Studi Deskriptif Mengenai Jenis Strategi Akulturasi pada Masyarakat Jawa Berusia 40-50 Tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi Sumatera Utara.

(1)

i

Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui gambaran jenis strategi akulturasi yang digunakan oleh masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba kecamatan Berastagi Sumatera Utara. Populasi penelitian berjumlah 50 responden. Rancangan yang digunakan adalah rancangan penelitian deskriptif.

Alat ukur yang digunakan merupakan adaptasi dari The Acculturation Strategy Scale (ASSc) oleh Iara Da Costa (2008). Alat ukur terdiri dari 52 item yang setiap item dinilai pada skala Likert. Validitas alat ukur dilakukan dengan content validity oleh dua orang expert. Reliabilitas alat ukur untuk jenis integrasi=0,707, asimilasi=0,501, marjinalisasi=0,767, separasi=0,841 dengan teknik Alpha Cronbach menggunakan program SPSS 16.0.

Berdasarkan hasil pengolahan data secara statistik, diperoleh hasil bahwa sebagian besar menggunakan jenis strategi akulturasi integrasi, sebagian kecil menggunakan jenis strategi separasi, dan sebagian kecil menggunakan dua strategi yaitu integrasi dan separasi. Dari sebagian besar yang menggunakan jenis integrasi, terdapat sebagian yang menunjukkan kecenderungan menggunakan strategi separasi. Selain itu, dari responden yang menggunakan jenis separasi, terdapat sebagian kecil yang menunjukkan kecenderungan menggunakan strategi integrasi. Faktor-faktor yang berpengaruh adalah jarak kultural, pendidikan, pekerjaan, kecemasan, locus of control, psychological differentiation, need for cognitive closure, coping strategy,

self-monitoring, ekstraversi yang tinggi, dan trait kepribadian.

Peneliti mengajukan saran agar dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai strategi akulturasi dengan sampel yang berbeda dan memperoleh gambaran yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi individu dalam memilih strategi akulturasi. Selain itu dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kontribusi faktor-faktor self-orientations (kecemasan, locus of control, need for cognitive closure (NCC), coping strategy) dan others-orientation (self-monitoring, ekstraversi, trait kepribadian) terhadap strategi akulturasi.


(2)

ii

Universitas Kristen Maranatha

This research was conducted to describe the types of acculturation strategies used by the Javanese people aged 40-50 years in the village of Lau Gumba Berastagi sub-district of North Sumatra. The study population was 50 respondents. The design used in this study is a descriptive research design.

Measuring instrument used is an adaptation of The Acculturation Strategy Scale (ASSc) by Iara Da Costa (2008). Measuring instrument consists of 52 items that each item is rated on a Likert scale. The validity of the measuring instrument is done with the content validity by two experts. The reliability of the measuring instrument for this type of integration=0.707, assimilation=0.501, marginalization= 0.767, separation=0.841 with Alpha Cronbach techniques using SPSS 16.0.

Based on the results of statistical data processing, the results showed that almost all of Javanese people aged 40-50 years in the village of Lau Gumba Berastagi sub-district of North Sumatra use integration strategy, A fraction of the sample use separation strategy, and A fraction of the sample use two strategies of integration and separation. Of the Javanese people aged 40-50 years in the village of Lau Gumba Berastagi sub-district of North Sumatra which use integration strategy, there are a fraction that shows a tendency to use separation strategy. In addition, of Javanese people aged 40-50 years in the village of Lau Gumba Berastagi sub-district of North Sumatra which use separation strategy, there are a fraction that shows a tendency to use integration strategy. Factors that influence the cultural distance, education, employment, anxiety, locus of control, psychological differentiation, need for cognitive closure, coping strategy, self- monitoring, high extraversion, and personality trait.

Researchers propose suggestions for further research on acculturation strategies with different samples and obtain a broader picture of the factors that affect the individual in choosing strategies of acculturation. Moreover, it can do more research on the contribution of the factors of self-orientations (anxiety, locus of control, need for cognitive closure (NCC), coping strategy) and others-orientation (self-monitoring, extraversion, personality traits) of the acculturation strategies.


(3)

v

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

Abstrak... i

Abstract... ii

Kata Pengantar... iii

Daftar Isi... v

Daftar Tabel... x

Daftar Bagan... xi

Daftar Lampiran... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Identifikasi Masalah... 12

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian... 12

1.4. Kegunaan Penelitian... 12

1.4.1. Kegunaan Teoritis... 12

1.4.2. Kegunaan Praktis... 13


(4)

vi

Universitas Kristen Maranatha

1.6. Asumsi... 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 29

2.1. Akulturasi………... 29

2.2. Strategi Akulturasi... 30

2.3. Dimensi Individual dan Kepribadian dalam Akulturasi... 33

2.3.1 Self-Orientation... 33

2.3.1.1. Self-Esteem... 34

2.3.1.2. Motivasi... 36

2.3.1.3. Strategi Coping... 37

2.3.1.4. Kecemasan... 38

2.3.1.5. Need for Cognitive Closure... 38

2.3.1.6. Locus of Control... 39

2.3.1.7. Perbedaan Psikologis... 39

2.3.2 Others Orientations... 40

2.3.2.1. Self-Monitoring... 40


(5)

vii

Universitas Kristen Maranatha

2.3.2.3. Big Five... 41

2.4. Teori Perkembangan Psikososial: Generativity versus stagnation... 42

2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Akulturasi... 43

2.6. Kedatangan Masyarakat Jawa di Sumatera Utara... 44

2.7. Budaya Jawa... 47

2.7.1. Sistem Kekerabatan... 47

2.7.2. Kedudukan Pria dan Wanita………... 47

2.8. Budaya Karo... 48

2.8.1. Sistem Kekerabatan... 48

2.8.2. Kedudukan Pria dan Wanita... 49

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 51

3.1. Rancangan dan Prosedur Penelitian... 51

3.2. Bagan Rancangan Penelitian... 51

3.3. Variabel dan Definisi Operasional... 52

3.3.1. Variabel Penelitian... 52


(6)

viii

Universitas Kristen Maranatha

3.3.2. Definisi Operasional... 52

3.4 Alat Ukur... 56

3.4.1. Alat Ukur Strategi Akulturasi... 56

3.4.2. Profil Strategi Akulturasi... 59

3.4.3. Data Pribadi... 60

3.4.4. Data Penunjang... 60

3.4.5. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur... 61

3.4.5.1. Validitas Alat Ukur... 61

3.4.5.2. Reliabilitas Alat Ukur... 61

3.5. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel... 62

3.5.1. Populasi Sasaran... 62

3.5.2. Karakteristik Populasi... 62

3.5.3. Teknik Penarikan Sampel... 62

3.6. Teknik Analisis Data... 63

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 64


(7)

ix

Universitas Kristen Maranatha

4.1.1. Gambaran Responden... 64

4.1.1.1. Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 64

4.1.1.2. Presentase Responden Berdasarkan Pendidikan... 65

4.1.1.3. Presentase Responden Berdasarkan Pekerjaan... 65

4.1.1.4. Persentase Responden Berdasarkan Agama... 66

4.1.2. Strategi Akulturasi... 66

4.1.2.1. Jenis Strategi Akulturasi... 66

4.2. Pembahasan Hasil... 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 80

5.1. Kesimpulan... 80

5.2. Saran... 82

5.2.1. Saran Teoritis... 82

5.2.2. Saran Praktis... 83

Daftar Pustaka... 84

Daftar Rujukan... 86


(8)

x

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Kisi-kisi Alat Ukur...58

Tabel 3.2. Profil Strategi Akulturasi……….60

Tabel 4.1. Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin...64

Tabel 4.2. Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan...65

Tabel 4.3. Gambaran Responden Berdasarkan Pekerjaan...65

Tabel 4.4 Gambaran Responden Berdasarkan Agama...66


(9)

xi

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1. Bagan Kerangka Pemikiran... 26 Bagan 3.1. Bagan Rancangan Penelitian...51


(10)

xii

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Kisi-Kisi Alat Ukur

Lampiran 2 : Kuesioner Data Penunjang

Lampiran 3 : Kuesioner Acculturation Strategy Scale Lampiran 4 : Hasil Reliabilitas Alat Ukur

Lampiran 5 : Tabel Profile

-Lampiran 5.1. Tabel Profile Integrasi -Lampiran 5.2. Tabel Profile Separasi

-Lampiran 5.3. Tabel Profile Integrasi-Separasi

Lampiran 6 : Crosstab Hasil Penelitian dengan Data Penunjang

-Lampiran 6.1. Crosstab antara Profile Strategi Integrasi dengan jenis kelamin -Lampiran 6.2. Crosstab antara Profile Strategi Integrasi dengan pendidikan -Lampiran 6.3. Crosstab antara Profile Strategi Integrasi dengan pekerjaan -Lampiran 6.4. Crosstab antara Profile Strategi Integrasi dengan Self-esteem

-Lampiran 6.5. Crosstab antara Profile Strategi Integrasi dengan motivasi -Lampiran 6.6. Crosstab antara Profile Strategi Integrasi dengan coping strategy

-Lampiran 6.7. Crosstab antara Profile Strategi Integrasi dengan kecemasan -Lampiran 6.8. Crosstab antara Profile Strategi Integrasi dengan need of cognitive

closure

-Lampiran 6.9. Crosstab antara Profile Strategi Integrasi dengan locus of control

-Lampiran 6.10. Crosstab antara Profile Strategi Integrasi dengan psychological differentiation


(11)

xiii

Universitas Kristen Maranatha -Lampiran 6.11. Crosstab antara Profile Strategi Integrasi dengan self-monitoring

-Lampiran 6.12. Crosstab antara Profile Strategi Integrasi dengan extravesion

-Lampiran 6.13.Crosstab antara Profile Strategi Integrasi dengan trait kepribadian -Lampiran 6.14. Crosstab antara Profile Strategi Integrasi dengan jarak kultural -Lampiran 6.15 Crosstab antara Profile Strategi Integrasi dengan sikap terhadap

pernikahan

-Lampiran 6.16 Crosstab antara Jenis Strategi Akulturasi dengan sikap terhadap pernikahan

Lampiran 7 : Data Hasil Jenis Strategi Lampiran 8 : Hasil Data Penunjang

-Lampiran 8.1. Data Penunjang (jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan)

-Lampiran 8.2. Data Penunjang Self-Orientations -Lampiran 8.3. Data Penunjang Others-Orientations

-Lampiran 8.4. Data Penunjang: Sikap terhadap Pernikahan

Lampiran 9 : Hasil Area-Area Pada Setiap Subyek Lampiran 10 : Profil Strategi Subyek

Lampiran 10.1. Dusun II Lampiran 10.2. Dusun III Lampiran 10.3. Dusun IV

Lampiran 11 : Profil Desa Lau Gumba Lampiran 12 : Biodata Peneliti


(12)

1

Universitas Kristen Maranatha

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Suku Jawa adalah salah satu suku di Indonesia yang berasal dari Pulau Jawa dan memiliki bahasa serta budaya yang berbeda dengan suku lain di Indonesia. Masyarakat Jawa tidak hanya ada di Pulau Jawa namun ada yang tinggal di Pulau Sumatera. Perpindahan orang-orang Jawa ke Pulau Sumatera, adalah akibat pembukaan perkebunan secara besar-besaran oleh Belanda di wilayah tersebut. Belanda mendatangkan orang-orang dari Jawa sebagai migran yang dipekerjakan di perkebunan. Sebagian besar dari mereka berasal dari Jawa Tengah. Di Sumatera Utara, mereka ditempatkan di perkebunan karet dan kelapa sawit di daerah Kisaran dan Langkat (Dormauli, 2010). Mereka didatangkan dari desa-desa di Jawa yang mengalami paceklik melalui agen pencari kuli (Siyo dalam Dormauli, 2010).

Kemudian orang-orang Jawa yang awalnya bekerja di perkebunan datang ke Tanah Karo khususnya Berastagi mulai tahun 1950-an. Awalnya telah ada orang bersuku Jawa yang datang pada tahun 1935 namun hanya beberapa keluarga. Jumlah masyarakat Jawa yang pindah ke Berastagi bertambah banyak sejak tahun 1950-an. Tanah Karo merupakan daerah yang sangat terkenal dengan kesuburannya sehingga banyak orang ingin memperbaiki taraf kehidupannya di daerah tersebut. Tanpa modal maupun pendidikan yang tinggi serta hanya mengeluarkan tenaga, mereka dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Hal ini


(13)

2

Universitas Kristen Maranatha tentunya sangat menarik perhatian mereka apalagi mengingat sulitnya mereka memperoleh penghidupan yang layak di daerah asal mereka sebelumnya akibat adanya penyakit tanaman dan serangan hama terhadap tanaman mereka sehingga mereka mengalami kesulitan bahan pangan dan ekonomi (Dormauli, 2010). Masyarakat Jawa yang datang dari Pulau Jawa tersebut bermukim di desa-desa yang ada di kecamatan Berastagi, salah satunya adalah desa Lau Gumba. Lau Gumba awalnya merupakan bagian dari Desa Sempa Jaya, namun pada tahun 2010 desa ini resmi dimekarkan menjadi Desa Lau Gumba. Menurut data dari kepala desa Desa Lau Gumba pada Desember 2014, jumlah orang yang bersuku Jawa sebanyak 312 orang dan masyarakat yang bersuku Karo berjumlah 989 orang. Dari jumlah tersebut terlihat bahwa suku Jawa di desa tersebut adalah minoritas. Di desa ini terdiri dari 4 dusun. Dusun I dihuni oleh hanya masyarakat Karo, dusun II dihuni oleh masyarakat Karo dan 4 keluarga yang bersuku Jawa. Dusun III hanya dihuni oleh masyarakat Jawa serta dusun IV dihuni oleh masyarakat Jawa dan masyarakat Karo. Tidak pernah terjadi perseteruan antara masyarakat Jawa dan Karo di desa ini. Masyarakat Jawa aktif berpartisipasi di kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat Karo, misalnya acara” kerja tahun”. Mereka aktif membantu sebagai panitia acara walaupun acara ini adalah acara tradisi masyarakat Karo. Selain itu, di komunitas masyarakat Jawa di desa ini, terdapat beberapa masyarakat Karo yang ikut serta.

Berdasarkan hasil wawancara dengan sekretaris desa Lau Gumba, pada awalnya masyarakat Jawa yang datang ke desa ini bekerja sebagai petani di area yang dikenal dengan “Ladang Rumah Jawa”. Kemudian masyarakat Jawa


(14)

Universitas Kristen Maranatha meninggalkan area tersebut dan pindah ke lembah, yaitu dusun III dan dusun IV. “Ladang rumah Jawa” lalu dikelola dan dihuni oleh masyarakat Karo. Saat ini masyarakat Jawa yang tinggal di Desa Lau Gumba adalah generasi kedua, ketiga, dan keempat.

Karo dan Jawa memiliki budaya yang berbeda, perbedaan ini antara lain terlihat dari pola kekerabatan. Masyarakat Karo meyakini bahwa marga adalah hal yang paling utama dalam identitasnya (Tarigan, 2009: 24). Marga pada masyarakat Karo dikenal dengan Marga Silima, yaitu Ginting, Karo-Karo, Perangin-angin, Sembiring, dan Tarigan. Dari marga ini ketika bertemu dengan orang lain yang tidak dikenal yang sama-sama bersuku Karo, penting untuk melakukan ertutur. Dari ertutur inilah didapatkan panggilan untuk orang tersebut. Dalam pemanggilan atau panggilan terhadap anggota keluarga, marga yang menunjukkan identitas dan penentuan sistem kekerabatan orang Karo sehingga pemanggilan untuk adik atau kakak dari pihak ibu maupun ayah berbeda (Tarigan, 2009: 98). Misalnya, memanggil adik laki-laki dari pihak ibu dengan mama

sedangkan dari pihak ayah dengan ‘bapak’. Hal ini berbeda dengan suku Jawa yang tidak memiliki marga dan ertututur. Dalam suku Jawa tidak ada perbedaan dalam pemanggilan pada anggota keluarga dari pihak ayah maupun ibu. Misalnya pada suku Jawa, istilah-istilah kekerabatan untuk menyebut seseorang di dalam kelompok kerabatnya antara lain dalam memanggil adik baik dari ibu ataupun ayah, yaitu bulek (untuk perempuan) dan paklek (untuk laki-laki) serta bude (untuk perempuan) dan pakde (untuk laki-laki) untuk kakak dari ayah maupun ibu.


(15)

4

Universitas Kristen Maranatha Selain pola kekerabatan, terdapat satu perbedaan yang signifikan di antara suku Karo dan Jawa, yaitu agama atau kepercayaan. Komposisi penduduk berdasarkan agama yang dianut memperlihatkan bahwa penganut agama Nasrani merupakan yang terbanyak, disusul oleh pemeluk agama Islam dan agama lainnya di Berastagi Sumatera Utara (Pemerintah Kabupaten Karo). Begitu juga dengan desa Lau Gumba. Penduduk Jawa yang tinggal di desa tersebut menganut agama Muslim sedangkan yang suku Karo mayoritas beragama Nasrani. Perbedaan dalam ritual keagamaan sangat berbeda. Misalnya ketika ada yang menikah atau meninggal. Pada masyarakat Jawa di desa tersebut, ritual menikah atau meninggal biasanya diadakan di rumah. Ketika resepsi pernikahan biasanya juga diadakan di rumah lengkap dengan iringan musik. Namun untuk masyarakat Karo, mereka biasanya mengadakan pesta, baik pesta pernikahan maupun upacara untuk keluarga yang meninggal di “jambur”. “Jambur” merupakan suatu tempat yang mirip dengan aula yang dijadikan tempat berkumpul ketika acara pernikahan maupun upacara keluarga yang meninggal.

Perbedaan agama yang dianut juga mempengaruhi masyarakat Jawa dan Karo dalam hal makanan. Makanan masyarakat Jawa yang menganut agama Islam terbatas karena adanya larangan jenis makanan untuk dimakan, misalnya saja daging babi dan darah hewan yang haram bagi umat Muslim. Sedangkan terdapat makanan khas Karo yang berbahan daging babi dan darah. Misalnya tasak telu yang berbahan dasar ayam dan darah ayam serta lomok-lomok yang berbahan dasar daging babi. Makanan ini biasanya disajikan saat acara adat Karo, misalnya saat “Kerja Tahun (upacara sebelum menanam padi)” (Meliala, 2010).


(16)

Universitas Kristen Maranatha Selain itu, perbedaan pada suku karo dan jawa adalah dalam hal karakteristik makanan. Pada masyarakat Karo juga berbeda dengan masyarakat Jawa. Masyarakat Karo menggunakan rempah-rempah yang banyak dan juga pedas. Misalnya dalam masakan memakai tuba (Andaliman: Shanghai peppercorn) dan asam patikala/cekala (buah kecombrang). Sedangkan pada masyarakat Jawa, masakan tradisional mereka manis dan tidak pedas. Sebagian masyarakat Jawa di desa ini menggunakan bumbu-bumbu khas Karo pada masakan mereka.

Perbedaan lainnya adalah pada bahasa. Bahasa pada masyarakat Karo berbeda baik secara kata-kata maupun dalam penyusunan kalimat. Misalnya, untuk menanyakan kabar, dalam bahasa karo: “kam uga beritandu?” sedangkan dalam bahasa Jawa: “Piye Kabare?”.

Perbedaan-perbedaan ini akan dirasakan oleh mereka sejak mereka kecil. Mereka melakukan kontak pertama dengan masyarakat Karo saat mereka kecil dan berkelanjutan hingga saat ini. Mereka merasakan perbedaan ketika mereka di rumah, mereka diajarkan budaya Jawa oleh orang tuanya sedangkan di luar rumah akan menemukan budaya yang berbeda yaitu budaya Karo. Hal ini akan dirasakan juga pada generasi kedua, yaitu generasi terdekat dari generasi pertama yang datang ke desa Lau Gumba. Generasi kedua tersebut berusia 40-50 dan lahir serta besar di desa tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan Sekretaris Desa, saat ini mereka ada yang bekerja sebagai karyawan hotel, petani, ataupun buruh tani. Di tempat kerja, mereka tidak hanya bertemu dengan orang-orang yang bersuku Jawa saja namun juga yang bersuku Karo, baik rekan kerja ataupun atasan. Dan


(17)

6

Universitas Kristen Maranatha berdasarkan wawancara dengan beberapa masyarakat Jawa di desa Lau Gumba yang bekerja sebagai karyawan hotel, di tempat mereka bekerja, mereka memiliki rekan kerja dan atasan yang bukan hanya bersuku Jawa, namun cukup banyak yang bersuku Karo. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun tinggal di dusun yang berbeda, masyarakat Jawa tetap melakukan kontak dengan masyarakat Karo.

Masyarakat Jawa yang berusia 40-50 tahun ini merupakan generasi yang mendapatkan pewarisan budaya Jawa melalui proses belajar dan didapatkan dari orang tua mereka lalu ketika mereka di luar rumah, ada orang lain baik tetangga maupun lembaga dengan budaya yang berbeda, yaitu budaya Karo. Mereka sebagai generasi kedua akan berbeda dengan generasi ketiga ataupun keempat. Hal ini terjadi karena orang tua dari generasi kedua atau yang disebut generasi pertama masih memiliki budaya Jawa yang masih murni dan baru bertemu dengan pola budaya Karo sehingga dalam mewariskan budaya Jawa pada anak mereka akan lebih murni.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan 11 orang masyarakat Jawa yang berusia 40-50 tahun di desa Lau Gumba mengatakan bahwa mereka sudah terbiasa dan tidak lagi merasa terganggu dengan budaya Karo yang berbeda dengan budaya mereka. Mereka dari kecil sudah terbiasa dengan budaya Karo dan tidak mengalami kebingungan dengan budaya Karo baik dalam bahasa, tata krama, upacara adat, maupun makanannya. Selain itu mereka sudah menentukan bagaimana mereka berinteraksi dengan masyarakat Karo dan dengan masyarakat mana mereka lebih memilih berteman dan merasa nyaman serta penghayatan mereka ketika mereka berinteraksi dengan masyarakat Karo. Berdasarkan data


(18)

Universitas Kristen Maranatha tersebut, masyarakat Jawa di desa Lau Gumba yang berusia 40-50 tahun sudah pada fase adjustment yaitu fase keempat dalam fase reaksi emosional dari Oberg (Ward, 2001: 80). Masyarakat Jawa tidak lagi mengalami masa krisis yaitu fase kedua dari 4 fase reaksi emosional. Dalam fase tersebut mereka juga sudah menetapkan jenis strategi akulturasi yang mereka gunakan.

Strategi akulturasi merupakan cara individu yang berakulturasi ketika berhubungan dengan masyarakat dominan yang didasarkan pada seberapa besar keinginan untuk mempertahankan budaya asal yang merupakan budaya non-dominan dan seberapa besar keinginan dan bersedia melakukan relasi dengan kelompok masyarakat dominan (Berry, 1999:541) Strategi akulturasi yang dipilih masyarakat Jawa didasarkan pada adanya kontak antara mereka dengan masyarakat Karo, kemudian dari kontak tersebut ada pengaruh timbal balik, di mana bukan hanya masyarakat Jawa yang menyesuaikan pola budayanya ketika berinteraksi dengan masyarakat Karo, namun masyarakat Karo juga menyesuaikan pola budayanya ketika berinteraksi dengan masyarakat Jawa dan juga bagaimana respon masyarakat Karo terhadap masyarakat Jawa yang nantinya akan menghasilkan perubahan pada masyarakat Jawa dan juga masyarakat Karo.

Strategi akulturasi yang dipilih dipengaruhi oleh strategi akulturasi dari orang tua mereka. Dari kecil mereka mengalami enkulturasi budaya Jawa dari orang tua mereka. Enkulturasi merupakan proses yang memungkinkan kelompok memasukkan individu ke dalam budaya sehingga memungkinkan individu tersebut membawakan perilaku sesuai harapan budaya (Berry, 1999: 35). Orang tua dari generasi kedua akan menanamkan nilai-nilai dan keterampilan serta


(19)

8

Universitas Kristen Maranatha budaya-budaya Jawa pada generasi kedua. Bukan hanya dari orang tua, teman-teman sebaya dan tetangga yang juga besuku Jawa juga memegang peranan penting dalam menanamkan budaya Jawa pada generasi kedua. Selain itu, respon dari kelompok masyarakat dominan juga mempengaruhi strategi yang dipilih oleh masyarakat Jawa generasi kedua. Generasi kedua yang berusia 40-50 tahun merupakan usia middle adulthood (Papalia, 2012). Mereka memiliki peran yang berbeda dengan remaja maupun dewasa awal. Usia 40-50 tahun merupakan usia ketika mereka memiliki peran sebagai orang tua dari anak yang berusia remaja dan dewasa awal maupun sebagai kakek atau nenek. Bagaimana mereka mengajarkan anak mereka mengenai budaya asal ataupun budaya karo akan mempengaruhi bagaimana anak dan cucu mereka akan melestarikan budaya asli mereka dan bagaimana mereka akan melakukan kontak dengan kelompok masyarakat Karo.

Strategi akulturasi menjadi penting bagi masyarakat Jawa yang menjadi masyarakat non-dominan karena masyarakat Jawa sehari-hari melakukan kontak dengan masyarakat dengan yang berbeda budaya, yaitu suku Karo. Ketika masyarakat Jawa menggunakan strategi akulturasi yang kurang sesuai dengan mereka dan lingkungan tempat tinggal serta tempat bekerja mereka dapat berakibat pada ketidaknyamanan diri masyarakat Jawa dan juga masyarakat Karo. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa 4 strategi akulturasi berhubungan dengan kesehatan mental individu yang berakulturasi (Krishnan & Berry, 1992; Sam, 1994; Sam & Berry, 1995 dalam Da Costa, 2008).


(20)

Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan seberapa besar keinginan untuk melestarikan budaya asli yaitu budaya Jawa sebagai budaya non-dominan dan keinginan melakukan hubungan dengan kelompok masyarakat Karo, ada 4 strategi akulturatif yaitu asimilasi, integrasi, separasi, dan marjinalisasi (Berry, 2006: 35). Strategi asimilasi yaitu ketika individu tidak ingin mempertahankan identitas budaya mereka dan berinteraksi sehari-hari dengan masyarakat dominan (Berry, 2006: 35). Dampak pada masyarakat Jawa bila menggunakan strategi ini adalah mempermudah dalam berinteraksi sehari-hari. Karena di desa tersebut bukan hanya dihuni oleh orang yang bersuku Jawa saja dan lebih banyak orang yang bersuku Karo yang tinggal disana. Dampak negatif dari strategi ini adalah dinilai tidak menghargai budaya asli oleh sesama suku Jawa.

Berbeda dengan asimilasi, strategi separasi adalah ketika individu menempatkan nilai pada berpegang dengan budaya asli mereka dan pada saat yang sama berkeinginan menghindari interaksi dengan orang lain yang bukan sesuku. Masyarakat Jawa dengan strategi ini akan berdampak pada kehidupan mereka sehari-hari karena mereka bukan suku asli desa Lau Gumba sedangkan masyarakat terbanyak adalah suku Karo dan mereka harus mau berinteraksi dengan orang di luar suku mereka. Strategi yang salah akan mempengaruhi mereka dan anak-anak mereka. Jika masyarakat Jawa yang berusia 40-50 tahun menggunakan strategi akulturasi separasi, maka ketika anak-anak mereka yang berusia remaja dan dewasa awal berteman dengan masyarakat Karo, mereka akan melarang anak-anak mereka untuk melakukan kontak dan mempelajari budaya masyarakat Karo. Hal ini akan menghambat anak-anak mereka ketika di sekolah


(21)

10

Universitas Kristen Maranatha atau tempat kerja yang tidak hanya masyarakat Jawa saja yang mereka temui. Namun, ketika mereka memilih strategi akulturasi asimilasi, maka anak-anak mereka tidak mengetahui budaya asli mereka yaitu budaya Jawa karena hanya memelihara budaya masyarakat Karo saja. Anak-anak mereka akan menganggap bahwa mereka adalah suku Karo padahal mereka seharusnya mampu mempertahankan budaya asli mereka yaitu budaya Jawa.

Strategi akulturasi yang ketiga adalah strategi integrasi, yaitu strategi yang digunakan ketika ada ketertarikan dalam interaksi dengan kedua budaya, yaitu tetap menjaga budaya asli dan melakukan interaksi dengan kelompok lain dalam kesehariannya (Berry, 2006: 35). Masyarakat Jawa yang memilih ini tidak akan kesulitan dalam berinterakasi dengan orang-orang dengan suku berbeda. Berbeda dengan integrasi, strategi marjinalisasi merupakan suatu strategi ketika ada minat yang kecil untuk melestarikan budaya asal dan melakukan hubungan dengan kelompok budaya lain (Berry, 1999: 543). Masyarakat Jawa yang memilih strategi ini akan berdampak pada kesehatan mental yang terganggu akibat terjadinya konflik pada diri.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti terhadap 11 orang masyarakat Jawa yang berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba, masyarakat Jawa yang cenderung untuk memiliki keinginan melestarikan budaya asalnya dan menolak melakukan relasi dengan kelompok masyarakat Karo sebanyak 72,8% (8 orang). Mereka mengatakan bahwa dalam bersosialisasi, mereka lebih nyaman dengan orang yang satu suku karena mereka merasa orang yang bersuku sama lebih mengerti tata krama Jawa sehingga mereka lebih memilih melakukan kontak


(22)

Universitas Kristen Maranatha dengan orang Jawa walaupun dalam bekerja tidak dapat dihindari bahwa diharuskan untuk berteman dan melakukan kontak dengan orang yang bersuku Karo. Dalam hal makanan, mereka juga merasa tidak nyaman dengan makanan Karo yang terlalu berbau bumbu rempah. Namun, beberapa dari mereka tetap memasak makanan khas Karo namun mengurangi bumbu rempah yang digunakan. Ketika ada acara “kerja tahun (acara budaya suku karo)” atau pesta pernikahan suku karo, mereka tetap datang jika diundang walaupun sebenarnya mereka tidak menyukai acara adat suku karo. Mereka mengatakan bahwa untuk menghargai suku karo dan karena tinggal di daerah yang bersuku asli Karo maka mereka terpaksahadir dalam acara berbudaya Karo.

Sedangkan 27,3% (3 orang) cenderung masih memiliki kemauan dan keinginan untuk memelihara budaya Jawa dan melakukan interaksi dengan kelompok budaya Karo. Mereka menyukai berteman dengan orang Karo. Mereka juga dengan senang hati datang ke acara budaya suku Karo, baik pernikahan maupun “kerja tahun”. Mereka menganggap budaya Karo unik dan dari kecil mereka sudah terbiasa dengan budaya Karo sehingga mereka menjadi menyukai budaya Karo. Beberapa dari mereka juga ikut membantu dalam acara “kerja tahun” yang diadakan setiap tahun di desa tersebut. Mereka juga menyukai makanan khas Karo dan lagu-lagu Karo. Dalam berkomunikasi, mereka lebih sering menggunakan bahasa Jawa karena masyarakat Karo di desa tersebut menggunakan bahasa Jawa ketika berkomunikasi dengan mereka, namun mereka terkadang menggunakan bahasa Karo ketika berkomunikasi dengan orang yang bersuku Karo.


(23)

12

Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti tertarik untuk meneliti jenis strategi akulturasi yang digunakan oleh masyarakat Jawa di Desa Lau Gumba kecamatan Berastagi, Sumatera Utara.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui jenis strategi akulturasi apa yang digunakan oleh masyarakat Jawa yang berusia 40-50 tahun di desa Lau Gumba kecamatan Berastagi Sumatera Utara.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Memperoleh gambaran mengenai strategi akulturasi pada masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi, Sumatera Utara.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Memperoleh gambaran serta faktor-faktor yang mempengaruhi jenis-jenis strategi akulturasi pada masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi, Sumatera Utara.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis


(24)

Universitas Kristen Maranatha • Memberikan informasi mengenai jenis strategi akulturasi ke dalam bidang

ilmu Psikologi Lintas Budaya dan Psikologi Sosial.

• Memberikan masukan bagi peneliti lanjut yang berminat melakukan penelitian mengenai strategi akulturasi pada masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi, Sumatera Utara.

1.4.2 Kegunaan Praktis

• Memberikan informasi kepada masyarakat Jawa dan Karo di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi, Sumatera Utara melalui Kepala Desa untuk dijadikan pertimbangan dalam melakukan interaksi dan pemeliharaan budaya, baik dengan kelompok masyarakatnya sendiri atau dengan kelompok masyarakat lain.

• Sebagai informasi kepada Pemerintah Kabupaten Tanah Karo. Informasi ini dapat digunakan untuk membimbing masyarakat Jawa untuk memilih strategi akulturasi yang sesuai.

1.5 Kerangka Pemikiran

Masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun merupakan generasi kedua yang mendapatkan pewarisan budaya Jawa dari orang tua mereka yang merupakan generasi pertama yang tinggal di desa Lau Gumba. Generasi pertama sebelumnya telah mendapatkan pewarisan budaya Jawa dari orang tua atau generasi terdahulu mereka. Kemudian, generasi pertama menurunkan pada anak-anak mereka yaitu generasi kedua. Orang tua mewariskan nilai, keterampilan, keyakinan, motif


(25)

14

Universitas Kristen Maranatha budaya, dan sebagainya kepada anak dan cucunya (Berry, 1999: 32) Proses ini disebut dengan enkulturasi. Enkulturasi merupakan proses yang memungkinkan kelompok memasukkan individu ke dalam budaya sehingga memungkinkan individu tersebut membawakan perilaku sesuai harapan budaya (Berry, 1999: 35). Enkulturasi dari orang tua ini memiliki hasil akhir yaitu individu menjadi piawai dalam budaya mencakup ritual, nilai-nilai, bahasa, dan lain-lain. Selain dari orang tua, enkulturasi budaya Jawa juga didapatkan dari orang dewasa lain dan teman-teman sebaya mereka. Pada masyarakat Jawa yang berusia 40-50 tahun, hasil dari enkulturasi budaya dari orang tua, orang dewasa lain, dan teman sebaya mereka adalah mereka menjadi tahu bahasa mereka, nilai-nilai, upacara kebudayaan, dan lain-lain serta mereka juga menerapkan di kehidupan mereka sehari-hari.

Masyarakat Jawa yang berusia 40-50 tahun menurut Erikson berada pada tahap ke tujuh dari tahap psikososial yaitu generativity versus stagnation (Papalia, 2012: 512). Pada fase ini, masyarakat Jawa memberikan perhatian pada membangun, membimbing, dan mempengaruhi generasi berikutnya. Masyarakat Jawa yang berumur 40-50 tahun memiliki tugas sebagai orang tua dan kakek atau nenek. Dengan tanggung jawab tersebut, mereka akan membimbing anak-anak mereka atau cucu mereka termasuk dalam hal budaya. Mereka juga mengajarkan anak dan cucu mereka mengenai budaya Jawa juga mengenai budaya dominan di desa tersebut yaitu budaya Karo. Namun, untuk masyarakat Jawa yang mengalami stagnasi akan menjadi egosentris, self-indulgent, dan stagnan (inactiveor lifeless) (Papalia, 2012).


(26)

Universitas Kristen Maranatha Di desa Lau Gumba, masyarakat Jawa tinggal dengan masyarakat Karo. Masyarakat Jawa menjadi masyarakat non-dominan. Masyarakat Jawa yang tinggal di desa Lau Gumba mengalami akulturasi karena budaya dalam keluarga dan lingkungan berbeda. Budaya keluarga yang merupakan budaya Jawa, di rumah oleh keluarga dibiasakan dengan bahasa Jawa, logat Jawa, makanan khas Jawa, nilai-nilai yang dipercayai oleh suku Jawa kemudian ketika keluar rumah, misalnya tetangga, tempat kerja menghadapi budaya yang sangat berbeda dengan di rumah yaitu budaya suku Karo. Perbedaan budaya tersebut dalam hal bahasa, makanan, nilai-nilai, acara adat, dan kepercayaan yang dianut. Akulturasi terjadi ketika sekelompok individu dengan budaya yang berbeda datang dan melakukan kontak pertama yang akan berkelanjutan dengan perubahan berikutnya dalam pola budaya asli dari salah satu atau kedua kelompok (Redfield, Linton, dan Herskovits 1936 dalam Berry, 2006). Dalam definisi akulturasi tersebut, terdapat 3 isu utama yaitu kontak, pengaruh timbal balik, dan perubahan. Masyarakat Jawa yang berumur 40-50 tahun dari lahir tinggal di desa tersebut. Mereka mengalami proses akulturasi dari mereka kecil. Kontak pertama mereka adalah ketika mereka dilahirkan dan kemudian berkelanjutan hingga sekarang. Ada pengaruh timbal balik antara suku dominan yaitu suku Karo dan non-dominan yaitu masyarakat Jawa dan akan muncul perubahan perilaku yang muncul disesuaikan dengan budaya suku yang sedang berinteraksi dan tanggapan dari suku dominan. Pengaruh timbal balik ini terjadi ketika masyarakat Jawa tersebut menyesuaikan pola-pola budayanya dengan pola budaya dominan di daerah tersebut, begitu juga dengan orang-orang Karo yang juga mengubah pola budayanya disesuaikan


(27)

16

Universitas Kristen Maranatha dengan masyarakat Jawa ketika melakukan kontak dengan mereka. Dari kontak dan pengaruh timbal balik tersebut, akan menghasilkan perubahan. Perubahan di dalam akulturasi adalah adanya perubahan budaya dari masyarakat Jawa maupun budaya masyarakat Karo, misalnya dalam hal bahasa. Masyarakat Jawa yang menggunakan bahasa Jawa, akan mengubah bahasa yang digunakan menjadi bahasa Karo ketika berbicara dengan orang lain yang bersuku Karo. Begitu juga dengan masyarakat Jawa yang menggunakan bahasa Jawa ketika berbicara dengan orang Jawa. Ketika terjadi akulturasi, masyarakat Jawa di desa Lau Gumba mempelajari budaya-budaya baru dan akan terjadi peluruhan budaya. Kemudian akan ada tanggapan atau respon dari suku dominan pada suku non-dominan ketika mereka melakukan akulturasi. Proses belajar dan peluruhan budaya dapat melibatkan konflik psikologis, di mana, misalnya, nilai-nilai yang tidak sesuai dipegang oleh anggota kelompok yang dominan dan non-dominan (Berry, 2006).

Terdapat 2 dimensi akulturasi, yaitu self-orientations dan others orientations.

Terdapat 7 faktor yang mempengaruhi self orientation, yaitu: self-esteem,

motivasi, strategi coping, kecemasan, need for cognitive closure, locus of control,

dan perbedaan psikologis, sedangkan others orientations terdiri atas s elf-monitoring, ekstraversi, dan kepribadian. Self-Orientation mengarah pada pengalaman kesadaran reflektif ketika seorang individu menyadari diri, kepribadiannya, dan identitasnya (Berry, 2006: 114). Ketika masyarakat Jawa memiliki pandangan yang positif mengenai diri dan lingkungan serta self-esteem

yang positif maka akan berpengaruh positif juga pada usaha untuk beradaptasi. Masyarakat Jawa yang memilliki self-orientation yang positif berarti memiliki


(28)

Universitas Kristen Maranatha kesadaran reflektif mengenai dirinya, kepribadiannya, dan identitasnya sebagai masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang memilliki self-orientation yang negatif berarti tidak memiliki kesadaran reflektif mengenai dirinya, kepribadiannya, dan identitasnya sebagai masyarakat Jawa. Pandangan yang negatif tentang diri terkait pada ketidakmampuan menyesuaikan diri, depresi, dan masalah lainnya (Berry, 2006: 115). Orang-orang yang berpikir lebih baik mengenai dirinya memiliki lebih banyak sumber daya daripada yang berfikir lebih buruk mengenai dirinya (Berry, 2006). Masyarakat Jawa yang berfikir lebih positif mengenai diri akan memiliki keberhargaan diri sehingga memiliki banyak usaha dalam melakukan akulturasi. Selain self-esteem, faktor yang mempengaruhi dimensi self-orientations lainnya adalah motivasi. Pada akulturasi, motivasi yang ditekankan adalah kebutuhan akan kekuasaan, kebutuhan untuk afiliasi, dan untuk berprestasi (Berry, 206: 116). Masyarakat Jawa yang memiliki kebutuhan akan prestasi yang tinggi akan mencari sesuatu yang menantang dan menghindari rutinitas. Sedangkan bila memiliki motivasi akan kekuasaan, mereka akan berani mengambil resiko dalam melakukan akulturasi untuk mencapai tujuan agar dikenal dan dikagumi orang lain. Faktor ketiga dari dimensi self-orientations

adalah coping style. Coping style dikonseptualisasikan sebagai usaha kognitif dan behavioral yang digunakan oleh individu dalam mengurangi dampak stress (Lazarus dan Folkman dalam Berry, 2006). Strategi yang berfokus pada masalah langsung mengelola masalah (melakukan sesuatu untuk mengubah sumber stress, mencoba memecahkan masalah), sedangkan strategi yang berfokus ke emosi mengarah pada pengurangan tingkat distress emosi dihubungkan dengan situasi


(29)

18

Universitas Kristen Maranatha stress (fokus pada ekspresi ketegangan dan frustrasi, membicarakan perasaan, pengontrolan diri, dan lain-lain).

Masyarakat Jawa pada desa Lau Gumba dapat mengalami kecemasan dalam mempelajari atau mencoba memahami bahasa Karo dan perbedaan dalam sistem nilai, kepercayaan, dan kebiasaan antara suku Jawa dan Karo. Kecemasan termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi dimensi self-orientations pada akulturasi. Beberapa penelitian mengatakan bahwa kecemasan adalah faktor yang dapat mempengaruhi proses akulturasi (Berry, 2006). Roccas dan Brewer dalam Berry (2008) menemukan bahwa kecemasan dapat merugikan proses pelaksanaan tugas ketika dibutuhkan atensi dan usaha yang disengaja, misalnya dalam mempelajari bahasa asing atau bahasa daerah lain (Berry, 2006: 118). Masyarakat Jawa yang mengalami kecemasan akan kesulitan dalam proses akulturasi. Misalnya ketika berelasi dengan masyarakat Karo. Kecemasan akan menghambat komunikasi masyarakat Jawa dengan masyarakat Karo.

Faktor yang mempengaruhi dimensi self-orientations lainnya adalah needs for cognitive closure. Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang dekat antara

needs for cognitive closure dan stress akulturasi serta kecemasan (Berry, 2006: 118). Stress akulturasi merupakan respon individu terhadap peristiwa kehidupan yang berakar dalam kontak antar budaya (Berry, 2006). Needs for cognitive closure (NCC) didefinisikan sebagai keinginan untuk jawaban yang tegas untuk pertanyaan dan keengganan terhadap ambiguitas (Kruglansky dan webster, dalam Berry, 2006). Need for cognitive closure diekspresikan dalam kebutuhan akan keteraturan, predictability and mental closure, dan ketidaktoleran terhadap


(30)

Universitas Kristen Maranatha ambiguitas. Orang dengan NCC tinggi akan intolerir terhadap perbedaan. Mereka akan sulit menerima hal-hal yang berbeda. Masyarakat Jawa dengan NCC tinggi akan sulit menerima dan memahami perbedaan budaya antara budaya Jawa dan budaya Karo. Selain NCC, locus of control juga merupakan faktor yang mempengaruhi dimensi self-orientation dari akulturasi. Masyarakat Jawa yang memiliki locus of control eksternal akan memiliki harapan umum bahwa hasil ditentukan oleh kekuatan-kekuatan luar seperti orang lain yang kuat, keberuntungan, atau nasib. Berry memprediksi bahwa setiap individu akan mengalami pengaruh akulturatif sampai batas yang berbeda, tergantung pada tingkat diferensiasi psikologis (Berry, 2006: 119). Masyarakat Jawa dengan diferensiasi yang tinggi atau dikatakan memiliki gaya kognitif field-independent, mampu memelihara dirinya dalam menghadapi perbedaan budaya dengan budaya suku Karo karena tidak terikat dengan masyarakat Jawa lainnya. Sedangkan masyarakat Jawa dengan diferensiasi rendah atau memiliki gaya kognitif field-dependent tertanam dalam budaya aslinya sehingga dalam menghadapi perubahan budaya akan mengalami stress yang lebih besar.

Selain dimensi self-orientations, terdapat others orientation. Faktor pertama yang mempengaruhi dimensi others orientation adalah self-monitoring. Lennox dan Wolfe mengajukan dua dimensi yang independent pada konsep self-monitoring, yaitu: getting-ahead dan getting-along (Berry, 2006: 120). Masyarakat Jawa yang memiliki getting ahead yang tinggi (self-monitoring yang tinggi) mampu berfikir tajam dan baik dalam menyadari petunjuk sosial dari konteks sosial, membuat mereka baik dalam membangun hubungan sosial dengan


(31)

20

Universitas Kristen Maranatha masyarakat Jawa maupun Karo. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki getting along, akan menghindari penolakan dari masyarakat Karo yang dimunculkan dalam ciri-ciri malu, self-esteem rendah, dan mengalami kecemasan sosial. Sehingga masyarakat Jawa yang memiliki getting-along yang tinggi akan memilih strategi separasi. Selain self-monitoring, extraversion merupakan faktor lain yang mempengaruhi others-orientation. Extraversion merujuk pada bagaimana individu mengekspresikan diri mereka (Berry, 2006: 121). Masyarakat Jawa yang tinggi pada trait ini akan cenderung menikmati berinteraksi dengan orang lain baik yang suku Jawa maupun Karo. Faktor yang mempengaruhi dimensi others-orientations lainnya adalah kepribadian. Ward, Leong, dan Low menunjukkan bahwa 4 dari faktor-faktor big five personality secara signifikan berhubungan dengan adaptasi lintas budaya (Berry, 2006:121). Penelitian Schmitz mengungkapkan bahwa perbedaan dimensi kepribadian dapat membuat orang cenderung merespon dengan strategi akulturasi yang berbeda sehingga individu dengan strategi akulturasi integrasi memiliki hubungan yang positif dengan ekstraversi, stabilitas emosi, sosiabilitas, agreeableness, sensation seeking, dan

open-mindedness (Berry, 2006). Asimilasi menunjukkan hubungan yang positif dengan agreeableness, sociability, kecemasan, neurotisicm, close-mindedness,

dan field dependence. Sedangkan separasi memiliki hubungan yang positif dengan neurotisicm, kecemasan, impulsifitas, sensation seeking, dan agresifitas. Marjinalisasi dikaitkan dengan tingginya unsociability, neuroticism, kecemasan, dan closed-mindedness.


(32)

Universitas Kristen Maranatha Dalam berakulturasi, masyarakat Jawa berelasi dengan masyarakat Karo dengan menggunakan cara atau strategi tertentu. Strategi yang digunakan disebut dengan strategi akulturasi. Strategi akulturasi adalah cara-cara individu yang berakulturasi berelasi dengan masyarakat dominan (Berry, 1999). Strategi akulturasi berkaitan dengan dua isu utama yang biasanya diselesaikan oleh kelompok dan individu dalam pertemuan sehari-hari mereka satu dengan lainnya (Berry, 2006). Dua isu utama tersebut adalah pemeliharaan budaya yaitu sejauh mana identitas budaya asli dan karakteristik budaya asli dianggap penting oleh masyarakat Jawa dan pemeliharaan budaya asli mereka diperjuangkan (Berry, 2006). Ketika mereka berinteraksi dengan orang-orang bersuku lain, misalnya orang-orang Karo, mereka tetap membawa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, dan ciri khas budaya asli mereka yang mereka pelajari dari keluarga kemudian mereka tetap mempertahankan dan melestarikan walaupun mereka tidak tinggal di daerah asli mereka. Misalnya bahasa daerah, apakah mereka akan tetap menggunakan bahasa daerah mereka ketika berinteraksi dengan teman atau orang yang bersuku Jawa juga serta ketika berinteraksi dengan keluarga mereka atau mereka sama sekali tidak menggunakan bahasa daerah mereka. Dan hubungan dengan kelompok lain yaitu sejauh mana masyarakat Jawa menjalin interaksi dengan kelompok budaya Karo, atau hanya mengutamakan menjalin relasi dengan kelompok budaya asli saja. Dua isu utama ini menjadi penentu dalam membedakan 4 jenis strategi akulturasi yaitu asimilasi, separasi, integrasi, dan marjinalisasi.


(33)

22

Universitas Kristen Maranatha Integrasi merupakan strategi yang digunakan ketika ada ketertarikan dalam interaksi dengan kedua budaya, yaitu tetap melestarikan budaya asli dan melakukan interaksi dengan kelompok lain dalam kesehariannya (Berry, 2006: 35). Masyarakat Jawa di desa Lau Gumba yang memilih strategi integrasi akan tetap mempertahankan budaya aslinya misalnya dengan tetap menggunakan bahasa Jawa ketika berinteraksi dengan keluarga ataupun teman yang juga bersuku Jawa. Namun mereka juga akan menerima dan menerapkan budaya dominan yaitu budaya Karo juga. Mereka juga akan melakukan interaksi baik dengan orang-orang Karo maupun yang bersuku Jawa. Mereka akan bersedia mengikuti kegiatan kelompok budaya Jawa maupun Karo. Misalnya ketika ada acara tahunan suku Karo, yaitu “kerja tahun” yang diadakan di setiap desa di Tanah Karo saat panen, masyarakat Jawa dengan strategi integrasi akan bersedia hadir dan berpartisipasi dalam acara tersebut. Strategi yang kedua adalah asimilasi. Asimilasi adalah strategi ketika individu tidak ingin mempertahankan identitas budaya asli mereka dan melakukan interaksi sehari-hari dengan kelompok budaya dominan. Masyarakat Jawa yang memilih strategi asimilasi maka akan memilih menghilangkan budaya asli nya dan memilih hanya berinteraksi dengan masyarakat Karo. Mereka akan menolak mengikuti organisasi atau kegiatan yang banyak berisi orang-orang Jawa serta menolak menggunakan bahasa Jawa ketika berbicara dengan teman yang juga bersuku Jawa.

Berbeda dengan asimilasi, separasi adalah strategi yang dipilih ketika individu menempatkan nilai pada berpegang dengan budaya asli mereka dan pada saat yang sama menghindari interaksi dengan orang yang bersuku lain (Berry, 2006).


(34)

Universitas Kristen Maranatha Masyarakat Jawa yang tinggal di desa Lau Gumba dengan strategi akulturasi jenis ini akan menghindar untuk melakukan interaksi dengan orang yang bukan bersuku Jawa dan tetap mempertahankan budayanya tanpa menyesuaikan dengan budaya Karo. Untuk masyarakat Jawa yang memilih strategi ini hanya memiliki teman yang bersuku Jawa saja dan mereka tetap menggunakan bahasa asli mereka serta tetap mempertahankan nilai atau budaya asli mereka. Strategi integrasi lainnya adalah marjinalisasi. Marjinalisasi merupakan strategi ketika terdapat ketertarikan yang kecil pada pelestarian budaya (kadang karena alasan kehilangan budaya yang menjadi sandaran) dan minat yang kecil dalam berelasi dengan budaya lain (alasan pengucilan atau diskriminasi). Strategi akulturasi ini tidak memilih budaya mana pun, baik budaya asli maupun budaya dominan. Mereka juga akan menolak untuk berinteraksi atau berteman dengan orang yang bersuku Karo maupun Jawa. Misalnya orang Jawa yang menggunakan strategi akuturasi marjinalisasi akan menolak menggunakan bahasa asli daerahnya yaitu bahasa Jawa dan juga menolak menggunakan bahasa Karo. Mereka juga akan menolak menjalankan ritual upacara budaya dari suku Jawa dan juga dari suku Karo. Masyarakat dengan strategi akulturasi marjinalisasi dapat berefek pada masalah kesehatan mental karena mereka mengalami konflik dalam memilih peran yang akan mereka jalani (Berry, 2006).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang dalam memilih strategi akulturasi. Faktor yang pertama adalah lamanya kontak. Lamanya kontak adalah waktu yang dilewati masyarakat Jawa dalam berinteraksi dengan masyarakat dominan yaitu masyarakat Karo. Semakin lama waktu yang dilewati untuk


(35)

24

Universitas Kristen Maranatha berinteraksi, maka masyarakat Jawa akan terbiasa dan mengerti dengan perbedaan budaya masyarakat Karo. Semakin lama kontak maka strategi yang dipilih adalah integrasi ataupun asimilasi. Sebaliknya, jika masyarakat Jawa baru melakukan kontak hanya beberapa tahun ataupun bulan maka strategi yang dipilih adalah separasi. Selain itu, jarak kultural yang dimiliki budaya Karo dan budaya Jawa dapat mempengaruhi pemilihan strategi akulturasi. Jarak kultural adalah seberapa jauh dua kelompok budaya dalam dimensi variasi budaya (Berry, 2006). Semakin jauh perbedaan antara dua budaya maka semakin sulit dalam proses akulturasi (Berry, 2006: 361). Semakin banyak perbedaan pada dua kelompok budaya maka semakin besar kemungkinan masyarakat non-dominan yaitu masyarakat Jawa menghindar untuk melakukan interaksi ataupun menerima budaya masyrakat Karo. Strategi yang dipilih adalah separasi ataupun marjinalisasi. Namun bila perbedaan budaya antara dua suku tidak terlalu jauh dan banyak terdapat kesamaan maka strategi yang dipilih adalah integrasi atau asimilasi.

Pemilihan strategi akulturasi pada masyarakat Jawa juga dapat dipengaruhi oleh pengaruh timbal balik atau respon dari masyarakat mayoritas atau masyarakat Karo. Ketika masyarakat dominan yaitu masyarakat Karo bersikap demokratis serta mengizinkan masyarakat non-dominan yaitu masyarakat Jawa mempelajari budaya masyarakat Karo serta mereka juga ikut mempelajari budaya masyarakat Jawa, maka masyarakat Jawa dapat menggunakan strategi akulturasi asimilasi atau integrasi. Sedangkan ketika masyarakat Karo bersikap tertutup serta menolak masyarakat Jawa untuk mengetahui dan mempelajari budaya mereka, maka masyarakat Jawa akan menggunakan strategi separasi atau marjinalisasi.


(36)

Universitas Kristen Maranatha Dalam strategi akulturasi tedapat dua komponen yaitu sikap dan perilaku. Sikap dan perilaku dalam area-area tetentu inilah yang menjadi penentu dalam menentukan apakah masyarakat Jawa menggunakan strategi integrasi, asimilasi, separasi, atau marjinalisasi. Terdapat 4 area pada individu yang menggunakan strategi akulturasi, yaitu keluarga, kehidupan sosial, kehidupan sehari-hari, dan

power relation. Area keluarga dilihat dari pengasuhan anak. Apakah masyarakat Jawa yang berusia 40-50 tahun menganggap penting mengajarkan budaya Jawa saja pada anak mereka atau juga mengajarkan bahasa Karo. Kemudian untuk area kehidupan sosial, dilihat berdasarkan pertemanan dan aktivitas sosial. Apakah mereka menganggap penting untuk memiliki teman yang bersuku Jawa atau Karo saja serta berteman dan ikut serta dalam aktivitas sosial hanya dengan kelompok masyarakat Jawa saja atau juga dengan masyarakat Karo. Area ketiga adalah kehidupan sehari-hari yang dilihat dari makanan dan bahasa. Apakah mereka hanya menganggap penting dan memakan makanan Jawa saja atau Karo saja serta menganggap penting untuk mempelajari bahasa Karo dan berbahasa Karo dengan masyarakat Karo atau tidak. Kemudian area terakhir adalah power relation yang dilihat berdasarkan perilaku mengenai relasi perempuan dan laki-laki dan perilaku mengenai perbedaan etnis. Apakah menggunakan cara-cara budaya Jawa atau budaya Karo.

Berdasarkan penjabaran di atas, maka kerangka pemikiran dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:


(37)

26

Universitas Kristen Maranatha

Masyarakat Jawa di Desa

Lau Gumba yang berusia 40-50 tahun

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran Perkembangan Psikososial: Generativity vs Stagnation Masyarakat Karo Strategi Akulturasi Komponen: 1. Sikap 2. Perilaku Akulturasi

Dimensi Individual dan Kepribadian dalam Akulturasi: 1.Self-Orientations 2.Others-Orientations Area: 1. Keluarga 2. Kehidupan Sosial 3. Kehidupan Sehari-hari 4. Power Relation Integrasi Asimilasi Marjinalisasi Separasi Faktor-faktor yang mempengaruhi: 1. Lama Kontak 2. Jarak Kultural

Kontak

Faktor-faktor yang

mempengaruhi

self-orientation: a.Self-Esteem

b.Motivasi c.Coping strategy

d.Kecemasan

e.Need for Cognitive Closure

f.Locus of Control

g.Perbedaan Psikologis

Faktor-faktor yang mempengaruhi

others-orientation:

a. Self-Monitoring

b. Extraversion


(38)

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi

1. Masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun yang tinggal di desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi, Sumatera Utara merupakan usia middle adulthood

yang berada pada fase generativity vs stagnation.

2. Masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun yang tinggal di desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi, Sumatera Utara melakukan kontak dengan masyarakat Karo.

3. Masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun yang tinggal di desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi, Sumatera Utara mengalami akulturasi.

4. Terdapat dua dimensi akulturasi pada masyarakat Jawa yang berusia 40-50 tahun yang tinggal di desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi, Sumatera Utara terdiri dari self-orientation (self-esteem, motivasi, strategi coping, kecemasan, need for cognitive closure, locus of control, perbedaan sikologis) dan others-orientations (self-monitoring, ekstraversi, dan kepribadian).

5. Dalam melakukan relasi dengan masyarakat Karo yaitu kelompok masyarakat dominan, masyarakat Jawa yang berusia 40-50 tahun yang tinggal di desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi, Sumatera Utara mengguanakan strategi akulturasi.

6. Terdapat dua komponen dalam akulturasi yaitu sikap dan perilaku.

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi akulturasi adalah lama kontak dan jarak kultural.


(39)

28

Universitas Kristen Maranatha 8. Terdapat 4 area pada individu yang menerapkan strategi akulturasi, yaitu

keluarga,kehidupan sosial, kehidupan sehari-hari, dan power relation. 9. Terdapat 4 jenis strategi akulturasi yaitu integrasi, asimilasi, marjinalisasi,


(40)

80 Universitas Kristen Maranatha

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengolahan data mengenai jenis strategi akulturasi terhadap 50 orang masyarakat Jawa yang berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi, dapat disimpulkan hal-hal berikut :

1. Sebagian besar masyarakat Jawa yang berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi menggunakan jenis strategi akulturasi integrasi. Mereka melestarikan budaya asal dan masih menunjukkan ketertarikan terhadap budaya Karo yang terlihat dalam hal pengasuhan anak, serta melakukan interaksi bukan hanya dengan masyarakat Jawa namun dengan masyarakat Karo juga yang terlihat dari kehidupan sosial, kehidupan sehari-hari, dan power relation.Namun terdapat sebagian kecil dari kelompok tersebut yang menunjukkan kecenderungan menggunakan strategi separasi. Mereka lebih banyak menggunakan strategi integrasi namun mereka cukup kuat dalam mempertahankan budaya Jawa dalam hal pengasuhan anak, kehidupan sosial, kehidupan sehari-hari, dan power relation. 2. Sebagian besar masyarakat Jawa yang berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba

Kecamatan Berastagi menganggap bahwa budaya Jawa dan budaya Karo memiliki jarak kultural yang besar. Artinya adalah terdapat banyak perbedaan antara budaya


(41)

81

Universitas Kristen Maranatha Jawa dan budaya Karo. Hal ini dapat menjadi salah satu faktor yang menunjang individu dalam menggunakan strategi akulturasi.

3. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi maka semakin banyak yang memilih strategi integrasi.Selain itu pekerjaan yang membuat masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi banyak berinteraksi dengan masyarakat Karo juga menunjang untuk menggunakan strategi integrasi.

4. Kecemasan yang rendah menunjang masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi dalam menggunakan strategi akulturasi integrasi.

5. Locus of control internal dan psychological differentiation yang tinggi (

field-independent) dapat menjadi faktor-faktor yang menunjang masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi dalam memilih strategi akulturasi integrasi.

6. Coping strategy yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping) dan berfokus langsung pada penyelesaian masalah (problem-focused coping) menunjang masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi Sumatera Utara dalam memilih strategi akulturasi yang digunakan. Selain itu, ketoleriran terhadap perbedaan budaya Jawa dan Karo yang ditunjukkan oleh masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi dapat menunjang mereka dalam menggunakan strategi akulturasi integrasi.


(42)

Universitas Kristen Maranatha 7. Bagaimana mereka memperhatikan orang lain agar dapat memilih respon yang

tepat sehingga membuat mereka baik dalam berinteraksi dengan masyarakat Jawa maupun Karo (self-monitoring) dapat menunjang masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi dalam memilih strategi akulturasi integrasi.

8. Masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi Sumatera Utara dengan ekstraversi tinggi cenderung penuh perhatian, mudah bergabung, aktif bicara, dan aktif dan mereka yang tinggi pada trait open-mindedness akan mencari pengalaman-pengalaman berbeda serta memiliki rasa ingin tahu. Hal ini dapat menjadi faktor yang menunjang mereka dalam memilih strategi akulturasi integrasi.

5.2. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai strategi akulturasi, peneliti mengajukan beberapa saran yaitu:

5.2.1. Saran Teoretis

1. Informasi dalam penelitian ini terbatas karena item perilaku di area keluarga tidak ada. Peneliti selanjutnya yang berminat meneliti variabel yang serupa diharapkan lebih memperhatikan responden apakah sudah menikah atau belum. Jika sudah menikah, sebaiknya item perilaku di area keluarga ada sehingga informasi pada area tersebut dapat terjaring lebih lengkap.


(43)

83

Universitas Kristen Maranatha 2. Peneliti selanjutnya yang berminat meneliti variabel yang serupa dalam menyusun

alat ukur sebaiknya berdasarkan pada dua isu utama yang berkaitan dengan strategi akulturasi (pemeliharaan budaya asli dan budaya lain serta hubungan dengan kelompok asal dan kelompok budaya lain) sehingga tidak mengalami kebingungan dalam penentuan kategori.

3. Peneliti lain dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai strategi akulturasi dengan sampel yang berbeda dan memperoleh gambaran yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi individu dalam memilih strategi akulturasi. 4. Peneliti lain dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kontribusi

faktor-faktor self-orientations (self-esteem, kecemasan, motivasi, locus of control, need for cognitive closure (NCC), coping strategy) dan others-orientation ( self-monitoring, ekstraversi, trait kepribadian) terhadap strategi akulturasi.

5.2.2. Saran Praktis

1. Disarankan pada masyarakat Jawa dan Karo di desa Lau Gumba kecamatan Berastagi, Sumatera Utara mengadakan kegiatan kebudayaan yang melibatkan masyarakat Jawa dan Karo dalam kegiatan tersebut, misalnya acara tahunan pagelaran budaya Jawa dan Karo yang juga melibatkan masyarakat Jawa dan Karo sebagai panitia acara.

2. Disarankan pada Pemerintah Kabupaten Tanah Karo dan Kepala Desa Lau Gumba memberikan perlakuan yang sama pada masyarakat Jawa ataupun Karo, misalnya dalam hal pemberian informasi.


(44)

Universitas Kristen Maranatha Anderson, Stephen A., Ronald M. Sabatelli. 2003. Family Interaction:

A Multigenerational Developmental Perspective 3rd Edition. Boston: Pearson Education, Inc.

Berry, John W., H. Poortinga, Marshall Segall, & Pierre Dasen. 2006. Cross Cultural Psychology 2nd Edition. United Kingdom: Cambridge University

Press.

Da Costa, Iara. 2008. Acculturation Strategies and its Effect on Depressive Symptoms in the Brazilian Immigrant Community in the Greater Toronto

Area. Toronto: University of Toronto.

Endraswara, Suwardi. 2012. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala

Suseno, Franz-Magnis. 1984. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.

Kerlinger, Fred N. 1981. Foundations of Behavioral Research 2nd Edition. Tokyo: Holt-Saunders Japan, LTD

Kumar, Ranjit. 2005. Research Methodology: A Step-by-Step Guide for Beginners. California: Sage Publications.

Papalia, Diane E., Ruth Daskin Feldman. 2012. Experience Human Development 12th Edition. New York: McGraw-Hill Companies.

Sam, David L, John W Berry. 2006. The Cambridge Handbook of Acculturation Psychology. United Kingdom: Cambridge University Press.

Singarimbun, Masri & Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES

Sitepu, Sempa, Bujur Sitepu, dkk. 1996. Pilar Budaya Karo. Medan: “Bali” Scan & Percetakan


(45)

Universitas Kristen Maranatha Sugiyono. 2005. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Penerbit Alfabeta

Supranto J. 2003. Statistik: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Erlangga

Tarigan, Sarjani. 2009. Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya.


(46)

Universitas Kristen Maranatha Dormauli, Seselia. 2010. Kehidupan Ekonomi, Budaya, dan Sosial Etnis Jawa. (online).(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16568/4/Chapter%20II.p

df, diakses 12 November 2013).

Meliala, J.Andika. 2010. Makanan Karo. (online) (http://karo-medan.blogspot.com/2010/05/makanan-karo.html, diakses pada tanggal 25 September 2013).

Moss, Simon. 2008. Need for Closure. (online).

(http://www.psych-it.com.au/Psychlopedia/article.asp?id=212, diakses pada tanggal 05 November 2014).

Oliver, John P. 2008. Measuring Personality in One Minute or Less: A 10-item short version of the Big Five Inventory in English and German. Journal of Research in Personality. (http://www.ocf.berkeley.edu/~johnlab/bfi.htm diakses pada tanggal 31 Mei 2014).

Pemerintah Kabupaten Karo (http://www.karokab.go.id/w/index.php/gambaran umum diakses pada tanggal 11Oktober 2013).

Sintauli, Theresia. 2010. Studi Deskriptif Mengenai Strategi Akulturasi pada Mahasiswa Etnis Batak Toba di Universitas “X” Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Tim Dosen Fakultas Psikologi Univeristas Kristen Maranatha.

Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana. 2009. Bandung: Fakultas Psikologi Maranatha.


(1)

81

Universitas Kristen Maranatha

Jawa dan budaya Karo. Hal ini dapat menjadi salah satu faktor yang menunjang individu dalam menggunakan strategi akulturasi.

3. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi maka semakin banyak yang memilih strategi integrasi.Selain itu pekerjaan yang membuat masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi banyak berinteraksi dengan masyarakat Karo juga menunjang untuk menggunakan strategi integrasi.

4. Kecemasan yang rendah menunjang masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi dalam menggunakan strategi akulturasi integrasi.

5. Locus of control internal dan psychological differentiation yang tinggi (

field-independent) dapat menjadi faktor-faktor yang menunjang masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi dalam memilih strategi akulturasi integrasi.

6. Coping strategy yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping) dan berfokus langsung pada penyelesaian masalah (problem-focused coping) menunjang masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi Sumatera Utara dalam memilih strategi akulturasi yang digunakan. Selain itu, ketoleriran terhadap perbedaan budaya Jawa dan Karo yang ditunjukkan oleh masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi dapat menunjang mereka dalam menggunakan strategi akulturasi integrasi.


(2)

82

Universitas Kristen Maranatha

7. Bagaimana mereka memperhatikan orang lain agar dapat memilih respon yang tepat sehingga membuat mereka baik dalam berinteraksi dengan masyarakat Jawa maupun Karo (self-monitoring) dapat menunjang masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi dalam memilih strategi akulturasi integrasi.

8. Masyarakat Jawa berusia 40-50 tahun di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi Sumatera Utara dengan ekstraversi tinggi cenderung penuh perhatian, mudah bergabung, aktif bicara, dan aktif dan mereka yang tinggi pada trait open-mindedness akan mencari pengalaman-pengalaman berbeda serta memiliki rasa ingin tahu. Hal ini dapat menjadi faktor yang menunjang mereka dalam memilih strategi akulturasi integrasi.

5.2. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai strategi akulturasi, peneliti mengajukan beberapa saran yaitu:

5.2.1. Saran Teoretis

1. Informasi dalam penelitian ini terbatas karena item perilaku di area keluarga tidak ada. Peneliti selanjutnya yang berminat meneliti variabel yang serupa diharapkan lebih memperhatikan responden apakah sudah menikah atau belum. Jika sudah menikah, sebaiknya item perilaku di area keluarga ada sehingga informasi pada area tersebut dapat terjaring lebih lengkap.


(3)

83

Universitas Kristen Maranatha

2. Peneliti selanjutnya yang berminat meneliti variabel yang serupa dalam menyusun alat ukur sebaiknya berdasarkan pada dua isu utama yang berkaitan dengan strategi akulturasi (pemeliharaan budaya asli dan budaya lain serta hubungan dengan kelompok asal dan kelompok budaya lain) sehingga tidak mengalami kebingungan dalam penentuan kategori.

3. Peneliti lain dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai strategi akulturasi dengan sampel yang berbeda dan memperoleh gambaran yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi individu dalam memilih strategi akulturasi. 4. Peneliti lain dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kontribusi

faktor-faktor self-orientations (self-esteem, kecemasan, motivasi, locus of control, need for cognitive closure (NCC), coping strategy) dan others-orientation ( self-monitoring, ekstraversi, trait kepribadian) terhadap strategi akulturasi.

5.2.2. Saran Praktis

1. Disarankan pada masyarakat Jawa dan Karo di desa Lau Gumba kecamatan Berastagi, Sumatera Utara mengadakan kegiatan kebudayaan yang melibatkan masyarakat Jawa dan Karo dalam kegiatan tersebut, misalnya acara tahunan pagelaran budaya Jawa dan Karo yang juga melibatkan masyarakat Jawa dan Karo sebagai panitia acara.

2. Disarankan pada Pemerintah Kabupaten Tanah Karo dan Kepala Desa Lau Gumba memberikan perlakuan yang sama pada masyarakat Jawa ataupun Karo, misalnya dalam hal pemberian informasi.


(4)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Stephen A., Ronald M. Sabatelli. 2003. Family Interaction:

A Multigenerational Developmental Perspective 3rd Edition. Boston: Pearson Education, Inc.

Berry, John W., H. Poortinga, Marshall Segall, & Pierre Dasen. 2006. Cross Cultural Psychology 2nd Edition. United Kingdom: Cambridge University

Press.

Da Costa, Iara. 2008. Acculturation Strategies and its Effect on Depressive Symptoms in the Brazilian Immigrant Community in the Greater Toronto

Area. Toronto: University of Toronto.

Endraswara, Suwardi. 2012. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala

Suseno, Franz-Magnis. 1984. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.

Kerlinger, Fred N. 1981. Foundations of Behavioral Research 2nd Edition. Tokyo: Holt-Saunders Japan, LTD

Kumar, Ranjit. 2005. Research Methodology: A Step-by-Step Guide for Beginners. California: Sage Publications.

Papalia, Diane E., Ruth Daskin Feldman. 2012. Experience Human Development 12th Edition. New York: McGraw-Hill Companies.

Sam, David L, John W Berry. 2006. The Cambridge Handbook of Acculturation Psychology. United Kingdom: Cambridge University Press.

Singarimbun, Masri & Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES

Sitepu, Sempa, Bujur Sitepu, dkk. 1996. Pilar Budaya Karo. Medan: “Bali” Scan & Percetakan


(5)

Universitas Kristen Maranatha

Sugiyono. 2005. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Penerbit Alfabeta

Supranto J. 2003. Statistik: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Erlangga

Tarigan, Sarjani. 2009. Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya.


(6)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Dormauli, Seselia. 2010. Kehidupan Ekonomi, Budaya, dan Sosial Etnis Jawa. (online).(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16568/4/Chapter%20II.p

df, diakses 12 November 2013).

Meliala, J.Andika. 2010. Makanan Karo. (online) (http://karo-medan.blogspot.com/2010/05/makanan-karo.html, diakses pada tanggal 25 September 2013).

Moss, Simon. 2008. Need for Closure. (online).

(http://www.psych-it.com.au/Psychlopedia/article.asp?id=212, diakses pada tanggal 05 November 2014).

Oliver, John P. 2008. Measuring Personality in One Minute or Less: A 10-item short version of the Big Five Inventory in English and German. Journal of Research in Personality. (http://www.ocf.berkeley.edu/~johnlab/bfi.htm diakses pada tanggal 31 Mei 2014).

Pemerintah Kabupaten Karo (http://www.karokab.go.id/w/index.php/gambaran umum diakses pada tanggal 11Oktober 2013).

Sintauli, Theresia. 2010. Studi Deskriptif Mengenai Strategi Akulturasi pada Mahasiswa Etnis Batak Toba di Universitas “X” Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Tim Dosen Fakultas Psikologi Univeristas Kristen Maranatha.

Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana. 2009. Bandung: Fakultas Psikologi Maranatha.