PENDAPAT HUKUM KASUS TEROR AFGANISTAN DI
PENDAPAT HUKUM
KASUS TEROR AFGANISTAN DILIHAT DARI ASPEK HUKUM
INTERNASIONAL
[email protected]
Pendahuluan
Pemerintah Indonesia mengutuk serangan bom mobil di Afganistan,
tepatnya yang terjadi di dekat kompleks diplomatik di Kabul pada Rabu,
31 Mei 2017, waktu setempat. Pemerintah, melalui Kementrian Luar
Negeri Republik Indonesia menyampaikan duka cita mendalam terhadap
korban teror tersebut. Ledakan bom terjadi sekitar dua kilometer dari
Kedutaan Besar RI (KBRI Kabul). Hingga siaran pers tersebut dikeluarkan,
sesuai laporan dari KBRI Kabul, tidak ada informasi adannya korban warga
negara Indonesia (WNI) kata juru bicara Kementrian Luar Negeri,
Arrmanatha Nasir, melalui keterangan tertulis, Rabu 31 Mei.Dia
memastikan bahwa KBRI Kabul terus berkomunikasi dengan otoritas di
Afganistan untuk mendapatkan perkembangan informasi. Berdasarkan
data KBRI Kabul, saat ini terdapat 26 orang WNI di Kabul. Gedung KBRI,
menurut Arrmanatha Nasir, terkena dampak serangan bom tersebut. KBRI
mengalami kerusakan ringan, terdapat beberapa jendela yang pecah.
KBRI Kabul pun terus berkomunikasi dengan para WNI diimbau
menghindari wilayah yang dinilai rawan dan terus mengikuti
perkembangan situasi. Kementrian Kesehatan Afganistan mengatakan
sedikitnya 80 orang tewas dan 350 lainnya terluka dalam serangan bom
mobil di Afganistan, tepatnya di kawasan Diplomatik di Ibu Kota Kabul
pada Rabu pagi, 31 Mei 2017. Juru bicara kepolisian Kabul, Basir Mujahid
mengkonfirmasi bahwa pihaknya meyakini bahwa ledakan itu disebabkan
oleh bom bunuh diri berdaya ledak tinggi menggunakan mobil yang
dikerahkan saat jam sibuk. Ledakan besar itu terjadi di dekat Kedutaan
Besar Jerman dan Prancis di alun-alun Zanbaq menciptakan gumpalan
asap tebal ke langit selain menghancurkan jendela dan pintu yang
terlontar hingga ratusan meter. Bom yang merupakan salah satu yang
paling mematikan di Kabul sejauh ini dan datang pada awal bulan Suci
Ramadhan, meledak dekat pintu gerbang kedutaan besar Jerman,
menewaskan seorang satpam dan melukai beberapa staf,ujar Menteri
Luar Negeri Jerman Sigmar Gabriel, seperti yang dilansir pada 31 Mei
2017. Para korban serangan bom mobil di Afganistan itu menurut pejabat
Kementrian Kesehatan Afganistan terutama adalah warga sipil Afganistan.
Selain kedutaan besar Jerman dan kedutaan Perancis, kedutaan Cina juga
rusak dalam tragedi itu, namun tidak ada laporan staf yang mengalami
tanda-tanda cedera. Sejauh ini belum ada pihak yang menyatakan
bertanggung jawab atas serangan bom mobil di Afganistan tersebut.
Omar Zwak, juru bicara kegubernuran Helmand yang memebrikan
keterangan terkait jumlah korban mengatakan,serangan tesebut terjadi di
sebuah pasar di Nawa, sebuah distrik di pusat provinsi itu. Daerah
tersebut telah dilanda pertempuran berat dalam beberapa pekan terkahir,
yang melibatkan pasukan pemerintah melawan gerilyawan Taliban.
Paukan Afganistan mengatakan bahwa mereka telah merebut kembali
distrik Nawa pada Juli lalu, namun sejak saat itu pertempuran masih terus
terjadi. Belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab atas serangan
tersebut dan tidak ada tanggapan segera dari kelompok Taliban, yang
telah beberapa kali melakukan serangan bunuh diri di Helmand, dimana
mereka mengendalikan sebagian besar wilayah di pinggiran ibu kota
provinsi tiu, Laskar Gah. Rumah sakit di Laskar Gah, yang dikelola oleh
kelompok bantuan darurat Italia mengatakan bahwa mereka telah
menerima 10 korban luka-luka. Belum jelas apakah ada korban luka yang
akhirnya meninggal setelah dilarikan ke rumah sakit. Serangan
terjadinnya hanya beberapa hari setelah serangan seorang pelaku bom
bunuh diri di Laskar Gah yang menewaskan setidak-tidaknya tujuh orang
dan melukai 40 lagi. Kelompok Taliban melancarkan sejumlah serangan,
dengan tujuan untuk mengembalikan pemerintahan yang dijalankan
berdasarkan penerapan hukum Islam garis keras di Afganistan dan untuk
mengusir pasukan asing yang mendukung pemerintahan saat ini di Kabul.
Presiden AS Donald Trump pada pekan sebelumnya mengumumkan
peningkatan pengerahan militernya melawan gerilyawan Taliban yang
telah mendapatkan sejumlah kemajuan di Afganistan sejak pasukan
gabungan pimpinan NATO mengakhiri misi tempur utamannya di negara
itu pada 2014. Mengenai aksi terorisme yang lain, juru bicara Kementrian
Luar Negeri Iran, Bahram Qassemi, dalam sebuah pernyataan tertulis
menyatakan, pemerintah Iran mengutuk keras serangan teroris di dua
masid di Afganistan yang menewaskan puluhan orang dan melukai para
jamaah lainnya. Para teroris itu melakukan serangan keji terhadap orangorang tak berdosa di Afganistan kata Qassemi. Pada pernyataannya,
Qassemi juga menyampaikan simpati kepada pemerintah Afganistan dan
turut bela sungkawa kepada keluarga korban serangan. Sedikitnya 72
orang dilaporakan tewas ketika dua pelaku ledakan bom bunuh diri
menghantam masjid ibu kota Kabul dan Provinsi Ghor, Jumat,20 Oktober
2017, petang waktu setempat. ISIS mengaku bertanggung jawab.
Serangan bom di Kabul menyasar masjid Imam Zaman di kawasan Dashte-Barchi, sebelah barat kota. Akibat ledakan tersebut 39 orang tewas dan
45 korban lainnya luka-luka, ujar keterangan dari kantor Kementrian
Dalam Negeri Afganistan. ISIS mengaku bertanggung jawab atas ledakan
tersebut. Sementara itu, ledakan berikutnya menghantam masjid di
Distrik Du Layna. Akibat aksi ini, kata juru bicara kepolisian provinsi, Iqbal
Nizami, sebanyak 33 orang tewas. Fazl Ahmad Khan, komandan pasukan
keamanan setempat, termasuk yang tewas akibat ledakan tersebut.
Hingga saat ini belum ada yang mengaku bertanggung jawab atas insiden
di Ghor. Peristiwa mematikan ini merupakan kejadian paling baru di
Afganistan dalam pekan itu. Taliban, sebelumnya melakukan serangan
besar di sebelah timur Paktia, sebelah timur laut provinsi Ghazni dan
Kandahar, daam beberapa pekan ini mengakibatkan puluhan orang tewas
dan ratusan lainnya luka-luka. ISIS berkali-kali melakukan serangan
mematikan di Afganistan. Sementara itu, Terorisme sebagai salah satu
subjek bukan negara dalam hukum internasional merupakan fenomena
yang sangat kompleks. Sebagai fenomena politik kekerasan, kaitan antara
terorisme dan aksi-aksi teror tidak dapat mudah dirumuskan dengan
mudah. Tindak kekerasan itu dapat dilakukan oleh individu, kelompok,
ataupun negara. Motivasi pelaku dapat bersumber pada alasan-alasan
kriminal maupun politik1 Sasaran atau korban bukan merupakan sasaran
sesungguhnya, tetapi hanya bagian dari taktik intimidasi, koersi, ataupun
propaganda untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Kesamaan tindakan
terorisme terletak pada penggunaan kekerasan secara sistemik untuk
menimbulkan ketakutan yang meluas. Adalah kewajiban negara untuk
mencegah dan memerangi terorisme. Ini didasarkan pada komitmen
nasional dan internasional. Yang sepakat bahwa terorisme mempunyai
jaringan yang luas sehingga merupakan ancaman perdamaian dan
keamanan nasional maupun internasional. Selain itu, perkembangan
teknologi dan globalisasi telah menjadikan ancaman terorisme semakin
serius dan kompleks karena ketersediaan sumber daya dan atau caracara baru. Tidak hanya itu saja, komitmen masyarakat internasional
dalam mencegah dan memberantas terorisme sudah diwujudkan dalam
berbagai konvensi internasional yang menegaskan bahwa terorisme
merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang mengamcam
perdamaian dan keamanan umat manusia sehingga seluruh anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa termasuk Indonesia wajib mendukung dan
melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk dan
menyerukan seluruh anggota PBB untuk mencegah dan memberantas
terorisme melalui pembentukan peraturan perundang-undangan nasional
negaranya. Sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa Internasional
membutuhkan hukum internasional untuk melakukan interaksi dengan
subjek-subjek HI yang lain2
Analisis Aturan Hukum
Apabila dianalisis menurut aturan hukum Indonesia maka perkara
terorisme diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Karena faktanya apabila
didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup
memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme. Sebagai UndangUndang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mengatur
secara materiil dan fomil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari
asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) / Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau
lex specialis lex generalis. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Menjadi Undang-Undang , menimbang bahwasannya :
1. Bahwa dalam mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
Mochtar Kusumaatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internsional, Penerbit
Alumni, Bandung, hlm. 15.
1
Sefriani, 2014, Hukum Internsional; Suatu Pengantar, Penerbit Rajawali Pers,
Jakarta, hlm. 21.
2
2.
3.
4.
5.
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka mutlak diperlukan penegakan hukum dan ketertiban
secara konsisten dan berkesinambungan
Bahwa rangkaian peristiwa pemboman yang terjadi di wilayah
Negara Republik Indonesia telah mengakibatkan hilangnya nyawa
tanpa memandang korban, menimbulkan ketakutan masyarakat
secara luas,dan kerugian harta benda, sehingga menimbulkan
dampak yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan
hubungan internasional;
Bahwa terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi,
dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian
dan keamanan nasional maupun internasional;
Bahwa untuk memulihkan kehidupan masyarakat yang tertib, dan
aman serta untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan
kepastian hukum dalam mengatasi permasalahan yang mendesak
dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, maka dengan
mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundangundangan nasional yang berkaitan dengan terorisme, Presiden
Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang;
Syarat dan Akibat Hukumnya
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
Syarat 1 : Maka dapat kita simpulkan bahwa negara Indonesia
melindungi negara tanah air dan seluruh warga negara indonesia
baik yang berada di dalam maupun di luar negeri. Selain itu negara
kita menginginkan situasi dan kondisi rakyat yang bahagia,
makmur, adil, sentosa, dan lain sebagainya. Di samping itu negara
indonesia turut berperan aktif dalam menjaga perdamaian dunia
untuk kepentingan bersama serta tunduk pada perserikatan
bangsa-bangsa atau disingkat PBB.
Syarat 2 : Adanya tindakan terorisme di Indonesia akan berdampak
kepada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia
secara signifikan. Maka dari itu, adanya pencegahan dan
penanggulangan tindakan terorisme adalah suatu prioritas yang
harus diutamakan. Karena keamanan dan stabilitas suatu negara
merupakan tanggung jawab dari pemerintah negara tersebut.
Syarat 3 : Tindakan terorisme adalah termasuk dalam kejahatan
transnasional atau (transnasional crime) atau kejahatan lintas
negara. Kejahatan lintas negara merupakan pengembangan
karakteristik dari bentuk kejahatan kontemporer yang disebut
sebagai organized crime atau kejahatan terorganisir pada masa
1970an. Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan kompleksitas
yang ada di antara kejahatan terorganisir yang melampaui batas
negara.
Syarat 4 : Saat ini pemerintah diharapkan memperkuat poin
pemulihan korban dalam revisi undang-undang (UU) Terorisme.
Beberapa pihak menilai hak-hak korban terorisme belum terpenuhi.
Dalam beberapa kasus, pemerintah terlihat lebih banyak
memberikan bantuan medis di awal-awal kejadian. Setelah itu,
pemerintah cenderung lepas tangan dengan kondisi korban. Biaya
medis para korban terorisme setelah menjalani perawatan di rumah
sakit
juga masih dipertanyakan. Menurutnya, seharusnya
pemulihan korban secara jangka panjang bisa diatur lebih baik
dalam revisi UU Terorisme. Bantuan sosial juga masih menjadi
harapan bagi banyak korban. Sejauh ini bantuan sosial yang
diberikan kepada korban Terorisme masih minim.
Syarat 5 : Salah satu hal yang mendorong pembentukan undangundang nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme adalah karena sampai saat ini Indonesia belum
memiliki aturan yang terangkum mengenai perbuatan terorisme,
padahal untuk dapat mengatasi dan mencegah suatu tindak pidana
terorisme, dibutuhkan aturan yang secara khusus mengatur tentang
perbuatan terorisme tersebut, sehingga adannya kepastian hukum,
pelaksanaan tugas oleh aparat, baik untuk mengatasi maupun
sebagai upaya pencegahan mempunyai pedoman yang jelas.
Uji Syarat dan Akibat Hukum dengan Menerapkan Aturan Hukum
pada Kasus
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
Syarat 1:Terpenuhi,bahwasannya dalam mewujudkan tujuan
nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka mutlak diperlukan penegakan
hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan.
Syarat 2:Terpenuhi, Bahwa rangkaian peristiwa pemboman yang
terjadi di wilayah Negara Republik Indonesia telah mengakibatkan
hilangnya nyawa tanpa memandang korban, menimbulkan
ketakutan masyarakat secara luas,dan kerugian harta benda,
sehingga menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan
sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional. Secara aspek
hukumnya, peristiwa teror bom yang terjadi di Afganistan
merupakan salah satu contoh kejahatan lintas negara yang juga
meamakan korban warga negara asing yang ada di lokasi kejadian
pada saat itu.
Syarat 3:Terpenuhi,bahwasannya terorisme merupakan kejahatan
lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga
mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun
internasional. Tindakan terorisme merupakan kejahatan terorganisir
yang sudah melintasi batas negara semenjak tahun 1970an.
Syarat 4:Terpenuhi, Bahwa untuk memulihkan kehidupan
masyarakat yang tertib, dan aman serta untuk memberikan
landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi
permasalahan yang mendesak dalam pemberantasan tindak pidana
terorisme, maka dengan mengacu pada konvensi internasional dan
peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan
terorisme, Presiden Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Saat ini
pemerintah diharapkan memperkuat poin pemulihan korban dalam
revisi undang-undang (UU) Terorisme. Beberapa pihak menilai hakhak korban terorisme belum terpenuhi. Dalam beberapa kasus,
pemerintah terlihat lebih banyak memberikan bantuan medis di
awal-awal kejadian. Setelah itu, pemerintah cenderung lepas tangan
dengan kondisi korban. Biaya medis para korban terorisme setelah
menjalani perawatan di rumah sakit juga masih dipertanyakan.
Menurutnya, seharusnya pemulihan korban secara jangka panjang
bisa diatur lebih baik dalam revisi UU Terorisme. Bantuan sosial juga
masih menjadi harapan bagi banyak korban. Sejauh ini bantuan
sosial yang diberikan kepada korban Terorisme masih minim.
Korban tindakan terorisme masih sangat membutuhkan bantuan
baik dari segi materiil maupun non materiil demi menunjang proses
pemulihan trauma yang mereka alami pasca adannya tindakan
terorisme yang terjadi pada mereka.
Syarat 5: Terpenuhi, Maka pemerintah secara resmi mengesahkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Terorisme yang menggantikan undang-undang Nomor 1 Tahun
2002.
Legal Opinion
Fenomena terorisme telah menjadi isu global yang mempunyai efek
cukup signifikan terhadap semua negara di dunia. Jika tidak diselesaikan
secara menyeluruh dalam artian melibatkan semua fihak maka
permasalahan ini tidak akan bisa selesai.
Untuk saran atas permasalahan terorisme ini diperlukan adanya
pelaksanaan mekanime yang sudah ada di dalam piagam PBB sendiri,
yaitu penyelesaian secara damai, pasal 33 yang mengatakan :
“The parties to any dispute, the continuance of which is likely to
endanger the maintenance of international peace and security, shall, first
of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, concilliation,
arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or
arrangements, or other peaceful means of their own choice”
Baik dari negara yang mendukung aksi teroris untuk alasan-alasan
tertentu, maupun negara yang memerangi aksi teroris, harus mempunyai
keinginan untuk melaksanakan ketentuan tersebut diatas.
Keuntungan dari pelaksanaan secara damai atau negoisasi tersebut
adalah :
1. It will establish channels of communication between the parties.
2. The principal supportive states may infuence the refugee group to
refrain from violence while the process is under way.
3. A refugee group in the hope of achieving at least some of their
political objectives may be inclined to exercise self-restraint.
4. The suppressive states, by showing their willingness to negotiate,
may establish their credibility among the international , community,
including some supportive states.
Selain saran diatas, juga diperlukan sebuah konsistensi sikap atas
permasalahan terorisme dalam hukum internasional, sehingga dapat
dihindarkan metode standar ganda guna menjaga perdamaian dan
keamanan dunia.
Ada tiga jenis remedi untuk permasalahan terorisme yang sering
diusulkan oleh para ahli hukum, yaitu
1. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa teroris harus diperlakukan
seperti layaknya kriminal dan hukuman yang ketat harus dijalankan
sesuai dengan ketentuan mengenai terorisme
2. Pendapat lain mengatakan bahwa sebaiknya perjanjian mengenai
ekstradisi diperbanyak dan ketentuan mengenai pengecualian atas
penyerangan atas dasar politis dipersempit atau bahkan dihapuskan
3. Bahwa negara yang mendukung terorisme harus dihukum
Walaupun banyak tersedia berbagai solusi penyelesaian atas
permasalahan terorisme, semua kembali kepada keinginan dari negaranegara di dunia untuk benar-benar mengatasi permasalahan terorisme,
karena kunci akan permasalahan terorisme adalah kesepakatan dan
konsistensi dari negara-negara di dunia untuk menyelesaikannya.3
DAFTAR RUJUKAN
A.Buku
Didi Prasatya , “Eksistensi Mahkamah Pidana Internasional (Internasional
Criminal Court) Dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Terorisme”, Jurnal Ilmu
Hukum Legal Opinion, Vol.1 No.2, 2013, hlm 1-13.
3
Kusumaatmadja,Mochtar.
2003.
Pengantar
Hukum
Internasional.
Bandung: Penerbit
Alumni.
Sefriani.2014.Hukum Internasional; Suatu Pengantar. Depok : Penerbit
Raja Grafindo
Persada.
Riyanto, Sigit. 2013. Ketrampilan Hukum ; Panduan untuk Mahasiswa,
Akademisi, dan
Praktisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
B.Perundang-Undangan
Piagam PBB
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme.
C.Jurnal
Didi Prasatya , “Eksistensi Mahkamah Pidana Internasional (Internasional
Criminal Court) Dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Terorisme”,
Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol.1 No.2, 2013, hlm 1-13.
KASUS TEROR AFGANISTAN DILIHAT DARI ASPEK HUKUM
INTERNASIONAL
[email protected]
Pendahuluan
Pemerintah Indonesia mengutuk serangan bom mobil di Afganistan,
tepatnya yang terjadi di dekat kompleks diplomatik di Kabul pada Rabu,
31 Mei 2017, waktu setempat. Pemerintah, melalui Kementrian Luar
Negeri Republik Indonesia menyampaikan duka cita mendalam terhadap
korban teror tersebut. Ledakan bom terjadi sekitar dua kilometer dari
Kedutaan Besar RI (KBRI Kabul). Hingga siaran pers tersebut dikeluarkan,
sesuai laporan dari KBRI Kabul, tidak ada informasi adannya korban warga
negara Indonesia (WNI) kata juru bicara Kementrian Luar Negeri,
Arrmanatha Nasir, melalui keterangan tertulis, Rabu 31 Mei.Dia
memastikan bahwa KBRI Kabul terus berkomunikasi dengan otoritas di
Afganistan untuk mendapatkan perkembangan informasi. Berdasarkan
data KBRI Kabul, saat ini terdapat 26 orang WNI di Kabul. Gedung KBRI,
menurut Arrmanatha Nasir, terkena dampak serangan bom tersebut. KBRI
mengalami kerusakan ringan, terdapat beberapa jendela yang pecah.
KBRI Kabul pun terus berkomunikasi dengan para WNI diimbau
menghindari wilayah yang dinilai rawan dan terus mengikuti
perkembangan situasi. Kementrian Kesehatan Afganistan mengatakan
sedikitnya 80 orang tewas dan 350 lainnya terluka dalam serangan bom
mobil di Afganistan, tepatnya di kawasan Diplomatik di Ibu Kota Kabul
pada Rabu pagi, 31 Mei 2017. Juru bicara kepolisian Kabul, Basir Mujahid
mengkonfirmasi bahwa pihaknya meyakini bahwa ledakan itu disebabkan
oleh bom bunuh diri berdaya ledak tinggi menggunakan mobil yang
dikerahkan saat jam sibuk. Ledakan besar itu terjadi di dekat Kedutaan
Besar Jerman dan Prancis di alun-alun Zanbaq menciptakan gumpalan
asap tebal ke langit selain menghancurkan jendela dan pintu yang
terlontar hingga ratusan meter. Bom yang merupakan salah satu yang
paling mematikan di Kabul sejauh ini dan datang pada awal bulan Suci
Ramadhan, meledak dekat pintu gerbang kedutaan besar Jerman,
menewaskan seorang satpam dan melukai beberapa staf,ujar Menteri
Luar Negeri Jerman Sigmar Gabriel, seperti yang dilansir pada 31 Mei
2017. Para korban serangan bom mobil di Afganistan itu menurut pejabat
Kementrian Kesehatan Afganistan terutama adalah warga sipil Afganistan.
Selain kedutaan besar Jerman dan kedutaan Perancis, kedutaan Cina juga
rusak dalam tragedi itu, namun tidak ada laporan staf yang mengalami
tanda-tanda cedera. Sejauh ini belum ada pihak yang menyatakan
bertanggung jawab atas serangan bom mobil di Afganistan tersebut.
Omar Zwak, juru bicara kegubernuran Helmand yang memebrikan
keterangan terkait jumlah korban mengatakan,serangan tesebut terjadi di
sebuah pasar di Nawa, sebuah distrik di pusat provinsi itu. Daerah
tersebut telah dilanda pertempuran berat dalam beberapa pekan terkahir,
yang melibatkan pasukan pemerintah melawan gerilyawan Taliban.
Paukan Afganistan mengatakan bahwa mereka telah merebut kembali
distrik Nawa pada Juli lalu, namun sejak saat itu pertempuran masih terus
terjadi. Belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab atas serangan
tersebut dan tidak ada tanggapan segera dari kelompok Taliban, yang
telah beberapa kali melakukan serangan bunuh diri di Helmand, dimana
mereka mengendalikan sebagian besar wilayah di pinggiran ibu kota
provinsi tiu, Laskar Gah. Rumah sakit di Laskar Gah, yang dikelola oleh
kelompok bantuan darurat Italia mengatakan bahwa mereka telah
menerima 10 korban luka-luka. Belum jelas apakah ada korban luka yang
akhirnya meninggal setelah dilarikan ke rumah sakit. Serangan
terjadinnya hanya beberapa hari setelah serangan seorang pelaku bom
bunuh diri di Laskar Gah yang menewaskan setidak-tidaknya tujuh orang
dan melukai 40 lagi. Kelompok Taliban melancarkan sejumlah serangan,
dengan tujuan untuk mengembalikan pemerintahan yang dijalankan
berdasarkan penerapan hukum Islam garis keras di Afganistan dan untuk
mengusir pasukan asing yang mendukung pemerintahan saat ini di Kabul.
Presiden AS Donald Trump pada pekan sebelumnya mengumumkan
peningkatan pengerahan militernya melawan gerilyawan Taliban yang
telah mendapatkan sejumlah kemajuan di Afganistan sejak pasukan
gabungan pimpinan NATO mengakhiri misi tempur utamannya di negara
itu pada 2014. Mengenai aksi terorisme yang lain, juru bicara Kementrian
Luar Negeri Iran, Bahram Qassemi, dalam sebuah pernyataan tertulis
menyatakan, pemerintah Iran mengutuk keras serangan teroris di dua
masid di Afganistan yang menewaskan puluhan orang dan melukai para
jamaah lainnya. Para teroris itu melakukan serangan keji terhadap orangorang tak berdosa di Afganistan kata Qassemi. Pada pernyataannya,
Qassemi juga menyampaikan simpati kepada pemerintah Afganistan dan
turut bela sungkawa kepada keluarga korban serangan. Sedikitnya 72
orang dilaporakan tewas ketika dua pelaku ledakan bom bunuh diri
menghantam masjid ibu kota Kabul dan Provinsi Ghor, Jumat,20 Oktober
2017, petang waktu setempat. ISIS mengaku bertanggung jawab.
Serangan bom di Kabul menyasar masjid Imam Zaman di kawasan Dashte-Barchi, sebelah barat kota. Akibat ledakan tersebut 39 orang tewas dan
45 korban lainnya luka-luka, ujar keterangan dari kantor Kementrian
Dalam Negeri Afganistan. ISIS mengaku bertanggung jawab atas ledakan
tersebut. Sementara itu, ledakan berikutnya menghantam masjid di
Distrik Du Layna. Akibat aksi ini, kata juru bicara kepolisian provinsi, Iqbal
Nizami, sebanyak 33 orang tewas. Fazl Ahmad Khan, komandan pasukan
keamanan setempat, termasuk yang tewas akibat ledakan tersebut.
Hingga saat ini belum ada yang mengaku bertanggung jawab atas insiden
di Ghor. Peristiwa mematikan ini merupakan kejadian paling baru di
Afganistan dalam pekan itu. Taliban, sebelumnya melakukan serangan
besar di sebelah timur Paktia, sebelah timur laut provinsi Ghazni dan
Kandahar, daam beberapa pekan ini mengakibatkan puluhan orang tewas
dan ratusan lainnya luka-luka. ISIS berkali-kali melakukan serangan
mematikan di Afganistan. Sementara itu, Terorisme sebagai salah satu
subjek bukan negara dalam hukum internasional merupakan fenomena
yang sangat kompleks. Sebagai fenomena politik kekerasan, kaitan antara
terorisme dan aksi-aksi teror tidak dapat mudah dirumuskan dengan
mudah. Tindak kekerasan itu dapat dilakukan oleh individu, kelompok,
ataupun negara. Motivasi pelaku dapat bersumber pada alasan-alasan
kriminal maupun politik1 Sasaran atau korban bukan merupakan sasaran
sesungguhnya, tetapi hanya bagian dari taktik intimidasi, koersi, ataupun
propaganda untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Kesamaan tindakan
terorisme terletak pada penggunaan kekerasan secara sistemik untuk
menimbulkan ketakutan yang meluas. Adalah kewajiban negara untuk
mencegah dan memerangi terorisme. Ini didasarkan pada komitmen
nasional dan internasional. Yang sepakat bahwa terorisme mempunyai
jaringan yang luas sehingga merupakan ancaman perdamaian dan
keamanan nasional maupun internasional. Selain itu, perkembangan
teknologi dan globalisasi telah menjadikan ancaman terorisme semakin
serius dan kompleks karena ketersediaan sumber daya dan atau caracara baru. Tidak hanya itu saja, komitmen masyarakat internasional
dalam mencegah dan memberantas terorisme sudah diwujudkan dalam
berbagai konvensi internasional yang menegaskan bahwa terorisme
merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang mengamcam
perdamaian dan keamanan umat manusia sehingga seluruh anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa termasuk Indonesia wajib mendukung dan
melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk dan
menyerukan seluruh anggota PBB untuk mencegah dan memberantas
terorisme melalui pembentukan peraturan perundang-undangan nasional
negaranya. Sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa Internasional
membutuhkan hukum internasional untuk melakukan interaksi dengan
subjek-subjek HI yang lain2
Analisis Aturan Hukum
Apabila dianalisis menurut aturan hukum Indonesia maka perkara
terorisme diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Karena faktanya apabila
didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup
memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme. Sebagai UndangUndang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mengatur
secara materiil dan fomil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari
asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) / Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau
lex specialis lex generalis. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Menjadi Undang-Undang , menimbang bahwasannya :
1. Bahwa dalam mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
Mochtar Kusumaatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internsional, Penerbit
Alumni, Bandung, hlm. 15.
1
Sefriani, 2014, Hukum Internsional; Suatu Pengantar, Penerbit Rajawali Pers,
Jakarta, hlm. 21.
2
2.
3.
4.
5.
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka mutlak diperlukan penegakan hukum dan ketertiban
secara konsisten dan berkesinambungan
Bahwa rangkaian peristiwa pemboman yang terjadi di wilayah
Negara Republik Indonesia telah mengakibatkan hilangnya nyawa
tanpa memandang korban, menimbulkan ketakutan masyarakat
secara luas,dan kerugian harta benda, sehingga menimbulkan
dampak yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan
hubungan internasional;
Bahwa terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi,
dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian
dan keamanan nasional maupun internasional;
Bahwa untuk memulihkan kehidupan masyarakat yang tertib, dan
aman serta untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan
kepastian hukum dalam mengatasi permasalahan yang mendesak
dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, maka dengan
mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundangundangan nasional yang berkaitan dengan terorisme, Presiden
Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang;
Syarat dan Akibat Hukumnya
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
Syarat 1 : Maka dapat kita simpulkan bahwa negara Indonesia
melindungi negara tanah air dan seluruh warga negara indonesia
baik yang berada di dalam maupun di luar negeri. Selain itu negara
kita menginginkan situasi dan kondisi rakyat yang bahagia,
makmur, adil, sentosa, dan lain sebagainya. Di samping itu negara
indonesia turut berperan aktif dalam menjaga perdamaian dunia
untuk kepentingan bersama serta tunduk pada perserikatan
bangsa-bangsa atau disingkat PBB.
Syarat 2 : Adanya tindakan terorisme di Indonesia akan berdampak
kepada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia
secara signifikan. Maka dari itu, adanya pencegahan dan
penanggulangan tindakan terorisme adalah suatu prioritas yang
harus diutamakan. Karena keamanan dan stabilitas suatu negara
merupakan tanggung jawab dari pemerintah negara tersebut.
Syarat 3 : Tindakan terorisme adalah termasuk dalam kejahatan
transnasional atau (transnasional crime) atau kejahatan lintas
negara. Kejahatan lintas negara merupakan pengembangan
karakteristik dari bentuk kejahatan kontemporer yang disebut
sebagai organized crime atau kejahatan terorganisir pada masa
1970an. Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan kompleksitas
yang ada di antara kejahatan terorganisir yang melampaui batas
negara.
Syarat 4 : Saat ini pemerintah diharapkan memperkuat poin
pemulihan korban dalam revisi undang-undang (UU) Terorisme.
Beberapa pihak menilai hak-hak korban terorisme belum terpenuhi.
Dalam beberapa kasus, pemerintah terlihat lebih banyak
memberikan bantuan medis di awal-awal kejadian. Setelah itu,
pemerintah cenderung lepas tangan dengan kondisi korban. Biaya
medis para korban terorisme setelah menjalani perawatan di rumah
sakit
juga masih dipertanyakan. Menurutnya, seharusnya
pemulihan korban secara jangka panjang bisa diatur lebih baik
dalam revisi UU Terorisme. Bantuan sosial juga masih menjadi
harapan bagi banyak korban. Sejauh ini bantuan sosial yang
diberikan kepada korban Terorisme masih minim.
Syarat 5 : Salah satu hal yang mendorong pembentukan undangundang nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme adalah karena sampai saat ini Indonesia belum
memiliki aturan yang terangkum mengenai perbuatan terorisme,
padahal untuk dapat mengatasi dan mencegah suatu tindak pidana
terorisme, dibutuhkan aturan yang secara khusus mengatur tentang
perbuatan terorisme tersebut, sehingga adannya kepastian hukum,
pelaksanaan tugas oleh aparat, baik untuk mengatasi maupun
sebagai upaya pencegahan mempunyai pedoman yang jelas.
Uji Syarat dan Akibat Hukum dengan Menerapkan Aturan Hukum
pada Kasus
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
Syarat 1:Terpenuhi,bahwasannya dalam mewujudkan tujuan
nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka mutlak diperlukan penegakan
hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan.
Syarat 2:Terpenuhi, Bahwa rangkaian peristiwa pemboman yang
terjadi di wilayah Negara Republik Indonesia telah mengakibatkan
hilangnya nyawa tanpa memandang korban, menimbulkan
ketakutan masyarakat secara luas,dan kerugian harta benda,
sehingga menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan
sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional. Secara aspek
hukumnya, peristiwa teror bom yang terjadi di Afganistan
merupakan salah satu contoh kejahatan lintas negara yang juga
meamakan korban warga negara asing yang ada di lokasi kejadian
pada saat itu.
Syarat 3:Terpenuhi,bahwasannya terorisme merupakan kejahatan
lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga
mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun
internasional. Tindakan terorisme merupakan kejahatan terorganisir
yang sudah melintasi batas negara semenjak tahun 1970an.
Syarat 4:Terpenuhi, Bahwa untuk memulihkan kehidupan
masyarakat yang tertib, dan aman serta untuk memberikan
landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi
permasalahan yang mendesak dalam pemberantasan tindak pidana
terorisme, maka dengan mengacu pada konvensi internasional dan
peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan
terorisme, Presiden Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Saat ini
pemerintah diharapkan memperkuat poin pemulihan korban dalam
revisi undang-undang (UU) Terorisme. Beberapa pihak menilai hakhak korban terorisme belum terpenuhi. Dalam beberapa kasus,
pemerintah terlihat lebih banyak memberikan bantuan medis di
awal-awal kejadian. Setelah itu, pemerintah cenderung lepas tangan
dengan kondisi korban. Biaya medis para korban terorisme setelah
menjalani perawatan di rumah sakit juga masih dipertanyakan.
Menurutnya, seharusnya pemulihan korban secara jangka panjang
bisa diatur lebih baik dalam revisi UU Terorisme. Bantuan sosial juga
masih menjadi harapan bagi banyak korban. Sejauh ini bantuan
sosial yang diberikan kepada korban Terorisme masih minim.
Korban tindakan terorisme masih sangat membutuhkan bantuan
baik dari segi materiil maupun non materiil demi menunjang proses
pemulihan trauma yang mereka alami pasca adannya tindakan
terorisme yang terjadi pada mereka.
Syarat 5: Terpenuhi, Maka pemerintah secara resmi mengesahkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Terorisme yang menggantikan undang-undang Nomor 1 Tahun
2002.
Legal Opinion
Fenomena terorisme telah menjadi isu global yang mempunyai efek
cukup signifikan terhadap semua negara di dunia. Jika tidak diselesaikan
secara menyeluruh dalam artian melibatkan semua fihak maka
permasalahan ini tidak akan bisa selesai.
Untuk saran atas permasalahan terorisme ini diperlukan adanya
pelaksanaan mekanime yang sudah ada di dalam piagam PBB sendiri,
yaitu penyelesaian secara damai, pasal 33 yang mengatakan :
“The parties to any dispute, the continuance of which is likely to
endanger the maintenance of international peace and security, shall, first
of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, concilliation,
arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or
arrangements, or other peaceful means of their own choice”
Baik dari negara yang mendukung aksi teroris untuk alasan-alasan
tertentu, maupun negara yang memerangi aksi teroris, harus mempunyai
keinginan untuk melaksanakan ketentuan tersebut diatas.
Keuntungan dari pelaksanaan secara damai atau negoisasi tersebut
adalah :
1. It will establish channels of communication between the parties.
2. The principal supportive states may infuence the refugee group to
refrain from violence while the process is under way.
3. A refugee group in the hope of achieving at least some of their
political objectives may be inclined to exercise self-restraint.
4. The suppressive states, by showing their willingness to negotiate,
may establish their credibility among the international , community,
including some supportive states.
Selain saran diatas, juga diperlukan sebuah konsistensi sikap atas
permasalahan terorisme dalam hukum internasional, sehingga dapat
dihindarkan metode standar ganda guna menjaga perdamaian dan
keamanan dunia.
Ada tiga jenis remedi untuk permasalahan terorisme yang sering
diusulkan oleh para ahli hukum, yaitu
1. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa teroris harus diperlakukan
seperti layaknya kriminal dan hukuman yang ketat harus dijalankan
sesuai dengan ketentuan mengenai terorisme
2. Pendapat lain mengatakan bahwa sebaiknya perjanjian mengenai
ekstradisi diperbanyak dan ketentuan mengenai pengecualian atas
penyerangan atas dasar politis dipersempit atau bahkan dihapuskan
3. Bahwa negara yang mendukung terorisme harus dihukum
Walaupun banyak tersedia berbagai solusi penyelesaian atas
permasalahan terorisme, semua kembali kepada keinginan dari negaranegara di dunia untuk benar-benar mengatasi permasalahan terorisme,
karena kunci akan permasalahan terorisme adalah kesepakatan dan
konsistensi dari negara-negara di dunia untuk menyelesaikannya.3
DAFTAR RUJUKAN
A.Buku
Didi Prasatya , “Eksistensi Mahkamah Pidana Internasional (Internasional
Criminal Court) Dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Terorisme”, Jurnal Ilmu
Hukum Legal Opinion, Vol.1 No.2, 2013, hlm 1-13.
3
Kusumaatmadja,Mochtar.
2003.
Pengantar
Hukum
Internasional.
Bandung: Penerbit
Alumni.
Sefriani.2014.Hukum Internasional; Suatu Pengantar. Depok : Penerbit
Raja Grafindo
Persada.
Riyanto, Sigit. 2013. Ketrampilan Hukum ; Panduan untuk Mahasiswa,
Akademisi, dan
Praktisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
B.Perundang-Undangan
Piagam PBB
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme.
C.Jurnal
Didi Prasatya , “Eksistensi Mahkamah Pidana Internasional (Internasional
Criminal Court) Dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Terorisme”,
Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol.1 No.2, 2013, hlm 1-13.