KEHIDUPAN PRIYAYI DAN WONG CILIK MASYARAKAT JAWA DALAM ROMAN GADIS PANTAI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER SUATU KAJIAN SOSIOLOGIS SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Sastra Indonesia

  KEHIDUPAN PRIYAYI DAN WONG CILIK MASYARAKAT JAWA DALAM ROMAN GADIS PANTAI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER SUATU KAJIAN SOSIOLOGIS SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Sastra Indonesia Oleh : Teguh Hartono NIM : 004114052 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  

MOTTO

Apa yang ada di hadapan kita dan apa yang ada di belakang

kita, hanyalah hal-hal kecil bila dibandingkan dengan apa yang

ada di dalam diri kita

(Oliver Wendell Holmes)

HALAMAN PERSEMBAHAN

  Skripsi ini kupersembahkan untuk :  Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberiku rahmat kasih-Nya.

   Bapak dan Ibu tercinta, Djarot Susilo dan Agnes Sri Rejeki.  Adik-adikku tersayang, Nunik Wahyuningsih Susilowati dan Ririn Prihantini Kartikasari  Francisca Dyah Kartikasari, S. Pd yang selalu menjadi semangatku.

   Sahabat-sahabat dan semua orang yang kukasihi.

  

Pernyataan Keaslian Karya

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, Agustus 2008 Penulis Teguh Hartono

  

ABSTRAK

  Hartono, Teguh. 2008. Kehidupan Priyayi dan Wong Cilik Masyarakat Jawa

  dalam Roman Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer : Suatu Kajian Sosiologis. Skripsi S1. Yogyakarta : Sastra Indonesia,

  Universitas Sanata Dharma Penelitian ini mengkaji kehidupan priyayi dan wong cilik dan adanya kontradiksi negatif praktik feodalisme Jawa. Perbedaan kehidupan sosial masyarakat yang hidup di kampung nelayan dengan pembesar karesidenan, penuh dengan ketidakadilan kekuasaan priyayi.

  Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang berisi kajian tentang kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam penelitian ini dianalisis pula unsur-unsur intrinsik karya sastra, khususnya analisis alur, tokoh, dan latar.

  Metode dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metode ini dilakukan dengan mendeskripsikan fakta-fakta kemudian menganalisisnya. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pengamatan dan pencatatan. Setelah membaca roman Gadis Pantai dan menemukan unsur-unsur intrinsiknya yaitu alur, tokoh, dan latar kemudian dianalisis nilai-nilai sosial kehidupan masyarakat Jawa khususnya kehidupan masyarakat di kampung nelayan dan kehidupan kaum priyayi.

  Dari hasil peneltian ini dapat disimpulkan bahwa pada kenyataannya kaum priyayi selalu berusaha menciptakan jarak dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya, terutama terhadap rakyat jelata atau yang biasa disebut dengan istilah wong cilik. Bahkan kaum priyayi juga sering menggunakan kekuasaan dan kekayaan yang dimilikinya untuk memperoleh segala sesuatu yang diinginkannya. Rakyat jelata atau wong cilik harus tunduk dan patuh terhadap priyayi. Hubungan sosial di kalangan priyayi sangat terikat pada tatacara dan bersopan santun. Pergaulan pun sangat dibatasi sehingga menimbulkan kesenjangan sosial yang mencolok. Hal ini berbeda sekali dengan kehidupan masyarakat di desa atau di daerah pesisir pantai yang masih memegang erat tradisi gotong royong.

  

ABSTRACT

Hartono, Teguh.2008. The life of Priyayis and Wong Cilik in Javanese society in the

Romance of Promoedya Ananta Toer’s Gadis Pantai: a Sociologic Study.

  S1 Degree Thesis. Yogyakarta: Indonesian Literature, Sanata Dharma University This research examines the life of priyayis and wong cilik, the existence of

negative contradiction of Javanese feudalism practices. The difference of social life

of the society living in the fisherman kampong from the rulers of regency is full of

injustice.

  This research uses sociology approach containing a study about societal-social

life. In this research, intrinsic elements are also analyzed, especially the analysis of

plot, characters, and setting.

  The method in this research is analytic descriptive method. This research was

done by describing the facts and then analyzed them. The data collecting techniques

are observation and note taking. After reading the roman Gadis Pantai and finding

out the intrinsic elements, those are plot, characters, and setting, then he analyzed the

social values of the life of Javanese society, especially the society in the fisherman

kampong and the life of priyayis people.

  From the result of this research, it can be concluded that in fact priyayis

always try to keep distance with the people surrounding them, especially with

common people or those who are usually called with a term wong cilik. Even priyayis

also often use the power and wealth they have to get anything they want. Common

people or wong cilik must always follow and obey them. Social relationship among

priyayi s is always tightly bounded by norms and politeness matters. Their relation is

also limited, so it creates the uppermost social gap. This is very different from the life

of society in village or coastal area which still holds the tradition of mutual

assistance.

KATA PENGANTAR

  Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya

kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Kehidupan Priyayi dan Wong Cilik Masyarakat Jawa dalam Roman Gadis Pantai

Karya Pramoedya Ananta Toer : Suatu Tinjauan Sosiologis dengan baik. Skripsi ini

disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra pada

program studi Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma.

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan tentunya tidak lepas

dari bantuan, dukungan, dan bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis

menyampaikan terima kasih kepada :

  

1. Dra. F. Tjandrasih Adji, M. Hum., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar

dan teliti memberikan saran, kritik, dan nasihat kepada penulis selama menyusun skripsi.

  

2. Drs. B. Rahmanto, M. Hum., selaku Kaprodi Sastra Indonesia dan juga dosen

pembimbing yang senantiasa memberi dorongan dan nasehat kepada penulis selama menyusun skripsi.

3. Para dosen Sastra Indonesia dan karyawan sekretariat Sastra Indonesia yang membantu penulis memperlancar urusan perkuliahan.

  

4. Bapak, Djarot Susilo dan Ibu, Agnes Sri Rejeki, serta adik-adikku Nunik

Wahyuningsih Susilowati dan Ririn Prihantini Kartikasari yang selalu memberi

  

5. Francisca Dyah Kartikasari, S. Pd atas cinta, perhatian, dukungan, dan doa kepada

penulis.

  

6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah

memberikan bantuan dan semangat kepada penulis.

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu, penulis bersedia menerima kritik dan saran dengan senang hati untuk

penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

  Yogyakarta, Agustus 2008 Penulis

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... ii HALAMAN PERSETUJUAN...................................................................... iii MOTTO ....................................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN.................................................................... v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................................ vi ABSTRAK ................................................................................................... vii

  ABSTRACT

  ................................................................................................... viii KATA PENGANTAR .................................................................................. ix DAFTAR ISI ................................................................................................ xi BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................

  1 1.1 Latar Belakang ..................................................................

  1 1.2 Rumusan Masalah ..............................................................

  2 1.3 Tujuan Penelitian................................................................

  3 1.4 Manfaat Penelitian..............................................................

  3 1.5 Tinjauan Pustaka ...............................................................

  3 1.6 Landasan Teori ...................................................................

  5 1.6.1 Teori Strukturalisme ...........................................................

  5 1.6.1.1 Tokoh .................................................................................

  6 1.6.1.2 Alur ....................................................................................

  7

  1.6.2 Sosiologi Sastra ..................................................................

  29 2.2.2 Tokoh Bendoro...................................................................

  41 2.3.3 Latar Sosial Roman Gadis Pantai ........................................

  40 2.3.2 Latar Waktu Roman Gadis Pantai .......................................

  39 2.3.1 Latar Tempat Roman Gadis Pantai.....................................

  38 2.3 Analisis Latar Roman Gadis Pantai ...................................

  37 2.2.6 Tokoh Mardinah .................................................................

  36 2.2.5 Tokoh Pelayan Wanita Tua.................................................

  35 2.2.4 Tokoh Emak .......................................................................

  33 2.2.3 Tokoh Bapak ......................................................................

  28 2.2.1 Tokoh Gadis Pantai............................................................

  9 1.6.3 Kehidupan Sosial Masyarakat Jawa ....................................

  16 2.2 Analisis Tokoh Roman Gadis Pantai ..................................

  14 2.1 Analisis Alur Roman Gadis Pantai .....................................

  14 BAB II. ANALISIS STRUKTURAL ROMAN GADIS PANTAI .................

  14 1.8 Sistematika Penyajian.........................................................

  13 1.7.4 Sumber Data.......................................................................

  13 1.7.3 Teknik Penelitian................................................................

  12 1.7.2 Metode Deskriptif Analisis .................................................

  12 1.7.1 Pendekatan .........................................................................

  10 1.7 Metode Penelitian...............................................................

  42 BAB III. KEHIDUPAN PRIYAYI DAN WONG CILIK DALAM ROMAN

  3.1 Kehidupan Priyayi..............................................................

  45 3.2 Kehidupan Wong Cilik........................................................

  52 BAB IV. PENUTUP ....................................................................................

  57 4.1 Kesimpulan ........................................................................

  57 4.2 Saran ..................................................................................

  62 LAMPIRAN......................................................................................................

  63 SINOPSIS.........................................................................................................

  64 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................

  67

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Sastra atau karya sastra merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya (Pradopo, 2003:121). Bahan sastra adalah bahasa yang sudah berarti. Dalam karya sastra, arti bahasa ditentukan atau disesuaikan dengan konvensi sastra.

  Karya sastra, selain harus bisa dinikmati pembaca, juga harus bisa mendidik sehingga orang tertarik untuk membaca atau menikmatinya. Pembaca bisa menemukan sesuatu yang berguna untuk kehidupannya dari karya sastra itu. Karya sastra tak lepas dari pengalaman hidup manusia. Karya sastra juga dipengaruhi oleh keadaan atau kehidupan masyarakat.

  Karya sastra diklasifikasikan ke dalam berbagai jenis atau genre. Hartoko dan Rahmanto (via Wiyatmi, 2006:27) mengemukakan bahwa ada tiga jenis karya sastra, yaitu puisi, drama, dan naratif. Karya sastra naratif meliputi novel, roman, cerita pendek, dan novelet.

  Kehidupan dalam sebuah novel atau roman pada dasarnya merupakan sikap atau pandangan masyarakat terhadap realita kehidupan sosial. Latar belakang sosial budaya bisa mempengaruhi pengarang dalam memandang kehidupan tersebut.

  Dalam penelitian ini dipilih roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta dari realita. Berdasarkan jenisnya, roman Gadis Pantai adalah sastra jenis naratif. Sastra naratif artinya teks-teks di dalamnya tidak bersifat dialog dan isinya merupakan kisah sejarah atau sebuah peristiwa ( Wiyatmi, 2006:28).

  Dari tokoh-tokoh yang terdapat dalam roman Gadis Pantai, dapat diketahui tentang kehidupan sosial masyarakat Jawa yang hidup di kampung nelayan dan juga seorang pembesar karesidenan. Roman Gadis Pantai merupakan karya sastra yang berlatar belakang kebudayaan Jawa dengan adat istiadatnya.

  Roman Gadis Pantai juga mengandung nilai-nilai budaya Jawa dan adanya kontradiksi negatif praktik feodalisme Jawa.

  Dalam penelitian ini dianalisis pula unsur-unsur intrinsik karya sastra. Unsur intrinsik yaitu unsur pembangun karya sastra. Penelitian ini mengkhususkan pada analisis alur, tokoh, dan latar. Untuk memahami karya sastra baik novel maupun roman, analisis struktural mengenai alur, tokoh, dan latar membantu memberikan data mengenai roman Gadis Pantai khususnya tentang nilai-nilai sosial kehidupan masyarakat Jawa. Dalam hal ini berkaitan dengan kajian sosiologis yaitu kajian tentang kehidupan sosial masyarakat Jawa.

1.2 Rumusan Masalah

  1.2.1 Bagaimana analisis strukural yaitu mengenai alur, tokoh, dan latar dalam roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer ?

  1.2.2 Bagaimana kehidupan masyarakat Jawa, khususnya priyayi dan wong

  cilik dalam roman Gadis Pantai ?

  1.3 Tujuan Penelitian

  1.3.1 Mendeskripsikan analisis sturuktural mengenai alur, tokoh, dan latar roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.

  1.3.2 Mendeskripsikan kehidupan masyarakat Jawa, khususnya priyayi dan wong cilik dalam roman Gadis Pantai.

  1.4 Manfaat Hasil Penelitian

  1.4.1 Memberikan informasi kepada pembaca mengenai isi dari roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.

  1.4.2 Memberikan informasi kepada pembaca mengenai kehidupan priyayi dan wong cilik di masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah.

  1.5. Tinjauan Pustaka

  Roman Gadis Pantaikarya Pramoedya Ananta Toer ini merupakan roman perjuangan sekaligus roman sosial-kritis di mana terdapat pembelaan terhadap rasa keadilan. Hal ini dikemukakan Kurniawan (2002:12) dalam skripsinya yang berjudul “Realisme Sosialis Pramoedya Ananta Toer : Sebuah Tinjauan Filsafat Seni

  .” Pramoedya banyak menulis novel atu roman yang isinya berani menentang kehidupan priyayi yang menganggap rendah wong cilik. Selain itu

  Pramoedya juga mengungkapkan bahwa paham feodalistik masih melekat kuat dalam kehidupan masyarakat zaman penjajahan kolonial dulu. Tekanan kekuasaan mempunyai efek terhadap kehidupan rakyat petani di Jawa (Koentjaraningrat, 1979:343)

  Menurut Rahman (2003:4) dalam artikelnya yang berjudul “Seru Membaca Gadis Pantai

  ” di majalah On/Off berpendapat bahwa Pramoedya melukiskan sosok Gadis Pantai sebagai seorang perempuan yang sederhana, polos, penuh penyerahan, dan tanpa cacat. Pramoedya dalam karyanya sering melukiskan perempuan sebagai tokoh yang kuat namun terkesan pasrah.

  Koentjaraningrat (1979:337) dalam bukunya yang berjudul “Manusia dan Kebudayaan Indonesia” mengemukakan bahwa dalam kehidupan masyarakat Jawa, masih dibedakan antara kaum priyayi dengan wong cilik, Kedua masyarakat tesebut tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain.Kenyataan itulah yang ditulis oleh Pramoedya yang menggambarkan kedudukan kaum priyayi jauh di atas wong cilik.

  Teeuw (1997:214- 218) dalam bukunya yang berjudul “Citra Manusia

  Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta toer”, berpendapat bahwa hubungan antara cerita dengan kenyataan diadakan dalam roman itu sendiri.

  Roman Gadis Pantai ini mengisahkan nasib perempuan dari kalangan rakyak jelata yang dihadiahi ‘untung’ oleh seorang priyayi.

  Rakyat jelata atau wong cilik harus patuh terhadap priyayi. Demikian halnya dengan pernikahan, siapa saja yang diinginkannya harus bersedia untuk dinikahinya walaupun pada akhirnya harus rela ‘diusir’ dari kehidupan priyayi.

  

Gadis Pantai sebagai seorang perempuan yang menerima status priyayi karena menikah dengan Bendoro, harus memikul beban kebudayaan priyayi yang dianutnya.

1.6. Landasan Teori

1.6.1 Teori Strukturalisme

  Fungsi utama karya sastra adalah untuk melukiskan, mencerminkan kehidupan manusia, sedangkan kehidupan manusia itu sendiri selalu mengalami perkembangan. Hubungan karya sastra dengan masyarakat memberikan pengaruh terhadap perkembangan teori sastra selanjutnya. Teori strukturalisme dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman secara maksimal (Ratna, 2004:75-76).

  Pradopo (2003:118) mengatakan bahwa strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik karena karya sastra itu merupakan struktur tanda- tanda yang bermakna. Karya sastra merupakan struktur makna atau struktur yang bermakna. Oleh karena itulah, analisis semiotik tidak dapat dipisahkan oleh analisis struktural (Pradopo, 2003:141).

  Sebuah teks sastra terdiri atas komponen-komponen seperti tokoh, alur, latar, judul, sudut pandang, gaya dan nada, serta tema. Komponen-komponen tersebut merupakan unsur intrinsik karya sastra. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Strukturalisme sastra memberi keluasan pada peneliti sastra untuk menetapkan komponen-komponen mana yang akan mendapat prioritas signifikasi.

  Dalam penelitian ini, akan dianalisis unsur intrinsik yang diprioritaskan pada analisis struktural mengenai alur, tokoh, dan latar. Ketiga hal itu dianalisis untuk mengetahui nilai-nilai sosial apa saja yang terkandung dalam roman Gadis Pantai .

1.6.1.1 Tokoh Tokoh adalah para pelaku yang terdapat sebuah fiksi (Wiyatmi, 2006:30).

  Tokoh merupakan ciptaan pengarang, tapi kadang-kadang dapat juga merupakan gambaran dari orang-orang di kehidupan nyata.

  Sesuai dengan keterlibatannya dalam cerita, tokoh dibedakan menjadi dua yaitu tokoh utama (sentral) dan tokoh tambahan (periferal). Tokoh disebut sebagai tokoh sentral bila memenuhi syarat, (1) paling terlibat dengan makna atau tema, (2) paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, (3) paling banyak memerlukan waktu penceritaan (Sayuti dalam Wiyatmi, 2006:31).

  Tokoh yang memegang peran pimpinan disebut sebagai tokoh protagonis (Sudjiman, 1988:61). Protagonis selalu menjadi tokoh sentral dalam cerita.

  Protagonis dapat juga ditentukan dengan memperhatikan hubungan antartokoh. Tokoh yang merupakan penentang atau lawan dari protagonist disebut tokoh antagonis. Jadi, tokoh protagonist dan antagonis bisa menjadi tokoh sentral (Sudjiman, 1988:18-19).

  Berdasarkan fungsinya, tokoh dibedakan antara tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh

  Sama halnya dengan manusia dalam kehidupan nyata, tokoh dalam cerita pun hendaknya memiliki dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Dimensi fisiologis meliputi usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, dan lain sebagainya. Dimensi sosiologis meliputi status sosial, pekerjaan, peranan dalam masyarakat, agama, aktivitas sosial, dan keturunan. Dimensi psikologis meliputi mentalitas, ukuran moral, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan kelakuan, juga intelektualitasnya (Wiyatmi, 2006:30-31).

  Penelitian ini memprioritaskan pada analisis tokoh sentral dan tokoh tambahan atau bawahan dalam roman Gadis Pantai. Dengan demikian dapat diketahui karakter masing-masing tokoh, sedangkan kehadiran tokoh bawahan dapat menunjang tokoh sentral. Selain itu, dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis masing-masing tokoh juga akan dipaparkan dalam penelitian ini.

1.6.1.2 Alur

  Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan hubungan kausalitas. Alur dibagi menjadi tiga bagian yaitu awal, tengah, dan akhir. Bagian awal berisi tentang eksposisi yang mengandung instabilitas dan konfliks. Bagian tengah berisi klimaks yang merupakan puncak konflik. Bagian akhir berisi tentang penyelesaian atau pemecahan masalah (Sayuti dalam Wiyatmi, 2006:36-37).

  Alur dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Berdasarkan peristiwa yang terjadi, alur dibedakan menjadi alur kronologis atau lebih dikenal dengan nama alur progresif, alur regresif, dan alur flashback atau sorot balik

  Dilihat dari akhir cerita, plot dibedakan menjadi plot terbuka dan tertutup. Plot tertutup memiliki akhir cerita yang jelas. Dilihat dari kuantitasnya, dikenal adanya plot tunggal dan plot jamak. Plot tunggal mengandung satu peristiwa primer, sedangkan plot jamak memiliki berbagai peristiwa primer dan peristiwa lain Dilihat dari kualitasnya, dibedakan antara plot rapat dan plot longgar.

  Plot rapat tidak memungkinkan adanya celah untuk disisipi plot lain sedangkan plot longgar memiliki kemungkinan disisipi adanya plot lain (Sayuti dalam Wiyatmi, 2006:39)

  Unsur alur yang penting adalah konflik dan klimaks. Konflik terdiri dari konflik internal dan konflik eksternal. Konflik internal merupakan konflik dalam diri seorang tokoh sedangkan konflik eksternal merupakan konflik antara satu tokoh dengan tokoh lain.

  Klimaks terjadi saat konflik menjadi sangat hebat dan jalan keluar harus ditemukan. Jadi, dapat dikatakan bahwa alur yang berhasil adalah alur yang mampu menggiring pembaca menelusuri cerita secara keseluruhan (Semi, 1993:45)

  Dalam penelitian ini dipaparkan mengenai kronologis cerita roman Gadis

  

Pantai dari awal sampai akhir dengan jenis alur berdasarkan peristiwanya. Bagian

  awal memaparkan perkenalan dan terjadinya konflik. Bagian tengah memaparkan klimaks yang merupakan puncak konflik. Bagian akhir memaparkan penyelesaian atau pemecahan masalah (Wiyatmi, 2006:37)

1.6.1.3 Latar

  Latar dibedakan menjadi tiga yaitu latar tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat berkaitan dengan geografis, misalnya di lokasi mana, desa apa, kota apa, dan sebagainya. Latar waktu berkaitan dengan waktu, yaitu hari, jam, maupun histories. Latar sosial berkaitan dengan kehidupan masyarakat (Sayuti dalam Wiyatmi, 2006:40)

  Latar berfungsi untuk memberi konteks cerita. Latar juga memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Sebuah cerita terjadi dan dialami oleh tokoh di tempat tertentu, pada suatu masa, dan di lingkungan tertentu.

  Dalam penelitian ini latar atau setting tempat, waktu, dan sosial dianalisis satu persatu. Latar tempat, waktu, dan sosial itu menjadi petunjuk untuk menganalisis nilai-nilai sosial kehidupan masyarakat Jawa dalam roman Gadis Pantai .

1.6.2 Sosiologi Sastra

  Sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat juga tentang sosial dan proses sosial. Sastra, juga berhubungan dengan manusia bahkan sastra diciptakan oleh anggota masyarakat (dalam hal ini adalah sastrawan) untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat (Semi, 1984:52) Sosiologi sastra merupakan telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra.

  Wellek dan Warren (dalam Semi, 1984:53) mengatakan bahwa sosiologi sastra itu memasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat. walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia (Wellek dan Warren, 1989:109) Jadi, dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan serta menyangkut tentang pengarang, karyanya, dan juga pembacanya.

  Karya sastra mengandung informasi tentang masyarakat sampai ke batas- batas tertentu. Informasi kemasyarakatan itu kadang-kadang terasa nyata dan hidup karena adanya jalinan hubungan antartokoh dalam cerita. Dunia dalam roman ada kalanya adalah dunia nyata yang disamarkan lewat nama-nama orang, tempat, peristiwa yang dikhayalkan (Hardjana, 1994:72)

  Hubungan karya sastra dengan masyarakat merupakan hubungan yang hakiki. Karya sastra menjadi pelopor pembaharuan dan memberikan pengakuan terhadap suatu gejala kemasyarakatan (Ratna, 2004:334)

  Kajian sosiologis dalam penelitian ini merupakan suatu kajian tentang kehidupan masyarakat Jawa. Tentu saja dalam kehidupan masyarakat Jawa mengandung nilai-nilai sosial. Namun, yang dipaparkan dalam penelitian ini adalah nilai sosial dalam kehidupan masyarakat Jawa khususnya priyayi dan wong

  cilik.

1.6.3. Kehidupan Sosial Masyarakat Jawa

  Dalam kehidupannya, manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sekitarnya. Sebagai individu dan makhluk sosial, mereka berhubungan langsung satu sama lain. Oleh karena itu, individu harus mampu menyesuaikan dan mengendalikan diri terhadap alam, individu lain, masyarakat, dan kekuasaan di luar dirinya.

  Di dalam kenyataan hidup masyarakat Jawa, orang masih membedakan antara priyayi yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar dengan orang kebanyakan yang disebut wong cilik, seperti petani, tukang, dan pekerja kasar lainnya, di samping keluarga kraton dan keturunan bangsawan atau bendara- bendara (Koentjaraningrat, 1979:337)

  Kedua masyarakat tersebut tidak dapat dipisahkan dan dalam batas-batas tertentu kedua masyarakat tersebut saling membutuhkan. Priyayi merupakan pemasok kultural dan filsafat yang menjadi pegangan bagi wong cilik. Sebaliknya, wong cilik menjadi pemasok hasil-hasil pertanian bagi hidup priyayi.

  Tekanan kekuasaan dari raja-raja dan bangsawan-bangsawan feodal dari zaman kejayaan kerajaan-kerajaan Jawa dahulu dan juga tekanan kekuasaan dari pemerintah kolonial telah mempunyai efek yang dalam terhadap kehidupan rakyat petani di Jawa (Koentjaraningrat, 1979:343)

  Dalam kehidupan masyarakat Jawa, sikap hormat merupakan hal yang wajib dilakukan oleh setiap orang, baik di lingkungan wong cilik maupun priyayi (De Jong dalam Suwondo, 1994:129) Selain umumnya mudah terkesan oleh kebangsawanan dan keterpelajaran orang, manusia (dalam hal ini masyarakat) Jawa pun gampang terkesan oleh kekayaan orang.

  Di dalam masyarakat Jawa yang masih feodalistik, orang berketurunan dalam masyarakat Jawa yang tetap bertahan sehingga perlu kesabaran dan ketahanan dalam mengatasi dan memberantasnya (Hardjowirogo, 1983:54) Penelitian ini mengkaji tentang kehidupan masyarakat Jawa khususnya kehidupan priyayi dan wong cilik. Yang dimaksud dengan wong cilik di sini adalah sekelompok masyarakat yang tinggal di kampung nelayan di daerah Rembang, Jawa Tengah sedangkan yang dimaksud dengan priyayi adalah pembesar yang tinggal di daerah setempat.

1.7. Metode Penelitian

  Pada bagian ini dipaparkan mengenai pendekatan, metode, teknik penelitian, dan sumber data dalam roman Gadis Pantai.

1.7.1 Pendekatan

  Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat dengan proses pemahaman dari masyarakat ke individu. Pendekatan sosiologis menganggap karya sastra sebagai milik masyarakat (Ratna, 2004:59)

  Pendekatan ini mendasarkan pada hubungan yang hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Model pendekatan ini adalah adanya pemahaman dengan harapan akan terjadi perubahan perilaku masyarakat. Setiap hasil karya memiliki aspek-aspek sosial tertentu yang dapat dibicarakan melalui model pemahaman sosial. Selain itu, pendekatan sosiologis juga memiliki implikasi metodologis berupa pemahaman mendasar mengenai kehidupan manusia dalam masyarakat (Ratna, 2004:60-61)

  1.7.2 Metode Deskriptif Analisis

  Metode dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta kemudian menganalisisnya.

  Deskripsi analisis berarti menguraikan. Namun, tidak hanya menguraikan saja melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya.

  Metode ini digunakan untuk memaparkan secara keseluruhan hasil analisis yang telah dilakukan (Ratna, 2004:53)

  1.7.3 Teknik Penelitian

  Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pengamatan dan pencatatan. Pengamatan dilakukan dengan membaca roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer untuk menemukan unsur intrinsiknya, yaitu alur, tokoh, dan latar.

  Penelitian pustaka pada umumnya menggunakan kartu data untuk mencatat keseluruhan data yang diperoleh (Ratna, 2004:39) Maka, penelitian ini pun menggunakan kartu data untuk mencatat data.

  Roman atau novel yang diteliti diidentifikasi, dianalisis, dan dicatat dalam kartu data. Kartu data digunakan untuk mencatat keseluruhan data yang ditemukan. Unsur-unsur yang telah tercatat dalam kartu data tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam kartu data lain untuk dianalisis.

1.7.4 Sumber Data

  Data dalam penelitian ini adalah data pustaka, yaitu sumber tertulis yang memuat informasi tentang topik penelitian. Sumber data penelitian ini adalah karya sastra yang berupa roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer dengan identitas sebagai berikut : Judul : Gadis Pantai Pengarang : Pramoedya Ananta Toer.

  Penerbit : Lentera Dipantara. Kota terbit : Jakarta. Tahun terbit : 2006. Cetakan : ke-1 Juli 2003, ke-2 Maret 2005, ke-3 Juni 2006. Tebal buku : 270 halaman.

1.8. Sistematika Penyajian

  Bab I pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajiannya dalam roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.

  Bab II berisi tentang analisis struktural mengenai alur, tokoh, dan latar dalam roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Bab III berisi tentang Pramoedya Ananta Toer. Bab IV penutup berisi tentang kesimpulan dan saran mengenai roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.

BAB II ANALISIS STRUKTURAL ROMAN GADIS PANTAI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER Pada bagian ini, unsur-unsur pembentuk karya sastra yang dipakai untuk

  menganalisis roman Gadis Pantai adalah alur, tokoh, dan latar. Dengan demikian diharapkan pembaca dapat dengan mudah memahami alur, tokoh, dan latar dalam roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer ini.

2.1 Analisis Alur Roman Gadis Pantai

  Roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer ini diawali dengan deskripsi fisik tokoh Gadis Pantai dan berbagai aktivitas yang dilakukannya di sebuah kampung nelayan di pantai keresidenan Rembang.

  (1) Empat belas tahun umurnya waktu itu. Kulit langsat. Tubuh kecil mungil.

  Mata agak sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepenggal pantai keresidenan Rembang (Toer, 2006:11). Selanjutnya diceritakan mengenai berbagai aktivitas Gadis Pantai yang dilakukan sehari-hari di kampung nelayan itu.

  (2) Hari demi hari batinnya diisi derai ombak dan pandangnya oleh perahu- perahu yang berangkat di subuh hari pulang di siang atau sore hari, berkabuh di muara, menurunkan ikan tangkapan, dan menunggu besok sampai kantor lelang buka (Toer, 2006:11).

  Cerita berikutnya mengenai awal mula kehidupan Gadis Pantai yang dinikahkan dengan seorang pembesar di kota, digambarkan di sini ia dinikahkan dengan sebilah keris yang menjadi simbol dari pembesar tersebut.

  (3) Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris, wakil seorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup (Toer, 2006:12). Peristiwa berikutnya menceritakan tentang pemberitahuan emaknya bahwa ia sudah menjadi istri dari orang terhormat yang sering dipanggil Bendoro atau sebagai Bupati.

  (4) “Mulai hari ini, nak,” emaknya tak sanggup meneruskan, kemudian mengubah bicaranya: “Beruntung kau menjadi istri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah berapa kali khatam Our’an. Perempuan, nak, kalau sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita, baiknya laki baiknya kita.

  Apa yang kurang baik pada dia?” (Toer, 2006:14).

  Bagian ini menceritakan Gadis Pantai dan keluarganya datang ke rumah Bendoro. Mereka disambut oleh seorang bujang Bendoro. Bendoro masih tidur ketika mereka datang. Tak lama kemudian, Bendoro bangun dan memerintahkan kepala kampung untuk menghadapnya.

  (5) Dokar mulai memasuki halaman dengan deretan toko orang Tionghoa.

  Semua itu pernah dilihatnya dua tahun yang lalu, waktu dengan orang- orang sekampung datang beramai ke kota, nonton pasar malam. Ia masih ingat buaya yang dipajang di atas pintu toko sepatu. Ia masih ingat toko pabrik tegel dengan bunga-bunganya yang berwarna-warni. Ia masih ingat gedung-gedung besar dengan tiang-tiang yang tak dapat dipeluknya, putih, tinggi, bulat selanjutnya Gadis Pantai dan keluarganya tiba di rumah bendoro. Sewaktu semua sudah turun, mereka menggerombol dipinggir jalan, tak tahu apa yang harus diperbuat. Pagar tembok terlalu tinggi untuk dapat meninjau ke dalam. Emak menyentuh tangan bapak. Seperti berkata pada diri sendiri bapak berbisik, “Mari, mari,” tapi ia tetap tidak beranjak. Akhirnya emak yang mulai mengganjur langkah. Melihat tak ada yang mengikutinya, ia terhenti menatap bapak. Dalam kegugupannya bapak meraih tangan si Gadis Pantai tak ada yang tahu siapa sebenarnya yang terpapah. Dan bergeraklah iring-iringan pengantin itu, selangkah demi selangkah. Mereka melewati rumah tingkat yang sebenarnya tak lain dari sebuah paviliun gedung utama di sebelahnya. Mereka berhenti disebuah gang antara paviliun dan gedung utama. Seorang bujang berhenti mengamati mereka dari kaki sampai kepala. “Mau apa?” tanyanya. “Bendoro ada?” Suasana lengang, pemandangan di atas dihitami oleh puncak pohon-pohon beringin dan deburan ombak dari kejauhan, membuat hati iringan pengantin menjadi beku. Emak membuka mulut hendak bicara, tapi tak ada suara keluar dari mulutnya. “Kami datang menghadap Bendoro, kami baru datang dari kampung….” (Toer, 2006:15-16).

  Tetapi Bendoro masih tidur tak lama kemudian terdengar suara Bendoro. Beliau sudah bangun. Kepala kampung pun dipanggil menghadap. “Bendoro sudah bangun,” kepala kampung memperingatkan. Semua tegang menegakkan tubuh. Pendengaran tertuju pada sepasang selop yang berbunyi berat sayup terseret-seret di lantai. Bunyi kian mendekat dan akhirnya nyata terdengar: buuutt. “Apa itu?” emak bertanya pada kepala kampung. Ia kenal bunyi itu tapi ia tak yakin. Ia gelengkan kepala. Di sini tak mungkin terjadi. Tidak! Itu bukan bunyi yang biasa didengarnya, bunyi yang biasa membikin ia geram pada lakinya. Terdengar bunyi selop berhe nti, kemudian, “Mengapa aku tak dibangunkan? Suruh kesini kepala kampung itu!” Sunyi-senyap dalam kamar. Mata pada melotot mengawasi pintu. Tak seorang mendengar nafas kepala kampung yang terengah- engah. Ia bangkit. Sekali lagi menggapai-gapai kedalam baju kebesarannya. Dikeluarkannya keris bersarung kuningan bertangkai kayu sawo tua berukiran tubuh katak. Dan keris diangkatnya tinggi sampai segaris dengan hidungnya. Seorang datang menghampiri ruangan tempat tamu-tamu dari kampung nelayan masih tetap gelisah menunggu. Orang itu menilik ke dalam dan tanpa sesuatu upacara langsung menyampaikan, “Bapak kepala kampung dititahkan menghadap!” (Toer, 2006:21-22).

  Setelah selesai menghadap Bendoro, kepala kampung kembali pada Gadis Pantai dan keluarganya. Kepala kampung menghampiri Gadis Pantai dan Emak untuk menyampaikan pesan dari Bendoro, apakah Gadis Pantai sudah mengalami haid atau belum. Hal ini penting karena Gadis Pantai akan dinikahkan dengan Bendoro.

  (6) Bendoro menanyakan apabila Gadis Pantai sudah mengalami haid atau belum dan kepala kampung menyampaikannya pada Gadis Pantai dan emak. Waktu itu Gadis Pantai masih terlalu muda dan dengan putus asa emak memaksa Gadis Pantai untuk menjawab bahwa ia sudah haid. Kepala kampung mengawasi emak dan anak berpandangan-pandangan putus asa. Tiba-tiba dengan gesitnya emak bangkit menarik Gadis Pantai dan menyeretnya ke ujung kamar, duduk di atas sofa. Mendadak emak terperanjat dan segera berdiri empuk sekali kasur sofa itu. Dipegang- kasur, tak jadi duduk. Ia tinggal berdiri, mendengarkan bisikan emak, menggeleng sambil memandangi emak. Menggeleng lagi. Emak mengerutkan kening, menggeleng menengok ke samping menatap suaminya. Akhirnya dengan pandangan putus asa emak berjalan menghampiri bapak, berbisik, “Bilang saja sudah.” (Toer, 2006:24).

  Selanjutnya Gadis Pantai mulai dipanggil dengan nama Mas Nganten. Ia mulai tinggal di rumah Bendoro dan sudah saatnya ia menyesuaikan diri dengan kehidupan di sana yang tentu saja berbeda jauh dengan kehidupan di kampungnya.

  (7) Malam itu jam dinding jauh di ruang tengah telah berbunyi dua belas kali. Sunyi senyap di sekeliling. Dan ketak-ketik itu begitu menyiksa pendengarannya. Namun, ia rasai tubuhnya nikmat tenggelam dalam kasur yang begitu lunak seperti lumpur hangat. Sedang bau wangi yang membumbung dari sekujur badannya dan pakaiannya membawa pikirannya malayang-layang ke kampung halaman. Tak pernah ia impikan di dunia ada bau begitu menyegarkan. Di kampungnya ke manapun ia pergi dan di manapun ia berada yang tercium hanya satu macam bau: amis tepian laut (Toer, 2006:30). Cerita selanjutnya adalah pertama kali bendoro menghampiri Gadis pantai di kamarnya setelah mengaji. Tokoh Bendoro digambarkan sebagai seorang pria yang begitu sempurna.

  (8) Nampak seorang pria bertubuh tinggi kuning langsat berwajah agak tipis dan berhidung mancung. Ia berkopiah haji dan berbaju teluk belanga dari sutera putih dan bersarung bugis hitam dengan beberapa genggang putih tipis-tipis (Toer, 2006:31)

  Setiap pagi Mas Nganten atau si Gadis Pantai harus ikut bersembahyang. Dengan dibantu oleh seorang bujang wanita, ia mulai belajar bersembahyang dalam sebuah ruangan yang disebut khalwat. Di situlah Bendoro sembahyang dan Gadis Pantai harus mengikutinya.

  (9) Dari sebuah pojok bujang itu mengeluarkan selembar mukenah putih dan

  Jangan bergerak, Bendoro duduk di sana Mas Nganten harus bersembahyang dengan beliau.” “Aku tak bisa.” “Ikuti saja apa Bendoro lakukan.” “Aku tak bisa.” “Wanita utama mesti belajar – mesti bisa melegakan hati Bendoro, ingat- ingatlah itu.”Gadis Pantai mulai merasa kesepian, ini pertama kalinya ia masuk kedalam khalawat ia merasakan suasana yang sangat berbeda dengan kampungnya. Tertinggal Gadis Pantai seorang diri dalam ruangan besar yang tidak pernah yang tak pernah diinjaknya semula, laksana seekor tikus didalam perangkap. Suasana khalawat itu menakutkan, menyeramkan. Sekali-sekali seekor burung walet masuk dari lubang angin jauh pada dinding atas sana, kemudian pergi lagi. Gadis Pantai tersadar sekarang betapa takutnya ia pada kesunyian, pada keadaan tak boleh bergerak. Ia tersedan-sedan seorang diri. Dan tak ada seorang pun peduli padanya (Toer, 2006:35).

  Didalam khalawat, ia mengikuti segala gerakan sholat yang dipimpin oleh Bendoro. Pada hal tak pernah ia melaksanakan sholat di kampungnya dulu, tetapi ia sekarang harus melakukannya. Seperti diperintah oleh tenaga gaib Gadis Pantai pun berdiri dan mengikuti segala gerak-gerik Bendoro dari permadani belakang. Pikirannya melayang ke laut, pada kawan-kawan sepermainannya, pada bocah-bocah pantai berkulit dekil, telanjang bergolek-golek di pasir hangat pagi hari. Dahulu ia pun menjadi bagian dari gerombolan anak-anak telanjang bulat itu. Dan ia tak juga dapat mengerti, benarkah ia menjadi jauh lebih bersih karena basuhan air wangi? Ia merasa masih seperti bocah yang dulu, menepi-nepi pantai sampai ke muara, pulang ke rumah kaki terbungkus amis. Bendoro didepan sana berukuk. Seperti mesin ia mengikuti Bendoro di sana bersujud, ia pun bersujud, Bendoro duduk ia pun duduk. Ia pernah angkat sendiri seekor ikan pari 30 kg, tak dibawa ke lelang, buat sumbangan kampung waktu pesta. Ia bermandi keringat dan buntut ikan itu mengganggu kakinya sampai barut berdarah. Tapi ia tahu ikan itu buat dimakan seluruh kampung. Dan kini. Hanya menirukan gerak rasnya begitu berat. Dahulu ia selalu katakan apa yang dipikirkan, tangiskan, apa yang ditanggungkan,teriakan ria kesukaan didalam hati remaja. Kini ia harus diam tak ada kuping sudi suaranya. Sekarang ia hanya boleh berbisik. Dan dalam khalawat ini, bergerak pun ikuti acuan yang telah tersedia (Toer, 2006:36-37). Cerita berikutnya mengenai Gadis Pantai yang sedikit demi sedikit mulai hafal dengan kata-kata yang harus diucapkan ketika menghadap Bendoro. Bujang

  (10) “Dengarkan, sahaya ajari, katakan begini pada Bendoro nanti,’Ampuni sahaya Bendoro….’, hafalkan. Lantas Bendoro akan menegur,’Ya, Mas Nganten, ada yang kau inginkan?’” Gadis Pantai menyimak tanpa mengedip (Toer, 2006:48).

  Gadis Pantai sekarang sudah menjadi istri pembesar dan ia menyadari keadaannya sekarang. Wajahnya dirias setiap hari, ia benar-benar berbeda sekarang. Kadang-kadang ia merasa ingin kembali ke kampungnya.

  (11) Kembali Gadis Pantai menyadari keadaanya. Dan ia meriut kecut. Tapi ia diam saja waktu bujang menyisirinya kembali serta memasangkan sanggul yang telah dipertebal dengan cemara, serta menyuntingkan bunga cempaka di sela- sela. “Di kampung orang tak berhias bunga pada sang gulnya,” Gadis Pantai memprotes. “Di kota, Mas Nganten, barangsiapa sudah bersuami, sanggulnya sebaiknya dihias kembang.” Sekali lagi Gadis Pantai menyadari keadaan dirinya:istri seorang pembesar. “Aku lebih suka di kampungku sana.” Ia mulai protes lagi (Toer, 2006:55).

  Peristiwa selanjutnya adalah Gadis Pantai lama-lama terbiasa dengan kehidupan yang dijalaninya sekarang. Ia mulai terbiasa dengan kehidupan yang dilengkapi alat yang begitu banyak dan menggampangkan kerja. Ia belajar membatik, memasak kue, dan tentu saja mengenai agama.

  (12) Gadis Pantai mulai terbiasa pada kehidupan yang diperlengakapi alat-alat begitu banyak dan menggampangkan kerja. Ia mulai terbiasa dengar suara pemuda-pemuda yang bicara bahasa Belanda setelah meninggalkan surau di sebelah kiri rumah utama. … Kemudian Gadis Pantai pun belajar menyulam, merenda, menjahit.

  Kecerdasan dan ketrampilannya menyukakan semua gurunya (Toer, 2006:69-70). Selanjutnya diceritakan bahwa Gadis Pantai mulai mengalami menstruasi layaknya yang dialami oleh seorang wanita.

  (13) “Apa yang sudah terjadi, mBok?”

  Mas Nganten, dan beberapa titik darah setelah setengah tahun ini tidaklah apa- apa.” (Toer, 2006:73)

  Pada bagian ini dikisahkan bahwa Gadis Pantai mulai merasakan artinya rindu bila Bendoro tak datang kepadanya. Di sinilah terjadi nilai-nilai sosial dalam roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.

  (14) Setahun telah lewat.

  Kini Gadis Pantai merasa sunyi bila semalam saja Bendoro tak datang berkunjung ke kamarnya. Bujang itu tak perlu membantunya lebih banyak lagi. Di luar dugaan ia telah dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya. Namun, wanita tua itu tetap menjadi sahabat dan tempat bertanya yang bijaksana (Toer, 2006:75). Peristiwa berikutnya mengenai Bendoro yang sering pergi. Paling sedikit seminggu Bendoro pergi meninggalkan rumah untuk pergi ke luar kota. Gadis

  Pantai pun mulai merasakan rasa rindu bila Bendoro tak kunjung mendatanginya.

  (15) Pada suatu sore Bendoro memerintahkan Mardi menyiapkan bendi.

  Sesuatu terasa menyambar dalam hati Gadis Pantai. Paling sedikit seminggu Bendoro akan meninggalkan kota. Perintah pada Mardi itu dengan sendirinya menyebabkan ia berkemas-kemas dan merapikan diri, kemudian menunggu di kursi dalam kamar sampai suaminya datang dan meminta diri. Selama setahun ini lebih sekali demikian terjadi