Continual Improvement Kinerja Instalasi Farmasi Rsud Dr. Moewardi Surakarta

CONTINUAL IMPROVEMENT KINERJA INSTALASI FARMASI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

Oleh:

ARUM WULAN HANDAMARI

D 0105044

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pelayanan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dan

seharusnya menjadi prioritas organisasi dalam mempertahankan eksistensinya. Terlebih dewasa ini, seiring dengan kompetisi global yang semakin ketat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat kian kritis terhadap pelayanan yang diterima. Dalam kondisi demikian, hanya organisasi yang mampu memberikan pelayanan berkualitas lah yang akan memperoleh kepercayaan dari pelanggan (customer). Dengan kata lain, apabila organisasi menginginkan kepercayaan dari pelanggan dan terlebih memberikan kepuasan bagi mereka, maka pelayanan yang berkualitas harus diprioritaskan. Sedangkan organisasi dengan pelayanan yang buruk harus bersiap menghadapi sulitnya kompetisi dengan organisasi lain yang pada akhirnya berdampak pada keterpurukan organisasi itu sendiri.

Salah satu hal yang selama ini menjadi masalah adalah pelayanan publik secara umum belum mampu memberikan kepuasan bagi para pelanggannya. Menurut survey yang dilakukan oleh Center for Population Policy Studies Salah satu hal yang selama ini menjadi masalah adalah pelayanan publik secara umum belum mampu memberikan kepuasan bagi para pelanggannya. Menurut survey yang dilakukan oleh Center for Population Policy Studies

Seiring dengan kondisi demikian, maka organisasi mulai menyadari akan pentingnya peningkatan kualitas pelayanan dipacu oleh adanya penerapan Total Quality Management (TQM). Konsep TQM ini pada dasarnya menekankan pada perbaikan berkesinambungan (continual improvement) pada setiap proses organisasi untuk mencapai kepuasan pelanggan. Menurut Zulian Yamit ( 2005: 77-78), kepuasan pelanggan hanya dapat dicapai apabila organisasi memperhatikan apa yang diinginkan pelanggan dan memperhatikan apa yang diinginkan pelanggan berarti kualitas produk dan jasa pelayanan yang dihasilkan ditentukan oleh pelanggan pula.

Dari hal tersebut, tentu saja pelayanan yang diinginkan pelanggan merupakan sesuatu yang bermutu baik sehingga mampu memberikan kepuasan bagi mereka dan di saat inilah konsep TQM dapat bermanfaat sebagai strategi dalam menciptakan pelayanan yang bermutu tersebut.

Dalam konsep TQM, untuk menciptakan pelayanan yang bermutu, oganisasi harus pula memperhatikan adanya perbaikan berkesinambungan Dalam konsep TQM, untuk menciptakan pelayanan yang bermutu, oganisasi harus pula memperhatikan adanya perbaikan berkesinambungan

“…Sesuatu yang berbeda jika dibandingkan pada ISO 1994, yang didasari continous improvement . Pada continous improvement terjadi proses pendekatan yang terus menerus dan dilakukan dengan segera setelah terjadi penyempurnaan. Hal ini akan menjadi standar dan tantangan untuk melakukan penyempurnaan lagi. Peningkatan yang baru dilakukan, direvisi dan diganti untuk mencapai nilai baru dan lebih baik. Dengan kata lain, terjadi peningkatan yang terus menerus yang tiada pernah berhenti. Tetapi, pada pelaksanaannya seringkali hasil peningkatan tersebut belum familiar bagi pemakainya sehingga ketika dilakukan peningkatan lagi akan makin menyulitkan. Karena itu pada edisi baru bentuk peningkatan diganti dari continous menjadi continual. Dengan continual improvement , setelah dilakukan peningkatan pertama kali, maka sebelum ditingkatkan terlebih dahulu dilakukan stabilisasi. Bila stabilisasi sudah berjalan baru dilanjutkan dengan meningkatkan standar”.

ISO 9000 merupakan bagian dari standar mutu untuk mengoptimalkan efektivitas mutu suatu organisasi melalui perbaikan berkesinambungan. ISO 9000 merupakan strategi yang ampuh bagi organisasi karena banyak manfaat yang didapat dari penerapan standar mutu tersebut. Menurut Rudi Siardi (2003: 31-32), manfaat penerapan standar mutu ISO 9000 terbagi menjadi 2, yaitu pertama, manfaat yang sulit diukur diantaranya yaitu membuat sistem kerja dalam suatu perusahaan menjadi standar kerja yang terdokumentasi, adanya jaminan bahwa perusahaan itu mempunyai sistem manajemen mutu dan produk yang diinginkan sesuai dengan keinginan pelanggan, menjamin bahwa proses yang ISO 9000 merupakan bagian dari standar mutu untuk mengoptimalkan efektivitas mutu suatu organisasi melalui perbaikan berkesinambungan. ISO 9000 merupakan strategi yang ampuh bagi organisasi karena banyak manfaat yang didapat dari penerapan standar mutu tersebut. Menurut Rudi Siardi (2003: 31-32), manfaat penerapan standar mutu ISO 9000 terbagi menjadi 2, yaitu pertama, manfaat yang sulit diukur diantaranya yaitu membuat sistem kerja dalam suatu perusahaan menjadi standar kerja yang terdokumentasi, adanya jaminan bahwa perusahaan itu mempunyai sistem manajemen mutu dan produk yang diinginkan sesuai dengan keinginan pelanggan, menjamin bahwa proses yang

RSUD Dr. Moewardi (RSDM) Surakarta merupakan salah satu organisasi yang mempunyai kesadaran akan pentingnya kualitas pelayanan yang dipacu dengan adanya penerapan TQM. Sebagai organisasi pelayanan publik yang

mempunyai peran dalam bidang pelayanan kesehatan yang memiliki status sebagai rumah sakit rujukan wilayah Eks Karisidenan Surakarta dan sekitarnya, RSDM Surakarta berupaya mengedepankan kualitas pelayanan agar mampu memberikan kepuasan bagi para pelanggannya. Atas upayanya tersebut, pada tanggal 19 Juni 2007 RSDM Surakarta mampu meraih sertifikasi ISO 9001:2000 yang merupakan bagian dari standar mutu ISO 9000 dan lembaga register yang

memberikan sertifikasi untuk RSDM Surakarta adalah SGS Internasional .

Dengan diperolehnya sertifikasi ISO 9001:2000 diharapkan RSDM Surakarta mampu memberikan pelayanan yang berkualitas sehingga secara berkesinambungan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai pelanggan. Keberhasilan penerapan standar mutu ISO 9001:2000 melalui perbaikan berkesinambungan terhadap pelayanan seperti halnya yang dilakukan RSDM Surakarta nantinya, akan memberikan kesempatan yang besar bagi peningkatan kinerja pelayanan serta mampu memberikan kepuasan kepada pelanggan.

yang mengatakan, “Pelaksanaan ISO merupakan upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan sebaik-baiknya sesuai dengan tuntutan pasar. Selain itu, guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan rumah sakit pemerintah”. Sekda Jateng Mardjijono juga memberikan pernyataan bahwa , ''Maksud pencanangan ISO 9001:2000 yakni agar kualitas pelayanan kesehatan dapat diukur melalui sistem manajemen mutu, sehingga masyarakat sebagai obyek pelayanan merasa puas.

( http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com )

Ruang lingkup penerapan sistem manajemen mutu ISO 9001:2000 di RSDM Surakarta meliputi Instalasi Rawat Inap Paviliun Cendana, Laboratorium, Instalasi Farmasi, Instalasi Radiologi dan Instalasi Bedah Sentral.

Instalasi Farmasi menjadi salah satu ruang lingkup dalam pelaksanaan ISO 9001:2000 di RSDM Surakarta karena Instalasi Farmasi mempunyai peran penting sebagai instalasi yang melakukan pelayanan penunjang medis di bidang perbekalan farmasi kepada pasien maupun instalasi terkait di rumah sakit. Di samping itu, pelayanan farmasi rumah sakit menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik yang

pasien Instalasi Gawat Darurat (IGD) dilayani di apotek IGD (sub instalasi farmasi apotek IGD); pelayanan perbekalan farmasi yang tidak diresepkan seperti x-ray film,fixer,developer,dll, dilayani melalui sub instalasi farmasi pelayanan kebutuhan ruangan; perbekalan farmasi yang tidak tersedia di pasaran atau memerlukan pengemasan kembali dilaksanakan oleh sub instalasi farmasi produksi farmasi. Pelayanan lainnya, staf instalasi farmasi bersama staff laboratorium farmasi kedokteran terlibat pendidikan dokter muda Fakultas Kedokteran UNS, mahasiswa tingkat profesi Fakultas Farmasi beberapa Universitas di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta serta siswa Sekolah Menengah Farmasi di Surakarta dikoordinasi oleh sub instalasi farmasi administrasi dan pendidikan.

Dengan diterapkannya sistem manajemen mutu ISO 9001:2000, Instalasi Farmasi dituntut untuk selalu meningkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas tersebut dapat tercapai apabila terdapat peningkatan kinerja dari seluruh elemen atau pihak yang ada di Instalasi Farmasi RSDM Surakarta sebagai bagian dari prosesnya.

Hal tersebut dikarenakan bahwa kinerja sangat berpengaruh terhadap tercapainya visi dan misi RSDM Surakarta . Dengan kinerja yang baik tentunya visi dan misi organisasi menjadi lebih mudah terealisasi. Oleh karena itu

Tetapi dalam kenyataannya, pelayanan di Instalasi Farmasi masih mengalami beberapa kendala yang menyebabkan ketidakpuasan para pelanggan. Hal ini terlihat dalam dari hasil pengukuran kepuasan pelanggan terhadap pelayanan farmasi pasien rawat inap yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi RSDM Surakarta pada bulan Oktober 2008:

Tabel 1.1

Rekapitulasi Evaluasi Kepuasan Pelanggan Pelayanan Farmasi

di RSDM Surakarta Bulan Oktober 2008

Tingkat N

Nilai Kinerja o

Penilaian

Nilai x Bobot Nilai

Variabel

Bobo SP

Total

KP ST t Asli Skala (5) (4)

1 Kinerja Pelayanan

a. Kecepatan waktu

10 15 12 7 6 50 50 50 60 36 14 6 166 2,96 6,39 pelayanan

b. Kemampuan Petugas

15 15 7 7 6 50 60 75 60 21 14 6 176 1,02 6,77 menyelesaika n masalah

c Kelengkapan 10 21 6 11 2 50 62 50 84 18 22 2 176 1,02 6,77 obat di apotek

2 Pelayanan

15 0 0 215 1,24 8,27 petugas

a. Kesopanan

b. Kemampuan b. Kemampuan

10 20 15 4 1 50 60 50 80 45 8 1 184 1,06 7,08 petugas untuk dihubungi

4 Fasilitas

18 4 0 207 1,19 7,96 apotek

a. Fasilitas fisik

b. Kebersihan ruangan

74 18 1733 Sumber: Instalasi Farmasi RSDM Surakarta

Jumlah pelanggan yang mempunyai nilai kepuasan tinggi: 81,71% Keterangan SP(5) : Sangat Puas, Bobot Nilai:5 P(4) : Puas, bobot nilai:4 CP(3) : Cukup Puas, bobot nilai:3 KP(2) : Kurang Puas, bobot nilai:2 STP(1) : Sangat Tidak Puas, bobot nilai:1 % PP : Prosentase Pelanggan Puas

Dari Tabel 1.1 diatas dapat dijelaskan bahwa pada bulan Oktober 2008, pengukuran kepuasan pelanggan menunjukkan 81,71% pelanggan puas terhadap semua kriteria yang ditanyakan. Hal tersebut belum sesuai dengan sasaran kualitas Instalasi Farmasi yaitu 90% pelanggan puas. Dilihat dari kinerja pelayanan, variabel yang mempunyai nilai terendah adalah kecepatan waktu pelayanan.

terhadap kecepatan waktu pelayanan menjadi rendah. Berkurangnya anggaran obat tersebut juga menyebabkan kelengkapan obat di sub instalasi cendana menjadi kurang karena gudang farmasi mulai kesulitan dalam pengadaan obat.

Adapun sasaran mutu dan target Instalasi Farmasi yaitu, dalam melayani pasien, Instalasi Farmasi memiliki target dan sasaran mutu yang dapat memberikan kepuasan terhadap para pasien. Instalasi Farmasi mentargetkan 90 % pasien puas dengan pelayanan yang mereka lakukan. Kepuasan pasien tersebut diukur dengan angket kepuasan pelanggan ( kuisioner ) yang dilakukan evaluasi setiap 6 bulan sekali. Untuk proses internal respon time dilakukan dengan waktu antara 15–30 menit setiap pelayanan resep bagi pasien non askes dan waktu antara 41-45 menit bagi pasien askes.

Meskipun masih dijumpai kendala yang ditunjukkan dengan hasil pengukuran kepuasan pelanggan terhadap pelayanan farmasi pasien rawat inap yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi RSDM Surakarta di atas, akan tetapi proses internal Instalasi Farmasi telah berjalan baik. Hal tersebut sesuai dengan laporan sasaran mutu proses internal di bawah ini:

Tabel 1.2 Laporan Pencapaian Sasaran Mutu Proses Internal Instalasi Farmasi Bulan Juli-September 2008

Parameter

Bulan (Jumlah Waktu dalam

Respon

N Time Menit)

Respon Time

Jumlah Respon Ruang

Jumlah

Lembar

Waktu Time Rata-

rata Per

Juli

Agustus September

Cendana I

Non Racikan

Resep Racikan

Non Askes

3 Perhitungan

Apotik

807 40,35 40,35 Resep Askes

Pelengkap Sumber: Instalasi Farmasi RSDM Surakarta

Dari hasil perhitungan respon time terlihat bahwa untuk respon time pelayanan resep untuk jenis racikan dan non racikan telah memenuhi target atau sasaran mutu. Untuk resep non racikan sebesar 14,39 menit dan resep racikan 27,7 menit (sasaran mutu resep non racikan:15 menit sedangkan resep racikan 29 menit). Waktu pelayanan untuk pasien askes juga menunjukkan bahwa sasaran mutu bisa tercapai dimana respon time yang terdapat dari hasil perhitungan adalah 40,35 menit (sasaran mutu:42 menit).

Untuk selanjutnya continual improvement tetap diperlukan agar sasaran mutu yang telah memenuhi target tersebut dapat ditingkatkan lagi sehingga kualitas pelayanan dapat tercapai. Sedangkan masih terdapatnya sasaran mutu yang belum terpenuhi, maka continual improvement diperlukan agar kedepannya pihak Instalasi Farmasi RSDM Surakarta mampu menemukan penyebab untuk kemudian dicari solusi untuk perbaikan sasaran mutu tersebut. Karena adanya masalah tersebut maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang continual improvement kinerja Instalasi Farmasi RSDM Surakarta.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dalam penelitian ini penulis mengajukan perumusan masalah sebagai berikut:

“Bagaimana continual improvement kinerja Instalasi Farmasi RSDM Surakarta ?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Operasional Untuk mengetahui bagaimana continual improvement kinerja Instalasi Farmasi RSDM Surakarta.

2. Tujuan Individu

D. Manfaat Penelitian

1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan dalam bidang administrasi khususnya tentang continual improvement kinerja.

2. Menjadi bahan masukan sekaligus evaluasi bagi RSDM Surakarta dalam upaya perbaikan berkesinambungan kinerja Instalasi Farmasi RSDM Surakarta berikutnya.

3. Dengan adanya upaya continual improvement kinerja, Instalasi Farmasi RSDM Surakarta dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.

4. Bagi penulis, dapat bermanfaat sebagai media latihan serta menambah wawasan khususnya berkaitan dengan continual improvement kinerjanya.

E. Landasan Teori

1. Continual Improvement

Dalam Kamus Lengkap Inggris Indonesia, continual berarti secara terus menerus, berkesinambungan, kontinyu. Sedangkan improvement berarti perbaikan, kemajuan.

Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (2001:262), istilah continual improvement tersebut diartikan sebagai perbaikan berkesinambungan yaitu Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (2001:262), istilah continual improvement tersebut diartikan sebagai perbaikan berkesinambungan yaitu

Sedangkan Vincent Gaspersz (2006:81) menyebutnya sebagai peningkatan terus menerus yaitu sebagai suatu proses yang berfokus pada upaya terus-menerus meningkatkan efektivitas dan/atau efisiensi organisasi untuk memenuhi kebijakan dan tujuan dari organisasi itu. Peningkatan terus menerus membutuhkan langkah-langkah konsolidasi yang progresif, menanggapi perkembangan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan, dan akan menjamin evolusi dinamik dari sistem manajemen kualitas.

Rudi Siardi (2003: 57), menjelaskan secara lebih rinci pengertian perbaikan berkesinambungan (continual improvement ) sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan continuous improvement sebagai berikut:

“…Sesuatu yang berbeda jika dibandingkan pada ISO 1994, yang didasari continuous improvement. Pada continuous improvement terjadi proses pendekatan yang terus menerus dan dilakukan dengan segera setelah terjadi penyempurnaan. Hal ini akan menjadi standar dan tantangan untuk melakukan penyempurnaan lagi. Peningkatan yang baru dilakukan, direvisi dan diganti untuk mencapai nilai baru dan lebih baik. Dengan kata lain, terjadi peningkatan yang terus menerus yang tiada pernah berhenti. Tetapi, pada pelaksanaannya seringkali hasil peningkatan tersebut

Dari berbagai pendapat ahli tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian continual improvement adalah suatu proses yang berfokus pada upaya terus-menerus untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik.

2. Kinerja

Kinerja menurut Lembaga Administrasi Negara didefinisikan sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, visi organisasi. (Joko Widodo, 2005:79)

Menurut Joko Widodo sendiri (2005:79), kinerja pada hakikatnya berkaitan dengan tanggung jawab individu atau organisasi dalam menjalankan apa yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Selain itu, John Waihmore dalam Lijan Poltak Sinambela (2006:138) mengemukakan bahwa kinerja merupakan ekspresi potensi seseorang dalam memenuhi tanggung jawab dengan menetapkan standar tertentu. Sementara menurut Bastian dalam Hessel Nogi S. Tangkilisan (2005:175), kinerja organisasi merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas dalam suatu organisasi, dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi tersebut.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka penulis Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka penulis

3. Continual Improvement Kinerja

Continual improvement dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang berfokus pada upaya terus-menerus untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Sedangkan pengertian kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas dari orang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi dalam mewujudkan tujuan organisasi.

Berdasarkan dua pengertian di atas maka pengertian continual improvement kinerja dapat disimpulkan sebagai suatu proses yang berfokus pada upaya terus menerus untuk memperbaiki atau meningkatkan pencapaian tugas dari seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi sehingga apa yang menjadi tujuan organisasi dapat tercapai.

Membahas mengenai continual improvement kinerja tidak terlepas dari peningkatan proses terus-menerus karena keduanya saling berkaitan, dimana continual improvement kinerja merupakan salah satu bagian dari peningkatan proses terus-menerus. Dengan adanya analisis mengenai kinerja maka menjadi landasan untuk peningkatan proses terus-menerus sehingga dalam hal ini analisis kinerja berperan dalam mengendalikan proses. Oleh karena itu, penulis perlu menjelaskan tentang peningkatan

“Integrasi sekuensial dari orang, material, metode, dan mesin atau peralatan dalam suatu lingkungan guna menghasilkan nilai tambah output untuk pelanggan”.

Sedangkan proses dalam ISO 9001:2000 ( Rudi suardi, 2003:52) diartikan sebagai: “Kumpulan aktivitas yang saling berhubungan/mempengaruhi,

dimana berubahnya input (material, persyaratan, peralatan, instruksi) menjadi output (barang, jasa)”.

Selain itu, M.N. Nasution (2001:80) mengartikan proses sebagai: “Sekumpulan aktivitas kerja yang saling berhubungan guna

mentransformasikan sumber-sumber input menjadi produk untuk pelanggan”.

Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa proses merupakan aktivitas berubahnya input menjadi output. Kemudian mengacu kesimpulan mengenai pengertian continual improvement (perbaikan berkesinambungan/peningkatan terus-menerus) seperti dijelaskan dimuka sebagai suatu proses yang berfokus pada upaya terus- menerus untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik, maka oleh penulis peningkatan proses terus-menerus didefinisikan sebagai aktivitas yang berfokus pada upaya terus-menerus mengubah input menjadi output agar menjadi lebih baik.

Dalam penelitian ini selanjutnya akan diulas lebih jauh tentang Dalam penelitian ini selanjutnya akan diulas lebih jauh tentang

 Identifikasi output.  Identifikasi pelanggan.  Definisi kebutuhan pelanggan.  Identifikasi proses yang menghasilkan output ini.  Identifikasi pemilik proses.

b). Identifikasi dan Dokumentasi Proses Diagram alir (flowcart) merupakan alat yang umum dipergunakan untuk mendeskripsikan proses. Pembuatan diagram alir pada proses memungkinkan untuk melakukan empat aktivitas perbaikan berikut:

 Mengidentifikasi peserta dalam proses.  Memberikan kepada semua peserta proses suatu pemahaman umum tentang semua langkah proses dan peranan individual mereka.  Mengidentifikasi inefisiensi, pemborosan dan langkah-langkah redundant (berlebihan atau tidak perlu) dalam proses.

Proses yang telah diidentifikasi harus didokumentasikan dengan baik agar dapat dipergunakan sebagai bahan informasi yang berguna dalam peningkatan proses secara terus-menerus.

c). Mengukur Kinerja Mengukur kinerja dimaksudkan untuk dapat melihat bagaimana suatu sistem sedang berjalan baik atau jelek. Ukuran-ukuran kinerja didefinisikan dan dievaluasi dalam konteks ekspektasi pelanggan. Dengan kata lain, setiap ukuran kinerja yang dipergunakan harus mengarah pada ekspektasi atau kebutuhan pelanggan.

Pada dasarnya pengukuran kinerja dapat dilakukan pada tiga tingkat, yaitu proses, output dan outcome (Vincent Gasperz, 2003:126- 128) sebagai berikut:

a. Pengukuran pada tingkat proses Mengukur setiap langkah atau aktivitas dalam proses dan karakteristik input yang diserahkan oleh pemasok (Supplier) yang mengendalikan karakteristik output yang diinginkan. Tujuan dari pengukuran pada tingkat ini adalah mengidentifikasi perilaku yang mengatur setiap langkah dalam proses, dan menggunakan ukuran- ukuran ini untuk mengendalikan operasi serta memperkirakan output yang akan dihasilkan sebelum output itu diproduksi atau diserahkan kepada pelanggan.

b. Pengukuran pada tingkat output Mengukur karakteristik output yang dihasilkan dibandingkan dengan spesifikasi karakteristik yang diinginkan pelanggan. Beberapa contoh ukuran pada tingkat output adalah banyaknya unit produk yang tidak memenuhi spesifkasi tertentu yang ditetapkan (banyak produk cacat), tingkat efektivitas dan efisiensi produksi, b. Pengukuran pada tingkat output Mengukur karakteristik output yang dihasilkan dibandingkan dengan spesifikasi karakteristik yang diinginkan pelanggan. Beberapa contoh ukuran pada tingkat output adalah banyaknya unit produk yang tidak memenuhi spesifkasi tertentu yang ditetapkan (banyak produk cacat), tingkat efektivitas dan efisiensi produksi,

d). Memahami Mengapa Suatu Masalah dalam Konteks Proses Terjadi

Ketiadaan data menimbulkan kesulitan untuk memahami mengapa suatu sistem berjalan seperti itu sehingga kinerjanya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Masalah adalah deviasi atau penyimpangan yang terjadi antara kinerja yang diharapkan (sasaran) dengan kinerja actual (hasil actual).

Agar langkah-langkah peningkatan proses terus menerus dapat berjalan dengan efektif dan efisien, setidaknya terdapat tiga hal yang harus dipahami. Pertama, memahami apa yang menjadi masalah utama dalam proses tersebut. Kedua, memahami hal-hal yang menjadi masalah dalam proses tersebut. Ketiga, memahami apa yang menjadi sumber variasi dalam masalah tersebut. Variasi merupakan ketidakseragaman dalam sistem sehingga menimbulkan perbedaan dalam kualitas.

e). Mengembangkan dan Menguji Ide-ide Ide-ide dalam peningkatan proses harus ditujukan langsung pada akar penyebab masalah. Agar ide-ide untuk peningkatan proses e). Mengembangkan dan Menguji Ide-ide Ide-ide dalam peningkatan proses harus ditujukan langsung pada akar penyebab masalah. Agar ide-ide untuk peningkatan proses

Gambar 1.1 Model peningkatan Proses Secara Terus-menerus

Langkah 1: Definisi

Masalah

Langkah 2: Identifikasi dan dokumentasi Poses

Langkah 3: Mengukur

Kinerja

Umpan Balik

Langkah 4: Memahami

Mengapa?

Langkah 5: Mengembangkan dan

Menguji Ide-ide

Langkah 6: Implementasi

Solusi dan Evaluasi Solusi dan Evaluasi

Gambar 1.2 Model Perbaikan Proses

Pengujian dan Evaluasi Identifikasi Kecacatan

Menghilangkan

Cacat

Penyebab kecacatan

Akar Penyebab

Mengembangkan Tindakan Analisis Penyebab Kecacatan Korektif

Model perbaikan proses ini mempelajari keseluruhan rantai pemasok dengan pelanggan, sehingga kebutuhan pelanggan merupakan masukan dari industri untuk diteruskan pada pemasok. Pengukuran dilakukan pada keseluruhan sistem, sehingga apabila ditemukan ada kecacatan atau kegagalan, kegagalan atau kecacatan itu harus diidentifikasi, untuk selanjutnya dianalisis penyebab kecacatan atau kegagalan yang terjadi dalam proses secara keseluruhan. Hasil temuan berupa akar penyebab kegagalan atau kecacatan itu kemudian dihilangkan

Sedangkan Vincent Gasperz (2003:160), mengemukakan program peningkatan kualitas dengan menggunakan langkah-langkah berikut:

a) Memilih dan menetapkan program perbaikan kualitas.

b) Mengemukakan mengapa memilih program tersebut.

c) Melakukan analisis situasi melalui pengamatan situasional.

d) Melakukan pengumpulan data selama beberapa waktu.

e) Melakukan analisis data.

f) Menetapkan rencana perbaikan melalui penetapan sasaran perbaikan kualitas.

g) Melaksanakan program perbaikan selama waktu tertentu.

h) Melakukan studi penilaian terhadap program perbaikan kualitas itu.

i) Mengambil tindakan korektif atas penyimpangan yang terjadi atau standardisasi terhadap aktivitas yang sesuai. Langkah-langkah strategi perbaikan kualitas yang dikemukakan di

atas mengikuti siklus deming (PDSA) seperti ditunjukkan dalam gambar di bawah ini:

Gambar 1.3 Strategi Perbaikan Kualitas Mengikuti Siklus Deming PDSA

Ya Tindakan (Plan, P)

Rencana Laksanakan

Studi (Study, S)

(Do, D)

(Act,A)

Sesuai(Mencapai sasaran?

Standardisasi

Tindak Lanjut

Tidak

Tindakan (Act,A)

Peningkatan/

Koreksi perbaikan

Metode peningkatan terus-menerus menurut siklus Deming PDSA tersebut di atas akan dijelaskan dalam tahap-tahap sebagai berikut (Fandy Tjiptono, 1996:277-279):

1) Tahap Perencanaan (Plan) Meliputi penjelasan studi yang akan dilakukan, tes untuk perubahan proses, atau eksperimen yang akan dilakukan pada tahap selanjutnya. Dalam tahap perencanaan ini, meliputi semua daftar yang diperlukan untuk melaksanakan studi, termasuk siapa yang akan melakukan, data apa yang harus dicatat, pelatihan apa yang diperlukan, dan sebagainya.

Hasil dari tahap Do dibandingkan dengan prediksi yang dibuat selama tahap perencanaan. Apabila hasil tidak sesuai dengan apa yang diprediksikan, teori yang ada pada tahap perencanaan dapat direvisi. Sebaliknya, apabila hasilnya telah sesuai dengan prediksi, tim akan menentukan bagaimana kondisi studi yang berbeda dari kondisi yang akan dilihat dari proses atau sistem di masa akan datang.

4) Tahap Tindakan (Act) Tim menentukan suatu tindakan dengan melihat hasil ketiga tahap sebelumnya. Tindakan dapat berupa perubahan proses/sistem yang dipelajari tim atau tim melakukan tes lebih lanjut sebelum melakukan perubahan. Pada tahap ini juga memutuskan apa yang difokuskan pada siklus berikutnya. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Amy Y. Chou & David C.

Chou berikut ini (International Journal Information Systems and Change Management, 2007: 25):

“…Plan-Do-Study-Act (PDSA) cycle proposed by Deming, the process improvement begins with PLAN. However, the planning process has to be based on the data that are collected from existing processes. Based on the collected data, quality practitioners make

a plan or a test aimed at improvement. In the DO step, a plan or test is carried out. Followed by the STUDY step, the results are a plan or a test aimed at improvement. In the DO step, a plan or test is carried out. Followed by the STUDY step, the results are

Siklus Deming PDSA tersebut dapat di perinci lagi menjadi model tujuh langkah sebagai strategi perbaikan kualitas, sebagaimana dijelaskan oleh Richard Reid di bawah ini (International Journal Productivity and Quality Management, 2006:33) :

“Step 1 – define the problem: the objective is to assemble the right team, reduce the project’s focus, and finalise the problem statement. Step 2 – describe the current process: the team’s responsibility is to create and validate a flowchart of the current process and verify the current performance with process owners and internal customers. Step 3 – identify and verify the root cause(s) of the problem: using various sequences of Total Quality tools, the team investigates cause–effect relationships associated with the study process and its current level of performance. Step 4 – develop an action plan to implement the preferred solution: before constructing a detailed action plan for eliminating the root cause(s), the team generates, evaluates, and selects the best approach from among the potential solutions and then establishes specific performance target values to be achieved. Step 5 – implement the solution: on a pilot basis, the plan is implemented with the team documenting any necessary changes, measuring progress, and documenting results. Step 6 – review and evaluate results. If the planned changes meet the pre-established numerical goals, and thus, were successful in eliminating the root cause(s), then the problem’s symptoms will have greatly diminished and the improvements need to be standardised within the organisation. If, on the other hand, the

utilised methodology and initiates any appropriate changes, celebrates their success, and continues the improvement process by returning to step 1 ”. (Langkah pertama, mendefinisikan masalah: tindakan nyata adalah menghimpun tim yang benar, memperkecil focus rencana dan merumuskan masalah. Langkah kedua, menguraikan aliran proses: tanggung jawab tim adalah untuk menghasilkan dan memvalidasi diagram alir (flowchart) dari aliran proses dan memeriksa kebenaran aliran kerja bersama pemilik proses dan pelanggan internal. Langkah ketiga, identifikasi dan memeriksa akar penyebab masalah: menggunakan macam-macam hubungan dari total quality tools, tim menyelidiki dampak hubungan dengan proses studi dan aliran dari kinerja. Langkah keempat, mengembangkan sebuah rencana tindakan untuk melaksanakan solusi yang lebih mungkin. Sebelum menyusun sebuah rincian rencana perbaikan untuk menghilangkan akar masalah tim menghasilkan, mengevaluasi dan menyeleksi pendekatan terbaik di antara solusi yang mungkin, untuk kemudian menetapkan target kinerja yang harus dicapai secara spesifik. Langkah kelima, melaksanakan solusi: dasar penunjuk rencana dilaksanakan dengan tim mendokumentasikan perubahan yang sifatnya memaksa, mengukur kemajuan dan mendokumentasikan hasil. Langkah keenam , memeriksa dan mengevaluasi hasil. Jika rencana perubahan sesuai dengan tujuan dan berhasil menghilangkan akar penyebab dan gejala masalah sebagian berkurang dan perbaikan dalam organisasi membutuhkan standardisasi. Jika sebaliknya, perubahan dilaksanakan tidak sesuai dengan tujuan kinerja, kemudian tim akan mengulang lagi langkah 3, 4, atau 5 untuk menentukan kembali akar penyebab, mendesain lagi rencana tindakan yang baru yang lebih efektif atau membuka kembali rencana tindakan yang asli agar lebih sesuai. Langkah ketujuh, merenungkan dan bertindak sesuai dengan pengalaman: tim menstandardisasikan perbaikan yang sukses, merenungkan metodologi yang efektif yang digunakan dan memulai berbagai perubahan yang benar, merayakan kesuksesan dan melanjutkan proses perbaikan dengan kembali ke langkah pertama secara terus- menerus).

Empat langkah yang pertama seperti dijelaskan dalam model di

Deming selanjutnya, yaitu tahap pelaksanaan (Do), tahap studi (Study) dan tahap tindakan (Act).

Vincent Gasperz (2003:161) melihat hubungan antara siklus Deming PDSA dan model tujuh langkah sebagai strategi perbaikan kualitas seperti tersebut di atas, digambarkan melalui gambar di bawah ini:

Gambar 1.4

Hubungan Siklus Deming (PDSA) dan Strategi Perbaikan Kualitas

Siklus Deming PDSA Transformasi Kualitas Merencanakan (Plan, P)

Definisi Sistem Menilai Situasi Sekarang Analisis Penyebab Melaksanakan (Do, D)

Mencoba Teori Perbaikan Mempelajari (Study, S)

Memeriksa Hasil Bertindak (Act, A)

Standardisasi Perbaikan Rencana Perbaikan Terus-menerus

Berbeda halnya dengan Woerner (Vincent Gasperz, 2003:98-101), mengembangkan suatu model manajemen proses terstruktur yang memiliki sembilan langkah sebagai berikut: Berbeda halnya dengan Woerner (Vincent Gasperz, 2003:98-101), mengembangkan suatu model manajemen proses terstruktur yang memiliki sembilan langkah sebagai berikut:

b) Pemilihan Tim, setelah rencana perbaikan proses disetujui maka tim dipilih. Dalam langkah ini koordinator melakukan diskusi dengan pemilik proses untuk mempelajari proses yang ada.

c) Penetapan Ruang lingkup dan Tujuan, adanya peninjauan ulang dan penetapan ruang lingkup agar semua peserta dalam perbaikan proses memiliki pemahaman yang sama serta memiliki komitmen. Selain itu, adanya peninjauan ulang terhadap aliran proses dilakukan sebagai penyesuaian sehingga merefleksikan proses sesungguhnya.

d) Identifikasi Kelemahan Proses, dari peninjauan ulang proses diketahui kelemahan proses. Kelemahan proses yang telah ditetapkan dan mendapat prioritas diberi validasi dan dilakukan pengembangan rekomendasi untuk perbaikan proses.

e) Pengembangan Rekomendasi untuk Perbaikan Proses, rekomendasi dikembangkan, setelah mendapat validasi dan diperoleh kelayakan untuk melaksanakannya, maka laporan manajemen disiapkan.

f) Memperoleh Persetujuan, rekomendasi tersebut didiskusikan untuk mendapat persetujuan dari semua pihak yang terlibat dalam f) Memperoleh Persetujuan, rekomendasi tersebut didiskusikan untuk mendapat persetujuan dari semua pihak yang terlibat dalam

i) Implementasi dan Pemantauan Kemajuan Perbaikan Proses, rencana kualitas diimplementasikan dan laporan kemajuan proses disiapkan secara teratur. Model manajemen proses terstruktur seperti disebutkan diatas

membutuhkan pendidikan serta pelatihan tentang prinsip-prinsip kualitas kepada sumber daya manusia yang terlibat dalam perbaikan proses.

Berikut ini adalah gambar model manajemen proses terstruktur yang dikemukakan oleh Woerner:

Gambar 1.5 Model Manajemen Proses Terstruktur

Kesempatan Perbaikan terpilih

IDENTIFIKASI PROSES 1

Visi Perusahaan,

Kebijaksanaan

Team dan kelompok penasehat

PEMILIHAN TIM

Kualitas, Prinsip Kualitas, strategi 2

Manajemen(KPM) terpilih, draft

Kualitas

batas-batas proses & tujuan tim

PENETAPAN RUANG

Batas-batas proses dan

LINGKUP DAN TUJUAN

tujuan team disetujui

Aliran proses diperbaiki daftar IDENTIFIKASI

4 kelemahan dalam urutan kepentingan,pengelopokan dan validasi kelemahan

KELEMAHAN PROSES

PENGEMBANGAN DAN

Pengembangan rekomendasi, tim

REKOMENDASI

menyiapkan laporan manajemen

PERSETUJUAN Persetujuan implementasi

rekomendasi Rencana kualitas berupa standar

PENGEMBANGAN

pengukuran proses & kepuasan

RENCANA KUALITAS

pelanggan

PRESENTASI RENCANA

Rencana Kualitas siap

KUALITAS

8 diimplementasikan

Laporan Kemajuan kepada

IMPLEMENTASI DAN PEMANTAUAN KEMAJUAN

9 sponsor,tim dan coordinator.

UMPAN BALIK PROSES

PERBAIKAN TERUS MENERUS PERBAIKAN TERUS MENERUS

Teori siklus deming PDSA tersebut dimulai dengan tahap-tahap sebagai berikut:

A. Plan (P) atau Tahap Perencanaan. Fandy Tjiptono (1996:277) menjelaskan tahap perencanaan sebagai berikut: “Tahap perencanaan meliputi penjelasan studi yang akan

dilakukan, tes untuk perubahan proses, atau eksperimen yang akan dilakukan pada tahap selanjutnya. Perencanaan terdiri dari daftar semua langkah yang akan diperlukan untuk melakukan studi atau atau tes, termasuk siapa yang akan melakukan setiap langkah, data yang harus dicatat, siapa yang akan menginformasikan, pelatihan macam apa yang diperlukan, dan siapa yang akan melakukannya.”

Menurut Richard M. Walker dalam artikel yang berjudul “Continuous Improvement for Housing Associations: A Discussion Paper Prepared for The Housing ” menjelaskan tahap perencanaan adalah sebagai berikut ( www.cardiff.ac.uk/cplan/staff/walker.html ): Menurut Richard M. Walker dalam artikel yang berjudul “Continuous Improvement for Housing Associations: A Discussion Paper Prepared for The Housing ” menjelaskan tahap perencanaan adalah sebagai berikut ( www.cardiff.ac.uk/cplan/staff/walker.html ):

Dari pendapat-pendapat tersebut, maka penulis mengambil suatu kesimpulan bahwa tahap perencanaan merupakan tahap untuk pengumpulan informasi tentang proses yang ada dalam organisasi untuk kemudian dibuat suatu rencana untuk perbaikan. Dalam penelitian ini, tahap perencanaan akan menjelaskan tentang rencana- rencana yang dilakukan Instalasi Farmasi RSDM Surakarta dalam upaya continual improvement kinerjanya

B. Do (D) atau Tahap Pelaksanaan. Fandy Tjiptono (1996:278), memberikan penjelasan tentang tahap pelaksanaan, yaitu dalam pelaksanaan apabila diketemukan ketidaksesuaian dengan rencana, maka dalam tahap ini ketidaksesuaian tersebut dicatat dan digunakan dalam analisis.

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Amy Y. Chou & David

C. Chou (International Journal Information Systems and Change Management, 2007: 25) dimana dalam tahap pelaksanaan sebuah rencana atau tes dilakukan.

Dari pendapat tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa,

C. Study (S) atau Tahap Studi. Mengenai tahap studi , Fandy Tjiptono (1996:278) memberikan penjelasan sebagai berikut: “Tahap ketiga dari siklus adalah study. Hasil dari tahap Do

dibandingkan dengan prediksi yang dibuat selama tahap perencanaan. Jika hasil tidak sesuai dengan yang diprediksikan, teori yang ada dalam tahap perencanaan dapat direvisi. Jika hasilnya sesuai dengan prediksi, tim menentukan bagaimana kondisi studi yang berbeda dari kondisi yang akan dilihat dari proses atau sistem di masa yang akan datang”.

Sedangkan Vincent Gasperz (2006:73) memberikan penjelasan bahwa dalam tahap studi dilakukan untuk mengetahui apakah jenis masalah kualitas yang ada telah hilang atau berkurang. Hasil dari dari studi ini akan memberikan tambahan informasi dalam perencanaan kualitas berikutnya.

Jadi, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tahap studi merupakan tahap untuk memeriksa hasil dari tahap pelaksanaan (Do) untuk dibandingkan dengan prediksi yang dibuat dalam tahap perencanaan. Dalam penelitian ini, tahap studi akan menjelaskan bagaimana kesesuaian tahap pelaksanaan dengan perencanaan yang dilakukan Instalasi Farmasi dalam upaya continual improvement kinerjanya.

D. Act (A) atau Tahap Tindakan.

sistem yang dipelajari tim atau tim melakukan tes lebih lanjut sebelum melaksanakan perubahan. Tahap act juga memutuskan apa yang akan difokuskan pada siklus selanjutnya”.

Vincent Gasperz (2006: 73) mengartikan tahap tindakan sebagai: “Hasil-hasil yang memuaskan dari tindakan solusi masalah

harus distandardisasikan, dan selanjutnya melakukan perbaikan terus menerus pada jenis masalah yang lain. Apabila tindakan terhadap solusi masalah tidak memberikan hasil-hasil yang memuaskan, tindakan itu harus dikoreksi atau diperbaiki”.

Dari kedua pendapat tersebut penulis mangambil suatu kesimpulan bahwa tahap tindakan (Act) merupakan tindakan yang dilakukan dengan melihat hasil dari ketiga tahap sebelumnya untuk kemudian dijadikan dasar bagi proses continual improvement berikunta. Dalam hal ini adalah tindakan-tindakan yang dilakukan Instalasi farmasi RSDM Surakarta sebagai upaya continual improvement kinerjanya.

F. Kerangka Pikir Dewasa ini, pelayanan merupakan aspek yang menjadi prioritas organisasi dalam mempertahankan eksistensinya. Dalam kondisi tersebut kualitas pelayanan harus diutamakan agar mampu memberikan kepuasan serta mendapat kepercayaan dari masyarakat. Oleh karena itu, konsep TQM digunakan sebagai strategi F. Kerangka Pikir Dewasa ini, pelayanan merupakan aspek yang menjadi prioritas organisasi dalam mempertahankan eksistensinya. Dalam kondisi tersebut kualitas pelayanan harus diutamakan agar mampu memberikan kepuasan serta mendapat kepercayaan dari masyarakat. Oleh karena itu, konsep TQM digunakan sebagai strategi

Tetapi dalam kenyataannya pelayanan di Instalasi Farmasi masih mengalami beberapa kendala yang menyebabkan ketidakpuasan pelanggan, seperti masalah yang berkaitan dengan kecepatan waktu pelayanan dan kelengkapan obat di apotek. Meskipun proses internal Instalasi Farmasi telah berjalan baik.

Menyikapi permasalahan-permasalahan yang menjadi penyebab ketidakpuasan pelanggan maka Instalasi farmasi RSDM Surakarta menerapkan continual improvement kinerja dalam prosesnya. Continual improvement kinerja tersebut dapat diidentifikasi dengan menggunakan siklus Deming yang dimulai dari tahap Plan-Do-Study-Act (PDSA).Hal ini dilakukan agar kedepannya pihak Instalasi Farmasi RSDM Surakarta mampu menemukan penyebab untuk kemudian dicari solusi untuk tindak lanjut dalam perbaikan sasaran mutu. Dengan adanya continual improvement kinerja dalam prosesnya pula, sasaran mutu yang telah tercapai dapat ditingkatkan lagi sehingga peningkatan kualitas pelayanan dapat tercapai.

Pada tahap perencanaan (plan), akan menjelaskan tentang rencana-rencana Pada tahap perencanaan (plan), akan menjelaskan tentang rencana-rencana

Gambar 1.6 Skema Kerangka Pemikiran

INPUT

Fenomena Ketidakpuasan Pelanggan

PROSES

Ya

Tindakan (Act)

Rencana (Plan) :

Pelaksanaan (Do) :

Studi (Study)

Perbaikan Sistem (Farmasi Klinik dan

Kinerja

Computerize). Sasaran

Apakah kinerja sesuai

Standardisasi

Mutu, perbaikan SDM dengan sasaran?

Tindakan (Act)

Tindak Lanjut Koreksi

Tidak

Continual Improvement Kinerja

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Lexy Moleong (2001:3) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dalam hal ini peneliti ingin mendeskripsikan tentang Continual Improvement Kinerja Instalasi Farmasi RSDM Surakarta.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Farmasi RSDM Surakarta yang beralamat di Jl.Kolonel Soetarto No.132 Jebres Surakarta. Adapun pemilihan lokasi tersebut berdasarkan pada pertimbangan, yaitu tersedianya data-data atau informasi yang peneliti butuhkan di Instalasi Farmasi RSDM Surakarta yang berkaitan dengan Continual Improvement Kinerja Instalasi Farmasi RSDM Surakarta.

3. Sumber Data

Pemahaman mengenai berbagai macam sumber data merupakan

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Data Primer Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari para informan melalui wawancara dengan pihak yang berkompeten. Pihak yang berkompeten dalam penelitian ini adalah pihak yang mengetahui serta memahami informasi tentang continual improvement kinerja Instalasi Farmasi RSDM Surakarta.

Informan dalam penelitian ini adalah:

 Kepala Instalasi Farmasi RSDM Surakarta.

 Kepala Sub Instalasi Administrasi dan Pendidikan.

 Kepala Sub Instalasi Farmasi Pelayanan Gudang Farmasi dan Pelayanan Kebutuhan Ruangan.

 Kepala Sub Instalasi Apotek Rawat Inap.

 Kepala Sub Instalasi Farmasi Klinik.

b. Data Sekunder Yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung atau data yang diperoleh selain dari sumber data primer, seperti dokumen, catatan,

 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

 Dokumen-dokumen dari Instalasi Farmasi RSDM Surakarta, seperti Laporan Hasil Evaluasi Kepuasan Pelanggan Instalasi Farmasi RSDM Surakarta, Laporan pencapaian Sasaran Mutu Proses Internal Instalasi Farmasi RSDM Surakarta, Prosedur Tetap Standar Kompetensi Farmasis di RSDM Surakarta, Prosedur Tetap Stock Opname Perbekalan Farmasi serta Laporan Ketidaksesuaian dan Penyelesaian.

4. Teknik Pengambilan Sampel

Dalam penelitian kualitatif, sampel yang diambil bersifat selektif karena didasarkan berbagai pertimbangan tertentu sehingga mampu sejalan dengan tujuan penelitian. Oleh karena itu, teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling di mana kecenderungan peneliti untuk memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalah secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap. Dalam tahap pelaksanaan pengumpulan data, pilihan informan dapat

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Wawancara Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara bertanya langsung kepada informan yang telah ditentukan sebelumnya untuk memperoleh data atau informasi yang diperlukan.

Wawancara dalam penelitian ini dilakukan pada waktu dan kondisi yang dianggap paling tepat sehingga mampu mendapatkan data yang lengkap dan mendalam. Selain itu, wawancara juga dilakukan secara berulang-ulang sesuai dengan kebutuhan peneliti sehingga kejelasan jawaban dari informan dapat diperoleh.

b. Dokumentasi Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mempelajari dokumen atau arsip-arsip secara teliti yang terdapat di instansi. Dokumen atau arsip yang ada di Instalasi Farmasi meliputi:

 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi

 Laporan pencapaian Sasaran Mutu Proses Internal Instalasi Farmasi RSDM Surakarta.

 Prosedur Tetap Standar Kompetensi Farmasis di RSDM Surakarta.

 Prosedur Tetap Stock Opname Perbekalan Farmasi.

 Laporan Ketidaksesuaian dan Penyelesaian.

Selain itu, dokumentasi juga menggunakan data yang bersumber dari buku kepustakaan, hasil penelitian terdahulu serta arsip ataupun dokumen yang berhubungan dengan penelitian.

c. Observasi Langsung Merupakan teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan secara langsung untuk memperoleh gambaran tentang peristiwa, tempat atau lokasi penelitian serta kegiatan yang berlangsung didalamnya.

Dalam hal ini, peneliti melakukan observasi langsung berperan pasif dimana dalam observasi peneliti hanya mendatangi lokasi, tetapi sama sekali tidak berperan sebagai apapun selain sebagai pengamat pasif.

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan yang lain untuk pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Ada 4 macam trianggulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori. Dalam penelitian ini menggunakan trianggulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal ini menurut Lexy J. Moleong (2002 : 178) dapat dicapai dengan langkah :

a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.

b. Membandingkan apa yang dikatakan di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.

c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.

d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, dan orang pemerintahan.

e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

berbeda yang tersedia. Dengan demikian data yang satu akan dikontrol oleh data yang lain dari sumber yang berbeda.

7. Teknik Analisis Data