Psychological WellBeing pada pria lajang
PSYCHOLOGICAL WELLBEING PADA PRIA LAJANG
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh : Iriani Dwiyanti NIM : 089114054
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2013
(2)
(3)
(4)
MOTTO
Kehidupan itu sebenarnya sedehana tetapi kitalah
yang membawanya rumit – Kong Hu Chu
Tugasmu adalah menemukan duniamu
kemudian mempersembahkan dirimu kepada
dunia – Buddha
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini ku persembahkan kepada :
Tuhan Yesus di surga dan Bunda Maria, tanpa uluran tanganNya saya tidak dapat menyelesaikan karya ini dengan baik
My lovely dad and mom...yang sudah merawatku sampai detik ini...cinta dan kasih sayang kalian tidak akan pernah tergantikan...
Kakakku, Teddy Winarto, S.T. yang selalu menyemangati dan menyuruhku untuk cepat menyelesaikan karya ini...makasih,oh..
Benny Setyawan, S.Farm., Apt. and fam....yang selalu mengingatkanku, menyemangati dan membantuku untuk cepat menyelesaikannya...thank you for support and always loving me...
(5)
(6)
PSYCHOLOGICAL WELLBEING PADA PRIA LAJANG
Iriani Dwiyanti
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran psychological wellbeing pada pria yang melajang. Fokus penelitian ini pada gambaran hubungan sosial dan tingkat psychological wellbeing pada pria lajang berumur 50 tahun ke atas. Jenis penelitian ini adalah deskriptif untuk menjawab fokus penelitian. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 2 orang. Criterion sampling digunakan untuk memilih subjek yang sesuai dengan kriteria yaitu usia sama dengan 50 tahun atau diatasnya dan melajang. Hasil penelitian ini adalah kedua subjek memiliki penerimaan diri, mampu berhubungan yang positif dengan orang lain, mandiri, mampu mengembangan dirinya dan menguasai lingkungan sekitarnya. Namun, tujuan hidup kedua subjek rendah karena keduanya tidak memilliki tujuan yang jelas untuk hidupnya sampai tua nanti. Selain itu, kedua subjek mampu berhubungan sosial dengan baik juga.
Kata kunci : psychological wellbeing, pria lajang
(7)
PSYCHOLOGICAL WELLBEING IN SINGLE MAN
Iriani Dwiyanti
ABSTRACT
The purpose of this study is to determine the conception of psychological wellbeing on unmarried male.The focus of the study is on the conception of social relationship dan psychological wellbeing rate/level on 50s-year-unmarried male.To answer the research questions, the researcher used the decriptive research.The subject of the study are two persons.Criterion Sampling was used to choose the subject fulfill the criteria given which is 50 year old male or older.The result the study is that the two subjects have self-acceptance, capable of having positive relationship with others, have autonomy, capable of self-improvement, and capable of environment-mastery. However, the purpose of living both subject is low because they don’t have clear objective for their lives. Besides, both subjects are capable of of having good social relationship as well.
Keywords: psychological wellbeing, single man
(8)
(9)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan di surga atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan orang lain. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu menyertai
2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Kaprodi Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan dosen pembimbing skripsi...terima kasih atas masukan dan kritik yang sudah diberikan pada penulis…
3. Alm. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku dosen Pembimbing Akademik, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta...
4. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku Dekan Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
5. Ibu Monica E. Madyaningrum, M.App.Psych selaku dosen pembimbing skripsi pertama...terima kasih atas semua masukan dan saran serta kritik kepada saya...
6. Mas Gandung, Mba Nanik, Pak Gik, Mas Doni dan Mas Muji..terima kasih karena selalu melayani kami – kami semua dengan baik...Buat Mas Muji, makasih atas masukannya sewaktu saya menjadi asisten Grafis, Sera...Mas Gandung,makasih juga atas
(10)
kesempatan yang diberikan kepadaku untuk menjadi asisten pengawas ujian...
7. Teman – teman Ganesha angkatan 44, Soda Zone (Yeyen, Shasya, Yayol, Chaoz, Ragilz, Azfar, Anggun, dll) ..thank you for all support to me...Akhirnya, aku menyusul kalian...
8. Teman – teman Psikologi ‘08 USD...Lita, Dessy, Nindi, Rosa, Ela, Rio, Novi, Tiwi, Intan, Vincent, Yoshi, ChaCha,dll yang tidak bisa disebutkan semua...terima kasih sudah memberiku semua tawa dan bahagia...semua kenangan tidak akan dilupakan...someday we wil meet again...
9. Anggota kelompok KKN 11 angkatan XLII Dongkelsari Wawan, Haya, Tante Cindy, Acen, Tina, Efa, Dita, Monic...terima kasih atas kerjasamanya dan menyelesaikan program KKN kita dengan baik..kita bisa kembali lagi ke Dusun Dongkelsari pada suatu hari nanti...Specially to Benny di dalam kelompok ini kita dipertemukan oleh-Nya...
10.Teman – teman Kost Mawar, semoga masih diberi kesempatan untuk kembali lagi...Yustina Fanny Susanti, S.Pd., teman terbaik yang sudah mau membantu ku dalam segala kesempatan...sudah banyak merepotkan,hehehe...mau mendengarkan keluh kesah ku dalam segala masalah...
(11)
11.Bapak dan Ibu di Magelang...Mas Probo, Mba Nuri, Bima dan Tiara dan FX. Galih Widyawan, makasih sudah membantu dan memberi banyak nasehat dan masukan...
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis menerima saran dan kritik dari pembaca untuk memperbaiki skripsi ini.
Yogyakarta, 11 Oktober 2013 Penulis
Iriani Dwiyanti
(12)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ...ii
HALAMAN PENGESAHAN ...iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...iv
HALAMAN PERYATAAN KEASLIAN KARYA ...v
ABSTRAK ...vi
ABSTRACT ...vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...viii
KATA PENGANTAR ...ix
DAFTAR ISI ...xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...xvii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
1. Manfaat Praktis ... 9
2. Manfaat Teoritis ... 9
(13)
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10
A. Psychological Wellbeing ... 10
1. Pengertian Psychological Wellbeing ... 10
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Wellbeing ... 13
B. Pria Lajang dan Dewasa Tengah ... 14
C. Psychological Wellbeing pada Pria Lajang Dewasa ... 15
D. Pertanyaan Penelitian ... 16
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 17
A. Jenis Penelitian ... 17
B. Fokus Penelitian ... 17
C. Subjek Penelitian ... 17
D. Metode Pengumpulan Data ... 18
E. Prosedur Analisis Data ... 19
1. Organisasi Data ... 19
2. Koding (memberi kode) ... 20
3. Intepretasi ... 20
F. Kredibilitas dan Realibilitas Penelitian ... 21
1. Kredibilitas Penelitian ... 21
2. Realibilitas Penelitian ... 21
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22
A. Proses Penelitian ... 22
1. Persiapan Penelitian ... 22
2. Pelaksanaan Penelitian ... 23
(14)
3. Proses Analisis Data ... 23
4. Jadwal Pengambilan Data ... 24
B. Profil Subjek ... 27
1. Subjek 1 ... 27
2. Subjek 2 . ... 27
C. Kategorisasi Tema ... 28
1. Pengalaman Masa Lalu dan Lama Tidak Menjalin Hubungan dengan Wanita Menjadi Latar Belakang Subjek Melajang ... 28
2. Faktor Ekonomi dan Sifat Wanita yang Tidak Baik adalah Faktor yang Mempengaruhi Subjek Melajang ... 28
3. Melajang adalah Kebebasan dan Tidak Menafkahi Istri dan Anak namun Penyesalan di Hari Tua ... 29
4. Hubungan Sosial Tidak Terhambat oleh Status Lajang ... 30
5. Status Lajang Tidak Mempengaruhi Pertemanan ... 31
6. Subjek Menerima Status Lajangnya dan Optimis dalam Hidup namun Terkadang Berpikir Mengapa Tidak Menikah dan Masih Ada Keinginan yang Belum Terpenuhi ... 31
E. Deskripsi Hasil dan Pembahasan ... 33
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 40
A. Kesimpulan ... 40
B. Keterbatasan Penelitian ... 41
C. Saran ... 41
(15)
DAFTAR PUSTAKA ... 42 LAMPIRAN ... 45
(16)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Panduan Wawancara ... 19 Tabel 2. Jadwal Wawancara dengan Subjek 1 (GSS) ... 24 Tabel 3. Jadwal Wawancara dengan Subjek 2 (HK) ... 25
(17)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara Subjek 1 (GSS) ... 46
Lampiran 2. Koding Subjek 1 (GSS) ... 48
Lampiran 3. Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara Subjek 2 (HK) ... 69
Lampiran 4. Koding Subjek 2 (HK) ... 71
Lampiran 5. Protokol Wawancara ... 82
(18)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan dianggap sebagai pengalaman psikologis yang penting dan secara signifikan menentukan kualitas psikologis seseorang. Menikah merupakan salah satu tahap yang dilewati seseorang, hal ini terdapat dalam teori perkembangan. Seseorang menjadi dewasa maka ia akan meninggalkan rumah dan hidup sendiri kemudian ia akan mendapat pasangan dan membentuk keluarga baru (Carter dan Mc Goldrick dalam Santrock, 2002). Ketika seseorang keluar dari rumah, ia harus mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Pada tahap keintiman dan keterkucilan yang merupakan tahap ke-6 perkembangan menurut Erikson (dalam Santrock, 2002) disebutkan bahwa seseorang menghadapi tugas perkembangan membentuk relasi yang intim dengan orang lain. Jika seseorang tidak mampu membentuk relasi tersebut maka ia akan merasa terisolasi. Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa membentuk relasi dengan orang lain dapat membuat keadaan psikologis seseorang menjadi lebih baik dan menjauhkan dari rasa depresi. Selain itu, relasi yang dibuat seseorang tidak hanya antar teman tetapi juga lawan jenis. Relasi lawan jenis dapat terjadi jika seorang pria mulai tertarik dan cocok terhadap seorang wanita.
(19)
2
Pernikahan membawa dampak positif pada kualitas psikologis seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Stutzer dan Frey (2006), menyebutkan bahwa terdapat perbedaan keuntungan antara orang yang menikah dan tidak. Orang yang menikah memiliki fisik dan kesehatan psikologis yang baik. Selain itu, secara ekonomi orang yang menikah lebih memiliki kesejahteraan ekonomi yang lebih baik. Hal ini disebabkan karena adanya penggabungan pendapatan antara suami dan istri yang bekerja. Seseorang yang menikah juga memiliki umur yang lebih panjang dan menjauhkan dari tindakan kriminal (Kompas.com, 26 Juli 2010).
Pernikahan selalu diasosiasikan dengan kebahagiaan dan kesehatan mental yang baik (Gove, Hughes dan Style, 1983; Gove dan Shin, 1989; Lee, Seccombe dan Shehan, 1991 dalam Marks dan Lambert, 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Gove dan Tudor (1973 dalam Marks dan Lambert, 1996) menemukan bahwa menikah melindungi kesehatan mental yang lebih besar pada pria daripada wanita. Namun, Fox (1980 dalam Marks dan Lambert, 1996) menemukan fakta sebaliknya bahwa wanita memiliki banyak keuntungan dengan menikah.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa menikah selalu diasosiasikan dengan bahagia. Seseorang yang menikah akan memiliki kesehatan mental yang baik daripada seseorang yang tidak menikah. Orang tersebut memiliki perasaan positif, bahagia, kepuasaan dalam hidup dan memiliki harga diri (Marks, 1996). Meskipun ada beberapa orang yang merasa cemas, depresi dan ketakutan dalam
(20)
pernikahan mereka namun hal tersebut tidak dialami oleh orang-orang yang menikah.
Berdasar data di atas tampak bahwa pernikahan memiliki arti penting bagi kualitas psikologis dan fisik seseorang. Meskipun demikian, pada dewasa ini, banyak orang memilih untuk melajang. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, di antaranya belum menemukan yang cocok, memandang bahwa pernikahan dapat merenggut kebebasan ataupun karena individu tersebut tidak sejahtera secara ekonomi (Kompasiana, 14 Desember 2010). Selain itu, adanya pengalaman traumatik dalam pernikahan yang dialami oleh saudara dekatnya atau teman juga dapat menjadi penyebab seseorang menjadi takut menikah dan memilih untuk melajang. Beberapa mitos tentang pernikahan juga menyebabkan seseorang takut untuk menikah, seperti orang menikah memiliki kepuasan seks yang lebih rendah daripada orang yang melajang, menikah membuat seorang wanita lebih beresiko mengalami kekerasan fisik (Sriwijaya Post, 21 April 2012).
Kebanyakan orang cenderung untuk menghindari stress dan depresi yang akan dihadapi ketika mereka menikah. Faktor pekerjaan juga berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Ketika seseorang mengejar karir dan tidak mementingkan hal lain maka orang tersebut sulit untuk memikirkan hal lain di luar pekerjaan yang ia geluti (Kumalasari, 2008, 105-122).
(21)
4
Tidak sedikit jumlah orang – orang yang tidak menikah. Contohnya, di Amerika Serikat jumlah orang dewasa awal yang belum menikah meningkat tajam. Pada tahun 1970, 36% wanita dan 55% pria pada rentang usia 20 – 40 tahun belum menikah. Kemudian pada tahun 2003, 40% wanita dan 80% pria pada rentang usia yang sama mereka belum menikah. Pada rentang usia 30 – 34 tahun, 23% wanita dan 33% pria belum menikah (Fields, 2004 dalam Papalia, Olds, Feldman, 2009). Di Jepang, terdapat 60% pria pada rentang usia 18-34 tahun tidak menikah dan sekitar 30% wanita pada rentang usia yang sama juga belum menikah (BBC, 28 November 2011). Hasil survei tersebut lebih tinggi dibandingkan pada survei sebelumnya pada tahun 2005.
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem budaya Timur. Dalam hal ini, pernikahan merupakan sesuatu yang penting dan wajib untuk dilakukan. Orang tua yang memiliki anak merasa bahwa anaknya sudah dianggap dewasa dan mandiri jika sudah menikah. Jika belum menikah, seorang anak tetap menjadi tanggung jawab orang tuanya.
Di kota besar, menikah merupakan fenomena yang langka karena kebanyakan dari orang – orang yang hidup di sana hanya memikirkan meniti karir dan pekerjaan. Mereka cenderung untuk tidak memikirkan pernikahan. Berdasar data Femina (No. 46/XXV, 20 – 26 November 1997) di dapat bahwa pada tiap tahunnya jumlah pernikahan dengan usia di atas 20 tahun terus meningkat. Pada tahun 1973, sekitar 20% wanita menikah di rentang usia 20an dan cenderung menurun hingga tahun 1993, sekitar
(22)
16,4%. Namun, pada tahun 1995 jumlah orang menikah pada usia di atas 20 tahun meningkat tajam, ada sekitar 38,9%.
Berdasar survey yang telah dilakukan pada pria dengan rentang usia 25 – 35 tahun berjumlah 60 orang didapat beberapa alasan pria melajang. Tidak ingin dikekang 35%, fokus pada karir 29%, belum merasa mapan 20% dan 16% menyebutkan bahwa mereka belum menemukan wanita yang tepat (Femina, no. 14, 6-12 April 2006).
Meskipun angka individu yang memilih untuk melajang semakin tinggi namun pilihan untuk melajang masih cenderung dianggap tidak lazim. Kehidupan melajang seringkali diasosiasikan dengan lebih banyak hal – hal yang negatif daripada yang positif.
Penelitian yang sudah dilakukan di area ini lebih banyak yang di fokuskan pada wanita. Contohnya penelitian yang dilakukan oleh Darmawati (2001) tentang Psychological Well Being pada Wanita Lajang, Dwi Utami Rias Pertiwi (2011) dan Tri Yuliana (2006). Selain itu, Dyah Kumalasari (2008) yang merupakan staf pengajar di FISE UNY juga meneliti tentang wanita lajang.
Baron (dalam Andryana, 2007 dalam Oktaria, 2009) alasan pria tidak menikah adalah komitmen menikah akan merusak hubungan yang sudah terjalin, ketika menikah sudah tidak bebas lagi, takut bercerai, trauma kegagalan orang tuanya dan terkadang pria memiliki sifat pembosan.
Banyak penelitian yang mengkaji tentang wellbeing. Ketertarikan peneliti pada topik ini mencerminkan naiknya kesadaran sejumlah peneliti
(23)
6
pada kualitas psikologis positif (Cacioppo dan Bernston, 1999 dalam Ryan dan Deci, 2001). Psychological wellbeing istilah yang digunakan untuk melihat fungsi psikologi positif yang ada pada seseorang (Ryff, 1989).
Istilah psychological wellbeing dikemukakan oleh Ryff memiliki 6 aspek yang menyusunnya. Penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pengembangan diri adalah aspek – aspek penyusunnya. Ryff menilai apakah seseorang memiliki psychological wellbeing yang tinggi / rendah dengan menggunakan Ryff’s Scale (Ryff, 1989).
Penerimaan diri tinggi jika individu berperilaku positif, mengakui dan menerima aspek dirinya yang baik dan buruk, menerima masa lalu dengam positif. Hubungan positif dengan orang lain dinilai tinggi jika memiliki kehangatan dan percaya pada hubungannya dengan orang lain. Seseorang mempunyai kemandirian yang baik jika independen dan mampu mengevaluasi dirinya sesuai standard personalnya. Seseorang mampu mengatur lingkungannya, mampu memanipulasi dan mengkontrol lingkungan, memajukan dan mengganti secara kreatif untuk aktivitas fisik maupun mental maka orang tersebut memiliki skor penguasaan lingkungan yang tinggi. Tujuan hidup dinilai tinggi jika seseorang memiliki tujuan, misi dan arah yang membuat hidup ini lebih bermakna. Pengembangan diri seseorang tinggi jika mampu mengembangkan suatu potensi untuk tumbuh dan memperluas sebagai seorang individu (Ryff, 1989).
(24)
Bagi pria, pernikahan harus berjalan selamanya dan merupakan keputusan yang mempengaruhi hidupnya. Pria menggambarkan bahwa ia harus memikirkan rencana jangka panjang apakah ia memilih wanita yang tepat dan sesuai dengan pilihannya. Selamanya juga diartikan bagi pria apakah ia juga mampu mendampingi wanita yang sama untuk waktu yang lama. Perceraian adalah salah satu alasan mereka takut membina pernikahan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Weisman pada pria lajang, seseorang akan selalu berkembang dan berubah. Perubahan dari perkembangan tersebut akan terjadi pada diri suami atau istri sehingga mereka tidak yakin apakah akan bertahan atau tidak (Kompas.com, 20 Januari 2010).
Penelitian yang dilakukan terhadap 440.000 pria dan wanita yang dilakukan oleh University of Oslo, Norwegia. Ditemukan bahwa pria lajang beresiko dua kali lebih tinggi meninggal karena kanker, daripada pria yang sudah menikah. Seperti yang diinformasikan Daily Mail pada Minggu (16/10/2011), mereka sebelumnya meneliti kematian akibat kanker 40 tahun kebelakang. Pria dan wanita yang belum menikah lebih sering meninggal dunia dari 13 tipe umum kanker seperti paru-paru, payudara dan prostat. Angka kematian responden pria yang belum menikah sebesar 18 persen hingga 35 persen. Dua kali lebih tinggi dari angka kematian responden wanita yang belum menikah, yakni 17 persen hingga 22 persen (okezone.com, 16 Oktober 2011).
(25)
8
Berdasar amatan sederhana peneliti pada pria – pria yang memilih melajang yang di jumpai oleh peneliti, terungkap bahwa mereka juga memiliki kompleksitas sendiri terkait dengan pilihannya untuk melajang. Peneliti melakukan wawancara sederhana tentang pria lajang dan alasannya melajang. Didapatkan bahwa pria melajang karena kesibukannya dalam pekerjaan sehingga tidak memikirkan pernikahan. Selain itu, pria yang melajang tidak memiliki tujuan yang jelas dan lebih memikirkan dirinya sendiri. Ketika ditanya apa yang akan dilakukannya esok hari, pria tersebut menjawab tidak tahu dan lihat besok saja. Ia lebih suka tinggal di rumah dan menonton televisi. Pria yang melajang juga mudah terpengaruh oleh orang lain tanpa berpikir terlebih dahulu. Pria lajang tersebut juga tidak tertarik untuk melakukan hobinya lagi karena sudah tidak tertarik dan merasanya badannya tidak mampu lagi. Mencari nafkah untuk dirinya sendiri juga sudah tidak mampu ia kerjakan dan hidupnya bergantung pada adik perempuannya. Berdasarkan hasil wawancara sederhana tersebut, peneliti ingin mengetahui lebih jauh tentang pria lajang dalam menjalani hidupnya.
B. Rumusan Masalah
(26)
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran psychological wellbeing pada pria yang hidup melajang.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat memberikan informasi bagi para pembaca gambaran psychological wellbeing pada pria yang hidup melajang. 2. Manfaat Teoritis
Manfaat penelitian pada ilmu psikologi adalah menambah kajian tentang kesejahteraan psikologis dan kesehatan mental pada pria lajang.
(27)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Psychological Wellbeing
1. Pengertian Psychological Wellbeing
Psychological wellbeing adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis seseorang berdasar pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (Ryff, 1989). Huppert (2009) menyatakan bahwa psychological wellbeing adalah tentang hidup yang berjalan dengan baik. Kombinasi dari perasaan yang baik dan berfungsi efektif.
Psychological wellbeing adalah bentuk kenyamanan seseorang (Diener, Wolsic dan Fujita,1995 dalam Haryanto dan Suyasa, 2007). Wang (2002) mendefinisikan psychological wellbeing sebagai fungsi psikologis yang positif dari individu (dalam Haryanto dan Suyasa,2007). Deci dan Ryan (2008 dalam Winefield, Gill, Taylor dan Pilkington) menjelaskan bahwa psychological wellbeing biasanya dikonseptualisasikan sebagai bagian dari perasaan positif seperti kebahagiaan dan fungsi yang optimal pada individu dan kehidupan sosial. Jadi, psychological wellbeing adalah fungsi psikologis positif yang berjalan optimal pada individu.
Ryff (1989) menyebutkan aspek – aspek yang menyusun psychological wellbeing adalah :
(28)
a. Penerimaan Diri (Self Acceptance)
Kriteria yang paling utama dalam wellbeing adalah perasaan individu terhadap penerimaan diri sendiri. Definisi sebagai pokok kesehatan mental seperti karakteristik aktualisasi diri, fungsi yang optimal dan kedewasaan. Teori rentang kehidupan juga menegaskan tentang penerimaan terhadap diri dan masa lalu.
b. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others)
Banyak teori yang menegaskan pentingnya kehangatan, saling percaya dalam hubungan interpersonal. Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen pokok kesehatan mental. Hubungan yang hangat dengan orang lain sebagai kriteria kedewasaan, empati, memiliki perasaan terhadap orang lain dan hubungan pertemanan yang dalam. Jadi, hubungan positif dengan orang lain sangat penting dalam konsep psychological wellbeing.
c. Kemandirian (Autonomy)
Kemampuan individu dalam mengambil keputusan sendiri, bebas dan tidak terikat peraturan berperilaku dari orang lain. Seseorang sangat berfungsi juga dideskripsikan memiliki kemampuan mengevaluasi diri sendiri dengan
(29)
12
standar personal. Selain itu, individu mampu melawan tekanan sosial untuk berpikir.
d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
Kemampuan individu untuk memilih atau membuat lingkungan yang nyaman untuk dirinya sesuai dengan kondisi fisik, mampu untuk memanipulasi dan mengkontrol lingkungan, memajukan dan mengganti secara kreatif untuk aktivitas fisik maupun mental.
e. Tujuan Hidup (Pupose in Life)
Kesehatan mental mencakup kepercayaan – kepercayaan yang memberikan individu perasaan bahwa hidup ini memiliki tujuan dan makna. Individu yang berfungsi penuh memiliki tujuan, misi dan arah yang membuat hidup ini lebih bermakna. f. Pengembangan Diri (Personal Growth)
Fungsi psikologis yang optimal tidak hanya mencapai karakteristik yang khas tetapi juga mampu mengembangkan suatu potensi untuk tumbuh dan memperluas sebagai seorang individu. Kebutuhan aktualisasi diri dan menyadari potensi yang dimilikinya sebagai pusat perspektif klinis dalam pengembangan diri.
Jadi, psychological wellbeing dinilai tinggi / rendah pada seorang individu. Nilai psychological wellbeing seseorang tinggi jika ia mampu melakukan semua aspek – aspek penyusun psychological
(30)
wellbeing dengan optimal dan baik (Ryff dalam Papalia, Olds dan Feldman, 2009).
2. Faktor – faktor yang mempengaruhi Psychological Wellbeing
Faktor – faktor yang mempengaruhi psychological wellbeing, adalah : a. Usia
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ryff (1989) ditemukan perbedaan tingkat psychological wellbeing dari berbagai kelompok usia. Usia yang bertambah membuat penguasaan lingkungan seseorang menjadi lebih baik sehingga mampu mengatur lingkungannya.
b. Jenis kelamin
Ryff (1989) mengatakan bahwa dalam berhubungan sosial terdapat perbeaan antara pria dan wanita. Laki – laki lebih mandiri dan tidak mudah tergantung orang lain sedangkan wanita lebih lemah dan tergantung (Papalia,Feldman dan Duskin, 2001).
c. Kelas sosial dan kekayaan
Diener dan Diener (1995 dalam Ryan dan Deci, 2001) menemukan bahwa status keuangan seseorang mempengaruhi kehidupan seseorang.
(31)
14
B. Pria Lajang dan Dewasa Tengah
Jung (1971, 1969 dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008) mengatakan bahwa orang dewasa pada usia 40 tahunan memiliki kewajiban pada keluarga dan masyarakat untuk membantu mereka dalam mencapai tujuan. Sedangkan Erikson (dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008) mengatakan bahwa pada usia paruh baya seseorang berada pada fase generativitas vs stagnasi. Hal ini menyebutkan bahwa orang dewasa mengembangkan dan membantu generasi selanjutnya jika tidak maka orang tersebut tidak mengalami perasaan yang tidak hidup atau tidak berkembang. Tugas paruh baya yang harus dilewati adalah mencari makna dalam diri. Tahap ini harus dilalui oleh seseorang agar ia mampu bertahan dan tujuan hidupnya menjadi jelas. Jika seseorang menghindar dari fase ini maka ia akan kehilangan kesempatan untuk membuat dirinya berkembang secara psikologis (Jung, 1966 dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008).
Pria pada tahap ini diharapkan mampu untuk membantu generasi selanjutnya untuk mencapai tujuan dan memberikan ilmunya. Selain itu, seorang pria diharapkan memiliki tujuan hidup dan mampu berhubungan sebagai individu dengan pasangannya (Havighurst, 1972 dalam Santrock, 2002).
(32)
C. Psychological Wellbeing pada Pria Lajang Dewasa
Ryff (1989) mengatakan bahwa orang yang sehat secara psikologis memiliki sifat positif pada dirinya sendiri dan orang lain. Selain itu, mereka mampu membuat keputusan sendiri, mengatur perilakunya dan mampu membentuk lingkungannya sesuai dengan diri mereka. Mereka juga memiliki tujuan dalam hidupnya dan mengembangkan dirinya sendiri. Pria memiliki kesejahteraan yang baik jika pendidikannya tinggi dan memiliki pekerjaan yang baik (Ryff dan Singer, 1998 dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008). Ryff juga menemukan bahwa usia paruh baya pada umumnya merupakan masa kesehatan mental positif.
Usia paruh baya atau usia 50 tahun memiliki tugas perkembangan berupa pengembangan identitas dan relasi serta kesejahteraan psikologis. Ketika seorang pria berkeluarga maka ia memiliki identitas sebagai ayah atau suami. Relasi yang ia miliki juga luas. Relasi dengan istri dan keluarganya serta relasi pada anak dan teman dari anak – anaknya. Hal – hal tersebut yang membuat psikologis seseorang berkembang. Studi yang dilakukan pada 32624 pria Amerika dengan usia 42 – 77 tahun menemukan bahwa pria yang tidak menikah, memiliki teman dan keluarga kurang dari 6 orang dan tidak menjadi anggota suatu kelompok cenderung tinggi untuk meninggal karena sakit jantung, kecelakaan atau bunuh diri daripada pria yang jaringan sosialnya luas (Kawachi et al, 1996 dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008). Hubungan baik dengan saudara kandung juga penting dalam kesejahteraan psikologis pada pria usia paruh baya
(33)
16
karena mengurangi simptom masalah psikologis (Paul, 1997 dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008).Selain itu, tugas paruh baya yang harus dilewati adalah mencari makna dalam diri. Tahap ini harus dilalui oleh seseorang agar ia mampu bertahan dan tujuan hidupnya menjadi jelas (Jung, 1966 dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008).
Pria yang masih melajang pada usia tersebut berarti tidak melewati proses tersebut. Seseorang menghindar dari fase ini maka ia akan kehilangan kesempatan untuk membuat dirinya berkembang secara psikologis (Jung, 1966 dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008). Pria yang melajang berarti tidak membuat dirinya berkembang secara psikologis.
D. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang muncul adalah bagaimana psychological wellbeing yang dimiliki oleh pria lajang, tinggi atau rendah?
(34)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Hasil dari studi dengan pendekatan deskriptif adalah suatu gambaran detail mengenai subjek penelitian (Audifax, 2008). Dengan metode pengumpulan data menggunakan wawancara.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pria lajang melihat pengalaman dan statusnya sebagai lajang
2. Bagaimana hubungan sosial pria yang melajang
C. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah pria dengan umur 50 tahun. Kriteria subjek ini adalah pria lajang dan memutuskan untuk tidak menikah. Subjek dalam penelitian berjumlah 2 orang dan dipilih dengan menggunakan criterion sampling. Subjek dipilih menggunakan kriteria yang sesuai (Poerwandari, 2005). Peneliti menetapkan bahwa subjek merupakan seseorang yang tidak pernah menikah dan memutuskan untuk melajang
(35)
18
dengan usia 50 tahun. Subjek yang dipilih merupakan orang biasa bukan dari kalangan biarawan.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu (Moleong, 2009). Menurut Banister,dkk (1994 dalam Poerwandari, 2005), wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Peneliti menggunakan metode wawancara dengan pedoman wawancara yang telah dibuat terlebih dahulu. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek yang relevan sudah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2005).
Dalam membuat pertanyaan yang akan ditanyakan pada subjek, peneliti menyusun pedoman wawancara terlebih dahulu. Di bawah ini adalah pedoman wawancara yang digunakan sebagai panduan wawancara yang akan dilakukan oleh peneliti :
(36)
Tabel 1
Panduan Wawancara
No Fokus Pertanyaan
1 Bagaimana pria lajang melihat pengalaman dan statusnya sebagai lajang
Latar belakang pilihan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan
Pemaknaan terhadap pilihan 2 Bagaimana hubungan
sosial pria lajang
Gambaran kehidupan sosial dan sebaya Pengaruh status lajang pada hubungan sosial dan sebaya
E. Prosedur Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensitesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Bogdan dan Biklen, 1982 dalam Moleong, 2009).
Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini adalah : 1. Organisasi data
Data kualitatif sangat banyak dan beragam, menjadi kewajiban dari seorang peneliti untuk mengorganisasikan data dengan rapi, sistematis dan lengkap. Menurut Highlen dan Finley (1996 dalam
(37)
20
Poerwandari. 2005), organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan dan menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Pada tahap ini, peneliti memindahkan hasil wawancara dari recorder ke dalam bentuk tulisan (verbatim).
2. Koding (memberi kode)
Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan detail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Oleh karena itu, peneliti dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkan (Poerwandari, 2005). Peneliti memberikan kode atau memberi nomor pada jawaban subjek sehingga peneliti dapat dengan mudah melihat jawaban subjek yang sesuai dengan fokus penelitian.
3. Intepretasi
Pada tahap ini, peneliti melakukan analisis tematik. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema atau indikator kompleks, kualifikasi yang terkait dengan tema atau hal-hal diantara atau gabungan dari yang telah disebutkan (Poerwandari, 2005). Tahap ini dilakukan setelah peneliti melakukan verbatim dan pemberian kode pada hasil wawancara.
(38)
F. Kredibilitas dan Reliabilitas Penelitian 1. Kredibilitas Penelitian
Kredibilitas menjadi istilah yang dipilih pada penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas pada penelitian kuantitatif. Kredibilitas peelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2005).
2. Reliabilitas Penelitian
Peneliti menggunakan metode diskursus untuk mendapatkan reliabilitas pada penelitian ini (Poerwandari, 2005). Metode diskursus adalah metode dimana peneliti mendiskusikan hasil temuan pada orang yang ahli, dalam hal ini adalah dosen pembimbing.
(39)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Proses Penelitian
1. Persiapan Penelitian
Persiapan yang dilakukan oleh peneliti sebelum melakukan wawancara adalah :
a. Peneliti mencari subjek terlebih dahulu. Subjek yang dicari adalah pria berumur 50 tahun dan tidak menikah. Peneliti mendapat bantuan dari orang tua dan teman dalam mencari subjek.
b. Peneliti kemudian memastikan bahwa subjek belum dan memutuskan untuk tidak menikah. Setelah itu, peneliti meminta kesediaan subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian. Peneliti menjelaskan kepada subjek bahwa semua data yang bersifat pribadi akan dijamin kerahasiannya.
c. Peneliti menggunakan tape recorder untuk merekam sesi wawancara dengan subjek pertama. Namun, pada subjek kedua, peneliti tidak menggunakan alat rekam karena subjek tidak bersedia untuk direkam dan peneliti hanya menulis jawaban-jawaban subjek.
(40)
2. Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan wawancara dilakukan dalam beberapa pertemuan. Peneliti dan subjek menentukan waktu untuk melakukan wawancara. Sebelum melakukan wawancara, peneliti terlebih dahulu membuat panduan wawancara untuk mempermudah jalannya wawancara. Pada pelaksanaan wawancara, peneliti menggunakan alat rekam untuk merekam sesi wawancara dengan subjek pertama. Sedangkan pada subjek kedua, peneliti hanya mencatat jawaban-jawaban subjek karena subjek tidak bersedia untuk direkam.
Sesi wawancara tiap subjek berbeda tergantung respon yang diberikan oleh masing-masing subjek. Tempat dilaksanakannya wawancara untuk subjek pertama dan kedua berbeda karena subjek tidak berada di kota yang sama. Oleh karena itu, peneliti menyelesaikan sesi wawancara dengan subjek pertama terlebih dahulu kemudian peneliti melanjutkan ke subjek kedua.
3. Proses Analisis Data
Proses analisis dimulai dengan pengorganisasian data, pemberian kode, intepretasi dam mengambil kesimpulan. Dibawah ini akan dijelaskan secara lebih lanjut :
a. Setelah wawancara selesai, peneliti melakukan pemindahan hasil wawancara ke dalam bentuk tulisan sehingga menghasilkan verbatim.
(41)
24
b. Kemudian peneliti membuat tabel dan memberikan nomor pada tiap baris dari hasil wawancara tersebut.
4. Jadwal Pengambilan Data
Berikut akan dijelaskan proses wawancara yang dilakukan oleh peneliti :
Tabel 2
Jadwal Wawancara dengan Subjek 1 (GSS)
Hari/tanggal Waktu Tempat Kegiatan Rabu, 6
Maret 2013
Pk 10.30 Rumah peneliti Permintaan kesediaan untuk di wawancara, penandatangan surat persetujuan
wawancara dan wawancara 1 yang meliputi latar belakang subjek, faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan untuk melajang dan pemaknaan terhadap pilihan
Rabu, 20 Maret 2013
Pk 16.01 Rumah peneliti Wawancara 2 meliputi gambaran kehidupan
(42)
sosial dan sebaya, pandangan tentang pernikahan dan pandangan tentang kepuasan hidup Senin, 29
April 2013
Pk 16.30 Rumah peneliti Wawancara 3 meliputi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan
lingkungan dan tujuan hidup
Tabel 3
Jadwal Wawancara dengan Subjek 2 (HK)
Hari/tanggal Waktu Tempat Kegiatan Senin, 1
April 2013
Pk 14.30 Rumah subjek Permintaan kesediaan untuk di wawancara, penandatangan surat persetujuan wawancara dan wawancara 1 yang meliputi latar belakang
(43)
26
subjek, faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan untuk melajang dan pemaknaan terhadap pilihan
Senin, 15 April 2013
Pk 15.00 Rumah subjek Wawancara 2 meliputi gambaran kehidupan sosial dan sebaya, pandangan tentang pernikahan dan pandangan tentang kepuasan hidup Selasa, 1
Mei 2013
Pk 13.15 Rumah subjek Wawancara 3 meliputi penerimaan diri,
hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan dan tujuan hidup
(44)
B. Profil Subjek 1. Subjek 1
Subjek pertama adalah seorang pria lajang berumur 58 tahun dengan inisial GSS. Subjek merupakan anak ke-5 dari 6 bersaudara. Subjek merasa tidak begitu bahagia dengan masa kecilnya karena terpisah dengan saudara yang lain.
Subjek memiliki tubuh yang kurus dan kulit berwarna kuning langsat. Selama proses wawancara berlangsung, subjek bekerja sama dan menjawab semua pertanyaan dengan baik. Kesibukan subjek saat ini memelihara burung dara dan bekerja serabutan.
2. Subjek 2
Subjek kedua adalah seorang pria lajang berumur 51 tahun dengan inisial HK. Subjek nmerupakan anak pertama dari 9 bersaudara. Hubungan subjek dengan saudaranya yang lain tidak begitu baik karena subjek merupakan orang yang keras.
Subjek memiliki tubuh yang agak sedikit gemuk dengan tinggi badan yang sedang dan kulit berwarna kuning langsat. Selama proses wawancara berlangsung, subjek tidak begitu antusias dan terkesan menjawab seperlunya. Saat ini subjek masih menjalani pekerjaannya sebagai supir.
(45)
28
C. Kategorisasi Tema
Berdasarkan dari analisis yang sudah dilakukan, didapat tema-tema yang muncul seperti dijelaskan dibawah ini :
1. Pengalaman Masa Lalu dan Lama Tidak Menjalin Hubungan dengan Wanita Menjadi Latar Belakang Subjek Melajang
Berdasar dari hasil wawancara diketahui bahwa latar belakang melajang adalah pengalaman masa lalu subjek 1 yang ditolak oleh orang tua pacarnya. Selain itu, umur yang sudah tua juga menjadi penyebab subjek 1 tetap melajang. Berikut kutipan jawaban subjek 1:
‘tadinya ada...soalnya kaya om’e pernah...pacaran gitu ya...iya,pernah sampai hubungan serius tapi akhire putus..jadi,karena itu mungkin terus jadi jauh sama perempuan..kaya gitu..’(92-97)
‘waktu umur..sudah umur 35 kira-kira ya,itu...om’e memutuskan...ah.udahlah gag kawin aja..soalnya sudah banyak umur ya..jadi,kasian sama anak-anak nantinya kalo punya anak gitu..jadi,udah,ah,gag usah kawin aja..’(83-89)
Pada subjek 2 tidak diketahui secara pasti kapan subjek memutuskan melajang. Dibawah ini kutipan jawaban subjek 2:
‘gag tau,,,subjek tidak ingat kapan karena subjek sudah lama tidak dekat perempuan lagi...terakhir dekat dengan perempuan pada waktu subjek berumur 33 tahun dan setelah itu tidak pernah lagi...subjek tidak pernah memutuskan untuk melajang dan hanya menjalani...’(151-158)
2. Faktor Ekonomi dan Sifat Wanita yang Tidak Baik adalah Faktor yang Mempengaruhi Subjek Melajang
Faktor yang mempengaruhi subjek 1 melajang adalah ekonomi. Dibawah ini kutipan jawab subjek :
(46)
‘ya putusnya karena faktor ekonomi jugalah...jadi,pihak perempuan kan mengetahui keadaane om’e itu jadi gag boleh sama orang tuane sana...’(99-102)
Penilaian pribadi subjek 2 terhadap perempuan yang dekat dengan subjek yang membuat subjek melajang. Berikut ini kutipan jawaban subjek :
‘subjek merasa perempuan yang dekat dengan subjek memiliki sifat yang sama jadi subjek lebih baik sendiri saja...’(173-176)
3. Melajang adalah Kebebasan dan Tidak Menafkahi Istri dan Anak namun Penyesalan di Hari Tua
Melajang adalah kebebasan, tidak terikat pada apapun dan tidak adanya larangan. Berikut ini kutipan jawaban subjek 1 tentang melajang :
‘ya..bayangane gimana ya..ya karena alasan itu,lama-lama jadi kelihatan seperti itu..bebas gitu ya..bebas gag ada ikatan apa-apa,gag terikat apa-apa...om’e mau kemana saja gag ada yang ngelarang..jadi..lama-lama jadi kaya seneng gitu...seneng melajang gitu ya..tapi setelah di hari-hari tua seperti ini..ya..ada rasa penyesalan ada ya tetap...kesepian gag ada anak,gag ada apa gitu..kadang-kadang ya hiburane om’e ya cuma sama cucu-cucu keponakan itu aja udah..’(220-232)
Meskipun demikian, pada hari tuanya seperti saat ini muncul penyesalan karena tidak ada orang yang dimintai bantuan ketika sakit dan ada rasa sepi. Dibawah ini utipan jawaban subjek :
‘ya...rasa penyesalan itu ada karena...terutama dalam keadaan sakit...aduh,gag ada anak,gag ada istri...kelihatane sepi sekali gitu..kalo dimintai tolong...mau minta tolong sapa-sapa kan gag bisa...kalo ada anak,ada istri kan bisa...ini sama sekali..’(264-271)
(47)
30
Subjek 2 mengatakan bahwa melajang adalah kebebasan dan tidak ada kekangan serta tidak menafkahi istri maupun anak. Berikut kutipan jawaban subjek :
‘bebas melakukan segala hal, gag ada yang mengekang, mau dolan kemana, sama siapa atau berkumpul dengan teman, gag memberi makan istri atau anak...’(207-211)
4. Hubungan Sosial Tidak Terhambat oleh Status Lajang
Subjek 1 tidak kesulitan dalam berelasi dengan teman-temannya. Dari pihak keluarga sudah mencoba menyarankan subjek untuk menikah. Tetapi, subjek mempunyai pemikiran sendiri dan tidak terpengaruh hal tersebut. Berikut ini kutipan jawaban subjek :
‘teman banyak sekali...om’e baik sama semua teman..kaya waktu itu..om kerja nyupir panggilan kan banyak langganan-langganan jadi sama anak-anaknya ya juga baik semua..’(326-329)
Pada subjek 2, subjek merasa tidak malu dengan status subjek yang lajang, dan teman-teman subjek menerima kondisi subjek. Subjek merasa nyaman dengan pekerjaannya sekarang yang menuntut subjek jarang di rumah sehingga subjek merasa tidak terkekang. Dibawah ini kutipan jawaban subjek :
‘subjek tidak pernah takut atau malu dengan statusnya karena subjek tidak peduli dengan tanggapan orang lain dan yang menjalani adalah subjek sendiri...’(234-238)
5. Status Lajang Subjek Tidak Mempengaruhi Pertemanan
Kondisi subjek 1 dengan status lajang tidak mempengaruhi hubungan subjek dengan teman sebayanya. Berikut ini kutipan jawaban subjek :
(48)
‘ya cuma gimana ya..jadi...pengaruh sama teman jane ya gag ada...sama saudara sekarang juga udah gag ada...sudah saya kasih penjelasan...akhire saudara ya ngerti kan..’(405-410)
Status lajang pada subjek 2 juga tidak mempengaruhi hubungan subjek dengan temannya. Teman subjek juga sering mengenalkan subjek pada teman perempuan, tetapi subjek tetap tidak berpikir untuk mengakhiri status lajang. Dibawah ini kutipan jawaban subjek :
‘teman-teman menerima...teman-teman subjek sering mengenalkan teman perempuannya pada subjek...tetapi subjek hanya berhubungan sebatas teman karena subjek tidak berminat untuk menjalin hubungan lagi...meskipun kebanyakan teman subjek sudah menikah, mereka menerima status subjek yang lajang...’(247-257) 6. Subjek Menerima Status Lajangnya dan Optimis dalam Hidup
namun Terkadang Berpikir Mengapa Tidak Menikah dan Masih Ada Keinginan yang Belum Terpenuhi
Subjek 1 merasa tidak menyesal pada keputusannya melajang walaupun terkadang timbul pemikiran mengapa dulu tidak menikah agar ada yang merawat ketika sakit. Hal yang membuat subjek terhibur adalah hobi dan teman. Kondisi subjek yang sakit-sakitan dan merasa tidak mampu melakukan apa-apa sehingga membuat subjek kehilangan semangat hidup. Subjek tidak mau merepotkan orang lain sehingga subjek berpikir lebih baik jika langsung dipanggil Tuhan. Meskipun demikian, subjek tetap optimis dalam menjalankan aktivitasnya. Berikut ini kutipan jawaban subjek :
‘dibilang puas gag tapi om’e juga gag menyesal...itu sudah jadi keputusane om’e ya....jadi gag menyesal,puas sih gag..cuma ya gag menyesal...’(505-510)
(49)
32
‘seneng juga gag...sedih juga gag....hehehehe...wong sudah keputusan bulat om’e...jadi makane om’e bilang gag nyesel...om’e hidup seperti ini gag nyesel karena ini sudah menjadi keputusane om’e...cuma kadang-kadang ya...wah,iya ya...kalau saya dulu-dulu itu kawin ya...itu merasa sekarang udah punya anak...kalau sakit,apa sudah ada yang ngrawat gitu ya...punya istri,ada yang ngrawat gitu ya...kalau sekarang kan gag...ya cuma itu,kadang terpikir seperti itu..’(534-549)
Sedangkan pada subjek 2, diketahui bahwa subjek belum puas pada hidupnya karena ada keinginan subjek yang belum terpenuhi. Selain itu, subjek lebih peduli dan percaya pada dirinya sendiri daripada orang lain. Dibawah ini kutipan jawaban subjek :
‘belum karena masih ada keinginan subjek yang belum terpenuhi..’(342-343)
‘hidup saya adalah saya yang menentukan...saya tidak peduli pada orang lain yang penting diri saya...baik atau buruk terserah asal tidak merugikan orang lain..’(427-431)
D. Deskripsi Hasil dan Pembahasan
Setelah melakukan wawancara dan pengolahan data didapatkan beberapa hasil temuan. Hubungan subjek 1 (GSS) dengan saudara-saudara kandungnya tidak begitu dekat. Hal ini disebabkan karena ketika kecil, kakak-kakak subjek diasuh oleh saudaranya yang lain. Faktor ekonomi menjadi alasan orang tua subjek merelakan anak-anaknya diasuh orang lain. Meskipun tidak dekat dengan saudara-saudaranya, subjek masih diperhatikan. Ketika subjek belum mendapatkan pasangan, saudara-saudaranya berusaha membantu mengenalkan perempuan pada subjek. Subjek menolak dan memberikan alasannya sehingga mereka menerima dengan baik keputusan subjek untuk melajang. Sedangkan subjek 2 (HK)
(50)
tidak begitu dekat dengan adik-adiknya karena subjek memiliki sifat keras kepala sehingga dijauhi. Selain itu, subjek juga tidak dekat dengan kedua orang tuanya karena sifatnya tersebut.
Subjek 1 (GSS) memutuskan melajang karena subjek pernah menjalin hubungan dengan seorang perempuan dan tidak disetujui oleh orang tua dari pihak perempuan. Ekonomi yang belum mapan menjadi alasan orang tuanya. Setelah mengakhiri hubungannya, subjek merasa bersalah karena mantan kekasihnya tersebut menjadi biarawati. Pengalamannya tersebut membuat subjek tidak percaya diri jika akan mendekati seorang perempuan. Meskipun teman subjek juga membantu dalam mengenalkan perempuan kepadanya, subjek tetap menolak karena secara ekonomi merasa belum mapan dan belum menjadi orang sukses. Penilaian bahwa jika akan menjalin hubungan serius maka secara ekonomi harus mapan membuat subjek menunda menikah dan memutuskan melajang pada usia 35 tahun. Umur yang bertambah menjadi pertimbangan subjek juga karena jika ia menikah d usia 35 tahun maka subjek merasa kasian pada anak-anaknya nanti. Pengalaman subjek ketika masih kecil sudah ditinggal oleh ayahnya sehingga tidak mengenal ayahnya. Subjek tidak ingin anaknya seperti itu juga jika subjek menikah.
Sedangkan pada subjek 2 (HK), alasan subjek melajang karena subjek memiliki pandangan bahwa semua perempuan tidak baik, kurang ajar dan kasar. Subjek berpandangan seperti itu karena subjek selalu berhubungan dengan perempuan yang kasar. Subjek tidak pernah
(51)
34
memutuskan untuk melajang namun terakhir kali ia berhubungan dengan seorang perempuan ketika berumur 33 tahun, setelah itu subjek hanya menikmati dan menjalani hidupnya. Adik-adik subjek tidak peduli pada hidupnya dan tidak pernah berusaha untuk mengenalkan seorang perempuan pada subjek.
Subjek 1 (GSS) dan subjek 2 (HK) menyebutkan bahwa keuntungan dari melajang adalah kebebasan. Subjek bebas untuk melakukan apa saja tanpa ada yang melarang dan tidak terikat. Selain itu, subjek merasa tidak ada beban pikiran. Melakukan sesuatu tanpa harus malu karena tidak ada istri maupun anak. Meskipun demikian, subjek 1 merasa ada penyesalan ketika menghadapi hari tuanya karena tidak ada yang merawat dan diminta bantuan pada saat sakit. Subjek 2 hampir tidak pernah merasakan sepi karena subjek lebih banyak bekerja atau berkumpul dengan teman-temannya. Dengan demikian, subjek tidak merasa kesepian.
Bagi subjek 1 (GSS), pernikahan akan memiliki banyak masalah ketika belum ada persiapan yang matang. Meskipun demikian, pernikahan memiliki sesuatu yang membahagiakan yaitu anak-anak. Subjek ingin merasakan kebahagiaan dari menikah namun karena umur dan teringat masa lalu maka subjek memutuskan melajang. Jika subjek memaksa untuk menikah, subjek takut tidak dapat membahagiakan keluarganya. Pernikahan bagi subjek (HK) adalah masalah, membuat beban pikiran dan mencari masalah. Jika subjek membayangkan menikah pasti hidupnya akan penuh masalah belum lagi jika ada anak pasti akan bertambah lagi.
(52)
Subjek mendapatkan gambaran tentang pernikahan dari pengalaman temannya yang bertengkar dengan istrinya.
Bagi subjek 1 (GSS), hidupnya sekarang tidak sedih dan tidak juga merasa menyesal. Subjek merasa tidak menyesal karena apa yang subjek jalani sekarang merupakan keputusannya sendiri. Subjek tidak merasa sedih karena subjek selalu terhibur dengan memancing, bermain burung ataupun berkumpul dengan teman-temannya. Selain itu, subjek merasa senang karena bebas namun tidak puas. Subjek tidak dapat menjelaskan dimana letak ketidakpuasannya tersebut. Pada subjek 2 (HK), hidup subjek belum memuaskan karena keinginan subjek untuk mencari uang yang banyak belum terpenuhi. Subjek mencari uang hanya untuk dirinya sendiri dan hidup subjek hanya untuk dirinya sendiri. Subjek melakukan hobinya atau berkumpul dengan temannya sehingga tidak merasa sepi.
Berdasarkan dari hasil wawancara, diketahui bahwa subjek 1 (GSS) lebih dapat menyadari apa yang menjadi pilihan hidupnya. Ia menerima dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Meskipun terkadang subjek merasa ada penyesalan tentang keputusannya namun subjek berusaha untuk selalu optimis dan melawan rasa penyesalan itu. Menurut Ryff (1989), perasaan individu terhadap penerimaan diri merupakan kriteria paling utama dalam wellbeing. Subjek 1 (GSS) memiliki kedewasaan dalam pengambilan keputusan tentang hidupnya yang melajang. Walaupun subjek masih merasa bersalah terhadap masa lalunya. Subjek 2 (HK) kurang begitu menyadari perasaannya dan hanya memikirkan dirinya
(53)
36
sendiri. Selain itu, subjek 2 (HK) tidak pernah merasakan kesepian karena waktunya dihabiskan untuk bekerja dan kesibukannya. Subjek 2 (HK) menerima dirinya yang melajang karena ia tidak merasakan kesepian.
Subjek 1 (GSS) mampu beradaptasi dengan baik tanpa melihat statusnya yang melajang. Ia selalu percaya diri dan masih peka terhadap lingkungan sekitarnya. Dalam berhubungan dengan orang lain, subjek sangat dewasa dan tidak membuat dirinya dikucilkan dari lingkungan tempat tinggalnya. Ryff (1989) menyebutkan bahwa hubungan yang hangat dengan orang lain sebagai kriteria kedewasaan, empati, memiliki perasaan terhadap orang lain dan hubungan pertemanan yang dalam. Hubungan positif dengan orang lain sangat penting dalam konsep psychological wellbeing. Berdasarkan pengertian tersebut dan jawaban subjek maka dapat dikatakan subjek 1 (GSS) memiliki hubungan relasi sosial yang baik dengan orang lain. Sedangkan pada subjek 2 (HK) kurang begitu peka pada sekitarnya karena subjek lebih memikirkan dirinya sendiri. Meskipun demikian, subjek mampu berhubungan positif dengan orang lain. Subjek percaya diri dengan statusnya yang lajang dan tidak merasa terkucilkan.
Dalam pengambilan keputusan atau pemecahan masalah, kedua subjek cukup percaya pada dirinya sendiri walaupun terkadang bantuan orang lain dibutuhkan hanya untuk pertimbangan. Ryff (1989) menjelaskan bahwa seseorang dikatakan mandiri jika mampu mengambil keputusan sendiri, bebas dan tidak terikat pada orang lain. Kedua subjek
(54)
penelitian merupakan orang yang mandiri dan tidak terpengaruh pada tekanan sosial. Pendapat orang lain tidak langsung diterima begitu saja namun dipikirkan terlebih dahulu.
Ryff (1989) mengatakan bahwa penguasaan lingkungan adalah kemampuan individu memilih dan membuat lingkungan yang nyaman sesuai dengan kondisi seseorang. Subjek mampu membuat lingkungan yang nyaman dan sesuai dengan kondisi subjek. Dalam hal ini, subjek mampu beradaptasi dan membuat lingkungan sekitar subjek untuk menerima status subjek. Selain itu, lingkungan subjek juga mendukung dan menerima status subjek yang melajang dengan baik. Oleh karena itu, subjek dapat menguasai dan mengontrol lingkungannya.
Individu yang berfungsi penuh memiliki tujuan,misi dan arah yang membuat hidup lebih bermakna (Ryff, 1989). Kedua subjek belum memiliki tujuan yang jelas untuk hidupnya. Mereka hanya mengikuti dan menganggap bahwa melajang merupakan takdirnya. Selain itu, keinginan untuk berkeluarga tidak diwujudkan dan direalisasikan dalam kehidupan nyata, hanya dalam pikiran. Arah hidup kedua subjek tidak begitu jelas. Mereka hanya mengikuti alur kehidupannya tanpa adanya usaha yang keras untuk membuatnya menjadi terarah.
Fungsi psikologis yang optimal yaitu mampu mengembangkan potensi untuk tumbuh dan memperluas sebagai individu (Ryff, 1989). Subjek 1 (GSS) dan subjek 2 (HK) kebetulan memiliki pekerjaan yang sama yaitu sopir. Walaupun subjek 1 sudah tidak menjalani lagi
(55)
38
pekerjaannya tersebut. Kegiatan subjek 1 saat ini adalah memelihara burung dan ayam. Subjek merasa bahwa hanya kegiatan itu yang mampu dilakukannya sekarang. Potensi dan kemampuan lain yang ada sudah tidak dapat dikembangkan lagi karena umur dan penyakit yang subjek derita. Sedangkan pada subjek 2, pekerjaan yang dilakoni sekarang merupakan kemampuan yang dimilikinya. Subjek belum pernah mencoba pekerjaan lain karena kemampuan subjek hanya menyetir. Meskipun demikian, subjek mampu menjalani hobinya yaitu memelihara burung.
Ryff (1989) menjelaskan bahwa psychological wellbeing merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis seseorang berdasar pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif. Mengacu pada pengertian tersebut, psychological wellbeing pada kedua subjek tergolong baik karena subjek dapat menerima dan menjalani kehidupannya yang melajang dengan baik. Subjek juga mampu berelasi sosial dengan lingkungannya dan berhasil membuat lingkungan yang sesuai dengan kondisinya. Meskipun demikian, subjek terkadang merasakan sepi namun mengatasinya dengan kegiatan yang sesuai dengan minat dan yang disukainya.
Psychological wellbeing adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis seseorang berdasar pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (Ryff, 1989). Konsep wellbeing mengacu pada fungsi psikologis yang optimal dan pengalaman. Kedua subjek memiliki kemandirian, penguasaan lingkungan, hubungan positif dengan
(56)
orang lain dan pengembangan diri yang baik. Meskipun tujuan hidup dan penerimaan diri masih kurang. Belum adanya arah hidup yang jelas membuat subjek hanya berpasrah menjalani hidupnya. Hal ini disebabkan oleh karena ketika masih muda, kedua subjek sama-sama menunda tujuan dan arah hidupnya. Meskipun keinginan untuk menikah ada tetapi tidak direalisasikan dengan baik. Rasa penyesalan ada pada subjek 1 (GSS) namun selalu ditekan bahwa hidupnya sekarang merupakan takdir dari Tuhan. Usia kedua subjek yang sudah masuk dalam kategori dewasa juga menjadi pemikiran bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Meskipun demikian, kedua subjek mampu memenuhi fungsi psikologisnya dengan baik. Kedua subjek mampu berelasi sosial dengan baik pula.
Jenis kelamin subjek adalah pria, dimana pria lebih mandiri dan tidak mudah bergantung pada orang lain (Papalia, Feldman dan Duskin, 2001). Hal tersebut juga mempengaruhi keputusan subjek dalam melajang. Walaupun terkadang merasakan kesepian, kedua subjek dapat mengatasinya dengan mencari kesibukan atau melakukan hobinya. Selain itu, arah tujuan hidup kedua subjek belum jelas karena hanya berpasrah pada yang dijalani dan tidak ada usaha yang nyata untuk mengubahnya. Menghadapi hari-hari tuanya nanti, subjek juga belum terlalu memikirkan. Berharap jika sudah saatnya nanti tidak harus merepotkan orang lain dan ketenangan hidup tanpa adanya masalah yang membebani.
(57)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa subjek 1 (GSS) memiliki penerimaan diri yang tinggi. Subjek juga mampu berhubungan yang positif dengan orang lain sehingga dinilai tinggi. Selain itu, subjek 1 juga termasuk orang yang mandiri dan dinilai tinggi juga. Meskipun demikian, tujuan hidup subjek 1 rendah karena belum begitu jelas namun subjek dapat membayangkan bagaimana ia menjalani hidupnya sampai tua nanti. Subjek 1 (GSS) merasakan penyesalan namun tidak mengganggu dalam melakukan sesuatu. Apa yang sudah menjadi keputusannya tidak boleh disesali. Subjek 1 mampu menguasai lingkungan sekitarnya dengan baik dan dinilai tinggi. Pengembangan diri subjek juga termasuk skor tinggi karena subjek melakukan pekerjaan yang sesuai dengan potensi dirinya.
Subjek 2 (HK) memiliki penerimaan diri yang dinilai tinggi karena subjek menerima statusnya yang lajang. Selain itu, subjek juga mampu berhubungan positif dengan orang lain tanpa memikirkan statusnya termasuk tinggi juga. Subjek HK juga mandiri dan menguasai lingkungan sekitarnya sehingga lingkungan sekitar subjek menerimanya dengan baik dan dinilai tinggi. Namun, tujuan hidup subjek belum jelas dan termasuk rendah karena subjek hanya menjalani hidupnya tanpa ada arah.
(58)
Pengembangan diri subjek tinggi karena subjek mengetahui kemampuan dirinya.
B. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan subjek dengan tingkat ekonomi yang kurang atau termasuk ekonomi menengah bawah sehingga data yang didapat tidak dapat digunakan untuk menilai subjek dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi.
C. Saran
Penelitian selanjutnya disarankan untuk memperluas tingkat ekonomi subjek. Selain itu, peneliti juga dapat memilih subjek yang berusia lebih tua atau termasuk ke dalam usia lanjut.
(59)
DAFTAR PUSTAKA
Anna, Lusia Kuss. (2010, 26 Juli). Ini dia keuntungan menikah. Kompas.com. Diunduh dari
http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/26/16022881/Ini.Dia.Keunt ungan.Menikah
Audifax. (2008). Research: Sebuah pengantar untuk “mencari ulang” metode dalam penelitian psikologi. Yogyakarta: Jalasutra.
BBC. (2011, 28 November). Banyak Anak Muda Jepang Tidak Ingin Menikah. BBC.com. Diunduh dari
http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2011/11/111124_pernikahan_ jepang.shtml
Darmawati. (2001). Psychological wellbeing pada wanita lajang. UGM : skripsi tidak diterbitkan
Femina. (2006, 6-12 April). Alasan pria tetap melajang (jajak pendapat femina terhadap 60 pria berusia 25-35 tahun). Femina, 22.
Haryadi, Soegeng. (2012, 21 April). Tujuh mitos yang bikin orang takut menikah. Sriwijaya Post. Diunduh dari
http://palembang.tribunnews.com/2012/04/21/7-mitos-yang-bikin-orang-takut-menikah
Huppert, Felicia A. (2009). Psychological well-being: evidence regarding its causes and consequence. Applied psychology: health and well-being, (2), 137-164.
Hurlock, E. B. (1991). Psikologi perkembangan : suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Penerjemah : Istiwidyawati dan Soejarwo. Jakarta : Erlangga
Hutapea, Bonar. (2011). Emotional Intellegence dan Psychological Wellbeing pada manusia lanjut usia anggota organisasi berbasis keagamaan di Jakarta. INSAN, 13(02), Agustus.
Kumalasari, Dyah. (2008). Single profesional women sebagai fenomena gaya hidup baru di masyarakat Yogyakarta (studi kasus: kabupaten sleman). Jurnal penelitian humaniora, 13(2), 105-122.
Marks, Nadine F. (1996). Flying solo at midlife: gender, marital status and psychological well-being. Journal of marriage and the family, 58(4),pp. 917-932.
(60)
Marks, Nadine F. & James D. Lambert. (1996). Marital status continuity and change among young and midlife adults: longitudinal effects on psychological well-being. NSFH Working Paper, 71.
Marselina, Lastri. (2011, 16 Oktober). Pria lajang lebih beresiko tinggi tewas akibat kanker. Okezone.com. Diunduh dari
http://lifestyle.okezone.com/read/2011/10/16/197/515932/large
Moeleong, Lexy J., (2009). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Novita, Nayu. (2010, 20 Januari). Pria : ’kami bukan takut berkomitmen, tapi...’. Diunduh dari
http://regional.kompas.com/read/2010/01/20/12513264/Pria.Kami.Buka n.Takut.Berkomitmen.Tapi.
Oktaria, Rara. (2009). Kesepian pada pria usia lanjut yang melajang. Diunduh dari
http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2009/ Artikel_10504146.pdf
Papalia, Diane. E. Sally Wendkos Olds & Ruth Duskin Feldman. (2001). Human Development (ed. ke-8). Boston : Mc Graw Hill.
Papalia, Diane E., Sally Wendkos Olds & Ruth Duskin Feldman. (2008). Human development (ed. ke-9 terjemahan). Boston: Mc Graw Hill.
Poerwandari, E.K., (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: LPSP3 Universitas Indonesia.
Russell, David. (2011, 5 Oktober). Does Living Alone Have a Negative Influence on Psychological Well-Being?. Psychology Today. Diunduh dari http://www.psychologytoday.com/blog/201105/Does Living Alone Have a Negative Influence on Psychological Well-Being
Ryan, Richard M. & Edward L. Deci. (2001). On happiness and human potentials: a review of research on hedonic and eudaimonic well-being. Annual review psychology, 52: 141-166. Diunduh dari http://www.uic.edu/classes/psych/Health/Readings/Ryan,%20Happines s%20-%20well%20being,%20AnnRevPsy,%202001.pdf
Ryff, Carol D., (1989). Happiness is everything or is it?explorations on the meaning of psychological well-being. Journal of personality and social psychology, 57(6): 1069-1081.
(61)
44
Santrock, John W. (2002). Life Span Development (ed. ke-5 terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Stutzer dan Frey. (2006). Does marriage make people happy or do happy people get married?. The Journal of Socio-Economics 35,326–347. Diunduh dari http://www.bsfrey.ch/articles/434_06.pdf
Wardhanie, Hanie Kusuma. (1997, 20-26 November). Mengapa mereka tetap melajang?. Femina, 66.
Winefield, Helen R., Tiffany K. Gill, Anne W. Taylor dan Rhiannon M. Pilkington. (2012). Psychological well-being and psychological distress: is it necessary to measure both?. Winefield et. al. Psychology of well-being: theory, research and practice, 2:3. Diunduh dari http://www.psywb.com/content/pdf/2211-1522-2-3.pdf
Zubairi, A.Dardiri. (2010, 14 Desember). 7 alasan orang belum (tidak) menikah. Kompasiana.com. Diunduh dari
http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/14/7-alasan-orang-belum-tidak-menikah-324632.html
(62)
(63)
46
LAMPIRAN1
.
Surat Pernyataan
Persetujuan Wawancara
Subjek 1 (GSS)
(64)
Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara
Dengan surat ini, saya menyatakan bahwa bersedia untuk di wawancara selama proses pengambilan data skripsi oleh mahasiswa dengan :
Nama : Iriani Dwiyanti NIM : 089114054
yang merupakan mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan judul skripsi “Psychological Wellbeing pada Pria Lajang”.
Saya bersedia memberikan informasi secara jujur dan benar sesuai keadaan saya. Saya juga memberikan ijin kepada peneliti untuk merekam dan mencatat selama wawancara berlangsung.
Surat pernyataan ini dibuat secara sadar dan tidak ada paksaan dari pihak manapun. Semoga hasil wawancara ini berguna dan tidak disalahgunakan untuk hal lain selain penelitian ini.
Purbalingga, 6 Maret 2013
(65)
48
LAMPIRAN.2
Koding Subjek 1
(GSS)
(66)
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54
umurnya sekarang berapa,om? umurnya sekarang 58 tahun berarti tahun?
1955
pendidikan terakhirnya apa,om? terakhirnya SMA kelas 2
kenapa tidak dilanjutkan,om?
waktu itu gimana ya...kebetulan ada kerjaan jadi keluar langsung kerja gitu ya..
pengennya kerja? iya..hehehe..
anak keberapa dari berapa bersaudara,om?
anak ke-5 dari 6 bersaudara
bisa diceritain gag,om,masa kecil dulu dengan saudara-saudara,om? masa kecil ya termasuk kurang bahagia
soale saudara-saudara itu...gimana ya..terpisah semua...
maksudnya?
maksudya terpisah semua itu ya..seperti kakak pertama ikut..ikut kakaknya papah..terus kakak yang kedua juga ikut kakaknya papah..terus yang ketiga ikut kakak perempuannya papah juga...jadi pisah-pisah semua... jadi dititipin gitu?
iya..sedangkan saya sendiri semasa kecil ikut,eeee....kakak perempuannya mamah jadi terpisah-pisah semua... la,kenapa dipisah-pisah gitu,om? eeeee...waktu itu kan jadi...gimana ya...kehidupan ekonominya kan gag mencukupi sedangkan papah saya itu meninggal waktu saya masih kecil-kecil...nah,jadi anak-anaknya diambil-ambil sama saudara-saudaranya... nah,mamah bagaimana? mamah sekarang udah meninggal tahun berapa?
mamah meninggal tahun....1994 kalo gag salah
berarti orang tua dulu gag merawat anak atau gimana?
merawat yang kecil-kecil jadi yang dirawat itu kakak perempuan saya 1
Masa kecil yang kurang bahagia
Ketika subjek kecil terpisah dengan saudara
Ekonomi yang kurang karena ayah meninggal sehingga membuat anak-anaknya diasuh oleh saudara yang lain
Subjek terpisah dengan saudaranya karena faktor ekonomi
(67)
55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109
terus adik laki-lakinya 1..iya... dulu kerjanya apa,om? ahh...nyupir dulu
sekarang masih gag,om?
sekarang gag...karena akhirnya apa...eee...punya penyakit,semenjak sakit jantung
dari umur berapa?
dari umur berapa ya...kira-kira sekitar 10 tahun yang lalu jadi sekitar umur 48 tahun
kalau udah gag kerja,dapat uang darimana,om?
ya kerja...gag seberat dululah..asal cukup ya udah..soale mengingat penyakitnya..
yang penting bisa makan gitu? iya..yang penting bisa makan,hehehe... maaf,om kalau pertanyaannya agak
sedikit menyinggung... iya,ga papa,hehehe... om sudah menikah? belum...gag nikah.. kenapa,om?
alasane gimana ya...
diceritakan saja gag papa,om.. waktu umur..sudah umur 35 kira-kira ya,itu...om’e memutuskan...ah.udahlah gag kawin aja..soalnya sudah banyak umur ya..jadi,kasian sama anak-anak nantinya kalo punya anak gitu..jadi,udah,ah,gag usah kawin aja.. memutuskannya karena ada alasan atau bagaimana?
tadinya ada...soalnya kaya om’e pernah...pacaran gitu ya...iya,pernah sampai hubungan serius tapi akhire putus..jadi,karena itu mungkin terus jadi jauh sama perempuan..kaya gitu.. putusnya karena apa?
ya putusnya karena faktor ekonomi jugalah...jadi,pihak perempuan kan mengetahui keadaane om’e itu jadi gag boleh sama orang tuane sana...
hmmm...berapa kali pacarane,om? om’e sekali itu..
cuma sekali?
yang serius ya cuma sekali itu.. sampai berapa tahun itu?
pacaran kira-kira...ya,2 tahunan..2
Subjek sudah tidak bekerja karena menderita penyakit jantung
Menderita penyakit jantung sejak usia 48 tahun
Subjek sudah tidak bekerja yang berat
Subjek memutuskan untuk tidak menikah pada umur 35 tahun karena merasa sudah berumur dan kasian pada anak-anaknya jika dirinya sudah tua
Berpacaran serius dengan seorang
perempuan tetapi putus
Hubungannya putus karena orang tua dari pihak perempuan mengetahui ekonomi subjek kurang
Subjek sakit jantung sehingga tidak mampu bekerja berat
Latar belakang menjadi lajang karena hubungannya ditentang oleh orang tua
pacarnya karena ekonomi subjek yang kurang
(68)
113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164
20anlah...wong pacarane tahun ’75 ya..jadi 20an..umur 20 tahun..
sebenarnya masih bisa cari lagi ya,om?
cuma waktu itu gimana ya...juga alasane orang tuane dia juga masuk akal..soalnya ya hampir semua orang tua pasti alasane sama ya..jadi,dia gag mau kalo sampe anaknya nanti gag bahagia gitu kan..jadi,itu masuk akal saya jadi yaudahlah...jadi, selama itu om’e juga gimana ya pikirane...halah,udah gaglah...sebelum om’e berhasil gag akan itu dulu..gag akan pacaran dulu...
terus gag nyari-nyari lagi atau gimana?
gag..
sempat kepikiran?
ouwww....kepikiran ya tentu kepikiran tapi selalu pikiran itu om’e lawan dengan keadaan om’e sendiri gitu lho.. maksudnya gimana,om?
maksude om’e kayane kok belum mampu gitu lho....heeh...
kalau masih gag pengen tapi apa gag pernah naksir?
sebetule sih waktu itu om’e kerja kan jadi sales...sebetule teman banyak sekali...sama om’e karena pengalaman pertama itu jadi seperti apa ya...ketika om’e timbul rasa seneng gitu sama perempuan terus akhire ingat peristiwa yang lama itu...ah,nanti juga akhire juga begini ya...ah,lebih baik gag,temenan biasa saja..
ada faktor lain gag selain ekonomi itu yang bisa membuat om’e langsung bisa memutuskan untuk gag pengen lagi pacaran?
gag ada...gag ada ya...
kalau pandangan dari
saudara-saudara om’e sendiri bagaimana?kok gag nikah?
gag ada...mereka gag terlalu memusingkan hal itu..mau kawin,mau gag..hehe..
Hubungan yang tidak disetujui orang tua karena faktor ekonomi sehingga memutuskan untuk tidak berpacaran lagi sampai sukses
Bepikir untuk menjalin hubungan lagi namun selalu ditekan
Bekerja menjadi sales membuat subjek memiliki banyak teman namun jika suka dengan perempuan teringat masa lalu dan hanya menjadi teman
Faktor ekonomi yang menjadi alasan untuk tidak menikah
Saudara-saudara tidak terlalu ikut campur jika subjek menikah atau tidak
Faktor ekonomi menjadi penghalang subjek untuk menjalin hubungan lagi
Faktor penyebab melajang adalah ekonomi yang belum mapan
Saudara subjek tidak mencampuri keputusan subjek
(69)
165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219
tapi pernah disuruh nikah gitu gag,om?
ya pernah...dijodoh-jodohin pernah tapi om’e gag mau..bahkan dari orang lain...dulu waktu om’e kerja nyupir gitu...ya pernah,punya langganan di Purwokerto apa itu ya..dia ingin menjodohkan dengan saudaranya yang di Purwodadi..tapi om’e terus terang, om’e sudah punya pengalaman begini apalagi dia itu orang kaya ya jadi minder gitu...ada perasaan minder gitu jadi om’e tetap gag mau..
apa yang dirasain ketika om’e sendiri itu?
tadinya....
lihat orang-orang punya istri gitu? semua orang ya kepengin seperti
itu...cuma kalo sekarang itu om’e ngrasa...setelah peristiwa itu terus
agak minder gitu ya...pertama..terus..yang...kalo
sekarang om’e ada rasa bersalah begitu...
maksudnya?
waktu pacaran yang dulu itu..sama yang itu...karena sebetulnya antara om’e sama itu juga...sama-sama seneng ya...dia gag boleh sama orangtuanya...akhirnya dia jadi kaya itu lho..biarawati apa ya...
hmmmm...iya...
iya...jadi karena itu om’e jadi punya rasa gimana..rasa bersalah gitu...walau dalam pacaran itu,jaman dulu pacaran ya cuma ya sebatas pacaran saja gitu...gag pernah ini ini,gag pernah... baik-baik?
baik-baik..iya..
orang sini atau mana? orang Karawang... kenal dimana,om?
di Karawang juga..dulu om’e kerja di Karawang..kenal gitu...hubungan sampai lama gitulah...
agamane sama?
agamane gag...dia Katolik..om’e Kristen..
kalau menurut om sendiri,melajang itu apa sih?
Pernah dijodohkan dengan saudara dari salah satu pelanggan namun menolak karena minder bukan orang kaya
Ingin memiliki istri namun merasa minder dengan masa lalu dan ada rasa bersalah
Pacaran tidak disetujui oleh orang tua dan menjadi biarawati
Subjek menolak dijodohkan
Perasaan bersalah subjek karena hubungan yang tidak disetujui menjadikan pacarnya menjadi biarawati
(70)
223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274
ada ikatan apa,gag terikat apa-apa...om’e mau kemana saja gag ada yang ngelarang..jadi..lama-lama jadi kaya seneng gitu...seneng melajang gitu ya..tapi setelah di hari-hari tua seperti ini..ya..ada rasa penyesalan ada ya tetap...kesepian gag ada anak,gag ada apa gitu..kadang-kadang ya hiburane om’e ya cuma sama cucu-cucu keponakan itu aja udah..
di rumah sendiri atau sama siapa,om?
gag..itu ka nada 1 keluarga ..om nyewa 1 kamar
semua keluarga dimana,om?
Jakarta 1 tapi udah meninggal...laine di Purbalingga semua...
sering main ya?
sering tiap hari...sering main...sama olahraga juga,nyepeda juga...hehehe... kalau om bayangin misal nikah itu
bagaimana?
ya mungkin...kalau om’e nikah ya jelas karena menikah kan ada tanggung jawab yang harus gitu ya...mungkin ya kehidupane gag seperti ini ya...mungkin akan lebih baik...
sekarang om menjalani hidup bagaimana?santai atau bagaimana? ya bebas...bebas sekali,hehehe...karena
gag ada,gag ada gimana ya...sangat bebas sekali..gag mikir ini,gag mikir itu..
gag mikir apa-apa? iya...
terus tentang menghadapi masa tua nanti bagaimana?
ya...rasa penyesalan itu ada karena...terutama dalam keadaan sakit...aduh,gag ada anak,gag ada istri...kelihatane sepi sekali gitu..kalo dimintai tolong...mau minta tolong sapa-sapa kan gag bisa...kalo ada anak,ada istri kan bisa...ini sama sekali...
jadi ngapa-ngapain sendiri? sendiri...iya..
namun lama kelamaan merasa sepi tidak ada anak yang menghibur hanya cucu keponakan
Menikah itu tanggung jawab dan mungkin kehidupan subjek lebih baik jika menikah
Hidup bebas karena tidak memikirkan apa-apa
Ada penyesalan karena tidak ada istri dan anak yang bisa diminta bantuan ketika sakit
Menikah adalah tanggung jawab dan hidupnya akan baik
Melajang = kebebasan
Melajang memicu penyesalan karena ketidakhadiran anak istri
(71)
275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328 329
kalau sekarang kan om’e gag nikah,perasaane gimana?baguse apa?
baguse gag ada ya...sebenere gag ada bagusnya...jadi gimana ya...mungkin karena mungkin terlalu bebas apa ya jadi...untuk melakukan sesuatu itu apa tanpa mikir lagi udah...jadi apa yang dikehendaki om’e gitu ya pasti om’e lakukan gitu...kecuali kalo kita punya keluarga kan pasti mikir ya..nah ini...malulah sama anaknya,malulah sama istrinya...klo ini kan gag ada ya baiknya gag ada...melajang baiknya gag ada...cuma hanya kebebasan saja itu..udah..
tapi sempat kepikiran buat nikah gag sih,om,sampai sekarang?
ya ada...tapi untuk sekarang udah gag ada...karena waktu itu om’e sudah memutuskan untuk ga kawin dengan alasan...kasian anak-anaknya nanti..mungkin ya karena pengalaman om’e apa ya..om’e sendiri..om’e ditinggal papah itu masih kecil sekali...masih sangat kecil sekali...bahkan gimana ya..raut orangtua sendiri saja,papahe saja gag kebayang kaya apa gitu..
waktu itu om’e umure berapa? umur..mungkin sekitar 6 bulan.. berarti gag sempat kenal?
gag sempat kenal...iya..sama papah iya..wajahnya papah kaya apa..mungkin karena pengalaman itu jadi..ah..gag la..udah umur 35 tahun,kasihan..kasihan nanti kalo sampe punya anak...nanti anaknya masih kecil-kecil ditinggal sekarang umure om sudah berapa sih..ya kan..ya itu,om’e mikir gitu...
sama tetangga-tetangga gag pernah disinggung gitu gag,om?karena gag nikah?
oowww...ya gag...gag ada...baik-baik.. temannya banyak ya,om?
teman banyak sekali...om’e baik sama semua teman..kaya waktu itu..om kerja nyupir panggilan kan banyak langganan-langganan jadi sama
anak-Melajang itu tidak baik karena bebas
melakukan apapun kecuali jika ada keluarga ingin melakukan sesuatu pasti terpikirkan buruknya apa
Sudah memutuskan untuk tidak menikah karena sudah tua dan memikirkan nasib anak-anaknya karena pengalaman subjek sejak kecil sudah ditinggal oleh ayahnya
Subjek memutuskan tidak menikah karena sudah berumur dan kasian jika anak-anaknya tidak mengenal ayahnya
Subjek memiliki banyak teman karena pekerjaannya seorang supir dan juga berhubungan baik
Kebebasan melajang tidak selalu baik karena terlalu bebas
Latar belakang menjadi lajang karena umur subjek yang sudah tua dan kasian anak-anaknya nanti
Subjek memiliki banyak teman karena subjek seorang supir
(1)
80 439 440 441 442 443 444 445 446 447 448 449 450 451 452 453 454 455 456 457 458 459 460 461 462 463 464 465 466 467 468 469 470 471 472 473 474 475 476 477 478 479 480 481 482 483 484 485 486 487 488 489 490 491 492 493
kemampuan untuk bergaul bukan karena lajang...selama ini subjek bergaul dengan cukup baik...subjek punya banyak teman dan mereka menerima dengan baik tanpa melihat status...dengan orang yang sudah menikah pun tetap baik pada subjek...
berarti om gag pernah terkucil dalam pergaulan?
gag...gag terkucil..
om cenderung penyendiri atau penuh agenda sosial?
subjek cenderung lebih banyak bekerja karena subjek merasa masih sanggup dan untuk memnuhi kebutuhan hidupnya...selain itu, pekerjaan subjek juga mengharuskan subjek untuk bergaul dengan banyak orang...jika ada waktu luang, subjek juga main ke tempat teman atau hanya sekedar berkumpul dengan teman-temannya di suatu tempat...
berarti waktu main burung bareng ma teman-teman om?
iya..
selain itu biasanya om kumpul dengan teman dalam kegiatan apalagi?
main burung terus kalo ada yang ngajak ke rumah teman ya ikut aja selama gag ada kerjaan..
dalam pengalaman om selama ini,bagaimana om menghadapi masalah? Maksudnya kebanyakan orang kan bertukar pikiran dengan orang lain kalo om gimana?
lebih suka memecahkan masalah dengan pikiran sendiri..gag pernah minta pendapat orang lain..lebih percaya pada diri sendiri karena yang tau masalah itu om sendiri...
ada pandangan bahwa orang yang terlalu lama hidup sendiri dapat membuat seseorang kehilangan kepekaan pada lingkungan,kalo dalam pengalaman om gimana?
hidup saya untuk saya jadi saya lebih suka mengurus diri sendiri...hanya
karena subjek mudah bergaul
Subjek lebih banyak bekerja atau main ke rumah teman
Subjek memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain
Subjek peduli sekitarnya jika diperlukan
Subjek mudah bergaul sehingga punya banyak teman dan sering berkunjung Subjek memecahkan masalahnya sendiri Subjek peka lingkungannya jika diperlukan
(2)
499 500 501 502 503 504 505 506 507 508 509 510 511 512 513 514 515 516 517 518 519 520 521 522 523 524 525 526 527 528 529
sebisa mungkin tidak merepotkan orang lain...selama subjek sanggup melakukan apapun sendiri tidak akan membutuhkan bantuan orang lain...
harapan om atas hari tua nanti?
cuma pengen ketenangan tanpa harus dibebani masalah apapun..lebih baik langsung mati saja tanpa harus sakit...
kapan om melihat hidup om optimis?
dalam hal apapun subjek selalu melihat hidup ini optimis...subjek mampu melakukan sesuatu pasti optimis bisa selesai...
kapan om melihat hidup ini pesimis?
gag pernah..apa yang subjek lakukan atau putuskan selalu optimis karena sesuai dengan keputusan subjek sendiri...gag pernah nyesel...
dalam keyakinan om, bagaimana pandangan keyakinan om tentang melajang?
manusia diciptakan berpasangan...apa yang subjek jalani
sekarang merupakan kehendak-Nya...tinggal jalani saja dengan baik...
Subjek tidak ingin merepotkan orang lain
Subjek ingin
ketenangan pada hari tuanya nanti
Subjek selalu optimis selama hidupnya
Subjek tidak pernah merasa pesimis
Subjek hanya menerima hidupnya yang melajang
Subjek selalu optimis dan mengharapkan ketenangan di hari tuanya
Melajang adalah kehendak Tuhan
(3)
82
LAMPIRAN.5
PROTOKOL
WAWANCARA
(4)
1. Latar belakang
• Biodata lengkap (nama,umur,pendidikan,pekerjaan,dll) • Ceritakan masa kecil anda
• Latar belakang keluarga
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan
• Bagaimana ceritanya bisa memutuskan untuk melajang? • Pengalaman apa yang melatar belakangi?
• Pada usia berapa keputusan itu diambil? Peristiwa apa yang terjadi pada waktu itu?
• Faktor apa saja yang melatarbelakangi keputusan tersebut? 3. Pemaknaan terhadap pilihan
• Arti melajang menurut anda sendiri
• Apa yang didapat dari melajang (positif atau negatif) • Apa yang dirasakan ketika memutuskan untuk melajang? • Dapatkah anda ceritakan, bagaimana anda menjalani kehidupan
anda sehari-hari dengan status anda yang melajang?
• Bagaimana anda memandang masa tua anda nanti (dapatkah anda bayangkan dan ceritakan)?
4. Gambaran kehidupan sosial dan sebaya
• Bagaimana kehidupan pertemanan anda?
• Apakah status lajang anda membawa pengaruh-pengaruh tertentu dalam relasi sosial anda?
• Bagaimana pandangan teman-teman anda terhadap status anda? • Apakah status lajang membawa pengaruh-pengaruh tertentu pada
(5)
84
5. Pandangan tentang pernikahan
Bagaimana anda memandang pernikahan
Bagaimana prosesnya pandangan tersebut terbentuk? Faktor apa yang melatarbelakangi?
6. Pandangan tentang kepuasan hidup
Bagaimana definisi anda tentang hidup yang memuaskan?
Bagaimana anda menilai kehidupan anda sekarang dihadapkan dengan definisi yang anda miliki tersebut?
7. Penerimaan diri
Dalam situasi sepeti apa melajang itu mencemaskan?
Sumber semangat hidup itu apa? Mengapa?
Happynya dimana?
Tidak happynya dimana?
Pernah mengalami situasi tidak PD dengan status lajangnya? Ceritakan
8. Hubungan positif dengan orang lain
Ada pandangan bahwa ketika orang menikah dan punya anak maka orang merasa hidup saya adalah untuk anak. Kalo pada orang yang melajang gimana? Hidup untuk siapa?
Ada pandangan bahwa ketika orang melajang maka orang menjadi terkucil, dalam pengalaman anda gimana? Ceritakan
Gambaran kehidupan sosial anda seperti apa, apakah cenderung menjauhi sebagai penyendiri atau penuh agenda sosial? Ceritakan
Kapan anda biasa berkumpul dengan teman? Untuk kegiatan apa? Kenapa anda mau terlibat?
9. Kemandirian
Pada sebagian orang, orang memerlukan berdiskusi dengan orang lain ketika menghadapi masalah, dalam pengalaman anda bagaimana?
(6)
10.Penguasaan lingkungan
Ada pandangan bahwa terlalu lama hidup sendiri dapat membuat seseorang kehilangan kepekaan pada lingkungan, dalam pengalaman anda gimana?
11.Tujuan hidup
Bagaimana anda membayangkan hari tua nanti?
Harapan anda atas hari tua nanti
Kapan anda memandang hidup ini optimis? Jelaskan
Kapan anda memandang hidup ini pesimis? Jelaskan
Kalau diletakkan pada keyakinan/spiritual, bagaimana pandangan keyakinan anda tentang hidup melajang?