PRAKTIK OUTSOURCING DI INDONESIA PENYIMP

PRAKTIK OUTSOURCING DI INDONESIA
PENYIMPANGAN YANG BERLINDUNG DIBALIK
UU TENAGA KERJA NO. 13 TAHUN 2003

I. Pendahuluan
Berbicara mengenai praktik outsourcing selalu menjadi topik yang hangat di Indonesia,
karena sampai saat ini tuntutan penghapusan sistem kerja outsourcing tidak henti-hentinya
diteriakkan oleh buruh-buruh di negara kita. Setiap Hari Buruh tanggal 1 Mei yang dikenal
dengan May Day, tuntutan ini selalu dikumandangkan. Bahkan berbagai usaha secara terus
menerus telah dilakukan untuk meninjau kembali pasal-pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang
mengatur tentang outsourcing ini.
Outsourcing menjadi suatu sistem yang bersifat dilematis. Di satu sisi implementasinya
dianggap sangat merugikan para buruh dan di sisi lain sistem ini justru sangat menguntungkan
para pengusaha. Bagi para buruh sistem ini adalah sumber kegelisahan sosial, tidak memberikan
jaminan kepastian bekerja dan tidak adanya perlindungan upah serta jaminan kesejahteraan.
Buruh merasa tidak mendapatkan keadilan dan tidak mendapatkan perlindungan terhadap hakhaknya sebagai pekerja. Selama ini sistem outsourcing telah menempatkan buruh pada posisi
yang tidak terlindungi dan bisa dilakukan pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon atau
kompensasi setelah berakhirnya masa kontrak. Buruh hanya dianggap sebagai komoditas. Oleh
sebab itu banyak pendapat yang mengatakan bahwa sistem outsourcing ini sebagai suatu bentuk
perbudakan modern.(Wijayanti)
Sedangkan dari sudut pandang pengusaha sistem kerja outsourcing ini adalah suatu

sistem kerja yang digunakan untuk mencapai efisiensi guna meningkatkan produktivitas
perusahaan. Outsourcing dianggap sebagai suatu strategi bisnis yang memiliki keuntungan yang
sangat signifikan, terutama dalam hal penurunan biaya produksi atau biaya operasional
perusahaan.
Bagi pemerintah, sistem outsourcing ini adalah merupakan salah satu solusi untuk
mengatasi tingkat pengangguran yang tinggi serta sebagai pemikat bagi investor-investor untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Banyaknya investasi sering menjadi ukuran performance
ekonomi suatu negara demikian pula halnya dengan tingkat penyerapan tenaga kerja pada sektor
formal. Selain itu investasi dan penyerapan tenaga kerja sama-sama memiliki aspek publik yang
1

apabila terjadi ketidakseimbangan dampaknya akan merembet hingga ke ranah publik dan
akhirnya menjadi permasalahan sosial.(Hilman) Kemudian apakah Pemerintah dan Aparatur
Negara yang berwenang untuk menetapkan Undang-Undang dapat menunjukkan tanggung
jawabnya dalam mengawasi solusi yang diberikan tersebut agar pelaksanaannya tidak
menyimpang dari Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum tertinggi di Negara kita.
Outsourcing yang disebut sebagai salah satu solusi bagi pemerintah untuk mengatasi
masalah pengangguran dan pemikat investor telah diatur dalam pasal-pasal UU Ketenagakerjaan
No. 13 tahun 2003. Dan dalam perkembangannya hingga saat ini telah banyak menuai protes dari
pihak buruh karena ternyata pelaksanaannya penuh dengan penyimpangan yang sangat jauh dari

adanya perlindungan hukum dan keadilan bagi para pekerja. Padahal jelas dalam UUD 45
dituangkan bahwa perlindungan hukum terhadap pekerja merupakan hak dasar yang melekat dan
dilindungi oleh konstitusi sebagaimana yang diatur didalam pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang
berbunyi “tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan” dan pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama atas asas kekeluargaan “. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelanggaran terhadap
hak dasar yang dilindungi konstitusi ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Perlindungan
terhadap tenaga kerja adalah dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin
kesamaan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan
pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha dan
kepentingan pengusaha. (Makalah Usu)
Dari uraian diatas, muncullah permasalahan bagaimanakah peranan Pemerintah dalam
mengantisipasi penyimpangan pada sistem kerja outsourcing yang telah dituangkan kedalam UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut agar tidak disalahgunakan oleh pengusaha
atau oknum-oknum tertentu yang berusaha mengambil keuntungan dari pasal-pasal yang
mengatur tentang sistem kerja outsourcing ini.

II. Pembahasan
Istilah Outsourcing sebenarnya secara harfiah tidak dicantumkan dalam UU
Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003. Hal ini juga menimbulkan pendapat bahwa tuntutan

hapuskan outsourcing adalah tidak mendasar karena tidak dikenal dalam UU Ketenagakerjaan
No.13 Tahun 2003. Namun dalam UU tersebut ada ketentuan yang mengatur substansi
2

outsourcing, yaitu mulai dari pasal 64 sampai dengan pasal 66. Ketentuan-ketentuan pada pasalpasal tersebut cenderung menimbulkan tafsir yang digunakan untuk menguntungkan pihak-pihak
tertentu yaitu pengusaha dan pengelola atau penyedia tenaga kerja. Hal ini memunculkan
problematik ketika pihak-pihak lain yang terlibat didalamnya yaitu pekerja itu sendiri menjadi
terabaikan kepentingannya. Tak dapat dipungkiri, seringkali Undang-Undang tertinggal satu
langkah dibandingkan dengan kenyataan dalam masyarakat. Mengutip sebuah sindiran het recht
hinkt achter de feiten aan yang artinya hukum selalu terpincang-pincang mengikuti
perkembangan masyarakat. (Nurachmad)

II.1. Pengertian Outsourcing
Outsourcing berasal dari kata out source yang artinya to procure (as some goods or
services needed by a business or organization) under contract with an outside supplier.
(Merriam-websters dictionary) (untuk mendapatkan barang atau jasa dibutuhkan bisnis atau
organisasi yang mendasarkan kontrak dengan pemasok luar). Secara harfiah istilah outsourcing
diartikan sebagai alih daya atau pendelegasian suatu proses bisnis kepada pihak ketiga. Namun
ada juga orang berpendapat bahwa istilah outsourcing adalah untuk pekerjaan yang diborong,
sedangkan pekerja kontrak adalah pekerja yang diborong.(Nurachmad). Melalui pendelegasian

maka pengelolaan tidak lagi dilakukan oleh perusahaan, melainkan dilimpahkan kepada
perusahaan jasa outsourcing.
Secara umum outsourcing adalah merupakan suatu sistem kerja untuk menghasilkan
barang atau jasa yang dilakukan oleh pemberi kerja dengan cara mengalihkan sebagian
pekerjaannya kepada pemberi kerja lainnya. Tidak ada batasan mengenai siapa dan kepada siapa
outsoursing dapat dilakukan. Demikian pula tidak ada batasan mengenai jenis pekerjaan apa
yang dapat dialihkan kepada pihak lain. Asalkan setelah pekerjaan itu diselesaikan akan
memberikan keuntungan baik peningkatan kualitas maupun kuantitas. Dalam hal ini outsourcing
harus bermakna “outsourcing pekerjaan” bukan “outsourcing pekerja”. (Wijayanti)
Outsourcing adalah salah satu bentuk dari hubungan kerja. Hubungan kerja adalah
hubungan hukum. Hubungan hukum adalah suatu hubungan yang dilakukan oleh subyek hukum
mengenai objek hukum yang menimbulkan akibat hukum. Syarat subyek hukum yang
melakukan suatu hubungan hukum haruslah orang. Subyek hukum dalam hubungan kerja adalah
majikan dan pekerja. Syarat obyek hukum dari suatu hubungan hukum adalah benda. Dan dalam
3

hubungan kerja

obyek hukum adalah pekerjaan. Dengan demikian pekerja tidak dapat


digunakan sebagai obyek dari suatu hubungan kerja.(Wijayanti)
II.2. Manfaat dan Tujuan Outsourcing
Seperti yang telah disinggung diatas bahwa sistem kerja outsourcing ini memiliki
keuntungan yang signifikan bagi perusahaan. Adanya sistem kerja outsourcing ini akan
memungkinkan sebuah perusahaan lebih fokus pada bisnis intinya (core business) yang sejalan
dengan tuntutan globalisasi ekonomi yaitu menginginkan efisiensi, kecepatan dan kehandalan
produk. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan
bisnis inti, diserahkan pada pihak ketiga. Dengan outsourcing, pengusaha tidak perlu dibebankan
dengan urusan administrasi dan perencanaan pekerjaan di luar bisnis inti mereka, tidak perlu
terlibat dalam pemutusan hubungan kerja (PHK), memberikan pesangon, Tunjangan Hari Raya
(THR), dan hak-hak lain yang harus diterima oleh pekerja.
Suatu survey yang dilakukan oleh Outsourcing Institute terhadap lebih dari 1200
perusahaan serta studi yang dilakukan oleh para ahli manajemen sejak tahun 1991 menyatakan
bahwa alasan perusahaan melakukan outsourcing terhadap aktivitas-aktivitasnya adalah karena
adanya potensi keuntungan. Potensi keuntungan tersebut diantaranya adalah dapat meningkatkan
fokus perusahaan, sumber daya sendiri dapat dipergunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lain,
memungkinkan tersedianya dana capital, menciptakan dana segar, mengurangi

dan


mengendalikan biaya operasional, serta memecahkan masalah yang sulit dikendalikan atau
dikelola.(http://hukum.kompasiana.com)
Dari uraian diatas sangat jelas manfaat yang diperoleh dari adanya sistem kerja
outsourcing ini. Tujuan diadakannya outsourcing ini adalah efisiensi guna menghasilkan suatu
produk yang berkualitas dan berkuantitas dengan memperkecil resiko. Usaha untuk
menghasilkan efisiensi sebenarnya merupakan hal yang dapat dipahami. Beberapa teori
manajemen juga sangat mendukung dan mengupayakan tercapainya efisiensi tersebut. Jadi
efisiensi merupakan tujuan atau sasaran dari outsourcing. Tujuan akhir dari outsourcing adalah
peningkatan produktivitas. Jelas bahwa manfaat dari outsourcing ini lebih banyak
menguntungkan pihak pengusaha daripada pihak pekerja. Sistem outsourcing ini banyak
merugikan pekerja, tidak terjamin kesejahteraannya dan tidak mendapatkan perlindungan
terhadap hak-haknya sebagai pekerja. Sedangkan pemerintah selalu melihat bahwa outsourcing
ini bermanfaaat bagi para pekerja karena berarti mengurangi sedikit permasalahan
pengangguran, dimana pemerintah menganggap pernyataan “lebih baik bekerja daripada
4

menganggur” seolah-olah menjadi mantra penjinak ditengah carut marut perekonomian dan
kultur masyarakat yang intimidatif. Kita tidak dapat membandingkan sistem kerja outsourcing
diluar negeri. Sistem outsourcing di luar negeri diterapkan bagi skill labor dan bukan unskill
labor keadaan ini berbeda dengan di Indonesia. Selain itu di luar sana pelaksanaannya telah

lebih baik yaitu diatur dan dilaksanakan tanpa adanya penyimpangan yang cenderung mengarah
pada pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia dalam hal ini adalah hak-hak pekerja.
II.3. Dasar Hukum Outsourcing di Indonesia
Outsourcing bukanlah hal yang baru. Outsourcing sebagai lembaga hukum telah dikenal
keberadaannya sejak zaman kolonial Belanda dahulu. Terbukti dengan adanya outsourcing yang
diatur dalam pasal 1601b KUH Perdata atau Burgerlijk Wetbook (BW). Namun lembaga hukum
versi BW ini berlaku umum untuk pekerjaan jangka pendek, tanpa pembatasan seperti dalam UU
Ketenagakerjaan. Dikatakan : “ Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak
yang satu, si pemborong, mengikatkan diri menyelnggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang
lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.”.
(http://hukum.kompasiana.com)
Jadi sebelum UU Ketenagakerjaan berlaku sebagai hukum positif, UU bidang
perburuhan tidak mengatur mengenai outsourcing. Pengaturan mengenai outsourcing dan
Perjanjian Kerja Waktu tertentu (PKWT) pertama kali diatur dalam Peraturan Menteri tenaga
Kerja (Permenaker) No. 5 Tahun 1995 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 Tahun 1993.
Melihat substansi Bab IX UU Ketenagakerjaan khususnya mengenai PKWT, pembentuk undangundang mengadopsi isi dari dua Pemenaker tersebut.(Pangaribuan)
Dalam pekermbangannya kemudian lahirlah UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003.
Dengan demikian dasar hukum pengaturan outsourcing adalah Pasal 64 sampai dengan Pasal 66
jo pasal 1 angka 15 jo Pasal 59 UU No.13 Tahun2003. Istila outsourcing disebut sebagai
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya. Ketentuan Pasal 64

sampai Pasal 66 UU No.13 Tahun2003 dijabarkan lebih lanjut dalam kepmenaker No.
KEP.100/MEN/VI/2004, tentnag PKWT jo Kepmenakertrans No. KEP-101/MEN/VI/2004
tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh jo Kepmenakertrans No.
KEP-220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan
Kepada Perusahaan Lain.(Wijayanti)
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa outsourcing ini memiliki dua macam
landasan hukum yaitu Hukum Administrasi Negara sebagaimana diatur dalam UU
5

Ketenagakerjaan dan Peraturan Perundangan organik sebagai pelaksanaannya antara lain
Kepmenakertrans

No.

KEP-101/MEN/VI/2004

dan

Kepmenakertrans


No

KEP-

220/MEN/X/2004 serta dasar hukum outsourcing yang kedua adalah Hukum Perdata khususnya
hukum perjanjian dalam KUH Perdata/BW. .”.(http://hukum.kompasiana.com)
Dasar hukum ini memang menguatkan bahwa sistem kerja outsourcing di Indonesia
telah ada dalam sejarah perburuhan di Indonesia dan saat ini telah ditetapkan dalam Peraturan
Perundangan. Namun yang menjadi persoalan adalah pelaksanaan outsourcing dalam beberapa
tahun setelah terbitnya UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan masih mengalami
berbagai kelemahan terutama disebabkan oleh kurangnya regulasi yang dikeluarkan Pemerintah
maupun sebagai ketidakadilan dalam pelaksanaan hubungan kerja antara pengusaha dengan
pekerja. Namun demikian saat ini praktik outsourcing tidak dapat dihindari oleh pekerja apalagi
bagi pengusaha yang sangat merasakan manfaatnya hal-hal tersebut mendapatkan legalitas tanpa
mengindahkan hal-hal yang dilarang dalam yaitu Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 UU No.13
Tahun 2003.

II.4. Penyimpangan Terhadap Pelaksanaan Outsourcing
Outsourcing telah diketahui memiliki landasan hukum yang kuat di Indonesia. Sistem
kerja outsourcing pun telah ditetapkan ke dalam Peraturan perundangan tentang tenaga kerja

yang berlaku saat ini. Lalu kemudian apakah benar sistem outsourcing yang telah ada sejak
ratusan tahun yang lalu di Indonesia ini adalah suatu sistem yang salah ? apakah benar pasalpasal yang mengatur tentang outsourcing telah melalaikan hak dan keadilan bagi para pekerja
sehingga harus dihapuskan dari peraturan perundangan yang ada ?
Praktik outsourcing terkait dengan tiga pihak yaitu Pengusaha, Pengelola atau penyedia
tenaga kerja dan pekerja itu sendiri. Kedudukan ketiga pihak tersebut akan lebih jelas dengan
membahas pasal-pasal yang mengaturnya yaitu Pasal 64 sampai Pasal 66 UU No.13 Tahun
2003. Disebutkan pada Pasal 64, bahwa perusahan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui pejanjian pemborongan pekerja atau penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Tidak terdapat penjelasan resmi mengenai
rumusan Pasal 64. Namun ada dua bentuk perjanjian untuk dapat dilaksanakannya penyerahan
sebagian pelaksanaan pekejaan, yaitu perjanjian pemborongan pekerja dan perjanjian penyediaan
6

jasa pekerja/buruh. Dari ketentuan Pasal 64 dapat diinterpretasikan

adanya dua jenis

outsourcing yaitu “ outsourcing pekerjaan yang mendasarkan pada perjanjian pemborongan
pekerjaan dan outsourcing pekerja yang mendasarkan pada adanya perjanjian penyediaan jasa
pekerja. Dari pasal ini dapat dilihat adanya penyimpangan yaitu rumusan tersebut bertentangan

dengan legal concept tentang hubungan kerja. Dimana ada 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi
dalam hubungan kerja yaitu pekerjaan, perintah dan upah (pasal 1 angka 15 UU No.13 tahun
2003). Sebab perintah diberikan oleh pemberi pekejaan kepada pekerja, yang menikmati hasil
pekerjaan adalah pemberi pekerjaan, tetapi UU merumuskan hubungan hukum yang timbul
hanya antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerja. Seharusnya pemberi perintah
adalah yang bertanggung jawab terhadap diri pekerja termasuk semua hak bedasarkan UU. Jadi
seharusnya dirumuskan hubungan kerja dalam outsourcing adalah antara pemberi pekerjaan
dengan pekerja, bukan antara perusahaan penyediaan jasa pekerja dengan pekerja.
Disinilah sisi dimana status pekerja menjadi kabur secara yuridis, dan kelemahan UU
ini dalam merumuskan hubungan hukum dalam sistem outsourcing ini digunakan sebagai celah
bagi pengusaha untuk melaksanaan sistem outsourcing yang sarat dengan penyimpangan tanpa
mempedulikan nasib para pekerja.
Dalam hal pemborongan pekerja seperti yang dirumuskan dalam Pasal 65 UU No.13
Tahun 2003 bahwa syarat-syarat pemborongan pekerjaan berdasarkan pasal ini adalah tertulis,
berbadan hukum, didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian
kerja waktu tertentu (PKWT), serta syarat lainnya yaitu : dilakukan secara terpisah dari kegiatan
utama, dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan,
merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan dan tidak menghambat proses
produksi secara langsung. Untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dasar pengaturannya
adalah Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003. PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu yang tidak telalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun, pekerjaan
yang besifat musiman, atau pekerjaan yang behubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam masa pecobaan atau penjajakan. (UU TK No.13 Tahun
2003)
Menilik rumusan pada pasal tersebut, dalam implementasinya banyak pengusaha yang
tidak menjalankan atau melakukan penyimpangan dari apa yang telah ditentukan dalam pasal
7

yang menguraikan aturan tentang pemborongan pekerjaan. Pengusaha bahkan saat ini banyak
yang memborongkan pekerjaan inti atau core bisnisnya bahkan ada yang menyerahkan seluruh
pekerjaannya pada perusahaan lain dengan sistem outsourcing. Rumusan mengenai
pemborongan pekerjaan merupakan sumber konflik dimana selalu memunculkan penafsiran yang
berbeda-beda antara pekerja dan pengusaha.
Dalam hal obyek hukum outsourcing, penyerahan sebagian pekerjaan. Disini sebagian
pekerjaan atau pekerjaan ini dapat disebut sebagai obyek hukum. Sedangkan pekerja tidak dapat
disebut obyek hukum. pekerja adalah orang yang seharusnya menjadi subyek hukum. Jadi
menurut Pasal ini obyek hukum adalah pekerjaan bukan orang. Namun dalam implementasinya,
obyek hukum dalam perjanjian antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia
tenaga kerja adalah orang. Orang disini telah diperjualbelikan dan ini telah melanggar hak-hak
azasi manusia. Kembali celah dan kelemahan UU menjadi bagian dari penyimpangan pada
sistem kerja outsoucing ini dan dimanfatkan sebaik-baiknya oleh pengusaha untuk
menguntungkan perusahaannya secara sepihak.
Bagian lain dari UU ini yaitu Pasal 66 disebutkan mengenai syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Meskipun dalam salah satu ayatnya telah
disebutkan dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b,
dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja
antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi kerja. Sebenarnya jelas sekali ketentuan tersebut
telah menentukn bahwa perusahaan hanya dapat memborongkan pekerjaan yang bersifat sebagai
kegiatan penunjang saja dan apabila melanggar persyaratan tersebut makan hubungan kerja yang
ada harus dialihkan. Namun implementasi yang terjadi pada kenyataannya tidaklah demikian.
Banyak perusahaan pemberi kerja yang tidak memenuhi ketentuan pada pasal-pasal
yang mengatur tentang outsourcing. Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 UU No.13 tahun 2003
dengan segala kelemahannya selalu dicari celah-celahnya oleh Perusahaan pemberi kerja ataupun
Perusahaan Penyedia jasa pekerja untuk menguntungkan perusahaan mereka sendiri tanpa
mempedulikan nasib pekerja yang dianggap sebagai obyek layaknya barang yang tidak perlu
diperhatikan hak-haknya.
Penyimpangan-penyimpangan ini akan terus menerus terjadi apabila pemerintah tidak
bertindak secara tegas untuk me-review ulang pasal-pasal yang mengatur tentang outsourcing
8

yang ada pada UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 ini. Pemerintah hendaknya segera
melakukan revisi terhadap kelemahan-kelemahan pada pasal-pasal yang ada serta menutup
celah-celah yang digunakan oleh pihak-pihak tertentu demi keuntungannya sendiri. Pemerintah
juga seharusnya bertindak tegas memberikan sanksi hukum kepada pengusaha atau pihak-pihak
yang ditemukan melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan sistem outsourcing ini.

II.5. Legalitas Outsourcing Pasca Putusan MK
Kenyataan bahwa banyak penyimpangan yang terjadi dalam sistem kerja otsourcing ini
membuat para pekerja tak berhenti untuk terus memperjuangkan penghapusan outsourcing dari
UU tenaga kerja. Mulai dari melakukan demonstrasi dari berbagai serikat pekerja dan aliansi
buruh hingga mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Konstitusi tentang pasal-pasal
yang mengatur mengenai outsourcing. Pekerja berharap pasal-pasal tersebut dihapuskan atau
ditinjau kembali sehingga mampu mengadopsi kepentingan para pekerja yaitu mendapatkan
keadilan, perlindungan upah, jaminan kesejahteraan serta diberikannya hak-hak yang harus
diperoleh pekerja.
Dalam perkembangannya tak lama setelah UU ketenagakerjaan diberlakukan, sebanyak
37 serikat pekerja/buruh mengajukan perlawanan atas legalisasi sistem outsourcing dan PKWT.
Mereka mengajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal-pasal
yang diajukan untuk diuji adalah Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 yang terdapt dalam UU
Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003. Namun saat itu MK menolak permohonan atas uji materi
terhadap ketiga pasal tersebut. Upaya pekerja/buruh tidak berhenti hingga disana. Tuntutan untuk
menghapuskan sistem outsourcing ini terus dilakukan.
Pada tahun 2011 kembali dilakukan pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
AP2MLI tercatat dalam register permohonan No.27/PUU-IX/2011 telah mengajukan judicial
review terhadap Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66. Hasilnya MK hanya dapat menerima
uji material untuk sebagian dari pengajuan yaitu Pasal 65 dan Pasal 66, sedangkan untuk Pasal
59 dan Pasal 64 dianggap telah sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
MK menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 kecuali ayat (7) dan Pasal 66 kecuali ayat
(2) huruf (b) UU No. 13 tahun 2003 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, ketentuan
selain ayat (7) pada Pasal 65 dan ayat (2) huruf (b) pada Pasal 66 tetap berlaku sebagai hukum
positif.
9

Bagian utama dari amar putusan MK menyatakan : “frasa perjanjian kerja waktu tertentu
dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf (b) UU No. 13 tahun 2003 bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan
pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun
terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari
perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.”

Amar keputusan ini

mengandung interpretasi atau tafsir yang dinyatakan dalam Surat Edaran Kemenakertrans No.
B.31/PHIJSK/I/2012 tanggal 20 januari 2012 yaitu “Apabila dalam perjanjian kerja antara
perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
dengan pekerja/buruhnya tidak memuat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi
pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima
pemborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka
hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh maka harus didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu (PKWTT).” (Pedoman baru,Yustisia)
Dan apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan
atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya memuat syarat adanya
pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada (sama),
kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya dapat didasarkan pada
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Amar putusan MK tidak secara implisit menyatakan perjanjian kerja pekerja/buruh dalam
lingkungan perusahaan outsourcing harus dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu
(PKWTT). Di dalam pertimbangan hukumnya MK menawarkan PKWTT sebagai salah satu
model outsourcing. Sesuai uraian di atas, MK tidak mengharuskan perusahaan menerapkan
PKWTT. Status PKWTT dalam perusahaan hanya terjadi bila: (a) PKWT tidak mensyaratkan
pengalihan perlindungan hak pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada; atau (b) perusahaan
sejak awal menerapkan PKWTT
Pengusaha tetap boleh menyerahkan atau memborongkan pekerjaannya kepada
perusahaan lain sehingga sistem outsourcing tetap bisa dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan
10

pertimbangan MK yang menyatakan “...penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis atau melalui
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) adalah kebijakan usaha
yang

wajar

dari

suatu

perusahaan

dalam

rangka

efisiensi

usaha.”

Sehingga dalam hal ini dapat diinterpretasikan bahwa MK tidak menyatakan outsourcing
sebagai sistem yang terlarang dalam relasi bisnis dan hubungan kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha. Dalam posisi itu, Pasal 64 UU No 13 Tahun 2003 tetap sah sebagai dasar
hukum bagi perusahaan untuk melaksanakan outsourcing dan Pasal 65 kecuali ayat (7) dan Pasal
66 kecuali ayat (2) huruf (b) sebagai teknis hubungan kerja dalam perusahaan outsourcing.
Meskipun hasil uji materi terhadap kedua pasal tersebut belum dapat memuaskan seluruh
pekerja namun uji materi ini dapat membuka peluang untuk dilakukannya peninjauan kembali
terhadap pasal-pasal tersebut sehingga dapat meminimalisir penyimpangan-penyimpangan yang
ada. Selain itu peluang ini akan membantu para pekerja dapat segera memperoleh kepastian
hukum, karena ini adalah momen yang dapat digunakan oleh pemerintah dan DPR untuk
membahas perubahan UU ketenagakerjaan dan mengadopsi keseluruhan norma yang terdapat
dalam beberapa putusan MK menjadi hukum positif.

III. Penutup
Berdasarkan uraian diatas bahwa sesungguhnya sistem kerja outsourcing sudah ada
sejak beratus-ratus tahun yang lalu di Indonesia. Outsourcing sesungguhnya memungkinkan
untuk bermanfaat baik bagi pihak pengusaha demikian juga bagi pihak pekerja. Hanya saja
dalam praktiknya, pengaturan UU Ketenagakerjaan mengenai sistem kerja outsourcing ini sering
menimbulkan multi tafsir yang akhirnya dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu atau sengaja
ditafsirkan secara salah untuk mencari celah-celah dari kelemahan pasal-pasal yang
mengaturnya. Seolah-olah setiap pekerjaan bisa dialihdayakan, bahkan pekerjaan inti sekalipun.
Selain itu perlindungan terhadap pekerja menjadi minim karena pekerja diikat dengan PKWT,
sehingga ketika kontrak berakhir maka berakhir pula hubungan kerja dengan perusahaan dan
perusahaan tidak ada kewajiban memberikan kompensasi terhadap pekerja yang mendapatkan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hal-hal seperti ini harus diakui sebagai kelemahan
elementer dari konsep norma outsourcing yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
11

Jika menilik kepada kerangka hukum, sesungguhnya sistem outsourcing ini tidak
seharusnya

mengabaikan

perlindungan

terhadap

hak-hak

pekerja/buruh.

Banyaknya

penyimpangan praktik outsourcing dari konsep hukum positif serta teori hukum asalnya seolaholah lebih banyak berpihak pada kepentingan pengusaha dan selalu merugikan pekerja/buruh
sehingga menimbulkan pro kontra untuk menghapus sistem outsourcing ini.
Perbedaan kepentingan yang ada antara pengusaha dan pekerja hendaknya dapat segera
diselesaikan oleh Pemerintah dengan mengadopsi seluruh tuntutan pekerja, melindungi hak-hak
pekerja sehingga tidak hanya menguntungkan satu pihak saja. Dalam teori ekonomi disebutkan
bahwa modal dan tenaga kerja sama-sama merupakan alat ekonomi dimana keduanya memiliki
pengaruh yang signifikan dan merupakan faktor utama dalam perekonomian suatu negara, oleh
karena itu sedapat mungkin keduanya harus diatur oleh Negara sehingga sinergi keduanya dapat
terkelola dengan baik. (Hilman)
Norma baru yang telah dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi, hendaknya digunakan
sebagai peluang dalam meluruskan praktik-praktik outsourcing di Indonesia agar dapat
bermanfaat baik bagi pekerja/buruh dan juga bagi pengusaha. Dengan adanya norma-norma baru
yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi diharapkan adanya penegakan terhadap ketentuanketentuan yang seharusnya dilaksanakan, menjelaskan rumusan-rumusan yang multitafsir
sehingga tidak ada lagi penyimpangan praktik outsourcing yang berlindung dibalik UU
Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003.
-------xxx-------

12

DAFTAR PUSTAKA

Citra Umbara, Penerbit, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2001 Tentang
Ketenagakerjaan beserta penjelasannya, Penerbit : Citra Umbara, Bandung, 2003
Damanik, Sehat, Outsourcing & Perjanjian Kerja Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Penerbit : DSS Publising, Jakarta, 2006
Hilman, Anjaz, Artikel : Menimbang Kepentingan Pekerja Outsourcing dan Pengusaha dalam
Hubungan Industrial di Indonesia,http://sites.google.com/site/anjazhilman/hukumketenagakerjaan
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20936/5/chapter%201.pdf (Universitas Sumatera
Utara)
http://www.merriam-erbstre.com/dictionary/outsource
Kompasiana,Opini:MeluruskanPraktekOutsourcing,http://hukum.kompasiana.com/2012/04/29/,
meluruskan-praktik-outsourcing
Nurachmad, Nur, Tanya Jawab Seputar Hal-hal Tenaga Kerja Kontrak (Outsourcing), Penerbit :
Visi Media, Jakarta, 2009
13

Pangaribuan,

Juanda, Artikel
:
Legalitas
outsourcing
http://www.hukumonline.com/berita/baca

pasca

putusan

MK,

Wijayanti, Asri, Artikel : Outsourcing : Teori, Aturan & Praktiknya di Indonesia,
http://masyarakthubunganindustrial.wordpress.com/2012/01/11/outsource-teoriaturan-dan-praktinya-di-indonesia
Yustisia, Tim redaksi, Pedoman Terbaru Outsource & Kontrak Kerja, Penerbit : Pustaka Yustisia,
Jakarta, 2012

14