2 makalah PENDIDIKAN IDIOLOGIS DAN KEBER

PENDIDIKAN IDIOLOGI DALAM KEBERAGAMAN BUDAYA
Zamroni
Pasca Sarjana-Universitas Negeri Yogyakarta
zamronihardjowirono@yahoo.com
ABSTRACT
Indonesian education doesn’t have a clear education ideology. Meanwhile, educational ideology has an
important role on shaping the future of the nation.This paper explored international educational ideologies,
mainly neo-liberal, human rights and welfare state educational ideology. It points out that Indonesian
national education should find its own educational idiology. As a multicultural country, Indonesia must find
the educational idiology that will be accepted by all of many different groups in th e country. Educational
idiology of Pancasila, is the only one will be accepted. Then, the educational idiology must be instructed to
all students employing redeemable by reasons rationalism.
KEY WORDS: Idiology, multicultural, Pancasila, reasons rationalism.
ABSTRAK
Pendidikan Indonesia tidak memiliki ideology pendidikan. Sementara itu, idiologi pendidikan memiliki peran
penting dalam membentuk masa depan bangsa. Makalah ini telah mengkaji idiologi pendidikan internasional,
sebutlah idiologi pendidikan neo-liberal, human rights dan ideologi pendidikan negara kesejahteraan.
Disimpulkan, pendidikan nasional Indonesia mesti memiliki ideologi pendidikan sendiri. Sebagai suatu
bangsa yang multikultural, Indonesia harus menemukan ideologi pendidikan yang dapat diterima oleh semua
kelompok-kelompok yang berbeda-beda yang ada. Ideologi pendidikan Pancasila merupakan satu-satunya
ideology pendidikan yang akan diterima. Kemudian, ideologi pendidikan itu mesti diajarkan kepada seluruh

siswa dengan menggunakan pendekatanredeemable by reasons rationalism.
KEY WORDS: Idiologi, multikultural, Pancasila, reasons rationalism.

PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia memerlukan manusia dengan karakter baru, Pancasilais sejati.
Sudah barang tentu
untuk malahirkan manusia Pancasilais sejati tidak mungkin
diharapkan pada pendidikan dewasa ini. Sebab, pendidikan dewasa ini, beridiologi
pendidikan Neo-Liberal yang merupakan turunan dari idiologi politik Neo-Liberal, yang
memiliki tujuan membentuk peserta didik dengan tekanan bahwa: motivasi tindakan
adalah bersifat
material,
memegang teguh kapitalisme, individualisme dan
konsumerisme dalam sepanjang kehidupannya. Judul makalah ini merupakan suatu
kegelisahan sekaligus kerinduan untuk menemukan pendidikan dengan semangat baru
itu. Pendidikan yang mampu melahirkan manusia Indonesia dengan karakter baru,
manusia pancasilais sejati. Dengan kata lain, dalam pendidikan perlu berproses
pendididikan idiologi. Sudah barang tentu idiologi yang akan ditanamkan kepada setiap
diri siswa adalah idiologi pendidikan itu sendiri.
Pendidikan Indonesia dewasa ini merupakan pendidikan yang kebarat-baratan

(Westernized education) Oleh karena itu, tidak aneh kalau para siswa diajarkan bahwa
sumber dari segala sumber kehidupan adalah penguasaan atas materi, bagaimana
1

kapitalisme dengan demokrasinya merupakan suatu sistem kehidupan yang paling
baik, dan dengan membawa obor demokrasi kekuatan kapitalis akan menguasai dunia.
Untuk mewujudkan cita-cita proklamasiidiologi pendidikan Indonesia mesti diubah,
dengan mengkokohkan idiologi politik yang dipandang mampu membawa bangsa
ketepian cita cita proklamasi. Perlu ada transformasi dalam pendidikan yang didominasi
dengan nafas kapitalis ke arah sistem pendidikan yang kepribadian Indonesia.Kemudian
idiologi pendidikan itulah yang perlu ditanamkan pada sitiap diri siswa.Apa idiologi
pendidikan Indonesia itu? Itulah yang mesti dirumuskan, apabila kita tidak ingin
seterusnya dibawah kakipendidikan idiologi Neo-Liberal.
IDIOLOGI PENDIDIKAN.
Kekuatan idiologi memegang peran penting dalam pendidikan. Kekuatan idiologi
ini, kata Anthony Giddens & Michael Mann, sebagaimana dikutip oleh Laursen
(2006)amat sering diremehkan, dan pedagog cenderung melihat faktor kekuatan sosial
ekonomi yang lebih berpengaruh terhadap pendidikan. Idiologi pendidikan bukan
bersifat indoktrinatif melainkan sebagai suatu proses yang membawa siswa ke tingkat
posisi seseorang yang “dapat depercaya”. Dalam arti siswa telah menguasai

pengetahuan, ketrampilan dan karakter yang dikembangkan dalam proses pendidikan di
sekolah.
Sebelum pembahasan dilakukan perlu kesefahaman apakah yang dimaksud
dengan idiologi? Menurut Meighan, R. & Harber, C. (2007, 212), idiologi bisa
didefinisikan sebagai “a broad interlocked set of ideas and beliefs about the world held
by a group of people that they demonstrate in both behaviour and conversation to
various audiences. These systems of belief are usually seen as ‘the way things really
are’ by the groups holding them, and they become the taken-for-granted ways of
making sense of the world.’Tidak jauh berbeda, Siegel (1988) menjelaskan bahwa
idiologi merupakan kerangka umum yang membangun kesadaran individu dan menjadi
pedoman yang diakui secara legal
dalam berkeyakinan dan berperilaku serta
menafsirkan berbagai pengalaman yang dijalani. Mendasarkan pada definisi diatas,
maka setiap idiologi mesti memiliki separangkat nilai-nilai dan keyakinan yang
dipegang teguh bersama oleh para pengikutnya, yang terefleksikan dalam perilaku dan
sikap serta cara pandang bagaimana kehidupan dunia itu seharusnya. Idiologi tersebut
pada awalnya bersumberkan pada ajaran agama, yang kemudian berhibridasi sehingga
melahirkan idiologi dalam berbagai aspek kehidupan, seperti idiologi politik, ekonomi,
sosial dan idiologi pendidikan.
Dalam dunia pendidikan terdapat tiga macam idiologi pendidikan: Neo-liberal

education, Human rights, dan Environmentalism (Spring, 2004). Idiologi pendidikan
Neo-Liberal mencerminkan suatu pola pikir bentuk pendidikan nasionalis kebangsaan
yang bertujuan untuk membangun loyalitas dan sikap patriotisme yang ditunjukan
dengan rasa cinta dan keterkaitan emosional kepada kepada bangsa dan
negara.Gagasan idiologi pendidikan Neo-Liberalisme yang dieksport ke negara-negara
sedang berkembang, loyalitas dan patriotism tidak untuk negaranya sendiri, melankan
untuk negara asal idiologi tersebut. Artinya, loyalitas dan patriotisme pada negara
negara kapitalis.
2

Idiologi pendidikan human rights menekankan pada mengembangkan warga
negara global. Idiologi ini berakar pada gagasan bahwa human rights merupakan nilai
dasar kehidupan yang menjadi tanggung jawab bersama untuk menyediakan dan
memastikan setiap
warga bangsa memperoleh hak-hak dasarnya, seperti
pendidikan.Sedangkan, idiologi ketiga, Environmentalism merupakan idiologi pendidikan
yang paling radikal, sebab idiologi ini menolak paradigm industri dan konsumerisme
yang terlalu didominasi oleh pemikiran ekonomi, baik kapitalis maupun sosialis.
Ahli lain, Seigel (1988) mengidentifikasi dua idiologi pendidikan yang merupakan
turunan idiologi politik yang ada. Yakni idiologi pendidikan Neo-Liberal, turunan dari

idiologi politik Neo Liberal dan Idiologi pendidikan Negara Kesejahteraan sebagai
turunan idiologi politik Welfare State (Negera Kesejahteraan).Dibandingkan dengan
pendapat Joel Spring diatas, maka pendapatSegel lebih detail, idiologi pendikan NeoLiberal dalam realitas dapat diketemukanciri-cirimya, yakni:
1. Pemerintah mengendalikan pendidikan secara ketat, antara lain dalam bentuk
kurikulum nasional dan berbagai implikasinya.
2. Uang yang dibelanjakan untuk dunia pendidikanmesti meningkatkan efektifitas
dan efisiensi kehidupan sehingga mampu meningkatkan daya saing bangsa
dalam pasar global, kalau tidak anggaran pendidikan merupakan pemboroson.
3. Pendidikan menekankan pada persaingan dengan indikator Indeks Prestasi,
Skore TIMMS, PISA, Standard Internasional, sepertik ISO, sehingga
menyebabkan pembelajaran terlalu menekankan untuk lulus ujian atau tes-tes.
4. Berlaku metafora pasar, yakni orang tua adalah konsumen, pendidikan dengan
model bisines, dan kompetisi diyakini akan menjamin peningkatan mutu baik
individu maupun lembaga sekolah.
5. Pendidikan didasarkan pada pembelajaran yang dilihat bagaimana kinerja,
manajemen dan teknologi yang terkandung dalam pembelajaran.
Kalau dikaji lebih mendalam, maka dapat diungkap nilai-nilai yang mendasari
idiologi pendidikan Neo-Loberal, yakni:
1. Harkat-martabat manusia dan kebebasan individu merupakan nilai-nilai pokok
pada masyarakat yang berkeadaban.

2.Manusia dipandang sebagai mahluk yang memiliki semangat kompetisi, sehingga
dunia kerja harus sesuai dengan semangat manusia ini.
3. Manusia bersifat rasional guna memaksimalkan keuntungan.
4. Rasional ekonomi akan menggerakan kompetisi yang akan membawa
kemakmuran kepada siapa saja.
5. Pemerintah harus bersifat lembek dan tidak melakukan intervensi pasar.
6. Oleh karena itu apapun yang bersifat pribadi adalah baik dan yang bersifat
“komando pemerintah” mesti dihindari.
7. Semangat pasar bebas mesti digunakan untuk menangani pendidikan.
Dalam realitas sehari-hari sebagai akibat implementasi idiologi pendidikan NeoLiberal dapat diketemukan dalam bentuk, antara lain: beaya sekolah mahal, sekolah
merupakan komoditas yang diperjualbelikan, peran profesor kalah dengan peran donor
dalam akademik sekalipun, gagasan kreatif personal kalah dengan aturan ISO, siswa
sekarang kenal MGM tapi tidak kenal UGM.
3

Sebagai lawan idiologi pendidikan Neo-Liberal muncul idiologipendidikan Welfare
State memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menekankan pentingnya kerjasama dan tanggng jawab untuk kesejahteraan,
khususnyabagi mereka yang tidak atau kurang beruntung. Negara memegang
peran utama untuk melayani dengan baik mensejahterakan seluruh siswa.

2. Pendidikan memiliki peran penting sebagai layanan jasa yang diberikan oleh
pemerintah lewat para ahli atau professional kepada masyarakat, pendidikan
bukan sesuatu yang diperjualbelikan.
3. Pendidikian dipandang memiliki peran penting untuk mengkaji diri dan
masyarakatnya. Khususnya berkaitandengan ketidakadilan, baik skop lokal,
nasioanl maupun global.
Dampak idiologi pendidikan Welfare State dalam dunia pendidikan, lebih khusus
dalam pembelajaran adalah mengembangkan pendidikan yang berpusat pada diri siswa
(child centered). Implikasi dari pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah
penekanan pada pengembangan karakter pada diri siswa sehingga siswa selaku individu
memiliki, antara lain, a)rasa percaya diri disertai senantiasa memiliki rasa gembira,
b)memiliki perilaku yang baik, c)menguasai materi pembelajaran dengan kritis, d)rajin
dengan tingkat persentase kehadiran yang tinggi, e)meningkatkan capaian prestasi
untuk semua mata pelajaran, f)memiliki etos sekolah, dan, g)memiliki kebanggan
sebagai siswa, dimana semuanya memberikan dukungan untuk kesuksesan belajar
setiap warga sekolah.
Namun, sesungguhnya pada awal perkembangan idiologi pendidikan Neo-Liberal
mencerminkan suatu pola pikiran bentuk pendidikan nasionalis kebangsaan yang
bertujuan untuk membangun loyalitas dan sikap patriotisme yang ditunjukan dengan
rasa cinta dan keterkaitan emosional kepada kepada bangsa dan negara.Dalam

perjalanan terdapat pergeseran penting pada idiologi pendidikan Neo-Leberal. Pertama,
dalam era global tujuan untuk mewujudkan pendidikan sebagaimana ditekankan oleh
idiologi pendidikan Neo Liberal mendapatkan tantangan bahkan ancaman. Loyalitas dan
patriotisme dilumerkan oleh gagasan-gagasan yang dibawa globalisasi. Akibatnya,
pendididikan menjadi sekedar alat yang menghamba pada dunia ekonomi.Pendidian
sekedar alat untuk dapat memenuhi tenaga kerja yang diperlukan oleh dunia ekonomi.
Kedua,
idiologi
pendidikan
Neo-Liberal,
untuk
memperluas
pengaruhnya
mengembangkan budaya yang bersumberkan idiologi Neo-Leberal dan menjadi budaya
yang mempengaruhi bangsa-bangsa di dunia ini. Budaya neo-liberal menjadi budaya
hegemonik yang menguasai kehidupan dunia pendidikan. Akibatnya, dinegara dan
bangsa manapun, idiologi pendidikan Neo-Liberal mengembangkan budaya sekolah
yang lebih berkeblat pada budaya Neo-Liberal, sehingga pembangunan cinta pada
bangsa dan tanah air bergeser pada pembangunan kecintaan pada symbol-simbol
global, seperti demokrasi, kebebasan dan hak-hak asasi manusia.

Pergeseran
tersebut sedjalan dengan gagasan idiologi pendidikan H uman
rights, yang
menekankan pada mengembangkann warga negara global. Idiologi ini ber akar pada
gagasan bahwa human rights merupakan tanggung jawab bersama untuk menyediakan
dan memastikan hak-hak warga bangsa diperoleh, tanpa memandang kondisi dan
tahap-tahap perkembangan suatu bangsa sebagai suatu keutuhan.
4

Pergeseran diatas muncul dalam bentuk diaplikasikannya pendekatan pasar bebas
dalam reformasi pendidikan, sehingga lahirlah gagasan dan praktik sekolah, seperti
school choice, charters school, dan vouchers.Sudah barang tentu kritik bermunculan
atas pendekatan pasar bebas diaplikasikan di dunia pendidikan. Salah satu kritik adalah
aplikasi pendekatan pasar bebas didunia pendidikan menunjukan ketidakfahaman akan
fungsi pendidikan dan merusak etos demokrasi sendiri. Sekolah hanya berfungsi
sebagai instrumen untuk mempersiapkan siswa mampu memasuki sistem kompetisi
pasar bebas yang bersifat global, mempersiapkan siswa untuk memahami dan
mematuhi etika global; mengembangkan kesefahaman bagaimana melaksanakan
pembangunan yang berkelanjutan dengan pola produksi dan konsumsi sebagaimana
yang sekarang ini; menggunakan pendekatan ekonomi dlaam pengembangan kebijakan

pendidikan. Gagasan-gagasan patriotisme dan cinta pada tanah air tidak lagi
mendapatkann tempat. Dan, sebagaimana nafas yang dibawa idiologi pendidikan
human rights bahwa materi merupakan sumber penggerak semua perilaku manusia.
Hakekat pendidikan memiliki tujuan, antara lain a)mengembangkan pengetahuan;
b)menjamin reproduksi norma-norma sosial pada generasi baru; c)mempersiapakan
tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja; d)religiusitas, memahami dan
mematuhi ajaran agamanya; f)berkepribadian mandiri dan kuat; dan, f)globalist,
memiliki pemahaman kehidupan yang memiliki ketergantungan satu sama lain. Idiologi
pendidikan Neo Liberal tidak lagi mengakui tujuan pendidikan tersebut. Tujuan
pendidikan beridiologi Neo-Liberal tidak lain hanya mempersiapkan tenaga kerja yang
memiliki daya saing global dan memiliki karakter ekonomi liberal global, sehingga
mampu memasuki pasar tenaga kerja global. Pendidikan yang mengembangkan pada
setiap diri cinta cinta pada tanah air digeser ke cinta pada tatanan global.
Idiologi Neo-Liberal menentang gagasan pendidkan yang berkemajuan yang
dibawa idiologi welfare State, karena kekuatan negara-negara Neo Liberal sedemikian
kuat, akibatnya idiologi pendidikan welfare State terpinggirkan, sehingga mulai tahun
1980-an, idiologi pendidikan Neo-Liberal mendominasi pendidikan negara-negara di
dunia in. Dengan kata lain, pendidikan dikuasai oleh gagasan barat, meski beberapa hal
gagasan idiologi negara kesejahteraan ada yang diambil untuk diaplikasikan, seperti
child centered. Westernisasi pendidikan di hampir semua negara tidak dapat dihindari.

Sebagian besar sekolah sekolah dewasa ini, termasuk sekolah di Indonesia memiliki
idiologi pendidikan Neo-Leberal. Sudah barang tentu praktik pendidikan yang beridiologi
Neo-Liberal tidak akan melahirkan generasi baru yang berjiwa Pancasila dan mencintai
negerinya sendiri sepenuh hati, yang direfleksikan dengan semangat untuk merealisir
cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Tulisan ini tidak memiliki pretensi untuk terlibat dalam diskusi berbagai konsep idiologi
pendidian diatas, melainkansekedar menggambarkan secara sepintas
realitas
pendidikan yang berlangsung di Indonesia. Di satu sisi pendidikan Indonesia dapat
dikatakan tidak memiliki idiologi pendidikan. Di sisi lain dapat dikatakan pendidikan
Indonesia memiliki idiologi pendidikan gado-gado.Dengan tidak adanya idiologi
pendidikan yang jelas, mengakibatkan politik pendidikan juga tidak jelas begitu pula
sampai level kebijakan juga beraneka tujuan dan beraneka macam selera program
pendidikan.
5

BANGSA DENGAN KERAGAMAN BUDAYA.
Dewasa ini nyaris sulit diketemukan suatu bangsa dengan mono budaya, budaya
tunggal. Keanekaragaman budaya, termasuk ethnis, suku bangsa, tradisi dan bahasa
merupakankeniscayaan, sunatullah.Keragaman tersebut menjamah keragaman dalam
pola pikir, pola sikap dan pola perilaku.
Sudah barang tentu keanekaragaman budaya ini memiliki dua sisi: rahmat dan petaka.
Apabila keanekaragaman budaya ini difahami, disadari dan dikelola dengan baik akan
merupakan rahmatbagi bangsa Indonesia. Karena disinilah letak kekuatan bangsa.
Sebaliknya, kalau keragaman budaya dinafikan dengan segala alasan apapun juga,
tidak difahami apalagi disadari, maka keragaman budaya akan menimbuhkan petaka.
Pada dasarnya sifat manusia adalah cenderung mencurigai terhadap budaya lain.
Kecenderungan ini dikarenakan mereka tidak mengetahuai dan memahami budaya lain
tersebut. Apabila mereka memahami budaya lain maka akan menjadi pemecah
hambatan perbedaan budaya yang ada. Kehidupan dengan anekaragaman budaya,
manakala memiliki kebijakan mengembangkan pemahaman antar budaya ( intercultural
understanding) dikalangan warga, akan mendorong sifat toleransi di kalangan warga
yang akan memperkaya kehidupan masyarakat
Memang sudah menjadi hukum kehidupan sosial terdapat aspek negatif
dariadanya keanekragaman budaya, yang bisa memecah kehidupan masyarakat.
Antara lain berupa, steriotaip, prejudais, rasialis dan diskriminasi. Terutama hal itu
terjadi di kalangan mayoritas penduduk terhadap kaum minoritas. Merupakan realitas
bahwa masing-masing kelompok agama, memandang agamanya adalah lebih benar
dibandingkan dengan agama lain. Bahkan berkeyakinan agama lain adalah salah, dan
para pengikutnya kelak memiliki tempat di neraka. Disamping itu, kelompok mayoritas
senantiasa akan mengembangkan sikap rasist, dalam bentuk menjadikan kaum
minoritas sebagai kambing hitam dari permasalahan bangsa. Tidak jarang, hal diatas
menimbulkan gejolak sosial yang membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa. Rasisme memang tidak jarang merupakan satu problem pada
masyarkat dengan aneka ragam budaya yang sulit untuk dihilangkan.
Kehidupan masyarakat dengan keragaman budaya yang dicita-citakan merupakan suatu
masyarakat yang memiliki anekaragam suku bangsa, budaya dan tradisi yang hidup
berdampingan dengan saling menghormati atas satu dengan yang lain. Warga
masyarakat dengan anekaragam budaya
ini bisa hidup berdampingan dan
berkerjasama dengan segala perbedaan yang ada.
Indonesia merupakan suatu bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya.
Bahkan, tidak jarang perbedaan budaya itu memiliki ”makna” yang bertolak belakang,
sehingga sering
menimbulkan konflik yang menjurus kepada kekerasan fisik.
Disamping itu perbedaan budaya yang ada tidak jarang terkait dengan konsep
mayoritas dan minoritas. Karena luas area geografis di satu sisi dan di sisin lain
mobilitas penduduk yang tinggi mengakibatkan terdapat suku mayoritas secara
nasional tetapi menjadi minoritas dalam skop lokal.
Sebagaimana dimensi keaneragaman budaya yang ada, seperti steriotaip,
prejudais, rasist dan deskriminasi, muncul dalam relaitas kehidupan masyarakat
Indonesia. Secara tidak langsung steriotaip yang muncul dalam kehidupan sehari-hari,
6

meski tidak jarang dalam konotasi yang baik. Seperti, kalau menemui orang yang
berperilaku halus, orang akan mengatakan: “Wah halus bener perilakunya, kayak orang
Jawa”. Ini berati muncul steriotaip bahwa kalau orang jawa itu halus. Benarkan semua
orang jawa halus? Tentu saja tidak. Demikian pula sikap prejudais pada sementara
kelompok masyarakat, yang tidak mengizinkan anak perempuannya berpacaran
dengan dengan lelaki kelompok ethnis lain tertentu. Patut dicatat juga masih sangat
sering terjadi kalau di bus kota seseorang memegang katong uangnya kencangkencang karena didekati oleh orang yang memiliki wajah dari suku tertentu. Masih
ditemui juga sementara orang senantiasa menyalahkan kelompok tertentu sebagai
penyebab keadaan kehidupan yang tidak menyenangkan. Bahkan, terdapat kasus
seseorang batal membeli rumah karena ternyata sebelah rumah yang akan dibeli
ditempati oleh seseorang ethnis tertentu.
Kondisi yang muncul dalam kehidupan sehari-hari tersebut, menunjukan bahwa
dalam masyarakat Indonesia belum bisa hidup sebaga bangsayang memiliki simbol
Bhineka Tunggal Eka. Masih ada saja sementara orang yang tidak bisa hidup dengan
toleransi, kejujuran dan memecahkan permasalahan dengan cara-cara damai. Konflikkonflik yang sampai mengundang kekerasan fisik pada hakekatnya menunjukan bahwa
sebagaian warga masyarakat Indonesia belum memahami dan menyadari penting
kejujuran, toleransi dan anti kekerasan. Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan
bahwa sebagaian warga bangsa belum memiliki kompetensi kultural. Yakni, suatu
kondisi dimana individu memiliki empat aspek dalam kehidupannya: a)kesadaran
kultural, b)pemahaman kultural, c)praktik dan, d)sikap menghadapi kultur lain.
Keaneragaman bangsa Indonesia juga mencakup keragaman idiologi yang
utamanya bersumberkan pada agama tertentu. Keyakinan, nilai-nilai, norma-norma dan
sikap hidup serta cara pandang atas kehidupan sangat erat berkaitan dengan agama
yang dipeluk. Warga masyarakat yang memiliki agama berbeda akan memiliki cara
hidup yang berbeda. Kondisi ini akan semakin mempersulit idiologi apa yang mesti
dijadikan idiologi pendidikan Indonesia. Idiologi yang mesti ditanamkan lewat
pendidikan dan proses pembelajaran?
IDIOLOGI PENDIDIKAN INDONESIA
Idiologi pendidikan Indonesia mesti bertumpu pada idiologi yang memiliki
karakteristik antara lain: a)bisa menampung semua idiologi yang ada di kalangan
bangsa; b)bersumber dari khasanah kehidupan bangsa Indonesia sendiri; c)diterima
semua komponen bangsa; dan, d)menjanjikan terealisirnya cita-cita proklamasi.Bangsa
Indonesia telah memiliki common values, beliefs, attitudes dan norms yang telah
digagas dan diwariskan oleh para founding fathers, yakni Pancasila. Idiologi yang
memenuhi kriteria itu tiada lain adalah Pancasila. Nafas dan dinamika pendidikan mesti
didasari oleh values, beliefs, norms dan attitudes yang ditumbuh kembangkan dari
Pancasila. Semuanya itu akan terefleksikan pada visi, misi, nilai-nilai, orientasi dan
strategi serta kebijakan pendidikan nasional yang menjadi pedoman bagi praktik
pendidikan di tanah air.Untuk itu proses peneguhan Pancasila sebagai Idologi
pendidikan Indonesia merupakan suatu keharusan.
Mengikuti deskripsi pola ekonomi Pancasila versi Edi Swasono (2012), menurut
saya praktik pendidikan yang berdasarkan Pancasila adalah: Ketuhanan Yang Maha Esa
7

memiliki makna bahwa pendidika bersifat Theo-centris, bukannya Anthropo-centris.
Dengan pendidikan bersifat Theo-centris kegiatan dalam pendidikan merupakan
rangkaian ibadah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa (Zamroni, 2013). Ibadah
mengandung makna, ibadah langsung sebagai ritual ke agamaan kepadaNYA dan
ibadah kemanusian, berbuat baik kepada sesamanya. Dengan demikian tujuan
pendidikan bukanlah
sekedar mempersiapkan pesertadidik dengan seperangkat
pengetahuan dan ketrampilan agar bisa bekerja memenuhi kebutuhan dunia ekonomi,
melainkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan sehingga bermanfaat bagi diri dan
orang lain, sesama dan masyarakatnya. Pengetahuan dan ketrampilan saja tidak
cukup, tetapi setiap pesertadidik memerlukan spiritual, moral dan karakter untuk bisa
hidup bersama dan bekerjasama. Spiritual harus menjadi landasan pendidikan.
Pendidikan spiritual menamkan pengertian dan kesadaran untuk apa sekolah? Harus
bagaimana sekolah itu? Apa yang mau dicapai dengan sekolah?. Fondasi ini akan
mewarnai seluruh aktivitas pesertadidik dalam menjalani proses pendidikan. Pertama,
segala kegiatan dan tindakan yang dilakukan adalah digerakan oleh dorongan
spiritualitas, bukan dorongan material. Kedua, Aktivitas yang tumbuh dari dorongan
kesadaran diri sendiri “intrisic motivation”, bukannya dipaksa oleh kekuatan luar.
Pendidikan spiritual ini tidak terkandung dalam pendidikan nasional kita dewasa ini,
karena pada hakekatnya pendidikan nasional Indonesia “ber ruh” sekuler.
Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab memilki makna bahwa pendidikan
mestibersifat humanist. Pendidikan yang memperlakukan pesertadidik sebagai mahluk
Tuhan yang paling sempurna, dengan segala martabat dan kasih sayang. Seperti
disampaikan oleh KH Dewantara, sebagaimana dikutip oleh Edi Swasono (2012), bahwa
pendidikan yang bersifat mengancam dan menakut-nakuti dengan hukuman semata,
tidak baik bagi kehidupan dan perkembangan
pesertadidik, tidak baik bagi
kemanusiaan. Sila, kedua dari Pancasila ini memiliki arti bahwa tidak saja hukuman
yang bersifat “fisik” atau “kekerasan” yang dilarang, tetapi juga hukuman non fisik
tetapi bisa diterima sebagai suaru “teror” mental bagi para siswa juga mesti dihilangkan
dari dunia persekolahan Indonesia
Ketiga, Persatuan Indonesia, dalam pendidikan memiliki arti mengembangkan
kebersamaan untuk bersama-sama maju. Kerjasama dalam pendidikan perlu
dikembangkan dan ditekankan kepada seluruh guru maupun pesertadidik. Prinsip
pemberian tugas kepada para pesertadidik, mendorong setiap pesertadidik kerja
keras, semua kerja keras dengan ciri “sama-sama bekerja keras”, perlu diubah dengan
tugas kepada para pesertadidik yang memiliki ciri “bekerja sama”. Bekerjasama,
kebersamaan dan gotong royong mesti ditumbuhkembangkan di dunia pendidikan
untuk mewujudkan ekselensi bagi semua pesertadidik.
Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijakan/permusyawaratan dalam
dunia pendidikan diujudkan dalam bentuk kehidupan sekolah yang demokratis.
Kehidupan sekolah yang demokratis akan mengundang partisipasi aktif seluruh warga
sekolah khususnya pesertadidik, yang dengan partisipasi aktif ini akan melahirkan
pesertadidik yang memahami tugas, peran dan tanggung selaku warga sekolah dan
warga masyarakat. Dalam sekolah yang demokratis setiap warga memiliki hak dan
tanggung jawab masing-masing.Setiap warga sekolah, termasuk pesertadidik memiliki
8

hak-hak yang setara.Keberadaan sekolah yang demokratis merupakan kondisi multak
yang dibutuhkan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis. Sekolah
yang demokratis ini akan melahirkan interaksi antar individu sebagaimana interaksi
dalam keluarga besar. Interaksi yang berlandaskan saling memahami, saling
menghormati dan saling menyayangi.
Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, di dunia pendidikan memiliki
makna bahwa sekolah harus mewujudkan prestasi ekselensi. Prestasi ekselens tersebut
tidak hanya untuk atau dimiliki oleh segelintir pesertadidik, melainkan untuk seluruh
pesertadidik, apapun latar belakangnya. Keadilan sosial dalam pendidikan menekankan
terujudnya pendidikan yang ekselens, berkeadilan dan berkesetaraan.
Sebagaimana dapat dilihat gambar 1, sejak awal para “founding fathers” telah
merumuskan tujuan perjuangan bangsa Indonesia adalah
mewujudkan negara
Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur. Tujuan itu sampai
sekarang menjadi cita-cita idiologis seluruh warga bangsa Indonesia.Semua upaya dan
usaha bangsa, khususnya yang dirumuskan dalam rencana pembangunan nasional
mesti menuju sasaran itu. Tujuan tersebut hanya akan terujud manakala bangsa
Indonesia memiliki warga bangsa dengan penguasaan pengetahuan dan teknologi
yang ekselens, disertai dengan semangat untuk membantu sesamanya, dasar-dasar
moral yang kokoh kuat, kepribadian yang anggun, kemampuan social yang luwes lagi
merakyat. Untuk mewujudkan manusia Indonesia dengan kemampuan tersebut
merupakan tugas pendidikan.
Sebagaimana telah disinggung diatas, pendidikan Indonesia mesti beridiologi
Pancasila.Berkaitan dengan Pancasila, pada masa kejayaan pemerintahannya, Presiden
Indonesia pertama, Bung Karno penggali Pancasila suatu ketika pernah menyatakan
bahwa Pancasila manakala diperas tuntas bisa berujud Eka Sila, yakni Gotong Royong.
Politik bangsa dan negara waktu itu tengah berada pada situasi dan kondisi konfrontasi
antara kekuatan komunis atheist dengan kekuatan agamis. Dari kalangan agamis
keberatan dengan gagasan Bung Karno tersebut, karena memeras Ke Tuhanan Yang
Maha Esa dimasukan menjadi bagian bagian gotong royong, karena dianggap sebagai
langkah menyingkirkan agama dari kehidupan bernegara, sebagaimana dituntut oleh
kaum komunis.
Namun kalau dikaji dan direnungkan secara secara jernih lagi mendalam, gagasan
Bung Karno tidaklah salah. Bukankah gotong royong, bekerjasama untuk kebaikan
merupakan perintah semua agama ?Bukankah untuk bisa gotong royong yang hakiki
memerlukan kemanusian yang adil dan beradab, dimana kehormatan dan martabat
manusia mendapatkan penghargaan dan tempat yang tinggi? Bukankah gotong royang
yang hakiki akan terlaksana manakala setiap warga memiliki kebebasan? Bukankah
gotong royong yang hakiki hanya akan terlaksana manakala warga memiliki semangat
dan kemauan untuk bersatu padu? Bukankah gotong royong yang hakiki hanya akan
berlangsung manakala terdapat keadilan?
Oleh karenanya saya mengikuti gagasan Bung Karno, namun tetap memisahkan
agama dari Gotong Royong. Dengan demikian idiologi pendidikan Pancasila merupakan
suatu sistem dan praktik pendidikan yang berdasarkan Pancasila, yang menumbuhkan
dua pilar budaya, yakni Theo-centris dan Gotong Royong, dengan tujuan antara
9

menghasilkan lulusan yang menguasai iptek dan memiliki semangat untu mengabdikan
ilmunya pagi sesamanya, guna mencapai
jangka panjang mewujudkan negara
Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur.

GAMBAR 1: PENDIDIKAN BERIDIOLOGI PANCASILA

NEGARA
INDONESIA YANG
MERDEKA,
BERDAULAT,
BERSATU, ADIL
DAN MAKMUR

GOTONGROYONG

THEO-CENTRIS

PRESTASI &
BERGUNA BAGI
SESAMANYA

PANCASILA

Apa yang mau diujudkan pendidikan yang beridiologi Pancasila? Jawaban tegas
siswa yang memiliki prestasi ekselens dan senantiasa berguna bagi sesamanya.
Sebagaimana dapat dicermati pada gambar 1, secara utuh tetapi singkat, pendidikkan
Indonesia yang beridiologi Pancasila dapat dirumuskan bahwa tujuan utama pendidikan
nasional, asalah mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu,
adil dan makmur. Tujuan ini hanya akan dapat diujudkan manakala pendidikan bisa
mempersiapakan lulusan dengan kemampuan yang ekselens, dibidang masingmasing dan senantiasa bisa bermanfaat bagi sesamanya. Tujuan antara ini ditunjukan
dengan kompetensi siswa di bidang akadamik disertai dengan semangat untuk
membantu sesamanya, moral yang kokok lagi kuat, kemampuan social yang merakyat,
dan kepribadian yang anggun. Hasil pendidikan tersebut dapat direalisir, manakala
pendidikan nasional bertumpu pada dua pilar budaya: pilar Theo-centris dan pilar
Gotong Royong. Pilar Theo-centris memiliki arti bahwa pendidikan itu harus kembali
pada Tuhan Yang maha Kuasa. Melaksanakan pendidikan, baik
guru maupun
pesertadidik, merupakan bagian dari ibadah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Hasil
10

pendidikan akan diabdikan untuk melaksanakan perintah-perintahanya. Orang yang
paling mulia adalah orang yang bermanfaat bagi sesamanya. Artinya, pendidikan tidak
hanya untuk diri sendiri melainkan juga harus diabdikan untuk kepentingan orang lain
dan pendidikan, bahkan segala perilaku dna aktivitas kehidupan
adalah karena
dorongan bersifat non material. Semua apa yang dilaksanakan dalam dunia pendidikan,
harus dapat dikembalikan kepada Pancasila, sebagai idiologi pendidikian pendidikan
Indonesia. Pilar Gotongroyong memiliki arti bahwa kehidupan pendidikan dalam
mencapai tujuan harus dijiwai dan didasari
bekerjasama-kebersamaan, untuk
kemajuan bersama. Kebersamaan dan bekerjasama hanya akan dapat diujudkan
manakala terdapat keadilan dan persatuan. Watak kompetisi dan persaingan tidak
dilarang sepanjang searah dengan pengembangan watak dan perilaku bekerjasama
dan kebersamaan tersebut.
Pendidikan nasional beridologi Pancasila memiliki tujuan jangka panjang
mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Untuk
bisa mewujudkan tujuan jangka panjang ini diperlukan pencapaian tujuan antara yakni
lulusan yang memiliki kemampuan puncak atau ekselens dan memiliki semangat untuk
berguna bagi bagi sesama. Dalam konteks manajemen pendidikan, maka gagasan
pendidikan yang beridiologi Pancasila dapat dilihat pada gambar 2.

11

GAMBAR 2: STRUKTUR PENDIDIKAN BERIDIOLOGI
PANCASILA

TUJUAN PENDIDIKAN: Ekselensi dan berguna bagi sesaamanya
PRAKTIK PENDIDIKAN:
Pembelajaran BerbasisKepengasuhan
VISI & STRATEGI:
KualitasYang DiperuntukanBagi Semuanya

CORE NVALUES:
Theo Centris, GotongRoyong,
Keadilan dan Kesetaraan

PANCASILA

Pancasila sebagai idiologi pendidkan, akan memunculkan nilai-nilai pokok dalam
pendidikan. Yakni, theo-centris, gotong royong, keadilan-kesetaraan, dan spiritual
sebagai pendorong tindakan. Nilai-nilai ini menegaskan bahwa kehidupan umat
manusia, termasuk dalam pendidikan memiliki dua elemen penting. Pertama bersifat
transedental, bagaimana seharusnya hidup untuk bisa mencapai kebahagian haikiki,
kebahagian dunia akherat. Pendidikan tidak sekedar untuk pencapaian keduniaan
semata, melainkan jauh masa depan melewati batas-batas kehidupan maya ini, yakni
kebahagian kehidupan di akherat. Segala sesuatu tujuan dan tindakan memiliki
perspektif ini. Kedua, bersifat ke-kini-an horisontal yang bagaimana membangun
hubungan baik dengan sesama dalam kehidupan, termasuk dalam pendidikan. Gotong
royong, bekerjasama, saling tolong menolong dalam kebenaran untuk mewujudkan
keberhasilan bagi semua merupakan salah satu bentuk untuk membangun hubungan
bersifat horisontal ini, di kalangan masyarakat yang memiliki berbagai perbedaan.
Idiologi pendidikan Pancasila akan mengembanghkan visi dan strategi
pembangunan pendidikan yang menekankan mewujudkan keberhasilan bagi semua
tanpa memandang latar belakang budaya, agama, dan sosial ekonomi siswa. Strategi
pendidikan adalah mengembanghkan keadilan dan kesetaraan, yang amat dibutuhkan
agar semua siswa dengan latar belakang apapun juga bisa mencapai prestasi optimal.
Semua warga sekolah, khususnya kepala sekolah dan guru memiliki kesadaran penuh
akan hal ini. Strategi ini dalam pembelajaran akan melahirkan pendidikan yang
12

berorientasi pada individu. Kebutuhan, minat dan bakat siswa mendapatkan perhatian,
sejalan dengan latar belakang yang dimiliki.
Praktik pendidikan pada pendidikan yang beridiologi Pancasila adalah memiliki
suasana kepengasuhan. Yakni, orang yang lebih dewasa khususnya dalam hal ini guru,
merupakan seseorang yang melaksanakan peran ganda. Disatu sisi berperan sebagai
seorang profesional, yang segala tindakannya berdasarkan pengetahuan yang telah
dipelajari dalam tempo yang lama untuk melaksanakan proses pembelajaran. Disisi
yang lain sebagai orang tua, yang senantiasa mencintai anaknya dan berusaha keras
disertai kerelaan berkorban guna keberhasilan anak-anaknya.
Watak kepengasuhan yang dimiliki oleh guru, akan menjadikan guru memiliki
sifat selalu mencerahkan siswa, kapan dan dimanapun. Setiap saat siswa habis
ketemu guru, maka siswa merasa lebih bahagia, lebih semangat belajar, dan lebih yakin
bahwa masa depan aka dapat diujudkan dengan baik. Bukan malah sebaliknya,
manakala habis ketemu guru malah loyo, frustrasi dan tidak lagi semangat untuk
belajar.
TABEL 1: PERBANDINGAN IDIOLOGI PENDIDIKAN
DIMENSI
KONSEP
PENDIDIKAN
CORE VALUES

PEMANGKU
UTAMA
PENGENDALI
UTAMA

NEO-LIBERAL
WELFARE STATE
Barang-jasa konsumsi Pelayanan jasa utk
individu
kemajuan
masyarakat
Kompetisi,
Kebersamaan,
Individualisme,
Hak-hak
asasi,
konsumerisme,
Globalist, Dorongan
Dorongan material
material
Orang tua-Individu
Masyarakat
Internal sekolah- apa Eksternal- apa tujuan
yang diminta orang tua pemerintah

MEKANISME

Tidak puassekolah

MISI UTAMA

Mengembangkan
Mengembangkan
ketrampilan unt bisa siswa
sbg
bekarja
warganegara
yang
baik
Efisiensi
Keadilan-pemerataan Kehidupan
masyarakat
harmonis

STANDARD
KRITERIA

pindah Tidak
puas-ganti
pemerintah
sesuai
dng konstitusi

PANCASILA
Kerjasama
untuk
perkembangan anak
secara optimal
Theocentris,
Gotongroyong
Kesetaraan,
Dorongan spiritual
Orang
tua
dan
masyarakat
Kemauan diri untuk
menjadi orang yang
menfaat
bagi
sesamanya
Ketidakpuasan
menjadi
bahan
refleksi
kearah
perbaikan
Menguasai
iptek
untuk
diabdikan
bagi sesama
yang

13

Tujuan pendidikan yang akan diujudkan lewat proses pembelajaran tdak lain
adalah setiap diri siswa menguasai pengetahuan dan teknologi sesuai dengan standard
yang telah ditentukan dan seiring dengan minat bakat siswa sendiri. Disamping itu,
hasil pendidikan adalah berhasil menanamkan pada setiap diri siswa memiliki semangat
untuk bisa bermanfaat bagi sesamanya. Jadi tujuan pendidikan yang akan diujudkan
bukan sekedar untuk diri sendiri, melainkan harus dirasakan bagi lingkungannya.
Perbandingan diantara ketiga idiologi pendidikan diatas, Neo-Liberal, Negara
Kesejahteraan dan idiologi pendidikan Pancasila, dapat ditampilkan sebagaiamana pada
tabel 1. Perbedaan idiologi pendidikan akan terefleksikan dalam kebijakan dan praktik
pendidikan. Secara ringkas perbedaan idiologi pendidikan dalam kebijakan dan praktik
pendidikan akan muncul sebagai berikut.
Idiologi pendidikan Neo-Liberal mengedepankan nilai-nilai dan keyakinankeyakinan atas kompetisi, individualiisme dan privatisasi.
Difihak lain, idiologi
pendidikan Welfare State mengedepankan nilai-nilai dankeyakinan-keyakinan atas
kerjasama, tanggung jawab bersama, pelayanan umum, dan warga negara yang baik.
Sedangkan,
idiologi pendidikan Pancasila menekankan pada nilai-nilai dan
keyakinan-keyakinan utama seperti theo-centris, gotong royong, manfaat bagi
sesamanya, keadilan-kesetaraan dan holistik. Berbagai perbedaan dari ketiga idiologi
pendidikan akan tercermian pada pengelolaan pendidikan sehari-hari, seperti:
a)kurikulum. b)pembelajaran, c)manajemen, d)pendanaan, dan, e)patriotisme
nasionalisme. Perbedaan tersebut secara umum dapat ditampilkan lewat tabel 2.

14

TABEL 2: IDIOLOGI PENDIDIKAN DALAM PRAKTIK PENDIDIKAN
DIMENSI
PRAKTIK
PENDIDIKAN
Kurikulum

NEO LOIBERAL

WELFARE STATE

Nasional sentralistis

Global

Pembelajaran

Metode
utama
ceramah
dan
pemecahan masalah
Sentralistis
Masyarakat ditopang
pemerintah

Metode
Inkuairi

Nasionalisme

Globalisme

Manajemen
Pendanaan
Patriotisme

Lokal
Pemerintah

PANCASILA

Nasonal, berwajah
lokal
KTSP
utama Metode
utama
Cooperative
teaching & learning
Desentralisasi
Pemerintah
ditopang
masyarakat
Nationalisme, Cinta
Tanah Air

PROSES IDIOLOGISASI DALAM PENDIDIKAN
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan idiologi, nilai-nilai yang terkandung dalam
idiologi pendidikan mesti ditanamkan pada semua pesertadidik, yakni siswa untuk
persekolahan. Tujuan pendidikan idiologi yang mesti diujudkan adalah mengembangkan
pada setiap diri siswa kecintaan kepada tanah air dan negara Indonesia yang
berdasarkan Pancasila, yang diujudkan dengan semangat untuk belajar keras sehingga
memiliki kemampuan yang bisa berguna bagi sesamanya.
Penanaman idiologi pendidikan sangat jamak bersinggungan dengan indoktrinasi.
Pendidikan dan indoktrinasi merupakan dua jalan yang tidak sama, tetapi bahkan
bertentangan. Hal ini tidak bisa dihindarkan karena tidak jarang idiologi mengandung
sesuatu yang irasional tetapi esensial. Essensi idiologi mengandung suatu tindakan
yang mesti dilakukan yang tidak memiliki alasan mengapa sesuatu itu mesti dilakukan.
Dalam pendidikan terdapat tiga fungsi utama idiologi. Yakni: Pertama, sosialisasi, suatu
proses untuk menanamkan nilai-nilai dan perilakupada siswa, sehingga mereka bisa
hidup dan menjalani kehidupan dengan baik di masyarakatnya. Dalam berbagai kajian
sosialisasi memiliki kemiripan dengan pendidikan. Dalam arti, sosialisasi memerlukan
adanya seseorang dewasa yang berfungsi sebagai
guru mengelola kelas dan
mengembangkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan pada siswa. Untuk keperluan ini
setiap guru mesti memiliki otoritas sehingga bisa melaksanakan pembelajaran. Guna
melaksanakan pembelajaran mesti ada materi yang menjadi objek pembelajaran
tersebut. Materi pembelajaran memiliki manfaat, manakala materi tersebut relevan
dengan kebutuhan siswa dan kebutuhan masyarakatnya. Terakhir, setiap sosialisasi
memiliki arah dan tujuan yang akan dicapai, yang bermuara pada pengembangan diri
siswa.

15

Kedua, akulturasi yang merupakan suatu proses untuk mengenalkan dan
menanamkan budaya kepada generasi baru bangsa. Generasi baru dibiasakan dengan
nilai-nilai dan keyakinan keyakinan yang terkandung dalam budaya bangsa yang
diharapkan. Dalam proses akulturasi orang dewasa atau guru berperan sebagai model
yang mencerminkan nilai-nilai dan keyakinan yang dimaksud.
Ketiga, individualisasi sebagai suatu proses untuk menanamkan dan
mengembangkan otonomi dan keotentikan pada diri setiap siswa atau anak. Hal
penting karena masing-masing siswa memiliki karakteristik, minat dan bakat tidak mesti
sama, sehingga setiap siswa
memiliki kepribadian yang unik yang tidak bisa
diseragamkam. Dalam proses individualisasi, seorang dewasa atau guru bertindak
selaku fasilitator dan terapist, dimana dalam melaksanakan kegiatan bersifat permisif
dan arahan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik anak atau siswa. Materimateri yang disampaikan adalah yang dibutuhkan masing-masingsiswa atau anak.
Pembelajaran dilakukan sesuai dengan minat, bakat dan kebutuhan maisng-masing
anak atau siswa. Tujuan dari individualisasi adalah memberikan kesempatan masingmasing anak atau siswa berkembang secara optimal.
Tiga bentuk pendidikan idiologi sebagaimana dikemukakan diatas penting. Karena
memang diantara ketiga konsep tersebut, idiologi, indoktrinasi dan pendidikan memiliki
singgungan yang sulit untuk dinafikan, sekalipun di negara yang mengaku dan merasa
dirinya kampiun demokrasi. Saat ini, di sementara negara bagian di Amerika Serikat,
membahas teori Evolusi Charles Darwin yang menjelaskan bahwa manusia merupakan
bentuk akhir yang berasal dari kera di dalam kelas bisa berujung ke pengadilan.
Demikian pula, di beberapa negara di Eropa seperti di Perancis dan Jerman, seseorang
mengemukakan pendapat bahwa peristiwa Holacust tidak ada, bisa langsung masuk
penjara. Haram membawa persoalan itu ke ruang-ruang kelas. Kalau dipandang dari
sisi berlawanan, berarti terjadi proses indoktrinasi pada siswa tidak boleh berpikir
tentang tidak adanya peristiwa holacust.
Apa itu indoktrinasi? Menurut Merry (2005) suatu proses menanamkan suatu
keyakinan dogmatis kepada para siswa dengan menafikan siswa selaku seeorang yang
memiliki otonomi dan membungkam kemampuan daya nalar ( critical thinking). Dalam
realitas indoktrinasi banyak diaplikasikan untuk
menanamkan pada diri siswa
keyakinan-keyakinan atau prinsip prinsip yang berkaitan dengan prinsip-prinsip
kehidupan bangsa. Sebagai contoh, pada pendidikan di Amerika Serikat, buku-buku
pelajaran senantiasa menyajikan bahwa sistem kapitalisme adalah sistem yang terbaik
nyaris tanpa cela. Sebaliknya, sistem sosialis dan komunis adalah jelek, jahat dan
membahayakan kehidupan umat manusia. Sementara itu, negara-negara sedang
berkembang adalah negara yang masih sangat miskin terbelakang, sehingga
penduduknya terjerat kemiskinan, penyakit dan pengangguran tanpa jaminan bisa
makandan tidak memiliki tempat tinggal tetap. Meskipun demikian, tidak ada
kesempatan bagi siswa untuk menyampaikan argumentasi dan mencoba untuk
membahas misalnya kelemahan-kelemahan sistem kapitalis. Patut juga dicatat,
indoktrinasi sering dikaitkan dengan proses pendidikan moral.
Sebagaimana disinggung diatas, indoktrinasi suatu proses yang tidak menghargai
otonomi individu dan membatasai penggunaan nalar kritis. Jadi, penerimaan sesuatu
16

yang diterima tanpa ada kajian kritis. Apa yang disampaikan langsung saja diterima dan
diyakini kebenarananya. Mungkinkan itu bisa dilaksanakan? Kennedy (1948) dalam
suatu pidato politik menyatakan: “No matter how big the lie; repeat it often enough
and the masses will regard it as truth”. Jadi meskipun sesuatu hal itu salah atau tidak
ada, kalau secara terus menerus disampaikan dalam tempo yang panjang, akhirnya
sesuatu yang salah atau tidak ada, akhirnya akan diterima menjadi sesuatu yang benar
atau sesuatu yangmemangada.
Indoktrinasi adalah suatu proses yang membungkam daya nalar kritis ( critical
thinking) siswa. Akibatnya siswa tidak akan bisa menyimpan dengan baik dogma yang
ditanamkan dan siswa tidak akan menyadari pentingnya aplikasi daya nalar kritis. Jadi,
manakala indoktrinasi tidak dapat dihindarkan, maka daya nalar kritis terpinggirkan.
Muncul pertanyaan bisakah indoktrinasi ditinggalkan. Nampaknya sulit bagi pendidikan
untuk meninggalkan indoktrinasi secara penuh. Sebab, tidak jarang keterbatasan
perkembangan “nalar” tidak memungkinkan meninggalkan indoktrinasi.
Idiologisasi atau pendidikan idiologi mesti menjauhi indoktrinasi. Mengikuti pendapat
Seigel (1998: 85) pendidikan perlu menanamkan idiologi dengan apa yang disebut
“redeemable by reasons.” Artinya, sesuatu yang bersifat dogmatis, tetapi bisa dikaji
secara rasional. Sebagai idiologi terbuka, maka semua gagasan yang terkandung dalam
Pancasila, yang merupakan materi pokok dalam pendidikan idiologi, baik masingmasing sila, maupun nilai-nilai yang dikembangkan idiologi pendidikan seperti, theocentris, gotong royong, keadilan-kesetaraan dan dorongan spiritual,bersifat terbuka
untuk dikaji secara rasional dan didalami dengan nalar kritis. Jadi idiologisasi atau
pendidikan idiologi memanfaatkan kapasitas daya nalar kritis bukan lewat indoktrinasi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Dewey (1971, 9) bahwa pendidikan, intinya adalah
proses berpikir, yang merupakan: “Active, persistent, and careful consideration of any
belief or supposed form of knowledge inthe light of grounds that support it and the
further conclusions to which it tends constitutes reflectivethought” .
Idiologisasi dengan “nalar kritis” (Dogmatic rationalism) amat diperlukan ketika
siswa menghadapi realitas keanekaragaman budaya masyarakat. Dengan daya nalar
siswa akan dapat meningkatkan penghargaan pada fihak lain, percaya diri dan secara
terus menerus meningkatkan kapasitasnya, serta bertindak demokratis. Oleh karena
itu, berpikir kritis bukan tujuan dari suatu proses pendidikan melainkan sarana atau alat
untu mewujudkan tujuan hakiki pendidikan. Dogmatic rationalism berbeda
denganpragmatic rationalism. Yang pertama, cara pandang yang dapat dinilai sebagai
sesuatu yang rasional, sedangkan yang kedua sesuatu sebagai dasar untuk menilai
rasionalitas. Pada dogmatic rasionalism perbedaan antara indoktrinasi dan pendidikan
dapat diketemukan, sedangkan pada pragmatic rasionalism antara pendidikan dan
indoktrinasi tidak dapat dipisahkan.
PENUTUP
Kehidupan suatu bangsa memerlukan landasan idiologi. Tanpa memiliki idiologi
kehidupan suatu bangsa bisa porak poranda, terus menerus ditimpa petaka. Sebagai
suatu bangsa yang memiliki keanekragaman budaya, bangsa Indonesia mesti bisa
menentukan idiologi yang bisa mewadahi berbagai budaya tersebut dan bisa
17

memayungi mereka semua. Maka, tidak lain hanya Pancasila yang bisa menjadi idiologi
negara, termasuk menjadi sumber dari idiologi pendidikan Indonesia. Sementara ini
disebut idiologi pendidikasn Panacasila.
Ke lima sila dalam idiologi pendidikan Pancasila, yang terujud dalam bentuk nilainilai moraldan etika kehidupan, mestidiajarkan di sekolah-sekolah baik melalui
kurikulum diaplikasikan di ruang-ruang kelas maupun sebagai hiddencurriculum lewat
perilaku tindak tanduk guru. Namun, proses penanamanidiologi pada diri setiap siswa
mesti dengan pengembangan daya krtitis siswa sendiri, apabila tidak maka
penanamanidiologi akan menjadi menjadi indoktrinasi dogmatik.
Tugas dan tanggung jawab utama seorang guru bukanlah mengindoktrinasi
melainkan mendidik membantu siswa mengembangkan penguasaan pengetahuan,
ketrampilan, cara berpikir dan karakter yang bisa membuka horison dan cara pandang
yang luas guna membuka bagaimana memahami dunia dan kehidupan ini. Bangsa
Indonesia, sudah tidak perlu tambahan orang-orang yang berpikiir sempit dan fanatik
membabibuta. Melainkan kita perlu lebih banyak lagi orang-orang yang memiliki moral
dan berpikir rasional serta memiliki komitmen untuk bisa memahami dan menilai
moralitas orang lain berdasarkan perspektif fihak lain. Dari sinilah akan muncul
toleransi yang merupakan kerangka kehidupan masa depan yang penuh perdamaian.
Bagaimana melaksanakan itu semua? Bagaimana kita bisa mengembangkan nlainilai moralitas dan etika siswa tanpa melakukan indoktrinasi? Jawabnya jelas, bawa
masuk daya nalar kritis critical thinkingdalam kurikulum dan pembelajaran secara
mendasar baik bagi guru maupun bagi siswa. Membawa etika dan moral ke ruangruang kelas secara edukatif dapat dibenarkan dan sah. Guru dan staf administrasi
mesti berpikir keras dan sungguh-sungguh apa yang mesti mendapat tekanan untuk
dibawa masuk ke sekolah dan apa saja yang mesti dihindarkan. Sensibiilitas moral dan
kemampuan deskriminatif pikir amat diperlukan untuk merancang kurikulum dan
implementasi di ruang-ruang kelas.
Dalam dunia pendidikan, segala sesuatu mesti melewati pengambilam keputusan
yang dilakukan secara kritis mengkaji fakta dengan berbagai konteksnya. Sekalipun
misalnya, menyangkut doktrin agama mesti melewati proses berpikir kritis. Oleh
karena itu pengembangan berpikir kritis merupakan keniscayaan. Dengan demikian
para siswa akan mampu untuk mengambil keputusan secara rasional, sekalipun yang
berkaitan dengan masalah idiologi. Sudah barang tentu bekaitan dengan
pengembangan kemampuan untuk memngambl keputusan berkaitan dengan
masalahidiologi merupakan sesuatu yang tidak mudah karena setiap diri siswa tidak
lepas dari perspektif berbeda yang interest dan minat yang berbeda dengan moralitas
tersebut. Tetapi bagaimanapun sulitnya, pendidikan idiologi dengan mengedepankan
daya nalar kritis bisa dan mesti dilaksanakan.
Yogyakarta, 19 Juni 2014

18

KEPUSTAKAAN
Dewey, John (1971) How We Think (1933; repr.) Chicago: Henry Regnery).
Edi Swasono, Sri (2012) “Budaya Pancasila: Doktrin kebangsaan dan doktrin kerakyatan
dalam perspektif ekonomi dan kesejahteraan social”, dalam Kebudayaan
mendesain masa depan, diedit oleh Sri-Edi Swasono dan Sudartomo Macaryus.
Yogyakarta: UST-Press.
Kenn