugi.
Ibadah dalam Islam bukan sekedar persembahan untuk Allah dari hamba-Nya
dalam pemahaman sempit, melainkan juga memberikan hikmah besar bagi
perkembangan seluruh aspek diri dan kepribadian setiap mukmin yang
menjalankannya secara benar dan ikhlas. Maka, ibadah shalat yang telah diperintahkan
oleh Allah SWT. dan telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. sudah menjadi ketetapan
ibadah yang berfungsi sebagai sebagai pembinaan kepribadian yang penuh dengan
nilai yang mengarah pada kepribadian kaffah.
H. Definisi Operasional
1. Kepribadian
Istilah-istilah yang dikenal dalam kepribadian adalah: Mentality
yaitu:
Situasi
mental
yang
dihubungkan
dengan
kegiatan
mental
atau
intelektual." Pengertian secara definitif yang dikemukakan dalam Oxford
Dictionary. (1) Mentality: (a) Intellectual Power, (b) Integrated activity of
the organism dan (2) Personality, menurut Wibters Dictionary: (a) The
totality of personality's characteristic. (b) An integrated group of constitution
of trends in behaviour tendencies act. (3) Individuality adalah: Sifat khas
seseorang yang menyebabkan seseorang mempunyai sifat yang berbeda dari
orang lain. (4) Identity yaitu: Sifat kedirian sebagai suatu kesatuan dari
sifat-sifat yang mempertahankan dirinya terhadap sesuatu dari luar (Unity and
(37)
Kepribadian, menurut Horton (1982:12) adalah keseluruhan sikap, perasaan,
ekspresi, dan tempramen seseorang. Sikap, perasaan, ekspresi, dan tempramen
tersebut akan terwujud dalam tindakan seseorang jika dihadapkan pada situasi tertentu.
Setiap orang mempunyai kecenderungan berperilaku yang baku, atau berpola dan
konsisten, sehingga menjadi ciri khas pribadinya. Kepribadian adalah struktur dan
proses psikologis yang tetap yang menyusun pengalaman-pengalaman individu serta
membentuk berbagai tindakan dan respons individu terhadap lingkungan tempat ia
hidup. Demikian individu akan bertindak dan memberi respons sebagai suatu kesatuan
yang sistem fisik dan psikis terangkat dan saling mempengaruhi serta menentukan
perilaku dan responsnya dengan cara yang berbeda dari orang lain.
Wetherington
(dalam
Ramayulis,
1994:188-192)
menyimpulkan
definisi-definisi
yang
telah
dikemukakan
Allport,
Mark
A.
May;
Woodworth; L.P. Titorp; dan C.H. Judd, bahwa kepribadian mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut: (1) manusia karena keturunannya mula sekali
hanya merupakan individu dan kemudian barulah merupakan suatu pribadi
karena pengaruh belajar dan lingkungan sosialnya; (2) kepribadian adalah
istilah untuk menyebutkan tingkah laku seseorang secara terintegrasi dan
bukan hanya beberapa aspek saja dari keseluruhan itu; (3) kata kepribadian
menyatakan pengertian tertentu saja yang ada pada pikiran orang lain dan
isi
pikiran
itu
ditentukan
oleh
nilai
perangsang
sosial
seseorang;
(4) kepribadian tidak menyatakan sesuatu yang bersifat statis, seperti bentuk
badan atau ras tetapi menyertakan keseluruhan dan kesatuan dari tingkah
laku seseorang; dan (5) kepribadian tidak berkembang secara pasif saja,
(38)
setiap orang mempergunakan kapasitasnya secara aktif untuk menyesuaikan
diri kepada lingkungan sosial.
Fadhil Al-Djamaly (dalam Arifin, 1986:170) menggambarkan kepribadian
muslim sebagai muslim yang berbudaya, yang hidup bersama Allah dalam tingkah laku
hidupnya, dan tanpa akhir ketinggiannya. Dia hidup dalam lingkungan yang luas tanpa
batas ke dalamnya, dan tanpa akhir ketinggiannya. Kepribadian muslim seperti
digambarkan dia atas mempunyai hubungan yang erat dalam suatu lingkaran hubungan
yang meliputi: (1) Allah, (2) Alam, dan (3) Manusia. Dengan kepribadian muslim
manusia harus mengembangkan dirinya dengan bimbingan petunjuk Ilahi, dalam rangka
mengemban tugasnya khalifah Allah di muka bumi, dan selalu melaksanakan kewajiban
sebagai hamba Allah melakukan pengabdian kepada-Nya.
Berangkat dari teori kepribadian muslim di atas, maka kita dapat membagi
kepribadian muslim tersebut kepada dua macam yaitu:
Pertama,
kepribadian
kemanusiaan
(basyariah);
terdiri
dari
dua
bagian yaitu: (a) kepribadian individu; yang meliputi ciri khas seseorang dalam
bentuk sikap dan tingkah laku serta maupun intelektual yang dimiliki
masing-masing secara khas sehingga ia berbeda dengan orang lain. Menurut pandangan
Islam memang manusia mempunyai dan memiliki potensi yang berbeda
(Al-Farq Al-Fardiah) yang meliputi aspek fisik dan psikis; dan (b) Kepribadian
ummah: yang meliputi ciri khas kepribadian muslim sebagai suatu ummah;
bangsa/negara) muslim yang meliputi sikap dan tingkah laku ummah muslim
yang berbeda dengan ummah lainnya, mempunyai ciri khas kelompok dan
(39)
memiliki kemampuan untuk mempertahankan identitas tersebut dari pengaruh
luar, baik ideologi maupun lainnya yang dapat memberi dampak negatif.
Kedua,
kepribadian
samawi
(kewahyuan)
yaitu
corak
kepribadian
yang dibentuk melalui petunjuk wahyu dalam kitab suci Al-Qui an, yaitu:
kepribadian muslim sebagai individu dan sebagai suatu ummah, terintegrasi
dalam bentuk suatu pola yang sama. Dalam hal ini dasar teori kepribadian
muslim, baik sebagai individu maupun sebagai suatu ummah yang satu, tidak
berdikhotomi antara aspek basyariah dan aspek samawi. Dikhotomi terletak
hanya dalam pembagian saja, namun dalam dasar dan tujuan pembentukan
keduanya terintegrasikan kepada dasar yang sama, serta tujuan yang satu yaitu
menjadi pengabdi Allah SWT yang taat, Oleh karena itu menurut Syaltut:
‘Karena
kepribadian
perseorangan
dan
ummah
belum
dapat
menjamin
terwujudnya perilaku mulia sesuai dengan tuntutan hidup duniawi ukhrawi.
Oleh karena itu diperlukan kepribadian samawi atau Islami, dimana perilaku
lahiriah dan rohaniah manusia berada di dalam nilai-nilai Ketuhanan yang
positif dan konstruktif yang berorientasi kepada kesejahteraan dan kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat’.
2. Pembinaan
Pembinaan berasal dari kata “bina” yang mendapat awalan ke dan akhiran
an, yang berarti bangun/bangunan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:
117), pembinaan berarti membina, memperbaharui, atau proses, perbuatan, cara
membina, usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan
berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Badudu dan Zain (2001:185)
(40)
juga menjelaskan bahwa asal kata pembinaan adalah ‘bina’ yang berarti bangun dan
pembinaan berarti membangun atau pembaruan, pemeliharaan, pengembangan,
pembentukkan dan penyempurnaan. Pembinaan tidak dapat disamakan dengan
pelatihan. Pelatihan menurut Amstrong (1991) adalah “ Training is A planned process
to modify attitude,knowledge or skill behavior through learning experience to achieve
effective peformance in an activity or of activities’
.Pelatihan adalah proses yang
direncanakan untuk mengubah sikap, pengetahuan atau keterampilan perilaku melalui
pengalaman belajar untuk mencapai peformance efektif dalam suatu kegiatan atau
dalam banyak kegiatan
. Pelatihan adalah suatu proses terrencana untuk mengubah sikap, pengetahuan, kecakapan berperilaku melalui pembelajaran pengalaman untuk mendapatkan penampilan yang efektif dalam suatu aktivitas atau berbagai aktivitas. Pekatihan lebih menekankan pemberian keterampilan tertentu.Pembinaan tidak juga
disebut sebagai pendidikan yang dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 bermakna
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan diri dan masyarakat. Pengertian
pendidikan sangat luas, sementara pembinaan merupakan bagian dari bentuk
pendidikan tersebut. Pembinaan juga berbeda dengan istilah bimbingan. Bimbingan
diartikan sebagai
Bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematiskepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai
kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk
menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self
(41)
dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan
lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat. Demikian bimbingan menurut
Djumhur dan Moh. Surya (dalam Junaidi, 2009) yang lebih menekankan pada proses
pemberian bantuan. Berbeda dengan pendidikan, pelatihan, ataupun bimbingan,
pembinaan lebih menekankan pada pembaruan, pemeliharaan, pengembangan,
pembentukkan dan penyempurnaan. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan
pembinaan adalah segala bentuk upaya yang dilakukan oleh komponen-komponen
fungsional yang ada di SMA PU Al Bayan dalam membentuk sikap, perilaku, dan
kepribadian utuh yang sejalan dengan visi dan misi.
3.
Pembinaan kepribadian
Pembinaan ialah upaya didalam mengembangkan pengetahuan, ketrampilan,
sikap dan rohani yang ditujukan bagi tercapainya manusia yang terampil cakap dan
terpupuk sikap mental positif seutuhnya, dimana dalam pengembangannya
diselaraskan dengan nilai-nilai yang dianut. (Munandar, 1987:92). Maksudnya adalah
suatu usaha atau proses yang dilakukan secara sadar untuk mengembangkan atau
meningkatkan kualitas kemampuan dan potensi pribadi.
Pembinaan kepribadian atau pembentukkan kepribadian dalam Islam adalah
terwujudnya perilaku mulia sesuai dengan tuntunan Allah SWT. yang dalam istilah
lain disebut akhlak yang mulia (akhlakul karimah). Menurut DR. Abdullah Darraz
dalam Ramayulis (1994:196-197), bahwa pendidikan akhlak berfungsi sebagai
pemberi nilai-nilai Islam dalam diri seseorang atau ummah, akan terbentuklah
kepribadiannya sebagai pribadi muslim yang dilakukan melalui: (1) pranatal education
atau tarbiyah qalb al-wiladah (pendidikan secara tidak langsung atau in-direct),
(42)
(2) education by another atau tarbiyah ma’a ghairih (pendidikan secara langsung oleh
orang lain), dan (3) self education atau tarbiyah al-nafs (pendidikan secara pribadi
tanpa bantuan orang lain).
Sedangkan pembinaan kepribadian dalam konteks pendidikan di SMA PU Al
Bayan adalah proses pembentukan sikap dan perilaku siswa menjadi karakter-karakter
yang mencerminkan kepribadian sesuai visi dan misi, yaitu akhlakul karimah.
4.
Penalaran
Wikipedia (2009), penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari
pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan
pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi–
proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap
benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui.
Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar
penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut
dengan konklusi (conclusion). Sedangkan hubungan antara premis dan konklusi
disebut konsekuensi (consequence).
Ada dua jenis metode dalam menalar yaitu induktif dan deduktif. Metode
berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari
hal-hal khusus ke umum. Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif.
Sementara metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal
yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya
yang khusus. Penalaran juga merupakan aktivitas pikiran yang abstrak, untuk
mewujudkannya diperlukan simbol. Simbol atau lambang yang digunakan dalam
(43)
penalaran berbentuk bahasa, sehingga wujud penalaran akan berupa argumen.
Kesimpulannya adalah pernyataan atau konsep adalah abstrak dengan simbol berupa
kata, sedangkan untuk proposisi simbol yang digunakan adalah kalimat (kalimat
berita) dan penalaran menggunakan simbol berupa argumen. Argumenlah yang dapat
menentukan kebenaran konklusi dari premis. Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa
tiga bentuk pemikiran manusia adalah aktivitas berpikir yang saling berkait. Tidak ada
ada proposisi tanpa pengertian dan tidak akan ada penalaran tanpa proposisi.
Bersama–sama dengan terbentuknya pengertian perluasannya akan terbentuk pula
proposisi dan dari proposisi akan digunakan sebagai premis bagi penalaran. Atau
dapat juga dikatakan untuk menalar dibutuhkan proposisi sedangkan proposisi
merupakan hasil dari rangkaian pengertian.
Jika seseorang melakukan penalaran, maksudnya tentu adalah untuk
menemukan kebenaran. Kebenaran dapat dicapai jika syarat–syarat dalam menalar
dapat dipenuhi. Suatu penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki
seseorang akan sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang memang salah. Dalam
penalaran, pengetahuan yang dijadikan dasar konklusi adalah premis. Jadi semua
premis harus benar. Benar di sini harus meliputi sesuatu yang benar secara formal
maupun material. Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang tepat, diturunkan
dari aturan–aturan berpikir yang tepat sedangkan material berarti isi atau bahan yang
dijadikan sebagai premis tepat.
Berkaitan dengan Ibadah shalat di SMA PU Al Bayan, penalaran dapat
diartikan sebagai proses berfikir siswa tentang ibadah shalat yang dibentuk oleh
sekolah. Proses berfikir tersebut bertolak dari upaya-upaya pihak sekolah dalam hal ini
(1)
236
siswa sebagai inputnya, menyiapkan perangkat guru dan Pembina yang kompeten, menggunakan metode yang tepat, penciptaan instrument penunjang pembinaan baik yang bersifat sarana fisik, lingkungan social, maupun lingkungan dan iklim budaya. Seluruh komponen pembinaan tersebut dipersiapkan sehingga kondusif untuk berlangsungnya internalisasi ibadah shalat baik dalam proses belajar mengajar formal di kelas maupun internalisasi ibadah shalat dalam kehidupan sehari-hari.
B. Saran
Beberapa saran yang perlu disampaikan oleh penulis kepada pengelola dan pendidik di SMA PU Al Bayan Sukabumi berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut.
1. Penalaran dan kontekstualisasi ibadah shalat dalam membina kepribadian siswa di SMA PU Al Bayan Sukabumi dapat berjalan baik karena ditopang oleh komponen sekolah, di antaranya kepala sekolah, guru-guru, siswa, lingkungan, dan sistem pendidikan. Kerjasama antar komponen pendidikan mutlak diperlukan dalam mencapai visi dan tujuan pembinaan. Berkaitan dengan dengan faktor-faktor penunjang jalannya implementasi perintah shalat ini, maka perlu peningkatan kerjasama antara komponen pendidikan di sekolah agar pencapaian terbentuknya pribadi-pribadi seimbang yang dicita-citakan lebih mudah terrealisasi.
2. Kualitas ibadah ditentukan oleh pemahaman seseorang terhadap hakikat ibadah itu sndiri. Pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap perintah shalat berpengaruh pada keikhlasan dalam mengamalkan ibadahnya. Untuk meningkatkan kualitas ibadah siswa, khususnya ibadah shalat seyogyanya
(2)
237
wawasan siswa tentang keutamaan ibadah shalat dikembangkan dengan keteladanan dari berbagai komponen pendidikan..
3. Kepribadian seorang muslim tercermin dalam tindakan yang bercirikan akhlakul karimah. Membentuk kepribadian siswa dengan pengamalan ibadah shalat lebih efektif dengan menerapkan disiplin yang dikontrol dan dievaluasi efektivitasnya sebagaimana sebuah perencanaan matang, organisasi yang baik, pelaksanaan program yang teratur, kontrol program yang berkesinambungan dan adanya evaluasi program. Berkaitan dengan hal ini, masih adanya pelanggaran shalat dan tingkah laku siswa yang belum mencerminkan kepedulian terhadap sesama dan lingkungan menunjukkan perlunya evaluasi mengenai efektivitas pelaksanaan tata-tertib pelaksanaan shalat ini.
4. Pemahaman pendidik terhadap keadaan siswa mutlak diperlukan. Sanksi yang diberlakukan akan berdampak positif manakala mampu memberikan rasa jera, kesadaran, bagi pelanggar dan menjadi pelajaran bagi yang lainnya. Dengan adanya pelanggaran setiap hari menunjukkan perlunya evaluasi tentang bentuk yang akan diberikan pada pelanggar tata-tertib shalat.
5. Lingkungan sekolah sudah cukup kondusif untuk melatih siswa melaksanakan ibadah shalat dengan baik karena tidak ada pengaruh negatif lingkungan masyarakat di luar kampus. Masyarakat pesantren merupakan masyarakat kecil yang diciptakan untuk mencetak santri, pewaris ulama yang memiliki keteguhan iman dan ibadah, tidak mudah tergoda dengan kepentingan atau kesenangan duniawi. Untuk mengoptimalkan fungsi masyarakat sekolah sebagai masyarakat pesantren, perlu dilengkapi fasilitas sarana dan prasarana kepesantrenan, dengan
(3)
238
demikian kehidupan pesantren akan lebih terasa seperti dalam kehidupan bermasyarakat yang sebenarnya.
6. Bagi lembaga-lembaga pendidikan umum baik sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi agar selalu membina kepribadian peserta didiknya secara seimbang antara penanaman nilai-nilai agama khususnya dalam beribadah kepada Allah SWT. dalam hal ini SMA PU Al Bayan dapat menjadi salah satu model atau contoh sekolah sains dengan pembinaan kepribadian seimbang melalui pengamalan dan penghayatan agama.
7. Pembinaan kepribadian peserta didik bukanlah hanya merupakan tanggungjawab guru agama, PKn, BK, Dosen MKDU saja. Tetapi merupakan tanggungjawab seluruh pendidik. Seluruh elemen pendidikan di setiap lembaga harus mampu memberkan contoh yang baik bagi peserta didik dalam pelaksanaan ibadah keagamaan, terutama shalat dalam Islam, dengan demikian dapat menjadi contoh yang baik bagi perkembangan kepribadian peserta didik yang bercirikan akhlakul karimah.
8. Diharapkan ada penelitian lebih lanjut mengenai pembinaan kepribadian melalui implementasi perintah shalat untuk memperkaya khazanah keilmuan dan pencapaian akhlakul karimah.
(4)
239 !
" #" $ % &
' ($ )
* " + , -. ! " /
+ # 0 $
+ 1 , -2 # ! !$ % ! & % # 3
4$ 5 + 0 $ , 6 ' '
(# ) 0 1 7 8 (( (
% % (
, 6 ! * / # + $
+ 9 . + , + !
: + , -2 %
, 9 1 !
% 4 ; 4 + , - +
! 4
% < , 6, . + / 0 + / : 7 =
! / ) <
' $ 4$ : 6 # * 1 - ' !
# * ' ! ! % > ,,
7?? :
/ # , $ # , ! 1 7 ) "
+ + : !0 9 1 ( : !
# + , 0 1
# ( & 2 & # *
)
# ! $ , + +
@> ))A % !
#1 , -& !3 ! % ( 9
$
> % = = (
(5)
240
3 ) . 4 & , 3 5
C 1
= , , + 7
1 ( <
4 / B D 8 " $ * , !
(6 # ) > 7 4 $ ' ($
, !4 " + .
( /E # (
! % D 9 8 , 6, $
' ' 5 7 8 ( 4$ / $
)F : # , * ' ($
! 1 ! %
, 2. ! (
& 1 # 7 : * $
9 < C 4 > )
# B 9 D % % $ , 6, 8 ' 9
6 / )7 / ( B # C ' # B +< $
# B 9 D % % + % % , 6. 8 ' 9
6 / / , C ' 7 # B +< $ /
+ : @, A ' - % (
) + ! !!4 !)
+ ( 6 # , - '
* 0 % ( !!4 !)
+ ( 8 G$ , & + % (
9 $
+ , -6 ' *
C 4 , -- 3 % ( 0
$ D $ + , , , + ' , " % %
4 %! * ( +
8 9 1 4+ ! % $ 4 0 &
8 9 1 4+ ! % $ 4 0
-0 ! ( ( 4+ ! % $ 4
0
-! ( 1 0 4+ ! % $ 4 0 -?
! ( 1 4+ ! % $ 4 0
! : 4+ ! % $ 4
(6)
241
9 4 F ,
<
9 $ , . +
9 1 + , -6 3 : ( % % (
9 1 ( & 6 ,
, , & 0 % ( !!4 ) )C 4*#
4 F 4 $$ @, A 3 4 1 !0 : % (
4 4 : + . 3 1
! : , 3 "0 !
4 3 D 1 8 : & '
% ( ) $ %
4 ( 9 , 2, ' ' ' = ( # /
4 > , 22 % ( (
4 C 4$ $
% ( 9 1 9 $
4 1 C , - , + '
$ % ( :
4 4 $ , - / 9 1
4 = , - % ( 0
4 $ + & , 2 H ' ($ + 1
C , -, ' ! # ! 7 #
4 8 0 0 "
( ( 9 ) C 0 0 ( 4
! C % ( 3
= # = + C # ' 0
3 * ! % ( + "
E / 3
2 0 % ( !!4 !)
' + , 2 +
; 4$ + = < , %
' +
; 4$ , + ;
+
; 4$ + = < , 2