REINTERPRETASI PERINTAH PERANG DALAM AL (1)

REINTERPRETASI PERINTAH PERANG DALAM AL-QUR’AN SEBAGAI TINDAKAN
PREVENTIF KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA DI INDONESIA

Ahmadi Hasanuddin Dardiri1 dan Muhammad Miqdam Musawwa2
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
1
acan_elhasby@yahoo.co.id
2
idam_jogja@yahoo.com

ABSTRACT
Violence on behalf religion is a serious issue. Now, it’s happened in Indonesia which
has some religions protected by constitution. The Subject of it is usually identified as
Moslem. Research conducted by the training and development agency of the religious
ministry , in 2010, concluded one of the factors of that is the lack of religion understanding in
our society, so the writer needs to know the mistakes of understanding about religion that
made violence on behalf religion happened in Indonesia.
Al-Quran as the holy book of Moslem is usually made as a basic of doing that
violence and it command Moslem to fight against. But the interpretation of this command is
not by the violence like being happened nowadays. Qur’an has a good concept in order to
fight against. It can be read when we are collecting all of verses “qootilu”, as the word of the

basic command to fight against.
When the writer collected and interpreted this word, writer found a concept of the
order of fight against that classified to the three parts: The based, the time and the object of
fight against. Beside it, writer found that the order fight against has limitations like do not
exceed the limit, do not make breakdown, until doing the obligation, and the last, special
limitation of Moslem, until back to the way of Allah.
By those limitations written down in Al-Qur’an, Moslem cannot judge the violence in
the name of religion as the direction of al-Qur’an because Islam is a religion of peace. So, all
of the violence can’t be judged the way of Islam, if Moslems do correctly all of the directions
in Al-Quran that based on peace and harmony.
Keyword: Violence, Fight against, a concept.

PENDAHULUAN
Pada hakikatnya tidak ada satupun agama di dunia ini yang mengajarkan tindak
kekerasan terhadap sesama manusia, sekalipun memiliki perbedaan dalam keyakin
beragama. Agama merupakan jalan hidup yang diyakini oleh para pengikutnya untuk
mencapai titik kebahagiaan dan perdamaian, akan tetapi terkadang para pemeluk agama
meyakini bahwa meraih kebahagiaan dan kedamaian itu dapat dilakukan dengan cara yang
diajarkan oleh agamanya meskipun itu melalui jalur kekerasan.
Konflik kekerasan berlatarbelakang agama yang terjadi sebenarnya bukanlah

merupakan hal baru, menurut Anis Baswedan, Perbedaan masa lalu dan sekarang adalah
bahwa pada saat ini sekecil apapun masalah yang lahir karena ketegangan beragama
menjadi masalah semua orang di belahan dunia manapun (Palupi Auliani: 2012). Konflik
antar agama biasanya dilakukan oleh para kaum extremis dalam sebuah agama tertentu.
Islam sebagai agama pada dasarnya juga mengajarkan tentang kedamaian, akan
tetapi dalam agama ini juga muncul kelompok-kelompok extremis atau fundamentalis yang
menyebabkan islam dianggap mengajarkan kekerasan. Menurut Bernand Lewis, Muslim
Fundamentalis adalah sekumpulan orang islam yang yang merasa bahwa masalah-masalah
di negara islam adalah akibat dari modernitas yang berlebihan yang dipandang sebagai
bentuk penyimpangan dari Islam yang otentik. Selain itu, kelompok ini juga mendasarkan
tindakan kekerasannya terhadap teks-teks Al- qur’an sebagai pedoman perbuatannya
(Bernand Lewis: 2003).
Kelompok Fundamentalis ini mulai terlihat aksinya di Indonesia dengan. Tragedi bom
Bali I pada 12 Oktober 2002, yang kemudian diikuti dengan sejumlah aksi teror dan
pengeboman laiinya seperti dalam kasus bom Bali kedua, kasus bom hotel JW Marriot, Rizt
Carlton. Kekerasan berlatar belakang agama ini tidak hanya di implementasikan terhadap
tindakan pengeboman saja tetapi juga penghancuran tempat-tempat hiburan, ancaman, serta
penangkapan dan penyiksaan terhadap kelompok tertentu yang dianngap menyimpang dari
agama islam.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementrian

Agama 2010, setidaknya ada lima faktor yang menyebabkan kekerasan berlatarbelakang
agama ini terjadi, yaitu permasalahan sosial ekonomi, pengabaian hukum nasional,
permasalahan politik, masih kuatnya rasa curiga dikalangan umat yang berbeda agama,
kurang tegasnya penegakan hukum, dan yang terakhir adalah Pengetahuan dan

pemahaman Agama yang kurang tetapi memiliki motivasi tinggi untuk menjalankan agama
(Dr. Zirmansyah dkk: 2010).
Pengetahuan agama yang kurang ternyata menjadi salah satu faktor dalam tindakan
kekerasan atas nama agama. Pengetahuan agama yang dimaksudkan disini tentunya
merupakan pengetahuan agama dalam memahami al-qur’an karena dalam prakteknya
pelaku kekerasan atas nama agama ini mendasarkan pada perintah yang tercantu dalam alqur’an. Pakar Islam Ashgar A Enginer menjelaskan bahwa konsep jihad dalam islam
bukanlah merupakan bentuk yang mengandung kekerasan karena Al-qur’an tidak
menggunakan kata jihad dalam semua peperangan (Junaidi Abdillah (2011).
Didalam Al-qur’an selain kata jihad yang digunakan sebagai tidakan untuk
melakukan kekerasan atas nama agama, terdapat satu kata lagi yang dapat menimbulkan
perintah yang sama yaitu kata Qotala. Kata Qotala dalam bahasa arab berarti perang. Kata
ini menjadi kata yang sering digunakan oleh para pelaku kekerasaan karena dianggap
memiliki sinonim dengan kata jihad.
Kata perintah perang yang terdapat di dalam al-qur’an dibagi menjadi dua bagian.
Yang pertma adalah kata uqtul (‫ )أقتل‬yang berasal dari kata Qotala-Yaqtulu ( ‫يقتل‬-‫)قتل‬. dan

yang kedua adalah kata Qootil (‫ )قاتل‬yang berasal dari kata Qootala- Yuqootilu (‫)يقاتل‬. dua
kata ini tentunya memiliki perbedaan dalam pelaksanaanya. Di dalam penulisan ini, penulis
hanya akan menjelaskan kembali secara kesuluruhan arti kata Qootil (‫ )قاتل‬yang terdapat
didalam al-Qur’an beserta pembatasan-pembatasan dan penyebab diperintahkannya
sebagai bentuk preventif dari maraknya tindakan kekerasan atas nama agama yang
dilandaskan kepada ayat-ayat didalam Al-qur’an agar dapat mengurangi kekerasan atas
nama agama yang disebkan oleh faktor pemahaman agama yang kurang di masyarkat.
TINJAUAN PUSTAKA
A.

Definisi dan Arti Qatala
Qatala-yaqtulu-qatlan-taqtalan secara bahasa mempunyai arti membunuh (A.W.

Munawir: 1984), melaknat,

mengutuk (Atabik Ali dan Zuhdi Muhdlor: 1998) dan

menghilangkan nyawa orang lain (Yusuf al Qardhawi, 2011). Kata qatala beserta
tashrifannya (derivasi) mengikuti wazan fa’ala-yaf’ulu-fa’lan-maf’alan yang merupakan jenis
tsulatsi mujarrad, yaitu kata yang terdiri dari tiga huruf tanpa ada huruf tambahan apapun.


Sedangkan kata qaatala-yuqaatilu-muqaatalatan-qitaalan yang mendapat tambahan
alif di belakang fa’ fi’il, merupakan bentuk tsulatsi mazid dari qatala. Tsulatsi mazid adalah fi’il
tsulatsi mujarrad yang mengandung satu atau lebih huruf tambahan. Secara bahasa kata
qaatala dan derivasinya mempunyai arti memerangi, memusuhi dan berkelahi. Kata qitaal
yaitu bentuk mashdarnya diartikan sebagai peperangan dan pertempuran (A.W. Munawir:
1984).
Jadi secara bahasa, qaatala dan qatala berlainan makna, baik secara derivasi
maupun semantiknya (Yusuf al Qardhawi, 2011). Perbedaan arti kedua kata tersebut secara
semantik disebabkan adanya tambahan berupa alif dalam kata qaatala. Tambahan berupa
alif yang berposisi setelah fa’ fi’il mempunyai fungsionalitas makna lil-musyarakah baina
itsnaini yaitu suatu perbuatan yang melibatkan dua pihak atau lebih, sehingga masingmasing pihak dapat berada pada posisi subjek beserta objek sekaligus ( M. Ma’shum bin

Ali: 1965).
Sebagai perumpamaan, dalam sebuah peperangan atau pertempuran, pihak
pertama menjadi orang yang memerangi sekaligus yang diperangi oleh pihak kedua.
Demikian juga pihak kedua yang berposisi sebagai orang yang memerangi sekaligus yang
diperangi bagi pihak pertama. Hal ini berbeda dengan kata qatala (membunuh) yang hanya
melibatkan subjek dan objek dalam satu posisi saja.
B.


Perbedaan antara Qaatala dan Qatala dalam Al-Qur’an
Sudah dijelaskan di muka bahwa perbedaan wazan di antara dua kata di atas

menyebabkan adanya perbedaan makna. Dua kata tersebut digunakan dalam beberapa ayat
Al-qur’an yang mengindikasikan pembunuhan dan peperangan. Namun dalam banyak ayat
perintah untuk perang, kata Qaatala lebih banyak digunakan. Hal ini karena kata qaatala
mempunyai pemaknaan yang lebih tepat jika digunakan dalam konteks peperangan.
Banyak ulama’ membahas tentang perbedaan penggunaan kata Qaatala dan Qatala.
Para ulama’ memberikan penafsiran berbeda antara Qaatala dengan Qatala. Penafsiran ini
tentu berdasarkan pengamatan secara kontekstual para ulama terhadap pemakaian kalimatkatatersebut.
Perbedaan tersebut misalnya dijelaskan oleh Ibnu Daqiq Al-‘idi bahwa Muqaatalah
(derivasi dari Qaatala) merupakan perbuatan yang melibatkan dua belah pihak, sementara
Qatl (derivasi dari Qatala) adalah perbuatan yang hanya melibatkan satu pihak saja (Abdul
Akhir Hamid Al-ghanimi: 2012). Perbedaan ini disebabkan fungsionalitas wazan qaatala yang

mempunyai makna lil musyarakah, sementara qatala tidak demikian. Sehingga dalam
konteks peperangan, wazan Qaatala lebih banyak digunakan karena dalam peperangan
terdapat dua belah pihak atau lebih yang terlibat.
Dalam fikih, kata Qaatala beserta derivasinya sering dimaknai sebagai perbuatan

perang-memerangi. Misalnya dalam kitab Al-Mughni yang menjelaskan bahwa pemberontak
harus diperangi dengan meredaksikan kata perang dengan yuqaatilu (fi’il mudhori’ dari
qaatala). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga menyatakan bahwa dalam perintah untuk
memerangi orang-orang kafir digunakan kata qitaal. Dalam konteks fikih jihad, kata Qaatala
dengan arti perang-memerangi lebih sering digunakan dibandingkan kata Qatala yang
mempunyai arti membunuh.
Qaatala digunakan dengan maksud dan tujuan tertentu, yaitu untuk menegakkan
agama Allah. Umat Islam diperintahkan memerangi orang-orang kafir, pemberontak dan lain
sebagainya demi tegaknya agama Islam. Perintah perang tersebut menggunakan kata Qital.
Sedangkan kata Qatala dalam konteks fikih lebih banyak digunakan dalam arti pembunuhan
secara umum, seperti dalam konteks fikih jinayat, yaitu qatlul ‘amdy, qatlul sibhil ‘amdy dan
sebagainya.
Dalam kitab Fathul Bari, dijelaskan bahwa Imam Syafi’i menggunakan kata qital dan
qatal dalam pengertian berbeda. Qatal tidak bisa menggeneralisir qital. Sehingga menurut
Imam Syafi’i, memerangi seseorang (qital) hukumnya boleh, tetapi membunuhnya (qatal)
tidak diperbolehkan.
C.

Inti Pokok Ajaran Islam
Islam merupakan agama terakhir yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad


melalui wahyu Al-Qur’an. Di dalam salah satu ayatnya, Al-Qur’an Surat Al-imron ayat 29
menyatakan bahwa “Sesungguhnya agama yang diridhoi di sisi Allah adalah Islam”. Secara
semantik, Islam merupakan kata dalam bahasa arab yang mempunyai arti keselamatan,
kedamaian atau penyerahan diri secara total kepada Tuhan. Sehingga, bila kata Islam
diartikan dengan perdamaian, maka terjemahan dari ayat tersebut menjadi “Sesungguhnya
agama yang diridhoi di sisi Allah adalah agama perdamaian”. Dengan demikian, perilaku
keseharian orang Islam seharusnya adalah membawa kedamaian, selaras dengan firman
Allah dalam ayat di atas.
Dengan pemahaman demikian itu maka seorang muslim adalah orang yang selalu
berusaha menegakkan perdamaian dimanapun ia berada. Para nabi sejak Nabi Adam hingga

Nabi Muhammad SAW, pada dasarnya menganut (agama) “Islam” atau agama perdamaian.
Dalam menyebarkan ajaran agama, para nabi menyebarkannya secara damai.
Inti ajaran Islam tentang kedamaian juga dinyatakan dalam surat Al-Baqarah ayat 208
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan
janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata
bagimu.” Kedamaian yang disampaikan dalam ayat tersebut berasal dari kata silm atau
salam yang berarti damai.
Kata silm dalam ayat di atas ditafsirkan damai sebagaimana ditunjukkan secara

tekstual. Ayat tersebut merupakan seruan bagi kaum mukmin agar masuk dalam kedamaian
secara keseluruhan. Kata silm mempunyai akar kata yang sama dengan kata Islam, yaitu
terdiri atas huruf sin, lam dan mim. Kata tersebut berarti berserah diri, tunduk dan tidak
bertikai. Berdasarkan akar kata ini, kata silm bisa digunakan untuk dua makna secara
bersamaan. Pertama, berdamai dan tidak perang. Kedua, tunduk kepada Allah, kepada
agama dan syari’atnya. Kedua makna tersebut diriwayatkan dari salaf dan kata ini mencakup
seluruh maknanya (Yusuf al Qardhawi: 2011).
Sekalipun agama Islam menekankan kedamaian, tetapi dalam sejarah dakwahnya,
peperangan tidak bisa terelakkan. Peperangan dalam Islam baru dilakukan jika keadaan
benar-benar memaksa, bukan tanpa alasan. Misalnya peperangan dilakukan untuk
menyelamatkan orang-orang lemah atau untuk menghadapi sikap ofensif orang kafir
terhadap orang Islam, sehingga orang Islam harus melakukan perlawanan. Sekalipun
demikian, jika terjadi perlawanan dengan orang-orang kafir, maka itu pun harus dihadapi
dengan kasih sayang. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar umat Islam
dalam menghadapi perlawanan dari orang-orang kafir menggunakan cara Islam, yakni
dengan kasih sayang, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 191 dan An-Nisa’ ayat 89 dan
91(Dr. Zirmansyah dkk: 2010).
lebih daripada itu, Islam merupakan agama yang cinta perdamaian. Islam mendorong
dan menyerukan kepada umatnya untuk mewujudkan perdamaian serta menilai kedamaian
sebagai tujuan mengakar bagi dakwah Islam seperti terlihat dalam ajaran, hukum dan etika

Islam. Islam sebenarnya tidak menyukai perang dan mendorong agar dihindari sebisa
mungkin. Jika pun itu terjadi, Islam berusaha untuk mempersempit lingkup perang (Yusuf al
Qardhawi: 2011).
METODOLOGI PENELITIAN

Penulis menggunakan metode content analisis data yang terdapat didalam al-Quran
sebagai dasar segala perbuatan di dalam ajaran agama islam yang selanjutnya
dikolaborasikan dengan metode tafsir tematik yaitu dengan cara mengumpulkan ayat-ayat AlQur'an yang mempunyai tujuan satu ,dalam hal ini perintah berperang dalam Al-Qur’an yang
menggunakan wazan Qootala, agar ditemukan sebuah konsep yang bersifat holistik dan
komprehensif dalam menentukan segala hal yang berkaitan dengan perintah perang di
dalam islam dan untuk diambil kesimpulan dari keseluruhan perintah perang yang terdapat di
dalam Al-qur’an.
HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
A. Ayat Perintah perang (Qootilu) di dalam Al-Qur’an
Kekerasan atas nama agama dalam islam seringkali disebut oleh khalayak umum
dengan istilah jihad. Istilah ini sebenarnya tidak begitu tepat. Menurut Yusuf Qordhowi,
makna jihad tidak bisa dipersamakan dengan makna Qital, meskipun pada dasarnya Qital
merupakan bentuk penyempitan makna dari jihad (Yusuf al Qardhawi, 2011). Perintah untuk
jihad bukanlah perintah untuk perang, sementara perintah perang merupakan bagian dari
perintah jihad yang umum.

Quraisy shihab membagi jihad menjadi dua bagian, yaitu secara non fisik dan fisik.
Jihad non fisik berarti berperang melawan hawa nafsu dan setan hal ini sebagaimana hadist
nabi Muhammad SAW ketika kembali dari medan pertempuran beliau mengatakan “Kita
kembali dari jihad terkecil menuju jihad terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu” . Sejarah
turunnya ayat-ayat A1 Quran membuktikan bahwa Rasulullah Saw telah diperintahkan
berjihad sejak beliau di Makkah, dan jauh sebelum adanya izin mengangkat senjata untuk
membela

diri

dan

agama (M Quraish Shihab: 2000). Sementara diizinkanya untuk

berperang ini turun setelah nabi hijrah ke Madinah.
Menurut Yusuf Qordhowi ayat yang pertama kali diturunkan untuk memberikan izin
berperang ialah surat Al-Hajj (22):39 yang berbunyi “Telah diizinkan (berperang) bagi orangorang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya, dan sesungguhnya
Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. Kemudian turunlah surat al-Baqarah
(2): 190 yang berbunyi: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu.
Hal ini didasarkan pada riwayat ibnu abbas yang sanadnya shahih, meskipun beberapa ahli
tafsir menyatakan bahwa ayat yang pertama kali turun adalah surat Al-baqoroh ayat 190
(Yusuf al Qardhawi, 2011).

Dua ayat diatas merupakan perintah perang yang terdapat dalam Al-Qur’an. Perintah
perang ini kemudian dilanjutkan dengan ayat-ayat serupa yang berakar kata terhadap kata
Qotala-Yaqtulu, yang kemudian oleh penulis diambil bentuk Fi’il Amr nya yaitu lafadz Uqtulu
dan Qootilu, dan dipersempit kembali hanya pada lafadz Qootilu dikarenakan lafadz ini
digunakan untuk “membunuh” dengan atas nama Allah.
Lafadz Qootilu didalam Al-Qur’an berjumlah 13 kata, Lafadz tersebut terdapat
didalam 6 surat, yaitu surat Al-baqoroh berjumlah 3 ayat, surat At-taubah berjumlah 5 ayat,
dan pada surat An-nisa, Al-imron, Al-anfaal dan Al-hujuraat yang masing-masing terdapat
satu ayat. Pada pembahasan dibawah ini, penulis akan membahas mengenai seluruh lafadz
Qootala diatas untuk kemudian dikonsepkan perintah perang yang diatur didalam Al-Qur’an
B. Konsep Perang yang di rumuskan oleh Al Qur’an
Konsep perang sebagaimana terdapat dalam ayat Al-qur’an diklasifikasikan menjadi
tiga bagian, yaitu Dasar melakukan peperangan, waktu perang, dan Obyek yang harus
diperangi. Pertama, dasar melakukan perintah perang diatur dengan surat al baqoroh ayat:
244 yang berbunyi “dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. Pada ayat ini perintah perang
diatur secara umum dan tidak diikuti dalam pembahasan apapun didalamnya sementara
akhir ayat yang menyatakan bahwa allah maha mendengar dan mengetahui adalah
penegasan bahwa perintah perang ini tidak boleh didasari dengan selain tujuan di Jalan
allah.
Dasar bahwa perintah perang harus dilaksanakan untuk menegakkan di jalan Allah
disebutkan tiga kali. Selain dalam surat Al-baqoroh :244, pada ayat 190 surat Al-baqoroh dan
surat Al-imron:166 juga menyebutkan demikian. Dari sini jelaslah bahwa tindakan perintah
perang hanya boleh dilakukan jika berdasar pada penegakkan agama dijalan allah dan
Perang yang dilakukan dengan niat selain untuk menegakkan agama allah tersebut tidak
dapat dibenarkan.
Kedua, terkait dengan waktu peperangan, Al-Quran memberi keterangan pada Surat
Al-baqoroh ayat 190 akan waktu kapan permulaan dari dimulainya perperangan yang
diperintahkan dan kapan harus diakhiri. Ayat tersebut menyatakan bahwa “ dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu”. Permulaan yang dimaksudkan diatas,
menurut Quraish Shihab terletak pada kata “Yuqootilunakum” yang ditulis dengan fiil
mudhori’, secara bahasa fiil mudhori’ menunjukkan waktu sekarang atau yang akan datang
sehingga peperangan itu dapat dimulai saat diketahui secara pasti bahwa ada orang-orang

yang mempersiapkan rencana dan mengambil langkah-langkah memerangi kaum muslim
atau benar-benar telah melakukan agresi (M Quraish Shihab: 2007).
Sementara terkait dengan waktu berakhirnya peperangan, Al-Quran menyatakannya
dalam surat Al-baqoroh ayat 192 yang berbunyi “ kemudian jika mereka berhenti (dari
memerangi kamu), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.dari
dua ayat diatas, jumhur ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanbaliyyah), sepakat bahwa
perintah perang dalam Islam bersifat defensive yaitu orang

Islam

tidak boleh memulai

perang, jika tidak diperangi, sementara umat islam diperbolehkan untuk membela diri hingga
terjadi peperangan sampai mereka yang memerangi berhenti (M. Saleh Mathar: 2009).
Ketiga, terkait dengan obyek yang harus diperangi, setidaknya terdapat 6 ayat
menyatakan bahwa ada 9 kategori yang harus diperangi. Obyek yang harus diperangi atas
nama allah sebagaimana disebutkan dalam al-qur’an yaitu:
1. Surat Annisa ayat 76 (Auliaa As syaithon)
Kata Syaithon diambil dari akar kata Syathana dan syathin
mempunyai makna yang buruk (A.W. Munawir: 1984). Dan syaithan adalah
suatu wujud pembangkang dan penentang, baik dari golongan manusia dan
jin. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-an’am ayat 112 yang
berbunyi “dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu
syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin”. Selain itu Syaithon
juga mempunyai makna lain yaitu ruh jahat yang jauh dari hak dan
kebenaran (Atabik Ali danZuhdi Muhdlor: 1998).
Dari Makana kata diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang
harus diperangi dalam islam secara umum adalah keburukan. Segala
sesuatu tentang keburukan yang menjauhkan kita dari kebenaran yang
tentunya diperangi dengan cara yang tidak mengandung keburukan.
2. Surat At-taubah ayat 12 (Aimmata Al-Kufr)
Ada beberapa pendapat yang menyatakan makna dari aimmata alkufr, dijelaskan dalam tafsir al-misbah bahwa ada yang memahaminya
sebagai tokoh tokoh kekufuran, karena jika mereka yang ditindak, maka
pengikut daripada tokoh kekufuran tersebut akan terkalahkan pula, ada juga
yang menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah semua kaum msuyrikin
baik pengikut maupun pemimpinnya (M Quraish Shihab: 2007).
Terlepas dari dua pendapat diatas, aimmata al-kufr yang harus
diperangi juga harus melakukan tindakan memusuhi orang islam, tidak

menepati perjanjian dan mencerca agama islam dengan melampaui batas
sebagaimana dinyatakan pada ayat 10, 11 dan 12 pada surat at-taubah.
“10. mereka tidak memelihara (hubungan) Kerabat terhadap orangorang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. dan
mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.
11. jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat,
Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan Kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.
12. jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji,
dan mereka mencerca agamamu, Maka perangilah pemimpinpemimpin orang-orang kafir itu, karena Sesungguhnya mereka itu
adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar
supaya mereka berhenti”.
3. Surat At-taubah: 123 (Al-Kuffar)
Kata Al-Kuffar dalam Al-qur’an mengandung makna dua macam golongan
yaitu ahlul kitab dan al musyrikun sebagaimana dalam surat al-bayyinah ayat
1. Akan tetapi Al-kuffar yang dimaksudkan disini adalah Al-kuffar yang
terdapat disekitar madinah dan Makkah. Perintah perang terhadap Al-kuffar
ini dulunya dimaknai sebagai penjagaan dan pertahanan daerah perbatasan
karena banyaknya peperangan dengan al kuffar saat itu.
Quraisy shihab berpendapat bahwa makna ini haruslah dikontekskan
dengan kondisi saat ini bahwa peperangan yang dilakukan bukan lagi hanya
terbatas pada tindakan “mengangkat senjata”, akan tetapi harus bisa
dimaknai dengan lebih luas yaitu dengan pena, lidah dan aneka usaha yang
lain (M Quraish Shihab: 2007).
4. AT-taubah ayat 36 (Musyrikin)
Musyrik menurut Al-Azhari As-syafi’I beliau menyatakan bahwa definisi
musyrik yaitu menjadikan berbagai bentuk sekutu dan tandingan kepada
Allah dalam hal tauhid rububiyyah (Muhammad ibn Abdurrahman AlKhumayyis: 2005). Perilaku Syirik sebenarnya bisa dilakukan oleh siapapun,
termasuk orang islam itu sendiri, meskipun musyrik menurut al-Qur’an
merupakan bagian dari kafir.
Musyrik yang diperintahkan oleh Al-Qur’an bukanlah sembarang orang yang
melakukan tindakan kemusyrikan, akan tetapi orang-orang musyrik tersebut
terlebih dahulu memerangi kaum muslim, sehingga ketika kaum musyrikin
tadi tidak memerangi atau melakukan tindakan dan langkah-langkah untuk
memerangi kaum muslim, maka kaum muslim tidak diperbolehkan untuk
memerangi kaum musyrik. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam surat attaubah ayat 36 di bawah ini.

36. Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas
bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan
bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama
yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri. kamu dalam
bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya
sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah
bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
5. Al-Hujuraat ayat 9 (Mukmin)
Pada ayat ini ayat al-qur’an memerintahkan untuk memerangi salah
satu dari kaum mukmin yang bertikai dengan kaum mukmin lainnya, dan
criteria yang diperangi adalah salah satu golongan yang melakukan tindakan
baghat yang dimaknai dengan berkehendak dengan melampaui batas.
Quraisy shihab menyatakan bahwa tindakan “perangi” yang
diperintahkan oleh Al-Qur’an harus diterjemahkan dengan kata “tindak”. Hal
ini menurutnya terlalu berlebihan jika dimaknai dengan kata perangi,
pasalnya kata syaratnya yaitu iqtatalu yang tidak harus diartikan dengan
berperang atau saling membunuh, sehingga dapat diartikan dengan
berkelahi, bertengkar atau saling memaki (M Quraish Shihab: 2007).
Penulis tidak begitu sepakat dengan pendapat diatas, karena jika
tindakan yang diberikan terhadap mukmin atas apa yang dilakukan tersebut
bisa dianggap hal yang berlebihan, maka akan terdapat diskriminasi
terhadap perbuatan yang dilakukan oleh manusia. menurut penulis, yang
menjadi fokus untuk diperangi sebenarnya bukanlah status manusianya
akan tetapi status tindakannya yang kemudian dapat mencapai tujuan
agama islam yaitu perdamaian dan keselamatan.
6. At-taubah ayat 29 (Tidak beriman dengan Allah, tidak beriman pada hari
Akhir, tidak mengharamkan apa yang diharankan Allah, dan tidak memeluk
agama dengan benar).
Pada ayat ini sebenarnya bidikan utama dari obyeknya adalah Ahl
kitab,

meskipun

dalam

hal

ini

memang

banyak

selisih

pendapat

sebagaimana dituliskan Quraish shihab dalam tafsirnya, akan tetapi titik
muaranya adalah ajaran ahl kitab yang tidak lagi sesuai dengan ajaran
asalnya. Hal ini bisa dilihat dari lanjutan ayatnya yang kemudian membahas
kesalahan teologi yang dilakukan oleh yahudi dan nasrani (M Quraish
Shihab: 2007).
Meski tidak mencantumkan syarat dalam hal apa para ahl kitab ini
boleh diperangi, akan tetapi perintah perang terhadap ahl kitab tetap tidak
dapat dilakukan secara serta merta. Hal ini dikarekan adanya asbabu nuzul
ayat ini yang turun ketika para ahl kitab dari kaum nasrani bersekutu dengan

romawi untuk menyerang islam dan barisan depan telah sampai ke wilayah
balqa (sekarang yordania). Sehingga memerangi ahl kitab harus dilakukan
dengan memperhatikan ketentuan waktu perang sebagaimana dijelaskan di
atas.
Penjelasan diatas sangat jelas sekali bahwa penggolongan kelompok dituliskan
dalam al-Qur’an. Dari orang kafir, Musyrik, ahl kitab bahkan orang mukmin sendiri, namun
pada intinya, perintah perang ini secara keseluruhan menyatakan bahwa perintah ini harus
dilakukan ketika golongan atau obyek yang diperangi terlebih dahulu memerangi islam,
sehingga konsep umum dari peperangan dalam islam adalah dengan bentuk defensif bukan
ofensif.
Konsep perang dalam islam yang bersifat defensif diatas membuktikan bahwa
adanya peperangan dalam islam didasarkan pada kebutuhan yang harus dilakukan, dan
kaum muslim seharusnya membenci peperangan sebagaimana dalam surat al-baqoroh ayat
216 yang berbunyi “diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu
yang kamu benci”. Sehingga sangat jelaslah sebagaimana tujuan ajaran islam bahwa ajaran
islam merupakan ajaran yang bersumber pada kedamaian dan keharmonisan.
C. Pembatasan perintah kata Qootilu
Perintah perang dalam Al-Quran selain memuat konsep berperang, terdapat juga
pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh ayat-ayat al Qur’an dalam perintah perang.
Dari keseluruhan ayat yang dikumpulkan oleh penulis, setidaknya terdapat empat
pembatasan.
1. Surat Al-baqoroh 190 (Jangan sampai melampaui batas).
Penjelasan mengenai larangan untuk tidak melampaui batas dalam
peperangan ini terdapat pada surat albaqoroh ayat 194 yang menyatakan
bahwa “Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang
dengan serangannya terhadapmu”.
Imam syafi’i menjelaskan

bahwa

harus

ditegaskan

adanya

persamaan penuh antara agresi yang dilakukan pihak musuh dengan
pembalasan yang dilakukan oleh kaum muslim. Menurutnya lafadz “bi mistli”
menunjukkan bahwa pembalasan ini dilakukan sebagaimana layaknya
qishas dalam pembunuhan (M Quraish Shihab: 2007). Yang artinya bagi
orang

yang

membunuh

tanpa

haq,

maka

akan

dihukum

dengan

penghilangan nyawa atas dirinya meskipun dengan cara yang berbeda.

2. Al baqoroh 193 dan Al anfal 39 (Jangan sampai ada fitnah).
Fitnah sebagaimana tercantum dalam dua ayat ini dijadikan batasan
didalam menjalankan perintah perang yang terdapat didalam al-Qur’an. Kata
fitnah secara bahasa diartikan dengan kegaduhan, kerusakan dan huru-hara
(Al ashri hal: 1376).
Secara makna, menurut prof Yunahar ilyas, Kata fitnah ini tidak
dapat diartikan sebagaimana pengetahuan umum orang Indonesia yang
menyatakan bahwa fitnah adalah tuduhan terhadap orang lain atas perilaku
yang tidak dilakukannya, akan tetapi makna fitnah disini berarti hambatan
dalam menjalankan agama, yang berarti perintah perang tersebut jangan
sampai menghambat kaum yang diperangi untuk melaksanakan agama
(Prof. Yunahar Ilyas: 2009).
Hal ini sedikit berbeda dengan yang dituliskan Quraish shihab dalam
tafsirnya, beliau mengatakan bahwa fitnah tersebut ialah penganiayaan
jasmani, perampasan harta, pemisahan sanak keluarga, pengusiran dari
tanah air mereka bahkan hingga menyangkut agama dan keyakinan mereka
sebagaimana yang dilakukan oleh ummat kafir sebelumnya (M Quraish
Shihab: 2007).
3. Surat At-taubah ayat 29 (Sampai membayar jizyah)
Pembatasan ini sebenarnya diperuntukkan terhadap orang-orang ahl
kitab yang sebagai pajak yang diperlukan sebagai imbalan atas kemudahan
dan biaya fasilitas yang diberikan oleh Negara. Kata jizyah berasal dari kata
jazaa yang bermakna membalas.
Quraish shihab dalam tafsirnya mengungkapkan pendapat dari
Thahir ibnu Asyur bahwa kata jizyah berasal dari bahasa Persia Kizyat yang
berarti pajak. Jizyah ini bukanlah dalam bentuk sebuah keadaan, melainkan
suatu pungutan yang bersifat material atau harta benda (M Quraish Shihab:
2007).
Meski pembatasan ini diberikan ketika kaum muslim menjalankan
perintah perang dalam memerangi ahl kitab, namun pembatasan untuk
membayar kewajiban yang bersifat harta ini pernah dilakukan oelh khalifah
abu bakar dalam memerang kaum muslim yang menolak untuk membayar
zakat hingga kaum muslim tersebut membayar zakatnya, meskipun zakat
tidak dapat dipersamakan dengan pajak.
4. Surat AL-Hujuraat ayat 9 (Sampai kembali ke jalan allah)
Pembatasan hingga merka kembali dijalan Allah ini merupakan
pembatasan khusu yang diberikan terhadap kaum muslim yang salah satu
dari keduanya melakukan iqtatalu. Dan yang boleh diperangi adalah

kelompok yang melakukan bagho. Hal ini dikarenakan kaum mukmin sudah
pasti memeluk jalan allah, maka perintah perang yang dilaksanakan harus
mencapai pada titik dimana kaum muslim yang diperangi kembali kepada
jalan allah.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka batasan perintah perang dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu pembatasan yang bersifat umum dan khusus. Poin pertama, kedua dan
ketiga merupakan poin umum dikarenakan dalam ayatnya sama sekali tidak disebutkan
siapa obyek yang ditujukan untuk diperangi, meskipun pada poin ketiga sebenarnya
disebutkan ahl-kitab, hal ini dikarenakan syarat yang diharuskan tersebut juga masih terdapat
perbedaan pendapat bahwa termasuk juga al-kuffar, Karena terdapat criteria tidak beriman
kepada allah.
Sementara terkait dengan poin terakhir merupakan pembatasan khusus yang
diberikan kepada peperangan yang terjadi terhadap dua kelompok mukmin yang berselisih.
Dan tidak bisa berlaku secara umum terhadap obyek yang harus diperangi selain kaum
mukmin yang berselisih.
KESIMPULAN
Dari berbagai pembahasan yang dikemukakan oleh penulis diatas, maka penulis
menyimpulkan bahwa dalam perintah perang yang diatur didalam Al-qur’an dengan lafadz
Qootilu, bentuk fi’l amr dari Qootala, yang bermakna perintah perang untuk menegakkan
kalimat allah terdapat sebuah konsep dan pembatasan dalam perintah perang tersebut.
Konsep peperangan yang diatur dalam al-qur’an ini meliputi dasar berperang yang
wajib atas nama Allah, kemudian waktu dimulainya perang, yaitu saat kaum muslim sedang
atau akan diserang sekaligus waktu berakhirnya peperangan yaitu ketika orang yang
memerangi kaum muslim tersebut berhenti, serta obyek yang harus diperangi yang telah
ditentukan didalam al-qur’an yaitu Auliaa as syaithon, Aimmata al-kufr, Kuffar, Musyrikin,
Mukmin dan Ahl- kitab yang semuanya memiliki kriteria pelanggaran masing-masing.
Pembatasan perintah perang yang telah disebutkan didalam Al-qur’an ini dibagi
menjadi dua, yaitu pembatasan secara umum dan secara khusus. Secara umum ada tiga
yaitu tidak diperbolehkan melampaui batas, jangan sampai menimbulkan fitnah dan hingga
mereka menunaikan kewajiban. Dan batasan khusus untuk pertikaian antara kaum mulimin
yaitu hingga mereka kembali ke jalan Allah.

Konsep dan pembatasan yang diambil dari keseluruhan ayat ini membuktikan bahwa
konsep peperangan dalam islam tidak bisa dilakukan dengan semena-mena sebagaimana
yang terjadi di Indonesia saat ini, apabila kita sedang diperangi dangan cara teknologi, maka
kita juga harus memerangi dengan teknologi sebagaimana perintah dalam al-qur’an tidak
boleh melampaui batas. Sehingga kekerasan atas nama agama tidak dapat dibenarkan
kecuali kaum muslim mendapatkan serangan dengan bentuk kekerasan atas agama pula.
SARAN
Reinterpretasi perintah perang secara holistik dengan mengumpulkan seluruh ayat
al-Qur’an yang terdapat dala al-qur’an ini diharapkan mampu menambah pengetahuan
pembaca, khususnya kaum muslim saat ini yang banyak melakukan tindakan kekerasan atas
nama agama.
Selain itu, penulis menyarankan agar pembaca dalam melaksanakan perintah
perang yang terdapat didalam al-qur’an memang tepat dan sesuai dengan yang
diperintahkan oleh al-qur’an agar tidak terjadi konflik-konflik baru yang lebih besar dalam
pelaksanaan syariat islam di dunia, terutama di Indonesia. Karena pada dasarnya islam
adalah jalan hidup bagi manusia untuk menemukan sebuah kedamaian yang tidak hanya di
dunia saja, melainkan di kehidupan nanti juga, Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA



BUKU
As-Syarbini A.K. Mughnil Muhtaj,
Abdillah.J (2011). Dekonstruksi Tafsir Ayat-Ayat Kekerasan. Junal Analisis IAIN



Lampung. Volume XI, Nomor 1. Hal:77-78.
Ali. A & Muhdlor.Z (1998). Kamus Kontemporer Arab-Indonesia Al-‘Ashry.



Yogyakarta: Multi Grafika.
Al-Khumayyis. M. A (2005). Pandangan Ulama’ Bermadzhab Syafi’i Tentang Syirik.




Dar Khalid Ibn Walid. Riyadh. 2005.
Al Qardhawi. Y (2011). Fikih Jihad. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Ilyas. Y (2009). Tafsir Surat Al baqoroh 189-195.Materi Kajian Rutin Bulanan di
Universitas Muhammadiyyah Purworejo.Sabtu, 24 Rabiul Awwal1430 H/21 Maret



2009 M.
Lewis.B (2003). Krisis Islam Antara Jihad Dan Teror Yang Keji. Jakarta: PT Ina



Publikatama.
Ma'shum (1965). Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah. Surabaya: Maktabah wa Mathba'ah




Salim Nabhan.
Munawir. A. W. (1984). Kamus Al-Munawir. Yogyakarta: Pustaka Progressif.
Shihab. M. Q. (2000). Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan Media Utama.






Shihab. M. Q (2007). Tafsir al misbah. Volume 3. Jakarta: Lentera Hati. cetakan IX
Shihab. M. Q (2007). Tafsir al misbah. Volume 5. Jakarta: Lentera Hati. cetakan IX
Shihab. M. Q (2007). Tafsir Al Misbah. Volume I. Jakarta: Lentera Hati. cetakan IX
Taimiyyah.I (1995). Majmu al fatawa. Madinah Saudi Arabia: Majma'ul Malik Fahd li



Thibaatil Mushaf As Syarif.
Zirmansyah dkk (2010). Pandangan Masyarakat Terhadap Tindak Kekerasan Atas
Nama Agama (Studi hubungan antara Pemahaman Keagamaan Dengan Tindakan
Kekerasan Atas Nama Agama). Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian



Agama 2010.
INTERNET
Abdul Akhir Hamid Al-ghanimi (2012). Hal hunaaka farqun baina al-qotl wa al qitaal.

http://www.tawhed.ws/r1?i=5452&x=hyzvkf5t


tanggal 15 november 2012.
Palupi Auliani (2012). Anies
beragama

bukan

Baswedan:

di
Konflik

Akses
antar

hal

pada
umat
baru

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/09/06/m9xnjjanies-baswedan-konflik-antarumat-beragama-bukan-hal-baru
diakses pada 13 November 2012.