APLIKASI DAN INOVASI TEKNOLOGI TRANSFER

Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004

APLIKASI DAN INOVASI TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO
(TE) UNTUK PENGEMBANGAN SAPI POTONG
(Application and Innovation of Embryo Transfer (ET) for Developing Beef
Cattle Production)
POLMER SITUMORANG dan ENDANG TRIWULANINGSIH
Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT
Demand for meats in Indonesia will increase significantly with the increasing of population and their
income. An effort to establish a new breed of beef cattle will take a long time. For about years of importation
of live animals as an effort to increase the production of beef cattle facing a numbers of limitation and is not
optimal. Therefore, the technology of embryo transfer (ET) offer a way to increase and develop a sustainable
beef production. Production of embryo can be made by both in vivo and in vitro. Technology of
superovulation using gonadotrophin hormone (FSH and PMSG) has been successful to produce in vivo
embryo, but this technology facing an economically limitation by the expensive of hormone and a variation
response of donor to treatment. Production of in vitro embryo, offer the best way to produce a good quality of
embryo and with a reasonable prices. The oocytes could be obtained from slaughterhouse or juvenile cows
and there is no remaining technological barrier for implementation. A local beef cattle (PO, SO, Bali, etc)
have a higher adaptation to tropical condition and high fertility. Using those breeds as the recipients for

hybrid embryo produced by in vitro becoming inevitable. Technology of sexing sperm will increase the
efficiency of beef production. In the future, the technology of sexing, splitting and cloning embryo to increase
the effectivity and efficiency of ET needed to be evaluated.
Key words: Embryo, invivo, in vitro, transfer, beef cattle
ABSTRAK
Permintaan akan daging di Indonesia akan bertambah terus secara nyata dengan bertambahnya penduduk
dan pendapatan. Usaha membentuk bangsa sapi potong baru memerlukan waktu yang lama. Selama beberapa
tahun impor ternak hidup untuk meningkatkan produksi ternak potong mengalami banyak hambatan dan tidak
optimal. Oleh karena itu teknologi transfer embrio (TE) menawarkan jalan untuk meningkatkan dan
mengembangkan produksi daging secara berkelanjutan. Produksi embrio dapat dilakukan secara in vivo dan
in vitro. Teknologi superovulasi dengan menggunakan hormon gonadotrophin telah berhasil meproduksi
embrio secara in vivo, akan tetapi teknologi ini dibatasi oleh mahalnya hormon dan respons yang bervariasi
dari donor. Produksi embrio secara in vitro menawarkan jalan yang terbaik untuk menghasilkan embrio yang
berkualitas baik dan murah. Sumber oocyt bisa dari rumah potong hewan maupun hewan betina muda
(Juvenile) dan tidak didapat hambatan teknik untuk penerapannya dilapangan. Ternak potong lokal (PO, SO,
Bali, dll) mempunyai fertilitas yang tinggi dan sudah beradaptasi dengan lingkungan tropis. Menggunakan
bangsa sapi lokal untuk resipien bagi hybrid embrio hasil in vitro sangat memungkinkan. Teknologi
pemisahan spermatozoa akan meningkatkan efisiensi produksi sapi potong. Pada waktu yang akan datang
teknologi sexing , splitting dan cloning embrio untuk meningkatkan efisiensi TE perlu dievaluasi.
Kata kunci: Embrio, invivo, invitro, transfer, sapi potong


PENDAHULUAN
Populasi sapi potong di Indonesia sekitar
13,4 juta ekor (DITJEN BP PETERNAKAN,
2003), yang sebahagian besar berupa usaha
peternakan rakyat yang dikelola secara

tradisional dan relatif sedikit menggunakan
inovasi teknologi. Dengan jumlah penduduk
lebih dari 210 juta jiwa dan masih terus
bertambah pada masa yang akan datang,
Indonesia merupakan pasar yang sangat
potensial untuk daging dan bahkan saat ini
menjadi importer terbesar didunia.

95

Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004

Untuk mengembangkan peternakan sapi

potong, pemerintah telah mengembangkan
beberapa kegiatan antara lain meningkatkan
kwalitas genetik. Seleksi atau upaya perbaikan
mutu gentik untuk mendapatkan breed baru
yang unggul memerlukan waktu yang sangat
lama, mahal, dan hasilnya kadang-kadang tidak
memuaskan. Hal ini terjadi karena adanya
beberapa kendala yang secara riil banyak
dijumpai di lapang, seperti keterbatasan sarana
dan prasarana, populasi, biaya, manajemen, dll.
Disamping itu, bila sudah diperoleh sapi betina
yang berkualitas, masih ada kendala lain yaitu
cara memperbanyak karena secara alami
seekor induk hanya mampu menghasilkan satu
ekor anak dalam setahun atau rata-rata hanya
mampu menghasilkan anak yang berkualitas
kurang dari 8 ekor sepanjang hidupnya.
Apalagi separuh dari anak yang dihasilkan
adalah jantan. Usaha untuk mendapatkan
sintetik breed sampai saat ini belum

menunjukkan hasil yang nyata. Kondisi yang
sama didapat pada sapi perah dimana usaha
selama kurang lebih 100 tahun untuk
mendapatkan bangsa sapi perah unggul tidak
berhasil bahkan cenderung dikatakan gagal,
akan tetapi terbukti pula produksi crosbred
embrio persilangan antara Bos taurus dan Bos
indicus secara in vitro memberikan hasil yang
lebih baik (GORDON, 1994; RUTLEDGE, 2004).
SIMM et al, 1990 melaporkan bahwa indukinduk sapi perah tidak hanya digunakan untuk
menghasilkan anak untuk tujuan produksi susu
akan tetapi 80% anak yang dilahirkan untuk
tujuan sapi potong.
Usaha lain yang dilakukan adalah
mengimpor sapi hidup baik sebagai bakalan
untuk usaha penggemukan maupun pejantan
unggul untuk digunakan meningkatkan nilai
kualitas ternak lokal melalui teknologi
inseminasi buatan (IB). Pertumbuhan ternak
hasil persilangan (Crosbred) telah terbukti

lebih baik dibanding ternak lokal di hampir
semua propinsi (SETIADI et al., 1998; SITEPU et
al., 1998; SIREGAR et al., 1998) membuktikan
bahwa nilai tambah yang didapat akibat
pengaruh heterosis menjadi jauh lebih penting
dibanding nilai yang didapat dari usaha seleksi
individu dari masing-masing bangsa untuk
tujuan meningkatkan produksi sapi potong.
Impor ternak persilangan Brahman telah
dilaporkan di beberapa propinsi akan tetapi
kembali dihadapkan dengan tingkat reproduksi

96

yang rendah (TONCE, 2004 komunikasi
personal). Sehingga program seperti ini perlu
dikaji ulang kembali karena keberhasilan usaha
sapi
potong
sangat

tergantung
dari
perbandingan jumlah anak dari jumlah sapi
induk yang dipelihara per tahun (Calf-cow
ratio). Ternak lokal yang telah beradaptasi
dengan lingkungan tropis sudah barang tentu
akan meningkatkan calf-cow ratio ini.
Peningkatan calf-cow ratio dapat dilakukan
dengan perbaikan manajemen termasuk usaha
pemberian hormon untuk penyerentakan berahi
(BURNS, 2002). Lebih lanjut dilaporkan bahwa
respons induk terhadap perlakuan hormon
dipengaruhi oleh kondisi induk yang
bersangkutan (STEVENSON, 2000).
Pada negara yang sudah maju perbaikan
mutu genetik biasanya dilakukan dengan
memanfaatkan berbagai metode dan cara yang
sangat canggih, seperti manipulasi embrio
(MOET, IVF, splitting embryo, cloning, sexing
sperma/embrio dan lain-lain), maupun

penggunaan metode seleksi dengan cara best
linier unbiased prediction (BLUP) ataupun
memanfaatkan teknologi penciri DNA
(quntitative trait loci/QTL) (DIWYANTO et al.,
2000).
Aplikasi TE di Indonesia dimulai pada awal
dasawarsa 1980-an. Saat ini penelitian dan
penguasaan teknologi telah dilakukan dan
dikembangkan oleh berbagai institusi, seperti
BALITNAK, Balai Embrio Ternak, LIPI dan
beberapa Perguruan Tinggi seperti IPB, UGM,
Brawijaya, Airlangga dll. Keberhasilan
teknologi TE di Indonesia masih sangat
beragam dan dampaknya untuk perkembangan
maupun peningkatan produktivitas ternak
masih sangat minimal. Program untuk
mengembangkan dan memanfaatkan teknologi
TE masih belum terfokus dengan baik. Padahal
teknologi ini merupakan salah satu wahana
yang

sangat
penting
dalam
rangka
meningkatkan produktivitas ternak.
Pertanyaannya adalah, adakah inovasi
teknologi yang tepat untuk mengatasi masalah
ini? Makalah ini akan mereview perkembangan
beberapa aspek bioteknologi reproduksi antara
lain TE dalam upaya mendorong peningkatan
produktivitas
sapi
potong,
termasuk
kemungkinan mempercepat perkembangan
populasi sapi yang berkualitas. Pengalaman
dan tantangan yang dihadapi dalam
mengembangkan
teknologi
ini

juga

Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004

diungkapkan, sehingga teknologi ini benarbenar dapat diposisikan sebagai alat untuk
mencapai tujuan di atas. Bukan justru
sebaliknya yaitu akan menciptakan masalah
baru dan meningkatkan ketergantungan dari
kekuatan atau bantuan luar negeri.
TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO (TE)
Bioteknologi reproduksi yang akhir-akhir
ini sedang berkembang pesat adalah teknologi
TE yang mencakup produksi, penanganan dan
transfer embrio. Produksi embrio dapat
dilakukan secara in vivo maupun in vitro.
Keberhasilan TE pertama kali dilaporkan pada
kelinci, tahun 1891 di Inggris dan pada domba
pada tahun 1934 (WARWICK et al.,1934); pada
sapi, kerbau dan babi pada tahun 1951
(WILLET et al.,1951; KVASNICKII, 1951) dan

pada kuda tahun 1974 (OGURI dan TSUNAMI,
1974). Pemanfaatan teknologi ini pada
mulanya dipergunakan dalam perdagangan
ternak, terutama yang pada waktu itu
dilindungi, misalnya ekspor embrio sapi yang
disimpan dalam alat reproduksi kelinci dari
Eropa ke Afrika Selatan. Saat ini perdagangan
embrio sudah sangat meluas, melalui penjualan
embrio beku yang disimpan dalam nitrogen
cair.
Produksi embrio secara In Vivo
Produksi embrio secara in vivo juga dikenal
dengan teknologi Multiple Ovulation Embrio
Transfer (MOET). Teknologi ini sudah sangat
luas diaplikasikan dalam dua dasawarsa
terakhir ini (CUNNINGHAM, 1999), seperti di
Eropa, Amerika, Jepang, Australia dan negara
maju lainnya. Tujuan dari teknologi ini adalah
untuk menghasilkan embrio yang banyak
dalam satu kali siklus. Hal ini dapat dicapai

dengan penyuntikan hormon gonadotrophin
(FSH, PMSG) secara intra muscular pada
siklus berahi hari ke 10. Penyuntikan PMSG
dilakukan satu kali penyuntikan sedang FSH
diberikan umumnya 2 x sehari dengan interval
waktu 12 jam selama 3-5 hari pemberian.
Secara umum dilaporkan jumlah embrio yang
tertampung lebih tinggi dengan pemberian
FSH dibanding PMSG (SEIDEL dan SEIDEL,

1982;
BOLAND
dan
ROCHE,
1991;
SITUMORANG et al, 1993, 1995). Tidak didapat
perbedaan yang nyata antara jenis dan produk
dan metode pemberian FSH (3, 4 dan 5 hari)
terhadap jumlah embrio yang tertampung
(SITUMORANG et al., 1993, 1994,1995) lebih
lanjut pemberian FSH dalam sekali suntik juga
dapat dilakukan untuk tujuan super ovulasi.
Beberapa penelitian menunjukkan pemberian
hCG atau penyuntikan FSH tunggal pada siklus
berahi hari 1 dapat meningkatkan jumlah
embrio yang tertampung (SITUMORANG et al,
1998).
Saat ini produksi embrio dapat mencapai 30
embrio/koleksi, tetapi rata-rata hanya sekitar
5−7 embrio/koleksi yang layak untuk ditransfer
atau dibekukan. Sehingga seekor sapi (donor)
secara teoritis dapat menghasilkan 20−30
embrio per tahun. Donor yang memberikan
respons yang baik pada perlakuan superovulasi
pertama juga memberikan respons yang sama
pada
superovulasi
yang
berikutnya
(SITUMORANG et al, 1993).
Untuk tujuan perbanyakan ternak yang
berkualitas, teknologi MOET akan sangat
efektif, karena yang diperbaiki adalah
hewannya (diploid), bukan sekedar up-grading
(haploid) seperti pada teknologi IB. Oleh
karena itu teknologi TE dapat dipandang
sebagai upaya mengganti ternak yang ada
dengan populasi baru (breed replacement).
Pada tahun 1997 aplikasi TE di dunia sudah
mencapai sekitar 460.000 embrio (THIBIER,
1997) dan di India aplikasi TE pada kerbau
perah telah mencapai sekitar 1000 embrio
(CUNNINGHAM, 1999).
Faktor penghambat teknologi MOET ini
adalah respons donor yang masih sangat
bervariasi terhadap perlakuan hormon sehingga
satu individu dapat menghasilkan sampai 30
embrio sedang individu yang lain tidak ada dan
hal ini baru dapat diketahui setelah pemberian
hormon (HAFEZ 1995). Disamping itu harga
hormon yang cukup tinggi juga menjadi faktor
pembatas didalam aplikasi teknologi MOET
secara luas. Pemberian ekstrak hipofise dapat
memperpendek jarak beranak sapi perah dan
kemungkinan pemberian ekstrak ini sebagai
pengganti hormon untuk tujuan superovulasi
memerlukan penelitian yang lebih lanjut
(ISNAINI et al, 2003).

97

Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004

Produksi embrio secara in vitro
Produksi embrio secara in vitro mencakup
3 aspek utama yaitu pematangan sel telur
(IVM), pembuahan sel telur (IVF) dan
pembiakan embrio (IVC) secara in vitro.
Teknologi IVM/IVF/IVC sudah berkembang
dengan pesat, seperti yang telah dilaporkan
oleh KANAGAWA et al., (1995). Kelahiran dari
hasil fertilisasi in vitro ini berturut-turut terjadi
pada kelinci (1958), mencit (1968), tikus
(1974), manusia (1978), sapi (1982), babi
(1986) dan domba (1986).
Sel telur umumnya didapat dari ovari
berasal dari rumah potong hewan. Sel telur
dikumpulkan dengan metode aspirasi maupun
slising, secepatnya setelah sapi dipotong
kemudian dimatangkan secara in vitro.
Pematangan dilakukan pada media sederhana
sampai yang kompleks yang umumnya
mengandung hormon estrogen, FSH, LH ,
prolactin, progesteron ataupun protein ovari
dan peptida (GORDON, 1994). Hormon yang
yang paling umum digunakan saat ini adalah
FSH, estrogen dan LH (FUKUI et al, 1989;
WIMER et al, 1991; ZUELKE dan BRACKETT,
1993; EYESTONE dan BOER,1993; KEFER et al,
1993; SITUMORANG et al, 1994). Penggunaan
serum sapi betina yang sudah estrus (ES)
dilaporkan dapat digunakan untuk mengganti
penggunaan hormon sintetik (WAHYUNINGSIH
et al, 2003).
Keberhasilan
pembuahan
sangat
dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas
spermatozoa. Proses kapasitasi dapat dilakukan
pada medium BO ataupun CR1aa yang telah
diberi tambahan kafein, heparin (RORENKRASS
dan FIRST, 1991; NIWA et al, 1993).
TRIWULANNINGSIH et al. (2003) melaporkan
bahwa dengan menggunakan metoda kapasitasi
sperma menggunakan metoda Percoll gradient
45% dan 90% sebanyak 0,5 ml/lapis ternyata
dapat meningkatkan persentase perolehan
expanded blastosis menjadi 33,02% (n = 1055
oosit) dari 21,06% (n = 1007 oosit) bila lapisan
Percoll 2 ml/lapis.
Media untuk pembiakan yang banyak
digunakan adalah media CR1aa, KSOM
(protein free pottasium simplexoptimize
medium) maupun Synthetic oviductal fluid
(SOF). Dilaporkan bahwa medium CR1aa
ternyata lebih cocok digunakan untuk kultur
embrio sapi dibandingkan medium KSOM

98

(TRIWULANNINGSIH et al., 2002). Dengan
menggunakan media CR1aa telah diperoleh
31,2% expanded blastosis dari 61,5% blastosis
(n = 1549 oosit), sementara dengan medium
KSOM hanya 5,1% yang berkembang dari
38,5% blastosis (n-675 oosit). Penambahan
bovine oviductal cells (BOEC) dan cumuslus/
granulosa monolayer sel sudah banyak
dilaporkan dapat meningkatkan persentase
blastocyst (GOTO et al, 1988; WANG et al,
1989; FUKUDA et al, 1990; XU et al, 1992;
WAHYUNINGSIH et al., 2003).
Secara umum teknologi pematangan,
pembuahan dan pembiakan untuk tujuan
memproduksi embrio secara in vitro sudah
sangat tersedia dan bukan lagi merupakan
hambatan untuk penerapan secara luas.
Walaupun didapat variasi persentase blastosist
yang
disebabkan
perbedaan
metode
pematangan, pembuahan dan pembiakan secara
keseluruhan rataan persentase blastosist adalah
30−50%. Hambatan yang masih ada adalah
ketersediaan sel telur baik secara kwantitatif
maupun kwalitatif di dalam negeri (Indonesia).
Untuk itu sumber sel telur dari negara yang
sudah maju antara lain Australia Selandia
Baru, Amerika maupun Eropa perlu dipikirkan.
Hal ini sangat memungkinkan dilakukan pada
era globalisasi ini dengan modifikasi teknologi
pematangan. TRIWULANNINGSIH et al. (2001)
melaporkan bahwa oosit dapat dikultur dalam
media TCM-199 pada suhu 300C selama 30
sampai 36 jam dan setelah difertilisasi dapat
terus berkembang menjadi blastosis dan
bahkan expanded blastosis. Kemampuan oosit
yang mengalami cleveage memperlihatkan
keadaan oosit tersebut telah cukup matang
untuk
difertilisasi,
namun
demikian
kemampuan untuk terus berkembang menjadi
expanded blastosis tergantung pula pada
medium kultur yang digunakan, pada
penelitian tersebut digunakan medium KSOM
(protein free pottasium simplexoptimize
medium) yang telah dijual secara komersiel di
Amerika. JASWANDI (2002) melaporkan
penggunaan hepes dan butiran efervesen dalam
sistem inkubasi produksi embrio domba secara
in vitro, memungkinkan pematangan sel telur
dapat dilakukan selama perjalanan tanpa
menggunakan
CO2
inkubator
yang
konventional. Sehingga waktu penerbangan
dari negara maju misalnya Amerika, Australia
dll sampai Indonesia menjadi tidak merupakan

Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004

halangan yang berarti lagi. Dengan demikian
produksi sapi potong dapat dilakukan secara
efisien yaitu memproduksi hygrid embrio dari
sel telur negara maju dan ditransfer ke sapi
lokal yang sudah terbukti telah beradaptasi
pada lingkungan tropis dan mempunyai
fertilitas yang tinggi. Sistem proksi seperti ini
telah menjadi program IVF secara terbatas di
Balitnak dengan memanfaatkan sel telur sapi
perah dari Wisconsin, USA, lalu difertilisasi
dengan sperma Bos sondaicus (Banteng) untuk
selanjutnya di transfer ke resipien di Indonesia
(TRIWULANNINGSIH et al., 1999).
Alternatif lain sebagai sumber sel telur
dapat diperoleh dari sapi betina muda (umur 46 bulan) tanpa mengganggu kemampuannya
untuk berproduksi secara normal kembali
setelah dewasa. Penelitian telah dilakukan di
Balitnak dimana sel telur ditampung dengan
jalan operasi dari sapi betina muda yang telah
sebelumnya
mendapatkan
perlakuan
superovulasi, kemudian sel telur yang
terkumpul di fertilisasi secara in vitro.
Kegiatan ini dilakukan setiap bulan dengan
harapan anak sapi tersebut dapat mempunyai
anak sebelum dia sendiri dewasa, sebab
blastosist yang dihasilkan akan ditransfer pada
resipien yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Dengan teknologi ini diharapkan dapat
dilakukan pembuatan sapi komposit, karena sel
telur anak sapi hasil persilangan (umur 3
bulan) dapat disilangkan lagi dengan bangsa
sapi yang lain. Penelitian yang telah dilakukan
di Balitnak, menunjukkan bahwa penggunaan
CIDR (Control Intravaginal Divice Release)
yang berisi 0.3 mg progesterone dalam inert
silicone elastomer (InterAg, 558, Hamilton,
NZ Asutralia) selama 5 hari dan
dikombinasikan dengan perlakuan injeksi
Folicle Stimulating Hormone (FSH, Research
Institute of Animal Science, Malianwa,
Haidian, Beijing, China) selama 3 hari
berturut-turut dengan dosis menurun dan
interval 12 jam, dapat meningkatkan jumlah
oosit yang dapat dikoleksi (LUBIS et al., 2002).
Hal ini membuktikan bahwa CIDR yang
dikombinasikan
dengan
FSH
dapat
menstimulasi pertumbuhan folikel dan
meningkatkan jumlah oosit yang dihasilkan.
Sementara itu AMSTRONG (1992) melaporkan
bahwa embrio yang diperoleh dari oosit anak

sapi muda dapat mencapai blatosis (28%),
sedangkan yang dari oosit abatoir diperoleh
17% blastosis. TRIWULANNINGSIH et al., (2001)
melaporkan bahwa penggunaan CIDR selama
5 hari dan injeksi 2.4 mg FSH adalah dosis
yang baik untuk juvenile berumur sekitar 4-5
bulan. Karena dengan dosis tersebut dapat
diperoleh oosit dan morula yang paling banyak
dibandingkan dosis FSH yang lain (2,8 mg, 3,2
mg dan 3,6 mg). Namun demikian keberhasilan
teknologi ini masih bervariasi diantara
berbagai Laboratorium IVF. Walaupun aplikasi
teknik ini secara praktis dapat mengurangi
generasi interval (L), faktor penghambat adalah
masih tetap menggunakan hormon dan proses
operasi yang memerlukan biaya yang cukup
mahal.
Pembekuan embrio
Salah
satu
faktor
utama
yang
mempengaruhi aplikasi embrio transfer adalah
kemampuan untuk membekukan embrio seperti
halnya spermatozoa sehingga memudahkan
penyimpanan
dan
transportasi.Teknologi
pembekuan embrio yang dihasilkan secara in
vivo maupun in vitro sudah banyak dilaporkan
(VOEKEL dan HU, 1992; SITUMORANG et al,
1993; HAN et al, 1994). Menurut GORDON
(1994) krioprotektan yang biasa digunakan
untuk pembekuan sel dibagi dua kelompok
yaitu 1) kelompok extrasellular yaitu
krioprotektan yang mempunyai molekul yang
besar dan tidak mampu menembus membran
antara lain PVP (Polivinil pirolidon ), sukrosa,
rafinosa, laktosa, dll., dan 2) kelompok
krioprotektan intrasellular yaitu dengan
molekul kecil dan dapat melewati membrane
termasuk
antara
lain
glycerol,
dimethylsulfiuxida (DMSO), ethylene glycol,
1,2 propanideol. Krioprotektan ethylin glycol
dilaporkan lebih baik dibanding DMSO
maupun glycerol (SITUMORANG et al., 1993;
WAHYUNINGSIH et al., 2003). Faktor lain yang
mempengaruhi keberhasilan pembekuan adalah
antara lain 1), lama pemaparan (TAHA dan
SCHELLANDER, 1992) dimana lama pemaparan
20-30 menit lebih baik dibanding 5 dan 10
menit (RAYOS et al., 1994), 2) konsentrasi
krioprotektan (VICENTE dan GARCIA XIMENEZ,
1994).

99

Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004

Transfer embrio (TE)
Keberhasilan teknologi TE dengan
menggunakan embrio baik secara in vivo
maupun in vitro ditunjukkan dengan
keberhasilan
menghasilkan
anak
yang
dilahirkan dengan kwalitas yang di inginkan.
Kesiapan ternak resipien sangat memegang
peranan penting. Koleksi dan TE saat ini sudah
dapat dilakukan dengan cara non-operasi,
sehingga akan memudahkan pelaksanaannya
disamping biayanya relatif lebih ekonomis.
Keberhasilan transfer embrio segar dapat
mencapai 55−65%, sedangkan embrio beku
sekitar 50−60% (HASLER, 1995). Teknik ini
akan mampu meningkatkan kualitas genetik
ternak sampai 10% (LOHUIS, 1995) yang jauh
diatas metoda konvensional yang hanya sekitar
2−5%.
Penerimaan dan kesuksesan TE sangat
berkembang setelah koleksi dan TE saat ini
sudah dapat dilakukan dengan cara nonoperasi,
sehingga
akan
memudahkan
pelaksanaannya disamping biayanya relatif
lebih ekonomis (KUZAN dan SEIDEL, 1986).
Beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
keberhasilan TE dengan non operasi yaitu
antara lain keterampilan dan pengalaman
inseminator (PARK et al., 1991; THIEBER dan
NIBART, 1992), sinkronisasi antara donor dan
resipien (ASHWORTH, 1992) dan metode
sinkronisasi dan deteksi estrus (ROCHE, 1989;
SENGER, 1993).
Penelitian menunjukkan bahwa kwalitas
corpus luteum yang baik untuk menghasilkan
hormon progesteron yang cukup dalam
memelihara
kebuntingan
sangat
perlu.
Penyuntikan hCG untuk memperbaiki ovulasi
yang akhirnya meningkatkan kwalitas corpus
luteum dapat meningkatkan persentase
kebuntingan sapi yang mendapatkan TE
(SITUMORANG et al., 1999). Endometerium
uterus resipien yang tidak siap dan tidak
mampu mempertahankan kebuntingan akan
mengakibatkan kegagalan kebuntingan setelah
2−3 bulan. Kerjasama dengan KUD
Tanjungsari, Sumedang dalam transfer embrio
hasil fertilisasi in vitro maupun in vivo segar
diperoleh hasil yang cukup baik, dengan ratarata
persentase
kebuntingan
50%
(TRIWULANNINGSIH, 2002), pada penelitian
tersebut telah diinjeksikan 2 ml IFN pada
resipien di hari ke 11 setelah estrus, dengan

100

harapan resipien dapat mempertahankan
konseptus.
Reproduksi
ternak
sangat
dipengaruhi oleh faktor nutrisi/pakan. Dalam
melaksanakan TE sinkronisasi antara embrio
dengan
endometrium
resipien
sangat
berpengaruh pada keberhasilan implantasi
embrio. ASHWORTH (1992) menyatakan bahwa
adanya produk konseptus (embrio) untuk
menghasilkan bovine trophoblast protein-one
(bTP-1) yang kini disebut sebagai interferon
(IFN), dimana protein tersebut bertanggung
jawab pada pencegahan regresi corpus luteum
karena adanya protaglandin (PGF2α), agar
corpus
luteum
tetap
menghasilakan
progesteron
untuk
mempertahankan
kebuntingan.
Cloning dan splitting embrio
Saat ini pembelahan embrio secara fisik
telah berhasil menghasilkan kembar identik
pada domba, sapi, babi dan kuda (BREM,
1995). Walaupun secara teoritis pembelahan
dapat dilakukan beberapa kali, tetapi sampai
saat ini tingkat keberhasilannya masih sangat
rendah. Embrio sapi pada stadium akhir dan
blastosist dapat dibelah menjadi dua bagian,
setengahnya dapat dikembalikan langsung
kedalam uterus dan sebahagian sisanya dapat
segera ditransfer ke resipien. Teknik splitting
ini dimasa depan mempunyai prospek yang
sangat bagus, terutama pada ternak yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi (sapi perah).
Akan tetapi penyempurnaan agar tingkat
keberhasilannya lebih baik lagi dan aplikasinya
lebih mudah dan murah perlu terus dilakukan.
Pada tahun 1952 untuk pertama kalinya
dilaporkan keberhasilan cloning pada katak
dan pada tahun 1980an untuk pertama kali
dilaporkan cloning pada domba (WILLADSEN,
1986, CUNNINGHAM, 1999). Tahun 1996 telah
dilaporkan suatu hasil cloning domba yang
berasal dari sel somatik jaringan kelenjar susu.
Selanjutnya cloning pada tikus yang berasal
dari sel kumulus sel telur pada stadium
methaphase II juga telah berhasil. Yang terbaru
adalah keberhasilan kelahiran delapan ekor
pedet hasil cloning yang berasal dari sel epithel
jaringan reproduksi sapi betina dewasa
(CAMPBELL et al.,1996; WILNUT et al.,1997;
WAKAYAMA et al.,1998; KATO et al.,1998).
Keberhasilan dari teknologi ini akan memberi

Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004

peluang yang besar terhadap kemajuan iptek
peternakan di masa yang akan datang. Splitting
maupun cloning juga akan sangat bermanfaat
dalam membantu program konservasi secara in
vitro (cryogenic preservation). Akan tetapi
upaya-upaya agar teknologi ini mempunyai
manfaat ekonomis masih perlu dikaji,
disamping masalah lain yang berkaitan dengan
masalah sosial. Saat ini perkembangan
teknologi splitting embrio di Indonesia masih
sangat terbatas, baik dalam arti jumlah
kegiatannya maupun tingkat keberhasilanya.
Sexing semen dan embrio
Sexing embrio dapat dilakukan dengan
mengekstraksi satu sel/blastomer dari morula
dengan menggunakan PCR (Polymerase Chain
Reaction). Morula tersebut kemudian dikultur
kembali sampai menjadi blastosist. Dengan
menggunakan metode ini kebenarannya dapat
mencapai 99% seperti yang telah dilaporkan
oleh KIRPATRICK dan MONSON (1993) dimana
telah di sexing sebanyak 40 in vitro biopsied
embryos lalu dikultur kembali kemudian 18
embrio yang telah dibiopsy telah ditransfer
pada resipien dan 12 ekor telah berhasil
bunting. Kelemahan sexing embryo adalah
disamping mempengaruhi kwalitas embrio juga
memerlukan peralatan yang cukup mahal dan
operator yang terlatih, sehingga penerapan
teknologi ini secara ekonomis masih terbatas.
Pemisahan spermatozoa sebelum inseminasi
ataupun pembuahan secara in vitro menjadi
alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk
mendapatkan embrio dengan sex yang
diinginkan. Penelitian telah dilakukan untuk
pemisahan spermatozoa pembawa khromosom
X dan Y dengan cara sedimentasi, sentrifugasi,
elektrophoresis, dan penggunaan antigen. Akan
tetapi semuanya ternyata tidak efektif karena
spermatozoa yang telah mengalami proses
menurunkan
kemampuannya
untuk
memfertilisasi sel telur. Di Amerika kini telah
dilakukan sorting sperma dengan alat flow
cytometry. Walaupun sorting telah berhasil
90% benar namun fertilitasnya menurun dan
konsentrasi sperma yang didapat sangat
rendah. Prospek penggunaan sistem ini secara
komersial masih jauh dari sempurna, untuk itu
penelitian di bidang ini terus dilakukan.

Metode pemisahan dengan menggunakan
kolum albumin didasarkan pada perbedaan
motilitas spermatozoa X dan Y dan filtrasi gel
sephadex yaitu berdasarkan ukuran kepala
spermatozoa
telah
dilaporkan
berhasil
memisahkan
spermatozoa
X
dan
Y
(SITUMORANG et al.,2003; TRINIL, 2004).
Prinsip dari metode kolom albumin ini adalah
membuat
medium
yang
berbeda
konsentrasinya, sehingga spermatozoa yang
mempunyai motilitas tinggi (Y) akan mampu
menembus konsentrasi medium yang lebih
pekat, sedangkan spermatozoa X akan tetap
berada pada medium yang mempunyai
konsentrasi rendah. Metode ini mudah
diperoleh, diterapkan di lapang, dan terjangkau
serta dapat mempertahankan kwalitas dan
kwantitas
spermatozoa
selama
proses
pemisahan. Kombinasi medium pemisah yang
digunakan adalah konsentrasi 10 persen putih
telur pada lapisan atas dan 30 persen pada
lapisan bawah. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan, konsentrasi albumin 10 persen
dan 30 persen mampu mengubah proporsi
perolehan spermatozoa dari kondisi normal.
Spermatozoa pembawa kromosom X dan Y
telah dapat dipisahkan dari ratio perbandingan
49,3% : 50,7% yang mendekati perbandingan
secara teoritis yaitu 50% : 50% menjadi
30,64% : 69,36% (pengencer kontrol) dan
27,32% : 72,68% (pengencer mengandung
IMX) untuk fraksi bawah. Dari perbandingan
tersebut, maka fraksi bawah dari hasil
pemisahan dengan kolom albumin sangat
cocok digunakan untuk mendapatkan kelahiran
anak jantan. Sebaliknya ratio perbandingan
X:Y pada fraksi atas dapat menjadi 67,72 :
32,28 (pengencer kontrol) dan 78,93 : 21,72%
(pengencer mengandung IMX) dan inseminasi
dengan menggunakan sperma dari fraksi atas
ini akan menghasilkan anak betina yang lebih
banyak. Penambahan IMX dalam pengencer
sperma secara nyata meningkatkan (P