FAKTA URBAN DI INDONESIA URBAN DI INDONESIA

FAKTA URBAN DI INDONESIA
(Studi Kasus : Pengamatan Elemen Urban Di Kawasan Kota Bukittinggi)

Angra Angreni1

1Mahasiswa

Program Magister, Departemen Arsitektur,
Program Studi Perancangan Perkotaan, Universitas Indonesia
angra04angreni@gmail.com
Pengertian Kawasan
Kawasan adalah sebuah tempat yang mempunyai ciri serta mempunyai kekhususan
untuk menampung kegiatan manusia berdasarkan kebutuhannya dan setiap tempat
yang mempunyai ciri dan identitas itu akan lebih mudah untuk dicari ataupun ditempati
untuk lebih melancarkan segala hal yang berhubungan dengan kegiatannya. Kawasan
merupakan bagian-bagian wilayah yang ada di dalam sebuah Kota. Kawasan ini terbagi
menjadi kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, kawasan industri, kawasan
pemerintahan, kawasan perdagangan, kawasan area hijau, dan kawasan wisata.

Kawasan Wisata Bukittinggi
Kota Bukittinggi adalah salah satu kota di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Gambaran

Umum Kota Bukittinggi biasanya disebut "Kota Jam Gadang" atau Kota Wisata, dengan
luas wilayah sekitar 25.239 Km2 dan terletak ditengah-tengah Kabupaten Agam. Kota ini
pernah menjadi Ibu Kota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia. Kota Bukittinggi semula merupakan pasar (pekan) bagi masyarakat Agam
Tuo. Kemudian setelah kedatangan Belanda, kota tersebut menjadi kubu pertahanan
untuk melawan Kaum Padri. Pada masa pendudukan Jepang, Bukittinggi dijadikan
sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera. Setelah
kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai
kota perjuangan. Kota Bukittinggi sekarang telah tumbuh menjadi Kota Wisata berbasis
budaya, alam, dan sejarah. Potensi yang menunjang pembangunan pariwisata Kota
Bukittinggi adalah kebudayaan dan adat istiadatnya yang unik, keindahan alam, dan
kondisi sosial masyarakatnya yang ramah.

1

Teori Kevin Lynch
Teori ini disimpulkan berdasarkan hasil penelitian Prof. Kevin Lynch yang telah
melakukan sebuah studi terhadap apa yang diserap oleh penduduk secara psikologis
terhadap fisik sebuah kota. Hasil studinya ini disajikan dalam bentuk buku yaitu “The

Image of The City”. Secara garis besar Lynch menemukan dan mengumpulkan ada lima
elemen pokok atau dasar yang oleh orang digunakan untuk membangun gambaran
visual mereka terhadap sebuah kota, yaitu : Path (Jalur), Landmark (Tengaran), Node
(Simpul), District (Kawasan), Edge (Batas). Kelima elemen pokok ini sudah cukup untuk
membuat survey visual yang berguna dari bentuk sebuah kota. Pentingnya elemen ini
terletak pada kenyataan, bahwa orang-orang selalu berfikir tentang bentuk kota atas
dasar kelima elemen pokok ini. Dan atas dasar ini pulalah terletaknya kepribadian dan
ciri khas dari sebuah kota.

Analisa Kawasan Bukittinggi Berdasarkan Teori Kevin Lynch
Path (Jalur)
Path adalah elemen yang paling penting dalam citra kota. Kevin Lynch menemukan
dalam risetnya bahwa jika identitas elemen ini tidak jelas, maka kebanyakan orang
meragukan citra kota secara keseluruhan. Path merupakan jalur sirkulasi yang
digunakan oleh orang untuk melakukan pergerakan. Setiap kota mempunyai jaringan
jalur utama dan jaringan jalur minor. Bentuk path (jalur) di kawasan Kota Bukittinggi
terletak pada jalur jalan dan pedestriannya.

Bangunan pada
kedua sisi jalan


Jalan di Jl. Sudirman

Pedestrian

2

Jalan Sudirman merupakan ruas jalan utama menuju pusat kota. Jalan tersebut adalah
jalan yang mudah dikenali karena merupakan jalan yang situasinya berbeda dengan
jalan-jalan lain, yaitu jalan dengan rumah, bangunan perkantoran, dan bangunan
komersil pada kedua sisinya. Fungsi jalan sebagai ruang publik yang optimal memenuhi
kebutuhan segala aktivitas manusia diantaranya adalah manusia dapat melakukan
aktivitas rutin setiap hari seperti pergi ke sekolah, bekerja, belanja, menunggu angkutan
umum, mengantar pesanan, mengantar surat, dan lain-lain. Selain Jl. Sudirman,
komponen Path yang lainnya yaitu terdapatnya rute-rute sirkulasi yang biasanya
digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara umum, yakni jalan sekunder,
gang-gang utama, dan jalan transit. Sesuai dengan yang dikatakan Lynch, Jl. Sudirman
merupakan jalan dengan identitas yang lebih baik dan memiliki tujuan yang besar
sebagai pengikat dalam suatu kota, serta ada penampakan yang kuat (misalnya fasad,
pohon, signed, dan lain-lain) yang menjadi ciri jalan tersebut, dan ada belokan yang jelas.

Selain jalan, keunikan Kota Bukittinggi yaitu banyaknya elemen jembatan dan jenjang.
Elemen ini menjadi daya tarik tersendiri dari kota ini. Jembatan dan jenjang tersebut
yaitu :
1.

Janjang Saribu yang terletak di Bukit Apit Puhun sebagai sentra pengolahan kopi
bubuk merupakan lintasan jalan kaki menuruni dan menaiki tebing Ngarai Sianok
yang vertikal dan sangat menantang. Diatas Janjang Seribu tersebut terdapat tempat
beristirahat untuk menikmati pemandangan Gunung Merapi dan Gunung
Singgalang. Area sekitarnya sering dimanfaatkan untuk rekreasi dan berkemah.

2.

Janjang Ampek Puluah dibangun pada tahun 1908. Pada mulanya jenjang ini
digunakan sebagai penghubung antara Pasar Atas dengan Pasar Bawah. Selain itu
terdapat Janjang Gudang dan Janjang Pasanggrahan sebagai penghubung antara
jalan utama kota dengan kawasan Pasar Atas.

3.


Janjang Gantuang dibangun tahun 1932 pada masa kolonial Belanda. Jenjang ini
dimaksudkan untuk menghubungkan Pasar Atas dan Pasar Lereng dengan Pasar
Bawah. Sampai saat ini jenjang ini masih tetap terjaga kelestariannya karena
merupakan bangunan bersejarah.

4.

Jembatan Limpapeh diresmikan pada bulan Maret 1992 oleh Menteri Pariwisata,
Pos dan Telekomunikasi. Jembatan ini berfungsi sebagai penghubung antara objek
wisata Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan dengan Benteng Fort De Kock.

3

Landmark (Tengaran)
Merupakan elemen terpenting dari bentuk kota, karena berfungsi untuk membantu
orang dalam mengarahkan diri dari titik orientasi untuk mengenal kota itu sendiri
secara keseluruhannya dan kota-kota lain. Selain itu, Landmark adalah elemen eksternal
dan merupakan bentuk visual yang menonjol dari kota. Kota Bukittinggi memiliki Jam
Gadang sebagai landmarknya. Jam Gadang merupakan sebuah menara jam yang sangat
besar. Jam Gadang terletak di pusat Kota Bukittinggi di kawasan jantung kota Bukittinggi

yang secara administratif berada di jalan Istana Kelurahan Bukit Cangang, Kecamatan
Guguk Panjang, Kota Bukittinggi. Arsitektural bangunan Jam Gadang sangat kental
dengan arsitektural Belandanya. Terlihat dari bentuk tiang-tiang tebal khas gaya Doric,
bentuk jendela dan tangga, dan pola hias bangunannnya. Keunikan tak hanya pada
bangunan menaranya. Jamnya sendiri terbuat dari tembaga dan besi kuningan yang
diproduksi di Jerman dengan nama Brixlion. Mesin jam ini disebut-sebut hanya ada dua
di dunia. Selain di Bukittinggi, kembaran dari mesin jam tersebut saat ini terpasang di
Menara Big Ben di London, Inggris.Ini berarti Jam Gadang merupakan landmark yang
mempunyai identitas yang lebih baik dengan bentuknya yang jelas dan unik dalam
lingkungan Kota Bukittinggi tersebut, fasade yang berbeda dengan fasade bangunan di
sekitarnya, dan ada sekuens landmark (merasa nyaman dalam orientasi).

Jam Gadang

4

Node (Simpul)
Simpul merupakan pertemuan antara beberapa jalan/lorong yang ada di kota, sehingga
membentuk suatu ruang tersendiri. Masing-masing simpul memiliki ciri yang berbeda,
baik bentukan ruangnya maupun pola aktivitas umum yang terjadi. Node merupakan

suatu pusat kegiatan fungsional dimana disini terjadi suatu pusat inti/core region. Node
ini juga juga melayani penduduk di sekitar wilayahnya atau daerah hiterlandnya. Ada
dua titik lokasi yang menjadi node Kota Bukittinggi. Pertama, lokasi sekitar monumen
Jam Gadang yang merupakan salah satu ruang publik di Kota Bukittinggi yang lebih
dikategorikan sebagai alun-alun kota dengan bahan batuan dan semen yang ditanami
beberapa tanaman. Dalam tulisan yang berjudul Social Life of Small Urban Spaces,
William H. Whyte melakukan penelitian dengan memperhatikan pola sosial individu
(pergerakan manusia) di ruang publik (plaza). Beliau memaparkan bahwa ruang publik
yang aktif digunakan adalah ruang publik yang mengutamakan kenyamanan individu.
Selain itu, dengan menambahkan beberapa elemen pendukung juga mempengaruhi
fungsi dan keberadaan ruang publik tersebut.
Ruang publik di kawasan Jam Gadang merupakan taman kota yang bebas didatangi
siapa saja dan kapan saja. Terdapat beberapa elemen pendukung yang melengkapi
taman kota tersebut, diantaranya adalah terdapat kursi taman sebagai tempat duduk
para pengunjung, toilet umum, lampu taman, deretan pedagang makanan, dan dekat
dengan pusat perbelanjaan. Sehingga, sebagai simbol kebanggaan Kota Bukittinggi,
ruang publik (alun-alun kota) kawasan tersebut tidak pernah sepi oleh pengunjung
terutama saat sore hari. Semakin sore pengunjung akan semakin ramai, dan semakin
banyak pedagang yang menggelar dagangannya di sekitar lokasi monumen. Ini artinya,
kawasan tersebut tetap hidup pada malam harinya, karena malamnya akan disinari

lampu dan dijadikan arena bermain dan berkumpul bagi warga Bukittinggi atau
wisatawan. Selain itu, pedestrian di kawasan Jam Gadang juga menjadi daya tarik untuk
tempat berkumpul.

Kawasan Jam Gadang
pada siang hari

Kawasan Jam Gadang
pada malam hari

5

Node yang kedua adalah pasar tradisional Bukittinggi yang terdiri dari Pasar Ateh (pasar
atas) dan Pasar Bawah. Pasar Ateh berada di daerah perbukitan dan Pasar Bawah di
dataran yang lebih rendah. Kedua pasar tersebut berada berdekatan dengan Jam Gadang
yang merupakan pusat keramaian kota.

Pasar Tradisional Bukittinggi

Dengan demikian, kawasan sekitar Jam Gadang dan pasar tradisional Bukittinggi

merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis di mana arah atau terdapat aktivitas
yang saling bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitas lain. Node berupa taman
kota, square (alun-alun), dan pasar. Pada tempat tersebut orang mempunyai perasaan
‘masuk’ dan ‘keluar’ dalam tempat yang sama. Node Kota Bukittinggi mempunyai
identitas yang baik karena tempatnya memiliki bentuk yang jelas (lebih mudah diingat),
dengan tampilan berbeda dari lingkungannya.

District (Kawasan)
Kawasan merupakan suatu daerah/bagian kota yang memiliki ciri-ciri yang hampir
sama dan memberikan citra yang sama. Sebuah district (kawasan) memiliki ciri khas
yang mirip (bentuk, pola, dan wujudnya) dan khas pula dalam batasnya, di mana orang
merasa harus mengakhiri atau memulainya. Kawasan Kota Bukittinggi dikategorikan
menjadi dua. Pertama, berdasarkan fungsi kawasan Kota Bukittinggi dikategorikan
sebagai kawasan wisata, yang terdiri dari wisata alam, wisata budaya, wisata kuliner,
dan tempat perbelanjaan. Kedua, berdasarkan letak kawasan Kota Bukittinggi adalah
sebuah kota yang berada di utara Propinsi Sumatera Barat. Seluruh wilayah kota ini
berbatasan langsung dengan Kabupaten Agam yang merupakan salah satu cikal bakal
6

pembagian wilayah kabupaten di suku Minangkabau (Sumatera Barat). Dulunya,

Minangkabau hanya terdiri dari Tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Lima Puluh Kota,
Kabupaten Tanah Datar, dan Kabupaten Agam.
Distrik yang ada di pusat kota berupa daerah komersial yang didominasi oleh kegiatan
ekonomi dan berdekatan dengan daerah pusat pemerintahan. Daerah tersebut
merupakan pusat kegiatan yang dinamis, hidup dan gejala spesialisasinya semakin
ketara. Daerah ini selain merupakan tempat utama dari perdagangan, juga terdapat
tempat wisata, hiburan-hiburan, dan lapangan pekerjaan. Hal ini ditunjang oleh adanya
sentralisasi sistem transportasi dan sebagian penduduk kota masih tinggal pada bagian
dalam kota-kotanya (innersections). Untuk daerah-daerah yang berbatasan dengan
distrik pusat kota, terdapat tempat-tempat yang agak longgar dan banyak digunakan
untuk kegiatan ekonomi berupa daerah-daerah pertokoan untuk golongan ekonomi
rendah dan sebagian lain digunakan untuk tempat tinggal.
Dengan demikian, district Kota Bukittinggi menjadi identitas yang baik dengan batasnya
dibentuk dengan pola yang jelas pada tampilannya dan dapat dilihat homogeny, serta
fungsi dan posisinya jelas (introver/ekstrover atau berdiri sendiri atau dikaitkan
dengan yang lain).

Edge (Batas)
Merupakan batas, dapat berupa suatu desain, jalan, sungai, gunung. Edge memiliki
identitas yang kuat karena tampak visualnya yang jelas. Edge merupakan penghalang

walaupun kadang-kadang ada tempat untuk masuk yang merupakan pengakhiran dari
sebuah district atau batasan sebuah district dengan yang lainnya.
Kota Bukittinggi merupakan daerah yang terletak di dataran tinggi, sehingga dikelilingi
oleh ngarai (lembah). Ngarai Sianok adalah sebuah lembah curam (jurang) yang terletak
di perbatasan Kota Bukittinggi dan dibawahnya mengalir sebuah anak sungai yang
berliku-liku menelusuri celah-celah tebing dengan latar belakang Gunung Merapi dan
Gunung Singgalang. Lembah ini memanjang dan berkelok sebagai garis batas kota dari
selatan ngarai Koto Gadang sampai di Ngarai Sianok Enam Suku, dan berakhir sampai
Palupuah. Ngarai Sianok memiliki pemandangan yang indah dan menjadi salah satu
objek wisata utama provinsi. Selain ngarai, daerah perbatasan Kota Bukittinggi terdiri
dari lahan tidak terbangun dan fisik bangunan yang semakin rendah yang terdapat pada
perkampungan penduduk.

7

Lahan Tidak Terbangun

Perkampungan Penduduk
dan Gunung yang
Mengelilinginya

Ngarai Sianok

Dari gambaran di atas, edge Kota Bukittinggi berupa ngarai, lahan kosong, dan
perkampungan penduduk sudah berhasil menjadi elemen penghalang dan pengakhiran
dari sebuah kawasan Kota Bukittinggi tersebut dengan kawasan lain. Meskipun sebagai
penghalang dan pengakhiran, namun edge tersebut tetap menjadi fungsi batas yang
jelas, yaitu membagi atau menyatukan antara dua kawasan yang berbatasan. Kota
Bukittinggi sebagai pusat perekonomian, wisata, dan pemerintahan dan perkampungan
sebagai pemukiman penduduk, keduanya memiliki identitas masing-masing tetapi
saling berkaitan. Sebagai contoh adalah roda perekonomian perkampungan penduduk
yang ada di perbatasan Kota Bukittinggi saling mempengaruhi dengan kondisi
perekonomian di kota. Edges Kota Bukittinggi terbentuk karena pengaruh dari fasade
bangunan, fungsi lahan, kondisi alam, dan karakteristik fungsi kawasan.

Dari analisa yang telah dilakukan tentang kawasan Kota Bukittinggi berdasarkan teori
Kevin Lynch, maka di kawasan Kota Bukittinggi memiliki kelima elemen teori Kevin
Lynch. Sehingga dapat dikatakan bahwa kawasan Kota Bukittinggi telah memiliki
kepribadian dan citra kota yang kuat yang terbentuk dari kualitas lingkungan fisik yang
ada di kawasan tersebut sehingga menciptakan kawasan yang unik, khas, dan menarik
perhatian. Kemudian, mempermudah seseorang untuk mengakses dan mengingat
kawasan tersebut.

Analisa Kawasan Bukittinggi Berdasarkan Teori Jane Jacob
Jane Jacob memaparkan untuk membangkitan sebuah kota, perlu adanya keberagaman
pada beberapa kondisi, yaitu : (1) Keberagaman pada jenis aktivitas/fungsi utama di
suatu kawasan. (2) Jarak tempuh yang cenderung pendek dan jalan-jalan terdapat
peluang untuk mengubah sudut (belokan) harus sering. (3) Keberagaman usia
bangunan, perubahan fungsi bangunan saat dulu dan sekarang, dan keberagaman user
8

(konsumen) bangunan tersebut. (4) Adanya kepadatan penduduk yang akan menunjang
perekonomian kawasan.
Perkembangan penduduk Kota Bukittinggi tidak terlepas dari berubahnya peran kota ini
menjadi pusat perdagangan di dataran tinggi Minangkabau. Akan tetapi, perdagangan
bukan menjadi satu-satunya aspek penggerak di kota tersebut. Karena, perkembangan
Kota Bukittinggi didukung oleh aspek lainnya, seperti : pusat pemerintahan, bisnis,
pariwisata, transportasi, dan pendidikan. Dilihat dari segi sosial kemasyarakatan,
Bukitinggi berperan dalam urusan pemerintahan skala regional, nasional, dan
internasional. Di kota tersebut sering diadakan rapat-rapat kerja Pemerintah,
pertemuan-pertemuan ilmiah, kongres-kongres oleh organisasi kemasyarakatan dan
lain sebagainya. Itu berarti aktivitas pemerintahan berperan penting untuk kemajuan
kota. Selanjutnya, kegiatan perekonomian (misalnya pertokoan) dan berbagai macam
kegiatan bisnis (misalnya : bisnis properti, kerajinan, dan lain-lain) juga menjadi pemicu
perkembangan kawasan. Untuk mengurangi penumpukan pada satu lokasi, pemerintah
Bukittinggi juga mengembangkan kawasan perkotaan ke arah timur dengan
membangun Pasar Aur Kuning, yang saat ini merupakan salah satu pusat perdagangan
grosir terbesar di Pulau Sumatera. Jadi, sektor perdagangan merupakan salah satu
generator dalam meningkatkan pendapatan penduduknya. Dari segi transportasi, Kota
Bukittinggi berada pada posisi strategis Jalur Lintas Sumatera, yang menghubungkan
Padang, Medan, dan Palembang, serta berada di antara Padang dan Pekanbaru. Aktivitas
pendidikan/pelatihan salah satunya adalah beberapa program dalam mengentaskan
kemiskinan, yaitu pelatihan keterampilan membordir dan pelatihan pembuatan kebaya,
guna menumbuhkan wirausaha baru. Kemudian, Kota Bukittinggi sebagai kota dengan
fungsi pariwisata yang beragam (wisata berbasis budaya, alam, dan sejarah) jelas
menjadi salah satu faktor utama penggerak perkembangan kawasan.
Di Kota Bukittinggi jarak antara fungsi bangunan yang satu dengan yang lainnya atau
jarak tempuh antara jenis kegiatan/aktivitas yang satu dengan yang lainnya tidak
cenderung dekat. Akan tetapi, perkembangan dan kemajuan kawasan tetap berjalan.
Jadi, jarak tempuh dan jarak block bangunan yang relatif pendek seperti yang dikatakan
oleh Jane Jacob, tidak mempengaruhi secara signifikan kebangkitan Kota Bukittinggi. Hal
tersebut dikarenakan kondisi jalan dan pedestrian sebagai ruang gerak manusia
cenderung aman dan nyaman, sehingga tidak mengalami kesulitan untuk keperluan
berbagai aktivitas.

9

Keberagaman usia bangunan dan perubahan fungsi bangunan saat dulu dan sekarang
memang menjadi generator keberlangsungan Kota Bukittinggi. Beberapa benda cagar
budaya dan bangunan cagar budaya di tengah kota memiliki nilai penting bagi kawasan.
Misalnya menara Jam Gadang yang dulunya dibangun untuk mengintai gerak-gerik
pengikut Imam Bonjol semasa Perang Paderi kini berubah fungsi menjadi landmark kota
dan menjadi salah satu tempat tujuan wisata sejarah karena di dalamnya menyimpan
benda-benda peninggalan sejarah. Itu berarti kawasan Jam Gadang dapat memberikan
efek positif terhadap roda perekonomian masyarakat Bukittinggi pada khususnya.
Contoh lain adalah Lobang Jepang yang merupakan tempat pertahanan para prajurit
Jepang dahulunya sekarang menjadi tempat objek wisata yang dapat dinikmati oleh
siapa saja. Fort de Kock adalah benteng peninggalan Belanda yang berdiri di Kota
Bukittinggi tepatnya di 1 Km dari pusat Kota Bukittinggi sekarang menjadi sebuah
taman dengan banyak pepohonan rindang dan mainan anak-anak. Selain peninggalan
sejarah tersebut, di kawasan Kota Bukittinggi juga terdapat bangunan-bangunan
modern (baru), seperti supermarket sebagai tempat perbelanjaan modern, bangunan
hotel, bangunan perkantoran, dan lain-lain. Terdapat juga pasar tradisional dan deretan
pertokoan-pertokoan kecil di sepanjang jalan utama kota. Bangunan-bangunan tersebut
digunakan oleh masyarakat dari berbagai kalangan dan berbagai kepentingan.
Kondisi keempat yang dipaparkan Jane Jacob yaitu mengenai kepadatan penduduk yang
akan menunjang perekonomian kawasan. Saat ini Bukittingi merupakan kota terpadat di
Provinsi Sumatera Barat, dengan tingkat kepadatan mencapai 4.400 jiwa/km². Jumlah
angkatan kerja sebanyak 52.631 orang dan sekitar 3.845 orang di antaranya merupakan
pengangguran. Itu berarti jumlah angkatan kerja ada sekitar 93%. Tingkat konsumsi
orang yang bekerja lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak bekerja. Hal itu
akan berpengaruh pada kemajuan ekonomi kawasan. Ditambah lagi dengan berbagai
daya tarik Kota Bukittinggi menjadi pemicu pemusatan konsentrasi manusia pada
kawasan pada waktu-waktu tertentu, misalnya di saat hari libur, hari lebaran, dan
peringatan tahun baru.

Analisa Kawasan Bukittinggi Berdasarkan Teori Paul D. Spreiregen
Dalam bacaan Making A Visual Survey, Paul D. Spreiregen menjelaskan elemen-elemen
yang digunakan dalam melakukan peninjauan (survey) ketika melihat suatu kota.
Elemen tersebut juga dapat digunakan oleh perancang kota dalam mempertimbangkan
design atau redesign kota. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kevin Lynch
10

membagi lima elemen yang membentuk image sebuah kota, yaitu : path, landmark, node,
district, dan edge. Selain elemen yang lima itu, Paul D. Spreiregen menambahkan
elemen-elemen lain yang perlu diamati oleh urban designer.

Topography
Merupakan gambaran tentang tingkat kemiringan dan ketinggian tanah dari permukaan
laut. Kondisi kemiringan tanah merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
kesesuaian lahan terhadap pembentukan massa bangunan di lokasi tersebut. Survey
topografi adalah suatu metode untuk menentukan posisi tanda-tanda (features) buatan
manusia maupun alamiah di atas permukaan tanah. Survei topografi juga digunakan
untuk menentukan konfigurasi medan (terrain). Kota Bukittinggi memiliki topografi
berbukit-bukit dan berlembah, beberapa bukit tersebut tersebar dalam wilayah
perkotaan. Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur
sepanjang pulau Sumatera, dan dikelilingi oleh dua gunung berapi yaitu Gunung
Singgalang dan Gunung Marapi. Kota ini berada pada ketinggian 909–941 m DPL, dan
memiliki hawa cukup sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1–24.9 °C. Sementara itu,
dari total luas wilayah Kota Bukittinggi saat ini (25,24 km²), 82,8% telah diperuntukkan
menjadi lahan budidaya, sedangkan sisanya merupakan hutan lindung. Terdapat lembah
yang dikenal dengan Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75–110 m,
yang di dasarnya mengalir sebuah sungai.
Dengan kondisi alam yang demikian, fitur-fitur landscape kawasan menjadi ciri khas
tersendiri yang membuat perancangan Kota Bukittinggi berbeda dengan kota lain di
Sumatera Barat. Sehingga sensibilitas orang terhadap kota juga tinggi. Perancangan
kawasan berorientasi ke alam yang dipengaruhi juga oleh konsep-konsep Islam tentang
ruang dan waktu, serta konsep adat dan budaya yang sangat kental. Ditumbuhi dengan
beraneka ragam tanaman, seperti yang terlihat di tepi kiri kanan jalan maupun ruangruang terbuka kota. Pada umumnya, suatu lingkungan ruang terbuka, dirancang dengan
menggunakan kaidah-kaidah estetika dan memakai pola-pola geometris-simetris yang
jelas, sehingga dapat membangkitkan kesan tertentu dalam benak seseorang. Bangunan,
lahan, dan alamnya merupakan satu kesatuan desain. Terdapat masalah paling kritis
dalam perancangan perletakkan bangunan pada tapak yang topografinya miring, serta
pada puncak bukit yang secara visual mandiri. Daya dukung tanah di wilayah berbukit
dan curam relatif kurang stabil dan dapat menimbulkan longsor. Sehingga sebagai solusi
desainnya adalah berupa cara yang alami, yaitu dengan menggabungkan bangunan segi
11

empat terhadap tapak yang tidak teratur biasanya berdiri tegak lurus satu sama lain.
Pada tapak yang memiliki perbedaan ketinggian atau topografi miring, pengelompokan
bangunan cenderung ditempatkan secara informal sesuai dengan kondisi konturnya.

Pengelompokan Bangunan

Ketika lereng bukit ditutupi oleh bangunan yang rapat dari dasar permukaan tanah
sampai ke puncak maka bentuk lansekap yang asli terlihat tetap bertahan. Namun jika
keseluruhan didominasi oleh satu bangunan yang besar, bentuk lansekap akan
mengalami perubahan besar. Permukiman yang diapit oleh gunung adalah suatu contoh
yang baik dari suatu bentuk lansekap yang dikembangkan di Bukittinggi ini, dimana
kondisi topografi yang asli tidak dirusak oleh pengembangan yang terjadi di sekitar
kawasan tersebut. Kasus ini merupakan contoh ‘grand gesture’.

Permukiman di kaki gunung

Microclimate
Pada umumnya di kota Bukittinggi banyak turun hujan, rata-rata 2,381 milimeter per
tahun dengan jumlah hujan rata-rata 193 hari per tahun dan kelembaban hawa berkisar
antara 82,0% - 90,8%. Oleh karena itu daerah ini beriklim sedang, berhawa sejuk
dengan suhu udara 17-24⁰C. Bulan-bulan dengan curah hujan tertinggi terjadi pada

Oktober sampai Desember, curah hujan bulanan terbesar 400 mm, sedangkan curah
hujan terendah terjadi pada bulan Juni dan Juli dengan curah hujan terendah bulanan 50
mm. Perubahan unsur-unsur lingkungan dari yang alami menjadi unsur buatan
menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik iklim mikro. Oleh karena itu,
12

perubahan-perubahan tersebut sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam
perancangan dan perencanaan kota. Saat ini, lebih dari 50% penduduk yang ada di
Indonesia tinggal di kawasan perkotaan. Dampaknya timbul isu semakin menurunnya
kondisi lingkungan perkotaan seperti : Pemanasan Global, Perubahan Iklim, Penurunan
Daya Lingkungan, Kepadatan Kawasan Perkotaan. Salah satu respon untuk menjawab
isu-isu tersebut adalah dengan konsep Kota Hijau yang diterapkan di Kota Bukittinggi.
30% dari wilayah kota berwujud Ruang Terbuka Hijau, terdiri dari RTH Publik 20% dan
RTH Privat 10%. Pengalokasian 30 % RTH ini ditetapkan dalam Peraturan Daerah
(Perda) tentang RTRW Kota. Jadi, perlu diwujudkan suatu pengembangan kawasan
perkotaan yang mengharmonisasikan lingkungan alamiah dan lingkungan buatan untuk
keberlangsungan tata kehidupan kota.

Shape
Berdasarkan daerah terbangunnya, bentuk Kota Bukittinggi mencerminkan pola
konsentrik, hal tersebut dipengaruhi oleh letak kota. Ngarai Sianok membatasi
perkembangan kota ke arah Barat dan sebagian arah utara. Sistem jaringan regional
yang melintasi Kota Bukittinggi ikut membentuk pola ruang kota. Kota Bukittinggi
merupakan titik pertemuan antara jalan Bukittinggi-Medan, Bukittinggi-Pekan Baru,
Bukittinggi-Jambi dan Bukittinggi-Lubuk Basung. Jalan utama kota yaitu Jl. Veteran ke
arah Utara dan Jl. Sudirman ke arah Selatan yang berpotongan di pusat kota (Bappeda
Kota Bukittinggi, 2003). Struktur ruang Kota Bukittinggi eksisting sebagian besar
terbentuk dari kegiatan-kegiatan yang bersifat perkotaan dan sebagian kecil bersifat
perdesaan yang merupakan lahan-lahan pertanian serta kegiatan kepariwisataan dan
jaringan jalan kota. Kegiatan perkotaan yang mempunyai jangkauan pelayanan wilayah
(regional) berupa fasilitas perdagangan, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan dan
fasilitas perkantoran/pemerintahan, sedangkan kegiatan-kegiatan kepariwisataan di
Kota Bukittinggi memiliki tingkat pelayanan internasional, nasional maupun regional
antara lain berupa fasilitas akomodasi (hotel berbintang), gedung konferensi, pelayanan
jasa kepariwisataan yang mengkaitkan objek-objek wisata baik yang berada di dalam
kota ataupun yang terletak di luar kota dan daerah lain di provinsi Sumatera Barat. Dari
pengamatan fisik dapat diindikasikan struktur ruang kota dalam kategori komponen
kegiatan fungsional kota (Bappeda Kota Bukittinggi, 2003), yaitu terdiri dari :
1. Kawasan Pusat kota yang merupakan konsentrasi kegiatan perdagangan jasa,
pemerintahan dan perkantoran, pelayanan kegiatan sosial dan pariwisata dengan
13

lingkup pelayanan nasional, regional wilayah kota dan daerah pinggiran. Kegiatan
ini berada di Kelurahan Benteng Pasar Atas, Aur Tajungkang Tengah Sawah, Kayu
Kubu, Bukit Cangang Kayu Ramang, Tarok Dipo, Belakang Balok, Birugo serta Aur
Kuning.
2. Kawasan pariwisata dan kegiatan pendukungnya yaitu sepanjang Ngarai Sianok,
dari Panorama Lama sampai ke Panorama Baru dan Benteng.
3. Kawasan perumahan yang menyebar dengan intensitas yang semakin tinggi ke arah
pusat kota. Bagian timur dan tenggara kota merupakan daerah perkembangan
permukiman yang antara lain di Kelurahan Birugo, Aur Kuning, Kubu Tanjung,
Ladang Cakiah, Parit Antang,dan Koto Selayan.
4. Kawasan Pertanian yang berkembang pada kawasan timur dan tenggara kota yang
besaran lahannya semakin menyusut karena beralih fungsi menjadi lahan
permukiman.

Pattern, Texture, and Grain
Perkembangan pola ruang Kota Bukittinggi berkembang dari nagari yang ada di
Minangkabau (Sumatera Barat), dimana pada awal mulanya Nagari Minangkabau
terbentuk dari grain bangunan yang kecil-kecil, dengan texture tidak beraturan tetapi
membentuk pola konsentris, dan terdapat banyaknya open space. Selanjutnya,
perkembangan Kota Bukittinggi ke dalam bentuk kota yang sekarang, tidak terlepas dari
latar belakang sejarah yang telah dilalui, yaitu Bukittinggi masa nagari (pra kolonial),
masa intervensi pihak asing (kolonial) dan masa kemerdekaan atau pembangunan
berencana (pasca kolonial). Perkembangan fisik-spasial yang ada di setiap periode
waktu perkembangannya memberikan pengaruh terhadap pembentukan ruang Kota
Bukittinggi. Dalam melihat perkembangan kota Bukittinggi, pada masa lampau sampai
sekarang, bisa dengan melakukan kajian sejarah/historical reading dan mengkaji
artikulasi spasial atau cara terbentuknya ruang dan bagaimana ruang tersebut
digunakan sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan seperti kebiasaan dan kegiatan
(konsep seting dari ruang kota). Perkembangan pola ruang Kota Bukittinggi, dari koto
jolang ke Kotamadya, menunjukkan suatu proses perkembangan ruang kota yang
tumbuh dan berkembang dari suatu akar budaya, yaitu adat Minangkabau yang
tercermin dalam proses atau tahapan pembentukan ruang kota dan perkembangan
elemen-elemen ruang nagari. Perkembangan dari elemen-elemen ruang kota yang
mendukung fungsi-fungsi utama ruang kota Bukittinggi, menunjukkan adanya elemen14

elemen ruang kota yang selalu ada atau tetap dalam setiap periode perkembangan ruang
Kota Bukittinggi. Terdapat dalam setiap periode perkembangannya membentuk pusat
atau titik-titik pertumbuhan yang berkembang membentuk pusat-pusat kegiatan
dengan perkembangan fisik-spasial yang pesat, sehingga terbentuknya kawasankawasan dominan.
Spreiregen mengatakan bahwa dengan membedakan pola, butiran, dan susunan
pembentuk ruang kota dapat dijadikan sebagai acuan untuk membuat suatu keputusan
bagaimana treatment bentuk kota. Pola perkembangan ruang Kota Bukittinggi
dipengaruhi oleh jarak terhadap perubahan penggunaan ruang atau perubahan tingkat
urban berdasarkan rasio penggunaan lahan. Artinya, semakin menurunnya pengaruh
jarak dari pusat ke wilayah sekitarnya terhadap penggunaan ruang mengindikasikan
adanya peubah lain yang berperan dalam mempengaruhi penggunaan ruang dari pusat
wilayah ke wilayah sekitarnya. Salah satu peubah yang mungkin mempengaruhi
penggunaan ruang adaiah keberadaan fasilitas untuk mengakomodasi aktivitas
penduduk pada suatu wilayah. Hal ini dibuktikan dengan jumlah fasilitas publik yang
tidak dipengaruhi oleh jarak dari pusat wilayah.
Menurut data dari pemerintah Kota Bukittinggi, pada tahun 2032 jumlah penduduk Kota
Bukittinggi diproyeksikan akan berjumJah 250.129 jiwa. Jika pemenuhan kebutuhan
ruang pada tahun 2032 dilakukan dengan konversi lahan pertanian, lahan pertanian
akan tersisa seluas 34.43 Ha (1.36%). Pada tahun 2032, keseluruhan ruang Kota
Bukittinggi akan menjadi ruang terbangun, dan bahkan lahan konservasi akan
diintervensi oleh aktivitas masyarakat dan tidak tertutup kemungkinan akan berubah
menjadi ruang terbangun juga. Untuk mengatasi perkembangan yang cenderung tidak
terkendali tersebut, perlu upaya yang menitikberatkan pada vitalitas dan stabilitas
ekonomi, integrasi antar ruang, kuantitas dan kualitas prasarana dan sarana lingkungan,
serta konservasi aset warisan budaya.

Vista and Skyline
Garis langit merupakan bagian yang utama dalam dekorasi suatu kawasan perkotaan.
Garis langit merupakan penghubung yang menggunakan deretan bangunan ataupun
deretan pohon yang memiliki rupa masif, dimana garis langit dapat dihadirkan dengan
suatu batasan yang berbeda. Garis langit dapat dinikmati dari jauh bergantung pada
skala menara dan bangunan yang besar yang mendominasi di antara bangunanbangunan dengan skala kecil dan umumnya rendah yang secara visual monolitis. Efek
15

dekorasi utama bangunan seperti itu adalah bentuk profil bangunan-bangunan tersebut.
Bangunan yang menonjolkan dirinya sendiri sehingga tampak berbeda dari massa
bangunan sekitarnya, harus mempunyai siluet yang menarik. Di masa lalu, bangunan
dengan bentuk kubah dan menara telah menjadi fitur dekorasi utama dari garis langit
kota tradisional. Garis atap yang detail merupakan garis besar bangunan jika dilihat dari
jalur pejalan kaki di dalam kota. Garis atap menyajikan perubahan profil dari kota
sebagaimana warga kota melihatnya sambil bergerak di sekitarnya. Garis atap
bangunan-bangunan harus dirancang dekoratif sehingga memberikan daya tarik pada
pemandangan jalan.

Pengembangan pola bukit dan lembah

Pengembangan pola “bukit dan lembah” merupakan konsep yang menampilkan
pendekatan pemecahan perancangan yang cenderung menampilkan efek bukit dan

lembah. Bangunan bertingkat tinggi dengan massa bangunan yang lebih besar terletak
di bukit sehingga kualitas pemandangan yang didapat lebih banyak dan bangunan
bertingkat rendah terletak di lembah.
Garis atap berpengaruh pada skenario garis langit pada suatu kawasan, sehingga garis
langit kota dapat berperan sebagai ornamen penting pada suatu kawasan. Bangunan
pada kawasan yang dekat ke pusat kota merupakan kawasan yang penting untuk
dirancang garis langitnya, karena jalan tersebut berpotensi untuk memiliki intensitas
pembangunan yang terus meningkat. Saat ini tampak pada jalan tersebut ketinggian
bangunan-bangunan dan bentuk atap tidak teratur sehingga menggambarkan suatu
garis langit yang tidak memiliki skenario.

16

Garis atap bangunan-bangunan pada bagian pusat
kota menggambarkan tidak jelasnya peraturan
mengenai ketinggian bangunan

Panduan garis atap sebaiknya dibuat berdasarkan konteks kawasan tersebut.
Merancang panduan untuk kawasan yang berperan dalam perkembangan sejarah suatu
kota akan berbeda dengan kawasan yang sengaja untuk dirancang sebagai kota baru.

17

DAFTAR PUSTAKA
Abdulla, Taufik., Schools and Politics : The Kaum Muda Movement in West Sumatra (19271933), Equinox Publishing, 2009.
Cliff Moughtin, Taner OC, dan Steven Tiesdel., Urban Design – Ornamen And Decoration,
Britain : Butter worth Architecture, 1995.
Jacob, Jane., The Generators of Diversity in the Death and Life of Great American Cities,
New York : Random House, 1961.
Lynch, Kevin., The City Image and its elements in the Image of the City, Cambridge : MIT
Press, 1960.
Spreiregen, Paul., Making a Visual Survey in Urban Design, American Institute of Architects
and Mc Graw Hill, 1965.
Whyte, William H., Social Life of Small Urban Space in the Essential William H.Whyte, Albert
LaFarge, editor, NEw York : Fordham University Press, 2000.
sumbar.bps.go.id
www.bukittinggikota.go.id
www.pu.go.id

18