Pengaruh Keluarga sebagai Kelompok Pendukung terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Lansia DM Tipe 2 di Desa Batuan Kecamatan Sukawati.

(1)

SKRIPSI

PENGARUH KELUARGA SEBAGAI KELOMPOK PENDUKUNG

TERHADAP PENURUNAN KADAR GULA DARAH LANSIA

DM TIPE 2 DI DESA BATUAN KECAMATAN SUKAWATI

OLEH:

IDA AYU AGUNG SUKMA SASTRIKA

NIM. 1102105053

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

i

PENGARUH KELUARGA SEBAGAI KELOMPOK PENDUKUNG

TERHADAP PENURUNAN KADAR GULA DARAH LANSIA

DM TIPE 2 DI DESA BATUAN KECAMATAN SUKAWATI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH:

IDA AYU AGUNG SUKMA SASTRIKA

NIM. 1102105053

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ida Ayu Agung Sukma Sastrika NIM : 1102105053

Fakultas : Kedokteran Universitas Udayana Program Studi : Ilmu Keperawatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Denpasar, Juni 2015

Yang membuat pernyataan,

( Ida Ayu Agung Sukma Sastrika) NIM: 1102105053


(4)

(5)

(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Pengaruh Keluarga sebagai Kelompok Pendukung terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Lansia DM Tipe 2 di Desa Batuan Kecamatan Sukawati”

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan proposal penelitian ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada: 1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M. Kes, sebagai Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan penulis kesempatan menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS., AIF, sebagai ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang memberikan pengarahan dalam proses pendidikan.

3. Ns. Putu Ayu Sani Utami, M.Kep, Sp.Kep.Kom, sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

4. dr. Made Ayu Witriasih, M.Kes, sebagai pembimbing pendamping yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

5. I Nyoman Netra selaku Perbekel Desa Batuan yang telah memberikan izin dalam pelaksanaan penelitian.

6. Orang tua serta keluarga yang telah memberikan dukungan baik secara moral maupun materiil selama penyusunan skripsi ini.

7. Rekan-rekan seperjuangan (Aryadi, Citta, Risna, Ratih, Gung Amy, Indri, Devie, Vera, Rama) dan seluruh rekan Achillesextavortouz di Program Studi Ilmu Keperawatan, atas dukungan moril dalam penulisan proposal penelitian ini.


(7)

8. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk dapat menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia keperawatan dan pengetahuan secara luas.

Denpasar, Juni 2015


(8)

ix DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……… …... i

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ………... ….... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ………. iii

PERNYATAAN LEMBAR PENGESAHAN ……… . iv

KATA PENGANTAR………... . v

ABSTRAK………. vii

ABSTRACT……….. viii

DAFTAR ISI ……… ix

DAFTAR TABEL ……… xii

DAFTAR GAMBAR ……… ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ……… xv

DAFTAR SINGKATAN ……… . xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………. .. 1

1.2 Rumusan Masalah ………... …. 5

1.3 Tujuan ………… ……… 5

1.4 Manfaat ………….………..…… 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanjut Usia……….……….. 8

2.1.1 Pengertian Lanjut Usia……… 8

2.1.2 Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Lansia……… 9

2.2 DM tipe 2....……….…… 12

2.2.1 Pengertian DM tipe 2 pada Lansia………. 12

2.2.2 Etiologi DM Tipe 2 pada Lansia……… 13

2.2.3 Tanda dan Gejala DM Tipe 2 pada Lansia……….... 14

2.2.4 Pengelolaan DM Tipe 2 pada Lansia………. 15

2.2.5 Kadar Gula Darah pada Lansia DM Tipe 2………... 27

2.3 Keluarga sebagai Kelompok Pendukung ……… 30

2.3.1 Konsep Keluarga……… 30

2.3.2 Tugas dan Peran Keluarga di Bidang Kesehatan………. 30

2.3.3 Konsep Kelompok Pendukung……… 32

2.3.4 Keluarga sebagai Kelompok Pendukung………. 34

2.4 Hubungan Keluarga sebagai Kelompok Pendukung dengan Kadar Gula Darah Lansia DM tipe 2……… 35


(9)

BAB III KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep ……… 39

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ……….. 40

3.2.1 Variabel Penelitian………. 40

3.2.2 Definisi Operasional Variabel……… 40

3.3 Hipotesis ……….…… 41

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian ……… 42

4.2 Kerangka Kerja ………. 43

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian ………..……… 44

4.3.1 Tempat Penelitian………. 44

4.3.2 Waktu Penelitian………. 44

4.4 Populasi, Teknik Sampling, dan Sampel Peneliti………...………. 44

4.4.1 Populasi Peneltian……… 44

4.4.2 Teknik Sampling………. 45

4.4.3 Sampel……….. 45

4.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ………..………. 47

4.5.1 Jenis Data yang Dikumpulkan………. 47

4.5.2 Cara Pengumpulan Data………... 47

4.5.3 Instrumen Pengumpulan Data……… 51

4.5.4 Etika Penelitian………. 52

4.6 Pengolahan dan Analisa Data ……….…………. 53

4.6.1 Teknik Pengolahan Data………. 53

4.6.2 Teknik Analisa Data………. 54

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian……… 57

5.1.1 Kondisi Lokasi Penelitian………. . 57

5.1.2 Karakteristik Responden Penelitian……… 58

5.1.3 Hasil Pengamatan terhadap Responden Sesuai Variabel Penelitian... 59

5.1.4 Haasil Analisis Data Kadar Gula Darah……….. 61

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian……… 64

5.2.1 Gambaran Nilai Kadar Gula Darah Lansia DM Tipe 2 Sebelum Intevensi pada Kelompok Kontrol dan Perlakuan……….. 64

5.2.2 Gambaran Nilai Kadar Gula Darah Lansia DM Tipe 2 Setelah Intervensi pada Kelompok Kontrol dan Perlakuan……… 67

5.2.3 Perbedaan Kadar Gula Darah Lansia DM Tipe 2 Sebelum dan Setelah Intervensi pada Kelompok Perlakuan………. 69

5.2.4 Perbedaan Kadar Gula Darah Lansia DM Tipe 2 Sebelum dan Setelah Intervensi pada Kelompok Kontrol………. 72


(10)

xi

5.2.5 Perbedaan Perubahan Kadar Gula Darah Lansia DM Tipe 2

pada Kelompok Perlakuan dan Kontrol………. …… 73 5.3 Keterbatasan Penelitian……… 77 BAB VI PENUTUP

6.1 Simpulan……….. 79

6.2 Saran……….. 80

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Daftar Bahan Makanan Penukar……….. 16 Tabel 2.2 Jadwal Waktu Makan…………...………... 20 Tabel 2.3 Contoh Menu Makan Sehari Diet DM 1900 kkal.……… 21 Tabel 2.4 Kadar Gula darah Sewaktu dan Puasa sebagai

Patokan Diagnosis DM Tipe 2……… ………. 28 Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel ……….. 41 Tabel 4.1 Cara Pengumpulan Data……… 47 Tabel 4.2 Hasil dari uji normalitas Shapiro Wilkpada seluruh data…………. 55 Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Responden Berdasarkan Usia pada

Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan……….………. 58 Tabel 5.2 Gambaran Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin…. 59 Tabel 5.3 Gambaran Nilai Kadar Gula Darah Lansia DM Tipe 2 Sebelum

Intervensi pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ……. 60 Tabel 5.4 Gambaran Nilai Kadar Gula Darah Lansia DM Tipe 2 Setelah

Intervensi pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ……. 60 Tabel 5.5 Hasil Analisis Kadar Gula Darah Lansia DM Tipe 2 Sebelum dan

Setelah Intervensi pada Kelompok Perlakuan………... 61 Tabel 5.6 Hasil Analisis Kadar Gula Darah Lansia DM Tipe 2 Sebelum dan


(12)

xiii

Tabel 5.7 Hasil Analisis Perbedaan Kadar Gula Darah Lansia DM Tipe 2


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ………. 39

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Quasi Experimen ……… 42

Gambar 4.2 Kerangka Kerja………... 43


(14)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Jadwal penelitian Lampiran 2 : Dana Penelitian Lampiran 3 : Penjelasan Penelitian

Lampiran 4 : Lembar Permintaan Menjadi Responden Lampiran 5 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 6 : Langkah-Langkah Pemeriksaan Kadar Gula Darah Lampiran 7 : Buku Panduan Pengelolaan DM Tipe 2 pada Lansia Lampiran 8 : Lembar Observasi Responden

Lampiran 9 : Jadwal Kontrol Lampiran 10 : Form Screening

Lampiran 11 : Leaflet Pengelolaan Diabetes Mellitus tipe 2 Lampiran 12 : Master Tabel

Lampiran 13 : Uji Shapiro Wilk Lampiran 14 : Uji Wilcoxon Lampiran 15 : Uji Mann-Whitney

Lampiran 16 : Surat Izin Melakukan Studi Pendahuluan Lampiran 17 : Surat Permohonan Izin Penelitian

Lampiran 18 : Surat Rekomendasi Badan Penanaman Modal dan Perizinan Lampiran 19 : Surat Izin Penelitian Badan Kesbang Pol dan Linmas Lampiran 20 : Surat Izin Penelitian Kecamatan Sukawati


(15)

Lampiran 21 : Surat Izin Penelitian Desa Batuan

Lampiran 22 : Surat Telah Selesai Melakukan Penelitian Lampiran 23 : Dokumentasi Penelitian

Lampiran 24 : Satuan Acara Penyuluhan

Lampiran 25 : Kuisioner Kelompok Pendukung


(16)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

AKG : Angka Kecukupan Gizi Depkes : Departemen Kesehatan Dinkes : Dinas Kesehatan DM : Diabetes Mellitus

DNA : Deoxyribose Nucleic Acid

IDF : International Diabetes Federation Kemenkes : Kementrian Kesehatan

Kesmas : Kesehatan Masyarakat Lansia : Lanjut usia

NIDDM : Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus OHO : Obat Hiperglikemi Oral

Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar UHH : Usia Harapan Hidup UPT : Unit Pelaksana Teknis URT : Ukuran Rumah Tangga WHO : World Health Organization


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menua pada seseorang bukanlah suatu penyakit, akan tetapi merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh yang berakhir dengan kematian yang mutlak dialami semua orang (Padila, 2013). Pertumbuhan lanjut usia (lansia) saat ini tergolong sangat cepat, 80% lansia hidup di negara berkembang dan wilayah Asia Pasifik merupakan bagian dunia yang tercepat pertumbuhannya, salah satunya adalah Indonesia (Kemenkes RI, 2013). Pertumbuhan ini tidak terlepas dari adanya usia harapan hidup (UHH) yang terus meningkat.

Peningkatan UHH terjadi karena tingkat sosial ekonomi masyarakat yang meningkat, kemajuan di bidang pelayanan kesehatan, dan tingkat pengetahuan masyarakat yang meningkat (Efendy & Makhfudli, 2009). Provinsi Bali menduduki peringkat ke empat dengan jumlah lansia terbesar di Indonesia yaitu sebesar 11,02% dan memiliki UHH yang terus meningkat tiap tahunnya serta rata-rata UHH di Bali lebih tinggi dari UHH nasional yaitu 70,72 tahun pada tahun 2011 dan 70,84 tahun pada tahun 2012 (Dinkes Provinsi Bali, 2014).

Jumlah penduduk lansia saat ini perlu diantisipasi dimulai dari sektor kesehatan karena berbagai masalah kesehatan dan penyakit yang khas pada lansia akan meningkat. Salah satu penyakit yang menyertai lansia adalah penyakit Diabetes Mellitus (DM) (Padila, 2013). Tingginya kasus lansia DM disebabkan oleh


(18)

2

kemunduran sel-sel akibat proses penuaan yang berakibat pada kelemahan organ, kemunduran fisik, diperberat dengan kelebihan berat badan dan kegemukan karena pola makan yang tidak sehat, aktivitas fisik yang kurang, dan stres yang berlebihan (Padila, 2012; Ramachandran, et al, 2012).

Terjadi peningkatan prevalensi DM pada lansia sebanyak 25 juta jiwa pada tahun 2000 dan semakin meningkat setiap tahunnya. Diperkirakan pada tahun 2030 penderita DM yang berusia lebih dari 64 tahun akan menjadi lebih dari 82 juta jiwa di negara berkembang dan lebih dari 48 juta jiwa di negara maju (Bilous dan Donelly, 2014). Di Indonesia terjadi peningkatan prevalensi DM dari 1,1% pada tahun 2007 menjadi 2,1% pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Pada tahun 2014, sekitar sembilan juta penduduk Indonesia menderita DM (International Diabetes Federation, 2014). Prevalensi DM di Bali sebanyak 5,9% dan Kabupaten Gianyar termasuk 5 besar lansia DM di Bali dengan jumlah 1.770 jiwa, hal ini akan terus meningkat seiring dengan perubahan gaya hidup dan pola makan masyarakat (Trisnawati, Widarsa, Suastika, 2013; Dinkes Provinsi Bali, 2014). Data Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar melaporkan jumlah lansia DM di UPT Kesmas Sukawati I pada tahun 2013 berdasarkan kunjungan lama dan baru berjumlah 575 jiwa (Dinkes Kabupaten Gianyar, 2013), dan 85% dari jumlah tersebut merupakan lansia DM tipe 2 (UPT Kesmas Sukawati I, 2013). Berdasarkan hal tersebut lansia DM tipe 2 merupakan populasi yang perlu mendapat perhatian dari pemberi pelayanan kesehatan maupun keluarga.


(19)

3

Lansia DM tipe 2 akan mengalami perubahan baik secara fisik, psikologi, maupun sosial ekonomi seperti ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari, kegagalan fungsi penglihatan, depresi karena terjadi komplikasi akibat DM (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008). Perubahan ini dibutuhkan dukungan sosial untuk membantu lansia agar tetap dapat beraktivitas dan menghindari terjadinya komplikasi penyakit DM. Lansia yang memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. Dukungan sosial seseorang dalam kehidupannya dapat diterima dari orang-orang yang berada di sekitarnya, misalnya anggota keluarga (anak, istri, suami dan kerabat), teman dekat atau relasi (Kunjtoro, 2006). Dukungan yang berasal dari keluarga membuat perubahan sikap bagi lansia DM. Lansia DM akan memiliki sikap lebih positif dalam menghadapi penyakitnya, apabila keluarga memberikan dukungan dan berpartisipasi dalam pendidikan kesehatan mengenai DM (Soegondo, 2006 dalam Yusra, 2011).

Dukungan untuk lansia dengan DM tipe 2 dapat juga dilakukan melalui kegiatan promosi kesehatan melalui kelompok pendukung. Anderson dan McFarlane (2004) dalam Suratini (2010) menyatakan bahwa kelompok pendukung sering dihubungkan dengan kesehatan dan lansia, kelompok pendukung juga terbukti dapat meningkatkan kesehatan lansia. Penelitian Badriah (2012) melaporkan adanya pembinaan dari kelompok pendukung mampu menjadi motivator untuk mencapai tingkat kemandirian yang optimal dan pembelajaran suportif dalam upaya pengendalian faktor resiko peningkatan gula darah. Penelitian yang dilakukan Cheng


(20)

4

dan Boey (2000) dalam Badriah (2012) melaporkan terdapat hubungan yang bermakna terhadap adaptasi perubahan gaya hidup pada lansia di Cina dengan penyakit DM setelah dilakukan dukungan berupa intervensi supportive educativeoleh kelompok pendukung. Penelitian Suratini (2012) dan Yaslina (2012) melaporkan pengendalian penyakit tertentu pada lansia dapat dilakukan dengan pembentukan kelompok pendukung.

Keluarga dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan dan ketaatan dalam pengelolaan penyakit DM serta membantu mengurangi kecemasan pada lansia DM tipe 2 (Friedman, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Senuk, Supit, dan Onibala (2013) terdapat hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan menjalani diet DM, jika kerja sama anggota keluarga telah terjalin, maka ketaatan terhadap program-program pengelolaan DM menjadi lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Utami (2011) melaporkan bahwa adanya dukungan keluarga dalam melakukan aktivitas fisik berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan pengelolaan DM tipe 2.

Hasil studi pendahuluan tanggal 2 Januari 2015 di Desa Batuan Kecamatan Sukawati dengan melakukan wawancara pada tujuh lansia DM tipe 2 dan keluarga, dimana setiap lansia mengatakan bahwa tidak pernah mengatur dan menakar makanan sehari-hari, lansia juga jarang melakukan aktivitas fisik terkait pengelolaan DM, dan pengetahuan tentang DM penyakit keturunan dan tidak bisa disembuhkan. Keluarga mengatakan bahwa tidak menyediakan makanan yang khusus kepada lansia, tidak memperhatikan aktivitas fisik dalam pengelolaan DM pada lansia, dan jarang


(21)

5

mendapatkan pendidikan kesehatan khusus tentang pengelolaan DM seperti pengelolaan diet dan aktivitas fisik. Wawancara yang dilakukan dengan petugas UPT Kesmas Puskesmas Sukawati 1, didapatkan bahwa kegiatan spesifik terkait penyakit DM seperti penyuluhan pada masyarakat khususnya lansia DM atau kunjungan rumah belum pernah dilakukan. Kegiatan pemeriksaan pada lansia yang rutin diadakan di Posbindu sebatas pemeriksaan tekanan darah, berat badan, dan tinggi badan pada lansia.

Berdasarkan uraian di atas, adanya kelompok pendukung dapat mengendalikan suatu penyakit dan dukungan dari keluarga membuat lansia lebih patuh dalam menjalani pengelolaan DM, untuk itu peneliti tertarik untuk melihat pengaruh keluarga sebagai kelompok pendukung terhadap penurunan kadar gula darah lansia DM tipe 2 di Desa Batuan Kecamatan Sukawati.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dirumuskan masalah sebagai berikut “Adakah pengaruh keluarga sebagai kelompok pendukung terhadap penurunan kadar gula darah lansia DM tipe 2 di Desa Batuan Kecamatan Sukawati?”

1.3 Tujuan


(22)

6

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh keluarga sebagai kelompok pendukung terhadap penurunan kadar gula darah lansia DM tipe 2 di Desa Batuan Kecamatan Sukawati.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi kadar gula darah lansia DM tipe 2 sebelum intervensi pada kelompok perlakuan dan kontrol di Desa Batuan Kecamatan Sukawati.

b. Mengidentifikasi kadar gula darah lansia DM tipe 2 setelah intervensi pada kelompok perlakuan dan kontrol di Desa Batuan Kecamatan Sukawati.

c. Menganalisis kadar gula darah lansia DM tipe 2 sebelum dan setelah intervensi pada kelompok perlakuan di Desa Batuan Kecamatan Sukawati.

d. Menganalisis kadar gula darah lansia DM tipe 2 sebelum dan setelah intervensi pada kelompok kontrol di Desa Batuan Kecamatan Sukawati.

e. Menganalisis perbedaan perubahan kadar gula darah lansia DM tipe 2 setelah intervensi pada kelompok perlakuan dan kontrol di Desa Batuan Kecamatan Sukawati.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengoptimalkan kesadaran dan peran keluarga dalam merawat lansia DM tipe 2 di Desa Batuan Kecamatan Sukawati.


(23)

7

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar rujukan dalam merumuskan kebijakan untuk mengembangkan program di pelayanan kesehatan melalui pembentukan keluarga sebagai kelompok pendukung terhadap penurunan kadar gula darah lansia DM tipe 2.

1.4.2 Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat memberikan kerangka pemikiran pada penelitian yang akan datang, khususnya yang berkaitan dengan keluarga sebagai kelompok pendukung dalam pengelolaan lansia DM tipe 2

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada perawat khususnya perawat komunitas untuk dapat mengembangkan intervensi yang efektif dengan melibatkan peran serta masyarakat dengan pembentukan keluarga sebagai kelompok pendukung dalam pengelolaan lansia DM tipe 2.


(24)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lanjut Usia

2.1.1 Pengertian Lanjut Usia

Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis yang berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individu (Hawari, 2001 dalam Efendy & Makhfludi 2009). Lansia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Keliat, 1999 dalam Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008). Penggolongan lansia menurut WHO, dibagi menjadi 4 kelompok (Padila, 2013), yakni:

a. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45-59 tahun b. Lanjut Usia (elderly), ialah kelompok usia 60-74 tahun

c. Lanjut Usia Tua (old), ialah kelompok usia 75-90 tahun

d. Usia Sangat Tua (very old), ialah kelompok usia diatas 90 tahun Batasan lansia menurut Depkes RI terbagi dalam 4 kelompok yaitu :

a. Pertengahan umur usia lanjut/virilitas yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara usia 45-54 tahun.

b. Usia lanjut dini/prasemu yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun.


(25)

9

c. Usia lanjut/semua usia 65 tahun ke atas.

d. Usia lanjut dengan resiko tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun.

Menurut Pasal 1 Ayat (2), (3), (4) UU No.13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008).

2.1.2 Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Lansia

Menua dalam diri seseorang dapat membawa pengaruh serta perubahan menyeluruh baik fisik, sosial, mental, dan moral spiritual, yang keseluruhannya saling terkait (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008).

1. Perubahan fisik

a. Perubahan pada Sistem Sensoris

Komplikasi dari DM dapat menyebabkan lansia mengalami penurunan penglihatan seperti katarak. Sesuai dengan teori penuaan yaitu teori glikosilasi, adanya penambahan glukosa ke dalam asam nukleat menyebabkan menurunnya fungsi sel dan jaringan (Sa’abah, 2008). Kadar gula darah yang terlalu tinggi dalam darah (hiperglikemi) akan mengakibatkan terjadinya penimbunan sorbitol (hasil dari metabolisme glukosa) dalam lensa yang akan menyebabkan terjadinya pembengkakan lensa akibat masuknya air. Awalnya mata mampu melakukan kompensasi, tetapi pada saat yang sama pasien telah mengalami perubahan tajam penglihatan. Terjadi pembengkakan dan kerusakan serabut lensa pada tahap selanjutnya sehingga pasien akan mengeluh adanya glare atau silau dan akhirnya timbul kekeruhan lensa atau katarak diabetes (Mawan, 2013).


(26)

10

b. Perubahan pada Sistem Kardiovaskular

Perubahan sistem kardiovaskular pada lansia DM tipe 2 yaitu terjadinya peningkatan risiko penyumbatan pembuluh darah dekat jantung (serangan jantung), otak (stroke) atau kaki (gangren) (Salma, 2010). Perubahan yang terjadi pada sistem kardiovaskular akibat DM, menurut teori penuaan yaitu teori glikosilasi, adanya penambahan glukosa ke dalam asam nukleat menyebabkan menurunnya fungsi sel dan jaringan dan menyebabkan penggumpalan darah

(Sa’abah, 2008).

c. Perubahan pada Sistem persarafan

Terjadi perubahan pada saraf pancaindra menjadi makin mengecil pada usia tua sehingga fungsinya menurun dan lambat dalam merespon baik dari gerakan maupun jarak waktu, khususnya dengan stres, mengecilnya saraf pancaindra, serta menjadi kurang sensitif terhadap sentuhan (Efendy & Makhfudli, 2009). Kualitas sirkulasi darah yang buruk akibat DM dalam jangka panjang dapat merusak jaringan saraf. Kerusakan sistem saraf pada umumnya terjadi di bagian kaki dan tungkai yang biasanya ditandai rasa kesemutan, kehilangan sensasi (mati rasa) atau nyeri di jari-jari kaki, kemudian naik secara bertahap hingga tungkai. Hal ini perlu diwaspadai karena bila terdapat luka dan lansia DM tidak merasakan adanya luka, maka luka tersebut dapat menjadi borok (Salma, 2010).

d. Perubahan pada Sistem Genitourinaria

Perubahan terjadi pada ginjal, dimana ginjal akan mengecil, aliran darah ke ginjal menurun, penyaringan di glomelurus menurun, dan fungsi tubulus


(27)

11

menurun sehingga kemampuan mengkonsentrasi urin ikut menurun (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008). Jaringan ginjal terdiri dari banyak pembuluh darah kecil yang membentuk sebuah filter yang berperan menghilangkan racun dan limbah dari darah. DM yang kronis dapat menyebabkan pembuluh-pembuluh darah kecil itu rusak. DM juga membuat ginjal bekerja lebih keras untuk menyaring kelebihan kadar glukosa darah yang tidak terserap karena kekurangan insulin atau resistensi insulin. Hal ini berkaitan dengan teori penuaan yaitu teori Wear and Tear dimana pada teori ini terjadinya kelebihan usaha menyebabkan sel-sel tubuh lelah dan tidak dapat berfungsi dengan baik (Padila, 2013). Ginjal pada penderita DM akan mengalami kerusakan secara bertahap, mulai dari hyperfiltrasi (pembengkakan ginjal karena bekerja terlalu keras), mikroalbuminuria (kerusakan membran penyaring sehingga sebagian protein masuk ke dalam darah dan urin), sampai akhirnya menjadi gagal ginjal (Salma, 2010).

e. Perubahan pada Sistem Endokrin

Sekitar 50% lansia menunjukkan intoleransi glukosa, dengan kadar gula puasa yang normal. Penyebab dari terjadinya intoleransi glukosa ini adalah faktor diet, obesitas, kurangnya olahraga, dan penuaan (Padila, 2013). Sesuai dengan teori penuaaan yaitu teori glikosilasi, dalam teori ini menyatakan bahwa adanya ikatan glukosa (gula sederhana) pada protein yang menyebabkan berbagai masalah. Setelah pengikatan ini terjadi protein menjadi terganggu dan tidak dapat melakukan performa secara efisien. DM sering dipandang sebagai bentuk penuaan akibat ketidakseimbangan terkait usia insulin dan toleransi glukosa, masalah ini


(28)

12

telah disebut Sindrom X. Penderita diabetes memiliki 2-3 kali jumlah silang protein jika dibandingkan dengan orang yang sehat. Dalam teori ini juga menyebutkan bahwa gula mengikat DNA dan dapat menyebabkan kerusakan yang mengarah ke sel-sel cacat dan akhirnya menjadi kanker (Micans, 2014).

2. Perubahan psikososial

Perubahan pada lansia dalam sosial di masyarakat dan takut menghadapi kematian akibat adanya penyakit menimbulkan stres dan kesepian pada lansia (Padila, 2013). Sesuai dengan teori psikososial, munculnya stres ini diyakini dapat mempercepat proses penuaan. Seseorang yang mengalami stres, membuat tubuhnya harus memproduksi adrenalin untuk menenangkannya. Adrenalin yang dipacu terus-menerus akan menyebabkan insulin akan sulit mengatur kadar gula yang ideal (Jacken, 2005).

2.2 DM Tipe 2

2.2.1 Pengertian DM tipe 2 pada Lansia

DM merupakan penyakit kronis yang disebabkan karena adanya keturunan, karena kekurangan produksi insulin oleh pankreas, atau dengan tidak efektifnya insulin yang dihasilkan. Kurangnya peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah, akan mengakibatkan rusaknya banyak sistem tubuh, khususnya pembuluh darah dan saraf (WHO, 2015). DM yang utama diklasifikasikan menjadi DM tipe 1 (Insulin Dependen Diabetes Mellitus) dan DM tipe 2 (Non Insulin Dependen Diabetes Mellitus) (Hasdianah, 2012).

DM Tipe 2 adalah penyakit kronis dimana tubuh tidak dapat menggunakan insulin secara efektif yang diproduksi oleh pankreas (WHO, 2015). Kadar insulin


(29)

13

mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel β pankreas, maka DM tipe 2 dianggap sebagai Non Insulin Dependent DM (NIDDM) (Corwin, 2009). DM tipe 2 pada lansia, adanya intoleransi glukosa berkaitan dengan obesitas, aktivitas fisik yang berkurang, kurangnya massa otot, penyakit penyerta, penggunaan obat-obatan, disamping karena pada lansia terjadi penurunan sekresi insulin dan insulin resisten. Lansia dengan DM tipe 2 terjadi penurunan kemampuan insulin terutama pada post reseptor (Kurniawan, 2010).

2.2.2 Etiologi DM tipe 2 pada Lansia

Peningkatan kadar gula darah pada lanjut usia disebabkan oleh beberapa hal, yaitu (Misnadiarly, 2006):

a. Fungsi sel pankreas dan sekresi insulin yang berkurang.

b. Perubahan karena lanjut usia sendiri yang berkaitan dengan resistensi insulin, akibat kurangnya massa otot dan perubahan vaskular.

c. Aktivitas fisik yang berkurang, banyak makan, badan kegemukan. d. Sering menderita stres

e. Sering menggunakan bermacam-macam bahan-bahan kimia dalam waktu lama. Bahan-bahan kimia dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan radang pankreas, yang mengakibatkan fungsi pankreas menurun sehingga tidak ada sekresi hormon-hormon untuk proses metabolisme tubuh termasuk insulin (Hasdianah, 2012).

f. Adanya faktor keturunan. Gen penyebab DM akan dibawa oleh anak jika orang tuanya menderita DM (Hasdianah, 2012).


(30)

14

2.2.3 Tanda dan Gejala DM tipe 2 pada Lansia

Tanda dan gejala DM secara umum adalah banyak makan (polyphagia) banyak minum (polydipsia), banyak kencing (polyuria) (Corwin, 2009). Selanjutnya akan timbul gejala nafsu makan mulai berkurang/berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah, dan akan timbul rasa mual bahkan koma yang disebut dengan koma diabetik (Hasdianah, 2012). Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah kesemutan, kulit terasa panas seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di kulit, kram, mudah mengantuk, mata kabur (Hasdianah, 2012). Tanda dan gejala DM pada lansia sering kali tidak jelas dan diagnosis biasanya terlambat. Gejala DM pada lansia dapat muncul tidak spesifik dan tidak pasti (Bilous dan Donelly, 2014). Tanda dan gejala DM pada lansia adalah sebagai berikut (Misnadiarly, 2006):

a. Penurunan berat badan yang drastis dan katarak yang sering terjadi pada gejala awal.

b. Infeksi bakteri dan jamur pada kulit (pruritus vulva untuk wanita) dan infeksi traktus urinarius sulit untuk disembuhkan.

c. Disfungsi neurologi, termasuk parestesi, hipestesi, kelemahan otot, disfungsi otomatis dari traktus gastrointestinal (diare), sistem kardiovaskular (hipotensi ortostatik), sistem reproduksi (impoten), dan inkontinensia stres.

d. Makroangiopati yang meliputi sistem kardiovaskular (iskemi, angina, dan infark miokard), perdarahan intra serebral (stroke).


(31)

15

e. Mikroangiopati meliputi mata (penyakit makula, hemoragik, eksudat), ginjal (proteinuria, glomerulopati, uremia).

2.2.4 Pengelolaan DM Tipe 2 pada Lansia

Pengelolaan DM tipe 2 pada lansia perlu diperhatikan secara khusus yang bertujuan untuk mengendalikan kadar gula darah, mengurangi hiperglikemik, mencegah dan mengatasi komplikasi, serta mencapai harapan hidup yang normal (Perkeni, 2011; Bilous dan Donelly, 2014). Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu) serta dilakukan intervensi farmakologis dengan pemberian obat hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan insulin (Misnadiarly, 2006).

Terdapat empat pilar utama dalam pengelolaan DM tipe 2 yang meliputi (Perkeni, 2011):

a. Edukasi

Keberhasilan pengelolaan DM tipe 2 memerlukan partisipasi aktif dari pasien, keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien menuju perilaku yang sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku tersebut dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi tidak hanya kepada pasien DM tipe 2 namun juga kepada keluarganya (Perkeni, 2011). b. Diet

Pasien DM tipe 2 perlu ditekankan pentingnya keteraturan dalam hal jadwal, jenis, dan jumlah makanan, terutama bagi mereka yang menggunakan Obat Hipoglikemia Oral (OHO) atau insulin (Perkeni, 2011). Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal


(32)

16

karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu karbohidrat : 45-65% total asupan energi, protein: 10-20% total asupan energi, 20-25% kebutuhan kalori.

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, usia, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikali dengan kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk wanita). Alternatif diet rendah karbohidrat, tinggi lemak tak jenuh, tinggi serat diterapkan pada pasien DM tipe 2 (Hartono, 2006). Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada lansia dengan rentang usia 65-80 tahun membutuhkan energi sebanyak 1900 kkal (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.75 Tahun 2013). Kebutuhan diet pada lansia DM tipe 2 disesuaikan dengan kebutuhan kalori yaitu 1900 kkal dengan kebutuhan karbohidrat sebanyak 299 gr, protein 60 gr, lemak 48 gr (Almatsier, 2004).

Tabel 2.1. Daftar Bahan Makanan Penukar

A. Golongan I: Sumber Karbohidrat

Satu satuan penukar mengandung: 175 kkalori, 4 gr protein, dan 40 gr karbohidrat

Bahan Makanan

Berat (g) URT Bahan

Makanan

Berat (g) URT

Nasi beras

giling

100 ¾ gls Maizena* 40 8 sdm

Nasi beras ½ giling

200 1 gls Tepung beras 50 8 sdm

Nasi ketan

hitam

100 ¾ gls Biskuit 40 4 bh bsr

Nasi ketan putih 100 ¾ gls Jagung 125 3 bj sdg

Bengkuang 320 2 bj bsr Tepung

singkong*

40 8 sdm

Gadung 175 1 ptg Tepung sagu* 40 7 sdm

Kentang 200 2 bj sdg Tepung terigu 50 8 sdm

Singkong 100 1 ptg sdg Tepung

hunkwee*

40 8 sdm


(33)

17

Ubi 150 1 bj sdg Mie kering 50 1 gls

Makaroni 50 ½ gls Havermout 50 6 sdm

Roti putih 80 2 iris Bihun 50 ½ gls

Kraker 50 5 bh bsr Maizena 50 10 sdm

B. Golongan II: Sumber Protein Hewani

Menurut kandungan lemaknya, sumber protein hewani dibagi menjadi tiga kelompok: 1. Rendah Lemak

Satu-satuan penukar mengandung: 7 gr protein, 2 gr lemak, 50 kalori

Bahan Makanan

Berat (g) URT Bahan

Makanan

Berat (g) URT

Kepiting 50 1/3 gls Putih telur ayam 65 2 ½ btr

Cumi-cumi 45 1ekor kcl Kerang 90 ½ gls

Daging ayam

tanpa kulit

50 1 ptg sdg Ikan pindang 25 ½ ekor

sdg

Ikan lele 40 ½ ptg sdg Ikan segar 40 1 ptg sdg

Babat 40 1 ptg bsr Ikan kakap 35 1/3 ekor

bsr

Ikan kembung 30 1/3 ekor

sdg 2. Lemak Sedang

Satu-satuan penukar mengandung: 7 gr protein, 5 gr lemak, 75 kalori

Bahan Makanan Berat (g) URT Bahan

Makanan

Berat (g) URT

Bakso 170 10 bj sdg Telur ayam 55 1 btr

Daging kambing 40 1 ptg sdg Telur bebek asin 50 1 btr

Hati ayam 30 1bh sdg Telur puyuh 55 5 btr

Hati babi 35 1 ptg sdg Usus sapi 50 1 ptg bsr

Hati sapi 35 1 ptg sdg Daging sapi 35 1 ptg sdg

Otak 65 1 ptg bsr Telur penyu 60 2 btr

3. Tinggi Lemak

Satu-satuan penukar mengandung: 7 gr karbohidrat, 5 gr protein, 3 gr lemak, 75 kalori

Bahan Makanan Berat (g) URT

Bebek 45 1 ptg sdg

Belut 45 3 ekor kcl

Daging ayam dengan kulit 40 1 ptg sdg

Sosis 50 ½ ptg

Kuning telur ayam 45 4 butir

Telur bebek 55 1btr

C. Golongan III: Sumber Protein Nabati

Satu satuan penukar mengandung: 75 kalori, 5 gr protein, 3 gr lemak, dan 7 gr karbohidrat

Bahan Makanan Berat

(g)

URT Bahan Makanan Berat (g) URT

Kacang Hijau 20 2 sdm Kacang tolo 20 2 sdm

Kacang Kedelai 25 2 ½ sdm Oncom 50 2 ptg sdg


(34)

18

Kacang tanah terkupas 15 2 sdm Tempe 50 2 ptg sdg

D. Golongan IV: Sayuran

Hendaknya digunakan campuran dari daun-daunan seperti: bayam, kangkung, daun singkong dengan kacang panjang, buncis, wortel, dsb. 100 gr sayuran campur adalah lebih kurang 1 gelas (setelah dimasak dan ditiriskan). Golongan sayuran dibagi atas 3 macam berdasarkan kandungan zat gizinya.

1. Sayuran A. Digunakan sekehendak karena sangat sedikit sekali kandungan kalorinya.

Beligo Lettuce

Gambas (oyong) Lobak

Jamur kuping segar Slada

Ketimun Slada air

Labu air Tomat

2. Sayuran B. Satu satuan penukar (dalam 100 g) mengandung: 5 g karbohidrat, 1 g protein, 25 kalori

Cabe hijau besar Sawi

Daun koro Seledri

Daun kacang panjang Taoge kac.hijau

Jagung muda Terong

Kol Kangkung

Bawang Bombay Labu siam

Bayam Pepaya muda

Broccoli Wortel

Buncis Daun kemangi

Cabe merah besar Pare

3. Sayuran C. Satu-satuan penukar (100 g) mengandung: 10 g karbohidrat, 3 g protein, 50 kalori.

Bayam merah Kluwih

Daun katuk Mlinjo

Daun labu siam Taoge kacang kedele

Daun mangkokan Daun talas

Daun mlinjo Kacang kapri

Daun pepaya Nangka muda

Daun singkong

E. Golongan V: Buah-buahan dan gula

Satu satuan penukar mengandung: 40 kkalori dan 10 gr hidrat arang

Bahan Makanan

Berat (g) URT Bahan

Makanan

Berat (g) URT

Gula 13 1 sdm Mangga 90 ¾ bh

bsr

Apel merah 85 1 bh kcl Nanas 95 ¼ bh

sdg

Anggur 165 20 bh sdg Nangka masak 45 3 bj sdg

Belimbing 70 1 bh bsr Pepaya 190 1 ptg

bsr

Jambu biji 100 1 bh bsr Pisang ambon 50 1 bh kcl

Jambu air 110 2 bh bsr Madu 15 1 sdm


(35)

19

Duku 80 16 bh sdg Salak 75 1 bh bsr

Jeruk bali 105 1 ptg Sawo 50 1 bh

sdg

Jeruk manis 100 2 bh sdg Sirsak 60 ½ gls

Kedondong 100 1 bh bsr Semangka 180 1 ptg

bsr

F. Golongan VI: Susu

Merupakan sumber protein, lemak, karbohidrat, dan vitamin (terutaman vitamin A dan Niacin), serta mineral (zat kapur dan fosfor).

Bahan Makanan Berat

(g)

URT Bahan Makanan Berat (g) URT

Susu sapi 200 1 gls Tepung susu asam 35 7 sdm

Susu kambing 165 ¾ gls Tepung susu skim* 20 1 sdm

Susu kerbau 100 ½ gls Tepung susu penuh 30 6 sdm

Susu kental tak

manis

100 ½ gls YogURT non fat 120 2/3 gls

Keju 35 1 ptg kcl YogURT susu

penuh

200 1 gls

G. Golongan VII: Minyak/lemak

Satu satuan penukar mengandung: 50 kalori dan 5 gr lemak 1. Lemak tidak jenuh

Bahan Makanan Berat

(g)

URT Bahan Makanan Berat (g) URT

Alpukat 60 ½ bh bsr Minyak jagung 5 1 sdt

Biji labu merah 10 2 bj Minyak kacang kedele 5 1sdt

Kacang almond 25 7 bj Minyak kacang tanah 5 1sdt

Margarine jagung 5 ¼ sdt Minyak zaitun 5 1sdt

Mayonnaise 20 2 sdm Minyak bunga matahari 5 1sdt

2. Lemak Jenuh

Bahan Makanan Berat

(g) URT Bahan Makanan Berat (g) URT

Minyak kelapa 5 1 sdm Kelapa 15 1 ptg kcl

Minyak inti kelapa sawit

5 1 sdm Santan 40 1/3 gls

Keju krim 15 1 ptg kcl Lemak babi 5 1 ptg kcl

Mentega 15 sdm

H. Golongan VIII (Makanan tanpa kalori)

1. Mengandung kurang dari 5 g karbohidrat dan kurang dari 20 kalori tiap penukarnya.

2. Bahan makanan yang ada ukuran rumah tangganya. Dibatasi maksimal 3 penukar sehari,

tetapi jangan dikonsumsi sekaligus oleh karena dapat menyebabkan kenaikan gula darah.

3. Bahan makanan yang tidak ada ukuran rumah tangganya dapat dikonsumsi lebih bebas.

Agar-agar Tauco

Air kaldu Teh

Air mineral Selai rendah gula

Cuka mineral Krim, non dairy, cair bubuk


(36)

20

Kopi Permen, tanpa gula

Minuman ringan tanpa gula Sirup tanpa gula

Minuman tonik tanpa gula Wijen

Sumber: Kemenkes R.I

Prinsip-prinsip dalam melaksanakan diet DM sehari-hari, dilakukan dengan pedoman Jadwal, Jenis, dan Jumlah atau yang sering disebut dengan pedoman 3J, yaitu:

(1) J1: Jadwal diet harus diikuti sesuai dengan interval. Pada dasarnya diet DM diberikan dengan tiga kali makanan utama dan tiga kali makanan antara (interval) tiga jam.

Tabel 2.2. Jadwal Waktu Makan

Waktu Makan Jenis Makanan

1. Makan pagi (pk. 07.00-08.00) Makanan utama yang terdiri dari: makanan

pokok (nasi), lauk pauk, sayuran.

2. Selingan (pk. 10.00) Buah/susu

3. Makan siang (pk. 12.00-13.00) Makanan utama

4. Selingan (pk. 16.00) Buah/susu

5. Makan malam (pk. 19.00) Makanan utama

6. Selingan (pk. 21.00) Buah

Sumber: Almatzier, 2004 (Jadwal ini dapat diubah asalkan interval tetap 3 jam)

(2) J2: Jenis makanan yang dianjurkan adalah jenis makanan pada syarat-syarat diet DM.

a. Bahan makanan yang dianjurkan (Almatsier, 2004):

1. Sumber karbohidrat kompleks, seperti nasi, roti, mi, kentang, singkong, ubi, dan sagu.

2. Sumber protein rendah lemak, seperti ikan, ayam tanpa kulit, susu skim, tempe tahu, dan kacang-kacangan.


(37)

21

3. Sumber lemak dalam jumlah terbatas yaitu bentuk makanan yang mudah dicerna. Terutama diolah dengan cara dipanggang, dikukus, dan direbus. b. Bahan makanan yang tidak dianjurkan (Almatsier, 2004):

1. Mengandung banyak gula sederhana seperti gula pasir dan gula jawa. Buah-buahan yang diawetkan dengan gula. Sirup, selai, jeli, susu kental manis, minuman botol ringan, dan es krim.

2. Mengandung banyak lemak, seperti cake, makanan siap saji, goreng-gorengan.

3. Mengandung banyak natrium, seperti ikan asin, telur asin, makanan yang diawetkan.

(3) J3: Jumlah kalori yang diberikan harus habis, jangan dikurangi ataupun ditambah.

Tabel 2.3. Contoh Menu Makanan Sehari Diet DM 1900 kkal

Waktu Bahan makanan Penukar (URT) Menu

Pagi Nasi

Telur ayam Tempe Sayuran A Minyak

1 ½p 1 p 1 p S 2p 1 gls 1 btr 2 ptg sdg 1 sdm

Nasi Telur dadar Oseng-oseng tempe Sop Oyong + tomat

Pukul 10.00 Buah 1 p 1 ptg sdg Pepaya

Siang Nasi

Ikan Tempe Sayuran B Buah Minyak 1 p 2 p 1 p 1 p 1 p 2 p

1 ½ gls 1 ptg sdg 2 ptg sdg 1 gls ¼ bh sdg 1 sdm

Nasi Pepes ikan Tempe goreng

Lalapan kacang

panjang+kol Nanas

Pukul 16.00 Buah 1 p 1 ptg Pisang

Malam Nasi

Ayam tanpa kulit Tahu Sayuran B Buah Minyak 2 p 1 p 1 p 1 p 1 p 2 p

1 ½ gls 1 ptg sdg 1 bh bs 1 gls 1 ptg sdg 1 sdm

Nasi

Ayam bakar bumbu

kecap Tahu bacem Stup buncis+wortel Pepaya


(38)

22

Keterangan: bh = buah

ptg = potong sdg = sedang gls = gelas (240 ml)

sdm = 1 sendok makan bsr = besar

btr = butir

URT= ukuran rumah tangga

atau penimbangan

menggunakan timbangan

makanan. Nilai Gizi

Energi: 1912 kkal

Protein: 60 g (12,5% energi total) Lemak: 48 g (22,5% energi total)

Karbohidrat: 299 g (62,5% energi total) Kolesterol: 303 mg

Serat: 37 g Sumber: Almatzier, 2004

Pencacatan menu makanan untuk diet DM dapat dilakukan dengan menggunakan food record yaitu pendekatan monitoring konsumsi makanan dan minuman dalam sehari atau lebih. Pencatatan tersebut dilakukan selama periode waktu tertentu biasanya 1 sampai 7 hari (Berdanier, Dwyer, dan Feldman, 2007), apabila pencacatan dilakukan beberapa hari biasanya dilakukan berturut-turut dan tidak lebih dari 7 hari (Thompson & Subar, 2013) yaitu 2-4 hari berturut-turut (Supariasa, 2012). Food record baik dilakukan ketika setelah makan atau minum sehingga hasilnya akurat. Jumlah makanan atau minuman yang dikonsumsi diperkirakan dengan menggunakan Ukuran Rumah Tangga (URT) (Thompson & Subar, 2013).

c. Aktivitas Fisik

Manfaat aktivitas fisik pada lansia DM adalah untuk perbaikan toleransi glukosa, peningkatan kemampuan, konsumsi oksigen maksimum, meningkatan kekuatan otot, penurunan tekanan darah, pengurangan lemak tubuh, perbaikan profil lipid (Kurniawan, 2010).

Aktivitas fisik secara teratur dilakukan 3-5 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit (Sudoyo, 2009). Jenis olahraga yang baik adalah aerobic yang


(39)

23

bersifat daya tahan, karena dapat memperkuat otot jantung dan pembuluh darah seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging dan berenang (Sustrani, dkk, 2006). Aktivitas fisik sebaiknya disesuaikan dengan usia dan status kesegaran jasmani serta memperhatikan aktivitas fisik bila menggunakan insulin, untuk lansia DM tipe 2, intensitas aktivitas fisik bisa ditingkatkan kecuali sudah mengalami komplikasi (Perkeni, 2011).

1. Aktifitas Fisik pada pasien DM yang Bergantung Insulin (Waluyo, 2009) : a) Monitor kadar gula darah sebelum dan sesudah beraktivitas fisik. b) Hindari gula darah rendah dengan memakan karbohidrat sebelum

aktivitas fisik.

c) Hindari aktivitas fisik berat selama reaksi puncak insulin.

d) Lakukan suntikan insulin di tempat–tempat yang tidak akan digunakan untuk beraktivitas fisik secara aktif.

e) Ikuti saran dokter untuk mengurangi dosis insulin sebelum melakukan aktivitas fisik yang melelahkan atau lama.

f) Gula darah bisa turun bahkan beberapa jam setelah beraktivitas fisik untuk itu dianjurkan untuk memeriksa gula darah secara periodik. 2. Aktivitas fisik untuk Pasien DM yang Tidak Bergantung Insulin (Waluyo, 2009):

a) Gula darah rendah jarang terjadi selama beraktivitas fisik untuk itu tidak perlu untuk memakan karbohidrat ekstra.

b) Aktivitas fisik untuk menurunkan berat badan perlu didukung dengan pengurangan asupan kalori.


(40)

24

c) Aktivitas fisik sedang perlu dilakukan setiap hari. Aktivitas fisik berat mungkin bisa dilakukan tiga kali seminggu.

d) Sangat penting untuk melakukan latihan ringan guna pemanasan dan pendinginan sebelum dan sesudah beraktivitas fisik.

e) Pilihlah aktivitas fisik yang paling sesuai dengan kesehatan dan gaya hidup secara umum.

f) Manfaat aktivitas fisik akan hilang jika tidak beraktivitas fisik selama tiga hari berturut-turut.

g) Aktivitas fisik bisa meningkatkan nafsu makan dan berarti juga asupan kalori bertambah. Sangat penting untuk menghindari makan makanan ekstra setelah beraktivitas fisik.

Melakukan aktivitas fisik sebaiknya dibagi menjadi tiga waktu yaitu satu jam setelah sarapan, satu jam setelah makan siang, dan satu jam setelah makan malam (Waluyo, 2009). Contoh aktivitas fisik yang dapat dilakukan adalah dengan dengan 2 hari libur (Fox & Klivert, 2010):

1. Jalan kaki selama 30-40 menit/hari. 2. Berenang selama 20 menit/hari. 3. Jogging selama 20 menit/hari. 4. Bersepeda selama 20 menit/hari.

Jenis aktivitas fisik untuk DM lainnya adalah senam kaki diabetes. Senam kaki diabetes adalah suatu kegiatan atau latihan yang dilakukan oleh pasien DM untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran darah bagian kaki (Padila, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Andriani (2014)


(41)

25

melaporkan dengan melakukan latihan senam kaki diabetes menunjukan terjadinya penurunan kadar gula darah yang dilakukan selama dua kali selama 15 menit dalam seminggu sebelum makan.

Berikut langkah-langkah pelaksanaan senam kaki diabetes (Padila, 2013): 1. Duduk tegak diatas bangku dengan kaki menyentuh lantai.

2. Dengan tumit yang diletakkan dilantai, jari-jari kedua belah kaki diluruskan keatas lalu dibengkokkan kembali kebawah seperti cakar ayam sebanyak 10 kali.

3. Dengan meletakkan tumit salah satu kaki dilantai, angkat telapak kaki ke atas. Kemudian sebaliknya pada kaki yang lainnya, jari-jari kaki diletakkan di lantai dan tumit kaki diangkatkan ke atas. Gerakan ini dilakukan secara bersamaan pada kaki kanan dan kiri bergantian dan diulangi sebanyak 10 kali. 4. Tumit kaki diletakkan di lantai. Kemudian bagian ujung jari kaki diangkat ke

atas dan buat gerakan memutar pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali. 5. Jari-jari kaki diletakkan dilantai. Kemudian tumit diangkat dan buat gerakan

memutar dengan pergerakkan pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali.

6. Kemudian angkat salah satu lutut kaki, dan luruskan. Lalu gerakan jari-jari kaki kedepan kemudian turunkan kembali secara bergantian kekiri dan ke kanan. Ulangi gerakan ini sebanyak 10 kali.

7. Selanjutnya luruskan salah satu kaki diatas lantai kemudian angkat kaki tersebut dan gerakkan ujung jari-jari kaki kearah wajah lalu turunkan kembali ke lantai. Ulangi sebanyak 10 kali. Lakukan pada kedua kaki.


(42)

26

8. Angkat kedua kaki lalu luruskan. Ulangi sama seperti pada langkah ke-7, namun gunakan kedua kaki kanan dan kiri secara bersamaan. Ulangi gerakan tersebut sebanyak 10 kali.

9. Angkat kedua kaki dan luruskan, pertahankan posisi tersebut. Kemudian gerakan pergelangan kaki kedepan dan kebelakang.

10.Selanjutnya luruskan salah satu kaki dan angkat, lalu putar kaki pada pergelangan kaki, lakukan gerakan seperti menulis di udara dengan kaki dari angka 0 hingga 10 lakukan secara bergantian.

11.Letakkan selembar koran dilantai. Kemudian bentuk kertas koran tersebut menjadi seperti bola dengan kedua belah kaki.

12.Buka kembali bola tersebut menjadi lembaran seperti semula menggunakan kedua belah kaki.

13.Kemudian robek koran menjadi 2 bagian, lalu pisahkan kedua bagian koran tersebut.

14.Sebagian koran di sobek-sobek menjadi kecil-kecil dengan kedua kaki.

15.Kemudian pindahkan kumpulan sobekan-sobekan tersebut dengan kedua kaki lalu letakkan sobekkan kertas pada bagian kertas yang utuh tadi.

16.Lalu bungkus semua sobekan-sobekan tadi dengan kedua kaki kanan dan kiri menjadi bentuk bola.

d. Terapi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan selama dengan pengaturan makan dan aktivitas fisik. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. Pemilihan jenis obat disesuaikan dengan kondisi klien dan perkembangan


(43)

27

penyakit DM tipe 2 (Perkeni, 2011). Hipoglikemia harus dihindari pada lansia DM tipe 2, oleh karena itu sebaiknya obat-obat yang bekerja jangka panjang tidak dipakai dan diberikan obat-obat yang mempunyai masa yang pendek tetapi bekerja cukup lama (Misnadiarly, 2006).

2.2.5 Kadar Gula Darah pada Lansia DM Tipe 2 1. Pengertian Gula Darah

Glukosa merupakan substrat utama untuk menghasilkan energi di jaringan seperti otak dan sel darah merah (Guyton, 2007). Gula yang diserap dari makanan akan diangkut ke seluruh tubuh melalui aliran darah, kemudian diberikan ke sel-sel organ tubuh yang memerlukan dengan bantuan insulin, hormon yang dihasilkan pankreas. Bila jumlah gula berlebih maka insulin membantu menyimpan kelebihan gula tersebut di dalam organ hati, atau tubuh mengubah gula menjadi glikogen untuk disimpan di otot, atau diubah menjadi trigliserida untuk disimpan di jaringan lemak (Prodia, 2008).

Pasien DM tipe 2 tidak mampu menggunakan atau menyimpan sebagian besar gula yang diserap dari makanan, sehingga gula tersebut tetap berada dalam darah, dan gula dalam darah yang berlebihan dapat menimbulkan berbagai macam masalah yang disebut sebagai komplikasi diabetes (Prodia, 2008). Kadar gula darah dapat diketahui dengan rutin melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan gula darah harus rutin dilakukan pada lansia DM tipe 2. Penelitian Badriah (2012) dilakukan pemeriksaan gula darah pada lansia DM tipe 2 setiap dua minggu sekali setelah dikelola oleh kelompok pendukung. Sudoyo (2009) mengemukakan batasan atas kadar glukosa darah normal seperti pada Tabel 2.4.


(44)

28

Tabel 2.4. Kadar Gula darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Diagnosis DM Tipe 2

Pasien DM yang berusia lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dl, dan sesudah makan 145-180 mg/dl) (Perkeni, 2011). Berdasarkan data WHO didapatkan bahwa setelah mencapai usia 30 tahun, kadar glukosa darah akan naik 1-2 mg%/tahun pada saat puasa dan akan naik sebesar 5,6-13 mg%/tahun pada 2 jam setelah makan (Kurniawan, 2010).

2. Faktor yang Mempengaruhi Kadar Gula Darah pada Lansia a. Diet

Kebiasaan mengkonsumsi makanan siap saji dapat meningkatkan obesitas, makanan-makanan siap saji ini banyak mengandung lemak, kalori, serta kolesterol (Jacken, 2005). Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu karbohidrat : 45-65% total asupan energi, protein: 10-20% total asupan energi, 20-25% kebutuhan kalori (Hartono, 2006).

b. Aktivitas fisik

Terjadi penimbunan zat gula yang tidak terpakai akibat dari kurangnya aktivitas yang dilakukan (Jacken, 2005), bila aktivitas fisik yang melelahkan dapat

Bukan DM

Belum Pasti DM

DM Kadar glukosa

darah sewaktu (mg/dl)

Plasma vena <100 100-199 ≥200

Darah Kapiler <90 90-199 ≥200

Kadar guloksa

darah puasa

(mg/dl)

Plasma Vena <100 100-125 ≥126


(45)

29

menyebabkan konsentrasi glukagon dalam darah seringkali meningkat sebanyak empat sampai lima kali lipat (Guyton, 2007).

c. Stres

Stres akan meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan akan sumber energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban yang tinggi membuat pankreas mudah rusak hingga berdampak pada penurunan insulin (Smeltzer and Bare, 2008). Seseorang yang mengalami stres, membuat tubuhnya harus memproduksi adrenalin untuk menenangkannya. Adrenalin yang dipacu terus-menerus akan menyebabkan insulin akan kelabakan mengatur kadar gula yang ideal (Jacken, 2005).

d. Usia

DM tipe 2 dalam perkembangannya hampir diderita oleh semua jangkuan usia, baik anak-anak, remaja, dan orang dewasa apalagi jika memilki berat badan yang tidak seimbang. Namun, DM tipe 2 sering muncul seiring dengan bertambahnya usia, yaitu usia 45 tahun keatas, dimana keadaan fisik mulai menurun (Jacken, 2005).

e. Jenis kelamin

Perempuan memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki untuk terkena DM tipe 2, karena pada perempuan memiliki kadar LDL yang umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (Jacken, 2005).


(46)

30

2.3 Keluarga sebagai Kelompok Pendukung 2.3.1 Konsep Keluarga

Keluarga dalam UU No. 10 Tahun 1992 adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami, istri, dan anak atau suami istri, ayah dengan anaknya, atau ibu dan anaknya. Friedman (1998) mendefinisikan keluarga sebagai suatu sistem sosial. Keluarga merupakan kelompok kecil yang terdiri dari individu-individu yang memiliki hubungan erat satu sama lain, saling tergantung yang diorganisir dalam satu unit tunggal dalam rangka mencapai tujuan bersama (Padila, 2012).

Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan di dalam perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan (Bailon dan Maglaya, 1978 dalam Achjar, 2010). Tipe keluarga secara tradisional dapat dibagi menjadi dua yaitu keluarga inti dan keluarga besar. Keluarga inti adalah keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang diperoleh dari keturunan atau adopsi atau keduanya sedangkan keluarga besar adalah keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih memiliki hubungan darah (kakek-nenek, paman-bibi) (Harnilawati, 2013).

2.3.2 Tugas dan Peran Keluarga di Bidang Kesehatan

Keluarga dalam Depkes RI (1998) merupakan unit terkecil dari komunitas sehingga melalui keluarga yang sehat akan tercipta komunitas yang sehat, demikian sebaliknya. Masalah kesehatan dalam keluarga saling berkaitan dan


(47)

31

untuk menyelesaikan masalah tersebut keluargalah sebagai pengambil keputusannya. Keluarga merupakan perantara yang efektif dan mudah untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan di masyarakat (Padila, 2012).

Keluarga memiliki tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan menurut Friedman (1998), meliputi:

a. Mengenal masalah kesehatan. Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga. Apabila keluarga menyadari adanya perubahan kesehatan pada anggota keluarganya, hal tersebut perlu dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi, dan seberapa perubahannya (Suprajitno, 2004).

b. Mengetahui kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan mengenai tindakan kesehatan yang tepat (Suprajitno, 2004).

c. Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan (Suprajitno, 2004).

d. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga (Suprajitno, 2004).

e. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga (Suprajitno, 2004).

Setiap anggota keluarga memliki peranannya masing-masing dalam perawatan di sebuah keluarga, salah satu hal yang tidak dapat ditinggalkan adalah dalam melakukan perawatan terhadap lansia. Keluarga merupakan support system utama bagi lansia dalam mempertahankan kesehatannya. Peranan keluarga dalam


(48)

32

merawat lansia adalah memberikan kasih sayang, menghormati, dan menghargai lansia dalam merawat dan menjaga lansia, mempertahankan dan meningkatkan status mental, mengantisipasi perubahan sosial ekonomi, serta memberikan motivasi dan memfasilitasi kebutuhan spiritual lansia (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008).

2.3.3 Konsep Kelompok Pendukung 1. Pengertian Kelompok Pendukung

Beberapa jenis kelompok dalam dukungan sosial yaitu kelompok pembimbing/psikoedukasi, kelompok konseling/intrapersonal, kelompok swabantu (self-help group), dan kelompok pendukung (support group). Kelompok pendukung merupakan kelompok yang terstruktur yang berfungsi untuk memberikan informasi, ketenangan, dan keterikatan dengan orang lain. Kelompok pendukung menawarkan komunitas atau lingkungan yang aman sehingga anggota yang berpatisipasi dapat belajar dari mendengar, mengamati, mencoba perilaku baru, menerima umpan balik, dan merasakan dukungan dari anggota lain (Bensley & Fisher, 2008). Kelompok pendukung memberikan kesempatan untuk berdiskusi berbagai stategi dalam mengatasi penyakit dan pengelolaannya (Smeltzer & Bare, 2008).

Tujuan kelompok pendukung adalah meningkatkan pengetahuan, memperjelas perubahan yang ingin dilakukan, dan membantu dalam pengembangan ketrampilan yang diperlukan untuk mewujudkan perubahan tersebut (Bensley & Fisher, 2008).


(49)

33

2. Syarat

Kelompok pendukung memiliki pertemuan yang waktunya dibatasi. Kebanyakan kelompok pendukung mengadakan empat sampai sepuluh sesi pertemuan yang dapat disesuaikan dengan panduan fasilitatornya dan anggota dalam kelompok pendukung terdiri dari 5-10 orang (Bensley & Fisher, 2008).

Waktu pertemuan dalam kelompok pedukung rata-rata bagi orang dewasa berlangsung sampai 90 menit (Bensley & Fisher, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Badriah (2012) pertemuan dengan kelompok pendukung dalam pengelolaan DM tipe 2 dilakukan sebanyak empat kali dengan durasi rata-rata 60 menit dan rentang waktu diadakannya pertemuan selanjutnya disesuaikan dengan persetujuan anggota, pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan gula darah pada lansia DM tipe 2 setiap dua minggu sekali setelah dikelola oleh kelompok pendukung dan terjadi penurunan gula darah sebesar 12,5% selama dua minggu tersebut.

3. Tahap-tahap Kerja Kelompok Pendukung Beberapa tahap dalam kelompok pendukung:

a. Tahap awal. Selama tahapan awal dalam proses kelompok, fokus diarahkan pada pembentukan kelompok, dan mengarahkan anggota (Bensley & Fisher, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Badriah (2012) pada tahap ini dilakukan pembentukan kelompok, perkenalan masing-masing anggota, dan mengidentifikasi masalah terkait upaya pengelolaan lansia DM tipe 2.

b. Tahap peralihan. Kelompok pendukung berfokus pada pendidikan dan mengubah pola komunikasi. Dalam tahap ini peran fasilitator adalah


(50)

34

mempertahankan objektivitas dan tetap memperlihatkan penerimaan, perhatian, dan dukungan (Bensley & Fisher, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Badriah (2012) pada tahap ini dilakukan pertemuan untuk membahas penyakit DM.

c. Tahap kerja. Pada tahap ini, memperlihatkan adanya hubungan yang harmonis antar anggota kelompok setelah adanya proses adaptasi terhadap perannya. Anggota kelompok mulai relaks dalam mengambil tindakan dan beruji coba memperlihatkan kegiatan yang baru (Bensley & Fisher, 2008). Tahap kerja pada penelitian Badriah (2012) dilakukan pada pertemuan ketiga, dimana dilakukan cara pengaturan diet dengan membawa bahan makanan asli oleh masing-masing anggota dan diberikan juga dijelaskan mengenai cara pengisian food record. Pertemuan keempat dilakukan cara penanggulangan stres.

d. Tahap penutupan. Tahap ini merupakan tahap terakhir dimana fase ini berguna untuk mengeksplorasi perasaan anggota kelompok, mengevaluasi pencapaian harapan, dan umpan balik (Bensley & Fisher, (2008).

2.3.4 Keluarga sebagai Kelompok Pendukung

Memberikan perawatan kesehatan pada anggota keluarga yang sakit adalah tugas dari keluarga, agar keluarga dapat menjadi sumber kesehatan yang efektif dan utama, peran keluarga harus terlibat dalam tim perawatan kesehatan dan keseluruhan proses teurapetik (Padila, 2013). Keluarga merupakan support system utama bagi lansia dalam mempertahankan kesehatannya (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008). Kehadiran teman-teman atau


(51)

35

anggota keluarga telah terbukti mengurangi tingkat ini antara orang-orang selama periode yang sulit. Penelitian yang dilakukan di Brigham Young University dan University of North Carolina menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki dukungan sosial yang kuat adalah 50% lebih mungkin untuk meninggal akibat penyakit daripada mereka yang memiliki dukungan dari sekitarnya (Blue, 2010).

Dukungan keluarga adalah hubungan dan prinsip-prinsip yang memperkuat perkembangan keluarga. Dukungan keluarga membantu setiap anggota keluarganya dalam membangun dasar yang kuat untuk mendorong pertumbuhan anggotanya (U.S Department of Health and Human Service, 2013). Keluarga dapat membantu mengurangi kecemasan dan dapat mempengaruhi ketaatan dalam pengelolaan penyakit tertentu serta dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan (Friedman, 2010).

Pemenuhan kesehatan lansia, cenderung untuk membutuhkan bantuan orang lain, hal ini dikarenakan berbagai penurunan fungsi tubuh lansia. Terkait dengan hal tersebut dukungan sosial sangat penting dalam pelaksanaan praktik keperawatan pada lansia yang memiliki kecendrungan ketergantungan khususnya dalam upaya promosi kesehatan (Stanhope & Lancaster, 2004).

2.4 Hubungan Keluarga sebagai Kelompok Pendukung dengan Kadar Gula Darah Lansia DM Tipe 2

Perubahan sikap dan tingkah laku individu, keluarga, kelompok khusus, dan masyarakat dalam membina, memelihara perilaku hidup sehat serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal karena mendapat pendidikan dalam hal kesehatan (Nursalam & Efendi, 2011). Teori Lawrence


(52)

36

Green (1980) dalam Noorkasiani (2009) kesehatan individu dipengaruhi oleh faktor perilaku dan faktor-faktor di luar perilaku. Faktor perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor predisposisi (pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, dan norma sosial), faktor pendukung (saran pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya), dan faktor pendorong (sikap dan perilaku petugas kesehatan.

Perubahan perilaku melalui cara ini memerlukan waktu lama, namun perubahan yang terjadi sifatnya akan menetap karena didasari pengertian dan kesadaran yang tinggi terhadap tujuan perilaku tersebut dilaksanakan, bukan karena paksaan (Maulana, 2009). Pendidikan kesehatan dari tenaga kesehatan dapat mengubah dan menguatkan faktor-faktor perilaku dan faktor di luar perilaku sehingga sesuai dengan tujuan kegiatan dan menimbulkan perilaku positif dari masyarakat terhadap kesehatan (Noorkasiani, 2009).

Dukungan keluarga menurut Green (1980) dalam Noorkasiani (2009) menyatakan bahwa dukungan keluarga termasuk dalam faktor penguat yang membuat seseorang bersemangat untuk melakukan perubahan perilaku dalam memperhatikan hal yang dijalankan. Menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu, keluarga menjadi faktor yang sangat berpengaruh di dalamnya, selain itu keluarga juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima dalam membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit (Friedman, 2010).

Keluarga dapat membantu mengurangi kecemasan dan dapat mempengaruhi ketaatan dalam pengelolaan penyakit tertentu serta dapat menjadi


(53)

37

kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan (Friedman, 2010). Dalam pemenuhan kesehatannya, lansia memiliki kecendrungan untuk membutuhkan bantuan orang lain, hal ini dikarenakan berbagai penurunan fungsi tubuh lansia. Terkait dengan hal tersebut dukungan sosial sangat penting dalam pelaksanaan praktik keperawatan pada lansia yang memiliki kecendrungan ketergantungan khususnya dalam upaya promosi kesehatan (Stanhope & Lancaster, 2004).

Bentuk dari dukungan sosial adalah kelompok swabantu, dimana pembentukan kelompok ini merupakan seuatu intevensi keperawatan yang melibatkan masyarakat melalui pembentukan kelompok atau bekerja sama dengan kelompok yang telah ada untuk meningkatkan kualitas kerja (Stanhope & Lancaster, 2004). Selain itu, dukungan sosial lainnya adalah adanya kelompok sebaya dan kelompok pendukung. Kelompok pendukung merupakan kelompok yang terstruktur yang berfungsi untuk memberikan informasi, ketenangan, dan keterikatan dengan orang lain. Kelompok pendukung menawarkan komunitas atau lingkungan yang aman sehingga anggota yang berpatisipasi dapat belajar dari mendengar, mengamati, mencoba perilaku baru, menerima umpan balik, dan merasakan dukungan dari anggota lain (Bensley & Fisher, 2008).

Pembentukan kelompok pendukung akan memberikan dukungan sosial kepada lansia melalui proses pembentukan kelompok. Berawal dari fase orientasi yang merupakan usaha mencari cara membangun keinginan anggota-anggota masyarakat. Tahap ini masyarakat merasakan mempunyai masalah dan motivasi yang sama khususnya dalam menangani lansia yang mengalami masalah DM tipe 2. Fase konflik, dalam fase ini banyak perbedaan antar kelompok dan adanya


(54)

38

keinginan yang berbeda yang sering menjadi penyebab konflik pada kelompok yang baru dibentuk. Selanjutnya adalah fase kohesif yaitu adanya hubungan yang harmonis antar anggota kelompok setelah adanya proses adaptasi terhadap peran dan aturan kelompok. Tahap selanjutnya adalah fase kerja dimana setiap anggota kelompok menjalankan peranannya masing-masing untuk memberikan dukungan terhadap individu. Fase terminasi merupakan fase terakhir dimana fase ini berguna untuk mengeksplorasi perasaan anggota kelompok, mengevaluasi pencapaian harapan, dan umpan balik (Hitchcock, et al, 1999 dalam Badriah 2010).

Kelompok pendukung menurut penelitian Badriah (2010) dapat mengatasi dua sampai tiga masalah keperawatan keluarga terkait pengendalian faktor resiko peningkatan gula darah. Penelitian yang dilakukan oleh Utami (2011) menyatakan bahwa terdapat hubungan dukungan keluarga terhadap aktivitas fisik dan kadar gula darah pasien DM tipe 2. Berdasarkan hal tersebut pengaruh kelompok pendukung sangat kuat dalam pengelolaan DM tipe 2 dan anggotanya terdiri dari keluarga dari lansia karena lansia memiliki kecendrungan ketergantungan dalam pemenuhan kebutuhannya dan keluarga termasuk dalam faktor penguat, dimana membuat seseorang bersemangat unuk melakukan perubahan perilaku dalam memperhatikan hal yang dijalankan.


(1)

2. Syarat

Kelompok pendukung memiliki pertemuan yang waktunya dibatasi. Kebanyakan kelompok pendukung mengadakan empat sampai sepuluh sesi pertemuan yang dapat disesuaikan dengan panduan fasilitatornya dan anggota dalam kelompok pendukung terdiri dari 5-10 orang (Bensley & Fisher, 2008).

Waktu pertemuan dalam kelompok pedukung rata-rata bagi orang dewasa berlangsung sampai 90 menit (Bensley & Fisher, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Badriah (2012) pertemuan dengan kelompok pendukung dalam pengelolaan DM tipe 2 dilakukan sebanyak empat kali dengan durasi rata-rata 60 menit dan rentang waktu diadakannya pertemuan selanjutnya disesuaikan dengan persetujuan anggota, pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan gula darah pada lansia DM tipe 2 setiap dua minggu sekali setelah dikelola oleh kelompok pendukung dan terjadi penurunan gula darah sebesar 12,5% selama dua minggu tersebut.

3. Tahap-tahap Kerja Kelompok Pendukung Beberapa tahap dalam kelompok pendukung:

a. Tahap awal. Selama tahapan awal dalam proses kelompok, fokus diarahkan pada pembentukan kelompok, dan mengarahkan anggota (Bensley & Fisher, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Badriah (2012) pada tahap ini dilakukan pembentukan kelompok, perkenalan masing-masing anggota, dan mengidentifikasi masalah terkait upaya pengelolaan lansia DM tipe 2.

b. Tahap peralihan. Kelompok pendukung berfokus pada pendidikan dan mengubah pola komunikasi. Dalam tahap ini peran fasilitator adalah


(2)

mempertahankan objektivitas dan tetap memperlihatkan penerimaan, perhatian, dan dukungan (Bensley & Fisher, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Badriah (2012) pada tahap ini dilakukan pertemuan untuk membahas penyakit DM.

c. Tahap kerja. Pada tahap ini, memperlihatkan adanya hubungan yang harmonis antar anggota kelompok setelah adanya proses adaptasi terhadap perannya. Anggota kelompok mulai relaks dalam mengambil tindakan dan beruji coba memperlihatkan kegiatan yang baru (Bensley & Fisher, 2008). Tahap kerja pada penelitian Badriah (2012) dilakukan pada pertemuan ketiga, dimana dilakukan cara pengaturan diet dengan membawa bahan makanan asli oleh masing-masing anggota dan diberikan juga dijelaskan mengenai cara pengisian food record. Pertemuan keempat dilakukan cara penanggulangan stres.

d. Tahap penutupan. Tahap ini merupakan tahap terakhir dimana fase ini berguna untuk mengeksplorasi perasaan anggota kelompok, mengevaluasi pencapaian harapan, dan umpan balik (Bensley & Fisher, (2008).

2.3.4 Keluarga sebagai Kelompok Pendukung

Memberikan perawatan kesehatan pada anggota keluarga yang sakit adalah tugas dari keluarga, agar keluarga dapat menjadi sumber kesehatan yang efektif dan utama, peran keluarga harus terlibat dalam tim perawatan kesehatan dan keseluruhan proses teurapetik (Padila, 2013). Keluarga merupakan support system utama bagi lansia dalam mempertahankan kesehatannya (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008). Kehadiran teman-teman atau


(3)

anggota keluarga telah terbukti mengurangi tingkat ini antara orang-orang selama periode yang sulit. Penelitian yang dilakukan di Brigham Young University dan University of North Carolina menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki dukungan sosial yang kuat adalah 50% lebih mungkin untuk meninggal akibat penyakit daripada mereka yang memiliki dukungan dari sekitarnya (Blue, 2010).

Dukungan keluarga adalah hubungan dan prinsip-prinsip yang memperkuat perkembangan keluarga. Dukungan keluarga membantu setiap anggota keluarganya dalam membangun dasar yang kuat untuk mendorong pertumbuhan anggotanya (U.S Department of Health and Human Service, 2013). Keluarga dapat membantu mengurangi kecemasan dan dapat mempengaruhi ketaatan dalam pengelolaan penyakit tertentu serta dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan (Friedman, 2010).

Pemenuhan kesehatan lansia, cenderung untuk membutuhkan bantuan orang lain, hal ini dikarenakan berbagai penurunan fungsi tubuh lansia. Terkait dengan hal tersebut dukungan sosial sangat penting dalam pelaksanaan praktik keperawatan pada lansia yang memiliki kecendrungan ketergantungan khususnya dalam upaya promosi kesehatan (Stanhope & Lancaster, 2004).

2.4 Hubungan Keluarga sebagai Kelompok Pendukung dengan Kadar Gula Darah Lansia DM Tipe 2

Perubahan sikap dan tingkah laku individu, keluarga, kelompok khusus, dan masyarakat dalam membina, memelihara perilaku hidup sehat serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal karena mendapat pendidikan dalam hal kesehatan (Nursalam & Efendi, 2011). Teori Lawrence


(4)

Green (1980) dalam Noorkasiani (2009) kesehatan individu dipengaruhi oleh faktor perilaku dan faktor-faktor di luar perilaku. Faktor perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor predisposisi (pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, dan norma sosial), faktor pendukung (saran pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya), dan faktor pendorong (sikap dan perilaku petugas kesehatan.

Perubahan perilaku melalui cara ini memerlukan waktu lama, namun perubahan yang terjadi sifatnya akan menetap karena didasari pengertian dan kesadaran yang tinggi terhadap tujuan perilaku tersebut dilaksanakan, bukan karena paksaan (Maulana, 2009). Pendidikan kesehatan dari tenaga kesehatan dapat mengubah dan menguatkan faktor-faktor perilaku dan faktor di luar perilaku sehingga sesuai dengan tujuan kegiatan dan menimbulkan perilaku positif dari masyarakat terhadap kesehatan (Noorkasiani, 2009).

Dukungan keluarga menurut Green (1980) dalam Noorkasiani (2009) menyatakan bahwa dukungan keluarga termasuk dalam faktor penguat yang membuat seseorang bersemangat untuk melakukan perubahan perilaku dalam memperhatikan hal yang dijalankan. Menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu, keluarga menjadi faktor yang sangat berpengaruh di dalamnya, selain itu keluarga juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima dalam membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit (Friedman, 2010).

Keluarga dapat membantu mengurangi kecemasan dan dapat mempengaruhi ketaatan dalam pengelolaan penyakit tertentu serta dapat menjadi


(5)

kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan (Friedman, 2010). Dalam pemenuhan kesehatannya, lansia memiliki kecendrungan untuk membutuhkan bantuan orang lain, hal ini dikarenakan berbagai penurunan fungsi tubuh lansia. Terkait dengan hal tersebut dukungan sosial sangat penting dalam pelaksanaan praktik keperawatan pada lansia yang memiliki kecendrungan ketergantungan khususnya dalam upaya promosi kesehatan (Stanhope & Lancaster, 2004).

Bentuk dari dukungan sosial adalah kelompok swabantu, dimana pembentukan kelompok ini merupakan seuatu intevensi keperawatan yang melibatkan masyarakat melalui pembentukan kelompok atau bekerja sama dengan kelompok yang telah ada untuk meningkatkan kualitas kerja (Stanhope & Lancaster, 2004). Selain itu, dukungan sosial lainnya adalah adanya kelompok sebaya dan kelompok pendukung. Kelompok pendukung merupakan kelompok yang terstruktur yang berfungsi untuk memberikan informasi, ketenangan, dan keterikatan dengan orang lain. Kelompok pendukung menawarkan komunitas atau lingkungan yang aman sehingga anggota yang berpatisipasi dapat belajar dari mendengar, mengamati, mencoba perilaku baru, menerima umpan balik, dan merasakan dukungan dari anggota lain (Bensley & Fisher, 2008).

Pembentukan kelompok pendukung akan memberikan dukungan sosial kepada lansia melalui proses pembentukan kelompok. Berawal dari fase orientasi yang merupakan usaha mencari cara membangun keinginan anggota-anggota masyarakat. Tahap ini masyarakat merasakan mempunyai masalah dan motivasi yang sama khususnya dalam menangani lansia yang mengalami masalah DM tipe 2. Fase konflik, dalam fase ini banyak perbedaan antar kelompok dan adanya


(6)

keinginan yang berbeda yang sering menjadi penyebab konflik pada kelompok yang baru dibentuk. Selanjutnya adalah fase kohesif yaitu adanya hubungan yang harmonis antar anggota kelompok setelah adanya proses adaptasi terhadap peran dan aturan kelompok. Tahap selanjutnya adalah fase kerja dimana setiap anggota kelompok menjalankan peranannya masing-masing untuk memberikan dukungan terhadap individu. Fase terminasi merupakan fase terakhir dimana fase ini berguna untuk mengeksplorasi perasaan anggota kelompok, mengevaluasi pencapaian harapan, dan umpan balik (Hitchcock, et al, 1999 dalam Badriah 2010).

Kelompok pendukung menurut penelitian Badriah (2010) dapat mengatasi dua sampai tiga masalah keperawatan keluarga terkait pengendalian faktor resiko peningkatan gula darah. Penelitian yang dilakukan oleh Utami (2011) menyatakan bahwa terdapat hubungan dukungan keluarga terhadap aktivitas fisik dan kadar gula darah pasien DM tipe 2. Berdasarkan hal tersebut pengaruh kelompok pendukung sangat kuat dalam pengelolaan DM tipe 2 dan anggotanya terdiri dari keluarga dari lansia karena lansia memiliki kecendrungan ketergantungan dalam pemenuhan kebutuhannya dan keluarga termasuk dalam faktor penguat, dimana membuat seseorang bersemangat unuk melakukan perubahan perilaku dalam memperhatikan hal yang dijalankan.