ARAH PENYELESAIAN HAM BERAT DI INDONESIA (1)

MAKALAH LIBRARY RESEARCH HUKUM DAN HAM
Arah Penyelesaian HAM Berat di Indonesia

Disusun oleh :
Siti Khoerunnisa

8111416016

Amaliahana Rizki Prihandianti

8111416064

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2017

i

KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih dan maha
penyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat rahmat-Nya, yang telah

melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas paper yang bertema “ Arah Penyelesaian HAM Berat
dalam Kasus Terorisme” dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Ridwan Arifn selaku Dosen mata
kuliah Hukum dan HAM UNNES yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap paper ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan

serta

pengetahuan

kita

mengenai

bagaimana

bagaimana


arah

penyelesaian HAM berat yang terjadi di Indonesia trutama dalam membahas
kasus terorisme yang semenjak dahulu tidak pernah selesai . kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan paper yang telah kami buat di masa yang akan dating,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga

paper

sederhana

ini

dapat

dipahami


bagi

siapapun

yang

membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun bagi civitas akademik dan masyarkat luas. Sebelumnya kami
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan
kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan
makalah ini di waktu yang akan datang.

Semarang, 10 Oktober 2017
Penyusun

ii

DAFTAR ISI
Sampul……………………………………………………………………………………….I
Kata Pengantar……………………...………………………………………………………II

Daftar Isi………………………………………………………………......………………..III
Daftar Kasus…………………………………………………………......……………..….IV
Bab I Pendahuluan
Latar Belakang………………………………………………………………........….………1
Rumusan Masalah………………………………………………………………........…….3
Metode Penelitian……………………………………………………........………………..4
Bab II Pembahasan
Sub Pembahsan 1……………………………………………………….......………………..5
Sub Pembahsan 2………………………………………………………......………………...8
Sub Pembahsaan 3…………………………………………………………......………..….11
Bab III
Kesimpulan………………………………………………………………………………….14
Daftar Pustaka………………………………………………………………………………15

iii

DAFTAR KASUS

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan 3 pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) berat yang terjadi di Rumah Tahanan Kelas II-B Sialang Bungkuk,

Pekanbaru, Riau. Perlakuan tidak manusiawi yang diterima para tahanan dan
narapidana tersebut akibat dampak dari jumlah penghuni rumah tahanan yang
melebihi

kapasitas.

Rutan Sialang Bungkuk kata dia, tidak mampu memenuhi standar minimum
kebutuhan para narapidana seperti kebutuhan air, ventilasi udara, dan tempat
tidur. Kebutuhan air sebagai kebutuhan dasar tidak terpunuhi lantaran hanya
memiliki dua unit pompa air yang sewaktu-waktu akan rusak bila digunakan
ratusan

orang.

Rutan Sialang Bungkuk sewajarnya dapat menampung 561 orang tahanan,
namun pada faktanya rumah tahanan itu dipaksakan untuk 1.870 orang.
Selain itu, sikap arogansi yang berujung pada penganiayaan dan kekerasan
terhadap narapidana menjadi temuan Komnas HAM. Belum lagi adanya
pemerasan dan pungutan liar dilakukan petugas terhadap keluarga napi yang
hendak membesuk. Berbagai modus pungutan terjadi di rutan tersebut, seperti

pindah kamar yang dikenakan tarif hingga jutaan rupiah, tarif menelepon dan
tarif berkunjung untuk keluarga.
Menurut Nurcholis, persoalan Rutan Sialang Bungkuk tidak dapat diselesaikan
oleh daerah melainkan butuh perhatian pemerintah melalui Kementerian terkait
maupun Presiden RI. Komnas HAM mengaku akan mengirimkan rekomendasi
kepada Presiden Joko Widodo untuk segera mengambil tindakan terhadap over
kapasitas di rutan.Adapun rumusan rekomendasi yang bakal disampaikan
Komnas HAM yakni memberikan grasi untuk tahanan tindak pidanan ringan
(tipiring) dan tahanan narkoba yang masuk dalam kategori pemakai mengingat
kasus narkoba terbesar di Riau.
iv

Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Mualimin
Abdi

memastikan

pemerintah

telah


berbenah

agar

peristiwa

seperti

di

Pekanbaru tidak terulang. Pemerintah terus berupaya memenuhi hak-hak warga
binaan di dalam rutan.

v

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak asasi manusia pada dasarnya ada sejak manusia dilahirkan, karena hak

tersebut melekat sejak keberadaan manusia itu sendiri. Akan tetapi, persoalan
hak asasi manusia baru mendapat perhatian ketika mengimplementasiannya
dalam kehidupan bersama manusia. HAM mulai menjadi perhatian manakala ada
hubungan dan keterkaitan antara individu dan masyarakat1.
Secara flsafati bisa dijelaskan bahwa HAM adalah hak yang melekat atau
inherent pada diri manusia yang berasal dari Tuhan sejak manusia itu dilahirkan.
Manusia mempunyai derajat luhur dan dilengkapi oleh Tuhan budi dan nurani.
Kewajiban menghormati dan memajukan serta menegakkan HAM merupakan
kewajiban yang mendasar bagi setiap pelaku dalam hubungan internasional, baik
dalam skala nasional maupun internasional. Hak-hak dan kebebasan fundamental
manusia itu berakar pada idea Sang Pencipta, sedangkan HAM secara obyektif
adalah kewenang-kewenangan pokok yang melekat pada manusia sebagai
manusia, dan yang harus diakui dan dihormati oleh Negara.2
Pemikiran pertama tentang keselarasan hidup manusia dalam masyarakat
dikemukakan oleh Aristoteles, pemikir Yunani pada abad IV SM, yang menyatakan
bahwa untuk mencapai tujuan hidup manusia membutuhkan manusia lain,
sehingga keberadaan masyarakat mutlak agar individu manusia dapat memilki
arti dan berkembang3. Pemikiran ini mendapat tempat pada waktu itu dan
menjadi dasar munculnya institusi Negara.
HAM di deklarasikan pada tahun 1948 disahkan oleh Majelis Umum PBB. Ide

tentang hak asasi manusia yang berlaku saat ini berakar sejak era Perang Dunia
1

Mahrus Ali dkk, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat in Court System and Out Court System
(Depok: Gramata Publishing, 2011), 1.
2
Anis Widyawati, 2008, “Kajian Hukum Internasional Terhadap HAM”, Jurnal Pendecta, Vol. 2 No.
2, Juli-Desember 2008, 41.
3

II. Pembunuhan dan kerusakan dahsyat yang ditimbulkan Perang Dunia II
menggugah suatu kebulatan tekad untuk membangun sebuah organisasi
internasional yang sanggup meredakan krisis internasional serta menyediakan
suatu forum utntuk diskusi dan mediasi. Sejumlah Negara juga melangkah jauh
dalam mencapai mencapai standar internasional HAM yaitu dengan membentuk
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan kemudian menerapkan Action Plan .
Namun Persoalan hak asasi manusia tidak berhenti pada penerimaan
universalitas serta upaya-upaya pencapai standar internasional HAM. Untuk
beberapa kali kejadian pelanggaran HAM di Indonesia menunjukan perlunya
pemahaman HAM tidak sebatas karena hak itu dipunyai oleh semua manusia,

namun juga pelayanan terhadap hak itu perlu dilakukan oleh setiap manusia. 4
Nilai-nilai HAM seharusnya diterapkan secara menyeluruh di segala lapisan
masyarakat sehingga segala bentuk diskriminasi rasial, seksual dan pelanggaran
ham berat lainnya benar-benar mendapat perhatian yang memadai.
Pengaturan tentang hak asasi manusia dan penegakannya di Indonesia
dibagi dalam 4 masa, yaitu:
a. Masa Kemerdekaan
Indonesia

merdeka

tiga

tahun

sebelum

terjadinya

UDHR,


tetapi

dalam

konstitusinya, Indonesia dengan jelas dan tegas telah mengakui adanya hak asasi
manusia yang fundamental. UUD RI telah mengakui hak rakyat maupun hak
individu, yakni hak semua bangsa untuk merdeka, hak atas persamaan di
hadapan hukum dan dalam pemerintahan, hak atas pekerjaan, hak atas
penghidupan yang layak, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan
mengeluarkan pendapat, kebebasan beragama dan hak atas pendidikan.
b. Masa Orde Lama
Pada masa Orde Lama, terjadi tiga kali penggantian konstitusi, yaitu konstitusi
RIS, UUDS dan kembali pemberlakuan UUD 1945. Di masa RIS dan UUDS, hak
asasi manusia mengalami kemajuan pesat, tetapi dalam masa pemberlakuan
kembali UUD 1945 bangsa Indonesia megalami kemunduran perhatiannya
terhadap HAM.
4

Mahrus Ali dkk, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat in Court System and Out Court System
(Depok: Gramata Publishing, 2011), 43.

2

c. Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru Indonesia mengesahkan tidak lebih dari dua instrument
internasional mengenai HAM, yakni Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan, 1979 dan Konvensi tentang Hak Anak, 1989.
Dapat dikatakan bahwa penghormatan HAM pada masa ini sangat minim.
d. Masa Reformasi dan Transisi
Komitmen Negara RI untuk menghormati dan menegakan HAM meningkat
menjadi komitmen kosntitusional dengan perubahan kedua UUD 1945 yang
diterima oleh MPR pada tanggal 18 Agustus 2000 dan pembuatan peraturan
perundang-undangan

sebagai

“perangkat

lunak”

berlanjut

dengan

diundangkannya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang juga
memungkinkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc guna mengadili pelanggaran
HAM yang berat yag terjadi sebelum diundangkannya undang-undang tersebut.
Macam-macam Pelanggaran HAM berat dibagi menjadi dua, yakni kejahatan
Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kententuan mengenai genosida
diatur dalama Pasal 8.5 Pasal ini pada intinya menyatakan bahwa suatu perbuatan
dikategorikan sebagai genosida, jika perbuatan tersebut yang dilakukan dengan
maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok

bangsa,

ras,

kelompok

etnis,

kelompok

agama,

dengan

cara

membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fsik atau mental
yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan
kelompok yang dapat mengakibatkan kemusnahan secara fsik baik seluruh atau
sebagiannya dan memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah
kelahiran di dalam kelompok.
Jenis kedua tindakan pidana yang dikategorikan sebagai pelangaran hak
asasi manusia yang berat berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 adalah kejahatan
terhadap

kemanusiaan

menyatakan,

bahwa

yang

kejahatan

diatur

dalam

terhadap

Pasal

9.

kemanusiaan

Undang-undang
adalah

salah

ini
satu

perbuatan yang dilakukan sebagai suatu bagian dari serngan yang meluas atau

5

Ibid., Hlm. 43.

3

sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
tehadap penduduk sipil.
Masalah HAM berat sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya. Bahkan para pelaku
pelanggaran HAM berat dapat diadili dalam pengadilan Ad Hoc, akan tetapi
sampai saat ini arah penyelesaian HAM berat masih terlalu multi tafsir dan masih
banyak pro kontra teradap upaya penyelesaian kasus HAM Berat. Dengan adanya
hal semacam itu mengakibatkan Negara Indonesia belum bisa terbebas dari
pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM berat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penerapan HAM di Indoneisa?
2. Apa peran lembaga Komnas HAM terhadap pelanggaran HAM berat?
3. Bagaimana arah penyelesaian HAM berat di Indonesia?
C. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah:
1. Metode Pustaka
Yaitu metode yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data
dari pustaka yang berhubungan dengan alat, baik berupa buku, jurnal
hukum, jurnal ilmiah dan jurnal internasional.
2. Diskusi
Yaitu mendapatkan data dengan cara bertanya secara langsung kepada ahli
HAM dan dosen yang menguasai tentang permasalahan HAM dan beberapa
informasi yang diperoleh dari narasumber lain.

4

BAB II
PEMBAHASAN
Penerapan HAM di Indonesia
Indonesia seperti halnya mayoritas negara-negara lain di dunia berusaha
memperbaiki good governance, Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi. Empat
penekanan

yang

terkandung

di

dalam

democratic

governance,

seperti

transparansi dan tanggung jawab, kepatuhan pada aturan hukum, pelibatan
partisipasi maksimal, dan desentralisasi setidaknya sudah mewakili hal-hal yang
harus dilakukan suatu negara dalam menjalankan good governance. Dua hal yang
lain yaitu perlindungan dan peningkatan HAM serta kepatuhan untuk menjalankan
mekanisme demokrasi idealnya akan memperkuat good governance guna menuju
ke democratic governance. Harus diakui penerapan HAM di Indonesia masih
membutuhkan landasan yang baku dan kuat. Amandemen terhadap UUD 1945
dianggap dapat memperbaiki jaminan HAM, namun sejumlah konstitusi yang
pernah diterapkan di Indonesia menunjukkan adanya sikap maju-mundur
terhadap penegakan dan perlindungan HAM. Dalam UUD 1945 hanya memuat

5

beberapa pasal terkait HAM. Namun jika dilihat pada UUDS 1950 memperluas
cakupan HAM.6
Penerapan HAM di Indonesia sendiri sudah tercantum pada pasal 28A
sampai 28J UUD 1945. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa setiap manusia
memiliki hak nya masing-masing. Contoh hak untuk hidup, hak memiliki
kebebasan memeluk agama, hak untuk pendidikan yang layak, dan lain
sebagainya. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan undang-undang yang
mengatur tentang HAM, yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak asasi Manusia. Selain itu dalam rangka perlindungan dan penegakan HAM
oleh lembaga-lembaga Negara di antaranya dilaksanakan oleh: Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),
Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR), namun dalam perkembangannya KKR justru dibubarkan
karena tidak sesuai dengan fungsi dan tugasnya yang sesungguhnya sehingga
tidak memberikan keadilan pada masyarakat. Selain dilakukan oleh Komisi yang
dibentuk oleh Negara, perlindungan dan penegakan HAM saat ini lebih banyak
dilakukan oleh lembaga peradilan, khususnya pasca reformasi.7
Komnas HAM dibuat berdasarkan UU Nomor 39 tahun 1999 yang berfungsi
untuk perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM warga
negaranya. Adapun tujuan dari Komnas HAM adalah :
1. Mengembangkan kondisi yang kondusif

bagi pelaksanaan hak asasi

manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
2. Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan
berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Menurut UU No. 39 Tahun 1999, Komnas HAM juga berwenang melakukan
penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan
dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
6

Kurniawan Kunto dkk, 2005, “Menuju Democratic Goverment”, Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, Vol.
8 No. 3, Maret 2005, 296.
7
M. Amin Putra, 2015, “Eksistensi Lembaga Negara dalam Penegakan HAM di Indonesia, Fiat
Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 9 No. 3, Juli - September 2015, 256.

6

Berdasarkan Undang-undang No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
Komnas HAM adalah lembaga yang berwenang menyelidiki pelanggaran hak asasi
manusia yang berat. Dalam melakukan penyelidikan ini, Komnas HAM dapat
membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Hak Asasi Manusia dan unsur
masyarakat.
Komnas HAM berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, mendapatkan tambahan kewenangan
berupa Pengawasan. Dimana Pengawasan adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh Komnas HAM dengan maksud untuk mengevaluasi kebijakan
pemerintah baik pusat maupun daerah yang dilakukan secara berkala atau
insidentil dengan cara memantau, mencari fakta, menilai guna mencari dan
menemukan ada tidaknya diskriminasi ras dan etnis yang ditindaklanjuti dengan
rekomendasi.
Selain Komnas HAM, ada juga lembaga yang khusus untuk menangani kasus HAM
yang terjadi pada anak, yakni Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Kekerasan pada anak adalah merupakan salah satu bentuk pelanggaran
HAM yang merusak masa depan. Seperti bunyi pasal 28 ayat (2) UUD 1945
“setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak

atas

perlindungan

dari

kekerasan

diskriminasi”.

Pasal

tersebut

menjelaskan bahwa setiap anak berhak untuk hidup yang bebas tanpa adanya
kekerasan dan diskriminasi.
Kekerasan sangat dekat dengan kehidupan anak. Sejak usia dini, anak-anak
sudah dikenalkan pada bentuk-bentuk kekerasan mulai dari kekerasan verbal,
hingga seksual. Pengalaman anak-anak berhadapan dengan kekerasan, dapat
dijelaskan

baik

dari

segi

bentuk-bentuk

kekerasan

yang

dialami,

pelaku

kekerasan, tempat kejadian dan sebab-sebab terjadinya kekerasan. Kekerasan
terhadap anak dapat terjadi dimana saja, dirumah, di sekolah, masyarakat, kantor
polisi serta lapas Anak. Pelaku biasanya adalah orang dekat dengan anak, bisa
orangtua, kakek, nenek, kakak, keluarga dekat lainnya. Pelaku biasanya adalah
orang yang bertanggung jawab untuk melindungi anak-anak.
Kekerasan pada anak dapat menimbulkan pengaruh yang sangat kuat bagi
masa depan anak, karena anak akan mengalami gangguan pada mental dan
7

psikisnya yang mengakibatkan anak jadi susah untuk berkembang dan sulit
bersosialisasi. Anak sangat berpengaruh dalam membangun masa depan bangsa,
jika saat ini marak terjadinya kekerasan dan diskriminasi terhadap anak
bagaimana nasib masa depan bangsa nanti.
Pengaturan hukum

mengenai perlindungan

anak juga

diatur dalam

ketentuan UU HAM, dan secara spesifk diatur dalam Undang-Undang Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam ketentuan undang-undang
tersebut mengamanatkan dibentuknya Komisi Perlindungan Anak (KPAI) yang
bersifat independen.
Selain itu terdapat pula Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan).
Kaum perempuan selalu tertinggal dan termarjinalkan dalam bidang ekonomi,
pendidikan,
penyebabnya

kesehatan,
adalah

pekerjaan

karena

maupun

budaya

bidang

patriarkhi

lainnnya.

yang

Salah

berkembang

satu
dalam

masyarakat Indonesia. Pada masyarakat dengan budaya Patriarkhi, laki-laki
dominan berperan dalam memegang kekuasaan, dan perempuan tidak terlalu
berperan di dalamnya. Deklarasi PBB tentang Hak Asasi manusia tahun 1948
menegaskan bahwa “setiap orang dilahirkan dengan mempunyai hak akan
kebebasan dan martabat yang setara”. Lalu pada tahun 1993 munculah Deklarasi
Penghapusan Kekerasan Terhadap Wanita. Hal ini yang mendorong Indonesia
membentuk Komnas Perempuan untuk melindungi kaum perempuan dari segala
bentuk kekerasan dan diskriminasi.
Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusi berwenang menguji
Undang-Undang terhadap konstitusi atau dikenal dengan constitutional review.
Pelaksanaannya di Indonesia dan di berbagai negara, uji konstitusionalitas
disandarkan kepada suatu alas hak (legal standing), bahwa Undang-Undang yang
akan diuji telah merugikan hak dan atau wewenang konstitusional pemonohon
constitutional review. Hak-hak yang ada dalam UUD 1945 meliputi hak sipil
politik, hak ekonomi, sosial dan budaya, hak pembangunan, dan lainnya yang
muatannya bisa dikatakan telah mewakili substansi materi HAM yang ada dalam
generasi pertama hingga keempat.8
8

Sri Hastuti Puspitasari, Perlindungan HAM dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia,
dalam Eko Riyadi (Ed), Mengurangi Kompleksitas Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII,
2007) 179-183.

8

Tidak hanya itu saja, masih terdapat lembaga-lembaga perlindungan HAM
lainnya. Selain lembaga-lembaga perlindungan Hak Asasi Manusia, Indonesia juga
memiliki lembaga peradilan penegakan HAM. Salah satunya adanya pengadilan
HAM yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. Pada undang-undang tersebut dijelaskan bagaimana cara
penyelesaian terhadap kasus HAM. Berdasarkan undang-undang tersebut, proses
persidangannya berlandaskan pada ketentuan Hukum Acara Pidana. Proses
penyidikan dan penangkapan dilakukan oleh Jaksa Agung dengan disertai surat
perintah dan alasan penangkapan, kecuali tertangkap tangan.
Peran lembaga Komnas HAM terhadap pelanggaran HAM berat
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dibentuk pada tanggal 7
Juni 1993 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 tahun 1993 tentang Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia. Keputusan Presiden tersebut lahir menindaklanjuti
hasil rekomendasi Lokakarya tentang Hak Asasi Manusia yang diprakarsai oleh
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa,
yang diselenggarakan pada tanggal 22 Januari 1991 di Jakarta.
Komnas HAM bukan lembaga yang menggantikan fungsi pengadilan, karena
memang bukan badan peradilan, bukan persidangan hukum, dan tidak memiliki
kekuasaan untuk mengirim seseorang ke penjara, atau memvonis seseorang
karena suatu kejahatan tertentu. Hanya saja, Komnas HAM dapat melakukan
beberapa hal penting yang secara umum tidak dapat dicapai melalui proses
penuntutan-persidangan di pengadilan pidana. Komnas HAM dapat menangani
kasus dalam jumlah relatif besar dibandingkan dengan Pengadilan Pidana. Dalam
situasi dimana terjadi pelanggaran HAM yang berat yang meluas dan sistematis di
bawah rezim sebelumnya, Komnas HAM dapat menyelidiki semua kasus-kasus
atau sejumlah besar kasus yang ada secara komprehensif dan tidak dibatasi
kepada penanganan sejumlah kecil kasus saja.
Komnas HAM berada dalam posisi untuk menyediakan bantuan praktis bagi
para korban, yang secara spesifk mengindentifkasi dan membuktikan individuindividu atau keluarga mana saja yang menjadi korban kejahatan masa lampau
sehinga mereka secara hukum berhak untuk mendapatkan bentuk reparasi di
9

masa yang akan datang. Komnas HAM juga dapat dipakai untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan besar seperti; bagaimana suatau pelanggaran HAM
terjadi; mengapa terjadi, faktor apakah yang terdapat dalam suatu masyarakat
atau dalam suatu negara yang memungkinkan kejadian tersebut terjadi;
perubahan-perubahan

apa

saja

yang

harus

dilakukan

untuk

mencegah

pelanggaran HAM tidak terulang di masa depan.
Penegakan HAM di Indonesia, terjadi ketika muncul Keputusan Presiden
(Keppres) RI Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-hak
Asasi Manusia Indonesia 1998-2003 dalam rangka menegakkan HAM dengan
dasar segala ketentuan aturan hukum. Hal ini didasari bahwa negara memiliki
kewajiban-kewajiban untuk menghargai hak asasi orang lain di setiap tempat
serta untuk melindungi dan menegakkan hak asasi warga Negara di wilayah
mereka.9
Sampai kini Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan terhadap
sejumlah peristiwa pelanggaran berat HAM. Berikut ini adalah kasus-kasus yang
penyelidikannya telah diselesaikan Komnas HAM :
1. Tanjung Priok (1984)
2. Kerusuhan Mei (1998)
3. Timor Timur (1999)
4. Abepura (2000)
5. Wasior (2001-2002) dan Wamena (2003)
6. Penghilangan Orang Secara Paksa (1997/1998)
7. Kasus Talangsari, Lampung (1989)
8. Kasus Penembakan Misterius (Petrus) (1981-1983)
9. Peristiwa 1965-1966
10.

Peristiwa

Trisakti,

Semanggi I, Semanggi II (1999)
Dari 10 kasus tersebut, 3 kasus telah diselesaikan proses peradilannya yaitu
Kasus Timor Timur 1999 dan Tanjung Priok 1984 ditangani oleh Pengadilan HAM
Ad Hoc Jakarta. Kasus pelanggaran berat HAM Abepura 2000 ditangani di
Pengadilan HAM Makassar (bukan masa lalu). Sementara sisanya belum di proses
9

James. W Nickel, Hak Asasi Manusia, Making Sense of Human Right ( Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1996), 61.

10

Pengadilan

HAM

maupun

Pengadilan

HAM

Ad

Hoc.

Komnas

HAM

telah

melimpahkan hasil penyelidikan dari peristiwa-peristiwa tersebut ke Kejaksaan
Agung

agar

segera

melakukan

penyidikan.

Tapi,

berkas

itu

kemudian

dikembalikan lagi kepada Komnas HAM. Komnas HAM pun mengembalikannya
lagi kepada Kejaksaan Agung. Bolak-balik berkas tersebut ternyata memakan
waktu bertahun-tahun. Dan kasus tak kunjung terselesaikan. 10 Apabila Komnas
HAM tidak mampu menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM maka korban
dapat menggunakan mekanisme di International Criminal Court (ICC) atau
Mahkamah Pidana Internasional sesuai Pasal 17 Angka (2) dan (3) Statuta Roma
1998.
Ada

beberapa

hal

yang

menghambat

penyelesaian

kasus-kasus

pelanggaran berat HAM masa lalu. Hambatan pertama yaitu belum berjalannya
proses penyidikan. Hambatan kedua, soal belum dibentuknya Pengadilan HAM Ad
Hoc. Hambatan ketiga, adalah dibatalkannya UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR
oleh Mahkamah Konstitusi pada 7 Desember 2006. Keempat, tidak adanya
keberanian dan goodwill (itikad baik dan kemauan yang sungguh-sungguh) dari
presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus pelanggaran
berat HAM Penghilangan Orang Secara Paksa. Kelima, ada perbedaan keinginan
dari korban kasus pelanggaran berat HAM masa lalu tentang mekanisme yang
harus digunakan untuk menyelesaikan kasusnya. Dan yang terakhir karena sikap
masyarakat umum yang cenderung apatis atau tidak mau peduli tentang
perlunya penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.
Pengaduan

berbagai

kasus

pelanggaran

hak

asasi

manusia

yang

disampaikan oleh masyarakat baik yang datang secara langsung ke Komnas HAM
maupun melalui surat, ditangani oleh Komnas HAM sesuai dengan fungsi
pemantauan maupun mediasi. Bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia
yang diadukan oleh masyarakat yang selama ini terjadi hampir di seluruh daerah
meliputi pelanggaran hak sipil dan politik maupun pelanggaran hak ekonomi,
sosial, dan budaya. Pengaduan terhadap adanya pelanggaran ini dapat dilakukan
baik secara langsung bertatap muka dengan Komnas HAM maupun secara tidak
10

Muhammad Nurkhoiron dkk, 2016, “Komisi Nasional Hak Asasi Manusia”, Jurnal Ham, Vol. XIII,
2016.

11

langsung melalui surat. Dalam 2006 telah diterima sebanyak 3.372 pengaduan,
atau rata-rata 281 pengaduan setiap bulannya.
Seluruh pengaduan yang diterima dianalisis secara intensif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasar analisis
tersebut diambil tindak lanjut yang diperlukan, baik dengan meneruskan
pengaduan
mengadakan

tersebut

kepada

peninjauan

instansi

lapangan

pemerintah

untuk

yang

memperoleh

bersangkutan;
fakta

lanjutan;

menyarankan diadakannya mediasi, atau, jika diduga ada pelanggaran HAM yang
berat, mengusulkan pembentukan tim ad hoc penyelidikan berdasar Undangundang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Untuk menangani perbuatan pelanggaran hak asasi manusia yang berat ini
diperlukan

langkah-langkah

penyelidikan,

penyidikan,

penuntutan

dan

pemeriksaan yang bersifat khusus, sehingga dalam undang-undang nomor 26
tahun 2000 juga mengatur tentang ketentuan hukum acara yang bersifat khusus
yang berbeda dengan penanganan ordinary crimes.

Arah penyelesaian HAM berat di Indonesia
Pelanggaran

HAM

dapat

berupa

pelanggaran

HAM

ringan

maupun

pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM ringan yakni pelanggaran HAM yang
tidak mengancam jiwa manusia, namun berbahaya apabila tidak segera
diatasi/ditanggulangi. Misal, seperti kelalaian dalam memberikan pelayanan
kesehatan, pencemaran lingkungan secara disengaja oleh masyarakat dan
sebagainya. Sedangkan pelanggaran HAM berat yakni pelanggaran HAM yang
bersifat berbahaya, dann mengancam nyawa manusia, seperti pembunuhan,
penganiayaan, perbudakan, perampokan dan lain sebagainya.
Sebelum masuk ke dalam arah penyelesaian kasus HAM berat, perlu kita
ketahui bahwa ada beberapa konsep untuk melakukan perlindungan terhadap
Hak Asasi Manusia, diantaranya adalah :
1. International security through Human Rights Protection by States
An international order which can efectively help to secure human rights has been
considered omperative for the prevention of war and thus for international
12

security. In line with this view. Article 55 of the 1945 United Nations Charter
articulates that universal respect for and observance of human rights and
fundamental freedoms for all with no distinction as to race, sex, language or
religion are conditions of stability anda well-being that are necessary for peaceful
and friendly relations among nations.
2. Security as justifcation to Limit Human Rights
Relative to must human rights, the interests of security constitute a legitimate
aim to limit or infringe them. This applies frst of all in respect of national
security.11
Dari kedua pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perlindungan
HAM wajib didapatkan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali. Tanpa melihat
agama, gender serta bahasa. Oleh sebab itu perlu adanya penegakan hukum.
Penegakan hukum dapat dipandang sebagai suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan hukum adalah pikiranpikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturanperaturan hukum.
Menurut Junaedi, dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang, mengutip
dari pendapatnya prof Satjipto, penegakan hukum di Indonesia penuh dengan
kompleksitas dan kerumitan. Maka dari itu, untuk dapat melindungi HAM,
pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM. Bentuk pengadilan Hak Asasi Manusia ada dua macam yaitu Pengadilan
HAM Permanen dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Permanen
mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang
terjadi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Sedangkan
Pengadilan HAM ad hoc mengadili suatu peristiwa yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 31 Tahun 2001 tanggal 12 Maret 2001, pemerintah telah
membentuk Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan
Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Medan dan Pengadilan Negeri Makassar.
Undang-undang

Pengadilan

HAM

ternyata

mengenal

dua

macam

pelanggaran hak asasi manusia yang dapat diperiksa melalui pengadilan HAM
11

Piet Hein Van Kempen, 2013, “Four Concept of Security A Human Right Perspective”, Human
Right Law Review, Vol. 4

13

dilihat dari segi waktu terjadinya kejahatan (tempus delicti), yaitu pelanggaran
hak asasi manusia yang berat yang terjadi setelah dan sebelum dibentuknya
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pembedaan ini
menjadi

penting,

mengingat

Undang-Undang

Nomor

26

tahun

2000

memperlakukan kedua macam tindak pidana ini berbeda.
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia menyatakan, bahwa semua ketentuan yang ada dalam KUHAP
berlaku juga bagi pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang
berat, kecuali ditentukan secara khusus oleh Undang-Undang Pengadilan HAM. Ini
berarti, jika Undang-Undang Pengadilan HAM tidak menentukan lain maka proses
pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat mengacu pada
ketentuan-ketentuan dalam KUHAP.
Apabila

diperinci

ketentuan-ketentuan

mengenai

proses

pemeriksaan

pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang secara khusus ditentukan oleh
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang merupakan
penyimpangan dari KUHP berkaitan dengan beberapa hal, yaitu pengangkapan
(pasal 11), penahanan (pasal 12-pasal 17), penyelidikan (pasal 25), sumpah
(pasal 26), dan pemeriksaan sidang pengadilan (pasal 27-28), perlindungan saksi
dan korban, pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Mengingat
kejahatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 ini adalah
bukan tindak pidana biasa, maka selayaknya juga dibuat hukum acara yaang
khusus, seperti halnya Rules of Procedure and Evidence of Intent Court yang
berbeda dengan hukum acara untuk tindak pidana biasa seperti yang diatur
dalam KUHAP.12
Sistem pidana terdiri dari tiga hal, yaitu: jenis pidana dan lamanya sanksi
pidana, dan aturan pelaksanaan pidana. Jenis pidana terdiri sanksi pidana,
seperti: pidana mati, pidana penjara, pidana denda, dan lain-lainnya. Dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, masalah pidana
hanya berkaitan dengan dua hal, yaitu: jenis pidana dan lamanya pidana,
sedangkan aturan pelaksanaan pidana tidak diatur dalam undang-undang
tersebut. Jenis pidana meliputi dua jenis pidana, yaitu: pidana penjara dan pidana
12

Ahmad Sudiro dkk, Hukum dan Keadilan Aspek Nasional dan Internasional, ( Jakarta: PT Raja
Grafndo Persada, 2013), 53.

14

mati. Pidana penjara dalam undang-undang tersebut meliputi pidana penjara
seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu, yaitu paling lama 25
tahun. Sedangkan, mengenai lamanya sanksi pidana dikenal ancaman pidana
minimum khusus yang bervariasi, yakni paling singkat 10 tahun dan paling lama
25 tahun (pasal 36 dan pasal 37), paling singkat 5 tahun dan paling lama 15
tahun (pasal 38 dan pasal 39), dan paling singkat 10 tahun dan paling lama 20
tahun (pasal 40).
Dalam UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, permasalahan
mengenai pertanggungjawaban pidana diatur dalam pasal 36 sampai dengan 40.
Pada kasus ini pelaku dapat dikenakan pasal 37 UU No 26 Tahun 2000 yang
berbunyi “Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf a, b, d, e, atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan
paling singkat 10 (sepuluh) tahun.

BAB III
KESIMPULAN
Penerapan HAM di Indonesia masih membutuhkan landasan yang baku dan
kuat. Amandemen terhadap UUD 1945 dianggap dapat memperbaiki jaminan
HAM,

namun

sejumlah

konstitusi

yang

pernah

diterapkan

di

Indonesia

menunjukkan adanya sikap maju-mundur terhadap penegakan dan perlindungan
HAM. Dalam UUD 1945 hanya memuat beberapa pasal terkait HAM. Namun jika
15

dilihat pada UUDS 1950 memperluas cakupan HAM. Penerapan HAM di Indonesia
sendiri sudah tercantum pada pasal 28A sampai 28J UUD 1945. Selain itu dalam
rangka perlindungan dan penegakan HAM oleh lembaga-lembaga Negara di
antaranya dilaksanakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),
lembaga ini bukan menggantikan posisi Pengadilan Pidana akan tetapi Komnas
HAM dapat menangani kasus dalam jumlah relatif besar dibandingkan dengan
Pengadilan Pidana. Dalam situasi dimana terjadi pelanggaran HAM yang berat
yang meluas dan sistematis di bawah rezim sebelumnya, Komnas HAM dapat
menyelidiki semua kasus-kasus atau sejumlah besar kasus yang ada secara
komprehensif dan tidak dibatasi kepada penanganan sejumlah kecil kasus saja.
Komnas HAM berada dalam posisi untuk menyediakan bantuan praktis
bagi para korban, yang secara spesifk mengindentifkasi dan membuktikan
individu-individu atau keluarga mana saja yang menjadi korban kejahatan masa
lampau sehinga mereka secara hukum berhak untuk mendapatkan bentuk
reparasi di masa yang akan datang.
Arah penyelesaian HAM berat di Indonesia dapat diselesaikan dengan dua
macam bentuk pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu Pengadilan HAM Permanen
dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Permanen mempunyai kewenangan
untuk memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang terjadi setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Sedangkan Pengadilan HAM ad hoc
mengadili suatu peristiwa yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000. Sedangkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 26 tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menyatakan, bahwa semua
ketentuan yang ada dalam KUHAP berlaku juga bagi pemeriksaan perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, kecuali ditentukan secara khusus oleh
Undang-Undang Pengadilan HAM. Ini berarti, jika Undang-Undang Pengadilan HAM
tidak menentukan lain maka proses pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam KUHAP.
DAFTAR PUSTAKA

16

Ali, Mahrus dkk. Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat in Court dan Out Court
System. Depok: Gramata Publishing, 2011.
Puspitasari, Sri Hastuti. Perlindungan HAM dalam Struktur Ketatanegaraan
Republik Indonesia, dalam Eko Riyadi (Ed), Mengurai Kompleksitas Hak Asasi
Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII, 2007.
Nickel, James.W. Hak Asasi Manusia, Making Sense of Human Right. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Sudiro, Ahmad. Hukum dan Keadilan Aspek Nasional dan Internasional. Jakarta: PT
Raja Grafndo Persada, 2013.
Yuliarso, Kurniawan Kunto. 2005. “Menuju Democratic Governance: Jurnal Ilmu
Sosial dan Politik”. Vol. 8 No. 3, Maret 2005. 296.
Putra, M. Amin. 2015. “Eksistensi Lembaga Negara dalam Penegakan HAM di
Indonesia: Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum”. Vol. 9 no. 3, Juli – September 2015.
256.
Nurkhoiron, Muhammad. 2016. “ Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: Jurnal Ham”.
Vol. XIII, 2016.
Widyawati, Anis. 2008. “Kajian Hukum Internasinal Terhadap HAM: Jurnal
Pandecta”. Vol. 2 No. 2, Juli – Desember 2008. 41.
Van Kempen, Piet Hein. 2013. “Four Concept of Security A Human Right
Respective: Human Right Law Review”. Vol. 4, Februari 2013.

17