berbasis AGAMA DAN BUDAYA BANGSA
AGAMA DAN BUDAYA BANGSA
DALAM SISTEM KEJAGATAN
(SOSIAL BUDAYA DALAM PANDANGAN AGAMA)
Oleh: Gagan Mohammad
I.
PENDAHULUAN
I.1.
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
Globalisasiyang diikuti liberalisasi ekonomi, perdagangan, barang, jasa,bahkan ideologi dan
politik,menyebabkan sosial budaya sertatata pemerintahan Indonesia menjadi absurd, bersamaan
dengan itu Triple-T Revolution1menerobos batas teritori menyatu dalam genggaman tangan. Keadaan
itu bercampur dengan gegap gempita euforia reformasi yang membuat Indonesia kehilangan,
setidak-tidaknya orisinilitas budaya dan kearifan lokal dalam membangun bangsa dan negara
bermartabat.
Perkembangan "keadaban" politik dan kebijakan nasional, utamanya daya tangkal publik
terhadap dampak negatif arus globalisasi yang kian merangsek memasuki wilayah ideologis dan
theologis, dimana para pendiri bangsa dengan susah payah mengajarkannya melalui esotorisme
Pancasila dan Pembukaan Konstitusi Republik Indonesia, "Berketuhanan sekaligus berkemanusiaan,
adil dalam kesejahteraan dan sejahtera dalam keadilan“.
Semestinya meskipun tanpa adanya tekanan globalisasi, selaku “duta besar”(khalifah)
Tuhan, manusia memang harus demokratis seiring tugasnya memuliakan entitas kejagatan,
melaluiperangkat berupa insting Ilahiyah yang telah ada sejak penciptaan sebagai pencetus sifat
homo homini socius, zoon politikon, atau bekebudayaan kemudian membentuk komunitas
sosialdikemudian hari bernama bangsa dan negara.
1
Triple-T Revolution, yakni Transportation, Travel and Telecomunication”, berupa pemanfaatan
ilmu pengetahuan teknologi telekomunikasi, transportasi dan
komputerisasi dalam wujud revolusi arus informasi, manusia, barang dan
jasa dengan spektrum intranasional dan internasional (Kamal Alamsyah).
1
Dengan kata lain demokrasi datangnya dari manapun merupakan kebutuhan kemanusiaan
yang bersifat ilahiyah, dan tentu saja demokrasi sebuah sistem sosial politik yang menekankan
tanggung jawab individu dalam interaksi sosial adalah sebuah kebenaran, ketika Tuhan
menganugerahkan kebebasan berkehendak kepada setiap manusia untuk melakukan apapun yang
dibutuhkan demikeberlangsungan peradaban.Faktanya demokrasi kekinian yang diakibatkan tekanan
globalisasi liberalistik, menyebabkan keluhuran Pancasila larut dalam praktek ketatanegaraan yang
condong mengadopsi paham liberalisme sekularistik, dan sadar atau tidak hal itu merupakan langkah
mundur dari sistem sosial budaya Indonesia yang secara antropologis telah berlaku jauh sebelum
demokrasi liberal dikenal.
Betapa tidak Pancasila bukanlah semata-mata dasar negara, dan sumber hukum, namun lebih
jauh Ia adalah ideologi sekaligus pandangan hidup (way of life), yang terambil dari nilai-nilai
transendensi ilahiyah dan termasifestasi dalam bentuk budaya serta kearifan lokal, keluhurannya
berseberangan secara antagonistis dengan ideologi liberalisme sekularistik, produk genetik filsafat
materialisme yang dipahami segala boleh, memisahkan antara keyakinan agama dengan kebijakan
negara, danmenjadi penyebab utama mal-praktek administrasi keuangan publik, bahkan seringkali
hukum dijadikan senjata bagi segala kerakusan (Frederick Bastiad, 1887).
Karena itu pergulatan politik dan konflik sosialyang sering menyedot ruang publik pasca
reformasi bukan seperti tampak dipermukaan atau sekedar pertarungan elit dan masyarakat bawah,
akan tetapi ia merupakan pertentangan budaya seperti pendapat Sun dan Gargan (1996), yang
menyebut Taiwan dan seperti juga di beberapa negara berkembang lainnya, pemerintah berurusan
dengan persoalan rekonsiliasi antara budaya tradisional, kultur demokrasi baru dan industrialisasi
sebagai usaha negara membangun kesejahteraan ekonomi rakyat. Islaminur Pempasa 2malah
berpendapat lebih tajam dengan mengatakan bahwa saat ini Indonesia mengalami “okhlokrasi”,
berarti kekuasaan dan pemerintahan dipegang oleh gerombolan orang-orang “tak tercerahkan”.
Pempasa berpendapat bahwa “okhlokrasi” merupakan kekuasaan pemerintahan yang
dikendalikan dan berisi beragam penyimpangan dari tujuan awal mewujudkan kesejahteraan rakyat,
meskipun tentu saja pemerintahan model ini tetap sah dan legitimate karena mendapat suara
2
Pemimpin redaksi Pikiran Rakyat dalam pendapat Redaksi PR yang dimuat tanggal 7 desember 2015.
2
terbanyak dalam basis data Pemilu. Dengan kata berbeda reformasi politik 1998 baru sebatas
menghasilkan demokrasi simbolik, kemudian terpapar radiasi liberalisme sekularistik yangmengena
pada sasaran ideologis, mematikan sensorik inderawi para pemangku kepentingan birokrasi publik,
serta melumpuhkan “nalar” ilahiyah yang seharusnya berfungsi semacam “peredam kejut” hasrat dan
godaankekuasaan.Liberalisme sekularistik confirm telah mendegradasi moral bangsa,
melanggengkan korupsi dengan cara kerja yang masif, dan berubah bentuk menjadi ethnografi
kriminal,terbukti melalui proses dan dampak Pemilu, dari Pilpres hingga Pilkades berbiaya tinggi.
I.2.
TUHAN
Judul besartulisan ini tentang nilai-nilai transendensi Tuhan dalam kesucian agama dan
hubungannya dengan budaya, maka sebelum membahas agama dari sudut pandang ritualitas
kelembagaan formal, eksistensi Tuhan yang menjadi inti agama, selain berwujud keyakinan, Dia juga
seyogyanya mesti dibuktikan terlebih dahulu melalui ilmu pengetahuan modern sebagai antitesis
teori materialisme yang anti Tuhan, apalagi secara sosial agama dan Tuhan itu tampak sama, padahal
Ia bisa dibedakan, dalam arti secara faktual setiap orang yang bertuhan tidak harus beragama, dan
tiap-tiap orang beragama pastilah bertuhan.Disiplin ilmu sosial menyatakan Agama dan Tuhan
merupakan “conditio sine qua non” dengan masyarakat.
Menurut Emile Durkheim3 (1858) bahwameskipun agama berbeda dari keyakinan
pribadi,namun bahwa agama adalah "sesuatu yang nyata sosial"dan bahwa agama adalah suatu
sistem yang terpadu, terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci.
Namun begitu tetap saja bagi semua agama, sepakat bahwa Tuhanadalah transenden, pemilik segala
wujud dan berada pada dimensi esoterik. Dikatakan transenden sebab Tuhan itu tidak dapat dipahami
oleh akal, dan disebut esoterik Dia mustahil diserupakan oleh semua makhluknya, meski bukan
berarti manusia tidak dapat menangkap pengertian tentangNya. Dia masih dapat dipahami melalui
manifestasiNya, dengan apa yang dinamakan "Dualitas Ilahi"4.
3
4
The Rule of Sociological (1895-1982) menyimpulkan bahwa sumber agama adalah masyarakatitu sendiri
dan masyarakat dengan agama adalah sama, masyarakatlah yang menentukan sesuatu itu sakral atau bersifat
profan.
Murata Sachico : The Tao Of Islam.
3
Sejarah mencatat sesungguhnya sejak Filsuf Thaleshingga Aristoreles sepakat bahwa
penggerak utama semesta adalah Theos atau Tuhan, namun kemudian datang Isaac Newton (16431727) dengan bekal pengetahuannya dia melakukan penelitian terhadap semesta dan lahirlah teori
“determinasi mekanika”. Inti teorinya Newton percaya bahwa alam raya adalah merupakan mesin
raksasa yang bergerak dengan sendirinya (mekanis), secara tetap (deterministik) dan menganggap
atom “sepenuhnya” terbentuk dari materi.
Berkenaan dengan fisika klasikdalam beberapa hal Newton benar, melalui teorinya berhasil
menemukan hukum gravitasi dan tiga hukum gerak tentang alam raya yang menurutnya diatur oleh
hukum-hukum yang sama, dan dapat memprediksi gejala alam seperti gerhana dan lain-lain serta
mengukuhkan teorinya menjadi filsafat ilmu bagi kelompok “meterialisme”, sebuah aliran pemikiran
yang menganggap “apa yang rasional itu nyata, dan nyata itu adalah rasional”, sehingga menurut
pandangan ini tidak ada sesuatu yang tidak dipahami (Friedrich Hegel 1770-1831).
Sungguhpun Newton percaya akan eksistensi Tuhan, akan tetapi kemudian dia mengingatkan
bahwa hukum gravitasi tentang gerakan planet-planet, tidak dapat menjelaskan “siapa penggerak
alam semesta untuk pertama kali”, karena itu Newtonpun tidak pernah menyangka filsafat ilmu
Newtonian dikemudian hari menjelma menjadi semacam “dogma iman” mazhab materialisme klasik
yang hadir untuk mendegradasi eksistensi Tuhan sebagai penyebab penciptaan.
Seandainya Isaac Newton masih hidup, dia akan tercengang melihat kenyataan bahwa dalam
setiap atom terbentuk dari inti dan sejumlah elektron “non materi” yang bergerak mengitari orbitnya
dengan kecepatan 1.000 km/detik. Dalam inti terdapat partikel-partikel proton dan neutron yang
berkombisasi untuk membentuk molekul, akhirnya materi.Berseberangan dengan pendapat Newton,
hukum hubble membuktikan bahwa “alam semesta mengembang secara merata sejak ledakan besar
hingga saat ini “5.
Kehadiran Albert Einsteinmelalui teori “relativitas Einstein”, disusul teori “ketidakpastian
Heisenberg”, sekaligus menenggelamkan teori fisika klasik Newtonian dan mengembalikan keadaan
seperti halnya para filsuf miletos dan filsuf sesudahnya bahwa “alam semesta merupakan
5
6.
Harun Yahya, The Creation of Universe (1999)
Filsafat materialisme menyatakan bahwa satu-satunya dunia nyata adalah “material”, dan menolak filsafat idealisme yang
percaya bahwa idea, pikiran dan perasaan menurut Plato tidak diciptakan oleh pemikiran manusia, tidak tergantung pada
pemikiran manusia, melainkan pikiran manusia yang tergantung pada idea, idealah citra pokok dari realitas, nonmaterial,
abadi, dan tidak berubah.
4
keseluruhan yang menyatu, dengan satu prinsip dikuasai oleh suatu hukum tertentu, bekerja bukan
kebetulan, dengan tujuan agar kosmos bergerak secara teratur”,kemudian Aristoteles menyebutnya
“Theologike“, “methafisik” atau Tuhan. Pada dasarnya pertarungan pemikiran antara idealisme dan
materialisme6 dalam cakupan ilmu filsafat sudah lama berkembang di Athena,kedatangan filsuf
Thales dalam wacana ilmiahsesungguhnya untuk menengahi pandangan “mitologi” (idealis) dengan
“rasio” (materialis), dimana filsafat idealisme mendasarkan pijakannya pada “relegius dan mistis”
sebagaimana terbukti melalui teori Einstenian, sedangkan dunia “rasio” Newtonianberbanding
terbalik yang serba kasat mata.
Jika materialisme tunduk pada wujud nyata (macrocospic), maka kehadiran fisika
Einsteinian setidaknya membaginya dalam dua dunia, pertama teori relativitas menggantikan teori
Newton tentang ruang-waktu dengan memasukan elektromagnetis, terutama soal kecepatan cahaya
dan berbicara soal “dunia kasat mata” atau semasta yang luar biasa besar,dan keduamekanika
kuantumajaran yang menelisik alam yang super kecil “tak kasat mata/alam methafisik”(mirocospik).
Teori ini menjungkirbalikan filsafat materialisme seperti pendapat Hegel tentang “apa yang rasional
itu nyata, dan nyata itu adalah rasional” yang kemudian digunakan Carl Max dalam pandangannya
bahwa agama adalah candu rakyat.
Oleh karena fisika Einstenian mengadaptasi juga pandangan materialisme dalam dunia
“kasat mata”, akan tetapi karena sifat kajiannya tergolong “mistis/tak kasat mata”, maka fisika
modern tampaknya justru bertransformasi menjadi fisika yang methafisik, seperti intisari dari
definisi fisika kuantum : udara, air, gunung, binatang, tumbuhan, tubuh manusia, termasuk kursi
yang kita duduki, meja yang kita lihat, raba dan rasakan, mulai dari yang paling berat sampai
teringan, dibentuk dari kumpulan atom dan partikel sub-atomik yang merupakan pola-pola dinamis
dalam ruang-waktu.
Ia adalah “massa dan energy” yang menegaskan “ketiadaan” benda atau wujud apapun di
dunia ini. Benda materi terlihat “ada” hanyalah pemadatan lokal akibat medan eletromagnetis yang
tersusun dari ruang-ruang hampa diantara molekul yang tak pernah diam dalam suatu bentuk
6
5
permanen, sehingga bukan kebetulan jika Einstein mengatakan “kenyataan adalah ilusi, meskipun
terjadi berulang-ulang7.
Oleh karena itu pula Peter Higgh8penemu Partikel Higgs/Partikel Tuhan menyatakan atom
terbentuk bukan saja oleh adanya pergerakan dalam inti atom, namun juga membentuk melalui
partikel “tak kasat mata” yang bertugas memberi “massa” terhadap semua benda termasuk materi
gelap (Dark Matter) dan energy gelap (Dark Energy), yang memungkinkan alam raya dan seisinya
mampu berdiri tegak, sehingga tidaklah berlebihan jika Lawrence Krauss9 menyatakan partikel higgs
dapat membuka jalan bagi penelitian “alam ghaib”.Einstein memakai istilah “ilusi”, sedangkan Ibn
Araby (1165-1240) mistikus Muslim klasikmenggunakan terminologi “maya”10.
Selain itu pada saat bersamaan dalam bidang ilmu neurosains menyimpulkan bahwa Tuhan
dengan sengaja mendownload piranti lunak “kepercayaan metafisik” kedalam otak manusia, Andrew
Newberg menggunakan istilah “God Circuit”11,atau menurut Danah Johar dan Ian Marshall bahwa
eksistensi Tuhan menciptakan sistem syaraf manusia “berkesadaran relegius” dengan menyebut
“God Spot”12. Demikian pula penelitian dalam bidang psikologi perilaku, Daniel Goloman
berpendapat bahwa amigdala menyimpan rasa takut dan insting akan suatu kekuatan dan bahaya
tertentu yang berfungsi semacam “Panic Bottom” atau sirkuit tanda bahaya yang akan
disebarluaskan kepada seluruh fungsi syaraf untuk melawan atau lari secara spontan 13.
Menurutnya kerusakan pada amigdala, seseorang akan mengalami kesulitan mengenali rasa
takut, meskipun diciptakan rasa ketakutan oleh ancaman yang datangnya secara fisik maupun
phsikis, padahal ketaatan seseorang terhadap hukum negara atau ancaman Tuhan misalnya, salah
satunya disebabkan oleh “rasa takut” terhadap ancaman hukuman atau neraka. Berbeda dengan
amigdala yang berfungsi menyimpan memori rasa takut dan perilaku agresif seketika, fungsi
hipokampus bersama amigdala dalam keseluruhan sistem limbik yang bertanggung jawab soal emosi
7
8
9
10
11
12
13
Fijrot Capra ; Bambang Pranggono Percikan Sains Al-Qur’an (1999).
Peterh Higgh yang atheis adalah peneliti pada Laboratorium partikel CERN.
Penulis Buku Fisika Star Trex.
Syech Muhyidin Ibn Araby dalam kitab masyur “Futuhat Al-Makiyah”, yang diterjemahkan oleh William
Chiitick dalam karyanya The Sufi Path Knowldge ; Ibn Al-Arabi’s Mathaphysics of Imagination,
menyatakan bahwa manusia beserta seluruh entitas kejagatan adalah “maya”.
Andrew Newberg dalam bukunya “How God Change Your Brain”.
Danah Johar dan Ian Marshall dalam “Spiritual Capital” ; Whealth We Can live”.
Daniel Goloman dalam Emotional Intelegence.
6
; rasa takut, bahagia, marah, gairah dan harapan merupakan sistem syaraf otak yang bertugas
mengolah nilai moral menggunakan olah bathin esoterik yang di sintesakan dengan etika eksoterik
serta olah rasa estetik, untuk keseimbangan antara keshalehan vertikal dengan humanis, dan “pintar
merasa”.
Intinya bahwa alam beserta seluruh entitasnya adalah manifestasi wujud Tuhan, meskipun
bukan berarti alam dapat dikatakan sebagai Tuhan, namun Al-Haaq adalah Tuhan sang Pencipta,
Maha Kuasa, Tunggal dan KekuasaanNya meliputi segala sesuatu. Dia wajib Al-Wujud, tidak ada
wujud kecuali wujudNya, sedangkan alam dan seisinya merupakan “perangkat keras” dan
“Penampakan” (tajali) eksistensi Tuhan, kemudian mengunduh software sifat-sifat ketuhanan
kedalam entitas ciptaaNya itu, yang memungkinkan ciptaanNya seolah-olah hidup, berkehendak dan
berkuasa, seperti dalam Hadist Qudsy “ Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku ingin dikenali,
maka Aku ciptakan makhluk, lalu dengan itulah mereka mengenalKu”.
Penulis berpendapat bahwa terdapat urgensi untuk menuangkan beberapa teori, dan
penemuan fisika yang berkembang, supaya keyakinan bagaimana “Tuhan menanam kepercayaan
spiritual” dalam sistem syaraf otak manusia, “bukan saja dapat dibuktikan menggunakan pisau
bedah neurologi, dan uji sample psikologi, tetapi juga di laboratorium akselerator sub-atomik
dalam fisika partikel”. Sebab itulah maka“Kesadaran Manusia” tentang Ketuhanan sesungguhnya
merupakan transformasi fenomena spiritual subjektif, kedalam ilmu kognitif yang objektif, dan
menjadi cikal bakal terbentuknya peradaban, bangsa dan negara.
I.3.
AGAMA
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan,
kepercayaan, dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia serta lingkungannya. Lebih lanjut KBBI menyebut bahwa "agama"
berasal dari bahasa Sansakerta, “ āgama ” yang berarti "tradisi"14sinonim untuk menyatakan konsep
ini adalah “religi” yang berasal dari bahasa latin “religio” dan berakar pada kata kerja re-ligare yang
berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan relegius seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
14
Menurut kamus Sanskerta-Inggris Monier-Williams (cetakan pertama tahun 1899) pada entri āgama:
merupakan, traditional doctrine or precept, collection of such doctrines, sacred work.
7
Hasil penelitian penulis beberapa waktu lalu di Nagoya, Hamamatsu, Shizouka, Tokyo dan
Fuji menyimpulkan bahwa kebanyakan penduduk Jepang adalah orang-orang “bertuhan”, meski
“tidak beragama”, halini dibuktikan melalui wawancara tatap muka dan secara statistik,
menurut data Kementerian Pendidikan Jepangyang dilakukan pada tahun 2014 penganut agama di
Jepang terdiri dari 1) Shinto 107 juta orang, 2) Buddha sekitar 89 juta orang, 3)
Kristen dan Katolik sekitar 3 juta orang, serta 4) agama lain-lain sekitar 10 juta orang, total seluruh
penganut agama 290 juta orang, sementara itu total penduduk Jepang termasuk pendatang yang telah
menetap lama berjumlah 127 juta. Ini berarti penganut agama di Jepang hampir dua kali lipat dari
total penduduk Jepang,disebabkan cara pengumpulan data dan tradisi beragama orang Jepang, yakni
sebagian besar orang Jepang menganut lebih dari satu agama dan sepanjang tahunnya mengikuti
ritual dan perayaan dalam berbagai agama.
Mayoritas orang Jepang dilahirkan sebagai penganut Shinto, merayakan Shichi-GoSan, hatsumōde, dan matsuri dikuil Shinto. Karena agama sebagaimana tafsir masyarakat Jepang
adalah budaya, dan ketika menikah, sebagian di antaranya menikah dalam
upacara pernikahan Kristen atau atas kehendak pengantin menggunakan ritual agama yang
diinginkan, dan ketika meninggal dunia secara umum dimakamkan dengan upacara
pemakaman agama Buddha atau dikremasi. Lagi-lagi menurut Emile Durkheim, bahwa agama
“nyata-nyata sosial”.
Yang sudah pasti bahwaperadaban merupakan kristalisasi kepercaan subjektif manusia
terhadap Tuhan, kemudian secara kolektif objektif bergaul bersama dan berinteraksi dengan alam
dalam membentuk komunitas keagamaan sebagai proses dan penampakan keyakinanserta
penghambaan terhadap Tuhan.Dengan demikian penulis menolak sebagian gagasan Emile Durkheim
bahwa agama “nyata-nyatasosial”, sebab dalam disiplin ilmu theologi agama dibagi menjadi ;
pertama agama samawi yang diturunkan Tuhan untuk masyarakat, dengan karakterisktik 1) memiliki
definisi Tuhan secara jelas, 2) mempunyai penyampai risalah melalui Nabi dan Rasul, dan 3) memiliki
wahyu yang ditulis dalam kitab suci, keduaagama ardhi, dia tumbuh dari masyarakat melalui
seseorang lazimnya sebagai hasil akhir proses kontemplasi, kemudian berinteraksi dengan masyarakat,
seperti pendapat Durkheim yang nyata-nyata sosial.
8
Peradaban, keagamaan, sosial dan budaya hanya dapat tumbuh secara sehat apabila
kebersamaan dalam kesatuan bentuk Zoon Politikon, atau Homo Homini Socius “tidak sama",
bilamana sama dan sebangun, peradaban mustahil terbentuk. Maka "keadilan Tuhanpun haruslah
tidak adil". "Tuhan adil dalam ketidakadilan", jika Tuhan adil dalam keadilan semua realitas akan
sama, seluruh manusia akan menjadi Nabi, Raja atau Presiden, yang sama-sama berkuasa atau kaya,
ataupun semua manusia kaum "papa" dan sama-sama miskin. Begitu pula jika semua spicies memiliki
kesamaan kromosom, pastilah dunia akan ditemukan kosong tanpa penghuni, sebab itu untuk
menemukan "kecocokan" dalam komunitas peradaban diperlukan "perbedaan", seperti bertemunya
neutron dan proton untuk membentuk atom, atau kombinasi arus positif dan negatif bagi kepentingan
energy.
Tidak akan pernah ada Tao, jika tidak ada "Yin dan Yang", tidak akan pernah ada Amerika
Serikat, jika tidak ada Demokrat Vs Republik, bukan Islam namanya jika tidak ada Suni dan Syiah,
atau Jabariyah bersama Qodariyah. Ini yang dimaksud Sachico Murata sebagai “Dualitas Ilahi”,
bahwaketidaksamaan bentuk, zat, sifat, warna maupun corak merupakan realitas sejati yang tidak
mungkin disatukan dalam satu unsur tunggal. Karena itu keragaman adalah rahmat dan mesti dianggap
sebagai arus bertolak belakang untuk menghasilkan energi kuat bagi kesatuan alam, didalamnya
manusia ditunjuk sebagai "duta besar" Tuhan yang bertugas memuliakan entitas kejagatan,
perdamaian dunia, mencerdaskan kehidupan bangsa-bangsa melalui politik dunia yang bebas aktif dan
kebijakan publik demi Negara kesejahteraan.Jika tidak maka manusia akan "jatuh" kedalam derajat
paling rendah "homo homini lupus", srigala bagi manusia lainnya, dan menempatkan manusia pada
dilema "bellum omnium contra omnes", musuh semua untuk semua (Thomas Hobbs).
II.
KESIMPULAN
Dari hiruk pikuk pemikiran itu, kita baru “ngeh” bahwa eksistensi Tuhan nyata adanya bukan
karena penemuan ilmiah, atau dalam siskursus keagamaan yang selalu diisi oleh ego kebenaran
masing-masing agama, namun pikiran kita terbukakan disaatnilai-nilai transendensi Tuhan yang
tersurat dalam Pancasila terkoyak dan tampak tak berdaya menghadapi liberalisme sekularistik, ketika
chaos ketatanegaraan dan gagap kebudayaan menyeruak memperlihatkan bentuk aslinya. Tengoklah
9
kasus dugaan pelanggaran etika Ketua DPR-RI Setia Novanto, sangat kasat mata tangan-tangan
liberalisme sekularistik menggenggam media untukmenggeser perhatian publik terhadap rencana
perampasan hak atas kekayaan alam yang dimainkan kapitalisme Freeport Mc Moran. Robin Tennant
Wood, Profesor dari Canbera Universitymenilai bahwa penempatan 22.750 pasukan Navy Seal di
Darwin, yang berjarak hanya 820 km dari bumi Papua, adalah ancaman terhadap Papua dan keutuhan
NKRI.
Sekali lagi bukti bagaimana Pancasila sebagai landasan esoterik, tercampakan, Ia masih tetap
sebagai landasan Negara, namun menggelelantung tak “membumi”, disana sini terdapat
ketidaksesuaian antara Pancasila yang ilahiyah dengan peraturan perundangan dan malah dengan
UUD 1945 hasil amandemen, akibatnya “reformasi” yang semula diharapkan menjadi “problem
solving” kehidupan berbangsa dan bernegara, berubah menjadi krisis kebangsaan ; “jati diri” bangsa
“terpapar” paham materialisme, yakni budaya liberalisme sekularistik, konsumtif, feodalistik, dan
hedonistik sehingga melupakan ciri khas ke-Indonesiaan yang agamis, musyawarah, rendah hati,
penyabar dan gotong royong. Jika tidak diluruskan, orde reformasi akan tersungkur oleh “ambisi”
liberalisasi demokrasi itu sendiri.
Kemerosotan moral dan etika pada berbagai strata sosial yang ditandai dengan tindakan
hukum terhadap pejabat publik, pengusaha, tokoh agama, pimpinan puncak parpol, lembaga
peradilan, petinggi Polri, Kejaksaan dan seterusnya adalah sebuah realitas kemenangan globalisasi
yang harus dijawab melalui perubahan mindset dantata ulang adminsitrasi publik, sebagaimana teori
ekologi administrasi publik yang mengajarkan penyesuaian pada setiap gagasan perubahan,
utamanya mental spiritual bersumber pada “ruh” Pancasila yang esoterik, aktual dalam setiap tarikan
nafas kehidupan bernegara.
Penulis tetap pada pendiriannya bahwa jika ideologi liberalisme sekularistik dibiarkan
menang atas transendensi ilahiyah, Indonesia dalam beberapa dekade kedepan, akan menjadi negara
yang mirip dengan tradisi keagamaan masyarakat Jepang, yang menganggap agama sekedar jubah
simbolik, Sehingga “the unity of relegion” akan ditafsirkan “persatuan” agama-agama, bukan
“kesatuan” agama-agama dalam konsep monopluralisme yang menempatkan penghormatan terhadap
10
perbedaan,dalam pengertian kesatuan agama-agama adalah bukan menyatukan berbagai keyakinan
agama, tentu saja jika agama dinyatakan sama, maka Ketuhanan yang Maha Esa dalam Pancasila
akan kehilangan esensinya dan dengan sendirinya UUD 1945 beserta seluruh peraturan-perundangan
dianggap tidak memiliki kekuatan mengikat. Namun tentu saja kekuatan budaya Jepang dapat
dijadikan anchor guna menangkal dampak negatif globalisasi liberalisme.
Wallahu’alam
Gagan Mohammad
11
12
DALAM SISTEM KEJAGATAN
(SOSIAL BUDAYA DALAM PANDANGAN AGAMA)
Oleh: Gagan Mohammad
I.
PENDAHULUAN
I.1.
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
Globalisasiyang diikuti liberalisasi ekonomi, perdagangan, barang, jasa,bahkan ideologi dan
politik,menyebabkan sosial budaya sertatata pemerintahan Indonesia menjadi absurd, bersamaan
dengan itu Triple-T Revolution1menerobos batas teritori menyatu dalam genggaman tangan. Keadaan
itu bercampur dengan gegap gempita euforia reformasi yang membuat Indonesia kehilangan,
setidak-tidaknya orisinilitas budaya dan kearifan lokal dalam membangun bangsa dan negara
bermartabat.
Perkembangan "keadaban" politik dan kebijakan nasional, utamanya daya tangkal publik
terhadap dampak negatif arus globalisasi yang kian merangsek memasuki wilayah ideologis dan
theologis, dimana para pendiri bangsa dengan susah payah mengajarkannya melalui esotorisme
Pancasila dan Pembukaan Konstitusi Republik Indonesia, "Berketuhanan sekaligus berkemanusiaan,
adil dalam kesejahteraan dan sejahtera dalam keadilan“.
Semestinya meskipun tanpa adanya tekanan globalisasi, selaku “duta besar”(khalifah)
Tuhan, manusia memang harus demokratis seiring tugasnya memuliakan entitas kejagatan,
melaluiperangkat berupa insting Ilahiyah yang telah ada sejak penciptaan sebagai pencetus sifat
homo homini socius, zoon politikon, atau bekebudayaan kemudian membentuk komunitas
sosialdikemudian hari bernama bangsa dan negara.
1
Triple-T Revolution, yakni Transportation, Travel and Telecomunication”, berupa pemanfaatan
ilmu pengetahuan teknologi telekomunikasi, transportasi dan
komputerisasi dalam wujud revolusi arus informasi, manusia, barang dan
jasa dengan spektrum intranasional dan internasional (Kamal Alamsyah).
1
Dengan kata lain demokrasi datangnya dari manapun merupakan kebutuhan kemanusiaan
yang bersifat ilahiyah, dan tentu saja demokrasi sebuah sistem sosial politik yang menekankan
tanggung jawab individu dalam interaksi sosial adalah sebuah kebenaran, ketika Tuhan
menganugerahkan kebebasan berkehendak kepada setiap manusia untuk melakukan apapun yang
dibutuhkan demikeberlangsungan peradaban.Faktanya demokrasi kekinian yang diakibatkan tekanan
globalisasi liberalistik, menyebabkan keluhuran Pancasila larut dalam praktek ketatanegaraan yang
condong mengadopsi paham liberalisme sekularistik, dan sadar atau tidak hal itu merupakan langkah
mundur dari sistem sosial budaya Indonesia yang secara antropologis telah berlaku jauh sebelum
demokrasi liberal dikenal.
Betapa tidak Pancasila bukanlah semata-mata dasar negara, dan sumber hukum, namun lebih
jauh Ia adalah ideologi sekaligus pandangan hidup (way of life), yang terambil dari nilai-nilai
transendensi ilahiyah dan termasifestasi dalam bentuk budaya serta kearifan lokal, keluhurannya
berseberangan secara antagonistis dengan ideologi liberalisme sekularistik, produk genetik filsafat
materialisme yang dipahami segala boleh, memisahkan antara keyakinan agama dengan kebijakan
negara, danmenjadi penyebab utama mal-praktek administrasi keuangan publik, bahkan seringkali
hukum dijadikan senjata bagi segala kerakusan (Frederick Bastiad, 1887).
Karena itu pergulatan politik dan konflik sosialyang sering menyedot ruang publik pasca
reformasi bukan seperti tampak dipermukaan atau sekedar pertarungan elit dan masyarakat bawah,
akan tetapi ia merupakan pertentangan budaya seperti pendapat Sun dan Gargan (1996), yang
menyebut Taiwan dan seperti juga di beberapa negara berkembang lainnya, pemerintah berurusan
dengan persoalan rekonsiliasi antara budaya tradisional, kultur demokrasi baru dan industrialisasi
sebagai usaha negara membangun kesejahteraan ekonomi rakyat. Islaminur Pempasa 2malah
berpendapat lebih tajam dengan mengatakan bahwa saat ini Indonesia mengalami “okhlokrasi”,
berarti kekuasaan dan pemerintahan dipegang oleh gerombolan orang-orang “tak tercerahkan”.
Pempasa berpendapat bahwa “okhlokrasi” merupakan kekuasaan pemerintahan yang
dikendalikan dan berisi beragam penyimpangan dari tujuan awal mewujudkan kesejahteraan rakyat,
meskipun tentu saja pemerintahan model ini tetap sah dan legitimate karena mendapat suara
2
Pemimpin redaksi Pikiran Rakyat dalam pendapat Redaksi PR yang dimuat tanggal 7 desember 2015.
2
terbanyak dalam basis data Pemilu. Dengan kata berbeda reformasi politik 1998 baru sebatas
menghasilkan demokrasi simbolik, kemudian terpapar radiasi liberalisme sekularistik yangmengena
pada sasaran ideologis, mematikan sensorik inderawi para pemangku kepentingan birokrasi publik,
serta melumpuhkan “nalar” ilahiyah yang seharusnya berfungsi semacam “peredam kejut” hasrat dan
godaankekuasaan.Liberalisme sekularistik confirm telah mendegradasi moral bangsa,
melanggengkan korupsi dengan cara kerja yang masif, dan berubah bentuk menjadi ethnografi
kriminal,terbukti melalui proses dan dampak Pemilu, dari Pilpres hingga Pilkades berbiaya tinggi.
I.2.
TUHAN
Judul besartulisan ini tentang nilai-nilai transendensi Tuhan dalam kesucian agama dan
hubungannya dengan budaya, maka sebelum membahas agama dari sudut pandang ritualitas
kelembagaan formal, eksistensi Tuhan yang menjadi inti agama, selain berwujud keyakinan, Dia juga
seyogyanya mesti dibuktikan terlebih dahulu melalui ilmu pengetahuan modern sebagai antitesis
teori materialisme yang anti Tuhan, apalagi secara sosial agama dan Tuhan itu tampak sama, padahal
Ia bisa dibedakan, dalam arti secara faktual setiap orang yang bertuhan tidak harus beragama, dan
tiap-tiap orang beragama pastilah bertuhan.Disiplin ilmu sosial menyatakan Agama dan Tuhan
merupakan “conditio sine qua non” dengan masyarakat.
Menurut Emile Durkheim3 (1858) bahwameskipun agama berbeda dari keyakinan
pribadi,namun bahwa agama adalah "sesuatu yang nyata sosial"dan bahwa agama adalah suatu
sistem yang terpadu, terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci.
Namun begitu tetap saja bagi semua agama, sepakat bahwa Tuhanadalah transenden, pemilik segala
wujud dan berada pada dimensi esoterik. Dikatakan transenden sebab Tuhan itu tidak dapat dipahami
oleh akal, dan disebut esoterik Dia mustahil diserupakan oleh semua makhluknya, meski bukan
berarti manusia tidak dapat menangkap pengertian tentangNya. Dia masih dapat dipahami melalui
manifestasiNya, dengan apa yang dinamakan "Dualitas Ilahi"4.
3
4
The Rule of Sociological (1895-1982) menyimpulkan bahwa sumber agama adalah masyarakatitu sendiri
dan masyarakat dengan agama adalah sama, masyarakatlah yang menentukan sesuatu itu sakral atau bersifat
profan.
Murata Sachico : The Tao Of Islam.
3
Sejarah mencatat sesungguhnya sejak Filsuf Thaleshingga Aristoreles sepakat bahwa
penggerak utama semesta adalah Theos atau Tuhan, namun kemudian datang Isaac Newton (16431727) dengan bekal pengetahuannya dia melakukan penelitian terhadap semesta dan lahirlah teori
“determinasi mekanika”. Inti teorinya Newton percaya bahwa alam raya adalah merupakan mesin
raksasa yang bergerak dengan sendirinya (mekanis), secara tetap (deterministik) dan menganggap
atom “sepenuhnya” terbentuk dari materi.
Berkenaan dengan fisika klasikdalam beberapa hal Newton benar, melalui teorinya berhasil
menemukan hukum gravitasi dan tiga hukum gerak tentang alam raya yang menurutnya diatur oleh
hukum-hukum yang sama, dan dapat memprediksi gejala alam seperti gerhana dan lain-lain serta
mengukuhkan teorinya menjadi filsafat ilmu bagi kelompok “meterialisme”, sebuah aliran pemikiran
yang menganggap “apa yang rasional itu nyata, dan nyata itu adalah rasional”, sehingga menurut
pandangan ini tidak ada sesuatu yang tidak dipahami (Friedrich Hegel 1770-1831).
Sungguhpun Newton percaya akan eksistensi Tuhan, akan tetapi kemudian dia mengingatkan
bahwa hukum gravitasi tentang gerakan planet-planet, tidak dapat menjelaskan “siapa penggerak
alam semesta untuk pertama kali”, karena itu Newtonpun tidak pernah menyangka filsafat ilmu
Newtonian dikemudian hari menjelma menjadi semacam “dogma iman” mazhab materialisme klasik
yang hadir untuk mendegradasi eksistensi Tuhan sebagai penyebab penciptaan.
Seandainya Isaac Newton masih hidup, dia akan tercengang melihat kenyataan bahwa dalam
setiap atom terbentuk dari inti dan sejumlah elektron “non materi” yang bergerak mengitari orbitnya
dengan kecepatan 1.000 km/detik. Dalam inti terdapat partikel-partikel proton dan neutron yang
berkombisasi untuk membentuk molekul, akhirnya materi.Berseberangan dengan pendapat Newton,
hukum hubble membuktikan bahwa “alam semesta mengembang secara merata sejak ledakan besar
hingga saat ini “5.
Kehadiran Albert Einsteinmelalui teori “relativitas Einstein”, disusul teori “ketidakpastian
Heisenberg”, sekaligus menenggelamkan teori fisika klasik Newtonian dan mengembalikan keadaan
seperti halnya para filsuf miletos dan filsuf sesudahnya bahwa “alam semesta merupakan
5
6.
Harun Yahya, The Creation of Universe (1999)
Filsafat materialisme menyatakan bahwa satu-satunya dunia nyata adalah “material”, dan menolak filsafat idealisme yang
percaya bahwa idea, pikiran dan perasaan menurut Plato tidak diciptakan oleh pemikiran manusia, tidak tergantung pada
pemikiran manusia, melainkan pikiran manusia yang tergantung pada idea, idealah citra pokok dari realitas, nonmaterial,
abadi, dan tidak berubah.
4
keseluruhan yang menyatu, dengan satu prinsip dikuasai oleh suatu hukum tertentu, bekerja bukan
kebetulan, dengan tujuan agar kosmos bergerak secara teratur”,kemudian Aristoteles menyebutnya
“Theologike“, “methafisik” atau Tuhan. Pada dasarnya pertarungan pemikiran antara idealisme dan
materialisme6 dalam cakupan ilmu filsafat sudah lama berkembang di Athena,kedatangan filsuf
Thales dalam wacana ilmiahsesungguhnya untuk menengahi pandangan “mitologi” (idealis) dengan
“rasio” (materialis), dimana filsafat idealisme mendasarkan pijakannya pada “relegius dan mistis”
sebagaimana terbukti melalui teori Einstenian, sedangkan dunia “rasio” Newtonianberbanding
terbalik yang serba kasat mata.
Jika materialisme tunduk pada wujud nyata (macrocospic), maka kehadiran fisika
Einsteinian setidaknya membaginya dalam dua dunia, pertama teori relativitas menggantikan teori
Newton tentang ruang-waktu dengan memasukan elektromagnetis, terutama soal kecepatan cahaya
dan berbicara soal “dunia kasat mata” atau semasta yang luar biasa besar,dan keduamekanika
kuantumajaran yang menelisik alam yang super kecil “tak kasat mata/alam methafisik”(mirocospik).
Teori ini menjungkirbalikan filsafat materialisme seperti pendapat Hegel tentang “apa yang rasional
itu nyata, dan nyata itu adalah rasional” yang kemudian digunakan Carl Max dalam pandangannya
bahwa agama adalah candu rakyat.
Oleh karena fisika Einstenian mengadaptasi juga pandangan materialisme dalam dunia
“kasat mata”, akan tetapi karena sifat kajiannya tergolong “mistis/tak kasat mata”, maka fisika
modern tampaknya justru bertransformasi menjadi fisika yang methafisik, seperti intisari dari
definisi fisika kuantum : udara, air, gunung, binatang, tumbuhan, tubuh manusia, termasuk kursi
yang kita duduki, meja yang kita lihat, raba dan rasakan, mulai dari yang paling berat sampai
teringan, dibentuk dari kumpulan atom dan partikel sub-atomik yang merupakan pola-pola dinamis
dalam ruang-waktu.
Ia adalah “massa dan energy” yang menegaskan “ketiadaan” benda atau wujud apapun di
dunia ini. Benda materi terlihat “ada” hanyalah pemadatan lokal akibat medan eletromagnetis yang
tersusun dari ruang-ruang hampa diantara molekul yang tak pernah diam dalam suatu bentuk
6
5
permanen, sehingga bukan kebetulan jika Einstein mengatakan “kenyataan adalah ilusi, meskipun
terjadi berulang-ulang7.
Oleh karena itu pula Peter Higgh8penemu Partikel Higgs/Partikel Tuhan menyatakan atom
terbentuk bukan saja oleh adanya pergerakan dalam inti atom, namun juga membentuk melalui
partikel “tak kasat mata” yang bertugas memberi “massa” terhadap semua benda termasuk materi
gelap (Dark Matter) dan energy gelap (Dark Energy), yang memungkinkan alam raya dan seisinya
mampu berdiri tegak, sehingga tidaklah berlebihan jika Lawrence Krauss9 menyatakan partikel higgs
dapat membuka jalan bagi penelitian “alam ghaib”.Einstein memakai istilah “ilusi”, sedangkan Ibn
Araby (1165-1240) mistikus Muslim klasikmenggunakan terminologi “maya”10.
Selain itu pada saat bersamaan dalam bidang ilmu neurosains menyimpulkan bahwa Tuhan
dengan sengaja mendownload piranti lunak “kepercayaan metafisik” kedalam otak manusia, Andrew
Newberg menggunakan istilah “God Circuit”11,atau menurut Danah Johar dan Ian Marshall bahwa
eksistensi Tuhan menciptakan sistem syaraf manusia “berkesadaran relegius” dengan menyebut
“God Spot”12. Demikian pula penelitian dalam bidang psikologi perilaku, Daniel Goloman
berpendapat bahwa amigdala menyimpan rasa takut dan insting akan suatu kekuatan dan bahaya
tertentu yang berfungsi semacam “Panic Bottom” atau sirkuit tanda bahaya yang akan
disebarluaskan kepada seluruh fungsi syaraf untuk melawan atau lari secara spontan 13.
Menurutnya kerusakan pada amigdala, seseorang akan mengalami kesulitan mengenali rasa
takut, meskipun diciptakan rasa ketakutan oleh ancaman yang datangnya secara fisik maupun
phsikis, padahal ketaatan seseorang terhadap hukum negara atau ancaman Tuhan misalnya, salah
satunya disebabkan oleh “rasa takut” terhadap ancaman hukuman atau neraka. Berbeda dengan
amigdala yang berfungsi menyimpan memori rasa takut dan perilaku agresif seketika, fungsi
hipokampus bersama amigdala dalam keseluruhan sistem limbik yang bertanggung jawab soal emosi
7
8
9
10
11
12
13
Fijrot Capra ; Bambang Pranggono Percikan Sains Al-Qur’an (1999).
Peterh Higgh yang atheis adalah peneliti pada Laboratorium partikel CERN.
Penulis Buku Fisika Star Trex.
Syech Muhyidin Ibn Araby dalam kitab masyur “Futuhat Al-Makiyah”, yang diterjemahkan oleh William
Chiitick dalam karyanya The Sufi Path Knowldge ; Ibn Al-Arabi’s Mathaphysics of Imagination,
menyatakan bahwa manusia beserta seluruh entitas kejagatan adalah “maya”.
Andrew Newberg dalam bukunya “How God Change Your Brain”.
Danah Johar dan Ian Marshall dalam “Spiritual Capital” ; Whealth We Can live”.
Daniel Goloman dalam Emotional Intelegence.
6
; rasa takut, bahagia, marah, gairah dan harapan merupakan sistem syaraf otak yang bertugas
mengolah nilai moral menggunakan olah bathin esoterik yang di sintesakan dengan etika eksoterik
serta olah rasa estetik, untuk keseimbangan antara keshalehan vertikal dengan humanis, dan “pintar
merasa”.
Intinya bahwa alam beserta seluruh entitasnya adalah manifestasi wujud Tuhan, meskipun
bukan berarti alam dapat dikatakan sebagai Tuhan, namun Al-Haaq adalah Tuhan sang Pencipta,
Maha Kuasa, Tunggal dan KekuasaanNya meliputi segala sesuatu. Dia wajib Al-Wujud, tidak ada
wujud kecuali wujudNya, sedangkan alam dan seisinya merupakan “perangkat keras” dan
“Penampakan” (tajali) eksistensi Tuhan, kemudian mengunduh software sifat-sifat ketuhanan
kedalam entitas ciptaaNya itu, yang memungkinkan ciptaanNya seolah-olah hidup, berkehendak dan
berkuasa, seperti dalam Hadist Qudsy “ Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku ingin dikenali,
maka Aku ciptakan makhluk, lalu dengan itulah mereka mengenalKu”.
Penulis berpendapat bahwa terdapat urgensi untuk menuangkan beberapa teori, dan
penemuan fisika yang berkembang, supaya keyakinan bagaimana “Tuhan menanam kepercayaan
spiritual” dalam sistem syaraf otak manusia, “bukan saja dapat dibuktikan menggunakan pisau
bedah neurologi, dan uji sample psikologi, tetapi juga di laboratorium akselerator sub-atomik
dalam fisika partikel”. Sebab itulah maka“Kesadaran Manusia” tentang Ketuhanan sesungguhnya
merupakan transformasi fenomena spiritual subjektif, kedalam ilmu kognitif yang objektif, dan
menjadi cikal bakal terbentuknya peradaban, bangsa dan negara.
I.3.
AGAMA
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan,
kepercayaan, dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia serta lingkungannya. Lebih lanjut KBBI menyebut bahwa "agama"
berasal dari bahasa Sansakerta, “ āgama ” yang berarti "tradisi"14sinonim untuk menyatakan konsep
ini adalah “religi” yang berasal dari bahasa latin “religio” dan berakar pada kata kerja re-ligare yang
berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan relegius seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
14
Menurut kamus Sanskerta-Inggris Monier-Williams (cetakan pertama tahun 1899) pada entri āgama:
merupakan, traditional doctrine or precept, collection of such doctrines, sacred work.
7
Hasil penelitian penulis beberapa waktu lalu di Nagoya, Hamamatsu, Shizouka, Tokyo dan
Fuji menyimpulkan bahwa kebanyakan penduduk Jepang adalah orang-orang “bertuhan”, meski
“tidak beragama”, halini dibuktikan melalui wawancara tatap muka dan secara statistik,
menurut data Kementerian Pendidikan Jepangyang dilakukan pada tahun 2014 penganut agama di
Jepang terdiri dari 1) Shinto 107 juta orang, 2) Buddha sekitar 89 juta orang, 3)
Kristen dan Katolik sekitar 3 juta orang, serta 4) agama lain-lain sekitar 10 juta orang, total seluruh
penganut agama 290 juta orang, sementara itu total penduduk Jepang termasuk pendatang yang telah
menetap lama berjumlah 127 juta. Ini berarti penganut agama di Jepang hampir dua kali lipat dari
total penduduk Jepang,disebabkan cara pengumpulan data dan tradisi beragama orang Jepang, yakni
sebagian besar orang Jepang menganut lebih dari satu agama dan sepanjang tahunnya mengikuti
ritual dan perayaan dalam berbagai agama.
Mayoritas orang Jepang dilahirkan sebagai penganut Shinto, merayakan Shichi-GoSan, hatsumōde, dan matsuri dikuil Shinto. Karena agama sebagaimana tafsir masyarakat Jepang
adalah budaya, dan ketika menikah, sebagian di antaranya menikah dalam
upacara pernikahan Kristen atau atas kehendak pengantin menggunakan ritual agama yang
diinginkan, dan ketika meninggal dunia secara umum dimakamkan dengan upacara
pemakaman agama Buddha atau dikremasi. Lagi-lagi menurut Emile Durkheim, bahwa agama
“nyata-nyata sosial”.
Yang sudah pasti bahwaperadaban merupakan kristalisasi kepercaan subjektif manusia
terhadap Tuhan, kemudian secara kolektif objektif bergaul bersama dan berinteraksi dengan alam
dalam membentuk komunitas keagamaan sebagai proses dan penampakan keyakinanserta
penghambaan terhadap Tuhan.Dengan demikian penulis menolak sebagian gagasan Emile Durkheim
bahwa agama “nyata-nyatasosial”, sebab dalam disiplin ilmu theologi agama dibagi menjadi ;
pertama agama samawi yang diturunkan Tuhan untuk masyarakat, dengan karakterisktik 1) memiliki
definisi Tuhan secara jelas, 2) mempunyai penyampai risalah melalui Nabi dan Rasul, dan 3) memiliki
wahyu yang ditulis dalam kitab suci, keduaagama ardhi, dia tumbuh dari masyarakat melalui
seseorang lazimnya sebagai hasil akhir proses kontemplasi, kemudian berinteraksi dengan masyarakat,
seperti pendapat Durkheim yang nyata-nyata sosial.
8
Peradaban, keagamaan, sosial dan budaya hanya dapat tumbuh secara sehat apabila
kebersamaan dalam kesatuan bentuk Zoon Politikon, atau Homo Homini Socius “tidak sama",
bilamana sama dan sebangun, peradaban mustahil terbentuk. Maka "keadilan Tuhanpun haruslah
tidak adil". "Tuhan adil dalam ketidakadilan", jika Tuhan adil dalam keadilan semua realitas akan
sama, seluruh manusia akan menjadi Nabi, Raja atau Presiden, yang sama-sama berkuasa atau kaya,
ataupun semua manusia kaum "papa" dan sama-sama miskin. Begitu pula jika semua spicies memiliki
kesamaan kromosom, pastilah dunia akan ditemukan kosong tanpa penghuni, sebab itu untuk
menemukan "kecocokan" dalam komunitas peradaban diperlukan "perbedaan", seperti bertemunya
neutron dan proton untuk membentuk atom, atau kombinasi arus positif dan negatif bagi kepentingan
energy.
Tidak akan pernah ada Tao, jika tidak ada "Yin dan Yang", tidak akan pernah ada Amerika
Serikat, jika tidak ada Demokrat Vs Republik, bukan Islam namanya jika tidak ada Suni dan Syiah,
atau Jabariyah bersama Qodariyah. Ini yang dimaksud Sachico Murata sebagai “Dualitas Ilahi”,
bahwaketidaksamaan bentuk, zat, sifat, warna maupun corak merupakan realitas sejati yang tidak
mungkin disatukan dalam satu unsur tunggal. Karena itu keragaman adalah rahmat dan mesti dianggap
sebagai arus bertolak belakang untuk menghasilkan energi kuat bagi kesatuan alam, didalamnya
manusia ditunjuk sebagai "duta besar" Tuhan yang bertugas memuliakan entitas kejagatan,
perdamaian dunia, mencerdaskan kehidupan bangsa-bangsa melalui politik dunia yang bebas aktif dan
kebijakan publik demi Negara kesejahteraan.Jika tidak maka manusia akan "jatuh" kedalam derajat
paling rendah "homo homini lupus", srigala bagi manusia lainnya, dan menempatkan manusia pada
dilema "bellum omnium contra omnes", musuh semua untuk semua (Thomas Hobbs).
II.
KESIMPULAN
Dari hiruk pikuk pemikiran itu, kita baru “ngeh” bahwa eksistensi Tuhan nyata adanya bukan
karena penemuan ilmiah, atau dalam siskursus keagamaan yang selalu diisi oleh ego kebenaran
masing-masing agama, namun pikiran kita terbukakan disaatnilai-nilai transendensi Tuhan yang
tersurat dalam Pancasila terkoyak dan tampak tak berdaya menghadapi liberalisme sekularistik, ketika
chaos ketatanegaraan dan gagap kebudayaan menyeruak memperlihatkan bentuk aslinya. Tengoklah
9
kasus dugaan pelanggaran etika Ketua DPR-RI Setia Novanto, sangat kasat mata tangan-tangan
liberalisme sekularistik menggenggam media untukmenggeser perhatian publik terhadap rencana
perampasan hak atas kekayaan alam yang dimainkan kapitalisme Freeport Mc Moran. Robin Tennant
Wood, Profesor dari Canbera Universitymenilai bahwa penempatan 22.750 pasukan Navy Seal di
Darwin, yang berjarak hanya 820 km dari bumi Papua, adalah ancaman terhadap Papua dan keutuhan
NKRI.
Sekali lagi bukti bagaimana Pancasila sebagai landasan esoterik, tercampakan, Ia masih tetap
sebagai landasan Negara, namun menggelelantung tak “membumi”, disana sini terdapat
ketidaksesuaian antara Pancasila yang ilahiyah dengan peraturan perundangan dan malah dengan
UUD 1945 hasil amandemen, akibatnya “reformasi” yang semula diharapkan menjadi “problem
solving” kehidupan berbangsa dan bernegara, berubah menjadi krisis kebangsaan ; “jati diri” bangsa
“terpapar” paham materialisme, yakni budaya liberalisme sekularistik, konsumtif, feodalistik, dan
hedonistik sehingga melupakan ciri khas ke-Indonesiaan yang agamis, musyawarah, rendah hati,
penyabar dan gotong royong. Jika tidak diluruskan, orde reformasi akan tersungkur oleh “ambisi”
liberalisasi demokrasi itu sendiri.
Kemerosotan moral dan etika pada berbagai strata sosial yang ditandai dengan tindakan
hukum terhadap pejabat publik, pengusaha, tokoh agama, pimpinan puncak parpol, lembaga
peradilan, petinggi Polri, Kejaksaan dan seterusnya adalah sebuah realitas kemenangan globalisasi
yang harus dijawab melalui perubahan mindset dantata ulang adminsitrasi publik, sebagaimana teori
ekologi administrasi publik yang mengajarkan penyesuaian pada setiap gagasan perubahan,
utamanya mental spiritual bersumber pada “ruh” Pancasila yang esoterik, aktual dalam setiap tarikan
nafas kehidupan bernegara.
Penulis tetap pada pendiriannya bahwa jika ideologi liberalisme sekularistik dibiarkan
menang atas transendensi ilahiyah, Indonesia dalam beberapa dekade kedepan, akan menjadi negara
yang mirip dengan tradisi keagamaan masyarakat Jepang, yang menganggap agama sekedar jubah
simbolik, Sehingga “the unity of relegion” akan ditafsirkan “persatuan” agama-agama, bukan
“kesatuan” agama-agama dalam konsep monopluralisme yang menempatkan penghormatan terhadap
10
perbedaan,dalam pengertian kesatuan agama-agama adalah bukan menyatukan berbagai keyakinan
agama, tentu saja jika agama dinyatakan sama, maka Ketuhanan yang Maha Esa dalam Pancasila
akan kehilangan esensinya dan dengan sendirinya UUD 1945 beserta seluruh peraturan-perundangan
dianggap tidak memiliki kekuatan mengikat. Namun tentu saja kekuatan budaya Jepang dapat
dijadikan anchor guna menangkal dampak negatif globalisasi liberalisme.
Wallahu’alam
Gagan Mohammad
11
12