MAKALAH PERLINDUNGAN MILKIYYAH DALAM ISL

MAKALAH
PERLINDUNGAN MILKIYYAH DALAM ISLAM
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqh Muamalah

Disusun oleh :
Rai Rearizki
120310110213

PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG
2014

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Hanya kepadanya tempat untuk memuji,
memohon dan mengadu. Dan hanya karena kuasa-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Perlindungan Milkiyyah Dalam Islam” ini dengan lancar dan Insyaallah baik. Tujuan dari
penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas matakuliah Fiqih Muamalah.
Secara umum penulis menyusun makalah ini berdasarkan sumber informasi yang didapatkan dari
internet. Penulis harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca dan dapat

menambah wawasan kita mengenai Perlindungan Milkiyyah Dalam Islam juga mengamalkannya di
kemudian hari. Disadari oleh penyusun bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penyusun
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan makalah ini.
Bandung, 19 Maret 2014

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................................. i
DAFTAR ISI......................................................................................................................................... ii
BAB I ................................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 1
1.1 LATAR BELAKANG .................................................................................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ............................................................................................................... 2
1.3 TUJUAN ................................................................................................................................... 2
BAB II ................................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................................... 3
2.1 Pengertian Kepemilikan dalam Islam ........................................................................................ 3
2.2 Pembagian Kepemilikan dalam Islam dan Karakteristik Masing-Masing .................................... 5
BAB III ............................................................................................................................................. 12
KESIMPULAN DAN SARAN................................................................................................................ 12

3.1 KESIMPULAN ......................................................................................................................... 12
3.2 SARAN ................................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................ 13

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Pada umumnya orang beranggapan bahwa kepemilikan atas sesuatu berarti kuasa penuh untuk
menggunakan atau memanfaaatkan sesuatu tersebut sesuai kehendaknya. Sedangkan konsep kepemilikan
dalam agama Islam adalah pada dasarnya semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah SWT, dan harta
yang kita miliki sekanrang hanyalah titipan, yang nantinya akan diminta pertanggungjawaban atasnya.
Hal ini terkandung dalam firman Allah SWT:
‫البقرة‬

‫ ِل َل‬482 ‫ضْ َر ْ ي ا ْل ِ ا ف َ َم و ِا َت َاو ي الهسم ِ ا ف َ م ِ ِه‬

Milik Allah-lah segala sesuatu yang ada di langit dan bumi (QS 2: 284)
Meskipun begitu, bukan berarti segala yang kita miliki saat ini bisa dengan seenaknya digunakan
atau dimanfaatkan orang lain. Seperti yang terkandung dalam hadits yang berbunyi “Setiap muslim

bagi muslim lainnya haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya” (HR. Muslim
dan lainnya). Karena Allah sendiri yang sudah menetapkan kepada siapa harta-Nya dititipkan, dan
Allah juga telah memberikan hak atas harta tersebut. Dan Muslim sudah sepatutnya menghargai
kepemilikan seseorang.
Oleh sebab itu, Islam memiliki caranya sendiri untuk melindungi hak kepemilikan seseorang atas
sesuatu. Agar jelas apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang terhadap kepemilikan atas
sesuatu yang dimiliki oleh orang lain. Hal ini juga agar memberi perlindungan atas kepemilikan yang
dimiliki seseorang dari klaim secara dzalim.

1.2 RUMUSAN MASALAH
Dalam penyusunan makalah ini penyusun berharap dapat mengetahui bagaimanakah
Perlindungan Kepemilikan dalam Islam. Agar pembahasan dapat terarah dengan baik maka penulis
menyusun rumusan masalah sebagai berikut :
- Bagaimana kedudukan kepemilikan dalam Islam?

- Bagaimana Islam melindungi kepemilikan?
1.3 TUJUAN
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini
adalah memperoleh pemahaman baru tentang perlindungan kepemilikan dalam Islam. Secara khusus
tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:

- Mengetahui kedudukan Kepemilikan dalam Islam.
- Mengetahui cara Islam melindungi kepemilikan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kedududkan Kepemilikan Dalam Islam
Pandangan Islam mengenai harta dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, pemiliki mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah Allah SWT.
Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan
memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya yang berbunyi:
ّ ِ‫آ ِمنُوا ب‬
‫الِ َو َرسُولِ ِه َوأَ ْنفِقُوا ِم ّما َج َعلَ ُك ْم ُم ْست َْخلَفِينَ فِي ِه ۖ فَالّ ِذينَ آ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوأَ ْنفَقُوا لَهُ ْم أَجْ ٌر َكبِي ٌر‬
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah
telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan
menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.
(QS: Al-Hadiid Ayat: 7)
Dan dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda:
“Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan,
jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta

ilmunya untuk apa dipergunakan.”
Kedua, status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut :
1. harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang
tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
2. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak
berlebih-lebihan ( Ali Imran: 14). Sebagai perhiasan hidup harta sering menyebabkan keangkuhan,
kesombongan serta kebanggaan diri.(Al-Alaq: 6-7).
3. Harta sebgai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya,
apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak (al-Anfal: 28)
4. harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksankan perintahNyadan melaksanakan muamalah si
antara sesama manusia, melalui zakat, infak, dan sedekah.(at-Taubah :41,60; Ali Imran:133-134).
Ketiga, Pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha (amal) ataua mata pencaharian (Maisyah)
yang halal dan sesuai dengan aturanNya. (al-Baqarah:267)

Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras mencari nafkah
yang halal untk keluarganya maka sama dengan mujahid di jalan Allah (HR Ahmad).
Mencari rezki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang lain(HR Thabrani)
jika telah melakukan sholat subuh janganlah kalian tidur, maka kalian tidak akan sempat mencari rezki
(HR Thabrani).
Keempat, dilarang mencari harta, berusaha atau bekerja yang melupakan mati (at-Takatsur:1-2),

melupakan Zikrullah/mengingat ALLAH (al-Munafiqun:9), melupakan sholat dan zakat (an-Nuur: 37),
dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr: 7)
Kelima, dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (al-Baqarah: 273281), perjudian, jual beli barang yang haram (al-maidah :90-91), mencuri merampok (al-Maidah :38),
curang dalam takaran dan timbangan (al-Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara yang batil dan merugikan
(al-Baqarah:188), dan melalui suap menyuap (HR Imam Ahmad).
C. KEPEMILIKAN HARTA
Di atas telah disinggung bahwa Pemilik Mutlak adalah Allah SWT. Penisbatan kepemilikan
kepada Allah mengandung tujuan sebagai jaminan emosional agar harta diarahkan untuk kepentingan
manusia yang selaras dengan tujuan penciptaan harta itu sendiri.
Namun demikian, Islam mengakui kepemilikan individu, dengan satu konsep khusus, yakni konsep
khilafah. Bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi yang diberi kekuasaan dalam mengelola dan
memanfaatkan segala isi bumi dengan syarat sesuai dengan segala aturan dari Pencipta harta itu sendiri.
Harta dinyatakan sebagai milik manusia, sebagai hasil usahanya. Al-Quran menggunakan istilah al-milku
dan al-kasbu (QS 111:2) untuk menunjukkan kepemilikan individu ini. Dengan pengakuan hak milik
perseorangan ini, Islam juga menjamin keselamatan harta dan perlindungan harta secara hukum.
Islam juga mengakui kepemilikan bersama (syrkah) dan kepemilikan negara. Kepemilikan bersama
diakui pada bentuk-bentuk kerjasama antar manusia yang bermanfaat bagi kedua belah pihak dan atas
kerelaan bersama. Kepemilikan Negara diakui pada asset-asset penting (terutama Sumber Daya Alam)
yang pengelolaannya atau pemanfaatannya dapat mempengaruhi kehidupan bangsa secara keseluruhan.
D. METODE MEMPEROLEH DAN MEMBELANJAKAN HARTA

Untuk memperoleh harta dapat ditempuh dengan beberapa cara dengan prinsip sukarela, menarik
manfaat dan menghindarkan mudarat bagi kehidupan manusia, memelihara nilai-nilai keadilan dan tolong
menolong serta dalam batas-batas yang diizinkan syara(hukum Allah)
Di antara cara memperoleh harta dapat disebutkan yang terpenting:
a. Menguasai benda-benda mubah yang belum menjadi milik seorang pun.

b. Perjanjian-perjanjian hak milik seperti jual-beli, hibah (pemberian/.hadiah), dan wasiat
c. Warisan sesuai dengan aturan Islam
d. Syufah, hak membeli dengan paksa atas harta persekutuan yang dijual kepada orang lain tanpa izin
para anggota persekutuan yang lain.
e. Iqtha, pemberian dari pemerintah
f. Hak-hak keagamaan seperti bagian zakat, bagi amil, nafkah istri, anak, dan orang tua.
Cara memperoleh harta yang dilarang ialah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut di
atas, yaitu memperoleh harta dengan cara-cara yang mengandung unsur paksaan dan tipuan yang
bertentanga dengan prinsip sukarela, seperti merampas harta orang lain, menjual barang palsu,
mengurangi ukuran dan timbangan, dan sebagainya. Kemudian memperoleh hartanya dengan cara yang
justru mendatangkan mudharat/keburukan dalam kehidupan masyarakat, seperti jual beli ganja, perjudian,
minuman keras, prostitusi,dan lain sebagainya. Atau memperoleh harta dengan jalan yang bertentangan
dengan nilai keadilan dan tolong menolong, seperti riba, meminta balas jasa tidak seimbang dengan jasa
yang diberikan. Juga menjual barang dengan harga jauh lebih tinggi dari harga yang sebenarnya, atau bisa

dikatakan mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Mengenai pembelanjaan harta, Islam mengajarkan agar membelanjakn hartanya mula-mula untuk
mencukupkan kebutuhan dirinya sendiri, lalu untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi
tanggungannya, barulah memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam pemenuhan kebutuhan ini, Islam
mengharamkan bermegah-megah dan berlebih-lebihan (Israf dan mubazir). Karena sifat ini cenderung
kepada penumpukan harta yang membekukan fungsi ekonomis dari harta tersebut.
Untuk itulah pada satu takaran tertentu harta dikenai wajib zakat. Zakat merupakan implementasi
pemenuhan hak masyarakat dan upaya memberdayakan harta pada fungsi ekonomisnya.
Ringkasnya, aturan dalam memperoleh harta dan membelanjakan harta, didasarkan pada prinsipprinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Sirkulasi dan perputaran. Artinya harta memiliki fungsi ekonomis yang harus senantiasa
diberdayakan agar aktifitas ekonomi berjalan sehat. Maka harta harus berputar dan bergerak di kalangan
masyarakat baik dalam bentuk konsumsi atau investasi.sarana yang diterapkan oleh syariat untuk
merealisasikan prinsip ini adalah dengan larangan menumpuk harta, monopoli terutama pada kebutuhan
pokok, larangan riba, berjudi, menipu.
2. Prinsip jauhi konflik. Artinya harta jangan sampai menjadi konflik antar sesama manusia. Untuk itu
diperintahkan aturan dokumentasi, pencatatan/akuntansi, al-isyhad/saksi, jaminan (rahn/gadai).
3. Prinsip Keadilan. Prinsip keadilan dimaksudkan untuk meminimalisasi kesenjangan sosial yang ada
akibat perbedaan kepemilikan harta secara individu. Terdapat dua metode untuk merealisasikan keadilan

dalam harta yaitu perintah untuk zakat infak shadaqah, dan larangan terhadap penghamburan

(Israf/mubazir).

2.2 Cara Islam Melindungi Kepemilikan
Islam telah mengatur kepemilikan individu dengan suatu pandangan bahawa kepemilikan tersebut
merupakan salah satu manifestasi dari naluri mempertahankan diri (gharizah al-baqa’). Atas dasar itu,
Islam mensyariatkan ke atas kaum Muslimin ‘hukum kepemilikan’ untuk memenuhi naluri ini, yang akan
menjamin kehidupan yang lebih baik. Islam membolehkan bagi seorang Muslim untuk memiliki harta
sebanyak-banyaknya seperti binatang ternak, tempat tinggal dan hasil bumi. Di sisi lain, Islam
mengharamkan seseorang Muslim dari memanfaatkan barangan seperti khamr (arak), daging babi dan
dadah. Islam telah mendorong seseorang Muslim untuk berfikir dan menuntut ilmu, begitu juga Islam
membolehkan seseorang Muslim untuk mengambil upah kerana mengajar orang lain. Islam juga telah
mensyariatkan bagi seseorang Muslim sebab-sebab yang dibolehkan untuk memiliki suatu barang (asbab
at-tamalluk) seperti jual-beli, perdagangan dan pewarisan serta Islam mengharamkan seseorang Muslim
sebab-sebab kepemilikan yang lain (yang bertentangan dengan Islam) seperti riba dan judi.
Secara umumnya kepemilikan dalam Islam bermaksud izin Asy-Syari’ (Allah SWT) ke atas
manusia untuk memanfaatkan barangan. Kepemilikan individu adalah hukum syarak yang mengatur
barang atau jasa yang disandarkan kepada individu yang memungkinkannya untuk memanfaatkan
barangan dan mengambil bayaran darinya. Kepemilikan individu dalam Islam ditentukan atas dasar
ketetapan hukum syarak bagi kepemilikan tersebut dan ketentuan syarak bagi sebab kepemilikan (asbab
at-tamalluk) tersebut. Kerana itu, hak untuk memiliki sesuatu tidak muncul dari sesuatu itu sendiri atau

manfaatnya, akan tetapi ia muncul dari izin Asy-Syari’ untuk memilikinya dengan salah satu sebab
kepemilikan yang syar’ie seperti jual-beli atau hadiah. Islam telah memberikan kekuasaan kepada
individu atas apa yang dimilikinya yang membolehkan dia memanfaatkannya sesuai dengan hukum
syarak. Islam juga telah mewajibkan Negara agar memberikan perlindungan atas kepemilikan individu
dan menjatuhkan hukuman bagi setiap orang yang melanggar kepemilikan orang lain.
Mengenai kepemilikan atas ‘pemikiran baru’, ia melibatkan dua bentuk dari kepemilikan
individu. Pertama, sesuatu yang boleh diindera dan dirasa seperti cap dagangan (trademark). Kedua,
sesuatu yang boleh diindera tetapi tidak boleh dirasa seperti pandangan ilmiah dan pemikiran yang
tersimpan di dalam otak seseorang pakar. Sekiranya kepemilikan tersebut berupa kepemilikan jenis
pertama, seperti cap dagangan yang mubah (harus) sifatnya, maka seseorang individu boleh memilikinya
serta memanfaatkannya dengan cara mengusahakannya atau memperjual-belikannya. Negara wajib

menjaga hak individu tersebut, sehingga memungkinkan baginya untuk mengelola dan mencegah orang
lain dari melanggar hak-haknya. Ini adalah kerana di dalam Islam, cap dagangan memiliki nilai material,
kerana keberadaannya sebagai salah satu bentuk perniagaan yang diperbolehkan secara syar’ie. Cap
dagangan adalah ‘label produk’ yang dibuat oleh pedagang atau ahli industri bagi produk-produknya
untuk membezakannya dengan produk yang lain, yang dapat membantu para pembeli dan pengguna
untuk mengenal produknya. Perlu difahami bahawa definisi di atas tidak mencakup cap-cap dagangan
yang sudah tidak digunakan lagi. Selain itu, seseorang boleh menjual cap dagangannya di mana apabila ia
telah menjualnya kepada orang lain, manfaat dan pengelolaan cap dagangan itu akan berpindah kepada

pemilik baru.
Adapun mengenai kepemilikan fikriyyah, iaitu jenis kepemilikan yang kedua, seperti pandangan
ilmiah atau pemikiran canggih yang dimiliki seseorang, yang belum ditulis ke atas kertas atau belum
dirakam ke dalam disket atau ingatan komputer maka semua itu adalah milik individu (milkiyyah alfardiyyah) bagi pemiliknya. Ia boleh mengajar atau menjualkannya kepada orang lain, jika hasil
pemikirannya tersebut memiliki nilai menurut pandangan Islam. Bila hal ini dilakukan (pemikiran yang
telah diajar atau dijual), maka orang yang mendapatkannya dengan sebab-sebab yang syar’ie, boleh
mengelolanya tanpa terikat dengan pemilik pertama, sesuai dengan hukum-hukum Islam.
Hukum ini juga berlaku bagi semua orang yang membeli buku, disket, atau ingatan komputer
yang mengandungi material pemikiran, baik pemikiran sains ataupun sastera. Demikian pula, ia berhak
untuk membaca dan memanfaatkan informasi yang ada di dalamnya. Ia juga berhak mengelolanya, baik
dengan cara menyalin, menjual atau menghadiahkannya. Akan tetapi ia tidak boleh ‘menasabkan’
(mengatasnamakan) penemuan tersebut kepada selain pemiliknya. Ini adalah kerana pengatasnamaan
(penisbahan) kepada selain pemiliknya adalah suatu kedustaan dan penipuan dan diharamkan secara
syar’ie. Oleh kerana itu, hak perlindungan atas kepemilikan fikriyyah merupakan hak yang bersifat
‘maknawi’, yang mana hak pengatasnamaannya dimiliki oleh pemiliknya. Namun, orang lain boleh
memanfaatkannya tanpa izin dari pemiliknya. Di sinilah bezanya Islam dan kapitalisme di mana orangorang yang berideolgi kapitalis memfokuskan seluruh aktiviti dan undang-undang mereka untuk meraih
qimah madiah (nilai material) semata-mata. Qimah madiah itu pula digunakan sebagai tolok ukur ideologi
mereka dalam kehidupan. Mereka mengabaikan qimah ruhiyyah (nilai rohani), qimah insaniyyah (nilai
kemanusiaan) dan qimah akhlaqiyyah (nilai akhlak) yang difitrahkan dalam diri manusia dalam usaha
manusia untuk meraih qimah madiah.
Mengenai ‘syarat-syarat’ yang ditetapkan oleh undang-undang sivil yang membolehkan
pengarang buku atau pencipta program atau para penemu untuk mengenakannya atas nama ‘perlindungan
hakcipta’ seperti hak cetak dan hak paten, semua ini merupakan syarat-syarat yang tidak syar’ie dan

seseorang Muslim tidak wajib terikat dengan syarat-syarat tersebut. Ini kerana, berdasarkan akad jual-beli
dalam Islam, seseorang pembeli bukan sahaja mendapat haq al-milkiyyah/ownership (hak kepemilikan)
ke atas barang yang dibeli, malah pembeli juga mendapat haq at-tasarruf (hak untuk mengelola) apa
sahaja yang ia miliki (yang ia telah beli). Justeru, meletakkan apa jua ‘syarat’ yang bertentangan dengan
akad yang syar’ie, hukumnya adalah haram, meskipun dengan seratus syarat dan dibuat atas kerealaan
pembeli.

Dari

‘Aisyah

ra,

“Barirah mendatangi seorang perempuan iaitu seorang mukatab (hamba) yang akan dibebaskan oleh
tuannya jika membayar 9 awaq (1 awaq = 12 dirham). Kemudian Barirah berkata kepadanya, ‘Jika
tuanmu bersedia, aku akan membayarkan jumlahnya, maka kesetiaan(mu) akan menjadi milikku.
Mukatab tersebut lalu mendatangi tuannya dan menceritakan hal itu kepadanya. Kemudian tuannya
menolak dan mensyaratkan agar kesetiaan (hamba tersebut) tetap menjadi miliknya. Hal itu kemudian
diceritakan ‘Aisyah kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda, ‘Lakukanlah.’ Kemudian
Barirah melaksanakan perintah tersebut dan Rasulullah SAW berdiri, lalu berkhutbah di hadapan
manusia. Baginda segera memuji Allah dan menyanjung namaNya, kemudian bersabda, ‘Tidak akan
dipedulikan seseorang yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak sesuai dengan apa yang tercantum
dalam Kitabullah.’ Kemudian baginda meneruskan, ‘Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah,
maka syarat tersebut adalah bathil. Kitabullah lebih berhak, dan syaratnya (yang tercantum dalam
Kitabullah)

bersifat

mengikat.

Kesetiaan

dimiliki

oleh

orang

yang

membebaskan.”

Mantuq (teks) hadis ini menunjukkan bahawa syarat yang bertentangan dengan apa yang
tercantum dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya, tidak boleh diikuti. Oleh yang demikian, selama mana
syarat ‘perlindungan hakcipta’ yang menjadikan barang yang dijual (disyaratkan) sebatas untuk satu jenis
pemanfaatan tertentu sahaja, tidak untuk pemanfaatan yang lain seluruhnya, maka syarat tersebut adalah
batal dan bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Ini adalah kerana, syarat ‘perlindungan
hakcipta’ adalah jelas bertentangan dengan ketetapan akad jual-beli yang syar’ie. Akad jual beli yang
syar’ie membolehkan pembeli untuk mengelola dan memanfaatkan barang yang dibelinya dengan cara
apapun yang bertepatan dengan syarak, seperti menjualnya, menghadiahkannya dan lain-lain. Syarat yang
mengharamkan sesuatu yang halal adalah syarat yang batil, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
“Kaum Muslimin terikat atas syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang
halal dan menghalalkan yang haram.”

Oleh kerana itu, secara syar’ie tidak dibolehkan ada syarat-syarat hak cetak, menyalin atau
melindungi sesuatu penemuan. Setiap individu berhak atas hal itu (memanfaatkan produk-produk
intelektual). Para pemikir, ilmuwan atau penemu sesuatu program, berhak memiliki pengetahuannya
selama pengetahuan tersebut adalah miliknya dan tidak diajarkan kepada orang lain. Adapun setelah
mereka memberikan ilmu kepada orang lain dengan mengajarkannya, menjualnya atau dengan apa cara
sekalipun (yang syar’ie), maka ilmunya tidak lagi menjadi miliknya. Dalam hal ini, hak kepemilikannya
telah hilang dengan diajar atau dijualnya ilmu tersebut, sehingga mereka tidak mempunyai hak untuk
menghalang atau melarang orang lain dari memanfaatkannya. Justeru, ‘kata-kata’ (syarat) yang tercantum
pada buku-buku, cakera padat, perisian komputer dan media yang lain yang tidak membenarkan dicetak
ulang, disalin atau dirakam kecuali atas izin pemiliknya, adalah dilarang di dalam Islam. Kesalahan ‘katakata’ (syarat) yang melindungi hakcipta tersebut adalah kerana mereka tidak meletakkan pengecualian
sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW bahawa, “…kecuali syarat yang mengharamkan
sesuatu yang halal…”.
Ada di kalangan mereka yang membolehkan perkara ini (hakcipta) bersitidlal (menyandarkan
dalil) kepada sabda Rasulullah SAW,
“Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dirinya”
dan kepada sabda baginda,
“Barangsiapa mendapatkan paling awal sesuatu yang mubah, maka ia adalah orang yang paling
berhak”.
Hakikatnya, kedua-dua hadis ini tidak merujuk kepada kebolehan hakcipta, kerana manath (fakta)
nya memang tidak demikian. Adapun hadis yang pertama, ia bermaksud harta milik orang lain yang tidak
boleh diambil dari pemiliknya setelah ia sah secara syar’ie menjadi miliknya. Misalnya, seseorang itu
tidak boleh mencuri atau merampas atau memaksa dengan apa cara (termasuk melalui undang-undang)
untuk mengambil harta seseorang. Manakala ilmu yang telah diajar atau dijual tidak lagi menjadi milik
tuannya dan tidak timbul soal mengambil ‘tanpa kerelaan’ dari pemiliknya. Adapun hadis yang kedua,
manathnya adalah berkenaan harta milik umum (bukan milik individu) yang menjadi hak orang ramai
untuk memanfaatkannya, sebagaimana hadis,
“Mina (salah satu tempat dalam mengerjakan haji) menjadi hak bagi siapa sahaja yang datang
lebih dahulu (untuk menempatinya)”.
Maksudnya siapa yang telah duduk di situ terlebih dahulu, maka ia menjadi haknya di mana
orang lain tidak boleh menghalaunya dari situ.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULAN
Pada initinya segala sesuatu yang kita miliki saat ini adalah kepunyaan Allah SWT. Kita hanya
diamanahi selama kita di dunia. Meskipun begitu, Allah memberi kita hak untuk memanfaatkannya sesuai
kehendak kita. Tetapi tentu saja akan diminta pertanggungjawabannya, karena Allah telah memberi
petunjuk dalam Al Quran dan As Sunnah.
Dan setiap harta yang dimiliki seseorang tidak boleh diambil oleh orang lain dengan cara yang
bathil atau dzalim. Karena Allah sudah memberi perlindungan atas harta masing-masing, dan Allah
sendiri yang telah menentukan kepemilikan masing-masing. Tetapi Allah juga telah memberi petujuk
kepada pemilik harta tentng bagaimana memanfaatkan hartanya. Karena pada harta seseorang terdapat
hak orang lain. Dan jika petunjuk Allah itu dijalankan dengan baik, maka Isyaallah harta yang dimiliki
bisa bermanfaat bagi banyak orang.
3.2 SARAN
Penyusun hanya menyusun informasi yang didapatkan dari internet. Dan disadari penyusun
kurang referensi sehingga data yang didapatkan tidak terlalu banyak. Diharapkan pembaca bisa mencari
sumber lain agar memperluas referensi.

DAFTAR PUSTAKA

http://mykhilafah.com/sautun-nahdhah/3161-sn289-hukum-hak-cipta-menurut-islam
http://blogbinlahuri.blogspot.com/2013/11/konsep-hak-milik-dalam-syariah-dan.html
http://forumdisk.blogspot.com/2012/04/konsep-kepemilikan-dalam-islam.html
http://nabela.blogdetik.com/islamic-economic/kedudukan-harta-dalam-islam/